BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Luka bakar merupakan kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi (Chadha, 1995). Luka bakar apabila tidak segera diobati akan menimbulkan terjadinya infeksi karena adanya jaringan yang mati, jaringan tersebut akan menjadi tempat yang subur untuk tumbuhnya bakteri. Hasil dari infeksi luka bakar berupa timbulnya nanah (Kuntaman, 2007). Di Indonesia secara global sekitar 11 juta jiwa tiap tahun mendapatkan perawatan medis akibat luka bakar dan 300 ribu jiwa tiap tahun meninggal dunia (Peck, 2011). Salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional adalah Kalanchoe pinnata Lamk. dikenal dengan nama cocor bebek. Bagian daun digunakan sebagai obat yang dapat mengobati penyakit infeksi, rematik, demam dan radang (Dalimartha, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Hasyim dkk (2012) menyatakan bahwa daun cocor bebek pada konsentrasi ekstrak 2,5% mampu menyembuhkan luka bakar pada kulit kelinci. Salep ekstrak metanol dan salep serbuk daun cocor bebek dapat mempercepat waktu penyembuhan luka (Suprapto dkk., 2015). Daun cocor bebek mengandung senyawa aktif flavonoid, saponin, dan tanin. Senyawa aktif tersebut berpotensi sebagai antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus (Fistiani, 2011). Ekstrak etanol daun cocor bebek diformulasikan dalam bentuk gel untuk mempermudah penggunaannya sebagai obat luka bakar. Gel memiliki keuntungan
1
2
antara lain memberikan efek dingin pada kulit dan mempunyai kemampuan penyebaran yang baik pada kulit (Voigt, 1995). Gel biasanya digunakan secara topikal pada jaringan kulit yang luka, selain itu gel sangat baik untuk membantu mempertahankan kelembaban di sekeliling luka (Martin, 1993). Pembuatan gel diperlukan bahan pembentuk gel atau gelling agent. Dalam penelitian ini gelling agent yang digunakan berbasis polimer sintetik, yaitu carbopol 934. Pemilihan carbopol 934 dikarenakan stabilitas yang baik dengan viskositas tinggi, sehingga sangat baik digunakan untuk sediaan topikal (Allen, 2002), bersifat hidrofil sehingga mudah terdispersi dalam air pada konsentrasi kecil yaitu 0,5-2,0%, dan mempunyai kekentalan yang cukup sebagai basis gel (Rowe dkk., 2009), dan tidak beracun sehingga dapat diterima dengan baik di kulit (Voigt, 1995). Sediaan yang digunakan pada pengobatan luka bakar harus efektif, aman, dan nyaman dipakai, maka sediaan gel perlu diuji karakteristik fisik dan aktivitas antibakterinya. Sehubungan dengan adanya indikasi ekstrak etanol daun cocor bebek sebagai antibakteri, maka untuk membuktikan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian formulasi gel ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata Lamk.) dan aktivitas antibakterinya pada Staphylococcus aureus. Pada uji aktivitas antibakteri, digunakan bakteri Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri coccus Gram positif (+). Bakteri ini dapat tumbuh dengan cepat dan aktif melakukan metabolisme pada jaringan kulit. Infeksi pada kulit yang disebabkan bakteri ini berasal dari kontaminasi langsung dari luka yang dapat menyebabkan pernanahan, sebagai contoh infeksi karena luka bakar (Entjang, 2003).
3
B. Perumusan Masalah Formulasi gel ekstrak etanol daun cocor bebek dengan variasi konsentrasi carbopol 934 manakah yang memenuhi karakteristik fisik, gel dan memiliki aktivitas antibakteri pada Staphylococcus aureus?
C. Tujuan Penelitian Menentukan formula gel ekstrak etanol daun cocor bebek dengan variasi konsentrasi carbopol 934 yang memenuhi karakteristik fisik gel dan memiliki aktivitas antibakteri pada Staphylococcus aureus.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh suatu formula gel ekstrak etanol daun cocor bebek sebagai obat luka bakar yang memenuhi karakteristik fisik serta memiliki aktivitas antibakteri pada Staphylococcus aureus.
E. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman Cocor Bebek (Kalanchoe pinnata Lamk.) Tanaman cocor bebek (Gambar 1) merupakan tumbuhan sukulen (mengandung air) yang berasal dari Madagaskar. Tanaman ini terkenal karena metode reproduksinya melalui tunas daun (adventif). Tumbuhan ini tersebar di daerah tropis. Daun cocor bebek jika dipetik akan membentuk kuncup-kuncup anak tanaman pada pinggiran daunnya. Tanaman ini merupakan suku Crassulaceae dan mempunyai nama latin: Bryophyllum pinnatum (L.f) Oken, Bryophyllum calycinum Salisb., Bryophyllum germinans Blanco, Bryophyllum
4
pinnatum (Lam.) (cukup air dengan penyiraman atau menjaga kelembaban tanah. Tanaman Dalimartha, 2001). Pemeliharaan tanaman cocor bebek sangat mudah antara lain membutuhkan cocor bebek menghendaki tempat yang cukup sinar matahari (Hariana, 2008).
Gambar 1. Tanaman cocor bebek (Kalanchoe pinnata Lamk.) (dokumentasi pribadi)
a. Morfologi Tanaman cocor bebek memiliki tinggi 30-100 cm, batang lunak dan beruas. Daun tebal berdaging, banyak mengandung air. Helaian daun lonjong, bertangkai panjang, ujung tumpul, pangkal membulat, tepi beringgit, permukaan daun gundul, panjang 5–20 cm, lebar 2,5–15 cm, warna hijau sampai hijau keabu-abuan. Bunga majemuk, menggantung, mahkota bentuk corong, dan berwarna merah. Buah kotak, ungu bernoda putih. Biji berbentuk kecil dan berwarna putih. Daun kalau dipetik akan membentuk kucup-kucup anak tanaman dalam pinggiran daunnya (Dalimartha, 2001). b. Sifat, Khasiat, dan Kandungan Kimia Cocor bebek bersifat agak asam, dingin, bau lemah. Berkhasiat sebagai anti radang, antiseptik, dan mengurangi pembengkakan. Daun mengandung, asam sitrat, asam tartat, asam isositrat, asam malat, tanin, saponin dan flavonoid (Sudarsono dkk., 2002).
5
c.
Sistematika Tanaman Sistematika tanaman cocor bebek (Kalanchoe pinnata Lamk.) menurut
Van Steenis (2003) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Resales
Suku
: Crassulaceae
Genus
: Kalanchoe
Spesies
: Kalanchoe pinnata
Jenis
: Kalanchoe pinnata (Lamk.) Pers.
d. Nama Daerah Nama daerah tanaman cocor bebek Sumatera: didingin banen (Aceh), daun sejuk, sepohori (Palembang), ceker bebek, cocor bebek (Melayu). Jawa: buntiris, jampe, jukut kawasa, tere, ceker itik (Sunda), suru bebek, sosor bebek, teres, tuju dengen (Jawa), daun ancar bebek, daun ghamet, jampe, cocor bhibhik, corbebe, cocor etek, tombu daun (Madura), kayu temor (Kangean). Maluku: mamala (Halmahera), rau kufiri (Ternate), kabi-kabi (Tidore) (Dalimartha, 2001). 2. Ekstraksi dengan Metode Maserasi Ekstraksi merupakan proses pengambilan senyawa aktif pada simplisia dengan bantuan cairan penyari. Pemilihan cairan penyari yang akan digunakan dalam mengekstraksi senyawa aktif dipengaruhi oleh daya larut zat aktif (Ansel, 1989). Kriteria cairan penyari yang baik antara lain: murah dan mudah didapat,
6
stabil, secara fisik dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar, dan selektif yaitu hanya menarik zat berkasiat yang dikehendaki dan tidak mempengaruhi zat berkhasiat (Depkes RI, 1986). Maserasi adalah perendaman serbuk simplisia dengan cairan penyari dan dilakukan pengadukan beberapa kali pada suhu ruangan (Depkes RI, 2000). Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari dan tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari. cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air etanol, atau pelarut lain. Keuntungan metode maserasi adalah proses ekstraksi mudah dan alat-alat yang digunakan sederhana. Kerugiannya adalah proses ekstraksi membutuhkan waktu lama dan penyarian kurang sempurna (Depkes RI, 1986). Ekstrak merupakan sediaan pekat yang diperoleh dari mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simpliasia hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa dilakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang ditetapkan (Depkes RI, 2000). Penyarian atau ekstraksi adalah proses penarikan senyawa aktif yang dapat larut dalam pelarut yang sesuai dari suatu simplisia, sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Simplisia yang diekstraksi mengandung senyawa yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, dan protein (Depkes RI, 1986). 3. Gel Gel didefinisikan sebagai sediaan semisolid atau kental yang dibuat dengan mencampur ekstrak dengan basis yang sesuai (Agoes, 2009). Gel merupakan
7
sediaan semipadat yang jernih, tembus cahaya dan mengandung zat aktif dan merupakan dispersi koloid (Ansel, 1989). Berdasarkan jumlah fasenya gel dibedakan menjadi fase tunggal dan fase ganda. Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar dalam suatu cairan hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul besar yang terdispersi dalam cairan, dapat dibuat dari bahan pembentuk gel seperti tragakant, Na-Alginat, gelatin, metil selulosa, natrium CMC, carbopol, polifinil, alkohol, metal
hidroksietil
selulosa,
hidroksietil
selulosa
dan
polioksietilen-
polioksipropilen. Gel fase ganda dibuat dari interaksi garam aluminium yang larut, seperti suatu klorida atau sulfat, dengan larutan ammonia, Na-karbonat, atau bikarbonat (Aulton, 2007). Dasar gel yang umum digunakan adalah: a. Dasar gel hidrofilik Dasar gel hidrofilik terdiri dari molekul-molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan dengan molekul dari fase pendispersi. Hidrofilik artinya suka pada pelarut (Ansel, 1989). Basis gel hidofilik (hidrogel) umumnya terdiri dari air, gliserol, atau propilenglikol dengan bahan pembentuk gel (gelling agent) (Voigt, 1995). b. Dasar gel hidrofobik Dasar gel terdiri dari partikel-partikel anorganik, bila ditambahkan ke dalam fase pendispersi hanya sedikit sekali interaksi antara kedua fase. Basis gel hidrofobik umumnya mengandung paraffin cair dan polietilen atau minyak lemak membentuk gel dan silika koloida aluminium, dan zinc sabun (Ansel, 1989).
8
Gelling agent adalah bahan tambahan yang digunakan untuk mengentalkan dan menstabilkan berbagai macam baik sediaan obat, dan sediaan kosmetik. Pemilihan gelling agent dalam sediaan farmasi dan kosmetik harus inert, aman, tidak bereaksi dengan komponen lain. Beberapa bahan penstabil dan pengental juga termasuk dalam kelompok bahan pembentuk gel. Contoh dari gelling agent digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu: protein contohnya: kolagen dan gelatin; polisakarida contohnya: alginate, karagen, dan guar gum; polimer semi sintetik atau turunan selulosa contohnya: karboksimetil selulosa, metilselulosa dan natrium CMC; polimer sintetik contohnya: polasomer, poliakrilamid, polivinil alkohol dan carbopol; anorganik contohnya: aluminium hidroksida, smectite dan bentonit (Lachman dkk., 1994). 4. Monografi Bahan Pembentuk Gel a. Carbopol 934 Bahan pembentuk gel yang banyak digunakan dalam bidang farmasi dan kosmetik adalah polimer karboksivinil yaitu carbopol. Carbopol merupakan polimer sintetik dengan berat molekul tinggi dari asam akrilat yang disambung silang dengan alil sukrosa atau alil eter dari pentaeritriol. Contoh grade farmasetika dari karbomer adalah carbopol 934 (Gambar 2) (Rowe dkk., 2009). Carbopol dalam air memiliki pH 3 (Voigt, 1995).
Gambar 2. Rumus Bangun Carbopol 934 (Rowe dkk., 2009)
9
Carbopol dapat diinduksi dengan penambahan basa dapat dinetralkan dengan golongan amina, misalnya trietanolamin, dietanolamin, ataupun dengan basa amina misal diisopropanolamin, aminoetil propanol, tetra hidroksi propel etilendiamin dan trometamin. Netralisasi yang berlebihan pada carbopol dapat berakibat turunnya viskositas dari carbopol (Rowe dkk., 2009). Carbopol berbentuk serbuk halus, putih, sedikit berbau karakteristik, higroskopis. Carbopol setelah dinetralisasi dengan alkali hidroksida atau amina larut dalam air, dalam etanol dan dalam gliserol (Depkes RI, 1995). Penggunaan carbopol sebagai gelling agent adalah 0,5-2,0% (Rowe dkk., 2009). b. Trietanolamin (TEA) TEA (Gambar 3) dapat digunakan sebagai zat pembasa dan zat pengemulsi. TEA secara luas digunakan dalam sediaan topikal karena dapat membentuk emulsi. TEA juga digunakan pada pembentukan garam untuk sediaan injeksi dan preparat topikal analgesik (Rowe dkk., 2009).
Gambar 3. Rumus Bangun TEA (Rowe dkk., 2009)
TEA berbentuk cairan kental, tidak berwarna hingga kuning pucat, bau lemah mirip amoniak, higroskopik. Kelarutan mudah larut dalam air dan dalam etanol, larut dalam kloroform. Fungsinya sebagai zat tambahan dan membantu stabilitas gel dengan basis carbopol (DepKes RI, 1995).
10
c. Gliserin Gliserin (Gambar 4) berbentuk cairan seperti sirup, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, manis diikuti rasa hangat higroskopik. Dapat bercampur dengan air dan etanol, tidak larut dalam, eter, dan minyak menguap. Jika disimpan beberapa lama pada suhu rendah dapat memadat, tidak melebur hingga suhu mencapai lebih kurang 20˚C. Gliserin memiliki khasiat sebagai zat tambahan (pelembab) (Depkes RI, 1995).
Gambar 4. Rumus Bangun Gliserin (Rowe dkk., 2009)
Dalam formulasi sediaan topikal dan kosmetik, gliserin digunakan untuk emolien. Gliserin sebagai pelembab digunakan dalam gel berair. Penggunaan gliserin sebagai bahan tambahan sediaan gel berair adalah 5-15% (Rowe dkk., 2009). d. Propilenglikol Propilenglikol (Gambar 5) merupakan cairan kental, jernih, tidak berwarna, rasa khas, praktis tidak berbau (Depkes RI, 1995). Aplikasi dalam sediaan farmasi propilen glikol sering digunakan sebagai pelarut. Fungsi propilenglikol sebagai pelarut lebih baik dibandingkan dengan gliserin. Propilenglikol akan stabil secara kimia apabila dikombinasikan dengan air, gliserin, etanol (95%). Akan terjadi inkompatibilitas apabila propilenglikol dikombinasi dengan bahan yang dapat mengoksidasi seperti kalium permanganat (Rowe dkk., 2009). Propilenglikol untuk sediaan topikal adalah ≤ 15%.
11
Gambar 5. Rumus Bangun Propilenglikol (Rowe dkk., 2009)
5. Antibakteri Antibakteri adalah senyawa kimia yang dapat menghambat pertumbuhan (bakteriostatik) atau dapat membasmi bakteri (bakterisid) yang merugikan manusia (Setiabudy dkk., 2007). Zat antibakteri dapat melakukan aktivitasnya melalui beberapa mekanisme (Tjay dan Rahardja, 2002) yaitu: a. Mengganggu sintesis asam nukleat b. Mengganggu sintesis dinding sel Sintesis dinding sel bakteri dapat diganggu zat antibakteri, sehingga dinding sel yang terbentuk menjadi kurang sempurna dan tidak tahan terhadap tekanan osmotis, sehingga menyebabkan pecahnya sel. c. Mengganggu sintesis membran sel Sintesis molekul lipoprotein membran sel bakteri dapat diganggu zat antibakteri, sehingga membran menjadi lebih permeabel yang menyebabkan keluarnya zat-zat penting dari sel. d. Antagonisme saingan Zat antibakteri dapat bersaing dengan zat-zat yang diperlukan untuk proses metabolisme, sehingga proses tersebut terhenti. Metode difusi digunakan untuk menentukan apakah bakteri uji bersifat peka, resisten atau intermediet terhadap suatu agen antibakteri. Agen antibakteri yang diujikan akan berdifusi melalui media agar. Metode difusi yang digunakan dengan cara Kirby Bauer (disk diffusion). Metode Kirby Bauer adalah metode
12
yang digunakan untuk mengetahui sensitivitas suatu mikroba terhadap antibiotik tertentu. Agen antibiotik dijenuhkan pada papperdisk (kertas saring), kemudian papperdisk tersebut diletakkan pada permukaan media agar yang telah diinokulsi bakteri, diukur nilai DDH di sekitar papperdisk (Murray dkk., 1995). 6. Staphylococcus aureus Stafilokokus berasal dari kata staphyle yang berarti kelompok buah anggur dan kokus yang artinya benih bulat. Kuman ini sering ditemukan sebagai kuman flora normal pada kulit dan selaput lendir pada manusia (Warsa, 1994). Staphylococcus aureus (Gambar 6) adalah bakteri gram positif berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam rangkaian yang tidak teratur seperti anggur. Bakteri ini tumbuh paling cepat pada suhu 37ºC. Staphylococcus aureus membentuk pigmen kuning emas (Jawetz dkk., 2005).
Gambar 6. Morfologi Bakteri Staphylococcus aureus (Irianto, 2006)
Klasifikasi bakteri Staphylococcus aureus menurut adalah sebagai berikut: Kingdom : Procaryota Divisi
: Protophyta
Kelas
: Schizomycetes
Bangsa
: Eubacteriales
Suku
: Microccoceae
Genus
: Staphylococcus
Spesies
: Staphylococcus aureus (Irianto, 2006).
13
Infeksi Staphylococcus aureus berasal dari kontaminasi langsung luka, misalnya pasca operasi, meningitis yang menyertai patah tulang tengkorak. Bakteri Staphylococcus aureus merupakan jenis kuman patogen bagi manusia, hampir semua orang pernah mengalami berbagai macam infeksi yang disebabkan bakteri Staphylococcus aureus sebagai contoh infeksi kulit yang kecil sampai infeksi yang tidak dapat disembuhkan (Jawetz dkk., 2005), infeksi luka bakar (Entjang, 2003). 7. Kulit Kulit adalah lapisan jaringan yang terdapat pada bagian luar yang menutupi dan melindungi permukaan tubuh (Syaifuddin, 2006). Kulit (Gambar 7) tersusun oleh banyak jaringan termasuk pembuluh darah, kelenjar lemak, kelenjar keringat, organ pembuluh, urat syaraf, jaringan pengikat, otot polos, lemak, dan perasa. Diperkirakan luas permukaan kulit ± 18 kaki kuadrat. Berat kulit tanpa lemak adalah ± 8 pond (Aulton, 2007). Menurut Mutschler (1991) fungsi kulit adalah sebagai berikut: a. Melindungi jaringan terhadap kerusakan kimia dan fisika, terutama kerusakan mekanik dan terhadap masuknya mikroorganisme. b. Mencegah terjadinya pengeringan berlebihan, tetapi penguapan air secukupnya tetap terjadi (perspiration insensibilis). c. Bertindak sebagai pengatur panas dengan melakukan konstriksi dan dilatasi pembuluh darah kulit serta pengeluaran keringat. d. Membantu pengeluaran keringat sehingga ikut menunjang kerja ginjal. e. Bertindak sebagai alat pengindera dengan reseptor yang dimilikinya yaitu reseptor tekan, suhu dan nyeri.
14
Gambar 7. Struktur Kulit
Kulit terbagi atas tiga lapisan, yaitu: a. Epidermis Epidermis merupakan lapisan kulit terluar, terdiri dari lapisan sel yang telah mati disebut juga lapisan tanduk. Fungsi epidermis adalah sebagai sawar pelindung terhadap bakteri, iritasi dan alergi. Ketebalan 0,006-0,8 mm, pH 4,0-6,8, kadar air 10-20% (Aulton, 2007). Menurut Harahap (2000), epidermis terbagi atas lima lapisan yaitu: stratum corneum (lapisan tanduk), stratum lucidum (daerah sawar), stratum granulosum (lapisan seperti butir), stratum spinosum (lapisan sel duri), stratum germinativum (lapisan sel basal). b. Dermis Dermis atau korium merupakan lapisan di bawah epidermis dan di atas jaringan sub kutan. Dermis terdiri dari jaringan ikat yang di lapisan atas terjalin rapat, sedang di bagian bawah terjalin lebih longgar. Lapisan pars reticularis mengandung pembuluh darah, saraf, rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebaseus (Aulton, 2007). c. Jaringan Subkutan (Subkutis atau Hipodermis) Kulit yang utuh merupakan sawar yang efektif terhadap penetrasi. Absorbsi obat tergantung pada keadaan fisiologi kulit dan sifat fisika-kimia
15
dari obat. Absorbsi melalui kulit dapat menembus daerah anatomi seperti: langsung menembus epidermis, masuk diantara stratum korneum dan menembus kelenjar keringat, kelenjar lemak serta gelembung rambut (Aulton, 2007). 8. Luka Bakar Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase shock) sampai fase lanjut (Moenadjat, 2000). Luka bakar sering terjadi dalam kehidupan seharihari, seperti terkena air panas, api atau sengatan listrik. Luka bakar adalah luka yang timbul akibat terpejan suhu tinggi, syok listrik, atau bahan kimia. Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan kedalaman dan luas daerah yang terbakar (Corwin, 2007). Luka tersebut dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Chadha, 1995). Menurut Moenadjat (2000), luka bakar dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan penyebab dan kedalaman lukanya. a. Berdasarkan penyebabnya luka bakar dapat terjadi karena: api, luka bakar karena air panas, luka bakar karena bahan kimia (yang bersifat asam atau basa kuat). b. Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan dibedakan menjadi 3 yaitu: 1). Luka bakar derajat I, yaitu: Kerusakan yang terdapat pada lapisan epidermis (superficial), kulit kering, hiperdermik berupa eritema, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi, penyembuhan terjadi secara spontan tanpa pengobatan dalam waktu 5-10 hari.
16
2). Luka bakar derajat II, yaitu: Kerusakan yang meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi, dasar luka berwarna merah atau pucat. 3). Luka bakar derajat III, yaitu: Kerusakan yang meliputi seluruh tebal dermis dan lapisan yang lebih dalam organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat. Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat karena kering, Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eksar. Pada luka bakar ini tidak dijumpai rasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik mengalami kerusakan atau kematian. Menurut Moenadjat (2000) ada tiga fase pada luka bakar, yaitu: a. Fase awal, fase akut, fase shock Fase ini terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit, akibat cedera termis yang bersifat sistemik. b. Fase setelah shock berakhir Fase ini berlangsung setelah shock berakhir atau dapat diatasi. Luka terbuka akibat kerusakan jaringan (kulit dan jaringan bawahnya) menimbulkan masalah antara lain: proses inflamasi, infeksi yang dapat menimbulkan sepsis, proses penguapan cairan tubuh disertai panas yang menyebabkan perubahan dan gangguan proses metabolisme. c. Fase lanjut Fase ini berlangsung setelah terjadi sampai terjadinya maturasi. Masalah pada fase ini adalah timbulnya penyulit dari luka bakar berupa parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi karena kerapuhan jaringan.
17
Ada tiga fase penyembuhan luka bakar, yaitu: a. Fase inflamasi Fase yang berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari ke-5. Sel mast dan jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabillitas kapiler, sehingga terjadi eksudasi cairan, pembentukan sel radang disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan edema dan pembengkakan. Aktifitas seluler yang terjadi adalah migrasi leukosit dan dilatasi pembuluh darah. Leukosit ini mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna mikroorganisme, dan benda asing pada luka.
Limfosit
dan
monosit
yang
muncul
ikut
menghancurkan
mikroorganisme tersebut. Pada fase ini pembentukan kolagen masih sedikit (Lembar dan Astrawinata, 1999). b. Fase proliferasi/fibroplasia Fase yang berlangsung setelah fase inflamasi berakhir pada hari ke-5 samapi hari ke-14. Pada fase ini luka dipenuhi oleh sel radang. Fibroblas dan kolagen membentuk jaringan berwarna kemerahan dan mudah berdarah, epitel dari tepi luka bermigrasi mengisi permukaan luka, kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses baru akan berhenti apabila epitel telah saling menyatu dan menutup permukaan luka (Lembar dan Astrawinata, 1999). c. Fase maturrasi/remodelling Fase yang berlangsung berbulan-bulan. Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebihan dan penataan kembali jaringan yang baru terbentuk (Marzoeki, 1993).
18
F. Landasan Teori Ekstrak etanol daun cocor bebek pada konsentrasi 2,5% mampu menyembuhkan luka bakar pada kulit kelinci (Hasyim dkk., 2012). Salep ekstrak metanol dan salep serbuk daun cocor bebek dapat mempercepat waktu penyembuhan luka (Suprapto dkk., 2015). Daun cocor bebek mengandung senyawa aktif flavonoid, saponin, dan tanin. Senyawa aktif tersebut berpotensi sebagai antibakteri pada bakteri Staphylococcus aureus (Fistiani, 2011). Ekstrak etanol daun cocor bebek diformulasikan dalam bentuk gel untuk mempermudah penggunaannya sebagai obat luka bakar. Sediaan gel memiliki keuntungan antara lain memberikan efek dingin pada kulit dan mempunyai kemampuan penyebaran pada kulit yang baik (Voigt, 1995). Gelling agent yang digunakan sebagai pembentuk gel berbasis polimer sintetik, yaitu carbopol 934. Pemilihan carbopol 934 dikarenakan memiliki stabilitas yang baik dengan viskositas tinggi, sehingga sangat baik digunakan untuk sediaan topikal (Allen, 2002), selain itu pada konsentrasi kecil yaitu 0,5-2,0% mempunyai kekentalan yang cukup sebagai basis gel (Rowe dkk., 2009), dan tidak beracun sehingga dapat diterima dengan baik di kulit (Voigt, 1995).
G. Hipotesis Penggunaan ekstrak etanol daun cocor bebek yang dibuat gel dengan variasi konsentrasi carbopol 934 pada konsentrasi tertentu akan menghasilkan formulasi yang memenuhi karakteristik fisik gel yang baik dan memiliki aktivitas antibakteri pada Staphylococcus aureus.