BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Setiap individu baik laki-laki maupun perempuan pada dasarnya mendambakan kehidupan yang bahagia. Harapan akan kebahagiaan ini pun tidak terlepas bagi seorang wanita karir yang sudah menikah. Menurut
Veenhoven (2006), kebahagiaan adalah
perasaan positif yang dirasakan individu mengenai keseluruhan hidupnya, tingginya perasaan senang dan tercapainya kestabilan dalam menjalani kehidupan. Diener, Suh & Oishi (1997) juga mengungkapkan bahwa, kebahagiaan adalah hasil evaluasi individu terhadap keseluruhan hidupnya yang meliputi afek positif, afek negatif, dan evaluasi kognitif. Carr (2004) menjelaskan bahwa kebahagiaan dan Subjective Well Being (SWB) memiliki arti yang sama yaitu suatu kondisi psikologis pada diri individu yang dikaitkan dengan tingginya kepuasan hidup, tingginya emosi positif dan rendahnya emosi negatif. Stack & Eshleman (1998) menjelaskan bahwa kebahagiaan adalah perasaan subjektif yang dirasakan individu berupa perasaan positif mengenai keseluruhan hidupnya. Tercapainya kehidupan bahagia tentunya dambaan bagi sebagian besar individu tak terkecuali bagi wanita karir yang berstatus menikah. Saat ini, wanita yang berstatus menikah mempunyai banyak pilihan dalam hidupnya setelah menikah, apakah memilih menjadi ibu rumah tangga atau bekerja secara profesional sebagai wanita karir. Ketika seorang wanita memutuskan menjadi wanita karir, hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kehidupanyna. Pengaruh tersebut dapat bersifat positif dan dapat pula negatif. Fenomena wanita karir bukan lagi menjadi hal baru di kalangan masyarakat.
1
2
Hampir setiap lini pekerjaan tidak lagi didominasi oleh kalangan pria tetapi juga wanita (Hidayat, 2012). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (2011) menyatakan keterlibatan wanita dalam ketenagakerjaan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Saat ini seorang wanita tidak hanya terlibat dari sisi sebagai pekerja, tetapi juga terlibat sebagai pengusaha. Kelompok usaha yang paling banyak digeluti oleh pengusaha wanita adalah industri mikro dan kecil. Semakin banyaknya pengusaha wanita saat ini menunjukkan bahwa wanita mampu untuk mandiri dan bahkan mampu untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain. Senada dengan hal tersebut hasil survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan bahwa partisipasi pekerja wanita di Indonesia setiap tahun terus meningkat. Tahun 2003 jumlah pekerja wanita di Indonesia mencapai 35,37%, tahun 2009 mencapai 79,2%, dan tahun 2011 meningkat menjadi 80,8% dari total pekerja wanita secara keseluruhan. Menurut Dewi (2006) tujuan wanita memutuskan berkarir diantaranya adalah untuk membantu memenuhi kebutuhan finansial keluarga, mendapatkan kesempatan mengaktualisasikan diri, berkreasi, dan produktif untuk dirinya maupun orang lain. Senada dengan pendapat tersebut Schultheiss (2009) mengungkapkan tujuan istri bekerja tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi saja melainkan adanya dorongan untuk mandiri dan membangun relasi dengan orang lain secara lebih luas. Setiap individu memiliki gambaran kebahagiaan sendiri-sendiri bergantung pada apa yang melatarbelakanginya (Murtadho, 2009). Wanita karir yang berstatus berkeluarga cenderung lebih bahagia dibanding dengan wanita sebagai ibu rumah tangga (Abbort, 1992). Seorang wanita karir lebih mampu mandiri dan memiliki lingkup sosial lebih luas, sehingga dengan hal tersebut seorang wanita karir memiliki rasa percaya diri dan harga diri yang lebih baik dibanding dengan wanita sebagai ibu rumah tangga (Abbort, 1992).
3
Fendrich (1984) menjelaskan seorang istri yang memiliki pekerjaan sesuai dengan kemampuannya lebih sejahtera dibanding dengan istri berstatus sebagai ibu rumah tangga. Wanita karir yang sudah berkeluarga dan mampu berkontribusi lebih di dalam keluarga dan lingkungan sosialnya, secara individu lebih percaya diri dan lebih bahagia dibanding dengan wanita sebagai ibu rumah tangga (Fendrich, 1984). Berikut ini kisah inspiratif seorang Najwa Shihab salah satu wanita sukses di Indonesia yang beberapa kali mendapatkan penghargaan dalam bidang jurnalistik. Setelah menikah dan memiliki seorang anak ia tetap dapat menyeimbangkan karir dan urusan rumah tangganya dengan baik. Ia sangat bahagia dengan dua peran yang sedang dijalaninya tersebut. Bagi Najwa shihab karir penting tetapi yang lebih penting adalah dapat membahagiakan anak dan suaminya. Sampai saat ini kehidupan rumah tangga dan karir Najwa Shihab semakin cemerlang, semua itu adalah berkat keluarga yang selalu mendukungnya. (http://www.female.com-wanita-inspiratif). Penelitian yang dilakukan Rogers (2004) menjelaskan istri yang berstatus sebagai wanita karir dan menghasilkan pendapatan lebih tinggi dari suami beresiko tinggi terhadap perceraian dan ketidakbahagiaan. Perceraian akan meningkat apabila pendapatan terbesar keluarga disumbangkan oleh istri (Brines & Joyner, 1999). Selanjutnya Frone, Russel & Cooper (1992) menjelaskan perceraian dapat berdampak pada gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, tertekan, kelelahan emosional, bahkan gangguan fisik. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat bahwa tidak semua wanita karir yang berstaus menikah mendapatkan pengaruh positif dari perannya sebagai wanita karir. Sebaliknya tidak semua pula wanita karir berstatus menikah mendapatkan pengaruh negatif dari dua peran yang dijalaninya. Bartley, William & Sharon (2007) mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan ketidakbahagiaan pada wanita karir antara lain karena adanya
4
konflik kerja, memburuknya kesehatan mental, disfungsi keluarga, kelelahan, dan menurunnya kesejahteraan dalam hubungan suami istri. Apollo & Andi (2012), mengungkapkan ketidakbahagiaan wanita karir disebabkan oleh adanya rasa tertekan, kurangnya dukungan suami, konflik kehadiran anak, tingginya tuntutan dan masalah dalam pekerjaan, hubungan antar anggota keluarga yang kurang harmonis, tingginya kebutuhan finansial dan tidak tercapainya aktualisasi diri. Tidak tercapainya kebahagiaan pada wanita karir yang berstatus menikah, secara terus-menerus akan berdampak pada tingginya tingkat depresi dan rasa tertekan yang sering berujung pada perceraian (Himsel & Goldberg, 2003). Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI mengungkapkan bahwa angka perceraian tahun 2010 di Indonesia mencapai 285.184 kasus. Angka tersebut menunjukkan angka perceraian tertinggi sejak 5 tahun terakhir (Saputra, 2011). Tingginya angka perceraian tersebut mencerminkan adanya ketidakbahagiaan seseorang sehingga memicu perceraian. Carr (2004) mengungkapkan bahwa kebahagiaan dipengaruhi oleh faktor tingginya kualitas pernikahan, dukungan sosial, agama, dan produktivitas pekerjaan. Disisi lain, Argyle (1999) mengemukakan bahwa kebahagiaan dipengaruhi oleh faktor demografi dan lingkungan. Senada dengan hal tersebut, Diener et al (2005) mengungkapkan bahwa kebahagiaan dipengaruhi oleh faktor genetik, kepribadian, dan demografi. Amato et al (2007) juga mengungkapkan bahwa kebahagiaan wanita karir dipengaruhi oleh faktor kehadiran anak dalam rumah tangga, pendapatan, sikap egaliter, kerjasama, dan religiusitas. Disisi lain, Bazerman (1998) menemukan bahwa kebahagiaan dipengaruhi oleh faktor tingginya tingkat keterampilan negosiasi. Penelitian yang dilakukan oleh Esere, Yusuf, & Omotosho (2011) menemukan bahwa faktor terpenting dalam mencapai kebahagiaan wanita karir yang berstatus sudah menikah adalah terciptanya komunikasi interpersonal antara suami istri. Selanjutnya,
5
Bartley, William & Sharon (2007) mengungkapkan kebahagiaan dipengaruhi oleh faktor kesehatan atau tidak adanya penyakit, terciptanya keseimbangan dalam mengurus pekerjaan dan keluarga, dan tidak adanya konflik kerja dan keluarga. Rumanti (1997) menyebutkan bahwa kebahagiaan wanita karir berstatus sudah menikah dapat dicapai apabila terjalin komunikasi yang baik antar suami istri, terjalinnya hubungan seksual dan ekspresi afeksi, pengasuhan anak yang seimbang, pendapatan yang stabil, terjalinnya hubungan dengan mertua, dan terjalinnya aktivitas sosial dan rekreasi dengan anggota keluarga secara baik. Apabila aspek-aspek tersebut terpenuhi maka kebahagiaan pun akan dapat dirasakan. Kossek, Noe & Demarr (1999) juga menyebutkan kebahagiaan merupakan kontributor terpenting bagi wanita karir untuk keseimbangan dalam pekerjaan dan mengurus keluarga, namun untuk mencapai kebahagiaan tersebut bukanlah hal yang mudah, butuh usaha yang matang dalam mencapainya. Selanjutnya, Esere, Yusuf, & Omotosho (2011) mengungkapkan tercapainya kebahagiaan adalah terciptanya komunikasi interpersonal. Komunikasi sangat penting dalam setiap kehidupan manusia terutama bagi wanita karir yang berstatus menikah. Komunikasi merupakan sebuah tindakan untuk berbagi informasi, gagasan atau pendapat terhadap partisipan yang terlibat di dalamnya guna mencapai kesamaan makna. Salah satu bentuk komunikasi adalah komunikasi interpersonal (Hidayat, 2012). Komunikasi interpersonal dapat diartikan sebagai proses pertukaran informasi antara dua orang atau lebih yang dilakukan secara langsung baik verbal maupun nonverbal (Wood, 2013). Komunikasi interpersonal merupakan pusat dari hubungan romantis temasuk dalam hubungan pernikahan (Vangelisti, 2012). Komunikasi interpersonal sangat penting terutama saat seseorang berinteraksi dengan orang lain (Esere, Yusuf, & Omotosho 2011). Sebuah hubungan tanpa komunikasi dapat memicu runtuhnya hubungan yang sudah dibina tersebut. Banyak masalah ditemukan ketika tidak terdapat komunikasi interpersonal
6
dan banyak pula masalah dapat terselesaikan apabila terdapat komunikasi interpersonal. Ketika dalam sebuah hubungan termasuk hubungan pernikahan tidak tercapai komunikasi interpersonal, berbagai masalah dengan mudah akan muncul sehingga dapat menimbulkan konflik berlebihan, tidak terciptanya keterampilan efektif dalam pemecahan masalah, kurangnya keintiman, ikatan emosional yang lemah dan sebagainya (Esere, Yusuf, & Omotosho 2011). Eliyani (2013) juga mengungkapkan bahwa permasalahan dalam hubungan pernikahan dapat diselesaikan apabila terdapat keterbukaan dalam berkomunikasi. Selain itu, menurut Eliyani (2013) keterbukaan dapat menjadi salah satu kunci dalam membangun komunikasi yang baik. Senada dengan pendapat tersebut Brooks & Emmert (1997) mengungkapkan bahwa keterbukaan dalam komunikasi mampu menumbuhkan sikap saling percaya, sikap objektif, berusaha untuk mencari informasi akurat dan terpercaya. Menurut Harvard Business Review (Butland's, 2012), keterampilan komunikasi interpersonal merupakan indikator kuat dalam mencapai suatu kebahagiaan. Kurangnya keterampilan komunikasi interpersonal dalam sebuah hubungan dikaitkan dengan munculnya depresi, kecemasan, rasa malu, kesepian, gangguan perkembangan, masalah akademik, penyalahgunaan narkoba dan tidak tercapainya kesejahteraan dalam hidup. Sebaliknya, tingginya tingkat komunikasi interpersonal berkorelasi positif terhadap tingginya tingkat interaksi sosial, meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang, memungkinkan seseorang untuk membentuk dan mempertahankan hubungan, dan suksesnya pekerjaan. DeFrain & Olson (2003) menjelaskan bahwa pasangan suami istri yang aktif dalam komunikasi interpersonal merasa lebih bahagia dibanding dengan pasangan suami istri yang tidak aktif dalam komunikasi interpersonal. Teciptanya komunikasi interpersonal dalam sebuah hubungan termasuk di dalamnya hubungan pernikahan memungkinkan
7
seseorang untuk mengungkapkan segala keinginan, harapan maupun permasalahan yang terjadi. Hasil Lembaga Riset Roper Starch (Roper Poll, 1999) menemukan bahwa dari 1001 orang warga Amerika Serikat, 53 % peserta survei menyebutkan bahwa buruknya komunikasi di dalam hubungan pernikahan menjadi penyebab tidak tercapainya kebahagiaan dan menjadi penyebab utama timbulnya perceraian, 5% disebabkan oleh masalah seksual, 29% disebabkan masalah keuangan, 3% disebabkan masalah persahahabatan, 7% masalah keluarga, dan 3% masalah anak. Semakin baik individu dalam membangun komunikasi interpersonal maka semakin besar kemungkinan individu menjadi terampil dalam mencapai sebuah tujuan. Terampil di dalam melakukan komunikasi interpersonal bagi istri yang berstatus sebagai wanita karir sangat penting, apabila dalam menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga dan peran sebagai wanita karir seorang istri menerapkan komunikasi interpersonal dengan pasangan maupun dengan keluarganya dapat diprediksi kebahagiaan pun akan dapat dirasakan (Eliyani, 2013). Berdasarkan hasil penelitian Bradbury, Fincham, & Beach (2000), bahwa kebahagiaan wanita karir juga dipengaruhi oleh tingginya tingkat kepuasan pernikahan. Kepuasan pernikahan adalah suatu penilaian terhadap diri sendiri, pasangan, dan hubungan pernikahannya secara subjektif dan situasional. Semakin puas seseorang dengan kehidupan pernikahannya maka semakin tinggi pula tingkat kebahagiaan. Hasil analisis taxometric yang dilakukan oleh Beach, Fincham, Amir, dan Leonard (2005) menemukan bahwa 80% responden menyatakan puas terhadap hubungan pernikahanya, sedangkan 20% responden menyatakan tidak puas dengan hubungan pernikahannya. Tingginya kepuasan pernikahan akan berpengaruh terhadap tingginya tingkat kebahagiaan, sebaliknya rendahnya kepuasan pernikahan mencerminkan rendah pula tingkat kebahagiaan seseorang. Proulx, Helms, dan
8
Buehler (2007) juga menemukan bahwa dari 93 studi yang telah dilakukan terdapat hubungan positif antara kepuasan pernikahan dangan kesejahteraan psikologis individu. Olson, DeFrain, & Linda (2011) menyebutkan bahwa elemen kepuasan pernikahan ditandai dengan adanya komunikasi, resolusi konflik, gaya dan kebiasaan pasangan, manajemen keuangan, aktivitas bersama, afeksi dan seksualitas, teman dan keluarga, pengasuhan anak, kesetaraan peran, dan religiusitas. Secara lebih mendalam Canel (2013) dan Nimtz (2011) menjelaskan bahwa kepuasan pernikahan ditandai dengan adanya komitmen untuk mempertahankan hubungan pernikahan, sikap saling menghargai, saling mendukung, saling percaya, keterbukan dalam komunikasi, adanya kerjasama, dan rendahnya tingkat stres. Pendapat tersebut didukung oleh Olson (2000) yang mengungkapkan bahwa kepuasan pernikahan berpengaruh positif terhadap kebahagiaan hidup kebanyakan orang. Seberapa jauh tingkat kepuasan pernikahan seseorang dapat dilihat dari aktivitas komunikasi antara suami istri, kegiatan mengisi waktu luang, religiusitas, resolusi konflik, hubungan seksual, hubungan dengan keluarga dan teman, kehadiran dan pengasuhan anak, dan peran egaliter (Rachmawati & Endah, 2013). Selanjutnya Rickard, Forehan, Atkeson, & Lopez (1992) menjelaskan pasangan yang memiliki derajat kepuasan pernikahan lebih baik ditunjukkan dengan tingginya perhatian yang diberikan pada anak. Tercapainya kebahagiaan pada diri seseorang dapat dilihat pada saat individu mengekspresikan kebahagiaan dan keintiman dalam hubungan pernikahannya (Harway, 2005). Carr (2004) mengungkapkan bahwa ada dua kategori untuk menilai individu yang bahagia dan yang tidak bahagia. Pertama, individu yang bahagia lebih atraktif dibanding dengan individu yang tidak bahagia dalam menjalankan kehidupannya. Kedua, individu yang bahagia lebih baik secara psikologi, fisik, pengasuhan anak, menjalin relasi dengan keluarga, dan menjalankan peran sebagai orang tua. Berdasarkan hasil penelitian beberapa
9
ahli tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa penting bagi setiap individu khususnya bagi wanita karir untuk tetap menjaga hubungan pernikahannya agar wanita karir juga dapat merasakan kebahagiaan dalam hidup. Berdasarkan hasil penelitian dan data di atas dapat diketahui bahwa komunikasi interpersonal dan kepuasan pernikahan berhubungan dengan kebahagiaan wanita karir, namun sebagian besar hasil penelitian terdahulu dilakukan pada masyarakat yang menganut budaya individualis, sementara masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan budaya kolektif. Menurut Lu et al (2001), masyarakat dengan budaya individualis meyakini bahwa kebahagiaan dapat diperoleh apabila harga diri (self esteem) individu sangat dihargai oleh orang lain di lingkungannya. Harga diri menjadi prediktor tertinggi dalam mencapai kebahagiaan hidup. Harga diri dapat dicapai individu melalui kerja keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa terlalu memperdulikan status sosial orang lain (Lu et al, 2001). Wu (1992) menjelaskan bahwa masyarakat dengan budaya kolektif, meyakini bahwa kebahagiaan hidup lebih dari sekedar kesejahteraan individu. Kebahagiaan hidup meliputi adanya integrasi, harmonisasi antara manusia, masyarakat dan alam. Lu, Gilmour & Kao (2001) juga menjelaskan bahwa masyarakat dengan budaya kolektif meyakini kebahagiaan hidup dapat diperoleh melalui kesehatan fisik, kehidupan yang selamat dan damai, rendahnya kecemasan dalam menghadapi kematian, hubungan interpersonal yang harmonis, adanya prestasi di tempat kerja, dan kepuasan hidup. Berdasarkan penjelasan dan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli terdahulu perlu diteliti lebih lanjut apakah tingkat kebahagiaan wanita karir pada masyarakat dengan budaya kolektif juga berkaitan dengan komunikasi interpersonal dan kepuasan pernikahan.
10
B. 1) Apakah
Rumusan Masalah
terdapat hubungan antara komunikasi interpersonal dengan kebahagiaan
wanita karir ? 2) Apakah terdapat hubungan antara kepuasan pernikahan dengan kebahagian wanita karir ? 3) Apakah ada hubungan antara komunikasi interpersonal dan kepuasan pernikahan dengan kebahagiaan wanita karir ?
C.
Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka peneliti ingin mengetahui bagaimana hubungan antara komunikasi interpersonal dan kepuasan pernikahan dengan kebahagiaan wanita karir.
D.
Manfaat Penelitian
1) Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah khususnya di bidang Psikologi perkembangan dan menjadi sumber informasi bagi peneliti lain yang ingin mengembangkan penelitian mengenai komunikasi interpersonal, kepuasan pernikahan dan kebahagiaan wanita karir. 2) Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan bagi wanita karir khususnya yang berstatus menikah untuk dapat meningkatkan komunikasi interpersonal dan kepuasan pernikahan agar tercapai kebahagiaan dalam hidup.