BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eco adalah seorang novelis intelektual. Tulisan-tulisan Eco banyak didominasi oleh tulisan karya sastra yang bernafaskan penyelidikan terhadap ilmu pengetahuan. Kendati demikian, ia tidak mau membalut dirinya dengan skeptisisme. Caranya yang anggun dalam menyajikan suatu konsep dari realitas yang diamatinya, memberikan kesan bahwa Eco seorang filsuf yang selalu bertamasya mencari kebenaran. Siapa sangka, tulisan-tulisannya yang terkenal itu ternyata banyak berasal dari atas kloset. Kebiasaan unik Eco ini digadanggadang sebagai pelopor pertama ‘renungan kloset’. Eco memulai karirnya di bidang estetika dengan tesisnya tentang Santo Thomas Aquinas. Pesona Eco semakin terlihat, ketika ia memperoleh gelar professor di bidang semiotika. Di Milan Eco mulai menyusun teori-teori semiotika, dan pada tahun 1968 lahir karya pertanya di bidang semiotika yang berjudul La structtura assente (The Absent Structure). Buku ini terus diperbarui, hingga sekarang buku tersebut berjudul A Theory of Semiotics. Dasar semiotika Eco terletak pada adanya hubungan tanda dan realitas (Danesi, 2010:13). Semiotika menitikberatkan pada penggalian makna, maka dari itu Eco meyakini kapasitas tanda untuk menipu sangat kuat. Sebab tanda berjubahkan bahasa-bahasa metaforis yang berpotensi menimbulkan makna ganda, sehingga, setiap bahasa yang mengandung ungkapan metaforis
berpotensi memiliki banyak makna. Pahitnya, dibalik makna tersebut ada kebohongan yang tersimpan. Eco menyebutnya sebagai tanda dusta. Eco
menawarkan
sebuah
penyelidikan
terhadap
tanda
untuk
mengungkapkan makna yang tersembunyi. Melalui theory of lie yang ditulis oleh Eco dalam buku Theory of Semiotics menegaskan bahwa setiap tanda berpotensi kebohongan, dan kebohongan itu bersembunyi dalam makna konvensional. Untuk membongkar kebohongan itu, diperlukan beberapa tahapan penggalian makna yang disebut Eco sebagai produksi makna. Pemikiran Eco tergolong netral, ia tidak pernah berada pada satu pintu jawaban, namun ia memulai jawabannya melalui beberapa penyelidikanpenyelidikan sebelum menyimpulkan. Dalam sebuah percakapan antara Eco dengan seorang wartawan, Eco mengatakan “jika saya mendapatkan desakan untuk berkomentar mengenai aborsi atau kedudukan seorang perempuan, saya tidak akan menginjak-injak dasar yang telah ada, namun saya akan melanjutkan penyelidikan ke dalam paradigma dari proses sejarah yang mendasarinya”. Bertolak dari teori Eco, penelitian ini menawarkan sebuah penyelidikan terhadap salah satu kebudayaan di Indonesia. Pertama-tama yang harus dipahami bahwa Eco menawarkan asumsi “Open Text” (1997). Bagi Eco, proses sejarah yang mendasari suatu jaman dalam bentuk-bentuk kebudayaan patut untuk diselidiki secara terbuka, yakni melalui asumsi “open text”. Dengan melakukan penyelidikan terhadap akar sejarah dan budaya, maka akan ditemukan pandangan-pandangan yang luwes, dan relevan dengan konteks
zaman dari waktu-ke waktu, sehingga budaya sebagai dasar sejarah, juga bertanggungjawab atas paradigma kontemporer. Akibat yang ingin dirasakan yakni terhindar dari ketegangan konsepkonsep yang disajikan sebelumnya. Ibarat perumpamaan yang mengatakan manusia tidak bisa melihat bentuk kacang, sebelum manusia mengupas kulit kacang. Dengan maksud lain, dalam budaya masih banyak tanda yang belum dikupas yang hendaknya dapat segera dikupas, sehingga dapat ditemukan isinya. Hal ini menunjukkan peran penting semiotika adalah mengemukakan dan membuktikan kebenaran, sekaligus kedustaan. Titik tolak munculnya kebudayaan berangkat dari pengetahuan bersama yang disebarkan secara sosial dan merata. Di dalam kebudayaan terdapat suatu entitas utama; yakni individu dan masyarakat. Komunikasi menduduki peran penting sebagai medium proses sosial antara individu dan masyarakat. Sementara itu, kebudayaan bertahan atau diajarkan secara turun temurun atas dasar prinsip resiprositas, yakni adanya hubungan keterdekatan dan timbal balik. Hal ini similiar dengan yang dikatakan oleh Permanadeli (2015:22) bahwa representasi sosial berakar dari gerak pembentukan pengetahuan yang bersumber dari individu dan masyarakat sebagai dua entitas yang saling berhubungan dan secara bersama menciptakan pola dan irama yang khas milik mereka sendiri. Di sisi lain, Jawa memiliki tradisi pengajaran dalam membentuk karakter setiap individu, pengajaran tersebut dahulunya disampaikan secara turun temurun melalui sastra lisan. Pengajaran ini yang selanjutnya sukses
membentuk karakter orang Jawa, sehingga wong jawa memiliki kekhasan atau identitas. Tahapan seperti ini juga yang dialami oleh daerah-daerah lain di Indonesia, sehingga setiap daerah memiliki kekhasan karakter dan watak. Contohnya, dikenal sifat khas dari orang Sunda, orang Betawi, orang Minang, dan sebagainya. Pendidikan dalam ranah budaya disebut sebagai ajaran. Indonesia dengan kekayaan budayanya menyimpan beragam ajaran-ajaran luhur, baik tentang manusia maupun alam. Ajaran luhur tersebut salah satunya tersimpan dalam khazanah “serat” yang ditulis oleh budayawan maupun leluhur. Begitu juga ajaran-ajaran yang diberikan terhadap masyarakat di Jawa. Seperti yang dikatakan oleh Kuntowijoyo (2006:48) ajaran tersebut bertindak sebagai cultural engineering masyarakat Jawa, yang memiliki kaitan erat latar belakang struktural suatu masyarakat. Salah satu ajaran yang menarik untuk diteliti lebih lanjut adalah mengenai ajaran perempuan Jawa. Sikap dan cara pandang perempuan Jawa memiliki kekhasan dalam menyeimbangkan hubungan manusia dengan manusia, serta manusia dengan penciptanya. Dengan pola pemikiran yang demikian, maka perempuan Jawa lebih berhati-hati dalam bertindak dan berpikir. Kebanyakan orang melihat figur perempuan Jawa adalah sosok yang lemah, dan itu tidak salah, sebab para leluhur Jawa membangun citra perempuan yang ideal dengan segala atribut kelemahlembutannya (Djaya, 2004:6). Djaya (2004:18) juga menguatkan bahwa nilai budaya Jawa seakan mampu menekankan perempuan Jawa untuk tetap menjaga harmoni. Ajaran
tersebut ada sejak Jawa mulai memahami pentingnya pendidikan moral. Oleh karena itu, masyarakat Jawa memberikan pengajaran berupa pendidikan melalui tembang-tembang kuna. Salah satunya adalah serat Wasita Dyah Utama yang berisi ajaran moral terhadap perempuan. Oleh sebab itu, penting kiranya, bagaimana melihat watak perempuan pada masa kini umumnya, dan perempuan Jawa khususnya. Serat Wasita Dyah Utama disalin pada tahun 9 Mei 1887. Serat ini memberikan ajaran moral kepada perempuan melalui ungkapan-ungkapan metafora. Inti dari serat ini adalah pemahaman bahwa perempuan Jawa memiliki porsi lebih banyak dalam memperlihatkan kebijakan dan kebajikan. Baik menyangkut hubungan dengan keluarga maupun dalam tatanan sosial. Serat yang dilisankan oleh Adisara, Nyai Tumenggung dan Kanjeng Ratu Kencana (1816) ini mengungkapkan keagungan sifat-sifat luhur perempuan yang berpotensi menjadikan perempuan menjadi manusia utama. Mulai dari perempuan yang berstatus masih gadis, menjadi istri dan telah menjadi ibu diajarkan dalam serat. Jika dibandingkan dengan serat yang lain, ajaran-ajaran dalam serat Wasita Dyah Utama membuka dimensi lain dari sifat-sifat dan cara pandang perempuan dalam menjalani kehidupan baik di ruang domestik maupun di ruang publik. Serat Wasita Dyah Utama merupakan serat yang berisi nasehat untuk perempuan Jawa. Perempuan selalu menarik untuk diteliti, seperti yang dikatakan R.Ng. Ranggawarsita dalam serat Cemporet, wanudya babasanipun, pan swarga nunut kewala, yang artinya dialah empunya dunia ini yang
sesungguhnya, karena itu dia disebut per-empu-an. Hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya perempuan Jawa memiliki sisi-sisi yang unik. Di lain sisi, perempuan Jawa dicitrakan sebagai sosok yang lemah, namun di sisi lain pula perempuan Jawa tampak sebagai perempuan yang tangguh. Keperkasaan atau ketangguhan tersebut membalik pandangan feodalistik para priyayi terhadap perempuan. Handayani (2004:10) juga mengatakan bahwa dalam skala lebih luas, sesungguhnya wanita dalam kultur Jawa dan konsep kekuasaannya cenderung feminim menempatkan diri dan bahkan dapat memengaruhi keputusan publik. Sebagaimana juga yang disebut oleh Rogers (1982) kekuatan perempuan Jawa lebih nyata praktis daripada laki-laki yang berhenti pada ideologi. Sebab ketika dihadapkan dengan kenyataan maka dominasi laki-laki pada akhirnya akan berhenti pada mitos, sedangkan dominasi perempuan berwujud pada dominasi nyata praktis yang menunjukkan kuasa yang hidup. Herbert Spencer (dalam Ollenburger, 1996:5) mengatakan berdasarkan tinjauan positivisme organisme, setiap insan perempuan mengimplikasikan adanya suatu equlilibrium atau keseimbangan. Artinya, perempuan memiliki kemampuan pada ranah nurani yang kuat sehingga memiliki kemampuan dalam menciptakan keseimbangan di dalam keluarga dan pada hubungan sosial. Kelebihan perempuan tersebut juga harus diimbangi oleh sifat-sifat keperempuan agar tercipta sebuah harmoni dalam berperilaku, seperti yang dikatakan oleh Djaya (2004:18), sesungguhnya baik perempuan maupun lakilaki Jawa tercipta sebuah harmoni yang merupakan gagasan sentral kosmologi
Jawa. Sifat-sifat keperempuan tersebut telah dijumpai dalam serat Wasita Dyah Utama yang ditulis oleh Adisara, Nyai Tumenggung dan Kanjeng Ratu Kencana. Serat Wasita Dyah Utama merupakan salah satu bentuk sastra Jawa yang menunjukkan cara dalam bersikap bijaksana dan arif pada seorang perempuan. Seperti yang dikatakan oleh Kuntowijoyo (1997:8) dalam sastra Jawa, misalnya, terdapat unsur paternalistik dari pengarang sebagai cita-cita pujangga yang mengajarkan moral, masih sangat kuat. Artinya, serat Wasita Dyah Utama sebagai teks sastra Jawa yang sarat akan cerita fiksi dan hiburan juga memberikan pengetahuan moral bagi perempuan, dalam bertindak, bersikap maupun bercarapandang. Sastra Jawa pada abad 19 memang lebih mengutamakan pentingnya suatu pranata, sehingga tidak mengherankan jika serat-serat yang lahir pada abad 19 lebih banyak memberikan pengajaran. Sebagai teks karya sastra yang sarat akan bahasa metaforis, serat Wasita Dyah Utama membutuhkan sentuhan teori tanda untuk menggali makna disetiap tanda. Teori semiotika Umberto Eco, memberikan ruang terhadap pembahasan karya sastra sehingga dalam memahami karya sastra yang multitanda dapat ditemukan makna yang tepat. Melalui teori tanda yang digagas oleh Eco, nantinya tidak hanya ditemukan kebenaran dalam tanda melainkan juga kedustaan dalam tanda. Seperti tugas utama semiotika, tidak hanya menemukan kebenaran namun juga menemukan kedustaan.
1. Rumusan masalah a. Apa isi dan ajaran perempuan Jawa dalam serat Wasita Dyah Utama? b. Apa pemikiran Eco tentang konsep tanda, reproduksi makna dan teori dusta? c. Bagaimana analisis semiotik melihat ajaran Umberto Eco dalam melihat ajaran-ajaran perempuan Jawa pada Serat Wasita Dyah Utama?
2. Keaslian penelitian Sejauh penulusuran peneliti, beberapa penelitian yang mengambil objek material yang sama adalah: a. Tesis yang berjudul “Kedudukan Hakiki Perempuan Dalam Seksologi Jawa Serat Nitimani” yang ditulis oleh Iva Ariani pada tahun 2001, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Penelitian tersebut mengungkapkan ajaran seksologi perempuan Jawa dalam serat Nitimani. Penelitian yang dilakukan Ariani berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Ariani melihat ajaran-ajaran dalam konteks seksologi dengan menggunakan objek material serat Nitimani, sedangkan dalam penelitian ini mengungkapkan secara umum mengenai ajaran-ajaran perempuan Jawa, khususnya dalam serat Wasita Dyah Utama. Di samping itu, penelitian ini juga melakukan analisa lebih dalam tentang ajaran Serat Wasita Dyah Utama dengan menggunakan teori semiotika Umberto Eco
b. Tesis yang berjudul “Serat Wasita Dyah Utama: Suntingan Teks dan Analisis Ajaran Keutamaan Hidup” ditulis oleh Mirya Anggrahini Nimpuno pada tahun 2008, jurusan Ilmu Sastra, Universitas Diponegoro. Penelitian tersebut berusaha menerjemahkan serat Wasita Dyah Utama dari aksara Jawa ke bahasa latin. Penelitian yang dilakukan oleh Mirya berbeda dengan penelitian ini sebab penelitian yang dilakukan oleh Mirya masih dalam tataran deskripsi, yaitu sebatas mengartikan teks serat Wasita Dyah Utama dan mencoba mengungkapkan ajaran keutaman hidup yang tersurat dalam serat. c. Tesis yang berjudul “Posisi Perempuan Jawa: Tinjauan atas Novel Gadis Pantai karya Pramodeya Ananta Toer” pada tahun 2008 oleh Sumartini, jurusan Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada. Tesis tersebut merupakan kajian sastra feminis dengan menitikberatkan pada posisi perempuan sebagai makhluk individu dan sosial yang tercerminkan dalam novel. d. Tesis yang berjudul “Citra Perempuan Jawa dalam Novel Wanita di Jantung Jakarta karya Korie Layun Rampan: Kajian Kritik Sastra Feminis” ditulis oleh Muayyadah Riyadina tahun 2009. Penelitian tersebut menggambarkan perempuan Jawa berdasarkan novel Wanita di Jantung Jakarta karya Korie Layun Rampan. Tinjauan yang digunakan dalam tesis tersebut adalah teori kritik sastra feminis. e. Buku yang berjudul “Kumpulan Serat” oleh Kumitir (2010) dan dipublish
melalui
website
www.alangalangkumitir.wordpress.com.
Dalam kumpulan serat yang telah diterjemahkan oleh Kumitir, salah satunya terdapat serat Wasita Dyah Utama. Buku ini berisi tentang terjemahan serat Wasita Dyah Utama. Tidak hanya serat Wasita Dyah Utama, banyak beragam serat yang telah diterjemahkan oleh Kumitir.
3. Manfaat Penelitian Penelitian yang berjudul “Makna Ajaran Perempuan Jawa pada Serat Wasita Dyah Utama dalam Perspektif Semiotika Umberto Eco” memberikan manfaat sebagai berikut: a. Bagi peneliti Secara umum berupaya memberikan sumbangsih terhadap kontinuitas riset dalam bidang ilmu pengetahuan dan secara khusus bagi studi filsafat bahasa. b. Bagi perkembangan filsafat dan pengetahuan Penelitian ini berkontribusi untuk perkembangan pengetahuan khususnya untuk kajian filsafat analitika, filsafat kebudayaan, filsafat nusantara, serta kajian lainnya yang memiliki relevansi terhadap kebudayaan dan ilmu tanda. Untuk itu, penelitian ini memberikan kontribusi terhadap penelitian yang ada di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, yang masih minim penelitian terkait tentang serat maupun filsafat bahasa. Dengan demikian, penelitian ini memberikan kesadaran baru bagi peneliti mengenai pentingnya penelitian tentang budaya dengan
meninjau secara dalam melalui ilmu tanda, mengingat sejauh ini penelitian kebudayaan masih jauh dari sentuhan penelitian.
c. Bagi bangsa Indonesia Penelitian ini diharapkan memunculkan cara pandang baru bagi perempuan-perempuan di Indonesia untuk tetap bangga dengan keIndonesia-annya. Khususnya untuk perempuan Jawa, dapat memiliki dimensi lain tidak harus berkaca pada kebudayaan Barat, dan tidak merasa inferior. Penelitian ini diharapkan untuk menjunjung tinggi keelokan perempuan Jawa dengan kekhasannya yang kaya akan nilai moralitas dan religius. Selain itu, penelitian ini juga memungkinkan akan berkembangnya kesadaran baru tentang pentingnya menjaga nilai-nilai kearifan perempuan, serta dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap kebudayaan, bangsa dan negara Indonesia. Di samping itu, juga bermanfaat untuk menangkal derasnya kebudayaan Barat yang masuk ke Indonesia. B. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan isi dan ajaran perempuan Jawa pada serat Wasita Dyah Utama 2. Menganalisis pemikiran Eco tentang konsep tanda, reproduksi makna dan teori dusta 3. Melakukan analisis berdasarkan semiotika Umberto Eco dalam melihat ajaran-ajaran perempuan Jawa pada serat Wasita Dyah Utama
C. Tinjauan Pustaka Karya
sastra
klasik
atau
karya
sastra
lama
merupakan
perbendaharaan pikiran dan cita-cita para nenek moyang (Robson, 1978:5). Salah satu karya sastra sebagai perbendaharaan penting yang dimiliki bangsa Indonesia adalah naskah Jawa sebagai hasil kebudayaan yang berwujud tulisan-tulisan yang memuat berbagai aspek kehidupan masa lalu masyarakat Jawa (Tim Filologi UGM, 1982:6—9). Salah satu di antara nilai-nilai adiluhung yang termuat dalam sastra klasik adalah mendorong agar seseorang menjadi manusia seutuhnya, dan tidak terlena oleh harta, kekuasaan dan kehormatan. Inti ajaran sastra klasik banyak diantaranya yang mengulas intisari pengajaran (piwulang) diperuntukkan perempuan Jawa. Perempuan Jawa memiliki citra yang sempurna dalam kepribadian dan moral. Dalam ajaran Jawa, perempuan memiliki keadaan sebagai manusia yang lengkap, yaitu sebagai perorangan, dan juga mencakup keseluruhan sikap dan watak perempuan, terutama dalam menggunakan bahasa, yang berakar pada budaya Jawa. Kekhususan sikap dan watak pada perempuan Jawa dapat dilihat dari konsep pendidikan yang terdapat pada naskah-naskah Jawa. Nilai-nilai di atas terdapat dalam “serat” yang merupakan salah satu jenis karya sastra lama, atau sastra klasik (Muchlich dkk, 2006:27; Soedarsono, 1986:6; Saparinah, 1989 :146). Perempuan Jawa masih berakar pada kebudayaan dan cara berpikir kebudayaannya, sehingga yang dimaksud dengan perempuan Jawa adalah keseluruhan sikap dan watak perempuan yang menggunakan salah satu
medium bahasa, yakni bahasa Jawa. Pada abad XX telah banyak perempuan Jawa tidak bisa berbahasa Jawa, karena sejak kecil orang tuanya telah menerapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Ibu mereka, dan tidak lagi berakar pada budaya Jawa. Pudarnya kharakter perempuan Jawa membuat banyak tulisan sastra yang ingin mengembalikan jati diri perempuan Jawa, agar tidak kehilangan identitasnya. Salah satu bentuk serat yang memuat peran perempuan, terkhusus menjalani peran sebagai seorang istri misalnya dalam Serat Wulang Estri, yang membahas “Pendidikan menjadi istri untuk perempuan Jawa”. Salah satu ajarannya adalah dengan pengembalian bahasa Jawa sebagai alat komunikasi. Pendidikan seperti ini adalah wujud pertolongan atau bimbingan yang mengubah sikap perempuan ke arah kedewasaan (Bernadib, 1982:3). Perempuan Jawa memiliki kekuasaan yang besar, dan status tinggi baik dalam masyarakat maupun dalam lingkungan keluarga (Soedarsono, 1986:3). Upaya mengetahui peran perempuan Jawa, juga dapat dijumpai melalui serat “Nitimani”. Serat “Nitimani” lebih menitikberatkan pendidikan seks bagi perempuan. Penelitian Serat “Nitiman” dalam upayanya mengajukan diskursus seksologi dan peran perempuan pernah dilakukan oleh Iva Ariani (2001) dengan judul tesis, “Kedudukan Hakiki Perempuan Dalam Seksologi Jawa Serat Nitimani”.
Penelitian tersebut berhasil menemukan beberapa
kesimpulan, satu diantaranya yaitu peran equal (sama rasa) dalam hubungan seks antara laki-laki dan perempuan (Ariani, 2001:1). Penelitian ini juga berusaha mengungkap bahwa perempuan memiliki peranan yang aktif dalam
masyarakat. Hal ini juga didukung oleh Boserup, seorang kewarganegaraan Belanda yang meneliti perempuan Jawa dan mengatakan bahwa perempuan Jawa secara tradisional berperan aktif dalam tiap aspek sosial (Kusujarti, 2003:82). Masyarakat Jawa memiliki nilai-nilai kemanusiaan dalam pernyataanpernyataan simbolik yang merupakan bagian integral dari sistem budaya (Kuntowijoyo, 2006:47). Misalnya, simbol kata “ajar” berarti wulang, piwulang, pelajaran dan belajar. Sastra wulang sebagai sastra yang di dalamnya mengandung ajaran didaktik, seperti Wulang Sunu, Wulang Putra, Wulang Dalem, dan sebagainya. Sementara itu, dalam Glosarium Istilah Sastra Jawa, wulang berarti ajaran atau didaktik (Prabowo, 2007:336). Pendidikan atau piwulang Jawa yang dibentuk baik melalui formal maupun informal, memiliki berbagai bentuk komunikasi sosial, yakni dengan perantara“serat” sebagai bentuk karya sastra yang menghubungkan simbolsimbol tersebut. Sastra Jawa dapat berperan sebagai salah satu media pengajaran moral, dan membentuk setiap identitas orang-orang Jawa (Anggrahini, 2008:21). Perempuan Jawa dapat menempati posisinya sebagai makhluk individu dan sosial, baik dalam keluarga maupun di lingkungannya. Novel “Gadis Pantai” memberikan pandangan baru mengenai eksistensi perempuan yang memiliki kedudukan yang sama dengan manusia lain serta lingkungan sosialnya. Penelitian karya sastra yang berkaitan dengan perempuan Jawa pernah dilakukan oleh Sumartini dengan judul “Posisi-Posisi Perempuan
Jawa: Tinjauan atas Novel Gadis Pantai karya Pramodeya Ananta Toer”, berusaha menelusuri posisi perempuan dan kedudukannya, serta potensi yang dimiliki perempuan yang diambil dari novel Gadis Pantai (Sumartini, 2008:4). Ajaran serat-serat Jawa, dalam garis besarnya mengajukan intisari filsafat Jawa dalam ungkapan “nrimo ing pandum”. Ajaran filosofis ini juga menginspirasi pemaknaan simbolik perempuan dalam Serat Centhini. Tetapi pemaknaan dalam Serat Centhini ini kemudian juga menginspirasi tulisan kritis dalam novel karya Korie Layun Lampan berjudul “Wanita di Jantung Kota Jakarta”. Novel ini yang kemudian menjadi “kajian; kritik sastra feminis”. Peran perempuan sebagai istri dan ibu dalam masyarakat Jawa yang patriarkis dikiaskan dalam keberadaaan simbolis; “lima jari” seperti yang disebutkan dalam serat centhini. Jari-jari tersebut antara lain meliputi jempol yang berarti berserah diri pada suami, penunduk berarti petunjuk suami tidak boleh disangkal, penunggul tengah (jari tengah) selalu mengunggulkan suami, jari manis yaitu tetap manis melayani suami, dan jejentik yang berarti terampil dalam semua pekerjaan (Riyadina, 2009:39). Riyadina menggunakan teori kritis sastra feminis terhadap tokoh Sumarsih yang diketahui sebagai seorang perempuan yang berasal dari Jawa. Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa tokoh Sumarsih mengalami kekerasan di ruang domestik berupa kekerasan psikis, ekonomi, seksual dan fisik. Penelitian tersebut berkesimpulan bahwa perempuan yang bekerja dengan urusan domestik menempati posisi marjinal dan tercitra sebagai perempuan marjinal yang
dapat dilihat dari beban gandanya yaitu; bertindak sebagai istri, dan aktif di ruang publik (Riyadina, 2009: 41). Penelitian mengenai serat sudah banyak dilakukan, namun penelitian mengenai serat Wasita Dyah Utama hanya ditemukan dua, itupun sebatas transliterasi atau tahap deskripsi arti. Pertama penelitian yang pernah dilakukan oleh Mirya Anggrahini Nimpuno (2008). Aspek piwulang menentukan perilaku dan karakteristik manusia untuk membentuk konsep wong jawa ngganing rasa maka tekun dalam mengusahakan kesejahteraan melalui pengajaran untuk meraih budi luhur, ajaran, pengertian dan pedoman hati menjadi kebutuhan hidup (Anggrahini, 2008:22). Hasil penelitian Mirya Anggrahini (2002) berupa terjemahan serat dari aksara Jawa ke bahasa Jawa Kuno, lalu ke bahasa Indonesia yang menunjukkan ajaran keutamaan hidup (virtue). Penelitian tersebut masih dalam tataran deskripsi yaitu sebatas mengartikan teks serat Wasita Dyah Utama. Kedua, terjemahan serat yang pernah dilakukan oleh Kumitir. Berbeda dengan Mirya, Kumitir hanya sebatas menerjemahkan dan mengartikan serat, tanpa menunjukkan keutamaan-keutamaan yang ada dalam serat Wasita Dyah Utama. Terjemahan itu dilakukan dengan bersama-sama menerjemahkan serat-serat yang lain (intertextual) (Kumitir, 2010:150). Kajian terhadap Serat Wasita Dyah Utama belum ada yang meninjau dan menggali secara komprehensif yakni makna ajaran perempuan Jawa, dalam perspektif semiotika Umberto Eco. Penelusuran peneliti terhadap berbagai penelitian yang terkait dengan tema yang diangkat, belum satu pun dapat
dikatakan memiliki kesamaan secara utuh dengan penelitian yang akan dilakukan ini. D. Landasan Teori Penelitian ini mengggunakan teori semiotika Umberto Eco sebagai alat analisis dalam melihat serat Wasita Dyah Utama. Untuk memahami semiotika Umberto Eco, perlu dipahami terlebih dahulu dasar teori dari munculnya konsep semiotika yang digagas oleh Eco. Dasar teori itu adalah teori dusta (theory of lie). Dalam teori dusta, Eco menekankan bahwa ruang lingkup kerja semiotika mencakup seluruh kebudayaan dan memandang luasnya objek peristiwa sebagai tanda (Zoest, 1992:31). Eco mengatakan, “Thus semiotics is in principle the dicipline studying everything which can be used in order to lie. If something cannot be used to tell a lie, conversely it cannot be used to tell the truth: it cannot in fact be used “to tell” at all. I think that the definition of a ‘theory of the lie’ should be taken as a pretty comprehensive program for a general semiotics (Eco, 1979:7)” Hal itu berarti semiotika memang pada prinsipnya adalah suatu disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengetahui dan mengecoh. Jika sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengecoh atau mendustai berarti ia tidak dapat digunakan untuk “mengatakan” sesuatu pun, termasuk kebenaran. Karena pada dasarnya, suatu hal menyimpan sesuatu yang lain, atau pesan yang lain. Dalam bukunya A Theory of Semiotics, Eco mencoba menggali kemungkinan teoritis dan fungsi sosial sebuah pendekatan yang untuk setiap gejala signifikasi dan atau komunikasi. Pandangan Eco tersebut merupakan
pandangan Eco secara umum terhadap semua permasalahan fungsi tanda berdasarkan sistem hubungan antarunsur, yang terdiri atas satu kode atau lebih (Zoest, 1992:26). Garis besar teori semiotika yang digagas oleh Eco adalah teori kode (a theory of codes) dan teori produksi tanda (a theory of sign production). Dalam penelitian ini, teori kode dan teori produksi tanda digunakan untuk menemukan makna dari ajaran-ajaran yang termuat dalam serat. Sebab dalam teori produksi makna memperhitungkan ruang lingkup gejala penggunaan bahasa, komunikasi estetik, evolusi kode, tipe-tipe tingkah laku dalam interaksi yang komunikatif, serta penggunaan tanda untuk menyebutkan sesuatu atau keadaan. Titik tekannya adalah evolusi kode, bagaimana kode yang digunakan saat pengirim pesan dan saat penerima pesan berbeda dari segi waktu. Rancangan teori semiotika Umberto Eco, merupakan tahap awal yang memungkinkan dapat digali dari tiap-tiap gejala signifikasi dan atau komunikasi, oleh karena itu fokus pembicaraan perlu disesuaikan dengan situasi seni dewasa ini dan menghindari permasalahan yang kurang relevan (Zoest, 1992:27). Hal itu bermanfaat untuk menemukan definisi atau arti secara tepat berdasarkan kemungkinan arti-arti yang lain. Untuk itu perlu memperhitungkan keanekaragaman arti ‘tanda’ dan tipologi tanda. Dengan demikian, analisis arti ‘tanda’ akan terlebih dahulu dijelaskan untuk membedakannya dengan yang bukan ‘tanda’.
John Updike (dalam Danesi, 2010:53) mengatakan bagi laki-laki dan perempuan, tubuh manusia dari jenis kelamin berbeda menyampaikan pesan yang memberi tanda apa yang harus dilakukan – tubuh-tubuh itu adalah penanda yang bersinar dari kebutuhan manusia sendiri. Sementara itu, Danesi (2010:6) mengatakan alasan mengapa spesies manusia dari waktu ke waktu bukan diatur oleh seleksi alam, melainkan oleh “kekuatan sejarah” yaitu oleh makna-makna terakumulasi yang telah ditangkap, dilestarikan, dan diteruskan oleh generasi sebelumnya dalam bentuk tanda-tanda. Purwasito (2001:6) mengatakan ada empat ranah membaca tanda yang digunakan Eco. Empat ranah tersebut bermanfaatkan untuk membaca dan menemukan tanda serta saling berhubungan. Empat ranah tersebut adalah kondisi atau objek yang ditemukan, tanda, respons, dan aturan yang menghubungkan antara tanda dan objek, dan antara tanda dan respons. Pada ranah pertama dengan melihat objek yang ditemukan menunjukkan adanya realitas atau fenomena, selanjutnya realitas tersebut menunjukkan suatu hal yang lain maka itu dapat disebut sebagai tanda. Lalu tanda-tanda yang ditemukan mendapatkan respons dan kemudian ada aturan yang disepakati antara respons dan tanda. Semuanya tidak akan berjalan jika tidak ada aturan yang menghubungkannya (Purwasito, 2001:6). Melalui buku “Theory of Semiotic”, Eco mencoba mereformulasi konstruk semiotik sebagai pendekatan dan memaksimalkan fungsi sosialnya terhadap setiap gejala signifikasi dan atau komunikasi (Rusmana, 2014:293). Bagi Eco (1996:26) rancangan semiotika umum harus mempertimbangkan dua hal,
yaitu teori kode dan teori produksi makna. Atas dasar itu Eco menyusun batas-batas wilayah kajian dan operasi metodis semiotika. Antara kode dan produksi teks memiliki keterkaitan yang erat. Eco menjelaskan bahwa kodekode berasal dari segmentasi kebudayaan atau unit kebudayaan yang berbedabeda dan dapat memengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini Eco mengungkapkan, “Bermacam-macam kode, konteks, situasi, memperlihatkan kepada kita, bahwa pesan yang sama dapat dipahami kodenya dari sudut pandang yang berbeda dan dengan referensi pada sistem-sistem konvensi yang beragam” (Piliang, 2003:169). Zaimer (1996:22) mengatakan sekecil apapun tanda itu, tetap memiliki acuan yang besar: la mise en abyme yang berarti hal itu pun mempunyai sifat metafora.
Begitupun
dalam
proses
komunikasi,
Eco
(1996:27)
menitikberatkan pada pengirim dan penerima tanda. Titik tolaknya adalah teks yang dapat dibaca atau teks yang telah jadi, sebelumnya pengirim telah memberikan kode dan subkode untuk diterima oleh penerima tanda. Selanjutnya, ada beragam saluran komunikasi yang dapat dipilih. Melalui ujaran-ujaran tersebut penerima akan berusaha menginterpretasi teks yang sudah dipengaruhi konteks sosial. Titik tolak pemikiran Eco adalah karya sastra. Pendidikan Eco di bidang estetika membuat Eco menghasilkan karya pertama kali berupa novel yang berjudul The Name of Rose. Untuk itu, Eco memberikan pula pemahaman tanda dalam karya sastra. Komunikasi dalam teks sastra tidak bermakna tunggal. Seperti yang dikatakan oleh Rusmana (2014:297) bahwa kajian
semiotika tidak memiliki makna tunggal, atau semiosis memiliki sifat tidak terbatas sebagai hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Kesulitannya adalah penulis dan pembaca samasama dipengaruhi oleh hal-hal yang ada dalam dirinya masing-masing. Eco (dalam Zaimar, 2008:55) mengatakan meskipun berpeluang untuk terjadi penyimpangan makna, namun dalam koridor karya sastra penyimpangan interpretasi adalah sesuatu yang biasa.
E. Metode Penelitian 1. Bahan dan Materi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengambil sumber pustaka berasal dari serta Wasita Dyah Utama yang diperoleh dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai serat Wasita Dyah Utama. Serta konsep-konsep pandangan Umberto Eco menyangkut proses komunikasi dan pemahaman dalam karya sastra menurut Semiotika Umberto Eco. Data pustaka dalam penelitian terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. a. Sumber data primer 1) Pustaka yang berjudul Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara IV Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Serat Wasita Dyah Utama dipublishkan pada tahun 1998 oleh Behrend
2) Anggrahini, Nimpuno Mirya. 2008. Serat Wasita Dyah Utama: Suntingan Teks. Dipublishkan oleh Universitas Diponegoro Semarang 3) Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press 4) Eco, Umberto. 2001. Lima Serpihan Moral. Yogyakarta: Jendela 5) Eco, Umberto. 2009. Tamasya dalam Hiperealitas. Yogyakarta: Jalasutra 6) Eco, Umberto.1984. Semiotics and the Philosophy of Language. London: Macmillan Press b. Sumber data sekunder Sumber data sekunder berupa karya pemikiran lain yang menulis tentang serat Wasita Dyah Utama dan semiotika Umberto Eco berupa bukubuku, artikel, laporan penelitian maupun kepustakaan digital dan internet, terkait penelitian ini
2. Tahap-tahap penelitian kepustakaan Penelitian ini melalui beberapa tahapan antara lain: a. Menyusun perencanaan kegiatan penelitian, sebagai proses awal untuk menulis tesis b. Inventaris
data
yaitu
mengumpulkan
data
sebanyaknya
dari
kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian c. Klasfikasi data dengan memilah-milah data menjadi data primer: buku-buku karya Umberto Eco dan serat Wasita Dyah Utama, data
sekunder meliputi semua tulisan tentang ulasan-ulasan serat Jawa dan semua pengkajian teori-teori semiotika dalam filsafat bahasa d. Pengolahan data, menganalisis hasil dari data yang telah diklasifikasi sehingga apa yang diperoleh adalah pemahaman dalam menentukan arah penelitian e. Pemaparan hasil analisis berupa uraian tertulis.
3. Analisis Data Proses analisis data dilakukan untuk mewujudkan kontruksi teoritis (Kaelan, 2005:171), yakni untuk menemukan pola sistematis pandangan filosofis dari Umberto Eco untuk dijadikan pisau analisis dalam mengkaji serat Wasita Dyah Utama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hermeneutika, berikut merupakan langkah metodis dari metode hermeneutik (Bakker, 1990:41): a. Verstehen, metode verstehen digunakan pada tahap pengumpulan data, data yang dikumpulkan berdasarkan karakteristik masingmasing. Pada tahap ini, mulai dikumpulkan data-data berupa tanda dalam teks. b. Interprestasi, metode interpretasi digunakan pada waktu pengumpulan data untuk menunjukkan arti dari kode-kode atau tanda yang ditemukan, selanjutnya mengungkapkan makna dari tanda tersebut secara filosofis yang terkandung dalam data secara objektif.
c. Heuristika, metode ini digunakan untuk menemukan suatu jalan baru setelah peneliti melakukan proses penyimpulan d. Induktif, metode ini digunakan setelah peneliti mengumpulan data, reduksi data, display data, kemudian dilakukan analisis dengan cara menyimpulkan berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan. e. Bahasa inklusif atau analogal, metode ini digunakan untuk meneliti arti, nilai, dan maksud yang diekspresikan dalam fakta dan data human. Sebab dalam serat nantinya akan ditemukan penggunakan bahasa-bahasa yang khas. Untuk itu perlu dipakai konsep dan kata yang inklusif, yang memuat juga konsep-konsep dan kata-kata lain (Bakker, 1990:53).
F. Hasil yang telah dicapai Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman mengenai ajaran perempuan Jawa dalam serat Wasita Dyah Utama, serta menemukan makna ajaran perempuan Jawa dalam serat Wasita Dyah Utama menurut Semiotika Umberto Eco. Dengan demikian penulis menekankan hasil telah dicapai sebagai berikut: 1. Memperoleh pemahaman mengenai isi serat Wasita Dyah Utama 2. Memperoleh pemahaman terhadap ajaran perempuan Jawa dalam serat Wasita Dyah Utama 3. Memperoleh makna ajaran perempuan Jawa dalam perspektif semiotika Umberto Eco
G. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan ditulis dalam enam bab yang terdiri atas: Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang penelitian (mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, keaslian penelitian dan manfaat penelitian), tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian (mencakup bahan penelitian, jalan penelitian dan analisis data), hasil yang ingin dicapai serta sistematika penulisan. Bab kedua membahas tentang teori Semiotika Umberto Eco. Bab ini terbagi menjadi tiga. Pertama, biografi ringkas Umberto Eco, yang di dalamnya berisi tentang riwayat hidup Eco, tokoh-tokoh yang memengaruhi pemikiran Eco. Kedua, garis besar pemikiran Umberto Eco. Ketiga konsep tanda menurut Umberto Eco yang meliputi teori dusta, teori kode dan teori produksi makna. Bab ketiga berupa pemahaman mengenai isi serat Wasita Dyah Utama. Bab ini terbagi menjadi empat sub bab. Pertama berisi latar belakang naskah yang di dalamnya berisi latar belakang munculnya serat, jumlah halaman, jumlah serat, penulis naskah dan lain sebagainya. Kedua sub bab mengenai deskripsi naskah yang di dalamnya terdapat uraian tentang ringkasan cerita yang terdapat dalam serat tersebut. Ketiga, sub bab mengenai nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam serat, seperti nilai kosmologis dan ontologis. Keempat berisi tentang ajaran-ajaran serat Wasita Dyah Utama yang terbagi menjadi tiga sub bab yaitu, fungsi panca indra perempuan, peran perempuan, dan paradigma perempuan.
Bab keempat membahas analisis semiotik Umberto Eco atas perempuan Jawa. Bab ini terbagi menjadi tiga bab yang meliputi tanda-tanda yang terdapat dalam serat, bagian kedua berisi mengenai kebohongan-kebohongan yang ditemukan dalam serat, ketiga berisi potensi makna dalam tanda dan kebohongan. Bab kelima merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan dan saran.