BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Saat ini banyak masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi sehingga tingkat kepadatan jalan raya cukup padat. Masyarakat yang semula menjadi pelanggan setia angkutan umum mulai berpaling ke transportasi pribadi karena memiliki berbagai kemudahan antara lain dapat mengatur rute sesuai dengan kebutuhan, dapat bepergian sewaktu-waktu, terhindar dari keadaaan harus menunggu kendaraan umum lewat, dan berbagai kemudahan lain. Masyarakat menggunakan transportasi pribadi untuk pergi bekerja ke kantor, ke sekolah, berbelanja, berjalan-jalan, membeli kebutuhan sehari-hari, dan lain sebagainya (Susantono, 2014). Fakta menunjukkan terjadi peningkatan angkutan transportasi pribadi yang semakin nyata di jalanan. Hal tersebut dibuktikan dengan data yang disampaikan oleh Kepala Koordinator Lalu Lintas Polisi Republik Indonesia mengenai pertumbuhan kendaraan bermotor. Pada tahun 2011 jumlah mobil pribadi berjumlah 8.540.352. Pada tahun 2012, jumlah tersebut meningkat 12% menjadi 9.524.666. Sementara itu, jumlah sepeda motor pada tahun 2011 mencapai 69.204.756. Pada tahun 2012 jumlah tersebut meningkat 12% menjadi 77.755.658 (Anonim, 2013). Pertumbuhan pesat kepemilikan sepeda motor terus terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Kepala Korps Lalu Lintas POLRI menjelaskan terjadi peningkatan jumlah sepeda motor pada tahun 2013 mencapai 86.253.000 (Anonim, 2014). Banyak masyarakat memilih untuk mengendarai sepeda motor karena mudah untuk dikendarai, ringan dan lincah sehingga dapat mudah menyalip di jalan raya, angsuran pembelian yang terjangkau serta biaya service dan kebutuhan bahan bakar yang ekonomis (Susantono, 2014). Akan tetapi pertambahan pengguna sepeda motor tidak diikuti dengan
1
2 perilaku berkendara yang baik. Pertambahan tersebut ternyata berbanding lurus dengan peningkatan angka kecelakaan di jalan raya. Berdasarkan data statistik bps.go.id, sepeda motor merupakan salah satu penyebab tingginya kecelakaan, hal tersebut ditunjukkan oleh 117.949 total kecelakaan yang melibatkan sepeda motor di jalan raya pada tahun 2012. Berdasarkan data dari WHO pada tahun 2004, terdapat tiga faktor penyebab kecelakaan lalu lintas yang membahayakan individu. Faktor pertama adalah manusia (human error), faktor kedua adalah kendaraan (machine error),dan faktor ketiga adalah jalan (manufactured error). Di antara ketiga faktor tersebut, human error merupakan faktor paling besar dalam terjadinya kecelakaan lalu lintas. Human error dapat berasal dari perilaku pengendara maupun pengemudi di jalan raya, persepsi, pola berlalu lintas, keterampilan mengendarai, perhatian/konsentrasi di jalan raya, masalah sosial, maupun masalah emosi dari pengendara maupun pengemudi di jalan raya. Minimnya konsentrasi pengendara dan keahlian dalam mengendarai sepeda motor merupakan faktor penyebab pertama dalam kecelakaan yang melibatkan kendaraan bermotor. Munawar (2005) menyebutkan bahwa masalah lalu lintas seperti kemacetan dapat mengakibatkan kondisi stres pada pengendara kendaraan bermotor. Manifestasi dari kondisi stres itu adalah perilaku ugal-ugalan seperti: melampiaskan kekesalan di jalan raya, menyalip kendaraan di depannya tanpa memperkirakan jarak yang cukup, berbelok tanpa menyalakan lampu sign, memasuki jalan utama dengan kecepatan tinggi, hingga tidak memberi jalan maupun kesempatan bagi pejalan kaki maupun kendaraan lain yang hendak melintas di depannya. Menurut hasil studi Bhinnety dan Arumeswari (2010) dinyatakan bahwa terdapat hubungan antara persepsi individu mengenai keadaan keselamatan yang ingin dicapai dengan kepatuhan individu terhadap peraturan keselamatan lalu lintas. Studi tersebut dilakukan pada pengendara sepeda motor yang melintasi wilayah kampus UGM. Kepatuhan pengendara di jalan raya sangat dipengaruhi oleh banyak hal di antaranya
3 adalah kesiapan kendaraan yang dikendarai, waktu yang tersedia untuk mencapai tujuan perjalanan, faktor penegak hukum yang ada di lokasi, maupun emosi dari pengendara itu sendiri. Seringkali dijumpai di jalanan, banyak pengendara yang patuh pada peraturan lalu lintas karena melihat ada penegak hukum yang siaga di jalan maupun pos polisi, atau karena daerah tersebut sudah terkenal ketat dengan peraturan lalu lintasnya (kawasan tertib lalu lintas). Ketidakpatuhan pengendara sering kali dipicu oleh pengendara lain yang tidak tertib, sehingga menggangu emosi si pengendara untuk ikut tidak mematuhi peraturan lalu lintas. Seperti yang telah diketahui bahwa peningkatan keadaan emosi pengendara dapat menimbulkan berbagai efek domino dalam perilaku berkendara di jalan raya. Contoh lain adalah Beijing, kota yang pernah dijuluki sebagai kota tersibuk di Asia. Rata-rata penduduk Beijing memerlukan waktu satu jam untuk perjalanan ke tempat kerja. Lamanya waktu yang tersita di jalan raya ditambah dengan keadaan macet mampu membuat pekerja frustrasi. Sebesar 69% pekerja pernah memilih untuk kembali ke rumah dibandingkan harus terjebak macet di jalan dan 84% pekerja merasa bahwa kondisi frustrasi yang dirasakan saat di jalan raya membuat mereka mengalami penurunan kinerja di kantor (Susantono, 2014). Peningkatan emosi yang dirasa pengendara dapat membuat pengendara menjadi frustrasi dan stres, bahkan membuat intensi berperilaku agresif meningkat (Anonim, 2015). Contoh konkret pelanggaran lalu lintas yang terjadi karena dipicu oleh emosi antara lain sering dijumpai saat antrean lampu lalu lintas yang panjang, pengendara di belakang membunyikan klakson agar kendaraan di depannya segera jalan padahal keadaan di depannya masih macet. Contoh konkret lainnya adalah pengendara melanggar marka jalan. Marka berupa garis putus-putus berarti pengendara diperkenankan untuk melewati jalur tersebut, marka satu garis menyatu tanpa putus berarti pengendara tidak boleh melewati, sedangkan marka garis ganda tanpa putus berarti pengendara sama sekali dilarang untuk
4 melewati jalur tersebut. Banyak dijumpai pengendara yang melanggar kedua marka garis lurus karena ingin selalu berada di depan atau memperoleh prioritas untuk jalan. Pelanggaran lain adalah pelanggaran penggunaan trotoar oleh pengendara sepeda motor. Pengendara menerobos trotoar yang sejatinya digunakan untuk pejalan kaki. Bentuk pelanggaran lain adalah pengendara melawan arus jalan dengan alasan lebih cepat atau kesulitan untuk memotong jalur . Pada bulan Juni tahun 2013 peneliti melakukan kegiatan observasi di simpang empat MM UGM Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Pengamatan dilakukan dengan metode observasi non-partisipatif dengan time sampling. Metode time sampling merupakan berbagai peristiwa yang terjadi pada saat kegiatan pengamatan dilakukan (Kerlinger, 1973). Penulis tidak terlibat aktif dalam melakukan aktivitas subjek yang diteliti. Penulis hanya mengamati dan mencatat apa yang dilakukan subjek dalam kurun waktu tertentu. Tujuan pengamatan dengan metode tersebut agar data yang diperoleh adalah data natural dari perilaku yang ditunjukkan subjek. Pengamatan dilakukan dalam kurun waktu 15 menit. Metode pencatatan yang dilakukan adalah anecdotal record yaitu peristiwa yang dicatat merupakan peristiwa nyata yang diamati oleh peneliti (Hayes, 2000). Tujuan penggunaan metode tersebut agar peneliti tidak kehilangan setiap momen penting saat observasi dan agar data yang dikumpulkan lebih objektif. Pada saat pengamatan, cuaca cukup terik dan kondisi jalan cukup ramai karena kebetulan saat itu adalah waktu istirahat kerja saat waktu makan siang bagi mahasiswa dan karyawan. Padatnya kendaraan di jalan membuat kendaraan lain sulit untuk bergerak. Ketika lampu lalu lintas berubah dari merah menjadi warna hijau pengendara segera menarik tuas gas secara cepat. Hal yang sama diikuti oleh lima pengendara lain yang memacu kendaraannya. Pada saat transisi lampu hijau selanjutnya seorang pengendara sepeda motor membunyikan klakson kendaraannya dengan kencang.
5 Dari penjabaran mengenai hasil pengamatan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat contoh konkret dari aggressive driving. Aggressive driving adalah keadaan ketika individu melakukan pergerakan di jalan raya dengan cara ofensif sehingga dapat membahayakan orang lain maupun lingkungan (NHTSA, 2009). Houston, Haris, & Norman (2013) menjelaskan bahwa terdapat dua aspek dalam aggressive driving yaitu conflict behavior dan speeding. Contoh konkret dari aspek conflict behavior yaitu ketika pengendara membunyikan klakson dengan kencang, sedangkan contoh konkret dari aspek speeding yaitu ketika pengendara saat mempercepat laju kendaraan pada saat transisi perubahan warna lampu pengatur lalu lintas dari hijau-kuning menuju merah, pengendara melakukan hal itu untuk menghindari lampu merah, enggan menunggu giliran jalan. Pada kondisi jalanan yang sangat ramai seperti kondisi saat ini, pengendara merasakan stressor fisik berupa polusi dari asap kendaraan lain, suara bising dari berbagai kendaraan lain, dan kepadatan yang ditimbulkan oleh berbagai kendaraan. Pengendara dapat merasakan peningkatan emosi negatif dan penurunan performa berkendara (Bell, Greene, Fisher, & Baum, 2001). Contoh konkret dari perilaku aggressive driving dijumpai peneliti saat melakukan wawancara awal kepada dua mahasiswa Fakultas Psikologi UGM pada bulan Juli 2015 dengan hasil sebagai berikut: “Kalo naik motor tuh panaaaas, kadang ada pengendara lain yang resek... kalo pelan, pelan bangeet atau di tengah. Kalo mau nyalip jadi bingung... trus... suka ada yang nggak pake lampu sign, apalagi ya... oooo, ada yang ngebut banget tapi ga liat... Kalo lagi berani sih disebelahin trus tak katain “mas, ati-ati mas” “mas, matanya dipake mas” “mas, simnya nembak ya?” trus kalo lagi berani banget ya mengacungkan jari tengah...” “Hmm, selama ini ya gimana ya... kadang ada yang berlawanan arah, kadang kita sampe mlipir trus mau jatuh... kalo pada ga ati-ati ya sebel, ya sebel karena nggak memperhatikan pengendara lain... paling aku cuma marah-marah dalam hati atau teriak haaaah trus yaudah...” Tasca (2000) mengemukakan bahwa aggressive driving dapat terjadi karena kondisi internal individu dan kondisi eksternal dari lingkungan. Kondisi internal dapat berupa
6 keadaan emosi dan persepsi, sementara kondisi eksternal dapat berupa faktor lingkungan dan faktor teman sebaya. Wickens, Mann, & Wiesenthal (2013) menjelaskan bahwa aggressive driving dipengaruhi oleh dua faktor yaitu person-related contributions yang terdiri atas kondisi demografis pengendara, regulasi emosi, kognisi, dan penggunaan NAPZA. Faktor kedua adalah situation-related contributions yang terdiri atas faktor lingkungan dan faktor situasi. Kondisi emosi individu dapat berubah sewaktu-waktu dari emosi positif menjadi emosi negatif karena keadaan jalanan yang tengah dilalui maupun karena permasalahan lain yang tiba-tiba terlintas di benak individu saat tengah berkendara di jalan (Tasca, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Ellison-Potter dkk., (2000) dalam Bell dkk., (2001) menemukan bahwa individu yang duduk di bangku kuliah ketika diminta untuk mencoba simulator berkendara, mereka menujukkan cara berkendara yang sangat agresif dan terlibat dalam banyak kecelakaan serta membunuh pejalan kaki di simulator tersebut. Muhaz (2013) melakukan penelitian terhadap mahasiswa yang mengendarai sepeda motor sehari-hari di Malang, mengemukakan bahwa semakin tinggi kematangan emosi mahasiswa maka akan semakin rendah perilaku aggressive driving di jalan. Berdasarkan contoh konkret mengenai aggressive driving di jalan raya dan kesulitan individu untuk meregulasi emosi di jalan raya, idealnya individu harus mampu untuk meregulasi emosi ketika berkendara untuk mencegah terjadinya perilaku aggressive driving. Di samping itu, pengendara sepeda motor di jalan raya seharusnya tidak melakukan perilaku aggressive driving karena hal tersebut mampu mengakibatkan berbagai permasalahan seperti membuat orang lain marah bahkan sampai kecelakaan. Pada penelitian ini dipelajari hubungan antara regulasi emosi pada pengendara dengan aggressive driving dalam perilaku berkendara. Oleh karena itu, timbul pertanyaan yang dapat dirumuskan apakah terdapat hubungan antara regulasi emosi dengan aggressive driving pada mahasiswa.
7
B. Tujuan Penelitian 1. Menguji hubungan antara regulasi emosi dengan aggressive driving pada mahasiswa. 2. Mengetahui sumbangan efektif regulasi emosi terhadap aggressive driving pada mahasiswa.
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam bidang ilmu psikologi terapan. b. Memberikan landasan dan mendorong adanya penelitian lain terkait dengan penelitian perilaku berkendara. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Pembuat Kebijakan Lalu Lintas Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk pembuatan kebijakan lalu lintas selanjutnya. b. Bagi Pengendara Penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran bagi para pengendara agar dapat mengendarai kendaraan secara lebih waspada.