BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia selalu mengalami serangkaian perubahan yang terjadi akibat dari proses kematangan dan pengalaman dalam hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut dinamakan perkembangan (Hurlock, 2006). Proses perkembangan terjadi sejak manusia berada di dalam kandungan hingga meninggal. Setiap tahap perkembangan yang dialami manusia memiliki ciri-ciri dan tugas-tugas khusus yang harus dipenuhi. Havighurst (dalam Hurlock, 2006) menyatakan bahwa tugas-tugas perkembangan adalah serangkaian tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dalam kehidupan manusia. Keberhasilan dalam memenuhi tugastugas perkembangan akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam pelaksanaan tugas berikutnya. Tugas-tugas perkembangan muncul akibat adanya kematangan fisik, tekanan-tekanan budaya dari masyarakat, serta nilai-nilai dan aspirasi individual. Tugas perkembangan yang paling menonjol pada masa dewasa adalah membina rumah tangga dan bekerja. Rumah tangga dan karir sama-sama memiliki nilai yang penting bagi manusia. Kedua tugas perkembangan tersebut terkadang sulit untuk dijalani secara berdampingan sehingga individu terpaksa memilih salah satu dari kedua hal tersebut. Commuter marriage menjadi salah satu solusi bagi permasalahan tersebut. Gerstel dan Gross (dalam Van der Klis, 2009) mendefinisikan commuter marriage sebagai keadaan perkawinan yang terbentuk
1
2
secara sukarela yang mana pasangan sama-sama bekerja mempertahankan dua tempat tinggal yang berbeda lokasi geografisnya dan mereka terpisah paling tidak tiga malam per minggu selama minimal tiga bulan. Gerstel dan Gross menyatakan bahwa commuter marriage terbagi menjadi dua jenis yaitu, adjusting couple dengan usia pernikahan 0-5 tahun dan established couple dengan usia pernikahan lebih dari 5 tahun. Menurut Gerstel dan Gross adjusting couple cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan established couple. Kepercayaan menjadi masalah terbesar bagi adjusting couple. Sejalan dengan Gerstel dan Gross, McBride dan Bergen (2014) mendefinisikan commuter marriage sebagai suatu keadaan ketika pasangan suami istri tinggal terpisah pada hari kerja (atau lebih dari itu) karena tuntutan karir. Torsina (dalam Margiani, 2013) menyatakan bahwa commuter marriage merupakan pernikahan yang karena alasan khusus menyebabkan pasangan suami istri tidak dapat tinggal serumah, seperti tuntutan pendidikan maupun keadaan ekonomi. Tiga juta enam ratus ribu pasangan menjalani commuter marriage di Amerika Serikat (New York Times) pada tahun 2006. Landesman dan Seward (2013) mengemukakan bahwa pada tahun 2010, 3% dari penduduk dunia yaitu 214 juta orang tinggal di negara berbeda dengan pasangannya. Tiga kali lipat dari jumlah tersebut tinggal di kota yang berbeda dengan pasangannya, namun dalam satu negara. Adanya iklan sebuah produk chatting “LINE” yang mengangkat tema pernikahan jarak jauh juga menunjukkan bahwa tren commuter marriage saat ini semakin banyak terjadi.
3
Pasangan commuter marriage mulai banyak ditemukan di Indonesia. Semakin banyak pasangan suami istri yang tinggal terpisah sebagai konsekuensi dari pekerjaan mereka. Salah satu dari mereka harus meninggalkan tempat asal mereka demi mengejar karir. Selain karena tuntutan penempatan dari tempat mereka bekerja, ada berbagai faktor lain yang membuat pasangan suami istri tinggal terpisah, seperti penghasilan yang lebih menjanjikan di kota besar. Beberapa pasangan lain tinggal terpisah karena istri yang juga ingin berkarir. Individu harus memiliki keseimbangan antara kehidupan pribadi dan karirnya. Keseimbangan antara kehidupan pribadi dan karir ini biasa disebut dengan work-life balance. Menurut Singh dan Khanna (2011), work-life balance adalah konsep luas yang melibatkan penetapan prioritas yang tepat antara pekerjaan (karir dan ambisi) pada satu sisi dan “kehidupan” (kebahagiaan, waktu luang, keluarga dan pengembangan spiritual) di sisi lain. Work-life balance juga dapat diartikan sebagai minimnya konflik atau gangguan antara peran kerja dan non kerja (Frone, 2003). Greenhaus (2003) menyatakan bahwa aspek-aspek dalam work-life balance adalah keseimbangan waktu, keseimbangan peran, dan keseimbangan kepuasan antara perkawinan dan karir. Berbagai penelitian mengenai work-life balance pada karyawan telah dilakukan. Work-life balance berdampak pada berbagai hal, seperti kualitas hidup, stres, intensi untuk meninggalkan pekerjaan, dan well-being. Penelitian yang dilakukan Greenhaus (2003) pada pekerja di bidang akuntansi menunjukkan bahwa work-life balance berhubungan positif dan signifikan dengan kualitas hidup. Semakin tinggi work-life balance seseorang maka semakin tinggi pula
4
kualitas hidup seseorang. Oddle-Dusseau (2011) melakukan penelitian mengenai hubungan antara work-life balance dengan stres, intensi untuk meninggalkan pekerjaan, dan well-being. Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan negatif antara work-life balance dengan stres dan intensi untuk meninggalkan pekerjaan serta adanya hubungan positif antara work-life balance dengan well-being. Semakin tinggi work-life balance maka well-being akan semakin tinggi pula, sedangkan stres dan intensi untuk meninggalkan pekerjaan akan semakin rendah. Work-life balance sulit dicapai oleh pasangan yang menjalani commuter marriage karena adanya jarak secara fisik (Van der Klis, 2009). Karyawan atau pekerja yang menjalani commuter marriage memiliki waktu yang sangat minim bagi keluarganya. Karyawan yang menjalani pernikahan jarak jauh lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk pekerjaan karena mereka umumnya hanya pulang ke tempat tinggal pasangannya pada akhir pekan. Beberapa keluarga yang menjalani commuter marriage bahkan hanya bertemu sekali dalam sebulan atau kurang dari itu. Landesman dan Seward (2013) melakukan penelitian terhadap kepuasan perkawinan pada pasangan commuter mariage di Israel dan Amerika Serikat. Penelitian dilakukan pada beberapa aspek kepuasan perkawinan yaitu kepuasan terhadap pembagian tugas rumah tangga, komunikasi, keterlibatan dengan anak, pendapatan, dan waktu luang dengan pasangan. Secara keseluruhan, pasangan yang tinggal bersama memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan pasangan commuter marriage. Sembilan puluh tiga persen dari pasangan yang tinggal bersama mengaku puas dengan perkawinan mereka,
5
sedangkan 89% dari pasangan commuter marriage merasa puas. Pasangan yang menjalani commuter marriage memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi pada aspek kepuasan terhadap pendapatan dan kepuasan terhadap waktu luang yang dihabiskan dengan pasangan. Jarak yang jauh menyebabkan pasangan suami istri kurang terlibat dan berperan dalam keluarga. Orang tua yang tinggal jauh dari anaknya merasa tidak terlibat dalam mendidik anak mereka. Di samping itu, peran yang berhubungan dengan fisik seperti sentuhan dan pelukan juga tidak bisa dilakukan. Bowlby dan Vornbrock menyatakan bahwa ketidakhadiran secara fisik memunculkan rasa tidak aman (dalam Borelli dkk., 2014). Wawancara dengan tiga orang karyawan yang bekerja di Jakarta dan menjalani commuter marriage menunjukkan bahwa aspek-aspek dalam work-life balance tidak terpenuhi dengan baik. Ketiga orang yang diwawancarai tersebut mengatakan bahwa mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaan mereka. Ketiga karyawan tersebut juga mengatakan bahwa mereka merasa tidak nyaman dengan keadaan pernikahan jarak jauh yang mereka jalani. Hal ini mengindikasikan rendahnya kepuasan terhadap keadaan pernikahan mereka. Dua dari tiga karyawan merasakan bahwa mereka merasa lebih berperan dalam pekerjaan mereka dibandingkan dalam keluarga. Hal ini dikarenakan jarak secara fisik yang terbentuk dari pernikahan jarak jauh. Perbedaan waktu yang dihabiskan bersama keluarga dibandingkan dengan karir, kepuasan, dan peran antara perkawinan dan karir seperti paparan di atas menunjukkan bahwa pasangan yang menjalani commuter marriage
6
cenderung tidak memiliki keseimbangan antara kehidupan pribadi dan karir atau work-life balance. Meskipun work-life balance pada karyawan yang menjalani commuter marriage cenderung sulit untuk dicapai, namun ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi work-life balance, baik dari dalam diri sendiri, dari organisasi, maupun dari lingkungan sosial (Polouse, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Malik, dkk. (2010) menunjukkan bahwa dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga memiliki hubungan yang signifikan dengan work-life balance. Semakin tinggi dukungan sosial, semakin tinggi pula kemampuan seseorang untuk mencapai work-life balance. Dukungan sosial memiliki pengaruh positif terhadap work-life balance karena dukungan sosial, baik dari atasan maupun dari pasangan, membantu mengurangi konflik dalam keluarga dan pekerjaan (Malik, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Kopp (2013) menunjukkan bahwa dukungan sosial yang berasal dari rekan kerja dan atasan berhubungan signifikan dengan work-life balance. Semakin tinggi dukungan sosial dari rekan kerja dan atasan, semakin tinggi pula work-life balance karyawan. Sejalan dengan hasil penelitian tersebut Lee, dkk. (2013) menyatakan bahwa rendahnya dukungan sosial dari keluarga menyebabkan tingginya work-family conflict, yaitu adanya konflik internal seorang individu mengenai perannya dalam keluarga dan pekerjaan. Selain dukungan sosial, faktor dari dalam individu seperti kecerdasan emosi juga dapat meningkatkan work-life balance individu. Sharma (2014) melakukan penelitian terhadap hubungan kecerdasan emosi dengan work-life balance, dengan kecerdasan emosi sebagai variabel bebas dan work-life balance
7
sebagai variabel tergantung. Penelitian yang dilakukan oleh Sharma menunjukkan adanya hubungan signifikan antara kecerdasan emosi dengan work-life balance. Individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi memiliki work-life balance yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Kecerdasan emosi membantu seseorang untuk mengatasi aktivitas sehari-hari secara diplomatis dan dewasa (Akhtarsha, 2014). Seorang karyawan dapat mencapai hasil yang lebih memuaskan dalam karirnya dan dapat memiliki kehidupan rumah tangga yang baik ketika memiliki kecerdasan emosi yang tinggi. Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi memiliki hubungan positif dengan work-life balance. Work-life balance adalah hal yang cukup esensial bagi kehidupan seseorang. Work-life balance memiliki dampak pada kehidupan pribadi maupun pada pekerjaan. Penelitian yang dilakukan oleh Odle-Dusseau, dkk. (2011) menunjukkan bahwa work-life balance memiliki hubungan signifikan dengan kualitas hidup, stres, depresi, dan intensi untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Semakin tinggi work-life balance maka semakin tinggi pula kualitas hidup seseorang, namun semakin tinggi work-life balance, semakin rendah tingkat stres, depresi, dan intensi untuk mengundurkan diri. Work-life balance juga berhubungan dengan kelelahan emosional dan personal learning (Tang, dkk., 2015). Semakin tinggi work-life balance seseorang makan semakin tinggi pula kecenderungan orang untuk mengembangkan dirinya dan semakin rendah tingkat kelelahan emosional individu tersebut. Berbagai dampak yang dihasilkan work-life balance membuat penelitian ini penting untuk dilakukan. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk
8
melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara Dukungan Sosial dan Kecerdasan Emosi dengan Work-life Balance pada Karyawan yang Menjalani Commuter Marriage”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1.
Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dan kecerdasan emosi dengan work-life balance pada karyawan yang menjalani commuter marriage?
2.
Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan work-life balance pada karyawan yang menjalani commuter marriage?
3.
Apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan work-life balance pada karyawan yang menjalani commuter marriage?
C. Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui hubungan antara dukungan sosial dan kecerdasan emosi dengan work-life balance pada karyawan yang menjalani commuter marriage.
2.
Mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan work-life balance pada karyawan yang menjalani commuter marriage.
3.
Mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan work-life balance pada karyawan yang menjalani commuter marriage.
9
D. 1.
Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan masukan dalam pengembangan
ilmu psikologi, khususnya di bidang sosial dan
industri mengenai hubungan antara dukungan sosial dan kecerdasan emosi dengan work-life balance.
2.
Manfaat Praktis a. Karyawan yang menjalani commuter marriage Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan kepada karyawan yang menjalani commuter marriage dalam hal meningkatkan work-life balance. b. Peneliti lain Menjadi dasar acuan untuk melakukan kajian atau penelitian dengan tema serupa.