BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia yang ada di dunia ini pasti menginginkan adanya keberhasilan ataupun kesuksesan. Keberhasilan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk melewati dan mengatasi dari satu kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat. Keberhasilan memang tidak datang dengan sendirinya, melainkan membutuhkan proses, pengorbanan dan perjuangan yang harus dilalui. Adanya kegagalan dan keharusan untuk mencoba kembali harus menjadi sebuah semboyan dan pondasi bagi individu yang ingin meraih sebuah keberhasilan. Thomas Alva Edison, penemu lampu pijar yang manfaatnya dapat dirasakan sampai saat ini. Proses dalam menemukan lampu pijar, Thomas sering kali menghadapi kegagalan, akan tetapi Thomas adalah seseorang yang tidak takut gagal dan yakin bahwa keberhasilan adalah sebuah proses, dan hasil karya beliau dapat dilihat dan dirasakan manfaatnya hingga hari ini (Diana, 2008) Keberhasilan akan menghampiri seluruh profesi yang ada, salah satunya adalah guru. Guru dalam proses belajar mengajar di sekolah mengharapkan agar peserta didik dapat mencapai hasil belajar yang sebaik-baiknya, sebagai wujud keberhasilan guru dalam mengajar. Kegiatan belajar mengajar akan memberikan beberapa rintangan dan halangan yang akan dihadapi oleh setiap guru, Sehingga bagaimana guru menghadapi rintangan dan halangan tersebut. hal tersebut di kalangan para ilmuwan psikologi disebut dengan Adversity quotient.
1
2
Berdasarkan hal tersebut, Stoltz (2005) mengemukakan Adversity Quotient (AQ) sebagai kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur. AQ membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap berpegang teguh pada prinsip dan impian tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan, dalam hal ini kesuksesan berarti keberhasilan guru dalam mengajar. AQ berperan dalam meramalkan dan menentukan kesuksesan seseorang. Berbagai macam hambatan di temukan oleh guru sebagai pengajar dalam peningkatan prestasi belajar siswa, untuk itu guru harus mempunyai AQ yang tinggi untuk dapat mengatasi segala permasalahan yang di hadapinya. Berdasarkan pendapat stoltz (2005) AQ memberi tahu seberapa jauh seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan dan seberapa besar kemampuan yang di miliki untuk mengatasinya. Adversity
Quotient
juga
memberikan
manfaat,
diantaranya
AQ
memberikan petunjuk tentang seberapa tabah seseorang dalam menghadapi sebuah kemalangan, Memperkirakan tentang seberapa besar kemampuan seseorang dalam menghadapi setiap kesulitan dan ketidakmampuannya dalam menghadapi kesulitan tersebut, AQ juga memperkirakan siapa yang mampu dan tidak mampu melampaui harapan, kinerja serta potensi nya dan AQ dapat memperkirakan siapa yang putus asa dalam meghadapi kesulitan dan siapa yang akan bertahan (Stolz, 2005) AQ dibutuhkan di semua orang, di semua tempat dan daerah. Tinggal di daerah dengan hambatan tertentu membutuhkan AQ. Daerah rawan bencana, AQ
3
yaitu memberitahu kepada penduduk daerah rawan bencana, apakah seseorang tersebut mampu bertahan atau belum mampu bertahan dari kesulitan kesulitan yang telah menghampirinya, terutama bencana yang telah menyisakan luka. Profesi yang menuntut AQ, salah satunya adalah Guru. Guru dituntut untuk memiliki AQ yang tinggi, mengingat tugas guru sebagai pendidik dan sebagai model bagi peserta didiknya. Sebagai seorang guru, banyak hambatan yang di hadapi oleh guru tersebut, seperti halnya hambatan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Guru yang berada di daerah rawan bencana harus memiliki AQ yang tinggi, sebab di dalam meningkatkan prestasi belajar siswa, guru harus selalu waspada dengan adanya bencana yang sewaktu waktu dapat datang tanpa adanya tanda tanda kedatangannya. Penelitian awal yang dilakukan di daerah rawan bencana tepatnya di desa Balerante, kecamatan Kemalang, Klaten peneliti melihat bahwasannya dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik, guru telah memiliki konsep konsep AQ yang di tandai dengan guru selalu berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan semaksimal mungkin. Tugas guru salah satunya adalah mencari tema materi pembelajaran. Guru dituntut untuk membuat tema pembelajaran dengan sendirinya, karena belum ada kurikulum dari dinas pendidikan yang bisa dijadikan panutan dalam pembuatan tema mengajar. Membuat materi pembelajaran akan ada banyak hambatan yang harus dilalui, seperti dalam memperbanyak materi yang mengharuskan untuk di fotocopy, sedangkan tempat untuk foto copy terletak jauh dari PAUD, namun tetap dilakukan oleh guru tersebut walaupun harus sampai kehujanan. Bila tidak ada dana atau biaya yang digunakan untuk foto
4
copy, maka guru memfoto copynya secara manual yaitu dengan cara membuat sesuai dengan aslinya sebanyak jumlah siswa. Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan satu satunya PAUD yang ada di desa Balerante, dan PAUD tersebut tergolong baru karena baru berjalan selama kurang lebih 5 bulan. Guru yang mengajar di PAUD mengikuti proses pembuatan dari awal, mulai dari training awal dan pelatihan pelatihan yang ditujukan khusus kepada guru PAUD supaya dapat mendidik peserta didik dengan maksimal sesuai dengan yang di harapkan. Guru memulai pendekatan kepada warga yang berada di desa setempat dengan mendatangi rumah masing masing warga dan menjelaskan pentingnya sekolah pendidikan anak usia dini. Proses mengenalkan PAUD kepada para orang tua dengan cara guru guru keliling menuju rumah rumah penduduk dengan membawa formulir yang masih kosong dan mengenalkan atau menjelaskan pentingnya PAUD dan fungsi PAUD itu satu persatu, dan itu tidak menjadi masalah bagi guru PAUD, yang terpenting adalah anak anak usia dini mereka mau untuk menempuh PAUD. Guru PAUD sendiri menyadari, bahwa ketika akan memulai sesuatu yang baru, dan kemudian mengajak banyak orang untuk mengikutinya, belum tentu orang tersebut akan mau mengikutinya. Orang tua murid banyak yang menolak dengan berbagai macam alasan, namun setelah melihat hasil dari PAUD tersebut maka mereka mulai memasukkan anaknya di PAUD. PAUD yang ada termasuk baru, maka guru yang mengajar dituntut untuk membuat kurikulum dengan sendiri tanpa mengikuti dari dinas pendidikan.
5
PAUD merupakan pendidikan bagi anak-anak usia tiga sampai enam tahun yang pelaksanaannya antara lain melalui pendidikan pada kelompok bermain (play group) dan taman kanak-kanak PAUD sangat penting karena pada masa usia tersebut merupakan “kesempatan emas” meletakkan sendi-sendi yang kuat untuk pengembangan aspek-aspek psikis seperti intelektual, emosi, motivasi, konsep diri, kerjasama dan kepercayaan diri. Penelitian Hasnah (2005) menyimpulkan bahwa anak-anak SD yang mengikuti sekolah taman kanak-kanak lebih baik perkembangan prososialnya daripada anak-anak yang tidak mengikuti taman kanak-kanak. Anak-anak SD yang berasal dari taman kanak-kanak lebih toleran, lebih mandiri, lebih baik penyesuaian dirinya, dan lebih bisa bergaul ketimbang anak-anak yang tidak mengikuti taman kanak-kanak. Allah berfirman dalam QS An-Nahl: 78
ون ِ اَّلل َأخ َْر َج ُ ُْك ِم ْن بُ ُط ُ َو ه َ الس ْم َع َو ْ َاْلبْ َص َار َو ْ َاْلفْ ِئدَ َة ل َ َعل ه ُ ُْك ت َ ْش ُك ُر َ ون ُأ همهَا ِت ُ ُْك ََل تَ ْعلَ ُم ون َشيْئًا َو َج َع َل لَ ُ ُُك ه Artinya: "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur". (An Nahl: 78)
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa anak lahir dalam keadaan lemah tak berdaya dan tidak dapat mengetahui apapun. Allah membekali anak tersebut dengan penglihatan, pendengaran dan hati nurani. Bekal tersebut yang membuat manusia dapat membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya. Kemampuan dan indera tersebut diperoleh secara bertahap, yaitu sedikit demi sedikit. Semakin tumbuh besar seseorang, maka akan semakin bertambah
kemampuan
penglihatan,
pendengaran
dan
akalnya.
Bekal
6
pendengaran, penglihatan dan hati nurani tersebut memperoleh pengaruh dan berbagai didikan dari lingkungan sekitar. Hal ini pula yang sejalan dengan sabda Rasulullah SAW berikut ini:
ِ َح هدثَنَا َع ْبدُ ْ َاْلعْ ََل َع ْن َم ْع َم ٍر َع ِن ُّالز ْه ِر ِ ِّي َع ْن َس ِعي ِد ْب ِن الْ ُم َسي ه ِب َع ْن َأ ِِب ه َُرْي َر َة َأ هن َر ُسو َل ه اَّلل ُ اَّلل َص هَل ه ُّ ُ عَلَ ْي ِه َو َس ه ََّل قَا َل ُ َ ُُك َم ْولُو ٍد ي صا ِن ِه َأ ْو يُ َم ِ ِّج َسا ِن ِه َ ِّ ِ َوَل عَ ََل الْ ِف ْط َر ِة فَأَب َ َوا ُه ُيُ َ ِّ ِو َدا ِن ِه َويُن Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi”.(HR. Bukhari, Abu Daud, Ahmad) Anak yang lahir ke bumi ini dalam keadaan suci tanpa mengetahui suatu apapun. Anak hanya dapat mendengar, namun belum mengerti maknanya dan anak dapat melihat. Kewajiban orang tua atau orang dewasa untuk mengajarkan dan memberitahu kepada anak anak yang baik dan buruk, sehingga anak dapat membedakan dua hal tersebut. Pada saat mengenalkan PAUD kepada warga masyarakat, tidak sedikit warga yang menolak untuk menyekolahkan anak nya di sekolah yang relative baru dan guru yang mayoritas penduduk asli desa Balerante dengan latar belakang pendidikan yang belum memenuhi syarat menjadi guru. Guru PAUD tidak pernah menyerah, akan tetapi berani bangkit dari kegagalan yang pernah dialaminya dan selalu terus mencoba sampai mendapatkan apa yang dicita citakannya. Guru yang dapat mengatasi hambatan atau kegagalan menjadi peluang, tentu akan mendapatkan hasil akhir yang maksimal sesuai dengan yang di harapkan, yaitu masyarakat yang sadar akan pentingnya PAUD, karena memang sebelum masuk Taman Kanak Kanak hendaknya menempuh PAUD terlebih dahulu.
7
Merujuk uraian di atas betapa pentingnya pendidikan untuk anak usia dini terutama di daerah daerah yang rawan akan bencana, sehingga membutuhkan daya juang yang tinggi dalam melaksanakan proses pendidikan tersebut dari para pendidik. Kesulitan yang dihadapi oleh guru PAUD inilah yang membuat peneliti mengadakan penelitian yang ingin mengungkap kemampuan guru PAUD dalam menghadapi kesulitan kesulitan. Di harapkan dari beberapa pengungkapan tentang kesulitan yang dihadapi guru PAUD ini dapat membuka wawasan kepala PAUD dan pemerintah setempat mengenai bagaimana guru PAUD menghadapi kesulitan sehingga kepala PAUD dan pemerintah setempat dapat membantu guru guru dalam menyelesaikan kesulitan kesulitan tersebut. Alasan inilah yang mendasari peneliti dalam menyusun skripsi dengan judul “Adversity Quotient pada guru PAUD daerah rawan bencana lereng gunung Merapi”
B. Tujuan Penelitian Untuk mendeskripsikan bagaimana Adversity Quotient pada Guru PAUD daerah rawan bencana lereng gunung Merapi
C. Manfaat Penelitian 1. Adanya
penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan
sumbangan
pengetahuan terhadap ilmu psikologi, khususnya psikologi pendidikan. 2. Hasil dari penelitian diharapkan mampu untuk di manfaatkan sebagai bahan informasi, serta menambah wawasan mengenai Adversity Quotient Pada guru PAUD daerah rawan bencana lereng gunung Merapi. 3. Dapat dijadikan sebagai bahan refrensi untuk melakukan penelitian yang sejenis.