BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial dan alat kesehatan dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan dengan pemerataan. Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara essensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat. Penggunaan obat harus dilakukan secara rasional (Anonim, 2009). Menurut WHO, lebih dari 50% obat diresepkan dan dibuat dengan tidak benar. Banyak obat-obatan yang diresepkan padahal tidak dibutuhkan. Penggunaan obat yang rasional mempunyai kontribusi terhadap tingginya kualitas pelayanan kesehatan. Sedangkan, penggunaan obat yang tidak rasional akan membawa resiko dan menyebabkan pemborosan persediaan obat-obatan di sistem pelayanan kesehatan (Anonim, 2006). Konsep menulis resep yang rasional merupakan sebuah pegangan. Artinya, hanya memberikan obat yang betul-betul pasien perlukan saja. Dan, dari obat yang diperlukan, dipilih yang paling ringan efek sampingnya, selain paling murah menebusnya (cost-benefit). Sehingga, pasien tidak menerima efek samping obat
1
2
yang tidak diperlukan selama pengobatan dan biaya yang membengkak (Nadesul, 2006). WHO berupaya melakukan peningkatan pada praktek penggunaan obat rasional yang telah dirintis sejak 1985 melalui konferensi di Nairobi dan dikembangkan indikator-indikator penilaian terhadap penggunaan obat di pusat pelayanan kesehatan di suatu kawasan oleh International Network for the Rational Use of Drug (INRUD) WHO, yang terdiri dari jumlah item obat per lembar resep, persentase peresepan obat dengan nama generik, persentase peresepan obat antibiotik, persentase peresepan sediaan injeksi dan persentase peresepan obat yang sesuai dengan formularium (INRUD, 1993) yang kemudian ditetapkan pada tahun 1993 sebagai metode dasar untuk menilai penggunaan obat pada instalasi rawat jalan di suatu fasilitas kesehatan yang akan menggambarkan pola penggunaan obat di suatu kawasan. Undang - Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial
(BPJS)
menyatakan
bahwa
BPJS
Kesehatan
mulai
menyelenggarakan program JKN pada tanggal 1 Januari 2014. Selain itu, Peraturan Menteri Kesehatan No. 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN menyatakan bahwa pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang diberikan kepada peserta berpedoman pada daftar yang ditetapkan oleh Menteri yang dituangkan dalam Formularium Nasional dan Kompendium Alat Kesehatan sehingga diperlukan pemantauan kesesuaian obat yang diresepkan dengan daftar obat dalam Formularium Nasional sebagai kendali mutu dan kendali biaya pada fasilitas pelayanan kesehatan.
3
Penelitian dilakukan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan penggunaan obat rasional dengan menganalisis peresepan di RSUD Kota Yogyakarta menggunakan indikator peresepan WHO 1993 dan dilanjutkan dengan memeriksa kesesuaian peresepan pasien JKN dengan Formularium Nasional. Data yang diperoleh akan memberikan informasi mengenai kegiatan peresepan di rumah sakit dan mendukung kerasionalan penggunaan obat, serta diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan evaluasi bagi RSUD Kota Yogyakarta, dokter, apoteker, tenaga kesehatan, serta Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat.
B. Rumusan Masalah Bagaimana penggunaan obat pada pasien JKN rawat jalan di RSUD Kota Yogyakarta di bulan Januari hingga Juni 2014 berdasarkan indikator peresepan WHO 1993 dan Formularium Nasional dengan melihat: a. Berapakah rata-rata jumlah obat tiap lembar resep untuk pasien rawat jalan? b. Berapakah persentase obat dengan nama generik yang diresepkan untuk pasien rawat jalan? c. Berapakah persentase lembar resep yang berisi antibiotik untuk pasien rawat jalan? d. Berapakah persentase lembar resep yang berisi sediaan injeksi untuk pasien rawat jalan? e. Berapakah persentase peresepan pasien JKN yang sesuai dengan formularium nasional?
4
C. Tujuan Penelitian Menganalisis kesesuaian peresepan berdasar indikator peresepan WHO 1993 dan Formularium Nasional pada resep-resep pasien JKN rawat jalan di RSUD Kota Yogyakarta Periode Januari – Juni 2014 dengan melihat: a. Berapakah rata-rata jumlah obat tiap lembar resep untuk pasien rawat jalan? b. Berapakah persentase obat dengan nama generik yang diresepkan untuk pasien rawat jalan? c. Berapakah persentase lembar resep yang berisi antibiotik untuk pasien rawat jalan? d. Berapakah persentase lembar resep yang berisi sediaan injeksi untuk pasien rawat jalan? e. Berapakah persentase peresepan pasien JKN yang sesuai dengan formularium nasional?
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan memberi manfaat sebagai berikut: 1. Bagi rumah sakit: a. Sebagai salah satu informasi tentang peresepan obat pada pasien di rumah sakit. b. Sebagai masukan untuk upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. 2. Bagi pemerintah: a.Memberikan informasi tentang penggunaan obat dalam penerapan JKN.
5
b.Sebagai pertimbangan dalam peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, khususnya pada layanan kefarmasian di rumah sakit menghadapi penerapan JKN secara menyeluruh. 3. Bagi peneliti: Meningkatkan pengetahuan akan dunia kesehatan dan farmasi, sekaligus sebagai sarana untuk mengaplikasikan dan mengembangkan ilmu yang diperoleh.
E. Tinjauan Pustaka 1. Resep Menurut SK Menkes.No.922/Menkes/Per/X/1993 disebutkan bahwa resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan, kepada Apoteker Pengelola Apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Yang berhak menulis resep adalah dokter, dokter gigi, dan dokter hewan sedangkan yang berhak menerima resep adalah apoteker pengelola apotek yang bila berhalangan tugasnya dapat digantikan Apoteker Pendamping/Apoteker pengganti atau Asisten Apoteker di bawah pengawasan dan tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek (APA). Penulisan resep khususnya di rumah sakit berdasarkan Formularium Rumah Sakit dan formularium yang lain, selain itu juga mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 085/Menkes/Per/I/1989 tentang kewajiban menuliskan resep dan atau menggunakan obat generik di rumah sakit umum atau fasilitas pelayanan pemerintah.
6
2. Penggunaan Obat Rasional Penggunaan obat dikatakan rasoional bila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis dalam periode waktu yang adekuat dengan biaya yang terendah bagi pasien dan masyarakat (Anonim, 2012). Istilah penggunaan obat yang rasional dalam konteks biomedis mencakup kriteria berikut: a. Obat yang benar, b. Indikasi yang tepat, yaitu alasan menulis resep didasarkan pada pertimbangan medis yang baik, c. Obat yang tepat, mempertimbangkan kemanjuran, keamanan, kecocokan bagi pasien dan harga, d. Dosis pemberian dan durasi pengobatan yang tepat e. Pasien yang tepat yaitu tidak ada kontraindikasi dan kemungkinan reaksi merugikan adalah minimal, f. Dispensing yang benar, termasuk informasi yang tepat bagi pasien tentang obat yang ditulis, g. Kepatuhan pasien terhadap pengobatan (Siregar, 2006). Quick dkk (1997), berpendapat bahwa peresepan dikatakan rasional bila memenuhi kriteria tepat dosis, memilih obat yang terbaik dari pilihan yang tersedia, memberi resep dengan dosis dan waktu yang cukup serta berdasarkan pedoman pengobatan yang berlaku. Peresepan irrasional dapat dikelompokkan menjadi (Quick dkk,1997):
7
a. Peresepan boros, yaitu pemberian obat baru dan mahal, padahal tersedia obat yang lebih murah dan sama efektif dan amannya, atau penggunaan obat dengan nama dagang walaupun tersedia obat generik, b. Peresepan berlebihan, yaitu yang mengandung obat yang tidak diperlukan, dosis terlalu tinggi, pengobatan terlalu lama, atau jumlah yang diberikan lebih dari yang diperlukan. Terdapat beberapa jenis obat yang diberikan kepada pasien tanpa indikasi yang jelas dan tepat, c. Peresepan salah, yaitu obat diberikan dengan dosis yang keliru, obat yang dipilih untuk suatu indikasi tertentu tidak tepat, d. Polifarmasi, yaitu penggunaan dua atau lebih obat, padahal satu obat sudah mencukupi atau pengobatan setiap gejala secara terpisah, padahal pengobatan terhadap penyakit primernya sudah dapat mengatasi semua gejala, dan e. Peresepan kurang, yaitu tidak memberikan obat yang diperlukan, dosis tidak mencukupi, atau pengobatan terlalu singkat. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pola peresepan menurut Quick dkk, (1997) adalah : a. Faktor komunikasi, yaitu informasi yang tidak bias dan pengaruh industri, b. Faktor pelaku peresepan, yaitu pengetahuan yang kurang tentang kebiasaan dan pengalaman sebelumnya, c. Faktor hubungan pelaku peresepan dengan pasien, yaitu kepercayaan, kebudayaan dan tekanan pasien,
8
d. Faktor kelompok kerja, kebijakan prosedur dan tekanan senioritas, dan faktor tempat kerja, yaitu tugas terlalu banyak dan infrastruktur yang harus mendukung.
3. Indikator peresepan WHO Indikator yang telah dikembangkan oleh WHO yaitu suatu instrumen indikator peresepan untuk memantau gambaran penggunaan obat secara umum di suatu pelayanan kesehatan pengobatan yang rasional yang dikembangkan oleh International Network for the Rational Use of Drug (INRUD) yang kemudian ditetapkan oleh WHO (1993) sebagai metode dasar untuk menilai penggunaan obat di unit-unit rawat jalan. Indikator tersebut dapat digunakan untuk mengukur pelaksanaan penyediaan beberapa dimensi pokok pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan obat yang dapat dilakukan secara retrospektif maupun prospektif (INRUD, 1993). Penilaian tentang penggunaan obat di fasilitas kesehatan dapat dibedakan menjadi tiga indikator yaitu (INRUD, 1993) : a. Indikator peresepan terdiri dari : 1) Rata-rata jumlah obat per lembar resep, 2) Persentase peresepan obat dengan nama generik, 3) Persentase peresepan obat dengan antibiotik, 4) Persentase peresepan obat dengan injeksi, 5) Persentase peresepan yang sesuai dengan formularium.
9
Hasil penelitian (estimasi) terbaik untuk Indikator Peresepan WHO 1993, adalah sebagai berikut : 1) Rata-rata jumlah item obat per lembar resep adalah 1,8 – 2,2 item per lembar resep, 2) Persentase peresepan obat dengan nama generik adalah > 82,00 %, 3) Persentase peresepan obat dengan antibiotik adalah <22,70 %, 4) Persentase peresepan obat dengan sediaan injeksi adalah seminimal mungkin, 5) Persentase peresepan yang sesuai dengan formularium adalah 100%. b. Indikator pelayanan pasien terdiri dari : Hasil penelitian (estimasi) terbaik untuk Indikator Pelayanan Pasien WHO 1993, adalah sebagai berikut : 1) Rata-rata lamanya waktu konsultasi dengan dokter adalah 2,3 – 6,3 menit, 2) Rata-rata waktu peracikan obat adalah 12,5 – 86,1 detik, 3) Persentase obat yang benar-benar diserahkan kepada pasien adalah 100 %, 4) Persentase obat-obat yang telah dilabel dengan benar adalah 100% 5) Pengetahuan pasien dalam memahami cara penggunaan obat yang benar adalah 100%. c. Indikator fasilitas kesehatan terdiri dari : 1) Ketersediaan daftar obat-obat penting atau formularium 2) Ketersediaan obat-obat kunci (drug of choice). Hasil penelitian (estimasi) terbaik untuk Indikator Pelayanan Pasien WHO 1993, adalah sebagai berikut : 1) Tersedia daftar obat-obat penting atau formularium,
10
2) Persentase ketersediaan obat-obat kunci (drug of choice) adalah 100 %.
4. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan. Sebelumnya, telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda).
Namun
demikian,
skema-skema
tersebut
masih
terfragmentasi, terbagi - bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali. (Anonim, 2014b). Untuk mengatasi pelayanan kesehatan yang sulit dikendalikan, dalam UU Nomor 40 Tahun 2004, pemerintah mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sehingga diharapkan dapat membangun pelayanan kesehatan yang layak bagi bangsa Indonesia (Anonim, 2014a). Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 328 / MENKES / SK / VIII / 2013 tentang Formularium Nasional, tercantum daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan
11
sebagai acuan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam hal obat yang dibutuhkan tidak tercantum dalam Formularium Nasional, dapat digunakan obat lain secara terbatas berdasarkan persetujuan komite medik dan Kepala/Direktur Rumah Sakit setempat.
5. Obat Generik Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang telah ditetapkan oleh Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Obat generik menggunakan tata nama obat yang mengacu pada International Nonpropietary Names (INN) dalam bahasa Inggris dan dicantumkan juga sesuai dengan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) (Anonim, 1989). Obat generik di Indonesia dibuat sesuai dengan standar Indonesia dan dijamin mutunya oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Jika dibandingkan dengan obat paten, obat generik memiliki harga yang jauh lebih murah karena tidak terdapat biaya promosi yang setinggi obat paten. Hal ini mengakibatkan obat generik kurang dikenal oleh masyarakat, padahal memiliki efektivitas yang sama karena bahan baku dan teknologi produksi yang sama dengan obat paten. Penetapan harga obat paten biasanya mengikuti harga pokok obat paten dari pabrik penemu obat yang sama yang memperhitungkan pengembalian investasi untuk penelitian obat baru, sedangkan obat generik tidak (Pane, 1998).
12
6. Antibiotik Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh (Setiabudy dan Gan, 1995). Prinsip penggunaan antibiotik yang bijak, salah satunya yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum sempit pada indikasi yang ketat dengan dosis adekuat, interval dan lama pemberian yang tepat. Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil laboratorium. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit yang disebabkan oleh virus atau penyakit yang sembuh sendiri (Anonim,2011a). Peresepan antibiotik yang rasional menurut WHO (1993) yaitu persentase pemakaian antibiotik di unit pelayanan kesehatan < 22,7 %. Penggunaan antibiotik yang tidak perlu harus dihindari mengingat beberapa hal seperti efek samping, reaksi alergi, biaya, pengaruhnya terhadap flora normal endogen dan induksi resistensi antibiotik (pengaruhnya terhadap penderita maupun seluruh komunitas).
Seperti
obat-obat
yang
lain
penggunaan
antibiotik
harus
mempertimbangkan untung ruginya ( Shulman dkk., 1994).
7. Injeksi Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan,
13
yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir (Anief, 2000). Berdasarkan WHO (1993), jumlah pemakaian injeksi di unit-unit pelayanan kesehatan berasal dari pasien rawat inap karena obat dengan sediaan injeksi hanya dapat diberikan kepada penderita di rumah sakit atau di tempat praktik dokter, oleh dokter atau perawat yang kompeten. Sehingga sudah seharusnya jika tidak ada sediaan injeksi yang diresepkan untuk pasien rawat jalan, kecuali untuk IGD dan keperluan pemakaian sendiri, misalnya insulin.
8. Profil Rumah Sakit Rumah Sakit Jogja adalah rumah sakit yang berada di bagian Selatan Kota Yogyakarta. Pasien yang dilayani tidak hanya berasal dari wilayah kota Yogya melainkan juga melayani pelanggan dari wilayah Bantul, Sleman, Gunung Kidul, dan luar Propinsi DIY. Rumah Sakit Jogja beralamat di Jl. Wirosaban No. 1 Yogyakarta, Telpon : (0274) 371195 (Hunting 3 nomor) dengan 50 ext. Faxs : (0274) 385769, e-mail :
[email protected]. Kegiatan operasional rumah sakit mulai berlangsung sejak 1 Oktober 1987 dan merupakan pengembangan dari Klinik Bersalin Tresnowati yang beralamat di Jalan Letkol Sugiyono Yogyakarta, menjadi rumah sakit umum dengan tipe kelas "D" dan dikenal sebagai Rumah Sakit Wirosaban. Berdasarkan SK. MENKES RI No: 496/MENKES/SK/V/1994 ditetapkan sebagai Rumah Sakit Umum tipe C milik Pemerintah Kota Yogyakarta.
14
Keberadaan Rumah Sakit ini dikukuhkan dengan PERDA Nomor : 1 Tahun 1996 sebagai UPT dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Dalam hal pengelolaan keuangan maka pada tahun 1999 dilakukan uji coba sebagai RS SWADANA sesuai KEPPRES No : 38 Tahun 1991. Pada tanggal 20 Desember 2000 ditetapkan sebagai RS Unit Swadana dengan PERDA No : 42. Dalam perkembangannya pengelolaan keuangan Rumah Sakit ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum Daerah dengan Penetapan menjadi Pola Pengelolaan Keuangan (PPK) secara penuh BLUD oleh keputusan Walikota Yogyakarta No. 423/Kep/2007 tanggal 12 September 2007 dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 59/2007 tanggal 13 September 2007 tentang Pedoman Teknis PPK BLUD RSUD. Oleh karena perkembangan dan penambahan jenis dan jumlah tenaga dokter spesialis, penambahan jenis pelayanan, penambahan sarana, dan sarana rumah sakit, maka RSUD Kota Yogyakarta meningkat kelasnya menjadi kelas B, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1214/MENKES/SK/IX/2007 tanggal 28 November 2007 sebagai Rumah Sakit Klas B Non Pendidikan. Penetapan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta menjadi Rumah Sakit Klas B Non Pendidikan mengubah susunan dan tata kerja organisasi telah disempurnakan dengan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan, Kedudukan, dan Tugas Pokok Lembaga Teknis Daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007. Uraian Rincian Tugas para pejabatnya ditetapkan berdasar Peraturan Walikota No.6 Tahun 2012.
15
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor : 337/KEP/2010 tanggal 8 Juni 2010 tentang Nama dan Logo Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta menetapkan nama baru sebagai Rumah Sakit Jogja dan juga telah ditetapkan Logo Rumah Sakit Jogja yang baru (Anonim, 2014c).
F. Keterangan Empiris Penelitian dilakukan untuk analisis penggunaan obat pada pasien JKN rawat jalan di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RSUD Kota Yogyakarta pada periode Januari 2014-Juni 2014 sesuai dengan standar acuan indikator peresepan WHO (1993), meliputi : 1. Rata-rata jumlah obat per resep untuk pasien rawat jalan, 2. Persentase peresepan obat dengan nama generik, 3. Persentase peresepan obat dengan antibiotik, 4. Persentase peresepan obat dengan injeksi, 5. Persentase peresepan yang sesuai dengan formularium nasional.
16