10
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah Menyucikan diri dari kotoran dan najis biasa disebut dengan istilah thaharah. Thaharah sangat diperhatikan dalam ajaran Islam karena merupakan salah satu syarat sahnya ibadah (Mughniyah, 2002). Selain menggunakan air sebagai alat untuk bersuci, terdapat cara lain yang memerlukan bahan tersendiri dan tidak bisa tergantikan (harus sesuai syariat Islam), yakni menggunakan tanah/debu yang suci (Abatasa, 2012). Dewasa ini, perdagangan produk halal selalu meningkat dari tahun ke tahun. Arah penelitian terkait produk halal saat ini adalah perkembangan deteksi cepat adanya komponen non-halal terutama yang berasal dari babi serta pencarian alternatif komponen pengganti babi. Dengan demikian, para peneliti bidang halal pasti akan bersentuhan dengan berbagai derivat babi (daging, lemak, ataupun gelatin babi). Menurut hukum Islam, najis yang diakibatkan oleh derivat babi ini adalah najis mughalladzah (najis berat), yakni semua dari babi, dan air liur anjing; yang mana untuk menyucikannya digunakan air sebanyak tujuh kali, yang salah satunya harus menggunakan tanah/debu yang suci (Alwy & Wahidan, 2003). Selain peneliti bidang halal, cukup banyak pekerjaan lain yang kerap kontak dengan najis mughalladzah diantaranya pedagang daging, dokter hewan, penggembala/ peternak babi maupun anjing, dan lain sebagainya.
10
11
Sabun batang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari (Qisti, 2009). Sebagian besar masyarakat menggunakan sabun batang untuk membersihkan badan. Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, penggunaan tanah/debu secara langsung (kontemporer) untuk proses penyucian najis mughalladzah dirasa kurang praktis bagi kehidupan modern, sehingga inovasi untuk memformulasikan tanah atau debu yang suci dalam bentuk sediaan sabun batang dengan menawarkan kepraktisan. Minyak kelapa dan minyak kelapa sawit merupakan bahan baku yang yang kerap digunakan dalam formulasi sabun. Setiap minyak memiliki jenis asam lemak dominan yang berbeda. Asam-asam lemak inilah yang nantinya akan menentukan karakteristik dari sabun yang dihasilkan. Asam lemak yang paling dominan dalam minyak kelapa adalah asam laurat (HC12H23O2) yang mampu memberikan sifat pembusaan yang sangat baik untuk produk sabun (Ketaren, 1986). Sedangkan dalam minyak kelapa sawit, asam lemak yang dominan adalah asam lemak palmitat yang memberikan sifat mengeraskan/ memadatkan sabun (Miller, 2003). Kriteria pemilihan minyak yang sesuai sangat mungkin untuk mendapat sifat sabun yang optimum. Pada penelitian ini, sabun dioptimasi dengan kombinasi minyak kelapa dan minyak kelapa sawit dengan metode Simplex Lattice Design. Tidak semua jenis tanah dapat diformulasikan dalam sabun. Tanah yang digunakan untuk pembuatan produk farmasi seperti sabun sebaiknya memenuhi spesifikasi pharmaceutical grade untuk mendapatkan formula sabun yang optimal. Dalam penelitian ini, digunakan bentonit (clay) sebagai tanah yang suci. Bentonit merupakan sejenis tanah karena mempunyai komposisi utama mineral lempung,
12
sekitar 80% terdiri atas monmorilonit (Mg2Al10Si24O60(OH)12) (Günister et al., 2004). Berdasarkan uraian di atas, peneliti membuat suatu optimalisasi formula sabun yang mengandung bentonit dengan kombinasi minyak kelapa dan minyak kelapa sawit untuk digunakan sebagai sabun untuk thaharah sehingga membuat masyarakat menjadi nyaman dan praktis ketika harus berhubungan dengan najis mughalladzah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Apakah bentonit dapat digunakan untuk menyucikan najis mughalladzah?
2.
Apakah bentonit dapat diformulasikan dalam sediaan sabun yang memenuhi persyaratan?
3.
Bagaimana pengaruh variasi kadar minyak kelapa yang dikombinasikan dengan minyak kelapa sawit terhadap sifat fisika kimia daya busa, stabilitas busa, kekerasan, kadar air, jumlah asam lemak, dan asam lemak bebas/alkali bebas sabun bentonit?
4.
Pada kombinasi kadar berapakah minyak kelapa dan minyak kelapa sawit agar dapat memberikan sifat fisika kimia daya busa, stabilitas busa, kekerasan, kadar air, jumlah asam lemak, dan asam lemak bebas/alkali bebas sabun bentonit yang optimum?
13
C. Pentingnya Penelitian Diusulkan Seiring dengan meningkatnya aktivitas penelitian halal (terutama yang terkait dengan babi dan produk-produknya), maka penggunaan sabun ini adalah suatu keniscayaan. Lebih lanjut, hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan juga oleh para pedagang daging babi, yang banyak dijumpai di pasar tradisional, dokter hewan, dan peternak babi/anjing, yang mungkin sebagiannya adalah orang Muslim. Salah satu komponen penting dalam sabun adalah minyak nabati seperti minyak kelapa dan minyak sawit. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Bahan-bahan lain yang diperlukan dalam penelitian ini (kecuali bahan kimia) seperti bentonit dan sukrosa juga tersedia di Indonesia. Dengan demikian, ketersediaan bahan pembuatan sabun bukan merupakan suatu kendala. Sebagai perbandingan, di Thailand dan Malaysia sabun yang mengandung tanah ini (diperuntukkan untuk menghilangkan najis mughalladzah) dijual dengan 6 – 7 kali lipat dibandingkan dengan sabun biasa yang tidak mengandung tanah. Hal ini tentunya menarik pihak lain untuk berinvestasi memproduksi formula sabun yang optimal untuk pengembangan produksi secara skala industri, salah satunya dengan optimalisasi minyak nabati yang digunakan. Penelitian ini juga bermanfaat untuk mengetahui pengaruh kombinasi campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit terhadap sifat fisika kimia sabun bentonit, serta mengetahui perbandingan jumlah minyak kelapa dan minyak kelapa
14
sawit yang tepat agar diperoleh formula optimum sabun bentonit menggunakan metode Simplex Lattice Design. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1.
Tujuan Umum Memberikan alternatif untuk menyucikan najis besar (mughalladzah) secara praktis yang dikemas dalam bentuk sabun batang.
2.
Tujuan Khusus a. Memformulasikan bentonit ke dalam bentuk sediaan sabun yang memenuhi persyaratan. b. Mengetahui pengaruh kombinasi campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit terhadap sifat fisika kimia daya busa, stabilitas busa, kekerasan, kadar air, jumlah asam lemak, dan asam lemak bebas/alkali bebas sabun bentonit. c. Memperoleh formula sabun bentonit yang memberikan sifat fisika kimia daya busa, stabilitas busa, kekerasan, kadar air, jumlah asam lemak, dan asam lemak bebas/alkali bebas yang optimum dengan kombinasi minyak kelapa dan minyak kelapa sawit menggunakan metode Simplex Lattice Design.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Najis dan Cara Menyucikannya (Thaharah)
15
Najis berasal dari kata An-Najasah, yaitu sesuatu yang keluar dari dua saluran manusia (qubul dan dubur), termasuk juga air seni dan tinja setiap hewan yang dagingnya haram dimakan, dan sesuatu yang apabila jumlahnya banyak berupa darah, nanah atau muntahan yang telah berubah. Juga berbagai jenis bangkai dan bagian-bagian tubuhnya kecuali kulit yang telah disamak, karena kulit menjadi suci dengan disamak (Al-Jazairi & Jabir, 2006). Secara umum, najis yang memerlukan proses penyucian terdiri dari tiga jenis, yaitu: a. Najis Mukhaffafah yang merupakan najis ringan, yakni air kencing bayi lelaki yang belum berumur dua tahun, dan belum makan sesuatu kecuali air susu ibunya. Cara menghilangkannya cukup diperciki air pada tempat yang terkena najis tersebut sampai basah (Alwy & Wahidan, 2003). b. Najis Mughalladzah yang merupakan najis berat, yakni semua dari babi dan air liur anjing. Cara menyucikannya dibasuh tujuh kali dengan air, salah satunya dengan tanah/debu yang suci (Alwy & Wahidan, 2003) setelah itu dibasuh hingga bersih. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW: ّ قال النّثي صلّى هللا عليه وسلّم طهىر اناء احدكم اذا ولغ فيه الكلة ان يغسله سثع مرّ ات اوال هن تالتّراب ( روا مسلم Artinya: “Nabi Muhammad SAW bersabda: Sucinya tempat (perkakas) salah seorang dari kamu apabila telah dijilat anjing, hendaklah mensuci benda tersebut sampai tujuh kali, permulaan tujuh kali harus dengan tanah atau debu.” (HR Muslim). Tanah atau debu dalam pandangan fiqih adalah benda suci sehingga boleh digunakan untuk bersuci (Abatasa, 2012).
16
c. Najis Mutawassithah yang merupakan najis sedang (Alwy & Wahidan, 2003), yaitu segala sesuatu yang keluar dari dubur dan qubul manusia atau binatang, barang cair memabukkan, dan bangkai (kecuali bangkai manusia, ikan laut, dan belalang) susu, tulang, dan bulu hewan yang haram dimakan. Cara menyucikannya dibasuh tiga kali agar sifat-sifat najis seperti warna, rasa, dan bau hilang (Abatasa, 2012). Menyucikan najis disebut juga dengan thaharah (bersuci). Menurut istilah ahli fiqih, thaharah berarti membersihkan hadas atau najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja (Mughniyah, 2002). Thaharah adalah bentuk ritual karena untuk menetapkan sesuatu suci atau tidak hanyalah berdasarkan kepercayaan (tidak menggunakan alasan logis). Kesucian atau kenajisan hanyalah ajaran, ritus, ritual dan kepercayaan. Ketentuan seperti ini resmi dari Allah SWT dan dibawa oleh Rasulullah SAW secara sah. Debu, tanah, lumpur, keringat dan sejenisnya dalam ilmu fiqih bukan merupakan benda yang kotor dan bukan termasuk najis. Debu dan tanah justru merupakan salah satu alternatif yang digunakan umat Islam untuk bersuci apabila tidak ada air (Abatasa, 2012). Tidak dijelaskan secara rinci dalam ajaran Islam berapa kadar debu/ tanah yang harus digunakan dalam bersuci. Berdasarkan Kitab Hadist Shahih Imam Bukhari dalam bab tayamum, Nabi Muhammad SAW bersabda “Cukup bagimu (wajah dan kedua telapak tangan dan atau punggung tangan) demikian ini”, beliau lalu memukulkan kedua tangannya ke tanah kemudian meniupnya dan beliau mengusapkan kedua telapak beliau ke wajah
17
beliau dan telapak tangan beliau serta punggung tangan hingga pergelangan (Efendi, 2007). 2.
Sabun Sabun adalah kosmetika paling tua yang dikenal manusia, dan merupakan bahan pembersih kulit yang dipakai selain untuk membersihkan juga untuk pengharum kulit (Wasitaatmaja, 1997). Sabun merupakan istilah umum untuk garam asam lemak rantai panjang (Mitsui, 1997). Sabun adalah garam alkali karboksilat (RCOONa). Gugus R bersifat hidrofobik karena bersifat nonpolar dan COONa bersifat hidrofilik (polar) (Girgis 2003). Jenis sabun yang dikenal yaitu sabun padat (batangan) dan sabun cair. Sabun mempunyai sifat sebagai surfaktan. Gambar 1 menunjukkan skema ilustrasi monomer-monomer surfaktan yang bergabung membentuk misel.
Gambar 1. Monomer Surfaktan yang Membentuk Misel Lingkaran hitam menunjukkan kepala surfaktan yang bersifat hidrofilik. Garis hitam menunjukkan ekor surfaktan yang bersifat hidrofobik (Yagui, 2005).
Kotoran yang menempel pada kulit tidak dapat dibersihkan jika hanya menggunakan air, melainkan perlu suatu bahan yang dapat mengangkat kotoran yang menempel tersebut. Karena sabun merupakan surfaktan, maka sabun dapat menurunkan tegangan muka dan tegangan antarmuka, serta mempunyai
sifat
menyabunkan,
dispersibilitas,
emulsifikasi,
dan
membersihkan. Mekanisme pembersihan oleh sabun yaitu: saat kontak dengan
18
air, sabun berpenetrasi di antara kulit dan kotoran untuk menurunkan gaya adhesi dan membuatnya lebih mudah dihilangkan. Kotoran tersebut selanjutnya dapat dihilangkan secara fisik dan kemudian terdispersi dalam larutan sabun sebagai hasil emulsifikasi oleh molekul sabun. Beberapa kotoran dapat dihilangkan dengan cara tersolubilisasi dalam misel yang terbentuk oleh sabun (Mitsui, 1997). Berikut ini merupakan gambar mekanisme pembersihan oleh sabun.
Gambar 2. Sabun sebagai Pembersih (Wilson, 2013)
Molekul sabun tersusun dari gugus hidrofobik dan hidrofilik. Ketika menggunakan sabun untuk membersihkan kotoran (lemak), gugus hidrofobik sabun akan menempel pada kotoran dan gugus hidrofilik menempel pada air. Pengikatan molekul-molekul sabun tersebut dapat menyebabkan tegangan permukaan air berkurang, sehingga kotoran dapat terbuang saat pembilasan. 3.
Metode Pembuatan Sabun Sabun dapat dibuat melalui dua proses, yaitu saponifikasi dan netralisasi. Proses saponifikasi terjadi karena reaksi antara trigliserida dengan alkali, sedangkan proses netralisasi terjadi karena reaksi asam lemak bebas dengan
19
alkali. Proses saponifikasi terjadi pada suhu 80-100oC. Reaksi kimia pada proses saponifikasi adalah sebagai berikut.
Trigliserida
Basa
Sabun
Gliserol
Gambar 3. Reaksi Saponifikasi pada Sabun
Reaksi kimia proses netralisasi asam lemak adalah sebagai berikut:
Asam Lemak
Basa
Sabun
Air
Gambar 4. Reaksi Netralisasi pada Sabun (Mitsui, 1997)
Reaksi penyabunan mula-mula berjalan lambat karena minyak dan larutan alkali merupakan larutan yang tidak saling larut (immiscible). Setelah terbentuk sabun maka kecepatan reaksi akan meningkat, sehingga reaksi penyabunan bersifat sebagai reaksi autokatalitik, yaitu pada akhirnya kecepatan reaksi akan kembali menurun karena jumlah minyak yang sudah berkurang (Alexander et al., 1964 ). Reaksi
penyabunan
merupakan
reaksi
eksotermis
sehingga
harus
diperhatikan pada saat penambahan minyak dan alkali agar tidak terjadi panas yang berlebihan. Pada proses penyabunan, penambahan larutan alkali (KOH/NaOH) dilakukan sedikit demi sedikit sambil diaduk dan dipanasi (apabila untuk menghasilkan sabun cair) (Perdana & Hakim, 2008).
20
4.
Komponen Pembentuk Sabun Pada umumnya, sabun dibuat dari lemak dan minyak alami dengan garam alkali. Di samping itu juga digunakan bahan tambahan lain seperti surfaktan, humektan, pelumas, antioksidan, warna, parfum, pengontrol pH, garam dan bahan tambahan khusus. Penggunaan bahan yang berbeda akan menghasilkan sabun yang berbeda, baik secara fisik maupun kimia. Berikut penjelasan bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan sabun:
a. Minyak nabati Minyak nabati berfungsi sebagai sumber asam lemak. Asam lemak merupakan asam karboksilat berantai panjang yang panjangnya berbedabeda tergantung jenisnya tetapi bukan siklik atau bercabang. Asam-asam lemak dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Masing-masing jenis asam lemak akan memberikan sifat yang berbeda pada sabun yang terbentuk. Asam lemak rantai pendek dan ikatan tak jenuh akan menghasilkan sabun cair. Asam lemak rantai panjang dan jenuh menghasilkan sabun padat (Steve, 2008). Sabun yang dihasilkan dari asam lemak dengan bobot molekul kecil akan lebih lunak daripada sabun yang dibuat dari asam lemak dengan bobot molekul besar. Asam lemak yang digunakan dalam pembuatan sabun adalah asam lemak yang memiliki rantai karbon berjumlah 12-18 (C12-C18). Asam lemak dengan rantai karbon kurang dari 12 tidak memiliki efek sabun (soapy effect) dan dapat mengiritasi kulit, sedangkan asam lemak dengan rantai
21
karbon lebih dari 20 memiliki kelarutan yang sangat rendah. Asam lemak dengan rantai karbon 12-14 memberikan fungsi yang baik untuk pembusaan sementara asam lemak dengan rantai karbon 16-18 baik untuk kekerasan dan daya detergensi (Miller, 2003). Penggunaan asam lemak dalam jumlah yang berlebihan dapat membuat kulit terasa kering (Steve, 2008). Pengaruh jenis asam lemak terhadap sifat sabun yang dihasilkan dijelakan pada Tabel I.
Tabel I. Jenis Asam Lemak dan Sifat Sabun yang Dihasilkan (Steve, 2008)
Asam Lemak
Rumus Kimia
Sifat yang ditimbulkan pada sabun CH (CH ) COOH 3 2 10 Mengeraskan, membersihkan, Asam laurat menghasilkan busa lembut CH (CH ) COOH 3 2 12 Mengeraskan, membersihkan, Asam miristat menghasilkan busa lembut CH (CH ) COOH 3 2 14 Mengeraskan,menstabilkan busa Asam palmitat CH (CH ) COOH 3 2 16 Mengeraskan, menstabilkan Asam stearat busa, melembabkan CH (CH ) CH=CH(CH ) COOH 3 2 7 2 7 Melembabkan Asam oleat CH3(CH2)4(CH=CHCH2)2(CH2)6COOH Melembabkan Asam linoleat Secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan asam lemak yang memiliki rantai panjang, khususnya C16 dan C18, akan menghasilkan sabun dengan
struktur
yang
lebih
kompak
dan
dapat
mencegah
atau
memperlambat disintegrasi sabun saat terpapar oleh air. Asam-asam lemak rantai pendek memiliki kemampuan kelarutan dalam pelarut air, semakin panjang rantai asam-asam lemak maka kelarutannya dalam air semakin berkurang. Asam-asam lemak dengan rantai pendek, misalnya asam laurat,
22
berperan dalam kemampuan sabun untuk menghasilkan busa (Steve, 2008). Asam-asam lemak merupakan komponen utama penyusun lemak atau minyak. Karakteristik suatu sabun sangat dipengaruhi oleh karakteristik minyak yang digunakan. Setiap minyak memiliki jenis asam lemak yang dominan. Asam-asam lemak dalam minyak inilah yang nantinya akan menentukan karakteristik sabun yang dihasilkan. Dalam penelitian ini, minyak nabati yang digunakan adalah minyak kelapa, minyak kelapa sawit dan minyak zaitun. i.
Minyak kelapa (Coconut oil) Minyak kelapa merupakan hasil ekstraksi kopra atau daging buah kelapa segar. Di pasaran, harga minyak kelapa dua kali lebih mahal apabila dibandingkan dengan minyak kelapa sawit. Asam-asam lemak dominan yang menyusun minyak kelapa adalah asam laurat dan asam miristat, yang merupakan asam-asam lemak berbobot molekul rendah. Minyak kelapa adalah salah satu jenis minyak dengan kandungan asam lemak yang paling kompleks (Ketaren, 1986). Sifat fisikokimia minyak kelapa dijelaskan pada Tabel II. Tabel II. Sifat Fisikokimia Minyak Kelapa (Chupa et al., 2012)
Berdasarkan
Karakteristik Specific gravity 15oC Bilangan Iodium Bilangan Penyabunan Bilangan Asam Titik Leleh (oC) kandungan asam lemaknya,
Nilai 0.931 10 270 270 26 minyak
kelapa
digolongkan ke dalam minyak asam laurat (Thomssen & McCutcheon,
23
1949), karena kandungan asam laurat di dalamnya paling besar jika dibandingkan asam lemak lain. Asam laurat atau asam dodekanoat adalah asam lemak jenuh berantai sedang yang tersusun dari 12 atom C (BM: 200,3 g.mol-1). Asam laurat memiliki titik lebur 44°C dan titik didih 225°C sehingga pada suhu ruang berwujud padatan berwarna putih, dan mudah mencair jika dipanaskan. Asam laurat mampu memberikan sifat pembusaan yang sangat baik, oleh karenanya asam laurat sangat diperlukan dalam pembuatan produk sabun. Busa yang dihasilkan banyak dan sangat lembut namun stabilitasnya relatif rendah (busa cepat hilang atau tidak tahan lama) (Lakey, 1941). Sabun yang dihasilkan dari asam laurat memiliki ketahanan yang tidak terlalu besar, artinya sabun batang yang dihasilkan tidak cukup keras. Berikut ini merupakan perbandingan jumlah asam lemak minyak kelapa dan minyak kelapa sawit. Tabel III. Perbandingan komponen dan jumlah asam lemak minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (Chupa et al., 2012)
Asam Lemak
Rumus Kimia
Asam Lemak Jenuh C7 H17COOH Asam kaprilat C9 H19COOH Asam Kaprat C11 H23COOH Asam Laurat C13 H27COOH Asam miristat C15 H31COOH Asam palmitat C17 H35COOH Asam stearat Asam Lemak Tidak Jenuh C17 H33COOH Asam oleat C17 H31COOH Asam linoleat
ii.
Minyak kelapa sawit (Palm oil)
Minyak Kelapa (%)
Minyak Kelapa Sawit (%)
7 6 48 19 9 2
2 42 5
8 1
41 10
24
Minyak kelapa sawit merupakan hasil pemasakan buah sawit. Minyak kelapa sawit berwarna jingga kemerahan karena kandungan zat warna karotenoid, sehingga harus dipucatkan terlebih dahulu jika akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun (Pasaribu, 2004). Sifat fisikokimia minyak kelapa sawit disajikan pada Tabel IV.
Tabel IV. Sifat Fisikokimia Minyak Kelapa Sawit (Chempro, 2013)
Karakteristik Specific gravity; 15oC Titik leleh Bilangan Iodium Bilangan Penyabunan
Nilai 0,921 – 0,925 42-45 48 – 58 196 – 205
Sabun yang terbuat dari 100% minyak sawit akan bersifat keras dan berbusa sedikit namun tahan lama. Menurut Miller (2003), kekerasan ini disebabkan kandungan asam palmitatnya yang cukup besar. Oleh karena itu, apabila akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun, minyak kelapa sawit harus dicampur terlebih dahulu dengan bahan lain. Kekerasan sabun sangat dipengaruhi oleh adanya asam lemak jenuh dalam sabun. Semakin banyak jumlah asam lemak jenuh dalam sabun, maka sabun akan menjadi semakin keras. Stabilitas busa dan stabilitas emulsi sabun yang terbuat dari minyak kelapa sawit sangat tinggi (Merrill, 1943). Menurut Suryani et al. (2002), jumlah asam lemak mempengaruhi tingkat kestabilan emulsi
25
serta berperan dalam menjaga konsistensi sabun. iii. Minyak Zaitun (Olive oil) Penelitian ini juga menggunakan minyak zaitun di samping minyak kelapa dan minyak kelapa sawit. Minyak zaitun diperoleh dari ekstraksi buah zaitun. Minyak zaitun dengan kualitas tinggi memiliki warna kekuningan. Sabun yang berasal dari minyak zaitun memiliki sifat yang keras tapi lembut bagi kulit. Minyak zaitun trigliserida (TG) dengan persentase 95-98% dan zat-zat minyak lainnya. TG merupakan ikatan ester antara tiga asam lemak dengan satu unit gliserol (Mailer, 2006). Berikut ini disajikan tabel kandungan asam-asam lemak yang terdapat dalam minyak zaitun. Tabel V. Kisaran jumlah kandungan asam-asam lemak yang terdapat dalam minyak zaitun (Rohman & Che Man, 2011)
Asam lemak Palmitat Palmitoleat Stearat Oleat Linoleat Linolenat Arachidat Gadoleat
Nomor karbon (C) C16:0 C16:1 C18:0 C18:1 C18:2 C18:3 C20:0 C20:1
Jumlah % 10,95±0,33 0,73±0,03 3,36±0,11 70,08±0,77 7,43±0,09 0,36±0,02 0,67±0,03 0,35±0,01
Minyak zaitun secara alami juga mengandung beberapa senyawa yang tak tersabunkan seperti fenol, tokoferol, sterol, pigmen, dan squalen. (Mailer, 2006). Selain digunakan untuk masakan, minyak zaitun juga dapat digunakan untuk perawatan kecantikan. Minyak zaitun dengan kandungan asam oleat hingga 80% dapat mengenyalkan kulit dan melindungi elastisitas kulit dari kerusakan. Minyak zaitun
26
kaya tokoferol (vitamin E) yang merupakan anti penuaan dini. Minyak zaitun juga bermanfaat untuk menghaluskan dan melembabkan permukaan kulit tanpa menyumbat pori. Minyak zaitun merupakan pelembab yang baik untuk melembabkan kulit wajah dan tubuh. Selain itu, minyak zaitun bermanfaat untuk melepaskan lapisan sel-sel kulit mati (Thomssen & McCutcheon, 1949).
b. Alkali Jenis alkali yang umum digunakan dalam proses saponifikasi adalah NaOH, KOH, Na2CO3, NH4OH, dan etanolamin. NaOH (soda kaustik) merupakan alkali yang paling banyak digunakan dalam pembuatan sabun keras (Oghome et al., 2012). Kalium hidroksida banyak digunakan dalam pembuatan sabun cair karena sifatnya yang mudah larut dalam air (Dunn, 2008). Menurut Mitsui (1997), sabun yang dibuat dari Natrium hidroksida dikenal dengan sebutan sabun keras (hard soap), sedangkan sabun yang dibuat dari KOH dikenal dengan sebutan sabun lunak (soft soap) sampai cair seperti sampo. Hard soap merupakan jenis sabun yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi. Karena pada penelitian kali ini akan dibuat sabun batang, maka alkali yang digunakan adalah NaOH. Natrium hidroksida memiliki berat molekul 40,01 serta merupakan basa kuat yang larut dalam air dan etanol (Anonim, 1995). Menurut Poucher (1974), NaOH diperoleh melalui proses
27
hidrolisis natrium klorida. Penambahan NaOH harus dilakukan dengan jumlah yang tepat pada proses pembuatan sabun. Apabila NaOH yang ditambahkan terlalu pekat, maka alkali bebas yang tidak berikatan dengan trigliserida atau asam lemak akan terlalu tinggi sehingga dapat mengritasi kulit. Sebaliknya apabila NaOH yang ditambahkan terlalu encer atau terlalu sedikit, maka sabun yang dihasilkan akan mengandung asam lemak bebas yang tinggi (Kamikaze,2002).
c. Asam Stearat (C18H36O2) Asam stearat adalah jenis asam lemak dengan rantai hidrokarbon yang panjang, mengandung gugus karboksil di salah satu ujungnya dan gugus metil di ujung yang lain, memiliki 18 atom karbon dan merupakan asam lemak jenuh karena tidak memiliki ikatan rangkap di antara atom karbonnya. Asam stearat berupa hablur padat, keras, mengkilap, warna putih atau kekuningan pucat. Asam stearat praktis tidak larut dalam air dan etanol 95%, namun mudah larut dalam kloroform dan eter (Anonim, 1980). Asam stearat seringkali digunakan sebagai bahan dasar pembuatan krim dan sabun (Poucher, 1974). Asam stearat berperan dalam memberikan konsistensi dan kekerasan pada sabun (Mitsui, 1997) serta dapat menstabilkan busa (Swern, 1979) d. Gliserin Gliserin atau biasa disebut juga dengan gliserol merupakan cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, berasa manis dan memiliki sifat
28
higroskopis. Gliserin mudah bercampur dengan air dan etanol 95% namun praktis tidak larut dalam kloroform, etanol, minyak lemak dan minyak atsiri (Anonim, 1980). Menurut Mitsui (1997), gliserin telah lama digunakan sebagai humektan (moisturizer), yaitu skin conditioning agents yang dapat meningkatkan
kelembaban
kulit.
Humektan
merupakan
komponen
higroskopis yang mengundang air dan mengurangi jumlah air yang meninggalkan kulit. Efektifitasnya tergantung pada kelembaban lingkungan di sekitarnya. e. Asam Sitrat Sebagai pengontrol pH dapat digunakan asam sitrat. Asam sitrat merupakan asam lemah yang dapat menurunkan pH sabun sehingga kulit pengguna tidak teriritasi akibat sifat alkalis sabun (Wasitaatmaja, 1997). Asam sitrat memiliki bentuk berupa hablur tidak berwarna atau serbuk warna putih, tidak berbau, rasa asam kuat, dalam udara lembab agak higroskopik, dalam udara kering agak merapuh. Kelarutannya sangat tinggi dalam air dan etanol 95% namun sukar larut dalam eter (Anonim, 1980). Asam sitrat juga berfungsi sebagai chelating agent (Rowe et al., 2009). f. Coco Dietanolamida (Coco-DEA) Coco-DEA merupakan dietanolamida yang terbuat dari minyak kelapa. Dalam satu sediaan kosmetika, DEA berfungsi sebagai surfaktan dan zat penstabil busa (Poucher, 1974). Dietanolamida merupakan penstabil busa yang paling efektif. DEA tidak pedih di mata, mampu meningkatkan
29
tekstur kasar busa serta dapat mencegah proses penghilangan minyak secara berlebihan pada kulit dan rambut (Suryani et al., 2002). Apabila digunakan pada konsentasi lebih dari 4%, DEA dapat mengiritasi kulit (Rowe et al. , 2009). g. Lanolin Lanolin adalah zat seperti lemak dari bulu domba Ovis aries L. (Fam. Bovidae) yang telah dimurnikan. Lanolin berupa massa seperti salep warna putih kekuningan. Dalam kosmetik, lanolin berguna sebagai bahan dasar dalam emulsi air dalam minyak (Anonim, 1980). Lanolin dapat meleleh pada suhu 34-38°C (Greenberg et al., 1954). Untuk menghindari rasa kering pada kulit, diperlukan bahan yang tidak saja meminyaki kulit tetapi juga berfungsi untuk membentuk sabun yang lunak, misal: asam lemak bebas, fatty alcohol, gliserol, lanolin, parafin lunak, cocoa butter, dan minyak almond. Bahan-bahan tersebut selain meminyaki kulit juga dapat menstabilkan
busa
dan
berfungsi
sebagai
peramas
(plasticizers)
(Wasitaatmaja, 1997). h. Natrium Klorida Garam yang ditambahkan pada pembuatan sabun biasanya adalah NaCl. NaCl berbentuk serbuk hablur berwarna putih dan berasa asin. Garam ini mudah larut dalam air, sedikit lebih mudah larut dalam air mendidih, larut dalam gliserin dan sukar larut dalam etanol (Anonim, 1995). Garam dalam pembuatan sabun berfungsi sebagai pembentuk inti pada proses pemadatan sehingga dapat mempercepat terbentuknya padatan sabun.
30
Garam yang digunakan sebaiknya murni, tidak mengandung Fe, Cl, atau Mg. Penambahan garam tidak diperlukan dalam pembuatan sabun cair (Thomssen & McCutcheon, 1949) Selain itu, penambahan NaCl juga bertujuan untuk meningkatkan pembusaan sabun dan untuk meningkatkan konsentrasi elektrolit agar sesuai dengan penurunan jumlah alkali pada akhir reaksi sehingga bahan-bahan pembuat sabun tetap seimbang selama proses pemanasan (Hambali et al., 2005). i. Surkrosa Sukrosa adalah gula yang diperoleh dari tanman Saccharum officinarum Linne, Beta vulgaris Linne dan sumber lainnya. Gula ini berbentuk hablur putih atau tidak berwarna, massa hablur atau berbentuk kubus atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa manis, stabil di udara. Sukrosa sangat mudah larut dalam air, terlebih air mendidih, sukar larut dalam etanol, tidak larut dalam kloroform maupun eter (Anonim, 1995). Sukrosa bersifat humektan dan dapat membantu pembusaan sabun (Priani, 2010). Pada proses pembuatan sabun transparan, sukrosa berfungsi untuk membantu terbentuknya transparansi pada sabun. Sukrosa dapat membantu perkembangan kristal pada sabun (Hambali et al., 2005). j. Antioksidan Kerusakan minyak atau lemak terutama bau tengik (rancid) dapat dihindari dengan menambahkan antioksidan misalnya stearil hidrazid dan butilhidroksi toluen (BHT) sebanyak 0,02% - 0,1%. Beberapa bahan lain
31
juga dapat digunakan sebagai penghambat oksidasi, yaitu natrium silikat, natrium hiposulfit, dan natrium tiosulfat (Wasitaatmaja, 1997). k. Parfum Isi sabun tidak lengkap bila tidak ditambah parfum sebagai pewangi. Pewangi atau pengaroma adalah suatu zat tambahan yang ditujukan untuk memberikan aroma wangi pada suatu sediaan agar konsumen lebih tertarik (Priani dan Lukmayani, 2010). Setiap pabrik memilih bau sabun bergantung pada permintaan pasar. Biasanya dibutuhkan wangi parfum yang tak sama untuk membedakan produk masing-masing (Wasitaatmaja, 1997). 5.
Kualitas Sabun Sabun merupakan salah satu sediaan kosmetik mandi yang digunakan untuk membersihkan tubuh, membantu melunakkan air sadah, memberi keharuman dan rasa segar serta menghaluskan dan melembabkan kulit (Imron, 1985). Menurut Langingi (2012), sabun batang yang ideal harus memiliki kekerasan yang cukup untuk memaksimalkan pemakaian dan mampu menghasilkan busa dalam jumlah yang cukup untuk mendukung daya bersihnya. Spesifikasi persyaratan mutu yang harus dipenuhi pada produk sabun mandi menurut SNI 06-3532-1994 disajikan pada Tabel VI. Tabel VI. Syarat Mutu Sabun menurut SNI 06-3532-1994
Uraian
Tipe 1
Tipe 2
Superfat
Kadar air (%) Jumlah asam lemak (%)
Maks. 15 > 70
Maks.15 64 – 70
Maks. 15 > 70
32
Alkali bebas Dihitung NaOH(%) Dihitung KOH (%)
sebagai Maks. 0,1
Maks. 0,1
Maks. 0,1
sebagai Maks. 0,14
Maks. 0,14
Maks. 0,14
< 2,5 Negatif
2,5 – 7,5 Negatif
Asam lemak bebas (%) Minyak mineral
< 2,5 Negatif
Optimalisasi dalam formulasi sabun perlu dilakukan untuk menghasilkan sabun yang berkualitas dan sesuai dengan harapan. Optimasi-optimasi yang dilakukan dalam pembuatan sabun, biasanya dalam hal prosedur pembuatan dan bahan yang digunakan (Priani, 2010).
6.
Sifat Fisika dan Kimia Sabun Secara umum, sifat fisik dalam sabun terdiri dari kekerasan, stabilitas busa, bilangan titer, mudah dibilas (Girgis, 1998), tegangan permukaan, tegangan antar muka, dan stabilitas emulsi (Bird, 1993). Sedangkan sifat kimia pada sabun pada umumnya berupa pH, kadar air, jumlah asam lemak total, alkali bebas, asam lemak bebas, dan minyak mineral (Girgis, 1998). a. Kekerasan Sabun batang pada umumnya memiliki tingkat kekerasan tertentu (Priani, 2010). Kekerasan sabun dipengaruhi oleh asam lemak jenuh yang digunakan pada pembuatan sabun. Asam lemak jenuh adalah asam lemak yang tidak memiliki ikatan rangkap, tetapi memiliki titik cair yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak yang memiliki ikatan rangkap. Asam lemak jenuh biasanya berbentuk padat pada suhu ruang, sehingga
33
akan menghasilkan sabun yang lebih keras (Gusviputri et al., 2013). Apabila sabun terlalu lunak, maka akan menyebabkan sabun mudah larut dan menjadi cepat rusak (Steve, 2008). b. Daya dan Stabilitas Busa Busa merupakan salah satu parameter penting dalam penentuan mutu sabun. Sabun dengan busa melimpah pada umumnya lebih disukai oleh konsumen. Busa memiliki peran dalam proses pembersihan dan melimpahkan wangi sabun pada kulit (Langingi et al., 2012).
c. pH Sabun pada umumnya mempunyai pH sekitar 10 (Mitsui, 1997). pH merupakan indikator potensi iritasi pada sabun (Gehring, 1991). Apabila kulit terkena cairan sabun, pH kulit akan naik beberapa menit setelah pemakaian meskipun kulit telah dibilas dengan air. Pengasaman kembali terjadi setelah lima sampai sepuluh menit, dan setelah tiga puluh menit pH kulit menjadi normal kembali (Wasitaatmaja, 1997) yaitu sekitar 4,5-6,5 (Tranggono, 2007). Alkalinasi dapat menimbulkan kerusakan kulit apabila kontak berlangsung lama, misalnya pada tukang cuci, pembilasan tidak sempurna, atau pH sabun yang sangat tinggi (Wasitaatmaja, 1997). d. Stabilitas Emulsi Sabun Sabun padat termasuk dalam emulsi tipe w/o (Suryani et al., 2002). Stabilitas emulsi merupakan salah satu karakter penting dan berpengaruh
34
besar terhadap kualitas produk emulsi saat dipasarkan. Emulsi yang baik tidak membentuk lapisan-lapisan minyak dan air, memiliki konsistensi yang tetap dan tidak terjadi perubahan warna. Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh jumlah asam lemak yang terkandung dalam sabun. Asam lemak ini berperan dalam menjaga konsistensi sabun. Kestabilan emulsi dalam sabun juga dipengaruhi oleh kadar air dan bahan dasar yang bersifat higroskopis. Semakin tinggi kadar air dalam sabun maka stabilitas emulsi akan semakin menurun (Jannah, 2009).
e. Kadar Air Banyaknya air yang ditambahkan pada sabun akan mempengaruhi kelarutan sabun. Semakin banyak air yang terkandung dalam sabun maka pada saat digunakan sabun akan semakin mudah menyusut (Langingi et al., 2012). Prinsip dari pengujian kadar air sabun adalah pengukuran kekurangan berat setelah pengeringan pada suhu 105°C. Tingkat kekerasan sabun sangat dipengaruhi oleh kadar air sabun. Semakin tinggi kadar air maka sabun akan semakin lunak (SNI, 1994). f. Jumlah Asam Lemak Jumlah asam lemak adalah keseluruhan asam lemak baik asam lemak yang terikat dengan natrium maupun asam lemak bebas ditambah lemak netral (trigliserida netral/ lemak yang tidak tersabunkan). Pengujian jumlah asam lemak pada prinsipnya dilakukan dengan memisahkan asam
35
lemak dari ikatan sabun natrium dengan penambahan asam kuat, kemudian mengekstraknya dengan microwaks sehingga terbentuk cake yang berisi campuran parafin + asam lemak bebas + lemak netral + asam lemak bebas eks sabun + minyak mineral yang mungkin ada (SNI, 1994). g. Asam Lemak Bebas/ Alkali Bebas Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada dalam contoh sabun, tetapi yang tidak terikat sebagai senyawa natrium maupun senyawa trigliserida (lemak netral). Adanya asam lemak bebas dapat diperiksa apabila pada pengujian alkali bebas ternyata tidak terjadi warna merah dari indikator phenolphtalein setelah pendidihan dalam alkohol netral. Asam lemak bebas yang melarut dalam alkohol netral selanjutnya dititrasi dengan KOH alkoholis (SNI, 1994). h. Minyak Mineral Minyak mineral tidak mungkin dapat disabunkan seperti halnya asam lemak bebas dan lemak netral, sehingga meskipun sudah disabunkan dengan KOH berlebihan akan tetap sebagai minyak, dan pada penambahan air akan terjadi emulsi antara air dan minyak yang ditandai adanya kekeruhan (SNI, 1994). 7.
Bentonit Tanah yang digunakan dalam formulasi dan pembuatan sabun untuk menyucikan najis mughalladzah ini adalah bentonit. Bentonit merupakan sejenis tanah karena mempunyai komposisi utama mineral lempung (tanah liat). Menurut Husnain (2010), tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri
36
dari agregat (butiran) mineral-mineral padat dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk. Komponen terbesar dari tanah adalah silikat. Butir tanah digolongkan menjadi tiga, yaitu: 1.
Pasir (sand), yaitu butir tanah yang berukuran antara 0,050 - 2 mm.
2.
Debu (silt), yaitu butir tanah yang berukuran antara 0,002 - 0,050 mm.
3.
Liat/lempung (clay), yaitu butir tanah berukuran kurang dari 0,002 mm. Bentonit merupakan tanah liat (clay) alami golongan smektit dioktahedral
yang mengandung sekitar 80% monmorilonit (Mg2Al10Si24O60(OH)12) dan sisanya antara lain kaolit, illit, feldspar, gypsum, abu vulkanik, kalsium karbonat, pasir kuarsa, dan mineral lainnya (Günister et al., 2004).
Gambar 5. Bentonit (ECVV, 2003)
Bentonit berupa kristal, mineral seperti tanah liat, dan dapat diperoleh dalam bentuk serbuk tak berbau, kuning pucat, atau krem hingga abu-abu, yang bebas dari pasir. Bentonit sedikit berasa seperti tanah. Dalam bidang farmasi, bentonit biasanya digunakan untuk memformulasi suspensi, gel, dan sol. Selain itu, juga digunakan untuk mensuspensikan serbuk dalam sediaan cair dan mempersiapkan basis krim yang mengandung agen pengemulsi minyak dalam air (Rowe et al., 2009). Keberadaan bentonit sangat melimpah di Indonesia,
37
antara lain tersebar di pulau Jawa, pulau Sumatera, sebagian pulau Kalimantan Timur dan pulau Sulawesi (Puslitbang Tekmira, 2005). 8.
Simplex Lattice Design (SLD) Suatu formula adalah kumpulan dari suatu komponen dari sisi kualitatif dan kuantitatifnya. Setiap perubahan fraksi dari salah satu komponennya, maka akan mengubah satu atau lebih banyak komponen lain (Rachmawati, 2012). Simplex Lattice Design adalah suatu metode untuk menentukan optimasi pada berbagai komposisi bahan yang berbeda. Metode ini dapat digunakan untuk prosedur optimasi formula yang jumlah total dari bahan berbeda adalah konstan (Bolton, 1997). Hubungan fungsional antara respon (variabel tergantung) dengan komposisi (variabel bebas) dinyatakan dengan persamaan: Y=β1A + β2B + β1.2AB……………………………….…………(1) Keterangan: Y A dan B β1 dan β2 β1.2
: respon yang diinginkan : fraksi dari tiap komponen : koefisien regresi dari A,B : koefisien regresi dari interaksi A-B
Dalam menentukan formula optimum, perlu diperhatikan sifat fisika dan kimia sabun yang dihasilkan. Penentuan formula optimum didapatkan dari respon total yang paling besar, respon total dapat dihitung dengan rumus, yaitu: R total = R1 + R2 + R3 +Rn +………………………..(2) R1,2,3,n adalah respon masing-masing sifat fisika dan kimia sabun bentonit.
38
Dari persamaan (2) akan diperoleh respon total dan formula yang optimum, maka dilakukan verifikasi pada tiap formula yang memiliki respon paling optimum pada setiap uji sifat fisika dan kimia sabun bentonit (Armstrong & James, 1986). 9.
Design Expert® versi 8.0.7.1 Design Expert versi 8 adalah software untuk melakukan optimasi dari sebuah proses atau formula suatu produk. Program ini dapat mengolah 4 rancangan penelitian yang berbeda, yaitu: factorial design, combined design, mixture design, dan respon surface method design. Untuk optimasi formula dari serangkaian campuran komponen yang digunakan, maka dapat dipilih mixture design. Terdapat dua syarat dalam memilih mixture design, yang pertama adalah komponen-komponen di dalam formula merupakan bagian total dari formulasi. Apabila presentase salah satu komponen naik, maka presentase komponen yang lain akan turun. Syarat kedua adalah respon harus merupakan fungsi dari komponen-komponennya. Mixture design dibedakan menjadi dua, yaitu simplex lattice design untuk optimasi formula dengan selang konsentrasi komponen-komponen yang digunakan sama dan non simplex design untuk optimasi formula dengan selang konsentrasi komponenkomponen yang digunakan berbeda (Anonim, 2010). Penentuan formula optimum terdiri dari empat tahap, yaitu tahap perencanaan formula, tahap formulasi, tahap analisis dan tahap optimasi. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan variabel-variabel yang akan dikombinasi beserta konsentrasinya, lalu mentukan respon yang
39
akan diukur yang merupakan fungsi dari komponen-komponen penyusun produk. Tiap-tiap variabel respon akan dianalisis oleh DX8 untuk mendapat persamaan simplex lattice design dengan ordo yang cocok (linier, cuadratic, cubic, simple qubic). Persamaan simplex lattice design bisa didapatkan dari tiga proses yaitu berdasarkan sequential model sum of squares [Type I] untuk model yang mempunyai nilai “Prob > F” lebih kecil atau sama dengan 0,05 (significant), lack of fit test untuk model yang mempunyai nilai “Prob > F” lebih besar atau sama dengan 0,1 (not significant) , dan model summary statistic. Kolom fit summary dapat digunakan untuk melihat ketiga proses ini. Model terbaik dapat ditentukan dengan parameter adjusted R-Squares dan Predicted R-Squared maksimum. Program DX8 menggunakan kolom fit summary untuk memilih model terbaik (Suggested). Design Expert juga menyajikan hasil analisis ragam ANOVA. Suatu variabel respon dinyatakan berbeda signifikan pada taraf signifikansi 5% jika nilai “Prob>F” hasil analisis lebih kecil atau sama dengan 0,05 sedangkan jika nilai “Prob>F” hasil analisis lebih besar dari 0,05 maka variabel respon dinyatakan tidak berbeda signifikan. Selanjutnya, variabel-variabel respon ini digunakan sebagai model prediksi untuk menentukan formula optimal. DX8 akan mengolah semua variabel respon berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan serta memberikan solusi beberapa formula optimal yang terpilih. Nilai target optimasi yang dicapai dinyatakan dengan desirability yang nilainya diantara 0 sampai 1. Semakin mendekati 1, semakin mudah suatu formula dalam mencapai titik formula optimal berdasarkan variabel responnya
40
(Anonim, 2007). Hal ini dapat dicapai dengan memilih variabel uji yang mampu memberikan pengaruh nyata (berbeda signifikan) terhadap respon, penentuan rentang proporsi relatif masing-masing variabel uji, dan nilai target optimasi variabel respon. Nilai desirability yang mendekati 1 akan semakin sulit dicapai apabila kompleksitas variabel uji dan nilai target optimasi semakin tinggi. Optimalisasi dilakukan untuk mencapai nilai desirability maksimum. Meskipun demikian, tujuan utama optimasi bukan untuk mencari nilai desirability sebesar 1 melainkan untuk mencari kombinasi yang tepat dari berbagai komposisi bahan (Rachmawati, 2012).
10. Spektrofotometri Serapan Atom Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) adalah suatu metode pengukuran berdasarkan jumlah radiasi yang diserap atom-atom bebas, bila sejumlah radiasi dilewatkan melalui sistem yang mengandung atom-atom tersebut (Khopkar, 1990). Metode spektrofotometri serapan atom dapat digunakan untuk mendeteksi kuantitas atom logam yang terdapat pada suatu sampel (Mahfudloh & Tirono, 2010). Sampel yang digunakan harus dalam bentuk larutan encer dan jernih sehingga memerlukan preparasi terlebih dahulu sebelum dianalisis (Gandjar & Rohman, 2007). Prinsip dasar SSA adalah absorpsi sumber radiasi yang dipancarkan atom pada keadaan ground state. Absorbsi berkaitan dengan konsentrasi unsur yang dianalisis (Kellner et al., 1998). Sampel diuapkan dalam flame bersuhu 210280˚C menjadi bentuk uap atomnya, sehingga flame akan mengandung atom-
41
atom dari sampel yang akan dianalisis. Kemudian atom-atom ini akan tereksitasi karena pengaruh panas, namun sebagian besar akan tetap berada pada ground state. Atom-atom yang terksitasi akan kembali pada ground state setelah melepaskan energi eksitasinya berupa suatu radiasi. Radiasi ini memiliki panjang gelombang spesifik untuk setiap atom bebas (Christian, 1994). Sumber flame yang paling banyak digunakan adalah campuran asetilen sebagai bahan pembakar dan udara sebagai pengoksidasi (Gandjar & Rohman, 2007). Prinsip dasar SSA dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 6. Prinsip Dasar SSA (Ma, 1997)
Penentuan konsentrasi analit dilakukan dengan mengukur atom pada kondisi dasar. Faktor pengganggu dalam pengukuran dengan SSA adalah faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah atom dalam kondisi dasar, yakni pembentukan oksida (MO) akibat reaksi antara unsur dengan oksidan dalam gas pembakar (flame) serta pembentukan ion (M2+) dari elemen yang dianalisis (Christian, 2003).
E. LANDASAN TEORI Najis mughalladzah merupakan najis berat, yakni semua dari babi dan air liur anjing. Menurut hukum islam, untuk menyucikan najis ini perlu digunakan air
42
sebanyak tujuh kali, yang salah satunya harus menggunakan tanah/debu yang suci. Thaharah adalah ritual, dalam ajaran Islam tidak ada persyaratan khusus berapa kadar debu yang harus digunakan dalam bersuci. Salah satu jenis tanah yang cukup banyak dimiliki Indonesia adalah bentonit. Bentonit merupakan tanah liat (clay) golongan smektit dioktahedral yang mengandung sekitar 80% monmorilonit dan sisanya antara lain kaolit, illit, feldspar, gipsum, abu vulkanik, kalsium karbonat, pasir kuarsa, dan mineral lainnya. Dalam bidang farmasi, bentonit biasa digunakan untuk memformulasi suspensi, gel, dan sol. Karena merupakan suatu jenis tanah, bentonit dapat digunakan untuk menyucikan najis mughalladzah. Salah satu bahan baku dalam pembuatan sabun adalah minyak nabati. Minyak nabati yang sering digunakan dalam jumlah besar adalah minyak kelapa (Coconut oil) dan minyak kelapa sawit (Palm oil). Kedua jenis minyak ini memiliki kandungan-kandungan asam lemak yang berbeda. Tiap jenis asam lemak akan memberikan sifat yang berbeda pada sabun yang terbentuk. Minyak kelapa memiliki kandungan asam laurat paling besar diantara asam lemak lainnya. Asam laurat sangat diperlukan dalam pembuatan sabun karena asam laurat mampu memberikan sifat pembusaan yang sangat baik untuk produk sabun. Busa yang dihasilkan banyak dan lembut namun stabilitasnya relatif rendah. Minyak kelapa sawit memiliki kandungan asam palmitat paling besar diantara asam lemak lainnya. Sabun yang dibuat dari asam palmitat memiliki kekerasan yang cukup tinggi serta menghasilkan busa relatif kecil namun stabilitas busanya tinggi. Karakteristik yang berbeda antara minyak kelapa (Coconut oil) dan minyak kelapa sawit (Palm oil) dapat mempengaruhi kualitas sabun yang dihasilkan. Selain
43
itu komposisi dan proporsi NaOH, bentonit, dan bahan-bahan tambahan lain juga berpengaruh terhadap sifat fisika dan kimia sabun. Campuran bahan baku pembuat sabun yaitu minyak kelapa dan minyak kelapa sawit diharapkan dapat menghasilkan sabun dengan kualitas baik. Untuk menghasilkan sabun yang berkualitas diperlukan optimalisasi campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit. Optimasi dilakukan dengan pendekatan simplex lattice design
untuk
mendapatkan formula optimum dari campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit sehingga dihasilkan sabun bentonit yang memiliki sifat fisika kimia yang baik. Oleh karena itu, pada penelitian ini diharapkan bentonit dapat diformulasikan dalam sabun dengan kombinasi minyak kelapa dan minyak kelapa sawit menggunakan metode optimasi simplex lattice design untuk memberikan inovasi cara penyucian najis mughalladzah yang lebih praktis dan modern.
F. HIPOTESIS 1. Bentonit merupakan salah satu jenis tanah liat (clay) yang kaya akan mineral silikat sehingga dapat digunakan untuk menyucikan najis mughalladzah. 2. Bentonit dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan sabun sebagai alternatif cara penyucian najis mughalladzah yang praktis dan modern. 3. Penggunaan kombinasi minyak kelapa dan minyak kelapa sawit dapat berpengaruh terhadap sifat fisika dan kimia daya busa, stabilitas busa, kekerasan, kadar air, jumlah asam lemak, dan asam lemak bebas/alkali bebas sabun bentonit.
44
4. Pada proporsi tertentu kadar minyak kelapa dan minyak kelapa sawit akan memberikan sifat fisika kimia daya busa, stabilitas busa, kekerasan, kadar air, jumlah asam lemak, dan asam lemak bebas/alkali bebas sabun bentonit yang optimum menggunakan metode simplex lattice design.