BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Salah satu tugas yang penting dalam hidup manusia ialah mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Socrates salah satu filsuf besar Yunani (Naisaban, 2004) mengatakan bahwa pengenalan diri merupakan awal dari segala kebenaran. Socrates mengatakan bahwa mengenal diri sendiri atau know yourself (gnooti seauton) merupakan awal manusia berinteraksi dengan dirinya dan juga modal yang kuat untuk berinteraksi dengan sesamanya. Tahap-tahap perkembangan manusia, membawa manusia dalam “rasa diri” dan kesadaran diri yang baru. Perkembangan kepribadian seseorang akan sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam memahami dirinya sendiri (McAdams, Josselson, & Lieblich, 2006). Pengenalan akan identitas diri yang mendalam akan membuat individu mengenal kepribadiannya secara lebih baik. Kemampuan seseorang untuk mengenal dirinya secara mendalam akan mempengaruhi kedewasaan sikap dalam berinteraksi serta merespon situasi baik dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar dirinya (McAdams, et all 2006). Kemampuan untuk mengenal diri dan mencari tahu siapa dirinya sudah ada sejak masa anak-anak dan akan terus berlanjut ke masa-masa sesudahnya. Anak-anak mulai tahu siapa namanya dan barang apa saja yang menjadi miliknya. Pengenalan akan nama dan juga segala hal yang menjadi miliknya merupakan awal dari perkembangan diri. Pada akhir masa anak-anak yaitu pada usia 8-10 tahun, anak-anak semakin mendeskripsikan diri mereka dengan karakteristik psikologis. Deskripsi diri (self-describtion) mereka pada masa ini
1
2
kadang bertentangan dengan deskripsi diri pada masa remaja, mereka mulai mendeskripsikan diri sebagai sosok yang populer, baik, suka menolong, cerdas atau bodoh. Anak-anak pada masa pertengahan dan akhir menggunakan perbandingan sosial untuk melakukan evaluasi diri. melibatkan
karakteristik
sosial
dan
psikologis,
Deskripsi diri semakin termasuk
di
dalamnya
perbandingan sosial (Ruble, 1983). Interaksi sosial yang dialami oleh setiap orang memberi pengaruh dalam perkembangan dirinya. Anak-anak mulai mengidetifikasikan dirinya dengan orangtuanya. Anak-anak akan belajar norma-norma dari pengamatan yang mereka lakukan pada orangtuanya. Melalui pengamatan itu ia bisa belajar mana hal-hal yang disebut perbuatan baik dan apa yang disebut perbuatan jahat. Masa-masa seperti ini dalam teori Sigmund Freud disebut sebagai identifikasi (Gerungan, 2004). Selain melakukan identifikasi pada diri orangtuanya anakanak juga akan melakukan identifikasi pada orang-orang yang ada di sekitarnya. Anak-anak juga akan melakukan peniruan (imitasi) pada hal-hal yang dilihat disekitarnya. Saat anak-anak bertambah usia maka sumber identifikasinya berubah. Ia mengidentifikasi orang-orang yang ada di sekitarnya yang memiliki daya tarik tertentu. Identitas pada orang dewasa akan dibentuk dan dikuatkan melalui apa yang mereka lihat, baca dan dengar dari media (Blumler, 1985). Apa yang mereka lihat dan dengar ikut mempengaruhi pembentukan identitas mereka. Lingkungan sosial mereka juga memiliki pengaruh dalam pembentukan identitas diri meskipun identitas diri dipahami secara personal dan bukan sosial (Blumber, 1979). Pengamatan dan peniruan yang dilakukan oleh individu mulai dari masa anak-anak dapat menjadi sarana pendidikan dan perkembangan kepribadian
3
seorang anak. Proses imitasi ini juga bisa mendorong individu atau kelompok masyarakat untuk melakukan hal-hal yang baik. Objek atau tempat imitasi adalah hal-hal yang memiliki daya tarik yang kuat sehingga menarik individu untuk menjunjung tinggi atau mengaguminya. Suatu objek diimitasi karena memiliki penghargaan sosial yang tinggi (Gerungan, 2004). Anak-anak mulai akan menyukai dan meniru tokoh-tokoh pahlawan super yang ada di televisi. Sosok pahlawan super ialah sosok yang berani dan tanggung dalam mengalahkan para penjahat. Jeff Greenberg seorang profesor dari Universitas Arizona dalam wawancara di CNN mengatakan bahwa bahwa pahlawan super (Iron Man, Bat Man, Wonder Woman, dsb) memiliki pengaruh baik bagi anak-anak. Melalui tokoh-tokoh pahlawan super anak-anak bisa belajar untuk melindungi diri dan memperoleh kepercayaan diri. Melalui teladan yang diberikan oleh pahlawan super anak-anak juga bisa belajar untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan baik (Henry, 2014). Tokoh-tokoh pahlawan super memberikan contoh perilaku baik berkaitan dengan bagaimana seseorang harus berprilaku. Setiap Negara memiliki pahlawan super, saat ini di Indonesia ada juga pahlawan super yang bernama Bima Satria Garuda. Tokoh Bima Satria Garuda ini mengajarkan pada anak-anak rasa kekeluargaan dan perjuangan untuk menegakkan keadilan (Rachman, 2013). Tayangan yang ditampilkan di televisi di sisi lain memang memberikan efek
negatif
seperti
perilaku
kekerasan.
Pahlawan
super
juga
bisa
diidentifikasikan dengan cara yang negatif jika anak-anak yang menonton meniru prilaku kekerasan yang dilihatnya (Simmons, 1999). Gerungan (2004) menyebut bahwa identifikasi ini tidak hanya ditempatkan pada orang lain namun bisa juga ditempatkan pada tokoh-tokoh yang muncul
4
dalam karya-karya sastra. Salah satu karya sastra yang banyak digemari oleh masyarakat Jawa adalah cerita wayang. Cerita atau lakon wayang merupakan cerita-cerita yang bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Kisah-kisah ini
kemudian
digubah
oleh
para
pujangga
Jawa
menjadi
lakon-lakon
pewayangan. Wayang berarti bayang-bayang yang berasal dari kata yang. Kata wayang, hamayang pada waktu dulu berarti pertunjukan bayangan. Lambat laun menjadi pertunjukan bayang-bayang, kemudian menjadi seni pentas bayangbayang atau wayang (Mulyono,1975). Wayang menurut Bastomi (1993) merupakan gambaran kebiasaan hidup, termasuk di dalamnya perilaku manusia sejak ia lahir sampai meninggal Selama menjalani kehidupan di dunia ini manusia senantiasa berusaha untuk memperoleh suatu keadaan yang seimbang dengan alam, sesama manusia, dan Tuhan sebagai sang pencipta. Tokoh-tokoh wayang ini menjadi model atau tempat untuk melakukan identifikasi bagi orang-orang Jawa. Tokoh-tokoh wayang menampilkan karakterkarakter utama seperti kepahlawanan, kesucian, kejujuran dan juga keberanian. Tokoh-tokoh tersebut dapat memberikan inspirasi bagi para penggemar wayang. Atmoko (1994) menuliskan bahwa presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno sejak kecil mengidolakan tokoh Bima (Wekudara). Bima ia pandang sebagai sosok yang kuat dan yang selalu menang dalam setiap pertempuran. Bima adalah seorang kesatria yang gagah berani dan ia juga yang berhasil membunuh Duryudana Kurawa tertua. Bima dengan saudara-saudaranya yang lain berhasil mengalahkan Kurawa yang merupakan simbol kejahatan. Perjuangan Presiden Soekarno dalam mengusir para penjajah terinspirasi oleh sosok kepahlawanan Bima. Bagi Soekarno Bima juga sosok yang sungguh mengenal diri sendiri yang disimbolkan dengan perjumpaan dengan Dewa Ruci. Kedekatan Soekarno
5
dengan dunia wayang sejak ia masih anak-anak membentuk pemikiran Soekarno yang selaras dengan tradisi budaya Jawa: tunggal, sinkretis dan peka terhadap pengaruh asing (Suleman, 2010). Ada juga yang mengatakan bahwa sikap patriotik yang dikembangkan oleh Soekarno terinspirasi dari tokoh Wayang Gatot Kaca putra Bima. Namun hal itu tidak terlalu penting, hal yang penting bahwa identifikasi pada tokoh yang dilakukan oleh Soekarno membawanya pada suatu sikap patriotik dan semangat untuk membela negara dan bangsanya. Presiden Republik Indonesia ke empat Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dengan sapaan Gus Dur memiliki tokoh idola Arya Kumbakarna. Sosok Kumbakarna ialah sosok pahlawan yang mendarmabaktikan hidupnya untuk kepentingan negaranya. Kumbakarna rela mengorbankan diri untuk melawan musuh-musuh negaranya. Pada peringatan 1000 hari mengenang wafatnya Gus Dur di beberapa tempat digelar pertunjukan wayang dengan lakon (judul) “Kumbakarno Gugur” lakon ini untuk menghormati Gus Dur yang diidentikkan dengan Arya Kumbakarna (Buhardi, 2012). Hamid Basyaib (2010) mengatakan bahwa Gus Dur seperti sosok Kumbakarna yang berani membela kelompok minoritas. Hamid Basyaib dalam bukunya yang berisi lelucon-lelucon Gus Dur menyebut bahwa Gus Dur suka tokoh Kumbakarna karena tokoh ini suka tidur namun saat negara membutuhkan ia siap bahkan sampai harus mengorbankan nyawa. Para penggemar wayang melihat kehidupan manusia sebagai peperangan antara kekacauan dan keteraturan (harmoni). Lambang dari kekacauan adalah kurawa (kesombongan, kekacauan, nafsu dan lain sebagainya) dan lambang dari ketertiban adalah Pandawa (kejujuran, loyalitas, kebaikan dan sebagainya). Marbangun (1983) mengatakan bahwa wayang merupakan identitas utama
6
manusia Jawa. Wayang Jawa dipakai sebagai penyamaan diri (identifikasi diri) dan cerminan bagi masyarakat Jawa. Banyak orang Jawa penggemar wayang mencontoh atau meneladan tokoh-tokoh wayang yang muncul dalam lakon-lakon yang dipentaskan. Para penggemar wayang mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh dari pihak Pandawa. Cerita-cerita wayang merupakan simbol dari perilaku dan watak manusia dalam mencapai tujuan hidup, baik lahir maupun batin. Tokoh-tokoh dalam wayang sering kali dipakai oleh orang Jawa untuk memahami makna lakon kehidupan dan realitas yang dihadapinya. Orang-orang Jawa melalui pengajaran-pengajaran melalui tembangtembang (lagu-lagu) atau lakon wayang berusaha menghantar seseorang untuk dapat mencapai kautamaning urip (keutamaan hidup) (Mulyono, 1977). Kautamaning
urip
dalam
budaya
Jawa
dicapai
jika
seseorang
bisa
menyeimbangkan dimensi vertikal (dengan Tuhan) dan horizontal (dengan sesama manusia). Dua dimensi ini menuntun pada nilai-nilai hidup seperti tepa sliro (memahami orang lain) dan dalam hubungan dengan Yang Ilahi, orang Jawa bersifat nrima ing pandum, sumarah (menerima pembagian, pasrah) (Marbangun, 1983). Dua dimensi spiritual itu merupakan dua dimensi yang integral dan tidak terpisahkan (manunggal). Sosok seperti ini dalam tokoh Wayang Jawa tercermin dalam tokoh Bima yang dalam beberapa lakon mendapat julukan Sang Begawan Bima Suci (Mulyana, 2006). Kisah pencapain derajat spiritual seorang yang telah menemukan jati dirinya digambarkan dalam sosok Bima (Werkudara). Bima dalam pencarian jati dirinya bertemu dengan Dewa Ruci sosok Bima yang kecil. Kisah ini menguraikan tahapan untuk mencapai kesempurnaan yaitu melalui samadi menurut konsep ajaran kejawen. Puncak pencapaian filosofi yang paling tinggi
7
dalam budaya Jawa adalah kesempurnaan hidup. Pada tahap ini seseorang dapat berdialog dengan Tuhan-nya seolah tanpa tabir. Bima digambarkan dengan istilah “Bima yen atos kaya waja, yen lemes kena kinarya tali” (Bima bisa sekeras baja namun bisa juga lembut dan lentur bagai tali) (Tondowidjojo, 2013). Menurut Darminta (1980) Kisah Bima suci dan juga Arjuna Wiwaha karya pujangga Jawa masa lalu menunjukkan perjalanan manusia dalam mencapai jati dirinya, identitasnya serta tujuan hidupnya (sangkan-paran). Tujuan hidup orang Jawa secara mistis adalah pertemuan antara dirinya dan “Tuhan”-nya. Pertemuan antara manusia dengan Tuhan ini dalam tradisi Jawa disebut sebagai “Jumbuhing Kaula Gusti”. Lakon-lakon wayang menggambarkan perjalanan hidup manusia dalam mencari tujuan dan makna hidupnya (Mulyono, 1979). Wayang Jawa menambahkan beberapa tokoh yang tidak muncul dalam kisah Mahabarata India. Tokoh-tokoh tersebut adalah tokoh-tokoh Punakawan. Gambaran tokoh Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) merupakan gambaran dan simbolisasi dari kehidupan orang Jawa (Sunarto, 1989). Punakawan digambarkan sebagai simbol kerendahan hati orang Jawa (Kresna, 2010). Wayang merupakan sumber inspirasi kehidupan bagi masyarakat Jawa dari semua golongan masyarakat. Pertunjukan wayang menampilkan tokohtokoh wayang dan menunjukkan bagaimana setiap peran itu harus dijalankan (Mulyono, 1979). Setiap tokoh wayang memiliki karakter yang jelas dan dapat diketahui sikap dan tindakan mana yang dapat diharapkan dari tokoh-tokoh tersebut (Suseno, 1991). Menurut Sedyatmanto wayang berguna tidak hanya sebagai pertunjukan dan hiburan, tetapi juga untuk membentuk watak dan karakter bangsa (Effendi, 2009). Pertunjukan wayang melukiskan kehidupan
8
manusia manusia (Sunoto, 1983). Lakon-lakon dalam wayang merupakan simbol liku-liku kehidupan manusia dalam menghadapi setiap tantangan dan rintangan dalam hidupnya. Melalui dunia wayang manusia bisa bercermin untuk melihat dirinya karena wayang adalah salah satu cara untuk mengenal diri (Mulyono, 1989). Wayang sebagai cerminan dapat diartikan bahwa wayang menjadi sarana untuk evaluasi diri (self-evaluation). Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa para penggemar wayang berasal dari rakyat biasa sampai pada pemimpin. Wayang menyajikan suatu tontonan yang bisa dinikmati oleh rakyat biasa sampai pada priyanyi (para pemimpin). Karakter tokoh wayang yang bisa dianut oleh rakyat biasa adalah Semar dan untuk para pemimpin ialah Batara Kresna. Semar ada di bagian bawah dan Batara Kresna ada di atas. Semar merupakan simbol kerendahan hati, karena Semar pada dasarnya adalah dewa. Berikut kutipan wawancara awal: Lha niku ming karek, piyayine niku karaktere pripun. Priyayi napa orang sederhana, nek wong sederhana sing masuk semar; Semar niku wong sederhana tapi jane niku lak dewa. Semar niku lak akih ta nek arep diudari. Untuk satria dia memang pamomong, dadi menehi kawruh karo satriasatria iku mau sing apik ngne, ngih Semar nika dados penasihat para satria, Pandawa. Niku tergantung kaleh peminate sinten, rakyat biasa napa priyayi napa pemimpin. Kange Pandawa niku nek teng ngisor Semar nek sing bagian nduwure ya Batara Kresna. (R1.01.22-28) Itu tergantung orangnya karakternya bagaimana. Bangsawan atau orang sederhana, kalau orang sederhana yang masuk Semar; Semar itu wong sederhana tapi sebenarnya itu dewa. Semar itu akan banyak kalau mau dikupas. Untuk satria dia memang pengasuh para satria, jadi memberi pengetahuan kepada satria-satria itu, Semar itu menjadi penasihat para Satria, Pandawa. Niku tergatung dengan siapa peminatnya, rakyat bisa apa bangsawan atau pemimpin. Untuk Pandawa itu kalau di bawah ada Semar kalau di bagian atas ada Batara Krisna. Para penggemar wayang umumnya memiliki tokoh kesayangan atau tokoh idola. Saat tokoh idola mereka yang menjadi tokoh utama maka ia akan menonton sampai selesai, namun jika tokoh kesayangan mereka kalah maka
9
akan segera pulang. Saat ada pementasan wayang yang disiarkan melalui radio dan tokoh kesayangannya kalah maka radionya juga akan dimatikan. Wonten. Mesti wonten, tapi rada jarang. Kadang wong nonton wayang ya mung nonton wae. Tapi ya mesti ana, keneki lak ya ana ta sing idolane Setyaki. Nek nonton wayang Setyaki kalah mulih, nek nonton radio ya trus dipateni. Tak titeni kok kae nek lakone wayang Sosro Windu mesti langsung dipateni radione, ning nek Setyaki menang ditonton nganti esuk. Nganti dalange lunga. (R1.01.101-105) Ada. Pasti ada, tapi agak jarang. Kadang orang nonton wayang ya hanya nonton saja. Tapi mesti ada, di sini ada yang idolanya Setyaki. Kalau nonton wayang lalu Setyaki kalah akan pulang, kalau mendengar lewat radio ya lalu dimatikan. Saya perhatikan kok dia itu kalau cerita wayangnya Sosro Windu pasti langsung dimatikan radionya, tapi kalau Setyaki menang akan ditonton sampai pagi. Sampai dalangnya pergi. Tokoh-tokoh wayang merupakan tokoh yang inspiratif yang bisa memberi inspirasi bagi hidup manusia. Lakon-lakon wayang memberikan kupasan kehidupan kepada manusia. Melalui tokoh-tokohnya petuah-petuah hidup dan juga keutamaan hidup ditunjukkan. Nek kula wonten, ya pancen seneng kula. Kula Anoman, Anoman niku lak lebih praktis malih. Anoman kie kajobo ya turun dewa, gek wujude ketek, tapi atine kok ngluwihi menungsa apike. Kerjaan apa saja mau, tanpa pamrih; nek perlu koe njaluk ilmuku tak wenehi tanpa mbayar, nggoten. (R1.01.117-120) Kalau saya ad, ya memang suka saya. Saya suka Anoman, Anoman itu lebih praktis lagi. Anoman itu meskipun keturunan dewa, dan wujudnya kera, tapi kok hatinya melebihi manusia baiknya. Kerja apa saja mau, tanpa pamrih; kalau perlu kamu minta ilmu saya, saya beri tanpa membayar, seperti itu. Budaya Jawa memiliki sumbangan sendiri terhadap identitas diri sebagai orang Jawa. Seorang yang berprilaku baik dan juga bersikap baik disebut sebagai orang yang sudah Jawa (wis Jåwå). Sementara orang-orang yang belum memiliki perilaku baik dalam hal ini belum bisa mengontrol diri dan bersikap baik dikatakan orang yang belum Jawa (durung Jåwå). Orang yang belum Jawa ialah mereka yang belum memiliki kematangan diri dan kurangnya perkembangan
10
batin. Seorang yang belum Jawa adalah orang yang membiarkan diri dibawa oleh nafsu-nafsu dan pamrihnya, orang seperti ini sekalipun dari segi usia sudah dewasa namun ia masih seperti anak-anak. Orang seperti itu berada di tingkat anak kecil atau orang gila (Suseno, 1985). Tindakan-tindakan yang menyalahi aturan moral juga kekerasan dan kenakalan dipandang sebagai tindakan yang tidak mencerminkan seorang Jawa sejati. Orang Jawa dipercaya tidak akan berbuat seperti itu. Orang Jawa yang sudah dewasa dan memiliki perilaku baik disebut sebagai orang yang sudah memiliki pengertian (wis ngerti) dan disebut sebagai sudah menjadi orang (wis dadi wong) (Suseno, 1985). Orang Jawa juga dipandang sebagai orang yang “pandai” membawa diri. Anak kecil dan orang dewasa yang belum bisa membawa diri disebut sebagai orang yang durung Jåwå (Lombard, 1996). Pandangan-padangan yang muncul dalam budaya Jawa tentang istilah wis Jåwå dan durung Jåwå memiliki adil besar dalam membantu pembentukan identitas diri terutama bagi orang Jawa. Arus globalisasi saat ini juga telah sampai di pedesaan. Hiburan rakyat yang merupakan ungkapan seni budaya telah berganti dengan tontonan yang bersifat hanya menghibur dan tidak ada unsur pendidikan. Saat ini banyak orang lebih suka menonton pertunjukan yang rame-rame aja seperti dangdut. Kene ki nek cah sak iki senengane tontonan sing regudak-reguduk. Trus kadang marakke maksiat kae. (R1.01.149-150) Di sini ini anak-anaknya senangnya hiburan/tontonan yang bergerombol. Trus kadang membuat maksiat itu. Wong nonton wayang lak nonton cerita, trus musik. Sak iki nek wong nonton dangdut, nonton ya mung plirak-plirik njur gelut. Nek wayang gak ada; ngendi ana won nonton wayang trus gelut. Ning nek dangdut apa campur sari mesti ana sing gelut, wingi lak ana kejadian nonton dangdut trus malah paten-patenan. Trus teng mriki tontonan sing musik nek bengi gak boleh. Wong nonton wayang lak anteng, ora rame trus sengol-segolan. Tontonan sing bring-brengan kae trus wong do mabuk, gelut, paten-
11
patenan. Nik wayang lak alus, njur bisa kanggo ndandani uteke wong-wong sing ra urus, nek gelem. (R1.02.161-168) Orang nonton wayang itukan melihat ceritanya, lalu musiknya. Sekarang kalau orang nonton dangdut, menonton sambil lirik kanan kiri lalu nanti akhirnya berkelahi. Kalau wayang tidak ada; di mana ada orang nonton wayang lalu berkelahi. Tapi kalau dangdut apa campur sari pasti ada yang berkelahi, kemarin ada kejadian nonton dangdut lalu malah bunuhbunuhan. Lalu di sini tontonan kalau yang musik kalau malam tidak boleh. Orang nonton wayang kan tenang, tidak rame dan tidak senggol-sengolan. Tontonan yang „breng-breng‟ itu lalu orang mambuk, berkelahi, bunuhbunuhan. Kalau wayang halus, lalu bisa digunakan untuk memperbaiki otaknya orang-orang yang tidak baik itu, ya kalau mau. Apa yang dikisahkan tersebut merupakan indikasi saat orang sudah tidak bisa mengendalikan diri sehingga orang mudah tersulut emosinya dan berkelahi. Orang bisa membunuh sesamanya dengan alasan yang sepele. Budaya berkelahi dan bunuh-bunuhan bukan merupakan kebiasaan orang-orang yang berbudaya yang akan menjaga ketentraman. Situasi orang yang mudah marah dan kemudian berkelahi merupakan gambaran orang yang durung Jåwå. Mereka durung Jåwå karena belum bisa berprilaku baik dan orang yang ingin menang sendiri. Kutipan wawancara tersebut menyebutkan bahwa jika orang sedang menonton wayang orang akan tenang (anteng). Mereka tenang dan menyimak apa yang sedang dipentaskan oleh dalang dalam pertunjukan wayang tersebut. Wayang disebut sebagai tontonan yang halus dan bisa berguna untuk memperbaiki (ndandani) pikiran manusia yang sudah tidak baik. Namun fakta yang terjadi di lapangan tontonan wayang saat ini sudah berkurang jauh. Banyak orang lebih suka pertunjukan yang ramai. Orang lebih suka menonton pertunjukan musik seperti dangdut di mana mereka bisa menari walau kadang hal itu menimbulkan perkelahian. Efek negatif dari pertunjukan seperti itulah yang membuat pertunjukan musik di beberapa daerah dilarang saat malam hari.
12
Arus globalisasi yang terjadi saat ini membuat banyak budaya dari berbagai macam bangsa masuk ke Indonesia. Muncul suatu budaya campuran (budaya gado-gado) yang tidak memiliki identitas yang jelas. Masuknya budaya asing dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia mengakibatkan krisis kebudayaan lokal dan nasional. Lebih parah lagi masuknya budaya-budaya dari luar ini mengakibatkan lenyapnya identitas kultural lokal dan nasional. Identitas dari budaya lokal yang berlanjut pada budaya nasional akan sangat mempengaruhi terwujudnya integrasi sosial, kultural dan politik bagi bangsa Indonesia (Azra, 2002). Pertunjukan wayang diyakini oleh masyarakat Jawa tidak hanya menjadi tontonan namun juga tuntunan (pembimbing/petunjuk) (Khomarudin, 2008, Kresna, 2010 & Hermawan, 2013). Pementasan wayang dengan cerita-cerita yang
ditampilkan
menyampaikan
nilai-nilai
pemandu
kehidupan kepada
pendengar dan penontonnya (Usman, 2010). Wayang menjadi ekspresi nilai-nilai masyarakat yang membentuk identitas budaya sebuah komunitas, khususnya Jawa (Kresna, 2010). Para penggemar wayang memiliki kebiasaan untuk menonton pertunjukan wayang baik secara langsung ataupun melalui televisi. Mereka juga memiliki kebiasaan untuk mendengarkan wayang yang biasanya diputar oleh stasiun radio, mereka juga mendengarkan pementasan wayang melalui rekaman yang mereka koleksi. Ada beberapa alasan menarik untuk diteliti dari para penggemar wayang. Pertama, para penggemar wayang ini biasanya memiliki tokoh wayang idola. Para penggemar wayang ini biasanya menjadikan tokoh wayang idolanya sebagai identifikasi diri (self-identification) dalam hal ini tokoh wayang idola menjadi model bagi perkembangan kepribadian. Kedua, tokoh-tokoh wayang
13
dalam hal ini sifat dan juga kisah hidup dari tokoh tersebut menjadi evaluasi diri (self-evaluation). Hal ini sesuai dengan keyakinan para penggemar wayang bahwa tokoh-tokoh wayang merupakan bayangan atau cermin dari kehidupan manusia (Mulyono, 1989 dan Marbangun, 1983). Ketiga, wayang merupakan warisan dari nenek moyang yang memiliki nilai yang luhur. Wayang mengajarkan manusia untuk berhadapan dengan sang penciptanya. Pemaknaan akan hidup ini akan berkaitan dengan nilai spiritualitas dan agama. Spiritualitas sendiri menurut Frankel tidak merujuk pada dasar agama namun kepada spirit, filosofi dan juga pemikiran seseorang. Pemaknaan akan hidup membuat individu menyadari akan nilai diri (self-worth). Nilai diri ini dapat dicari secara individual dan para peneliti menyatakan bahwa agama dan juga memainkan peranan penting dalam pemaknaan hidup (Krause, 2009). Berdasarkan tiga alasan tersebut peneliti ingin mengadakan penelitian berkaitan dengan bagaimana para penggemar wayang itu membentuk identitas dirinya melalui identifikasi tokoh-tokoh wayang yang mereka idolakan. Peneliti ingin memahami bagaimana nilai-nilai kehidupan yang ada pada wayang dimaknai seturut dengan nilai-nilai agama yang mereka anut. Peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian
dengan
judul
“Identifikasi
Tokoh
Wayang
dalam
Pembentukan Identitas Diri dan Penghayatan Spiritualitas Kristiani Pada Para Penggemar Wayang”.
B. Perumusan Masalah Penggemar wayang menjadikan pertunjukan wayang dan tokoh-tokoh wayang sebagai salah satu sarana untuk melakukan identifikasi diri (selfidentification) dalam hal ini tokoh wayang sebagai model bagi pembentukan
14
identitas diri. Selain itu, para penggemar wayang menjadikan wayang (lakonlakon dan tokoh-tokoh wayang) sebagai sarana untuk mengalanisis diri (selfanalysis), mengevaluasi diri (self-evaluation), menyadari diri (self-awarness) serta menemukan arti dan arah kehidupan manusia. Kisah-kisah wayang menjadi salah satu sumber pemaknaan hidup, evaluasi diri, serta menjadi pemandu arah tujuan hidup manusia. Fenomena masyarakat Jawa penggemar wayang membuat peneliti ingin mengungkap lebih jauh (a) Bagaimana proses pemilihan wayang idola? (b) Bagaimana proses pembentukan identitas diri dan penghayatan spiritualitas Kristiani yang terjadi pada para penggemar wayang?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini bermaksud untuk mengetahui apakah wayang memiliki pengaruh terhadap pembentukan identitas diri dan penghayatan spiritualitas kristiani melalui identifikasi tokoh wayang idola.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian mengenai proses perkembangan kepribadian khususnya pembentukan identitas diri para penggemar wayang diharapkan secara teoritis dapat memberikan sumbangan berupa tambahan wawasan dan pengembangan pemahaman dalam ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan. Selain itu kajian tentang wayang semoga dapat memberi sumbangan bagi perkembangan ilmu psikologi di Indonesia.
15
Manfaat praktis, menggali kekayaan budaya bangsa dalam hal ini wayang dalam kaitannya dengan perkembangan identitas diri individu. Harapan penulis pertunjukan wayang dapat menjadi sarana untuk pendidikan, pembelajaran, dan pedoman nilai-nilai kehidupan bagi masyarakat di tengah banyaknya serbuan budaya asing yang masuk.
E.
Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Secara umum penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Budaya Jawa dalam hal ini pertunjukan wayang sudah banyak dikaji dari segi filsafat, sosiologi, moral maupun kajian dari segi seni pertunjukan wayang. Namun kajian lakon wayang dari segi psikologi masih jarang dilakukan. Penelitian ini hendak mengungkapkan bagaimana proses pembentukan identitas diri yang dilakukan oleh para penggemar wayang yang memiliki tokoh-tokoh wayang sebagai idola. Santoso (2005) dalam tesisnya yang berjudul “Perilaku bijaksana orang lanjut usia ditinjau dari tingkat pemahaman makna interpretasi tokoh Semar dalam cerita Pewayangan dan lama mengikuti kerohanian Sapta Darma” menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara tingkat pemahaman makna
interpretasi
tokoh
Semar
dalam
cerita
pewayangan
dengan
kebijaksanaan orang lanjut usia. Hubungan positif antara tingkat pemahaman makna
interpretasi
tokoh
Semar
dalam
cerita
pewayangan
dengan
kebijaksanaan orang lanjut usia ditunjukkan dengan Rx1.y = 0,406 (p < 0.01) sedangkan koefisien determinan R2X1.y sebesar 0,165. Surojo (1997) dalam tesisnya yang berjudul “Tokoh Anoman dalam Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata dan Ramayana Karya Sunardi DM”
16
mengatakan bahwa tokoh Anoman pantas untuk menjadi teladan dalam pelaksanaan kewajiban atau tugas sehari-hari karena sikap pengabdian Anoman yang menonjol. Sikap pengabdian Anoman yang tanpa pamrih ini sangat cocok jika dikaitkan dengan tugas hidup sehari-hari. Gambaran diri Anoman juga merupakan gambaran manusia yang tidak sempurna karena Anoman berwujud setengah manusia dan setengah kera walaupun nampak gagah dan perkasa serta berwibawa. Laksono (2009) dalam tesisnya meneliti tentang “Ontologi Wayang Purwa: Relevansinya Bagi Pembentuk Karakter Bangsa” menjelaskan bahwa Ontologi wayang purwa mengasumsikan eksistensi manusia sebagai kenyataan “hidup”, oleh
karena
itu,
keseluruhan
analisis
wayang
purwa
akan
bersifat
anthroposentris. Hidup dalam alam pikiran masyarakat Jawa terangkum dalam idiom “sangkan parananing dumadi.” Idiom sangkan paraning dumadi bercorak monisme-teistik, orang Jawa percaya bahwa kesempurnaan hidup didapat saat manusia bersatu dengan Penciptanya “manunggaling kawula Gusti.” Prinsipprinsip dalam dunia wayang purwa tentang harmoni-keselarasan dapat menjadi acuan untuk membentuk kepribadian nasional dan karakter bangsa yang mandiri, demokrasi, bersatu dan bermartabat. Berdasarkan penelusuran hasil-hasil penelitian di atas, masih sedikit penelitian tentang wayang berkaitan dengan tokoh wayang dan pembentukan identitas manusia. Keaslian dari penelitian ini terletak pada tema bagaimana peran tokoh wayang dalam pembentukan identitas diri bagi para penggemar wayang. Penelitian ini hendak menggali dinamika psikologi pembentukan identitas diri pada para penggemar wayang.