BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kemajuan teknologi yang sangat pesat mengakibatkan perubahan pola hidup manusia menjadi serba instan. Di Indonesia, terjadi pergeseran pola makan ke makanan cepat saji dan makanan yang diawetkan dimana makanan tersebut mengandung garam tinggi, lemak jenuh dan rendah serat. Kandungan tersebut jika berlebihan dapat menyebabkan berbagai macam penyakit salah satunya adalah hipertensi. Hipertensi merupakan suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Hipertensi termasuk penyakit kronis yang sifatnya progresif dimana jika dibiarkan dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung (penyakit jantung koroner), ginjal (gagal ginjal) dan otak (stroke). Menurut data WHO (2013), penyakit kardiovaskuler di dunia dilaporkan menyebabkan 17 juta kematian per tahun (1 dari 3 jumlah kematian per tahun) dan hipertensi bertanggung jawab pada kurang lebih 45% kematian karena penyakit jantung. Sedangkan dari data Riset Kesehatan Dasar 2013 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI (2013), prevalensi hipertensi di Indonesia adalah sebesar 26,5 % sedangkan yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan/atau riwayat minum obat hanya sebesar 9,5%.
1
2
Patogenesis dari hipertensi dapat disebabkan karena beberapa hal. Salah satunya karena peningkatan sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron. Angiotensin-IConverting Enzyme (ACE) memiliki peran sangat signifikan pada sistem ReninAngiotensin-Aldosteron
dengan
cara
mengubah
Angiotensin
I
menjadi
Angiotensin II yang bertanggung jawab untuk memicu mekanisme peningkatan tekanan darah. Oleh karena itu, penghambatan terhadap ACE dapat menjadi sasaran untuk mengontrol ekspresi berlebihan dari sistem Renin-AngiotensinAldosteron (Balasuriya dan Rupasinghe, 2011). Obat-obat golongan penghambat ACE yang sering digunakan untuk terapi hipertensi adalah kaptopril, lisinopril dan enalpiril. Akan tetapi, penggunaan jangka panjang obat-obatan ini dapat memicu efek samping berupa pusing, batuk dan angioneuritic edema (Israili dan Hall, 1992). Oleh karena itu, saat ini banyak dikembangkan penghambat ACE yang diperoleh dari senyawa alami yang diharapkan memiliki efek samping yang lebih kecil jika dibandingkan dengan obat-obatan antihipertensi. Diet dan perubahan gaya hidup adalah dua hal penting untuk menurunkan tekanan darah secara efektif (Hermansen, 2000) sehingga komponen makanan yang memiliki kemampuan untuk menurunkan tekanan darah dapat menjadi kandidat yang potensial untuk pencegahan atau pengobatan hipertensi. Beberapa metabolit sekunder tanaman seperti senyawa alkaloid, terpenoid, asam lemak, peptida, flavonoid, tanin terhidrolisis, xanthone, dan proantosianidin ditemukan sebagai penghambat ACE yang efektif (Loizzo dkk., 2007). Beberapa
3
senyawa isolat flavonoid yang diketahui memiliki aktivitas penghambat ACE adalah apigenin, isoquercitrin, luteolin, kuersetin, dan rutin (Kumar dkk., 2010). Berdasarkan hasil penelitian Miean dan Mohamed (2001), ekstrak metanol bawang daun (Allium fistulosum L.) yang terhidrolisis memiliki kadar flavonoid total yang tinggi jika dibandingkan dengan 61 tanaman pangan tropis yang lain. Di Indonesia, bawang daun merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dimanfaatkan dalam masakan. Beberapa penelitian tentang tanaman bawang daun yang sudah ada salah satunya adalah efeknya sebagai antihipertensi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang mekanisme spesifik tanaman bawang daun sebagai antihipertensi yaitu salah satunya sebagai penghambat ACE.
B. Rumusan Masalah Melihat latar belakang yang ada maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut : 1.
Apakah ekstrak etanolik bawang daun (A. fistulosum L.) mengandung senyawa flavonoid-fenolik?
2.
Berapakah kadar fenolik total yang terkandung dalam fraksi flavonoidfenolik ekstrak etanolik bawang daun (A. fistulosum L.)?
3.
Apakah fraksi flavonoid-fenolik ekstrak etanolik bawang daun (A. fistulosum L.) memiliki aktivitas sebagai penghambat ACE dan seberapa besar efek penghambatannya terhadap ACE?
4
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Untuk mengetahui efek penghambatan fraksi flavonoid-fenolik ekstrak etanolik bawang daun terhadap aktivitas ACE.
2.
Tujuan Khusus a.
Untuk mengetahui adanya senyawa flavonoid-fenolik dalam ekstrak etanolik bawang daun.
b.
Untuk menentukan kadar fenolik total yang terkandung dalam fraksi flavonoid-fenolik ekstrak etanolik bawang daun.
c.
Untuk melihat pengaruh fraksi flavonoid-fenolik ekstrak etanolik bawang daun terhadap penghambatan ACE dengan melihat nilai % penghambatan ACE.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1.
Bagi ilmu pengetahuan Sebagai upaya untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah bukti
ilmiah
tentang
khasiat
tanaman
bawang
daun
sebagai
antihipertensi. 2.
Bagi pemerintah Memberikan alternatif solusi dalam upaya pengobatan penyakit hipertensi dari bahan alam serta mendukung program pengendalian penyakit hipertensi khususnya di Indonesia.
5
3.
Bagi industri dan masyarakat Diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan untuk pengembangan sediaan
pangan
yang
berkhasiat
(nutrasetika)
sehingga
dapat
meningkatkan nilai tambah produk pangan. Selain itu, diharapkan tanaman bawang daun dapat menjadi pilihan terapi atau terapi tambahan disamping terapi dengan obat.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Hipertensi Menurut Dipiro dkk. (2008), hipertensi didefinisikan secara singkat sebagai
peningkatan tekanan darah arteri secara persisten. Sedangkan menurut Hull (1996), hipertensi adalah desakan darah yang berlebihan dan hampir konstan pada arteri. Tekanan yang dihasilkan menjadi kekuatan jantung ketika memompa darah. Hipertensi berkaitan dengan kenaikan tekanan sistolik, tekanan diastolik, atau kedua-duanya secara terus menerus. Tekanan sistolik adalah tekanan maksimum pada arteri bila jantung berkontraksi yang tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar. Tekanan diastolik berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara dua denyutan. Ini adalah tekanan minimum dalam arteri yang tercermin dari hasil pemeriksaan tekanan darah sebagai tekanan bawah yang nilainya lebih kecil. Misalnya 120/80 mmHg, angka 120 menunjukkan nilai tekanan darah sistolik dan angka 80 menunjukkan nilai tekanan darah diastolik.
6
Tabel I. Klasifikasi hipertensi menutut JNC 7 (Dipiro dkk., 2008)
Kategori Normal Prehipertensi Hipertensi Tahap I Hipertensi Tahap II
Tekanan Sistolik (mmHg) <120 120-130 140-159 >160
Dan Atau Atau Atau
Tekanan Diastolik (mmgHg) <80 80-89 90-99 >100
Pada sebagian besar pasien, hipertensi berasal dari penyebab patofisiologis yang tidak diketahui (hipertensi esensial atau primer). Salah satu faktor yang diduga memiliki peran kuat dalam hipertensi esensial adalah faktor genetik. Hipertensi jenis ini tidak bisa diobati, namun bisa dikontrol. Selain itu, faktor yang berperan dalam patofisiologi hipertensi esensial meliputi malfungsi pada mekanisme humoral (misalnya : sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron) atau mekanisme vasodepresor, mekanisme saraf yang abnormal, kerusakan pada autoregulasi perifer, dan gangguan pada pengaturan natrium, kalsium, dan hormon natriuretik (Dipiro dkk., 2008). Sebagian kecil pasien memiliki penyebab spesifik pada hipertensinya (hipertensi sekunder). Banyak penyebab potensial hipertensi sekunder yaitu kondisi medis atau induksi endogen yang terjadi secara bersamaan. Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% pada tahun 2013, tetapi yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan/atau riwayat minum obat hanya sebesar 9,5%. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis dan terjangkau pelayanan kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2013). 2.
Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron Pengaturan tekanan darah dan keseimbangan cairan dalam tubuh diatur oleh
Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS). Sistem ini meningkatkan tekanan
7
darah yang turun sehingga kembali normal. Selain itu, RAAS berperan dalam peredaran darah ke jaringan serta pengaturan kesetimbangan volume cairan ekstraseluler (Atlas, 2007). Renin adalah enzim yang disintesis dan disimpan dalam bentuk inaktif sebagai prorenin oleh sel juxtaglomerular ginjal (Guyton dan Hall, 2006). Aktivasi prorenin menjadi renin dapat disebabkan karena volume darah yang rendah, level natrium darah yang rendah, atau kadar kalium darah yang meningkat (Anonim, 2015). Renin akan mengkonversi angiotensinogen yang diproduksi oleh hepar menjadi hormon angiotensin I. Selanjutnya, angiotensin I akan diubah menjadi angiotensin II oleh ACE yang diproduksi oleh sel paru-paru (Hebert dkk., 2010; Guyton dan Hall, 2006). Angiotensin II yang terbentuk menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat (Sweitzer, 2003). Angiotensin II juga memicu pelepasan hormon aldosteron di dalam kelenjar adrenal yang menyebabkan tubulus renalis menahan pengeluaran natrium dan air serta mengekresikan kalium. Akibatnya, angiotensin II dan aldosteron bekerja secara simultan meningkatkan volume darah, tekanan darah, dan level natrium di dalam darah untuk menjaga kesetimbangan natrium dan kalium dalam darah (Akif dkk., 2010). 3.
Angiotensin-I-Converting Enzyme Angiotensin-I-Converting Enzyme adalah glikoprotein yang bertanggung
jawab terhadap hipertensi yang terdapat di cairan biologis dan berbagai jaringan. Struktur 3 dimensi dari glikoprotein ini menunjukkan bahwa ACE adalah zinc metallopeptidase yang dapat memakai 2 bentuk yang berbeda yaitu somatik dan
8
testikuler. Beberapa tahun terakhir, bentuk ketiga dari ACE telah diidentifikasi yang disebut sebagai ACE homolog (ACEH) (Iwaniak dkk., 2014). Bentuk somatik ACE terdiri dari domain N dan C terminal yang berisi sisi aktif dan memungkinkan katalisis angiotensin I menjadi angiotensin II. Pada ACE testikular, domain C terminal terlibat dalam hidrolisis angiotensin I menjadi angiotensin II. Pada ACEH, pengubahan ACE mungkin dilakukan pada domain N yang aktif. Selain itu, ACEH tidak menghidrolisis bradikinin (Iwaniak dkk., 2014).
Gambar 1. Skema aksi Angiotensin Converting Enzyme (ACE) (Iwaniak dkk., 2014)
Tingginya aktivitas ACE menyebabkan peningkatan konsentrasi angiotensin II dan hipertensi sehingga pengembangan agen yang menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II serta mengubah bradikinin menjadi komponen inaktif dapat sebagai strategi terapi untuk mengobati hipertensi. Penghambat ACE seperti kaptopril dan lisinopril berperan dalam pengobatan hipertensi dan menjaga keseimbangan elektrolit (Sharifi dkk., 2013). Efek penghambatan dari pembentukan angiotensin II adalah vasodilatasi serta berkurangnya retensi garam dan air. Maka berbeda dengan vasodilator
9
lainnya, zat ini tidak menimbulkan udema atau refleks takikardi (Tjay dan Rahardja, 2002). Inhibitor farmakologi seperti kaptopril dan imidapril menginaktivasi molekul ACE dengan mengikat molekul zinc pada sisi aktifnya dan memperlambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II (Larson dkk., 2010). Namun, penggunaan jangka panjang obat-obatan ini dapat memicu efek samping berupa pusing, batuk dan angioneuritic edema (Israili dan Hall, 1992). 4.
Fenolik dan Flavonoid Fenolik atau senyawa polifenol merupakan metabolit sekunder yang
mempunyai struktur dasar cincin aromatik yang mengikat satu atau lebih gugus hidroksil. Senyawa ini terbentuk dari jalur metabolisme asam sikimat dan fenil propanoid. Senyawa polifenol biasanya berada dalam bentuk glikosida atau esternya. Senyawa polifenol terdiri dari beberapa struktur yaitu fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid, kuinon fenolik, tanin dan flavonoid (Harborne, 1996). Senyawa polifenol umumnya ditemukan pada tanaman baik yang bersifat nutrisi maupun non-nutrisi. Polifenol dilaporkan memiliki beberapa aktivitas termasuk mencegah berbagai penyakit degeneratif dan berpotensi sebagai antioksidan secara in vitro (Joshipura dkk., 2001; Kähkönen dkk., 2003). Polifenol memiliki aktivitas secara biologis karena dapat menyumbangkan hidrogen ke radikal bebas dan memecah rantai reaksi oksidasi lipid (Gulcin dkk., 2004). Flavonoid adalah molekul planar yang tersebar luas di tanaman, terbentuk dari asam amino aromatis fenilalanin, tirosin, dan malonat. Struktur dasar
10
flavonoid (Gambar 2) adalah inti flavan, yang terdiri dari 15 atom karbon yang disusun menjadi 3 cincin (C6-C3-C6), yang dilabel dengan A, B, C (Stalikas, 2007).
Gambar 2. Struktur dasar flavonoid (Stalikas, 2007)
Flavonoid adalah kelompok senyawa dari 4000 komponen polifenol yang terbentuk secara alami, ditemukan secara luas di makanan yang berasal dari tumbuhan. Senyawa ini dikenal sebagai pigmen yang bertanggung jawab terhadap warna daun, terutama di musim gugur. Flavonoid terdistribusi secara luas di buahbuahan, sayuran, kacang-kacangan, biji, herba, rempah-rempah, batang, bunga seperti teh dan anggur merah. Flavonoid dibagi menjadi 7 kelompok utama yaitu flavanon (misalnya: hesperidin, tangeretin), antosianin (misalnya: delphinidin, sianidin), flavonol (misalnya: kuersetin, kaempferol), proantosianidin (misalnya: polimerik flavonol), flavanol (misalnya: epikatekin, katekin), isoflavon (misalnya: genistein, daidzein), flavon (misalnya: luteolin, apigenin) (Lakhanpal dan Rai, 2007). Flavonoid menunjukkan kemajuan yang luar biasa pada aksi biokimia dan farmakologinya, misalnya antiinflamasi, antioksidan, antialergi, hepatoprotektif, antitrombotik, antivirus dan antikarsinogenik. Komponen ini menunjukkan peran penting pada pertahanan terhadap patogen dan predator serta berperan untuk
11
fungsi fisiologis seperti pematangan biji dan masa dorman. Flavonoid disintesis dari prekusor derivat fenilpropanoid dan asetat (Meena dan Patni, 2008). Pada tumbuhan, flavonoid berperan sebagai katalis pada fase terang dari fotosintesis dan/atau regulator pada keterlibatan kanal ion pada fosforilasi. Selain itu, flavonoid juga berfungsi untuk proteksi stress pada sel tumbuhan dengan menangkap spesies oksigen reaktif yang diproduksi dari fotosintesis pada sistem transpor elektron. Karena kemampuannya
mengabsorbsi UV, flavonoid
melindungi tanaman dari radiasi UV matahari dan menangkap UV yang menghasilkan spesies oksigen reaktif (Stalikas, 2007). Flavonoid merupakan senyawa aromatik terkonjugasi dan menunjukkan serapan kuat pada UV dan sinar tampak sesuai dengan jenis flavonoidnya (Harborne, 1996). Flavonoid diketahui memiliki beberapa efek fisiologis diantaranya dapat mengurangi oksidasi kolesterol LDL, yang diduga bertanggung jawab pada perkembangan penyakit aterosklerosis. Aterosklerosis merupakan salah satu faktor resiko hipertensi. Flavonoid diduga memiliki efek kardioprotektif, termasuk antiinflamasi, peningkatan fungsi endotel dan penghambatan agregasi platelet (Vita, 2005). Beberapa senyawa flavonoid menunjukkan aktivitas secara in vitro dengan pembentukan kompleks khelat pada sisi aktif ACE (Wagner dkk., 1991). Gugus hidroksil bebas dari senyawa fenolik juga penting dalam mengikat secara struktural dengan khelasi ion zinc, sehingga menginaktivasi ACE (Chen dan Lin, 1992).
12
5.
Bawang Daun Secara morfologi bagian daun dari tanaman bawang daun adalah sebagai
berikut: berbentuk menyerupai pipa yang memanjang dan bagian ujungnya meruncing, panjang daun bervariasi antara 18-40 cm, daun berwarna hijau muda sampai hijau tua dan permukaan daun halus.
Gambar 3. Bawang daun (Allium fistulosum L.)
Bawang daun adalah sayuran yang penting di negara Asia terutama di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian Miean dan Mohamed (2001), ekstrak metanol bawang daun yang terhidrolisis memiliki kadar total flavonoid yang paling tinggi dibandingkan 61 tanaman konsumsi yang lain serta memiliki kandungan senyawa flavonoid yaitu kuersetin, luteolin dan kaempferol. Sedangkan berdasarkan Vlase dkk. (2013), ekstrak etanolik daun A. fistulosum yang tidak terhidrolisis mengandung senyawa asam p-kumarat, asam ferulat, isoquercitrin, quercitrin, quercetol, dan kaempferol.
13
Bawang daun mengandung senyawa aktif yang memiliki daya bunuh terhadap bakteri (sebagai antibiotik) serta merangsang pertumbuhan sel tubuh. Bawang daun juga berguna untuk menghilangkan lendir dalam kerongkongan, memudahkan pencernaan makanan, menyembuhkan rematik, kurang darah, sukar kencing dan bengkak-bengkak (Cahyono, 2005). Daun A. fistulosum L. tercatat menunjukkan efek menurunkan tekanan darah, memodulasi ritme pembuluh darah aorta, menghambat agregasi platelet, menangkap radikal bebas dan mengurangi ekspresi iNOS (Wang dkk., 2005). 6.
Klorofil Klorofil merupakan pigmen tanaman yang paling penting dalam fotosintesis
dan konversi cahaya matahari menjadi energi kimia. Pada semua tanaman hijau, sebagian besar klorofil terdiri dari klorofil a dan b. Klorofil a bersifat kurang polar serta berwarna biru-hijau. Sedangkan klorofil b bersifat lebih polar dan berwarna kuning hijau (Scweigert, 1987).
Gambar 4. Struktur klorofil Klorofil a : R = -CH3, Klorofil b : R = -CHO (Fennema, 1996; Lauro dan Francis, 2000)
14
Selama ekstraksi, banyak Mg dari klorofil secara normal hilang sehingga pada ekstrak tanaman kurang lebih ada 4 komponen yaitu klorofil a dan b, feofitin a dan b, turunan Co dan Zn (King, 1980). Klorofil a dan feofitin a larut dalam alkohol, eter, benzena, dan aseton. Sedangkan klorofil b dan feofitin b larut dalam alkohol, eter, aseton, dan benzena. Klorofilid dan feoforbid tidak larut dalam minyak dan larut dalam air (Fennema, 1996). 7.
Ekstraksi dan Maserasi Ekstraksi merupakan suatu kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat
larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut cair. Metode dasar penyarian adalah maserasi, perkolasi, Soxhletasi. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan terutama sifat dari zat aktif yang akan diambil (Ansel, 1989). Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Cara ini dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan kadar antara larutan zat aktif di dalam dan di luar sel, sehingga larutan yang lebih pekat akan didesak keluar. Peristiwa tersebut terjadi secara berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dan di luar sel (Departemen Kesehatan RI, 1986). Selama proses maserasi, pengadukan atau penggojogan harus dilakukan agar terjadi perputaran pelarut sehingga cairan penyari menjadi lebih merata ke seluruh bagian serbuk. Setelah proses maserasi dapat dilakukan re-maserasi yang
15
berguna untuk menyari senyawa aktif yang masih tersisa pada serbuk simplisia sehingga diharapkan senyawa aktif yang tersari akan lebih banyak. 8.
Kromatografi Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase
diam dan fase gerak. Teknik kromatografi digunakan untuk memisahkan dan mengkuantifikasi berbagai macam komponen yang kompleks, baik komponen organik maupun komponen anorganik (Gandjar dan Rohman, 2012). a.
Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan suatu metode pemisahan senyawa kimia berdasarkan perbedaan distribusi dua fase yaitu fase diam dan fase gerak (Rompas dkk., 2012). Kelebihan analisis dengan KLT adalah serbaguna, cepat dan peka (Harborne, 1996). Metode ini menggunakan lempeng kaca, plat aluminium atau plat plastik yang ditutupi penyerap untuk lapisan tipis dan kering bentuk silika gel, alumina, selulosa dan poliamida. Untuk menotolkan larutan cuplikan pada lempeng kaca, pada dasarnya digunakan mikro pipet/ pipa kapiler. Setelah itu, bagian bawah dari lempeng dicelup dalam larutan pengelusi di dalam wadah yang tertutup (Rudi, 2010). Penggunaan umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya komponen dalam campuran, identifikasi senyawa, memantau berjalannya suatu reaksi, menentukan efektivitas pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom dan melakukan screening sampel untuk obat. Untuk keperluan analisis suatu senyawa, KLT dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif. Parameter yang dilihat pada analisis kualitatif
16
adalah harga Rf dan tampilan bercak. Retardation factor (Rf) merupakan perbandingan antara jarak yang ditempuh larutan sampel dengan jarak yang ditempuh fase gerak. Rf
=
jarak titik pusat bercak dari titik awal jarak batas akhir fase gerak dari titik awal
Nilai maksimum Rf adalah 1 yang berarti larutan sampel terelusi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak. Nilai minimum Rf adalah 0 berarti larutan sampel tertahan di titik awal pada fase diam. Sedangkan pada analisis kuantitatif
pengukuran
dapat
dilakukan
dengan
densitometer
atau
spektrofotometer (Gandjar dan Rohman, 2012) b. Kromatografi Kolom Kromatografi kolom adalah proses pemisahan yang tergantung pada perbedaan distribusi campuran komponen antara fase diam dan fase gerak. Fase diam dapat berupa pembentukan kolom dimana fase gerak dialirkan pada kolom. Senyawa yang berbeda akan memiliki koefisien partisi yang berbeda antara fase gerak dan fase diam. Senyawa yang berinteraksi lemah dengan fase diam akan bergerak lebih cepat melalui sistem kromatografi. Senyawa dengan interaksi yang kuat dengan fase diam akan bergerak sangat lambat (Christian, 1994; Skoog, 1998). Kromatografi kolom termasuk dalam solid phase extraction (SPE) yang merupakan pilihan prosedur yang baik untuk pembersihan ekstrak tanaman atau sampel biologis. Metode SPE cepat, reprodusibel, dan diperoleh ekstrak yang bersih dari pengotor dan dapat digunakan sampel dalam jumlah sedikit (Stalikas, 2007). Pemisahan senyawa dengan teknik SPE dapat dilakukan untuk
17
mengeluarkan senyawa pengganggu dan menahan senyawa yang diinginkan dalam kolom yang kemudian dielusi oleh pelarut yang sesuai (Anonim, 1998).
F. Landasan Teori Hipertensi dapat disebabkan karena beberapa mekanisme, salah satunya adalah peningkatan aktivitas sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron. Pada sistem ini, Angiotensin-I-Converting Enzyme (ACE) mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II karena adanya aktivasi prorenin menjadi renin yang disebabkan oleh volume darah yang rendah, level sodium darah yang rendah, atau kadar potasium darah yang meningkat (Anonim, 2015). Angiotensin II bertanggung jawab pada vasokonstriksi pembuluh darah serta memicu pelepasan hormon aldosteron di dalam kelenjar adrenal yang menyebabkan tubulus renalis menahan pengeluaran natrium dan air serta mengekresikan kalium sehingga tekanan darah meningkat (Sweitzer, 2003; Akif dkk., 2010). Oleh karena itu, senyawa yang dapat menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II dapat menjadi strategi terapi untuk mengobati hipertensi Beberapa senyawa flavonoid menunjukkan aktivitas secara in vitro dengan pembentukan kompleks khelat pada sisi aktif ACE (Wagner dkk., 1991). Gugus hidroksil bebas dari senyawa fenolik juga penting dalam mengikat secara struktural dengan khelasi ion zinc, sehingga menginaktivasi ACE (Chen dan Lin, 1992). Bawang daun (A. fistulosum L.) diketahui memiliki efek untuk menurunkan tekanan darah (Wang dkk., 2005) dan memiliki kandungan total flavonoid yang
18
cukup tinggi (Miean dan Mohamed, 2001). Ekstrak metanol bawang daun yang terhidrolisis memiliki kandungan senyawa flavonoid yaitu kuersetin, luteolin dan kaempferol (Miean dan Mohamed, 2001) sedangkan berdasarkan Vlase dkk. (2013), ekstrak etanolik daun A. fistulosum yang tidak terhidrolisis mengandung senyawa asam p-kumarat, asam ferulat, isoquercitrin, quercitrin, quercetol, dan kaempferol. Oleh karena itu, adanya senyawa golongan flavonoid-fenolik pada tanaman bawang daun diduga dapat menghambat aktivitas ACE.
G. Hipotesis Fraksi ekstrak etanolik bawang daun (A. fistulosum L.) mengandung senyawa golongan flavonoid-fenolik dan memiliki aktivitas sebagai penghambat ACE secara in vitro.