BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia setelah china, India, dan Amerika Serikat. Saat ini Indonesia menempati posisi ke-4 dengan jumlah penduduk mencapai 253,60 juta jiwa disusul Brasil yang menempati posisi ke-5 dengan jumlah penduduk mencapai 202,65 juta jiwa (Purnomo, 2014). Banyaknya penduduk di Indonesia dikarenakan tingginya laju pertumbuhan penduduk. Hal tersebut merupakan salah satu karaktersitik Indonesia sebagai negara berkembang. Karakteristik lain sebagai negara berkembang yaitu perekonomian bergerak pada sektor primer seperti pertambangan, kehutanan, perikanan, dan pertanian. Selain itu, masih kurangnya kemandirian yang disebabkan lambannya perkembangan teknologi mengakibatkan Indonesia masih membutuhkan bantuan dari negara lain untuk mengolah bahan-bahan mentah dari hasil alam. Hal tersebut terbukti dari banyaknya kebutuhan barang maupun jasa yang masih berasal dari luar negeri (impor) namun bahannya berasal dari Indonesia. Banyaknya berbagai barang maupun jasa yang di impor dari luar seperti makanan, pakaian, gadget, kosmetik, dan lain-lain membuat industri dalam negeri tidak mau kalah dengan terus mengembangkan produk-produknya. Berbagai inovasi terus dilakukan agar dapat bersaing dengan produk luar. Masyarakat akhirnya dihadapkan dengan berbagai pilihan barang maupun jasa baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Hal itu tentunya dapat mempengaruhi pola konsumsi masyarakat.
1
2 Pola konsumsi masyarakat di Indonesia cenderung menjadi berlebihan dan tidak lagi untuk pemenuhan kebutuhan semata akan tetapi untuk memenuhi keinginan yang sifatnya untuk menaikkan prestise, menjaga gengsi, mengikuti mode, dan berbagai alasan lain yang sebenarnya kurang penting (Parma, 2007). Indonesia pada tahn 2011 disebut-sebut sebagai negera yang menempati peringkat kedua di dunia sebagai negara paling konsumtif setelah Singapura. Hal itu terbukti dari nilai transaksi kartu kredit di Indonesia yang mencapai 250 triliun setahun, sementara anggaran negara hanya 1.200 triliun (Salafudin, 2011). Perilaku konsumtif merupakan bentuk perilaku seseorang membeli sesuatu secara berlebihan dan tidak rasional tanpa mempertimbangkan kebutuhan (Parma, 2007). Selain itu, seseorang yang berperilaku konsumtif biasanya cenderung akan berganti produk dengan fungsi atau jenis yang sama akan tetapi mereknya berbeda walaupun produk yang sebelumnya masih ada (Sumartono, 2002). Akibatnya, seseorang menjadi boros dan tidak bisa mengontrol pengeluarannya. Konsumsi sendiri sebenarnya merupakan suatu kebutuhan manusia demi kelangsungan
hidupnya
apabila
dilakukan
sebagaimana
mestinya
namun
kenyataannya fenomena yang terjadi pada masyarakat saat ini yaitu melakukan konsumsi secara berlebihan (Fitriasih, 2007). Di era modern ini, dapat dikatakan perilaku konsumtif yang dilakukan masyarakat tumbuh begitu pesat. Seseorang cenderung membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Wanita merupakan salah satu contoh yang paling banyak terkena dampak konsumerisme atau mudah terpengaruh gaya hidup konsumtif. Mengapa demikian? karena pada dasanya wanita itu senang berbelanja, selain untuk memenuhi kebutuhan juga untuk merawat diri agar terlihat lebih cantik. Oleh sebab itu, wanita senang berbelanja untuk memperoleh barang-barang yang dapat menunjang penampilannya. Akan tetapi, ketika dihadapkan dengan banyak pilihan sering kali wanita mengalami kesulitan untuk menentukan produk mana yang akan dibeli (Mangkunegara, 2002).
3 Konsumen (wanita) apabila membeli barang dipengaruhi oleh motif emosional seperti hal-hal yang bersifat pribadi seperti harga diri, perasaan dan lain sebagainya, maka konsumen tersebut cenderung tidak mempertimbangkan apakah barang yang dibelinya sesuai dengan kebutuhannya atau tidak (Schiffman & Kanuk, 2004). Ada beberapa alasan mengapa perilaku konsumtif wanita lebih besar dibandingkan dengan pria. Pertama, ketika seorang wanita tertarik pada sesuatu maka ia akan berusaha untuk mendapatkannya. Kemudian, wanita akan cenderung untuk membandingkan barang satu dengan yang lain untuk mendapatkan barang yang menurutnya terbaik. Oleh sebab itu, wanita membutuhkan berbagai jenis pengalaman berbelanja dibandingkan pria. Terakhir, yang membedakan wanita dengan pria pada saat berbelanja, kalau pria melihat belanja sebagai kebutuhan, sementara pada kebanyakan wanita memandang belanja adalah kegiatan yang menyenangkan dan sekaligus untuk refreshing (Sekartaji, 2012). Buku berjudul woman and gender merupakan salah satu buku yang membahas tentang perilaku wanita. Didalamnya, Foreit (1980) menyebutkan bahwa kebanyakan dari masyarakat menilai wanita dari penampilan fisik dan cara berpakaian (Crawford dan Unger, 2004). Oleh sebab itu, wanita melakukan segala cara untuk mengubah dirinya menjadi lebih cantik seperti gaya berpakaian, aksesoris, menggunakan kosmetik, dan lain sebagainya (Schiffman & Kanuk, 2010). Fenomena di atas dapat kita lihat dengan jelas pada remaja wanita. Remaja yang pada dasarnya masih dalam proses pencarian identitas sangat sensitif dengan pengaruh dari luar. Selain itu, berbagai hal yang dilakukan remaja seperti gaya berpakaian, cara menghias diri, menggunakan asksesoris merupakan salah satu cara yang dilakukan remaja untuk menumbuhkan rasa percaya diri (Sumartono, 2002). Masa remaja menurut Sullivan (1953) juga merupakan salah satu masa ketika seseorang sangat membutuhkan teman (Santrock, 2011). Pentingnya pertemanan bagi remaja membuat remaja merasa takut tidak diterima oleh teman sebaya apabila tidak berpenampilan sama dengan teman-teman lainnya. Akibatnya, banyak remaja ingin
4 selalu berpenampilan yang menarik perhatian orang lain terutama teman sebaya. Hal itulah yang kemudian memudahkan remaja untuk berperilaku konsumtif (Sumartono, 2002). Melihat uraian diatas tentang perilaku konsumtif yang lebih banyak dilakukan oleh remaja wanita, membuat peneliti tertarik untuk meneliti perilaku konsumtif pada wanita khususnya wanita yang sedang menempuh jenjang perguruan tinggi (mahasiswi). Peneliti memilih mahasiswi menjadi subjek karena mahasiswi berada pada masa transisi dari remaja akhir menuju masa dewasa awal dengan kisaran usia antara 18 sampai 25 tahun. Pada masa tersebut seseorang berada pada puncak ketidakstabilan dan mengalami banyak perubahan baik dari segi fisik, kognitif, seksual, maupun sosioemosional sehingga lebih mudah terpengaruh oleh lingkungannya (Santrock, 2013). Arnett (2006) berpendapat bahwa pada masa transisi tersebut pemikiran seseorang juga cenderung lebih banyak dipengaruhi oleh emosi dikarenakan adanya perasaan feeling in between, yaitu perasaan seorang merasa dirinya bukan lagi remaja namun juga tidak ingin dikatakan sebagai orang dewasa seutuhnya (Santrock,2013). Oleh karena itu, mahasiswi mudah terpengaruh untuk mengikuti berbagai macam tren yang ada baik dari segi penampilan, gaya berpakaian dan lain-lain sehingga rentan dengan perilaku konsumtif (Pratiknyo, 2008). Sekarang ini, fenomena perilaku konsumtif yang sedang marak di kalangan mahasiswi adalah perilaku konsumtif yang berkaitan dengan produk kosmetik. Bagaimana tidak, hampir sebagian besar iklan di televisi merupakan produk kosmetik. Selain itu, banyak juga media-media sosial yang mulai menawarkan berbagai macam produk kosmetik baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Hal itu tentunya menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pola konsumsi mahasiswi khususnya pada produk kosmetik. Beberapa bukti yang menandakan bahwa mahasiswi rentan dengan perilaku konsumtif khususnya pada produk kosmetik adalah hasil wawancara yang dilakukan
5 peneliti pada tanggal 29 Desember 2014 terhadap empat orang mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan S1 di salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta berinisial A, B, C, dan D. A,B,C berasal dari fakultas yang sama sedangkan D dari fakultas berbeda. Dari keempat subjek tersebut, tiga diantaranya mengatakan bahwa mereka tergolong melakukan perilaku konsumtif pada produk kosmetik. Produk kosmetik yang sering menjadi incaran mereka antara lain, lipstik, eye liner, mascara, dan bedak. Salah satu dari keempat subjek yaitu A mengatakan bahwa ia sering tidak bisa mengendalikan hasrat ingin membeli kosmetik khususnya lipstik apabila warnanya bagus walaupun ia masih mempunyai lipstik dirumah. Lalu, subjek D menyatakan bahwa ia mudah melakukan perilaku konsumtif secara spontan apabila dihadapkan dengan banyak pilihan kosmetik. Contohnya, ketika D berbelanja ke sebuah toko kosmetik dari rumah hanya berencana beli shampo tapi sesampainya di toko tersebut D juga membeli kosmetik lain. Ketika peneliti menanyakan mengapa memilih kosmetik tersebut, jawaban subjek pun beragam. Ada yang mengatakan bahwa memilih kosmetik berdasar rekomendasi teman, review dari media sosial, dan juga spontanitas ketika berada di toko. Akibat dari perilaku konsumtif yang dilakukan terhadap produk kosmetik tersebut membuat mahasiswi menjadi boros bahkan tidak jarang uang bulanan habis sebelum waktunya. Bukti lain tentang perilaku konsumtif mahasiswa yaitu penelitian yang dilakukan oleh Enrico, Aron, dan Oktavia pada 270 mahasiswa di Jakarta tahun 2014. Hasilnya, hampir sebagian besar subjek melakukan perilaku konsumtif namun dengan faktor yang berbeda-beda seperti daya beli, kegunaan produk, status sosial dan lain-lain. Mahasiswi yang melakukan perilaku konsumtif karena faktor daya belinya tinggi dapat dikatakan wajar karena ia mempunyai uang yang digunakan untuk membeli barang-barang yang ia inginkan. Namun lain halnya dengan mahasiswi yang mempunyai kemampuan secara finansial rendah atau daya belinya rendah. Ketika ia melakukan perilaku konsumtif yang tidak diimbangi dengan kemampuan finansial, hal
6 itu akan berdampak negatif terhadap dirinya. Ia akan cenderung melakukan berbagai cara untuk mandapatkan uang seperti, berbohong pada orangtua, mencuri, menggunakan uang yang bukan haknya (korupsi), bahkan bisa juga melakukan prostitusi (pelacuran) demi mendapatkan uang dengan cara yang mudah dan menggunakannya
untuk
membeli
berbagai
barang
yang
dapat
menunjang
penampilannya (Noor, 2013). Ada dua faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif seseorang yaitu, faktor budaya dan faktor psikologis. Faktor budaya meliputi status/tingkat sosial, purchasing power, kegunaan produk, kelompok anutan (reference small group), dan keluarga. Sedangkan faktor psikologis meliputi, pengalaman belajar menentukan tindakan dan pengambilan keputusan membeli, kepribadian, sikap dan keyakinan, kepuasan diri, dan gambaran diri (self-concept) (Mangkunegara, 2002 ; Enrico., Aron., Oktavia, 2014). Salah satu faktor yang akan ditinjau dalam penelitian ini adalah konsep diri. Konsep diri merupakan cara kita melihat diri kita sendiri dalam waktu tertentu sebagai gambaran tentang apa yang kita pikirkan (Mangkunegara, 2002). Melalui konsep diri individu dapat memperoleh gambaran tentang dirinya secara utuh. Baik yang bersifat fisik, sosial dan psikologis (Brooks, dalam Rakhmat, 2012). Konsep diri juga menjawab pertanyaan tentang siapa saya? Dimana saya seharusnya? dan bagaimana saya seharusnya? (Tesser & Schwarz, 2001). Konsep diri bukan merupakan bawaan melainkan produk sosial yang berkembang dan dipelajari melalui hubungan dengan orang lain. Cooley (1902), berpendapat bahwa cara orang lain memandang kita, dan bagaimana kita mempersepsikan penilaian orang lain tersebut, dapat mempengaruhi cara kita memandang diri sendiri. Konsep diri juga merupakan produk kognitif yang mulai terbentuk ketika individu berusia dua tahun. Pada saat individu berusia dua sampai delapan tahun maka dia sudah dapat mendeskripskan dirinya walaupun sebatas ciri fisik seperti, aku berbeda dari orang lain. Kemudian, ketika individu menginjak usia
7 remaja maka ia mulai dapat mendeskripsikan dirinya secara lebih abstrak seperti sifat, kepribadian, dan lain sebagainya (Tesser & Schwarz, 2001). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan produk sosial, dan kognitif yang berisi mengenai gambaran kita terhadap diri sendiri. Konsep diri dapat bersifat positif dan negatif. Konsep diri positif timbul apabila gambaran yang dimiliki sesuai dengan gambaran ideal tentang diri yang diharapkan (Hidayah, 2003). Menurut D.E. Hamachek, individu yang memiliki konsep diri positif mempunyai karakteristik antara lain, mampu mengatasi persoalan yang dihadapi, yakin dengan nilai dan prinsip tertentu dan dapat mempertahankannya, menikmati dirinya secara utuh, sanggup menerima dirinya sebagai orang yang bernilai bagi orang lain, tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan hal-hal yang akan terjadi besok maupun yang lalu, dan cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya (Rakhmat, 2012). Individu dengan konsep diri negatif karakteristiknya cenderung tidak tahan dengan kritik yang diterimanya, dan senang sekali apabila mendapat pujian sehingga berusaha dengan berbagai cara agar bisa mendapat pujian dari orang lain. selain itu, mereka juga kurang percaya dengan kemampuannya sendiri, serta merasa tidak disenangi orang lain atau merasa tidak berharga. Adanya tekanan sosial dalam masyarakat yang menuntut wanita untuk tampil cantik memberi efek negatif terhadap konsep diri khususnya pada mahasiswi. Mahasiswi yang mempunyai konsep diri negatif cenderung akan terpengaruh dengan tekanan sosial tersebut sehingga berusaha untuk menjadikan dirinya seperti apa yang orang lain pikirkan. Apabila seorang mahasiswi sudah mengembangkan konsep diri negatif, maka ketika ada anggapan bahwa dengan menggunakan kosmetik dapat meningkatkan kecantikan kemungkinan besar dia akan berusaha untuk menggunakannya. Tentunya hal tersebut dapat mempengaruhi pola konsumsi mahasiswi terhadap produk kosmetik. Oleh karena itu, muncul pertanyaan apakah ada hubungan antara konsep diri dengan
8 perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dilakukan penelitian dengan judul hubungan antara konsep diri dengan perilaku konsumtif mahasiswi terhadap produk kosmetik.
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dengan perilaku konsumtif mahasiswi terhadap produk kosmetik. C. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Secara teoritis penelitian ini berguna untuk pengembangan ilmu Psikologi secara umum yang berkaitan dengan perilaku konsumtif hubungannya dengan konsep diri. Sedangkan secara khusus berguna bagi pengembangan ilmu psikologi konsumen.
2. Praktis 1. Untuk Mahasiswi Kegunaan penelitian ini untuk mahasiswi adalah agar mahasiwi dapat mengembangkan konsep diri yang positif sehingga tidak mudah terpengaruh lingkungan yang mengakibatkan seseorang berperilaku konsumtif. 2. Untuk Orangtua Kegunaan penelitian ini untuk orangtua adalah agar orangtua dapat memberikan gambaran kepada anak perempuan mereka bahwa menggunakan kosmetik sebenarnya boleh asalkan tidak berlebihan sehingga mengakibatkan pemborosan yang berujung pada perilaku konsumtif.