BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kornea merupakan jaringan transparan avaskular yang berada di dinding depan bola mata. Kornea mempunyai fungsi sebagai lapisan pelindung bola mata dan media refraksi yaitu tempat masuknya cahaya dari luar yang kemudian diteruskan ke retina (Hartono, 2007; Kanski, 2011; Riordan-Eva & Whitcher, 2007; AAO, 2011). Kornea harus selalu terjaga kejernihannya untuk dapat melihat dengan baik. Trauma pada kornea dapat menyebabkan kekeruhan kornea sehingga terjadi gangguan penglihatan. Kejernihan kornea terjaga oleh struktur kornea yang seragam dengan letak epitel kornea dan serabut kolagen yang tertata sangat rapi, tanpa adanya pembuluh darah, serta kadar air yang selalu terjaga konstan (Hartono, 2007; Kanski, 2011; AAO, 2011). Kornea terdiri dari lima lapisan mulai dari lapisan terluar berupa lapisan epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet dan lapisan endotel sebagai lapisan terdalam. Sel endotel kornea berperan sebagai pompa untuk menjaga kadar air kornea. Jumlah sel endotel kornea menurun dengan bertambahnya umur. Jumlah densitas sel endotel kornea pada masa anak-anak sekitar 3500 sel/mm2 yang kemudian berkurang seiring bertambahnya umur. Pada saat dewasa normal sel endotel memiliki densitas antara 2500 -3000 sel/ mm2 (Coster, 2002; Riordan-Eva & Whitcher, 2007; Kanski, 2011). Lapisan sel endotel normal terdiri dari satu lapis sel berbentuk hexagonal, serta bentuk dan ukuran yang sama, dengan jumlah ideal mendekati 100%. Sel endotel sangat rentan terhadap trauma dan tidak dapat beregenerasi. Apabila terjadi kerusakan pada endotel, maka sel endotel disekitar endotel yang rusak akan mengalami perubahan bentuk serta ukuran yang berbagai macam guna menutupi defek yang terjadi (Kaufman, 1998; Coster, 2002; Riordan-Eva & Whitcher, 2007; McCarey et al., 2008; Kanski, 2011; AAO, 2011).
1
2
Berbagai bentuk dan ukuran sel endotel kornea dikenal dengan koefisien variasi (CV) dengan nilai normal kurang dari 30%. Semakin banyak macam bentuk dan ukuran sel endotel, maka semakin besar nilai koefisien variasi. Kornea dengan nilai koefisien variasi lebih dari 40% biasanya tidak dapat bertoleransi dengan pembedahan intraokular (McCarey et al., 2008; AAO, 2011). Untuk menilai kondisi sel endotel kornea dipergunakan alat yang disebut dengan spekular mikroskop. Dengan menggunakan alat ini kita dapat menganalisis densitas dan morfologis sel endotel kornea berupa koefisien variasi serta hexagonal sel endotel kornea, dengan syarat kornea yang jernih (Kaufman, 1998; Coster, 2002; Kanski, 2011; AAO, 2011; Riordan-Eva & Whitcher, 2007). Glaukoma secara essensial merupakan suatu neuropati optik yang disertai dengan defek lapang pandang yang progressif. Keadaan ini biasanya disertai dengan peningkatan tekanan intra okular. Berdasarkan sudut iridokorneal, glaukoma dibagi menjadi glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup, sedangkan berdasarkan gejala klinis glaukoma terbagi sebagai glaukoma akut dan kronis (Kanski, 2011; Riordan-Eva & Whitcher, 2007; AAO, 2011; Suhardjo & Hartono, 2007). Penanganan glaukoma terutama bertujuan untuk menurunkan tekanan intra okular dengan cara medikamentosa, laser ataupun pembedahan. Apabila tidak dapat ditangani dengan medikamentosa, maka dapat dilakukan tindakan laser iridotomi, laser iridektomi atau tindakan pembedahan berupa trabekulektomi (AAO, 2011; Kanski, 2011). Trabekulektomi merupakan pembedahan intra okular berupa operasi filtrasi yang bertujuan untuk menurunkan tekanan intra okular. Tindakan ini dilakukan dengan membuat saluran langsung antara bilik mata depan menuju lapisan subkonjungtiva. Penurunan fungsi sel endotel kornea dipengaruhi oleh penurunan jumlah densitas sel endotel kornea, penurunan hexagonal sel endotel kornea dan peningkatan koefisien variasi. Hilangnya jumlah densitas sel endotel kornea yang paling berat terjadi akibat adanya trauma pada kornea seperti pada tindakan pembedahan intra okuler, seperi bedah katarak, trabekulektomi, kombinasi
3
fakoemulsifikasi dan pemasangan lensa intra okular (Wilson & Roper-Hall, 1982; Kaufman, 1998; Sanchis-Gimeno et al., 2005; Altan et al., 2007; Arnavielle et al., 2007; Storr-Paulsen et al., 2008) B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Seberapa besar perubahan densitas dan morfologi sel endotel kornea pasca trabekulektomi pada pasien glaukoma kronis?” C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan jumlah densitas dan morfologi sel endotel kornea berupa koefisien variasi dan hexagonal sel endotel kornea antara sebelum dengan setelah dilakukan trabekulektomi pada pasien glaukoma kronis. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada pasien dan dokter mengenai perubahan sel endotel kornea yang terjadi pasca trabekulektomi pada pasien glaukoma kronis. E. Keaslian Penelitian 1.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Garcia et al. (2000) mengenai endotel
kornea setelah pembedahan glaukoma, pada pasien dengan glaukoma sudut tertutup kronis didapatkan hasil penurunan jumlah densitas sel endotel kornea sebesar 150 sel/mm2 (6,35%) sedangkan pada pasien yang tanpa tindakan pembedahan terdapat penurunan densitas sel endotel kornea sebesar 14 sel/mm2. Tidak ditemukan perbedaan secara signifikan mengenai koefisien variasi dan hexagonal sel endotel (García et al., 2000). 2.
Altan et al. (2007) melakukan penelitian mengenai efek trabekulektomi
terhadap sel endotel kornea, pada 39 mata dari 36 pasien. Penelitian tersebut mendapatkan bahwa jumlah sel endotel kornea sebelum operasi sebanyak 2.167,2+551,1 sel/mm2. Pada observasi setelah operasi bulan pertama jumlah sel endotel kornea menjadi 2.119,5+618,2 sel/mm2 dan setelah 3 bulan operasi menjadi 1908,8+661,8 sel/mm2 (Altan et al., 2007).
4
Observasi setelah 6 bulan operasi didapatkan hasil 2.163,7+658,4 sel/mm2 sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik (p>0.05) antara sebelum dan setelah operasi. 3.
Menurut Soro-Martinez et al. (2010) terjadi kerusakan sel endotel kornea
setelah pembedahan glaukoma ataupun kombinasi pembedahan katarak dan glaukoma yang dikerjakan bersama-sama serta kombinasi pembedahan katarak dan glaukoma yang dikerjakan secara bertahap dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil penelitian tersebut adalah rerata densitas sel endotel kornea (+ SD) pada kelompok kontrol sebanyak 2.619+319 sel/mm2 dan pada kelompok trabekulektomi sebanyak 2.447+425 sel/mm2 (Soro-Martínez et al., 2010) Rerata densitas sel endotel kornea pada kelompok kombinasi pembedahan trabekulektomi dan fakoemulsifikasi secara bersama-sama sebanyak 1.968+342 sel/mm2, sedangkan pada kelompok pembedahan kombinasi secara bertahap didapatkan rerata sebanyak 1.551+323 sel/mm2. Hal ini menunjukan terjadi penurunan jumlah densitas sel endotel kornea pada pasien yang dilakukan tindakan pembedahan kombinasi glaukoma dan katarak secara signifikan dibandingkan dengan kelompok yang dilakukan tindakan trabekulektomi saja ataupun kelompok kontrol. Koefisien variasi dan hexagonal sel endotel kornea masing-masing kelompok secara statistik tidak berbeda bermakna. 4.
Sihota et al. pada tahun 1998 melakukan penelitian mengenai pengaruh
mitomycin-C (MMC) pada sel endotel kornea setelah pembedahan glaukoma. Hasil penelitian ini terdapat tigapuluh mata (29 pasien dewasa) dengan risiko tinggi glaukoma dibagi kedalam 3 kelompok. Kelompok I mendapatkan perlakuan trabekulektomi saja, pada kelompok II dilakukan trabekulektomi dengan tambahan pemberian 0,2 mg/ml MMC intraoperatif sedangkan pada kelompok III diberikan tambahan 0,4 mg/ml MMC intraoperatif. Hasil pada kelompok I didapatkan hilangnya sel endotel sebanyak 3,73+2,73%, pada kelompok II 13,90+4,69% dan 14,52+7,8% pada kelompok III. Dalam hal ini secara stastistik terdapat perbedaan yang bermakna antara
5
kelompok I dan II serta antara kelompok I dan III, tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok II dan III (Sihota et al., 1998). 5.
Sanchis-Gimeno et al. pada tahun 2005 melakukan penelitian mengenai
penurunan densitas sel endotel kornea pada kelompok emetropia dibandingkan dengan kelompok myopia dan hypermetropia berdasarkan kelompok umur. Hasil yang didapat dari penelitian tersebut adalah pada semua kelompok yaitu emetropia, myopia dan hypermetropia mengalami penurunan densitas sel endotel kornea sesuai dengan bertambahnya umur (Sanchis-Gimeno et al., 2005) . 6.
Mérula et al. pada tahun 2008 melakukan penelitian mengenai ketebalan
kornea sentral dan densitas sel endotel kornea setelah trabekulektomi dengan dan tanpa mitomicyn-C (MMC). Hasil penelitian didapatkan setelah tiga bulan pada kelompok trabekulektomi dengan menggunakan MMC, ketebalan kornea sentral sebesar 11,9+25,7 μm, densitas sel endotel kornea 169,5+145,3 sel/mm2 dan rerata area 42,5+33,4 μm2, sedangkan pada kelompok trabekulektomi tanpa MMC didapatkan ketebalan kornea sentral sebesar 13,9+16,7 μm2, densitas sel endotel kornea 200,8+155,4 sel/mm2 dan rerata area sebesar 34,6+52.4 μm2. Setelah 6 bulan tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna pada kelompok trabekulektomi yang diberikan MMC dengan kelompok tanpa MMC (Mérula et al., 2008). Penelitian yang akan dilakukan adalah penilaian perubahan densitas dan morfologi sel endotel kornea pada pasien dengan glaukoma kronis pasca trabekulektomi.