1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tepat pada tahun 1952 ketika Mesir masih dipimpin oleh Raja Farouk, sekelompok tentara melakukan kudeta terhadapnya. Sekelompok militer tersebut menamakan diri sebagai Perwira Bebas atau The Free Officers yang dipimpin oleh jenderal Muhammad Naguib. Kudeta tersebut dilandasi karena kekecewaan kubu militer Mesir terhadap Raja karena berkurangnya dana untuk militer dalam perang melawan Israel (Sihbudi dkk, 2001: 84). Militer Mesir, merupakan salah satu badan militer yang terkuat di kawasan Timur Tengah. Setelah Raja Farouk lengser dari jabatannya sebagai raja Mesir, militer Mesir memegang peranan penting dalam situasi perpolitikan saat itu. Tugas-tugas militer juga bukan hanya sebagai aparatur negara dalam menjaga keamanan, tapi juga berperan dalam berbagai kebijakan politik. Para perwira tersebut kemudian membentuk Dewan Komando Revolusi (RCC), yang pada akhirnya mengubah bentuk negara Mesir (Widyarsa, 2012: 275). Setahun setelah pembentukannya, RCC membubarkan bentuk negara monarki dan mendeklarasikan Mesir sebagai negara Republik. Pada 1954, Gamal Abdul Nasser resmi menjadi Presiden Mesir yang sah dengan Mesir yang telah berbentuk republik. Kelompok Ikhwa>nul Muslimi>n (IM) yang didirikan oleh Hasan Al-Banna dilarang keras setelah rezim militer mulai berkuasa. Hal ini menjadikan kekuasaan militer semakin kuat dalam ranah perpolitikan di Mesir. Kalangan ilmuwan pada tahun 1950-an juga menganggap militer sebagai badan
1
2
otonom yang memiliki tingkat progesitas tinggi dalam proses demokratisasi (Cook, 2007: 14). Dalam hal ini, politik menjadi tumpuan utama dalam peningkatan peran militer di Mesir. Nasser berambisi untuk menjadikan Mesir sebagai negara yang benar-benar berada dibawah kendalinya. Hal itu dibuktikan dari berbagai kebijakannya yang bersifat condong pada kekuasaan serta penyelesaian urusan-urusan yang tergolong singkat. Setelah semua tuntas, konstitusi baru yang telah disahkan menjadikan posisi presiden semakin kuat. Di sisi lain, Nasser ingin menyatukan negara-negara Arab setelah melihat pasca PD I dunia Arab terpecah menjadi beberapa wilayah. Namun usaha itu tidak membuahkan hasil. Pemerintahan selanjutnya dipegang oleh Anwar Sadat yang juga berasal dari kelompok militer. Sadat tidak seperti Nasser yang memperjuangkan nasionalisme atau persatuan Arab. Sadat adalah penganut nasionalisme Mesir dan liberalis (Sihbudi dkk, 1933: 94). Berbeda dengan Nasser, Sadat mengeluarkan kebijakan dengan memperbolehkan sistem multi partai. Namun, ia juga mendirikan Partai Nasional Demokrat (NDP). NDP tidak jauh berbeda dengan partai Persatuan Sosialis Arab (ASU) yang pernah didirikan oleh Nasser. NDP berperan sebagai basis kekuatan Sadat dalam melancarkan strategi politiknya. Meskipun dia memperbolehkan sistem multi partai serta kebebasan pers yang dimulai sejak perubahan konstitusi Mesir tahun 1980 dan 1981, NDP tetap menjadi partai terbesar yang mendominasi pemerintahan dan tidak dapat tersaingi oleh partaipartai lain. Pemerintahan selanjutnya berpindah ke tangan Hosni Mubarak yang untuk ketiga kalinya berasal dari kelompok militer. Hosni Mubarak adalah pemimpin
3
Mesir yang terlama. Masa jabatan hingga tiga puluh tahun memberikan kesan tersendiri bagi Mesir sebagai negara yang perkasa akan kemiliteran. Kebijakankebijakan yang dikeluarkan oleh Mubarak tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya. Meskipun kebebasan dalam partai politik lebih longgar dari pada masa
sebelumnya, NDP yang merupakan partai pemerintah masih unggul
dibanding partai lainnya. Ini terlihat saat pemilu Mei 1984, NDP memperoleh 390 kursi dalam pemerintahan, sedangkan partai Wafd Baru yang berkoalisi dengan IM hanya memperoleh 58 kursi (Sihbudi dkk, 1933: 96). Mubarak ingin menghidupkan Demokrasi di Mesir, namun dia juga telah memastikan bahwa kelompoknya tetap akan menduduki posisi tertinggi dalam pemerintahan. IM memang telah dilegalkan oleh Mubarak, namun pergerakannya masih dibatasi. Sebab, IM merupakan kelompok yang condong ke salah satu Agama (baca : Islam). Meskipun dalam konstitusi tahun 1971 pasal 2, telah disebutkan bahwa Islam adalah agama resmi negara dan syariat Islam adalah sumber perundang-undangan, Mubarak belum menjalankannya secara sempurna. Mubarak tetap ingin menjadikan kelompoknya sebagai kekuatan terbesar dalam kursi-kursi pemerintahan Mesir dan tidak mempedulikan pihak yang tak sejalan dengannya. Estafet pemerintahan mulai menunjukan aroma pergantian. Tepat pada 11 Februari 2011 rezim Hosni Mubarak berhasil ditumbangkan oleh rakyatnya sendiri karena kediktatorannya. Salah seorang demonstran,
Essam Abdul Qader
mengatakan bahwa masyarakat sudah muak melihat pola kepemimpinan politik di Mesir (republika.co.id: 1 Februari 2011). Kemarahan masyarakat Mesir hingga ke permukaan juga tidak dapat dibendung oleh kekuatan militer dan aparat kepolisian. Semua elemen masyarakat
4
bersatu untuk perubahan sistem pemerintahan Mesir yang lebih baik. Elemen tersebut bukan hanya berasal dari satu kelompok (Islam), tetapi terdiri dari kubu Muslim, Kristen, dan sekuler Mesir. Para pemimpin di Eropa mengindikasikan bahwa Islam adalah dibalik kekacauan pemerintahan Mubarak. Tetapi, wartawan Al Jazi>ra Ayman, Mohyeldin, menyebutkan bahwa sinyalemen gerakan massa hanya dimotori kubu Islamis adalah salah besar. Demo melibatkan semua masyarakat yang marah dengan Mubarak. Kaum Muslim, Kristen, dan sekuler bergandengan tangan di Tahrir Square (republika.co.id: 2 Februari 2011). Selain demo besar-besaran yang dilakukan para demonstran pasca pengunduran Mubarak dari jabatannya, jalan-jalan di kota-kota Mesir juga semakin dipenuhi dengan seni grafiti-grafiti baik pro-demokrasi maupun proMubarak. Para seniman grafiti itu terus bekerja, baik menggunakan dinding, bangunan, jembatan dan trotoar sebagai kanvas untuk mengecam para jenderal yang mengambil kekuasaan setelah Mubarak lengser. Mereka menuntut revolusi yang sebenar-benarnya (republika.co.id: 29 Januari 2012). Kemarahan rakyat Mesir atas kebobrokan pemerintahan Hosni Mubarak menciptakan suasana perlawanan rakyatnya sendiri dari segala arah. Terjadinya ledakan perlawanan tersebut, tentu menimbulkan luka yang pilu bagi setiap individu. Tetapi atas rasa nasionalisme yang tinggi, perubahan menuju Mesir yang lebih baik akan selalu ditempuh oleh seluruh rakyat apapun resikonya. Hal ini sudah terbukti dengan peristiwa pelengseran Mubarak dengan demonstrasi dan cara-cara lainnya (baca: media sosial) dari seluruh elemen masyarakat. Setahun
setelah
pelengseran
Hosni
Mubarak,
Mesir
merayakan
kemenangannya dengan mengadakan pesta demokrasi rakyat. Melalui pemilihan
5
langsung, posisi presiden akhirnya dimenangkan oleh seorang tokoh yang berlatar belakang agamis dan berasal dari kelompok IM, Muhammad Mursi. Mursi adalah presiden yang nyata dipilih secara demokratis untuk pertama kalinya. Mursi yang berasal dari kelompok agamis telah menunjukan beberapa perbedaan dalam polapola demokrasi yang akan dia terapkan. Hal itu juga telah dibuktikan dengan beberapa kebijakannya yang pro-IM serta Islam. Namun, tindakan tersebut memunculkan respon negatif dari berbagai kalangan termasuk badan militer yang sebelumnya berkuasa. Salah satu kebijakan yang paling kontroversial dari Mursi adalah Dekrit Presiden 22 November 2012 yang berisi bahwa segala keputusannya melebihi hukum legal sampai parlemen baru terpilih. Hal ini oleh lawan politiknya dianggap sebagai kejahatan hukum. Sameh Ashour, ketua sindikasi pengacara kelompok oposisi mengatakan bahwa itu sama dengan kudeta melawan legitimasi (bbc.com: 23 November 2012). Meskipun Mursi mengatakan bahwa dekrit tersebut dikeluarkan demi membersihkan institusi negara serta menghancurkan infrastruktur rezim lama, masyarakat Mesir dan seluruh komponen negara yang mengimpikan demokrasi merasa dicederai. Dekrit tersebut juga mendapatkan komentar dari Wael Ghonim –salah satu tokoh kunci dalam penggulingan Hosni Mubarak- bahwa revolusi tidak dibuat untuk menjadi “diktator baik”1 (kompas.com: 23 November 2012). Ujung pangkal dari permasalahan-permasalahan tersebut, membangkitkan kembali badan militer yang didahului dengan aksi protes besar-besaran oleh massa
1
Maksudnya adalah bahwa Mursi dianggap sebagai seorang diktator yang berkedok agamis, sehingga terlihat baik dan nasionalis namun dibalik itu adalah seorang yang otoriter.
6
penentang Mursi. Kudeta terhadap Mursi yang langsung dilakukan oleh para tentara Mesir menjadi jawaban atas sikap Mursi. Pihak militer kemudian membekukan konstitusi Mesir serta membentuk komite independen yang beranggotakan berbagai macam unsur masyarakat untuk menyusun konstitusi baru Mesir. Bahkan pengumuman “Peta Jalan Bagi Masa Depan Mesir” oleh pihak militer juga dihadiri dari berbagai pihak seperti Syeikh Agung Al-Azhar Prof. Dr. Ahmed Al-Thayeb, Pemimpin Gereja Koptik Mesir Baba Tawadrous II, dan Tokoh Oposisi Mesir Muhammad El-Baradei. Ketiga tokoh nasional Mesir itu juga memberikan tanggapan singkatnya terhadap kudeta militer baik yang bernada netral maupun mendukung secara terang-terangan (Hamdani, 2013: 1). Berdasarkan urutan kejadian sejak pelengseran Hosni Mubarak hingga kudeta terhadap Mursi, penulis melihat bahwa Mesir merupakan negara yang belum siap untuk menerapkan sistem demokrasi secara utuh. Hal ini dikarenakan Mesir dapat mengalami dua kali revolusi dalam dua setengah tahun. Dari jumlah tersebut kedua-duanya dilakukan dengan cara kekerasan baik dari sisi masyarakat sipil, aparat kepolisian, maupun badan militer itu sendiri. Kekerasan dalam pergantian pemerintahan di Mesir seolah menjadi suatu budaya yang terbentuk akibat buruknya sistem pemerintahan di Era Hosni Mubarak. 1. Kekerasan sebagai Budaya Kekerasan yang diangkat dalam kasus ini adalah kekerasan yang dilakukan secara kolektif. Kekerasan kolektif atau kelompok dilakukan oleh segerombolan orang (mob) dan kumpulan orang banyak (crowd) dan dalam pengertian sempitnya dilakukan oleh gang (Douglas dan Waksler dalam ed. Santoso, 2002: 9). Untuk
7
memahami bagaimana kekerasan tersebut menjadi sebuah budaya tentu diperlukan pandangan konkrit tentang kekerasan itu sendiri. Budaya-budaya dapat dibayangkan dan bahkan dapat dijumpai tidak saja dengan satu aspek tetapi juga pelbagai aspek, sehingga domain budaya itu, yang bermula dari pembicaraan tentang kasus kekerasan budaya sampai budaya yang penuh kekerasan dapat diketahui (Galtung dalam ed. Sanstoso, 2002: 183). Studi kekerasan budaya menyoroti cara bagaimana suatu perbuatan kekerasan langsung dan fakta kekerasan struktural dilegitimasi dan menjadi bisa diterima di masyarakat (Galtung dalam ed. Sanstoso, 2002: 184). Berdasarkan pernyataan tersebut, maka sesuatu yang telah diimplementasikan secara berkala dapat dikatakan sebagai budaya apabila telah mendapatkan legitimasi dari seluruh pihak baik yang terlibat maupun tidak. Untuk lebih menguatkan argumen bahwa kekerasan dapat digolongkan sebagai suatu budaya, maka penulis mempunyai beberapa rasionalisasi dengan merujuk kepada para pendapat pakar bidang kebudayaan. Rasionalisasi pertama adalah memahami kebudayaan dari karakteristiknya. Menurut Sulasman dan Gumilar (2013) dalam melihat dan memahami suatu kebudayaan, kita harus mengacu pada sejumlah karakteristik kebudayaan pada umumnya. Secara teoritis, kebudayaan sebagai objek pengamatan dan penelitian memiliki karakteristik berikut: 1) dapat dipelajari dan diperoleh melalui belajar; 2) berasal dari segi biologis, lingkungan, psikologis, dan komponen eksistensi manusia 3) berstruktur, bersistem, dan bersifat simbolis;
8
4) sebagai struktur, kebudayaan mempunyai variabel yang dapat dipecahpecah ke dalam berbagai aspek; 5) bersifat relatif dan universal; 6) bersifat dinamis, adaptif, dan adakalanya mal adaptif; 7) memperlihatkan keteraturan yang dapat dianalisis dengan metode ilmiah; 8) kebudayaan merupakan alat bagi seseorang (individu) untuk mengatur keadaan totalnya dan menambah arti kesan kreatif (Sulasman & Gumilar, 2013: 63-64). Jika mengacu pada karakteristik kebudayaan diatas, maka kekerasan dalam kasus yang diangkat dapat dikategorikan sebagai suatu kebudayaan yang telah terbukti secara empiris. Kekerasan yang dilakukan ketika revolusi Mesir dapat dipelajari oleh seluruh masyarakat Mesir yang diperoleh melalui proses belajar. Perilaku tersebut muncul dari adanya suatu reaksi psikologis yang diakibatkan oleh lingkungan yang mendukung untuk melahirkan kekerasan. Pada tahapan selanjutnya, kekerasan yang terjadi menyebar luas serta mempunyai sistem yang terbentuk secara alamiah. Kekerasan dalam hal ini juga dapat dipecah ke dalam berbagai aspek seperti aspek politik, aspek ekonomi, dan aspek teknologi. Berbagai kejadian didalamnya juga menimbulkan penilaian yang relatif. Dari sisi pendukung rezim, kekerasan dikatakan sebagai bentuk kejahatan, namun bagi penentang rezim adalah sebuah upaya tepat yang harus dilalui. Adakalanya juga, kekerasan dalam peristiwa revolusi Mesir 2011 dan 2013 bersifat dinamis dan adaptif. Hal ini dikarenakan kekerasan yang muncul adalah sebagai reaksi dari respon pemerintah terhadap tuntutan rakyat. Sehingga, berbagai kejadian kekerasan ini memperlihatkan keteraturan dan dapat dianalisis secara ilmiah. Pada akhirnya, kekerasan dijadikan alat untuk mengembalikan keadaan total Mesir meskipun tidak di tempuh dengan segala resiko. Keseluruhan karakteristik
9
kebudayaan diatas mempunyai relevansi yang erat dengan kekerasan yang diangkat dalam kasus ini. Rasionalisasi kedua adalah memandang kekerasan dari segi unsur-unsur kebudayaan. Koentjaraningrat membagi unsur kebudayaan menjadi tujuh, diantaranya; 1) bahasa; 2) sistem pengetahuan; 3) organisasi sosial; 4) sistem peralatan hidup dan teknologi; 5) sistem mata pencaharian hidup; 6) sistem religi; 7) kesenian. Secara keseluruhan, ketujuh unsur tersebut tidak ada yang menyebutkan secara eksplisit kata “kekerasan”. Hal ini sudah tentu karena kekerasan bukan termasuk ke dalam unsur, melainkan dampak dari adanya suatu konflik. Tetapi, Linton (1963) (dalam Koentjaraningrat, 1986: 205-206) membuat sebuah metode pemerincian unsur-unsur kebudayaan dengan merincikan setiap unsur kebudayaan hingga empat kali. Empat tahapan yang dibagi oleh Linton (1963) digunakan Koentjaraningrat (1989) untuk merincikan unsur-unsur kebudayaan yang dikemukakan olehnya. Tahapan tersebut diantaranya: 1) cultural activities; 2) complexes; 3) traits; 4)
items. Setiap unsur kebudayaan diatas bersifat universal. Setiap unsurnya juga mempunyai tiga wujud, yaitu wujud sistem budaya, wujud sistem sosial, dan wujud kebudayaan fisik (Koentjaraningrat, 1986: 206). Oleh karena itu, pemerincian dari ketujuh unsur diatas masing-masing juga harus dilakukan mengenai tiga wujud itu. Berikut adalah bagan untuk memahami proses pemerincian unsur kebudayaan dengan tetap memperhatikan tiga wujud budaya seperti yang telah disebutkan diatas.
10
Gambar 1. Bagan Pemerincian Kebudayaan ke dalam Unsur-Unsurnya Yang Khusus Sumber: Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Hlm. 207
Wujud sistem budaya dari suatu unsur kebudayaan universal adalah berupa adat. Pada tahap pertamanya adat dapat diperinci ke dalam beberapa kompleks budaya. Tiap kompleks budaya dapat diperinci lebih lanjut ke dalam beberapa tema budaya dan akhirnya pada tahap ketiga dapat diperinci ke dalam gagasan (Koentjaraningrat, 1986: 206). Kemudian dalam bentuk proses yang sama, wujud sistem sosial dari suatu unsur kebudayaan yang berupa aktivitas-aktivitas sosial yang dapat diperinci pada tahap pertamanya ke dalam berbagai kompleks sosial. Pada tahap ke dua, tiap kompleks sosial dapat diperinci lebih khusus ke dalam pola sosial. Pada tahap terakhir, tiap pola sosial dapat diperinci lebih khusus ke dalam berbagai tindakan (Koentjaraningrat, 1986: 206).
11
Ketujuh unsur kebudayaan itu masing-masing tentu memiliki wujud fisik, meskipun tidak ada satu wujud fisik untuk mewakili keseluruhan unsur-unsur kebudayaan. Itulah sebabnya kebudayaan fisik tidak perlu diperinci melalui empat tahap seperti yang dilakukan pada sistem budaya dan sistem sosial. Namun, semua unsur kebudayaan fisik sudah tentu secara khusus terdiri dari benda-benda kebudayaan (Koentjaraningrat, 1986: 206). Berdasarkan penjelasan Koentjaraningrat diatas, maka kekerasan dalam revolusi Mesir 2011 dan 2013 dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan. Meskipun kekerasaan bukan termasuk ke dalam unsur-unsur kebudayaan, namun pemerincian unsur-unsur budaya menunjukan relevansi langsung untuk mengkategorikan kekerasan sebagai suatu kebudayaan. Kekerasan berada pada tahap keempat pemerincian unsur kebudayaan yang diistilahkan sebagai sebuah tindakan (pada wujud sistem sosial/wujud kedua). Tindakan ini didahului dengan sebuah gagasan (pada wujud sistem budaya/wujud pertama). Jika kekerasan berada pada tahap pemerincian hingga tahap keempat, maka kekerasan juga harus dapat di masukan ke dalam salah satu induk dari unsur kebudayaan universal. Unsur kebudayaan yang paling dekat adalah unsur universal sistem pengetahuan. Sistem pengetahuan yang dimaksud oleh Koentjaraningrat adalah yang berkaitan dengan beberapa kajian. Diantaranya; 1) alam; 2) tumbuhan; 3) binatang; 4) tubuh manusia; 4) sifat dan tingkah laku; 5) ruang dan waktu (Sutardi, 2007: 44-45). Kekerasan dapat dimasukan ke dalam kateogri sifat dan tingkah laku manusia, karena pada hakikatnya kekerasan merupakan implikasi dari suatu kondisi yang membuat manusia harus melakukannya, khususnya dalam kasus yang diangkat ini. Meskipun kekerasan pada awalnya tidak digolongkan
12
sebagai sebuah budaya, namun kekerasan dapat menjadi suatu budaya jika telah mempunyai sistem dan dijadikan alat untuk mencapai sebuah tujuan. Rasionalisasi yang terakhir adalah menggolongkan kasus kekerasan yang diangkat ini sesuai dengan tiga wujud kebudayaan yang di rumuskan oleh J.J. Hoeningman. Merujuk pada pendapat J.J. Hoeningman bahwa wujud kebudayaan dibagi menjadi tiga; 1) Gagasan; 2) Aktivitas; 3) Artefak. Kekerasan yang muncul ke permukaan masyarakat pada revolusi Mesir 2011 diawali dari sebuah gagasan beberapa individu yang kemudian diwujudkan dalam aktivitas atau nyata dengan dukungan legitimasi kaum yang bertindak. Pada revolusi Mesir 2013 kekerasan kembali terjadi ketika ingin menurunkan rezim. Namun prosesnya bukan di awali dari gagasan sekelompok orang, melainkan oleh lawan politik (oposisi) yang akhirnya mampu mengajak masyarakat Mesir untuk menuntut turun Presiden Muhammad Mursi dengan memanfaatkan trauma rakyat Mesir ketika berada di bawah rezim yang otoriter. Maka dari itu, wujud tindakan tersebut akhirnya memunculkan sebuah sistem sosial yang bersifat konkret, dapat diamati serta dapat didokumentasikan (Sulasman & Gumilar, 2013: 36). Adapun kekerasan yang diangkat, tidak selalu berwujud konflik antar fisik. Namun dengan bentuk yang halus dan yang tersembunyi (tidak tampak) dibalik pemaksaan dominasi kekuasaan simbolik yang dimiliki oleh rakyat (Bourdieau dalam Purnomo, 2009: 5). Perwujudan menuju kekerasan fisik yang terjadi di Mesir –khususnya pada revolusi Mesir 2011- melewati beberapa tahapan yang memanfaatkan lingkungan sekitar. Sosial media berupa Facebook dan Twitter digunakan untuk meraih tujuan yang diimpikan bersama (Tamburaka, 2011: 8182). Masing-masing dari media jejaring sosial tersebut mempunyai ciri khas
13
tersendiri yang berguna untuk menyusun agenda bersama dalam penggulingan Presiden Hosni Mubarak. Setelah tercapainya satu opini publik yang dimulai dari media jejaring sosial, massa akhirnya turun ke jalan dan melakukan demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi tersebut (2011) sudah diprediksi akan melahirkan berbagai bentukbentuk kekerasan di antara pasukan keamanan dan pengunjuk rasa. Peristiwa serupa lantas kembali terjadi pada revolusi Mesir 2013 yang tidak dimulai dari media jejaring sosial. Melainkan tindakan langsung dari pihak oposisi dan militer sebagai respon dari pola kebijakan Mursi yang tidak disukai oleh beberapa pihak di Mesir khususnya kelompok oposisi. 2.
Kerangka Berpikir
Dibawah ini adalah bagan kerangka berpikir untuk memudahkan pemahaman kasus.
Gambar 2. Bagan Kerangka Berpikir
14
3.
Tinjauan Pustaka
Berkaitan dengan penelitian ini, penulis melihat beberapa penelitian skripsi, jurnal, serta berita yang berkaitan dengan kasus ini sebagai tinjauan pustaka. Tinjauan yang pertama adalah skripsi yang ditulis oleh Rizfa Amalia, Program Studi Arab Universitas Indonesia dengan judul “Kebijakan-Kebijakan Hosni Mubarak di Mesir (1981-2011)”. Dalam skripsi tersebut dipaparkan bahwa kebijakan politik, agama, dan ekonomi adalah faktor yang membuatnya mampu berkuasa selama 30 tahun. Namun ketika di akhir kepemimpinannya ketiga kebijakan tersebut juga yang membuatnya harus menanggalkan jabatannya. Di awal pembahasan skripsi ini juga dibahas profil Mesir secara singkat sehingga dapat lebih mudah dalam mempelajari isi pembahasan inti yang diangkat. Diakhir pembahasan dipaparkan proses-proses turunnya Mubarak, namun pembahasan yang disajikan masih secara umum dan kronologi kejadian tidak diurutkan secara detail. Demonstrasi yang di paparkan juga masih terbatas pada detik-detik pernyataan Mubarak untuk mundur. Tinjauan yang kedua adalah skripsi yang ditulis oleh Ulil Amri, Program Studi Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin dengan judul “Masa Depan Mesir Pasca Pemerintahan Hosni Mubarak”. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa pada era Presiden Hosni Mubarak masih diterapkan undang-undang darurat negara yang diberlakukan sejak masa Anwar Sadat. Hal ini berdampak pada kekuasaan pemerintah secara penuh dalam penangkapan dan penahanan tanpa proses peradilan terhadap mereka yang dianggap teroris dan mengancam keamanan nasional. Hal ini dimanfaatkan secara maksimal untuk menyingkirkan kelompok-kelompok oposisi yang berpotensi sebagai penentang rezim mereka.
15
Kemudian, Amri menambahkan bahwa suasana Dinastyc Republicanism juga sangat mencolok dimana subjektivitas Mubarak terhadap kelompoknya dan keturunannya sangat terlihat. Masyarakat yang menyadari hal itu merasa diingkari oleh pemimpinnya yang telah berjanji untuk menegakkan demokrasi Mesir. Dua permasalahan tersebut merupakan diantara banyak penyebab yang menghadirkan hujan massa di Tahrir Square. Berbeda dengan tinjauan yang pertama, tinjauan yang kedua lebih merincikan urutan kronologi demonstrasi secara urutan tanggal serta disajikan. Peranan media jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter yang ikut membentuk terjadinya demonstrasi di Tahrir Square juga disajikan lebih rinci. Tetapi, bentuk kekerasan yang di lakukan oleh masyarakat dalam media sosial berupa kata-kata provokasi maupun aksi kekerasan nyata tidak dipaparkan. Tinjauan ketiga adalah artikel ilmiah dalam jurnal Info Singkat DPR RI Vol V, No.14/II/P3DI/Juli/2013 seri Hubungan Internasional yang ditulis oleh Lisbet dengan judul “Krisis Politik di Mesir dan Posisi Indonesia”. Jurnal tersebut menjelaskan bahwa demokrasi masih membayangi ketidakpastian revolusi di Mesir. Hal tersebut dikarenakan militer yang telah berkuasa selama masa Pemerintahan Mubarak dan menjadi penyelenggaraan pemerintahan transisi tak sepenuhnya menyerahkan kekuasaan kepada Presiden terpilih. Presiden Mursi dan IM yang awalnya dipuji oleh negara-negara Barat sebagai penyelamat kapitalisme Mesir, telah dilucuti dengan adanya revolusi. Penyajian kasus dalam jurnal ini menitikberatkan pada permasalahan ekonomi dan sosial politik. Namun kekurangannya adalah penyajian tidak dipaparkan secara tuntas sehingga masih menimbulkan pertanyaan.
16
Tinjauan keempat adalah artikel ilmiah dan masih dalam jurnal yang sama Vol V, No.14/II/P3DI/Juli/2013 ditulis oleh Poltak Partogi Nainggolan dengan judul “Kegagalan Transmisi Demokratis dan Masa Depan Mesir”. Dalam tulisannya di paparkan ada empat alasan mengapa militer memilih untuk menjatuhkan Mursi. Pertama, kelompok militer adalah kelompok yang berkuasa dan berperan dominan dalam politik domestik negeri piramid tersebut pasca Gamal Abdul Nasser. Kedua, kelompok pesaing militer sejak lama, yaitu kelompok Islam garis keras IM yang sejak dulu merupakan pengusung Syariah dan gagasan pan-Islamisme di kawasan timur tengah. Ketiga, kelompok Islam moderat, kelompok minoritas Kristen Koptik dan Katholik, serta gabungan kalangan sekuler dari kelompok-kelompok agama tersebut jika digabung jumlah mereka menjadi lebih banyak dari pada IM. Keempat, kelompok lain, yang walaupun jumlahnya jauh lebih minoritas, namun karena kewenangan monopoli penggunaan kekerasan secara sah yang diberikan negara kepadanya, ia mempunyai kepentingan laten untuk memulihkan kembali pengaruh dan kekuasaannya dalam politik nasional. Empat alasan tersebut yang dijadikan oleh Lisbet sebagai opini dasar mengapa Mursi harus dijatuhkan. Artikel tersebut hanya memusatkan perhatian pada pematangan opini bahwa kudeta terhadap Mursi adalah langkah yang benar. Tinjauan kelima adalah artikel ilmiah yang ditulis oleh Muhammad Riza Widyarsa dalam jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial dengan judul “Rezim Militer dan Otoriter Mesir, Suriah dan Libya”. Pada bagian pembukaan, Widyarsa memberikan pernyataan bahwa untuk menjadi presiden Mesir, seakanakan harus dari kalangan militer dikarenakan pemimpin Mesir dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun berasal dari militer. Selanjutnya, terdapat sub bab khusus yang
17
membahas estafet pemerintahan Mesir sejak masa Turki Utsmani. Dalam pembahasan selanjutnya di paparkan perjalanan perpolitikan kelompok militer dalam memulai dan mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Namun, pada pembahasan militer, yang dikaji hanya sampai pada masa Anwar Sadat dan tidak membahas lebih lanjut rezim militer dibawah pemerintahan Hosni Mubarak. Tinjauan keenam adalah berita dari Harian Jurnal Asia dengan judul “Militer Kudeta Morsi”. Berita tersebut mengabarkan bahwa terjadi bentrokan antara massa pendukung Mursi dan militer. Bentrokan terjadi akibat kekecewaan masyarakat terhadap militer yang dengan secara paksa menurunkan Mursi yang baru setahun berkuasa. Diakhir berita juga sebutkan bahwa Mursi jatuh karena tekanan masyarakat yang memuncak dan bergabung dengan kubu posisi. Tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut terkait massa yang kontra dengan Mursi. Tinjauan ketujuh adalah buku yang ditulis oleh M. Agastya ABM dengan judul “Arab Spring Badai Revolusi Timur Tengah yang Penuh Darah”. Pada buku tersebut terdapat sub bab yang khusus membahas konflik Mesir pada 2011 dan 2013. Pembahasan disajikan dengan mengungkapkan kronologi kejadian-kejadian menjelang revolusi Mesir 2011 dan 2013 juga diurutkan sesuai tanggal. Biografi kedua tokoh pemimpin Mesir (Hosni Mubarak dan Muhammad Mursi) juga dijelaskan secara lengkap dan komprehensif. Selanjutnya, juga terdapat pembahasan terkait perbedaan massa demonstran penentang Mursi dan pendukung Mursi. Terdapat empat poin yang diungkap terkait perbedaan demonstran; 1) kekerasan versus aksi damai; 2) saat tiba waktu sholat; 3) kemaksiatan versus shalat malam; 3) umpatan versus takbir; 4) dukungan media barat. Keempat poin tersebut diungkapkan hanya untuk menunjukan sisi positif pendukung Mursi dan
18
menimbulkan efek negatif dari massa penentang Mursi yang berhaluan nasionalissekuler. Kemudian di bagian akhir pembahasan di paparkan tentang keterlibatan luar negeri dalam Revolusi Mesir. Tetapi secara keseluruhan, dilihat dari penggunaan gaya bahasa dan cara penyajian, unsur subjektivitas (membela) Mursi sangat diperlihatkan sehingga memberikan kesan “penelitian subjektif”. Tinjauan kedelapan sekaligus yang terakhir adalah skripsi yang ditulis oleh Wahyu Ardianti Woro Seto, Program Studi Sastra Arab UNS dengan judul “Demokratisasi Mesir Pasca Husni Mubarak sampai Muhammad Mursi Tahun 2011-2013 (Studi Kepustakaan)”. Skripsi tersebut membahas proses demokrasi Mesir yang melalui tahapan alot hingga menciptakan revolusi dalam dua setengah tahun. Seto membagi transisi demokrasi menjadi tiga; 1) persiapan; 2) keputusan; 3) konsolidasi. Kemudian dikaji tentang kondisi Mesir saat jeda pemerintahan setelah Hosni Mubarak. Pada akhir pemerintahan Mursi kronologi menjelang kudeta terhadap Mursi di paparkan secara urut. Diantaranya dijelaskan bahwa terjadi konflik antara kelompok Islamis dan Kristen Koptik, demo massa penuntut Mursi, dan diakhiri dengan kudeta oleh militer. Dalam pembahasan kudeta oleh militer, dijelaskan respon militer berupa tindakan represif terhadap kebijakankebijakan Mursi, namun tindakan (kekerasan) yang dipaparkan hanya terhadap massa pendukung Mursi sedangkan tindakan lanjutan terhadap Mursi tidak disajikan. Berdasarkan beberapa tinjauan kepustakaan yang penulis lakukan, semuanya memusatkan pembahasan pada pergantian-pergantian pemerintahan Mesir yang menimbulkan gejolak. Meskipun terdapat sedikit pembahasan terkait kronologi maupun peristiwa penurunan Hosni Mubarak dan kudeta terhadap Mursi, kajian
19
tentang kekerasan dalam objek tersebut tidak dilakukan secara mendalam. Bahkan boleh dikatakan belum ada yang mengkhususkan pada kekerasan yang terjadi. Maka dari itu pada penelitian ini, memfokuskan pembahasan pada kekerasan yang diimplementasikan sebagai buah dari gagasan pikiran baik dari sisi masyarakat maupun militer yang kemudian berkembang menjadi sebuah budaya. B. Perumusan Masalah Rumusah masalah dari penelitian ini terdiri dari dua pokok permasalahan, yaitu: 1. Apa saja kekerasan yang dilakukan masyarakat, polisi dan militer Mesir dalam peristiwa turunnya Hosni Mubarak dan Muhammad Mursi ? 2. Apa penyebab lahirnya kekerasan tersebut ? C. Tujuan Pembahasan Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menggambarkan berbagai kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil, polisi dan militer pada revolusi Mesir 2011 dan 2013. 2. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kekerasan yang terjadi pada peristiwa penurunan Hosni Mubarak dan Muhammad Mursi dari jabatannya. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang budaya kekerasan yang tercipta di tengah masyarakat sipil, polisi, dan badan militer Mesir.
20
2. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan penelitian selanjutnya tentang iklim kekerasan masyarakat Mesir pada peristiwa jatuhnya pemerintahan Hosni Mubarak juga tentang peristiwa kudeta Mursi oleh militer Mesir, karena hingga saat ini penelitian ilmiah tentang kekerasan di Mesir masih tergolong minim. E. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini, akan membahas berbagai proses kekerasan yang terjadi pada saat jatuhnya pemerintahan Hosni Mubarak (2011) dan Muhammad Mursi (2013). Adapun alur pembahasannya dimulai dari mengulas kembali profil negara Mesir yang berhubungan dengan sejarah pemerintahannya, jenis-jenis kekerasan yang terjadi pada revolusi Mesir 2011 dan 2013, serta bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan. F. Teori Penelitian skripsi ini menggunakan teori hegemoni. Teori hegemoni pertama kali di cetuskan oleh Antonio Gramci (1891-1937). Teori Hegemoni yang dimaksud oleh Gramci menunjuk pada kuatnya pengaruh kepemimpinan, dalam bentuk moral maupun intelektual, yang membentuk sikap kelas yang dipimpin dalam karakter konsensual (Purwasito, 2011: 45). Menurut Arif (dalam Purwasito, 2011: 45) konsensus yang terjadi dalam dua kelas ini (yang dipimpin dan yang memimpin) bisa diciptakan melalui cara pemaksaan maupun pengaruh secara terselubung, lewat pengetahuan yang disebarkan melalui perangkat-perangkat kekuasaan.
21
Kepemimpinan hegemoni juga harus memerhatikan sentimen-sentimen dari masyarakat-bangsa dan tidak boleh tampak sebagai makhluk aneh atau asing yang terpisah dari massa. Dalam konsep hegemoni Gramci, terdapat pemikiran tentang negara-bangsa. Negara dan bangsa adalah dua konsep yang berbeda dalam politik dunia. Dalam terminologi Gramci, dapat dikatakan bahwa bangsa dan identitasidentitas etnis yang lain, dibentuk dalam masyarakat sipil. Masyarakat sebagian dibentuk dalam sistem pendidikan. Adapun negara, sebagai suatu aparat koersif yang mengontrol hukum dan administrasi “keadilan” dalam wilayah tertentu dan lembaga hukum didalamnya membantu membentuk “suatu masyarakat” yang tunduk terhadapnya (Bocock, 2007: 38-39). Bagi Gramci, hegemoni tidak dilakukan dengan cara anarkis maupun tindakan-tindakan persuasif, tetapi proses emansipasi dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat (individu) untuk mengembangkan potensi dan bakat yang dimilikinya (Purwasito, 2011:46). Kenyataan yang telah kita saksikan bersama bahwa pada peristiwa lengsernya Hosni Mubarak akibat kemarahan rakyat Mesir telah membuktikan bahwa pemerintahan yang sangat membatasi masyarakat dengan kediktatoran yang cukup lama pada akhirnya dapat menjadi bumerang. Menurut Gramci, apabila kekuasaan hanya dicapai dengan mengandalkan kekuasaan memaksa (baca : diktator), maka hasil yang dicapai hanya sebatas kata “dominasi” dan itu tidak akan bersifat langgeng (Sulasman & Gumilar, 2013 : 209). Menurut Heryanto (dalam Sulasman dan Gumilar, 2013 : 208) melalui konsep hegemoni, Gramci beragumentasi bahwa jika ingin kekuasaan dapat abadi dan langgeng membutuhkan dua perangkat kerja. Pertama, perangkat kerja yang
22
mampu melakukan berbagai tindak kekerasan yang bersifat memaksa, dengan kata lain membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa Law Enforcement. Perangkat kerja ini biasa dilakukan oleh pranata negara melalui hukum, militer, polisi, bahkan penjara. Kedua, perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranata negara untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian, bahkan keluarga. Apabila kita mengalihkan pandangan ke Mesir dengan berdasarkan pandangan dari Gramci, pelengseran Hosni Mubarak dan kudeta terhadap Mursi, disebabkan karena tidak seimbangnya eksistensi antar perangkat kerja. Pada masa Hosni Mubarak, badan militer berkuasa melalui dirinya dan membatasi kebebasan masyarakat serta ditambah dengan memburuknya kondisi negara. Sedangkan masa Muhammad Mursi, kekuatan politik Islam yang diusung oleh IM seperti belum mendapatkan restu seutuhnya dari seluruh pihak di Mesir. Keadilan dalam kehidupan bernegara perlu mempertimbangkan unsur keseimbangan antar kelompok manusia yang sama-sama menjadi “penghuni negara”. Bagi penguasa yang benar-benar ingin melanggengkan kekuasannya tentunya pasti akan mempertimbangkan perangkat kerja yang kedua agar keseimbangan itu dapat tercapai. Dengan demikian, supremasi kelompok (penguasa) atau kelas sosial tampil dalam dua cara, yaitu dominasi atau penindasan dan kepemimpinan intelektual dan moral. Tipe yang kedua merupakan hegemoni, sehingga hegemoni berarti kekuasaan melalui persetujuan atau konsensus. Pada kesimpulannya, Hegemoni adalah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus (consenso) dari pada melalui penindasan terhadap kelas sosial lain (Sulasman & Gumilar, 2013: 210).
23
G. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara para pengamat atau ahli Timur Tengah, dan melalui beberapa kuesioner yang diisi oleh informan langsung di Mesir. Adapun data sekunder diperoleh dari buku-buku, jurnal, dan berita/koran yang membahas seputar kasus yang diangkat oleh peneliti. Untuk sumber data kepustakaan diantaranya adalah :
1. Teori-Teori Kekerasan editor oleh Thomas Santoso 2. Revolusi Timur Tengah karya Apriadi Tamburaka 3. Arab Spring Badai Revolusi Timur Tengah yang Penuh Darah karya M. Agastya ABM
4. Dari Istana ke Liang Lahat: Mursi karya Badriyah Huriyah 5. Liberation Square, Inside The Egyptian Revolution and The Rebirth of A Nation karya Ashraf Khalil 6. Tweets From Tahrir karya Nadia Iddle dan Alex Nuns H. Metode dan Teknik Penelitian 1.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif cenderung berkembang dan banyak berkembang dalam ilmu-ilmu sosial yang berhubungan dengan perilaku sosial atau manusia (Subana dan Sudrajat, 2001: 11). Metode pembahasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deduktif yaitu memfokuskan pembahasan dari umum ke khusus.
24
Model pembahasan yang diterapkan adalah studi kasus tunggal. Studi kasus tunggal ini berhubungan dengan penyikapan dimana peneliti mempunyai kesempatan untuk mengamati dan menganalisis suatu fenomena yang tak mengizinkan penelitian ilmiah (Yin, 1996: 47). Selanjutnya, model studi kasus tunggal yang dimaksud adalah studi kasus tunggal terpancang yaitu pembahasan kasus secara mendalam dan bukan menyeluruh (Yin, 1996: 51-53). Studi kasus yang mendalam berarti memfokuskan pada satu kasus yang ekstrem atau unik kemudian berusaha untuk mengungkap hal ihwal terkait yang masih dianggap abstrak oleh khalayak umum. Paradigma penelitian yang digunakan adalah paradigma naturalistik. Pada paradigma ini peneliti berusaha menafsirkan fenomena budaya yang ditemuinya, tidak memanipulasi atau mengontrolnya, dan lebih mengutamakan logic in action (Endraswara, 2006 : 39). 2.
Pengambilan dan Penyeleksian Data
Data dan sumber diperoleh melalui hasil wawancara beberapa informan profesional, observasi, dan penelusuran dokumen. a. Wawancara dilakukan dengan para peneliti di bidang Kajian Timur Tengah, pejabat diplomat Kemlu RI, dan tokoh Pendeta Koptik. Hasil dari wawancara kemudian di transkripsi dan dijadikan sumber data primer atau menjadi rujukan berpikir peneliti. b. Observasi dilakukan dengan memantau perkembangan berita melalui surat kabar cetak maupun media online pada tahun 2011 dan 2013. Selain itu, peneliti menyebarkan beberapa kuesioner di Mesir melalui kerja sama mahasiswa Sastra Arab UNS yang sedang berada di Canal Suez
25
University. Kuesioner diberikan kepada beberapa WNI yang tinggal di Mesir sekaligus menjadi saksi mata pada saat kejadian terjadi. Pemilihan WNI sebagai informan dikarenakan kasus yang diangkat masih sangat sensitif bagi warga Mesir sendiri baik di kalangan akademisi maupun umum. c. Penelusuran dokumen dilakukan dengan studi pustaka (library research) di beberapa perpustakaan dan jurnal-jurnal terkait. Setelah data dikumpulkan, tahap selanjutnya adalah penyeleksian data. Data hasil penelitian di lapangan dijadikan sebagai data primer sedangkan data dari buku, berita, dan jurnal ilmiah dijadikan sebagai data sekunder. Data sekunder dijadikan sebagai pendukung data primer agar data primer dapat dipertanggung jawabkan validitasnya.
Untuk
menguji
keabsahan data
maka
peneliti
menggunakan teknik triangulasi, yaitu usaha memahami data melalui berbagai sumber, subjek peneliti, cara (teori, metode, teknik) dan waktu (Ratna, 2010: 241). Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber, yaitu dengan membandingkan berbagai sumber data yang diterima dan melakukan pengujian data melalui sumber data yang berbeda, pengecekan data melalui pembanding ini berfungsi untuk menguji elemen data agar data yang diperoleh valid dan bersifat objektif. Cara dalam menguji validitas data adalah: a. Membandingkan hasil wawancara, pengamatan dan dokumen yang diperoleh b. Membandingkan pengakuan seorang informan secara pribadi dengan pernyataan-pernyataannya di depan umum
26
c. Perbandingan pendapat sebagai orang biasa dan birokrat dengan situasi pemberitaan media 3. Analisis Data Setelah pengumpulan data, pengujian, dan penyeleksian data selesai maka tahap selanjutnya adalah analisis data. Teknik analisis data menggunakan analisis model interaktif. Menurut Miles dan Huberman analisis data dilakukan melalui tiga tahapan utama: reduksi data, penyajian data dan penarikan simpulan (Ulber, 2009: 27). Tahapan pertama, reduksi data dilakukan dengan cara mengklasifikasikan data sesuai dengan esensinya. Pemilahan data pada tahap reduksi yang dilakukan adalah dengan cara menetapkan data yang akan dianalisis melalui kegiatan observasi non-partisipan serta wawancara. Pemilihan data dilakukan berdasarkan derajat keabsahan data. Tahapan kedua, penyajian data yakni dengan melakukan proses pemahaman makna melalui deskripsi dalam bentuk narasi hingga akhirnya mengantarkan data menuju ulasan akhir. Pada tahapan terakhir yaitu penarikan simpulan dari seluruh proses penelitian dengan menyertakan kritik dan saran.
Gambar 3. Tahapan Analisis Data Menurut Miles dan Huberman Sumber: Silalahi. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 27
27
I.
Sistematika Penyajian
Hasil penelitian ini akan disajikan dalam empat bab dengan masing-masing beberapa sub bab untuk memudahkan pembaca dalam memahami penelitian ini. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut : Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, teori, sumber data, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II merupakan pembahasan rumusan masalah pertama yang terdiri dari empat sub bab yaitu; 1) Profil Mesir dan Pemerintahannya; 2) Agresi, Kekersan, Revolusi; 3) Kekerasan Simbolik pada revolusi 2011; dan 4) Kekerasan fisik pada revolusi 2011 dan 2013. Bab III adalah pembahasan rumusan masalah kedua yaitu sebab-sebab terjadinya kekerasan yang terdiri dari dua sub bab; 1) Kekerasan Simbolik pada revolusi Mesir 2011; dan 2) Kekerasan fisik pada revolusi Mesir 2011 dan 2013. Bab IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang bermanfaat untuk penelitian selanjutnya. Bagian paling terakhir di sertakan juga daftar pustaka dan lampiran-lampiran selama penelitian berlangung.