BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Gagal Ginjal Kronik (GGK) didefinisikan sebagai ketidaknormalan struktur atau fungsi ginjal selama lebih dari 3 bulan yang progresif ke arah gagal ginjal terminal. Kriteria lain dari GGK adalah terdapat tanda kerusakan ginjal seperti terjadinya albuminuria, adanya sedimen urin, abnormalitas elektrolit yang disebabkan oleh penyakit tubular, riwayat transplantasi ginjal serta penurunan nilai GFR hingga kurang dari 60 ml/menit/1,73m2. Pasien GGK dengan nilai GFR kurang dari 15 ml/menit/1,73m2 perlu dilakukan inisiasi hemodialisis atau transplantasi ginjal (KDIGO, 2013). Menurut 5th Annual Report of Indonesian Renal Registry (IRR) jumlah pasien hemodialisis baru dan pasien hemodialisis aktif di Indonesia dari tahun 2007 terus meningkat hingga tahun 2012. Pada tahun 2007 jumlah pasien baru HD sebanyak 4.977 pasien dan pasien aktif HD 1.885 pasien, sementara pada tahun 2012 jumlah pasien baru HD 19.621 pasien dan pasien aktif HD 9.161 pasien (PERNEFRI, 2013). Pergeseran paradigma pelayanan kefarmasian dari drug oriented ke patient oriented (pharmaceutical care) menuntut peran farmasis dalam memaksimalkan terapi pasien. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan identifikasi terhadap munculnya Drug Related Problems (DRPs). DRPs merupakan bagian dari suatu medication error yang dihadapi hampir semua negara di dunia.
1
2
DRPs didefinisikan sebagai suatu permasalahan yang timbul dalam penggunaan obat yang secara potensial maupun aktual dapat mempengaruhi outcome terapi pasien, meningkatkan biaya perawatan serta dapat menghambat tercapainya tujuan terapi. Munculnya DRPs dapat dipicu dengan semakin meningkatnya jenis dan jumlah obat yang dikonsumsi pasien untuk mengatasi berbagai penyakit yang diderita, seperti pada beberapa penyakit kronik. Komponen dari DRPs yakni penggunaan obat tanpa indikasi, indikasi tanpa obat, menerima obat salah, dosis obat terlalu rendah, dosis obat terlalu tinggi, interaksi obat, Adverse Drug Reaction (ADR) dan kepatuhan pasien (Cipolle et al., 1998). Sebuah penelitian juga dilakukan oleh Manley et al., (2003) untuk mengetahui frekuensi, jenis dan tingkat masalah yang berhubungan dengan pengobatan pada pasien hemodialisis di Amerika Serikat. Disebutkan bahwa ada sekitar 350.000 pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik stadium akhir dan 246.121 diantaranya menjalani hemodialisis pada tahun 2003. Hampir sekitar 111.000 pasien tersebut mengalami masalah terapi setiap bulannya. Hasil penelitian menunjukan bahwa DRPs teridentifikasi sebanyak 1.593 kasus pada 395 pasien (51.2% pria; usia 52,4Β±8,2 tahun; 42,7% dengan diabetes). Jenis DRPs yang paling sering ditemukan adalah ketidaktepatan monitoring laboratorium (23,5%) dan indikasi tanpa pengobatan (16,9%). Dosis tidak tepat ditemukan sebanyak 20,4% dari seluruh DRPs yang teridentifikasi (dosis sub terapi 11,2%; overdosis 9,2%) (Manley et al., 2003). Layanan hemodialisis di Rumah Sakit Akademik UGM pertama kali diresmikan pada tanggal 7 Januari 2013 sehingga sudah beroperasi selama 3 tahun
3
sampai saat ini. Pasien hemodialisis rutin meningkat dari 35 pasien pada tahun 2013 menjadi 80 pasien pada tahun 2016. Mengingat semakin meningkatnya pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis serta tingginya risiko kejadian DRPs akibat rejimen terapi GGK yang kompleks, maka perlu dilakukan pengkajian tentang karakteristik pasien, pola pengobatan serta profil DRPs yang terjadi di Rumah Sakit Akademik UGM. Penelitian ini dapat menjadi penelitian awal dari seri tahapan penelitian sebagai informasi ilmiah untuk bahan evaluasi dalam pengobatan penyakit gagal ginjal kronik dengan hemodialisis di Rumah Sakit Akademik UGM.
B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimana karakteristik pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada?
2.
Bagaimana pola penggunaan obat pada pasien gagal ginjal dengan hemodialisis?
3.
Seperti apa profil Drug Related Problems (DRPs) pada pasien gagal ginjal dengan hemodialisis?
C. Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui karakteristik pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada.
2.
Mengetahui pola pengobatan pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis.
4
3.
Mengetahui profil Drug Related Problems (DRPs) pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis.
D. Manfaat Penelitian 1.
Mengetahui angka kejadian dan profil DRPs pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada sehingga tenaga kresehatan dapat mengantisipasi dan mencari solusi terhadap jenis DRPs yang ditemukan.
2.
Sebagai salah satu acuan untuk meningkatkan mutu pelayanan medik khususnya dalam pengobatan gagal ginjal kronik dengan hemodialisis.
3.
Sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian selanjutnya.
E. Tinjauan Pustaka 1. Gagal Ginjal Kronik a. Definisi . Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) mendefinisikan penyakit Gagal Ginjal Kronik/GGK (Chronic Kidney Disease/CKD) atau juga disebut insufisiensi ginjal kronik (Chronic Renal Insufficiency) sebagai ketidaknormalan struktur atau fungsi ginjal selama lebih dari 3 bulan yang progresif ke arah gagal ginjal terminal. KDIGO juga menjelaskan kriteria lain dari GGK ialah sebagai berikut (KDIGO, 2012): 1) Kerusakan ginjal yang ditandai satu atau lebih dari penanda berikut: (a) albuminuria (AER β₯ 30 mg/24 jam; ACR β₯ 30 mg/g); (b) adanya sedimen urin;
5
(c) abnormalitas elektrolit yang disebabkan oleh penyakit tubular; (d) riwayat transplantasi ginjal. 2) Penurunan nilai GFR hingga kurang dari 60 ml/menit/1,73m2. b. Klasifikasi Berdasarkan jenisnya, penurunan fungsi ginjal dibagi menjadi 2 kategori besar yaitu (Joy et al., 2008): 1) Gagal Ginjal Akut (GGA) yaitu gangguan ginjal yang disebabkan oleh menurunnya fungsi ginjal secara cepat dalam beberapa hari atau minggu. 2) Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan yang progresif dari fungsi ginjal yang terjadi setelah beberapa bulan atau tahun dan ditandai oleh penggantian arsitektur ginjal (bentuk-bentuk sel ginjal) yang normal secara perlahan-lahan dengan jaringan fibrosis intertisial. Penyakit ginjal yang progresif atau nefropati secara umum disebut GGK atau kedua fase tersebut sering digunakan secara bergantian. Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai dengan uremia, anemia, asidosis, osteodistrofi, neuropati dan penurunan kondisi secara keseluruhan yang diikuti oleh hipertensi, udema dan lebih rentan terkena infeksi. Hal ini disebabkan oleh penurunan yang bermakna sistem ekskresi, homeostatik, metabolik dan sistem endokrin ginjal yang berlangsung dalam beberapa bulan atau tahun. Tanda dan gejala gagal ginjal kronik secara umum terlihat ketika laju filtrasi glomerulus telah menurun dibawah 15mL/menit. Penyebab gagal ginjal kronik yang paling umum adalah diabetes dan hipertensi, disamping penyebab lainnya seperti progresifitas penyakit infeksi saluran kemih, glomerulonefritis, penyakit
6
ginjal polikistik, makanan, penyakit batu ginjal konginetal (bawaan sejak lahir) dan juga karena obat-obatan dan toksin (Anonim, 2006). Deteksi awal dan pengobatan secepat mungkin penyakit gagal ginjal kronik adalah kunci mencegah penyakit ini berkembang menjadi gagal ginjal terminal. Beberapa tes yang dapat dilakukan untuk deteksi awal penyakit ginjal adalah (Anonim, 2006): 1) Pengukuran tekanan darah 2) Tes proteinuria, bila terdapat protein dalam urin kemungkinan telah terjadi kerusakan pada sistem ginjal. Hasil positif juga bisa terjadi pada seseorang yang demam atau seseorang yang baru saja melakukan pekerjaan berat. 3) Uji kreatinin, untuk uji ini diperlukan juga data mengenai umur, ras, jenis kelamin dan faktor lain untuk menghitung laju filtrasi glomerulur (Glomerulus Filtration Rate/GFR) yang akan menunjukan fungsi ginjal seseorang. Pengukuran kliren kreatinin penderita gangguan ginjal (Johnson et al., 2004). 1) Pengumpulan urin selama 24 jam Merupakan metode yang paling tepat dalam pengukuran klirens kreatinin penderita dengan melalui pengumpulan urin selama jangka waktu 24 jam dan pengambilan cuplikan plasma di antara jangka waktu tersebut. Selanjutnya dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: ππΏ πΓπ πΆπππ ( )= πππππ‘ π Clcr
: kliren kreatinin (mL/menit)
V : laju aliran urin (mL/menit)
U
: kadar kreatinin urin (mikromol/L) S : kadar kreatinin serum (Β΅mol/L)
7
2) Rumus Cockroft Gault Rumus ini merupakan cara yang sangat berguna untuk memperkirakan kadar kreatinin serum dan mencatat faktor yang mempengaruhi massa otot penderita (usia, jenis kelamin dan berat badan) dan memungkinkan perkiraan kliren kreatinin dari rata-rata populasi. Persamaan Cockroft Gault Pada pria: πΆπππ (ππ/πππππ‘) =
(140βπ’ππ’π)Γπ΅π΅(ππ) 72Γπ πππ’π πππππ‘ππππ (ππ/ππ)
Pada wanita: πΆπππ (ππ/πππππ‘) =
ΓπΉ
(140βπ’ππ’π)Γπ΅π΅(ππ) 72Γπ πππ’π πππππ‘ππππ (ππ/ππ)
ΓπΉ
BB
: Berat badan
F
: Faktor perkalian yang besarnya untuk laki laki =1; untuk perempuan=0,85
3) Bila tidak diketahui berat badan pasien. GFR bisa dihitung dengan menggunakan rumus metode Modification Diet on Renal Disease (MDRD) (Johnson et al., 2004): πΊπΉπ
= 186 Γ πππ β1,154 Γ π’ππ’π β0,203 Γ (0,742 ππππ π€ππππ‘π) Scr
: Serum kreatinin (Β΅mol/L) Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan penurunan GFR yang diambil
dari Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 6th edition disajikan dalam tabel I (Joy et al., 2008). Tabel I. Stadium Penyakit Gagal Ginjal Kronik (KDIGO, 2012) Stadium GFR (mL/menit/1,73m2 luas permukaan tubuh) 1 β₯90* 2 60-89 3 30-59 4 15-29 5 <15 (termasuk pasien dengan dialysis)
8
c. Epidemiologi Di Amerika Serikat, menurut penelitian The Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) mengenai perubahan serum kreatinin (SrCr) pada 18.000 penduduk Amerika selama 12 tahun dari tahun 1988 sampai 1994. Didapatkan data bahwa diperkirakan 800.000 penduduk Amerika mempunyai nilai serum kreatinin β₯1,5mL/menit. Meskipun data serum kreatinin saja tidak bisa menggambarkan keseluruhan fungsi ginjal tetapi secara umum memberikan data penduduk yang mempunyai risiko untuk menderita penyakit ginjal kronik (Joy et al., 2008) Menurut data U.S. Renal Data System (USRDS) yang melaporkan mengenai
perkembangan,
pengobatan,
morbiditas
dan
mortalitas
yang
berhubungan dengan ESRD dari pasien dengan tranplantasi ginjal, didapatkan 370.000 pasien menerima terapi penggantian ginjal karena ESRD di ujung tahun 2000, dengan diperkirakan 96.000 pasien yang mendapatkan pengobatan pada tahun tersebut adalah pasien baru. Populasi yang mempunyai risiko lebih besar untuk berkembangnya ESRD adalah laki-laki dan penduduk usia tua, khususnya pasien dengan usia 65 tahun atau lebih tua. Lebih dari 51% kejadian hemodialisis pada tahun 2000 adalah para pasien yang berusia 65 tahun atau lebih tua (Hudson dan Johnson, 2005). Saat ini, data dari 5th Annual Report of Indonesian Renal Registry (IRR) menunjukan jumlah pasien hemodialisis baru dan pasien hemodialisis aktif di Indonesia dari tahun 2007 terus meningkat hingga tahun 2012. Pada tahun 2007 jumlah pasien baru HD sebanyak 4.977 pasien dan pasien aktif HD 1.885 pasien,
9
sementara pada tahun 2012 jumlah pasien baru HD 19.621 pasien dan pasien aktif HD 9.161 pasien. Berdasarkan jumlah pasien hemodialisis aktif di Indonesia dari tahun 2007-2012, jumlah pasien laki-laki tiap tahun melebihi jumlah pasien perempuan (PERNEFRI, 2013) d. Etiologi Etiologi penyakit gagal ginjal kronik bervariasi antara satu negara dengan negara yang lain. Di Indonesia jumlah pasien penyakit gagal ginjal berdasarkan diagnosa etiologi/comorbid tahun 2012 menurut data Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), dimana penyakit ginjal hipertensi masih menduduki angka tertinggi yaitu 5.654 pasien, disusul nefropati diabetika sebanyak 4.199 pasien. Untuk wilayah DIY angka tertinggi penyakit ginjal hipertensi sebanyak 746 pasien dan angka nefropati diabetika sebanyak 534 pasien. Penyakit penyebab pasien hemodialisis pada tahun 2012 menurut data PERNEFRI disajikan pada tabel II (PERNEFRI, 2013). Tabel II. Persentase Diagnosa Penyakit Penyebab Pasien HD di Indonesia Menurut Data PERNEFRI Tahun 2012 (PERNEFRI, 2013) Penyakit Penyebab Persentase (%) Ginjal Hipertensi 35 Nefropati Diabetika 26 Glumerulopati Primer/GNC 12 Nefropati Obstruksi 8 Pielonefritis kronik/PNC 7 Lain-lain 6 Nefropati Asam Urat 2 Nefropati Lupus/SLE 1 Ginjal Polikistik 1 Tidak diketahui 2 Jumlah 100
10
e. Faktor Risiko Terdapat beberapa kategori faktor risiko yang dihubungkan dengan gagal ginjal kronik yaitu (DiPiro et al., 2005): 1) Faktor risiko yang meningkatkan kerentanan ginjal kronik yaitu faktor sosio demografi seperti usia, pendapatan rendah, pendidikan rendah, ras, berat lahir rendah dan riwayat keluarga. Selain faktor sosiodemografi, keadaan menyebabkan terjadi inflamasi sistemik dan dislipidemia dapat pula meningkatkan risiko kerentanan gagal ginjal kronik. Faktor risiko tersebut dapat meningkatkan risiko perkembangan penyakit walaupun tidak berperan secara langsung. 2) Faktor risiko yang menginisiasi yaitu kondisi yang secara langsung dapat menginisiasi kerusakan ginjal. Diabetes melitus, hipertensi, penyakit autoimun, penyakit polikistik, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu ginjal dan pembengkakakn saluran kemih bagian bawah serta ketoksikan obat masuk kedalam kategori faktor risiko yang menginisiasi. Dari beberapa faktor risiko tersebut yang menjadi penyebab terbesar adalah: a) Diabetes melitus, suatu studi prospektif menerangkan bahwa lebih dari 300.000 individu yang telah disaring dari Multiple Risk Factor Intervention Trial (MRFIT) diperkirakan bahwa kurang dari 3% individu dengan diabetes akan berkembang menjadi gagal ginjal kronik stadium lima. b) Hipertensi, analisis cohort Multiple Risk Factor Intervention Trial (MRFIT) menjelaskan bahwa risiko seumur hidup keseluruhan tahap
11
perkembangan gagal ginjal stadium 5 untuk individu dengan hipertensi adalah 5,6%. c) Glomerulonefritis 3) Faktor risiko yang dapat memperburuk keadaan kerusakan ginjal dan dihubungkan dengan kecepatan penurunan fungsi ginjal setelah diinisiasi faktor risiko: a) Proteinuria, data studi cohort lebih dari 1800 individu dengan berbagai stadium gagal ginjal menunjukan secara jelas tingkatan risiko untuk progresivitas gagal ginjal kronik meningkat sebanyak lebih dari 5 kali lipat b) Hipertensi c) Diabetes Melitus d) Merokok, berbagai studi mendukung bahwa terdapat hubungan antara merokok dengan inisiasi faktor dan progresif faktor gagal ginjal kronik pada diabetes tipe 2. e) Hiperlipidemia, prevalensi hiperlipidemia meningkatkan peran dalam penurunan fungsi ginjal dan kemunculan sindrom nefrotik. f. Komplikasi Prevalensi komplikasi gagal ginjal kronik berkaitan dengan level GFR. Penurunan level GFR dikaitkan dengan berbagai komplikasi akibat gangguan dalam sistem organ lain yang dimanifestasikan dengan hipertensi, hasil uji laboratorium dan gejala. Manifestasi klinik komplikasi tersebut dapat berupa keabnormalitasan nilai albuminuria dan proteinuria, keabnormalitasan jumlah
12
cairan dan elektrolit, defisiensi erytropoetin yang menyebabkan anemia, kelebihan hormon paratiroid dan kekurangan vitamin D yang menyebabkan penyakit tulang (K/DOQI, 2002) Penurunan produksi eritropoetin oleh sel progenitor ginjal merupakan penyebab utama anemia pada GGK. Penurunan hemoglobin (Hb) secara umum terlihat setelah terjadi penurunan GFR dibawah 60mL/menit dan berkembang semakin parah. Hiperparatiroid sekunder terjadi karena respon keabnormalitasan metabolik GGK; hiperfosfatemia yang dihubungkan dengan penurunan konversi vitamin D menjadi bentuk aktif dapat menyebabkan hipokalsemia yang secara primer menstimulus PTH (DiPiro et al., 2005) Keabnormalan jumlah cairan dan elektrolit dan asidosis metabolik merupakan hasil primer perubahan mekanisme transport dan penurunan eliminasi cairan. Malnutrisi juga terjadi akibat perubahan diet seperti pembatasan fosfor. Selain itu dapat juga diakibatkan oleh adanya penurunan nafsu makan yang biasanya terjadi pada pasien dengan stadium gagal ginjal parah (DiPiro et al., 2005). g. Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik Pengobatan konservatif terdiri dari 2 strategi. Pertama adalah usaha-usaha untuk memperlambat laju penurunan fungsi ginjal yaitu dengan pengobatan hipertensi, pembatasan asupan protein, restriksi fosfor, mengurangi proteinuria dan mengendalikan hiperlipidemia. Kedua adalah mencegah kerusakan ginjal (KDIGO, 2012). Pedoman Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) 2012: Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney
13
Disease merupakan pedoman yang memperbarui pedoman K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification pada tahun 2002, yang mencakup banyak topik yang terkait dengan diagnosis, klasifikasi, stratifikasi dan pengelolaan CKD (KDIGO, 2012). Tabel III. Manajemen Terapi pada Gagal Ginjal Kronik (KDIGO, 2012) Terapi Kondisi GFR<60mL/menit/1,73m2 dan/atau Terapi dengan bikarbonat transplantasi ginjal GFR<60mL/menit/1,73m2 dan/atau Terapi dengan allopurinol transplantasi ginjal dengan/tanpa hiperuresemia Inisiasi dilakukan RRT (Renal GFR<30mL/menit/1,73m2 Replacement Therapy) GFR<60mL/menit/1,73m2 dan/atau Diet protein transplantasi ginjal
Pedoman KDIGO meninjau bukti yang mendukung untuk rekomendasi dalam penundaan progresi dari CKD. Penggunaan tes kepadatan mineral tulang dilakukan pada pasien dengan GFR 45 mL/menit/1,73 m2 dan ada saran untuk tidak meresepkan bifosfonat pada pasien dengan GFR 30 mL/menit/1,73 m2. Tabel IV akan menjelaskan penggunaan Phosphate-Binding Agents dalam praktik klinik rutin (KDIGO, 2012). Tabel IV. Phosphate-Binding Agents dalam Praktik Klinik Rutin (KDIGO, 2012) Obat Dosis Harian Aluminium hidroksida
1.425-2.85 g
Kalsium sitrat
1.5-3 g
Magnesium karbonat Kombinasi kalsium asetat dan magnesium karbonat Kalsium karbonat
0.7-1.4 g (ditambah kalsium karbonat 0.33-0.66 g) Kalsium asetat 435 mg ditambah magnesium karbonat 235 mg, 3-10 tablet/hari 3-6 g
Kalsium asetat
3-6 g
Lathanum karbonat
3g
Sevelamer-HCl
4.8-9.6 g
Sevelamer karbonat 4.8-9.6 g Catatan: AKI=Acute Kidney Injury; CKD=Chronic Kidney Disease; CrCl=Creatinine Clearance; GFR=Glomerular Filtration Rate.
14
Pedoman KDIGO juga merangkum catatan penting dalam peresepan obat pada pasien dengan gangguan ginjal kronik pada tabel V (KDIGO, 2012).
Obat
Tabel V. Catatan Penting untuk Peresepan pada Pasien GGK (KDIGO, 2012) Catatan Penting
1. Antihipertensi Antagonis sistem RAA (ACEI, ARB, antagonis aldosteron, inhibitor renin langsung)
Beta-blocker Digoxin 2. Analgetik NSAID
Opioid
3. Antimikroba Penicillin
Aminoglikosida
Makrolida Fluorokuinolon Tetrasiklin
Hindari pada pasien yang diduga gangguan fungsional stenosis arteri ginjal Dimulai dengan dosis yang lebih rendah pada pasien dengan GFR<45mL/menit/1,73m2 Menilai GFR dan mengukur serum kalium dalam waktu 1 minggu dari awal pemberian atau mengikuti setiap eskalasi dosis Dihentikan sementara selama adanya penyakit penyerta, persiapkan radiocontrast secara IV, persiapan untuk colonscopy atau sebelum operasi besar Jangan rutin menghentikan pengobatan pada pasien dengan GFR<30mL/menit/1,73m2 selama mereka tetap nephroprotective Turunkan dosis hingga 50% pada pasien dengan GFR<30mL/menit/1,73m2 Turunkan dosis berdasarkan konsentrasi plasmanya Hindarkan pada pasien dengan GFR<30mL/menit/1,73m2 Terapi jangka panjang tidak direkomendasikan pada pasien dengan GFR<60mL/menit/1,73m2 Dianjurkan tidak digunakan pada pasien yang menggunakan lithium Hindarkan pada pasien yang menggunakan RAAS blocking agent Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2 Gunakan dengan peringatan pada pasien dengan GFR<15mL/menit/1,73m2 Risiko crystalluria ketika GFR<15mL/menit/1,73m2 dengan dosis tinggi Neurotoksik dengan benzylpenicillin ketika GFR<15ml/menit/1,73m2dengan dosis tinggi (maksimum 6 g/hari) Turunkan dosis dan atau naikkan interval dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2 Monitor konsentrasi serum Hindari pemakaian ototoxic agents secara bersamaan seperti furosemide Turunkan dosis sampai 50% ketika GFR<30mL/menit/1,73m2 Turunkan dosis sampai 50% ketika GFR<15mL/menit/1,73m2 Turunkan dosis ketika GFR<45mL/menit/1,73m2, dapat memperburuk uremia
15
Antifungi
4. Obat Hipoglikemia Sulfonilurea
Insulin Metformin
Hindari amphotericin kecuali tidak ada alternatif ketika GFR<60mL/menit/1,73m2 Turunkan dosis pemeliharaan dari fluconazole sampai 50% ketika GFR<45mL/menit/1,73m2 Turunkan dosis flucytosine ketika GFR<60mL/menit/1,73m2 Hindari obat-obat yang utamanya dieksresi melalui ginjal (contoh: glyburide/glibenklamid) Obat-obat yang utamanya dimetabolisme di hati perlu diturunkan dosisnya ketika GFR<30mL/menit/1,73m2 (contoh: gliclazide, gliquidone) Sebagian diekskresi di ginjal dan perlu diturunkan dosisnya ketika GFR<30mL/menit/1,73m2 Dianjurkan untuk dihindari ketika GFR<30mL/menit/1,73m2, tapi pertimbangkan risk-benefit jika nilai GFR stabil Tinjau penggunaan ketika GFR<45mL/menit/1,73m2 Dimungkinkan aman ketika GFRβ₯45mL/menit/1,73m2 Tunda penggunaan pada pasien yang tidak sehat secara mendadak
5. Antihiperlidemia Statin
Fenofibrat
Tidak ada kenaikan toksisitas untuk simvastatin dengan dosis 20 mg/hari atau kombinasi simvastatin 20 mg dan ezetimide 10 mg per hari pada pasien dengan GFR<30mL/menit/1,73m2 atau dengan dialisis Uji lain tentang statin pada pasien dengan GFR<15mL/menit/1,73m2atau dengan dialisis juga menunjukan tidak ada kelebihan toksisitas Menaikkan SCr sekitar 0,13 mg/dL (12Β΅mol/L)
6. Kemoterapetik Cisplatin
Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2 Hindari ketika GFR<30mL/menit/1,73m2
Melphalan Methotrexate
Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2 Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2 Hindari jika mungkin ketika GFR<15mL/menit/1,73m2
7. Antikoagulan Heparin berbobot molekul kecil
Warfarin
8. Lain-lain Lithium
Bagi dua dosis ketika GFR<30mL/menit/1,73m2 Pertimbangkan beralih ke heparin konvensional atau dengan alternatif memantau plasma anti-faktor Xa pada pasien yang berisiko tinggi perdarahan Menaikkan risiko perdarahan ketika GFR<30mL/menit/1,73m2 Pakailah dosis lebih rendah dan monitor secara ketat ketikat GFR<30mL/menit/1,73m2 Nefrotoksisk dan dapat menyebabkan disfungsi tubular ginjal dengan penggunaan jangka panjang bahkan dalam range terapeutik Memantau GFR, elektrolit dan level lithium 6 bulanan atau secara rutin jika dosis berubah atau pasien tidak sehat mendadak Hindari penggunaan bersamaan dengan NSAID
16
2. Hemodialisis Hemodialisis pertama kali diperkenalkan sebagai pengobatan efektif yang bisa diterapkan dalam 19.431 prospek pasien dengan gagal ginjal yang kemudian dapat merubah antisipasi risiko kematian yang akan datang menjadi kelangsungan hidup yang lebih panjang. Sejak itu, pelaksanaan dialisis telah maju dari intensif bedside therapy menjadi pengobatan yang lebih mudah, kadang-kadang dapat diberikan dengan self-administered di kediaman pasien sendiri, menggunakan teknologi modern yang telah disederhanakan dengan mengurangi waktu dan usaha yang dibutuhkan oleh pasien dan perawat (K-DOQI, 2015). Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi
pengganti
ginjal
(Renal
Replacement
Therapy/RRT) dan
hanya
menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita GGK stadium 5 dan pada pasien dengan Acute Kidney Injury (AKI) yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan hemodialisis dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: hemodialisis darurat/emergency, hemodialisis persiapan/preparative dan hemodialisis kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007). Walaupun tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya
17
menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan cairan saat hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani hemodialisis reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (Agarwal dan Light, 2010). 3. Drug Related Problems (DRPs) DRPs merupakan kejadian yang tidak diharapkan yang dialami oleh pasien akibat atau diduga akibat terapi obat secara aktual atau potensial mengganggu outcome terapi yang diharapkan. DRPs aktual adalah DRPs yang sudah terjadi sehingga harus diatasi dan dipecahkan. DRPs potensial adalah DRPs yang kemungkinan besar dapat terjadi dan akan dialami oleh pasien apabila tidak dilakukan pencegahan (Rover et al., 2003). Farmasis sebagai profesi yang bertanggung jawab dalam terapi obat harus dapat mengidentifikasi, mengatasi atau mencegah terjadinya DRPs. Ada 2 komponen primer dalam DRPs yaitu (Cipolle et al., 1998): a. Kejadian atau risiko yang tidak diharapkan yang dialami oleh pasien. Kejadian ini dapat diakibatkan oleh kondisi ekonomi, psikologi, fisiologis atau sosiokultural pasien. b. Ada hubungan atau diduga ada hubungan antara kejadian yang tidak diharapkan yang dialami oleh pasien dengan terapi obat. Hubungan ini meliputi konsekuensi dari terapi obat sebagai penyebab atau diduga sebagai penyebab kejadian tersebut, atau dibutuhkannnya terapi obat untuk mengatasi atau mencegah kejadian tersebut.
18
DRPs menjadi beberapa kategori sebagai berikut (Cipolle et al., 1998): a. Indikasi yang tidak mendapatkan obat Pasien membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profilaksis atau premedikasi, memiliki penyakit kronik yang memerlukan pengobatan kontinyu, memerlukan terapi kombinasi untuk menghasilkan efek sinergis atau potensiasi dan/atau ada kondisi kesehatan baru yang memerlukan terapi obat. b. Obat tanpa indikasi Hal ini dapat terjadi dikarenakan menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat, dapat membaik kondisinya dengan terapi non farmakologi, minum beberapa obat padahal hanya satu terapi obat yang diindikasikan (duplikasi) dan/atau minum obat untuk mengobati efek samping. c. Menerima obat salah Kasus yang mungkin terjadi adalah obat tidak efektif, alergi, adanya risiko kontraindikasi, resisten terhadap obat yang diberikan dan/atau obat bukan yang paling aman. d. Dosis terlalu rendah Penyebabnya antara lain dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan, jangka waktu terapi terlalu pendek, pemilihan obat, dosis, rute pemberian dan sediaan obat tidak tepat. e. Dosis terlalu tinggi Penyebabnya antara lain dosis dan interval terlalu tinggi, konsentrasi obat diatas kisar terapetik, akumulasi obat karena penyakit kronik.
19
f. Pasien mengalami Adverse Drug Reaction (ADR) Penyebab umum kategori ini pasien menerima obat yang tidak aman, pemakaian obat yang tidak tepat, interaksi dengan obat lain, dosis dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat sehingga menyebabkan ADR dan/atau pasien mengalami efek yang tidak dikehendaki yang tidak diprediksi. g. Kepatuhan Pasien mengalami kondisi atau keadaan yang tidak diinginkan akibat tidak minum obat secara benar. Beberapa penyebabnya adalah obat yang dibutuhkan tidak ada, pasien tidak mampu membeli, pasien tidak memahami instruksi, pasien memilih untuk tidak minum obat karena alasan pribadi dan/atau pasien lupa minum obat. Tabel VI. Jenis-Jenis DRPs dan Penyebab yang Mungkin Terjadi (Cipolle et al., 1998) Drug Related Problems Kemungkinan Kasus pada DRPs Indikasi tanpa obat a. Pasien dengan kondisi terbaru memerlukan terapi obat yang terbaru b. Pasien dengan penyakit kronik memerlukan lanjutan terapi obat c. Pasien dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan kombinasi farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis atau lebih poten d. Pasien dengan risiko pengembangan kondisi kesehatan baru dapat dicegah dengan penggunaan obat profilaksis Penggunaan obat tanpa indikasi a. Pasien mendapatkan obat yang tidak tepat indikasi b. Pasien yang mengalami toksisitas karena obat atau hasil pengobatan c. Pengobatan pada pasien yang mengkonsumsi obat, alkohol dan rokok d. Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik diobati tanpa terapi obat e. Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi di mana hanya single drug therapy saja yang diperlukan f. Pasien dengan terapi obat untuk penyembuhan adverse drug reaction dari pengobatan lainnya Salah obat a. Pasien di mana obatnya tidak efektif b. Pasien yang alergi dengan obat tersebut
20
Dosis terlalu rendah
Adverse Drug Reaction
Dosis telalu tinggi
Ketidakpatuhan pasien
c. Pasien menerima obat yang tidak paling efektif untuk indikasi pengobatannya d. Pasien memiliki faktor risiko yang kontraindikasi dengan penggunaan obat e. Pasien menerima obat yang efektif tetapi ada obat lain yang lebih murah f. Pasien menerima obat efektif tetapi tidak aman g. Pasien terkena infeksi bakteri yang sudah resisten terhadap obat yang diberikan a. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan b. Pasien menerima kombinasi produk yag tidak perlu dimana single drug dapat memberikan pengobatan yang tepat c. Pasien alergi d. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menimbulkan respon e. Konsentrasi obat dalam serum pasien di bawah range terapeutik yang diharapkan f. Waktu profilaksis (preoperasi) antibiotik diberikan terlalucepat a. Pasien dengan faktor risiko yang berbahaya bila obat digunakan b. Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau makanan pasien c. Efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan pasien d. Efek dari obat diubah inhibitor enzim atau induktor dari obatlain e. Efek dari obat diubah dengan pemindahan obat dari bindingsite oleh obat lain a. Dosis terlalu tiggi b. Konsentrasi obat dalam serum pasien di atas range terapi obat yang diharapkan c. Dosis obat meningkat terlalu cepat d. Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak tepat. e. Dosis dan interval flexibility tidak tepat a. Pasien tidak menerima aturan pemkaian obat yang tepat (penulisan, obat, pemberian, pemakaian) b. Pasien tidak menuruti (ketaatan) rekomendasi yang diberikan untuk pengobatan c. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal d. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena kurang mengerti e. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan secara konsisten karena merasa sudah sehat