BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang teknologi dan meningkatnya
Kemajuan akademis
menyebabkan
peningkatan
tuntutan
frekuensi
melihat
dekat yang dapat menyebabkan kelainan pada mata seperti rabun
jauh
atau
miopia.
Miopia
merupakan
kelainan
refraksi mata yang paling sering terjadi (Seo et al., 2011), satu dari tiga orang mengalami miopia (Yu et al.,
2011).
Faktor
genetik
dan
lingkungan
berperan
dalam onset dan progresivitas miopia (Myrowitz, 2012), serta jenis miopia seperti miopia simpleks dan patologi (Curtin, 1979). Menurut The Institude of Eye Research, pada tahun 2011
sekitar
1,6
juta
orang
mengalami
miopia
dan
diperkirakan pada tahun 2020 sekitar 2,5 juta orang mengalami miopia (Yu et al., 2011). Prevalensi miopia pada anak usia 7 tahun di Asia sebesar 27% dan di Negara Barat sebesar <5%, serta lebih banyak dialami wanita
daripada
laki-laki
(Leo
et
al.,
2011).
Prevalensi miopia di Singapura mencapai 80%, di India dan di Malaysia mencapai 41-80%, di Australia 2,5-17% (Yu
et
al.,
2011).
Menurut
1
Saw
(2002),
prevalensi
miopia di Indonesia sebesar 26,1% dan menurut Riset Kesehatan
Dasar
(Riskesdas)
tahun
2007
penurunan
ketajaman pengelihatan di Indonesia pada usia 6 tahun keatas sebesar 4,8% dan 0,9% di antaranya mengalami kebutaan (Depkes, 2007). Sudah banyak penelitian tentang kelainan refraksi terutama bahwa
miopia.
Beberapa
di
antaranya
menunjukkan
miopia tidak sekedar kelainan refraksi mata,
namun miopia derajat tinggi atau berat berkaitan dengan katarak, meningkatkan risiko glaukoma sudut terbuka, ablasi
retina,
degenerasi
neovaskular
makula,
dan
kebutaan (French et al., 2013). Selain itu, pada pasien miopia
tidak
jarang
ditemukan
anisometropia.
Anisometropia dapat menyebabkan aniseikonia, diplopia (McCarthy
et
al.,
ambliopia
(Tong
penelitian
tentang
2013), et
dan
al.,
miopia,
merupakan
2006). namun
predisposisi
Meskipun
masih
banyak
sedikit
yang
mengkaji tentang miopia simpleks. Sebagian statistik
besar
dari
penelitian
status
refraksi
menggunakan mata
analisis
kanan
untuk
menghindari bias. Data dari kedua mata tetap diinput dan dilakukan justifikasi bila terdapat parameter yang mempengaruhi derajat kedua mata. Serta sedikit bukti
2
yang
menunjukkan
salah
satu
mata
memiliki
gangguan
refraksi lebih tinggi (Linke et al., 2013). Biaya tidak
yang
sedikit.
dikeluarkan Rerata
biaya
untuk
menangani
miopia
yang
dikeluarkan
untuk
menangani miopia di Singapura sebesar US$148/anak/tahun (Lim et al., 2009), dan menurut National Health and Nutrition
Examination
Survey
(NHANES)
biaya
yang
digunakan untuk mengkoreksi masalah pengelihatan jauh di Amerika Serikat berkisar US$3,9 juta/tahun (Vitale et al., 2006). Kesulitan berdampak
pada
dalam
melihat
pendidikan,
objek namun
jauh juga
tidak pada
hanya karir,
aktivitas, dan psikologis (Fan et al., 2004; French et al.,
2013).
Penggunaan
ketidaknyamanan
saat
kaca
mata
beraktivitas
dapat
menyebabkan
sehingga
membuat
orang malas untuk beraktivitas serta dapat menyebabkan penurunan rasa percaya diri (Myrowitz, 2012). Kesadaran dan
mutu
masyarakat
akademis
akan
menyebabkan
pentingnya
pendidikan
peningkatan
frekuensi
melihat dekat, seperti membaca dan penggunaan komputer. Tingginya aktivitas melihat dekat menyebabkan miopia terjadi tidak hanya pada anak usia sekolah (usia <20 tahun) namun juga pada usia dewasa (usia ≥20 tahun). Kesadaran akan pentingnya pendidikan dan mutu akademis
3
juga disadari oleh masyakarakat Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian
mengenai
gambaran
miopia
terutama
miopia
simpleks pada masyarakat Yogyakarta. Penelitian miopia dilakukan di sakit
RSUP Dr. Sardjito yang merupakan rumah
rujukan
di
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
dan
sekitarnya, di mana dapat diduga banyak kasus miopia simpleks.
Berdasarkan “Bagaimana
B. Rumusan Masalah latar belakang dapat
gambaran
miopia
simpleks
dirumuskan,
di
RSUP
Dr.
Sardjito?” C. Tujuan Mengetahui gambaran miopia simpleks terkait jenis kelamin,
usia,
pendidikan,
derajat
miopia,
anisometropia, perbedaan absolut kedua mata (intereye different), dan sferis mata. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan
dapat
menambah
pengetahuan tentang miopia terkait jenis kelamin, usia, pendidikan, absolut
derajat
kedua
mata
miopia,
anisometropia,
(intereye
different),
mata.
4
perbedaan dan
sferis
E. Keaslian Penelitian Setyandriana (1997), mengkaji pola
distribusi
miopia di RSUP Dr. Sardjito Januari s.d Juni 1996. Miopia banyak dialami oleh wanita dan pelajar serta miopia derajat ringan. Agusta
(2008),
mengkaji
hubungan
tinggi
badan,
berat badan, dan indeks massa badan terhadap miopia pada anak sekolah dasar di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Triharyo
(2007),
menyatakan
bahwa
rerata
pertambahan miopia pada anak sekolah dasar perkotaan dan pedesaan di Yogyakarta sebesar 0,83 D dan 0,61 D. Abiemanyu
(2012),
mengkaji
faktor-faktor
risiko
yang berhubungan dengan kelainan refraksi miopia pada anak
sekolah
2009/2010.
dasar
Prevalensi
di
kabupaten
miopia
pada
Tanggamus anak
SD
tahun sebesar
11,10% dan faktor risiko terhadap kejadian miopia pada anak SD adalah jarak membaca, genetika, posisi tubuh saat membaca, dan jarak menonton TV.
5