BAB I PENDAHULUAN
A. Konteks Agraris dan Keberadaan Gereja di Indonesia Bagi khalayak luas kisah penderitaan petani Indonesia bukan rahasia lagi. Fenomena krisis petani terekam sejak lama dalam berita media massa maupun hasil penelitian para ahli. Periode 1998-2003 berita kekalahan petani1 yang disebabkan kekeringan, banjir, serangan hama belalang dan tikus, kenaikan harga pestisida dan
W
pupuk yang semakin mahal, dan anjloknya harga komoditas yang ditanam petani termuat
KD
dalam judul-judul berita, seperti Ekonomi Petani Kritis2, Jabar Puso 60.000 Hektar, Kerugian Rp 500 Miliar3, Petani Mulai Terjerat Utang4, Petani Padi Semakin Menuju
U
Kebangkrutan5, Kini Petani di Ujung Tanduk6. Setelah periode itu keadaan petani yang menyedihkan terus menjadi berita.
IK
Tahun 2006 dicatat pengakuan pemerintah, yang ditegaskan Presiden Republik
IL
Indonesia sendiri, yang mengakui sangat ironis bahwa selama 61 tahun Indonesia merdeka, nasib petani kecil dan buruh tani tetap miskin dan kelaparan (Kompas, Rabu,
M
22/11/2006). Meski Presiden RI sendiri memahami nasib petani yang penuh ironi dan menetapkan kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK),7 pada waktu selanjutnya tetap saja nasib buruk petani yang menjadi kenyataan hidup sebagian
1
Istilah kekalahan petani merujuk pada buku Greg. Soetomo, Kekalahan Manusia Petani: Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian, (Yogyakarta: 1997). Di dalam buku ini secara jelas Greg. Soetomo merinci berbagai faktor yang menyebabkan peminggiran atau kekalahan petani dalam usaha pertaniannya. 2 Kompas, Kamis, 21/08/2003, hal. 1. 3 Kompas, Kamis, 21/08/2003, hal. 20. 4 Kompas, Jumat, 22/08/2003, hal. 20. 5 Kompas, Kamis, 23/08/2001, hal. 29. 6 Kompas, Senin, 19/01/1998, hal. 8. 7 Lihat Bayu Krisnamurthi, Revitalisasi Pertanian: Sebuah Konsekuensi Sejarah dan Tuntutan Masa Depan dalam Jusuf Sutanto dan Tim (ed.), Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban, (Jakarta: 2006).
1
besar penduduk Indonesia terus berlanjut. Secara kasusistik hal tersebut ditandai berita Kasus Kekurangan Pangan di Cianjur Terus Bertambah (Kompas, Jumat, 23/03/2007, hal. 21). Berita ini muncul akibat warga yang adalah buruh tani Desa Sindangsari Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, dan warga Kampung Rahong, Desa Sukasirna, Kecamatan Sukaluyu tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya karena tak mempunyai pekerjaan selama tidak ada kegiatan panen padi, padahal warga sudah menggadaikan tenaga mereka kepada pemilik sawah untuk mencukupi kebutuhan hidup
W
sehari-hari. Juga, berita Mencuri Sepeda Motor, Dua Buruh Tani Ditahan (Kompas,
KD
Senin, 22/10/2007) ditulis agar kisah dua buruh tani di Pandeglang, Jawa Barat, yang disangka mencuri sepeda motor untuk melunasi hutang beras dan bahan makanan menjadi perhatian luas.
U
Pada tahun 2008 berita-berita yang menggambarkan nasib buruk petani tak surut.
IK
Musim kemarau dan ancaman kekeringan yang mengganggu produktifitas petani serta kekurangpedulian negara terhadap hal ini tetap mewarnai kisah petani Indonesia
IL
(Kompas, Selasa, 29/07/2008). Sebaliknya pada musim penghujan 2008/2009, ancaman
M
banjir dan longsor yang diprediksi melanda 27 Propinsi8 dampaknya juga menggenangi sawah, tegal, dan lahan pertanian yang vital,9 serta merusakkan infrastruktur pertanian yang merupakan ancaman serius bagi nasib petani, seperti terhadap petani di daerah Pantura Jawa, di sekitar daerah aliran sungai Bengawan Solo yang menjadi langganan banjir10. Dan ini benar-benar terbukti dengan terendamnya ribuan hektar sawah di sekitar
8
Lihat: GSA, 27 Propinsi Rawan Banjir dalam Kompas, Sabtu, 21/11/2008, hal. 13. Hal ini mulai terbukti dengan pusonya 500 hektar tanaman padi di Kalbar(Kompas, Jumat, 14/11/2008, hal 22), padahal puncak musim hujan masih diperkirakan terjadi pada Januari-Februari 2009. 10 Hal ini terbukti dengan terendamnya ribuan hektar tanaman bawang merah di Brebes, Jawa Tengah (Kompas, Minggu, 23/11/2008 dan Suara Merdeka, Minggu, 23/11/2008, hal.1). 9
2
aliran Bengawan Solo, mulai dari Sragen, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik pada bulan Februari 200911. Kisah marginalisasi dan kemiskinan petani yang dianggap tanpa daya saing makin santer terdengar pada tahun 2008. Misalnya, nasib petani kembali menjadi ajang permainan industri ketika muncul kasus benih Super Toy. Pada bulan Juli sampai September 2008 terungkap kasus penggunaan benih padi varietas Super Toy HL-2 yang diproduksi oleh PT. Sarana Harapan Indonesia, perusahaan yang didirikan salah satu
W
anggota Sekretaris Pribadi Presiden menyebabkan banyak petani di Purwokerto dan
KD
beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, juga di Bali rugi karena ternyata kualitas benih Super Toy HL-2 menyebabkan hasil panen petani amatlah rendah, maksimal hanya 6,8 ton per hektar12. Hal ini membuktikan bahwa petani masih saja menjadi objek
U
eksploitasi industri perbenihan yang berusaha menangguk untung dari petani miskin
IK
sekalipun (Kompas, Selasa, 29/07/2008). Petani seringkali hanya menjadi permainan
yang nakal13.
IL
modal yang dimonopoli industri pertanian dan pemilik modal besar serta pedagang benih
M
Di tahun 2008, kesulitan petani memperoleh pupuk, yang merupakan kisah klasik dari tahun ke tahun, tak kunjung rampung. Bukan barang baru bila pupuk bersubsidi yang diperuntukkan bagi petani seringkali dijadikan permainan oleh pedagang dan pengecer pupuk.14 Sementara dari tahun ke tahun sistem distribusi pupuk yang diatur negara tetap
11
Kompas, Jumat, 27/02/2009, hal. 1 dan 15. AYS, 6,8 Ton Hasil Super Toy HL-2, Kompas, Sabtu, 4/10/2008, hal 22. 13 Kompas Yogyakarta, Selasa, 18/11/2008, hal G. Disampaikan oleh Sigit Supadmo, dosen di Fakultas Teknik Pertanian UGM bahwa selama ini petani sangat tergantung kepada pihak lain dalam hal pembasmian hama, pupuk, dan pemasaran. 14 Misalnya pada November 2008, di Magetan 4,5 ton pupuk bersubsidi diselewengkan penggunaannya seperti diungkap dalam Polisi Amankan 4,5 Ton Pupuk (Kompas, Sabtu, 21/11/2008, hal 22). Juga, 8 ton pupuk bersubsidi untuk alokasi petani di Kuningan, Jawa Barat diselewengkan dengan cara dijual di wilayah lain (Kompas, Jumat, 14/11/2008, hal 22). 12
3
saja sangat lemah15. Bulan November 2008, banyak petani di 12 Propinsi sentra pertanian tak kebagian pupuk16. Sehingga di beberapa tempat petani yang mulai marah melakukan demonstrasi,17 mendatangi gudang-gudang pupuk. Bahkan di Ngawi petani terpaksa mendapatkan pupuk dengan mencegat truk-truk pengangkut sarana pertanian yang sangat dibutuhkan untuk bercocok tanam ini. Di tahun 2010 banyak petani terus bertarung dengan ketidakadilan. Pada bulan April 2010 ketidakadilan dan penderitaan yang dialami petani banyak diberitakan: Harga
W
Gabah Jatuh, Petani Kesulitan Tanam: Sawah di Ende Terancam Gagal Panen18,
KD
Kualitas Gabah Turun19, Pupuk: Harga di Kios-kios Melebihi Harga Eceran Tertinggi20, Nasib Petani Terpuruk: Saat Harga Gabah Jatuh, Harga Pupuk Bersubsidi Justru Naik21, Petani Padi Dikorbankan22. Menyikapi hal ini Khudori menuliskan sebuah opini
U
yang menyuarakan jeritan petani berjudul Tragedi Petani di Negeri Agraris23.
IK
Selain itu, konflik pertanahan antara petani dengan pengusaha perkebunan dan semakin terbatasnya lahan pertanian karena konversi lahan sawah adalah masalah
IL
mendasar yang dihadapi petani Indonesia. Konversi lahan pertanian merupakan masalah
M
pokok bagi kesejahteraan petani. Seperti halnya rencana pembangunan jalan tol trans Jawa yang menjadi isu besar di dunia agraria pada bulan November 2008 karena perkiraan terjadinya konversi dan berkurangnya lahan sawah seluas 4.264 hektar dan
15
Kompas edisi Yogyakarta, Kamis, 13/11/2008, hal. B. Lihat berita Kompas, Jumat, 14/11/2008, hal 21. 17 Dicatat Kompas, Rabu, 12/11/2008 bahwa 1.000 petani di Jawa Tengah dan ratusan petani yang tergabung dalam Forum Kelompok Tani Blitar Selatan berunjuk rasa menuntut ketersediaan pupuk. 18 Kompas, Rabu, 14/04/2010, hal. 22. 19 Kompas, Kamis, 15/04/2010, hal. 15. 20 Kompas, Kamis, 15/04/2010, hal. 22. 21 Kompas, Jumat, 16/04/2010, hal 15. 22 Kompas, Sabtu, 17/04/2010, hal. 18. 23 Koran Tempo, Kamis, 29/04/2010. 16
4
berkurangnya lahan pertanian subur di seluruh Pulau Jawa.24 Tentu saja hal ini juga akan mengakibatkan masalah bagi petani di daerah Jawa untuk tetap memiliki lahan bercocok tanam dan melestarikan usaha pertaniannya. Menghadapi persoalan agraria yang selalu merugikan petani, pada tahun 2010 Ribuan Petani Se-Jawa Tolak Dikriminalisasi: Mereka Mendesak RUU Reforma Agraria Segera Berlaku25. Kasus-kasus yang dimuat media massa tersebut hanyalah sebagian gambaran betapa mayoritas petani Indonesia nasibnya buruk dan termarginalkan. Belum lagi kalau
W
mendalami ironi para petani yang hidup di pedesaan seperti pernah diteliti para ahli. Jan
KD
Breman dan Gunawan Wiradi misalnya, pada tahun 2004 mengeluarkan hasil penelitian yang mengungkapkan bagaimana suramnya nasib para petani di pedesaan Jawa26. Dari penelitian mereka terungkap penderitaan mayoritas kaum tani, yaitu para buruh tani, di
U
daerah Subang Utara dan Cirebon Timur yang sungguh jatuh miskin karena pengeluaran
IK
tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan produksi pertanian sementara pendapatan dari sektor pertanian maupun pekerjaan sampingan sama sekali tak memadai. Buruknya
IL
kehidupan petani seperti yang diteliti Jan Breman dan Gunawan Wiradi mengungkapkan
M
fakta amat menyedihkan bahwa banyak keluarga tani mengalami kerentanan dalam mencukupi kebutuhan pangan27. Barangkali hal ini sesuai kenyataan terjadinya kerawanan pangan yang sering menimpa keluarga-keluarga petani yang jatuh miskin, seperti pernah terjadi di daerah Pantura Pulau Jawa yang merupakan sentra kawasan petani padi, di mana pada tahun
24
MAS/LKT/RYO, Tol Picu Konversi Lahan Sawah dalam Kompas, Senin, 17/11/2008, hal.1. Kompas, Minggu, 18/04/2010, hal. 11. 26 Lihat Jan Breman dan Gunawan Wiradi, Masa Cerah dan Masa Suram di Pedesaan Jawa: Studi Kasus Dinamika Sosio-Ekonomi di Dua Desa Menjelang Akhir Abad Ke-20, (Jakarta: 2004). 27 Jan Breman dan Gunawan Wiradi, Masa Cerah dan Masa Suram di Pedesaan Jawa: Studi Kasus Dinamika Sosio-Ekonomi di Dua Desa Menjelang Akhir Abad Ke-20, (Jakarta: 2004), hal. 205-210. 25
5
2006 diberitakan bahwa beberapa rumah tangga buruh tani pada musim kering terpaksa harus makan nasi aking akibat paceklik dan akibat kemampuan daya beli yang rendah untuk membeli beras28. Juga secara luas dapat dilihat dari kasus di Jawa Tengah yang merupakan sentra pertanian di mana tercatat ribuan anak balita mengalami gizi buruk29. Ironisnya hal semacam ini juga terjadi di daerah pertanian yang subur di Pulau Jawa seperti di Jawa Timur dan beberapa daerah lain, bahkan pada tahun 2005 dilaporkan 100 dari 265 Kabupaten di Indonesia rawan pangan30. Di Jawa Timur yang dikenal sebagai
W
daerah lumbung pangan di Pulau Jawa ditemukan 1.700 kasus rawan gizi31. Semua
KD
kasus di atas menunjukkan bagaimana marginalisasi pertanian sangat berdampak pada ketahanan pangan masyarakat.
Pada tahun 2006 suramnya nasib petani dicerminkan dari Berita Resmi Statistik
U
September 2006 yang menyebutkan 63,41 persen penduduk miskin ada di pedesaan, di
IK
mana data ini menggambarkan bahwa sebagian besar orang miskin adalah petani dan sebagian besar petani adalah orang miskin32. Pemiskinan petani di Indonesia yang 73,4
IL
persen adalah petani padi atau palawija juga disebabkan oleh kebijakan yang selalu
M
merugikan petani. Perlu diketahui bahwa sebagian besar petani yang termarginalkan ini tinggal berkumpul di Pulau Jawa yang merupakan lahan subur untuk pertanian padi. Di Pulau Jawa yang sebenarnya secara geografis sangat dekat dengan pusat kekuasaan dan ekonomi Indonesia, serta menjadi daerah yang paling berkembang di Indonesia, nasib petani malah selalu menjadi objek kebijakan negara yang disulitkan oleh harga pupuk 28
Saya menyimpulkan keadaan ini berdasarkan berita-berita: Beras Menghilang, Warga Mulai Konsumsi Nasi Aking (Kompas, 31/01/2005, hal.28); Warga Indramayu Makan Nasi Aking (Kompas, 13/12/2005), Beras Mahal, Nasi Akingpun Jadi (Kompas, 09/02/2006, hal. 4). 29 Kompas, 16/06/2005, hal. 1. 30 Lihat Hira Jhamtani, Lumbung Pangan:Menata Ulang Kebijakan Pangan, (Yogyakarta: 2008), hal. 18. 31 Kompas Jatim, 04/06/2005. Di Kabupaten Blitar, daerah pertanian yang subur pun, terjadi 48 anak menderita gizi buruk (Jurnal Warta Jam 06.00 Radio Mayangkara, 24/05/2007). 32 Kompas, Jumat, 16/03/2007, hal. 6.
6
dan pestisida yang melonjak tajam sementara harga produk pertanian mereka tak cukup untuk mengimbangi kebutuhan harga sembilan bahan pokok yang justru sangat mahal pada era Pemerintahan SBY-Kalla. Apalagi di tempat-tempat pertanian lainnya yang jauh dari kekuasaan, nasib petani menjadi pertaruhan hidup yang tak kunjung usai. Sudah menjadi pandangan umum bahwa marginalisasi dan pemiskinan petani Indonesia yang berbasis hidup di pedesaan, seperti tercermin di atas, berakar dari masalah lahan garapan yang sempit33 yang merupakan permasalahan pokok di bidang
W
agraria34, mahalnya harga sarana produksi pertanian seperti benih hibrida, pupuk, dan
KD
pestisida kimia karena permainan industri, pihak pedagang, maupun para pemodal besar yang mempermainkan harga komoditas pertanian serendah mungkin yang sering mengakibatkan tidak sesuainya pemasukan petani dengan biaya produksi yang
U
dikeluarkan. Hal ini menyebabkan rendahnya pendapatan petani dalam memenuhi
IK
kebutuhan rumah tangganya. Pada saat sekarang marginalisasi petani bersumber pada kelemahan mereka menghadapi alam yang rusak ekologinya, melawan dominasi dan
IL
kekuasaan dalam masyarakat, karena iptek, serta mengklimaks akibat modernisasi yang
M
meminggirkan kearifan lokal35.
Dengan kemiskinan dan masalah-masalahnya yang demikian selalu saja nasib
petani menjadi komoditas politik dan omong kosong dari janji-janji kampanye di tengah kancah politik Indonesia pada setiap Pemilu. Nasib petani selalu menjadi objek kekuasaan36. Sungguh hal itu selalu mengitari nasib petani dan menjadi fakta yang tak 33
Loekman Soetrisno, Pembangunan Pertanian Sebuah Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: 2002), hal. 4-5. Tentang hal ini lihat juga misalnya penelitian Pinky Chrysantini, Berawal dari Tanah: Melihat ke dalam Aksi Pendudukan Tanah, (Bandung: 2007). 35 Greg. Soetomo, Kekalahan Manusia Petani: Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian, (Yogyakarta: 1997), hal. 13-58. 36 Lihat saja kebijakan pertanian terbaru yang semakin mengungkung kebebasan petani dalam berita: Menanam Komoditas Harus Izin Bupati dalam Kompas, 19/04/2010, hal. 1. 34
7
kunjung putus kisahnya. Berbagai fakta ironis yang terjadi pada petani, saat-saat ini menyebabkan sangat kurang sekali generasi muda yang meminati studi pertanian di perguruan-perguruan tinggi37. Bukan rahasia umum bila kasus-kasus peminggiran nasib petani yang mewarnai kisah masyarakat agraris Indonesia semakin membuat pesimis orang untuk terjun di bidang yang sangat vital untuk kehidupan. Walau tak sedikit pula nasib petani yang berhasil, tetapi masih saja hal itu merupakan hipotesis yang khusus. Ringkasnya, akar permasalahan dan penderitaan petani disebabkan hal-hal
W
berikut38:
KD
1. Petani menghadapi persoalan penguasaan sumber-sumber produktif pertanian yang semakin terpinggirkan. Tanah atau lahan, air atau masalah irigasi, sampai penguasaan benih semakin tidak mampu dikuasai oleh petani. Karena
U
keterdesakan lahan-lahan pertanian bergeser diambil-alih menjadi lahan-lahan
IK
industri, pertambangan, dan pemukiman. Sumber-sumber air dikapitalisasikan, seperti kasus yang terjadi di daerah Pandaan, Jawa Timur, di daerah Klaten,
IL
Jawa Tengah, di Sukabumi, Jawa Barat di mana sumber air dikuasai perusahaan
M
air minum Aqua. Juga semakin berkurangnya sumberdaya hutan yang rusak menjadi pemicu menipisnya sumberdaya air bagi petani.
2. Dalam hal pembangunan pertanian berkelanjutan, petani dilemahkan oleh sistem pertanian modern yang berpangkal pada revolusi hijau. Sistem perbenihan, pupuk, dan pestisida dikuasai oleh industri dan sebagian besar petani sudah terjerat di dalamnya. 37
Kompas, Sabtu, 2/08/2008, hal. 1. Diberitakan bahwa dari hasil seleksi nasional masuk perguruan tinggi (SNMPTN) tahun 2008 menyisakan 2.894 kursi kosong pada program studi pertanian dan peternakan di perguruan tinggi nasional. 38 Wawuk Kristian Wijaya, Analisis Peran Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Sebagai Gereja Berbasis Agraris, dalam Gema Duta Wacana Vol. 31, No. 2, Oktober 2007, hal. 92.
8
3. Perdagangan yang adil menjadi persoalan mendasar yang dihadapi petani sehari-hari. Pada masa panen selalu terjadi bahwa harga produksi pertanian di tingkat petani rendah, sementara ketika dibutuhkan harga yang dibeli petani selalu tinggi. Termasuk harga beras maupun sarana produksi pertanian yang diperlukan petani seringkali mencekik leher petani. 4. Pengutamaan sistem pangan nasional yang berbasis impor seringkali merugikan petani dalam negeri dan menjadi masalah besar bagi kemandirian dan ketahanan
KD
W
pangan petani di Indonesia.
A.1 Marginalisasi Petani dan Panggilan Gereja di Indonesia Berkarya Nyata: Belajar dari Gerakan Pertanian Karya Gereja dan Rohaniwan Katolik
U
Fakta peminggiran petani seperti diuraikan di atas adalah kenyataan sosial yang
IK
mengitari keberadaan Gereja-gereja di Nusantara. Fakta ini perlu diresponi oleh Gereja sebagai pihak yang turut bertanggung jawab memelihara kehidupan, tak hanya pada
IL
bidang yang dianggap rohani saja. Menghadapi konteks dan fakta sosial ini Gereja
M
diperhadapkan pada kenyataan akan tugas dan panggilan-Nya yang sejati dalam rangka mewartakan Injil yang hidup dengan turut memberdayakan dan menyejahterakan petani sesuai basis yang melingkunginya39.
39
Secara khusus, kenyataan bahwa Gereja-gereja di Indonesia adalah gereja berbasis agraris ditunjukkan pula dari latar belakang penulis sendiri. Penulis lahir dan hadir di tengah Gereja pedesaan, Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW). GKJW adalah Gereja yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan dan tradisi berbasis agraris di Jawa Timur. Bila didalami, GKJW sebagai gereja berbasis jemaat petani berada dalam konteks agraris di Jawa Timur dengan luas lahan persawahan, di mana pada tahun 2003 (berdasarkan data Dinas Pengairan tahun 2003 s/d bulan Juni) seluas 2.422.423 hektar. Juga, sebagian besar warganya adalah petani. Tetapi ironis sekali, di tengah basis agraris yang melingkupinya peran GKJW yang seharusnya turut mewartakan Injil kehidupan yang nyata dalam konteks agraris malah memudar geraknya pada beberapa tahun terakhir. Sebagai Gereja Protestan yang berbasis pertanian, sekaligus sejarah berdirinya berakar pada pedesaan yang agraris, peran GKJW menanggapi konteks marginalisasi petani pada masa ini justru diakui mengalami kemunduran yang luar biasa dibandingkan pada masa awal perintisan sejarah berdirinya oleh
9
Menanggapi kenyataan tersebut, Gereja Katolik dan beberapa rohaniwan di dalamnya dikenal memiliki kepedulian yang tinggi menanggapi konteks agraris yang melingkunginya. Peran terhadap masyarakat agraris sangat lekat dengan gerakan beberapa rohaniwan maupun lembaga Gereja Katolik. Pemihakan Gereja Katolik terhadap petani di Indonesia santer dinyatakan oleh praksis pemberdayaan yang dilakukan oleh paguyuban-paguyuban yang diprakarsai beberapa rohaniwan, baik yang berkarya di luar Gereja maupun di dalam lembaga Gereja Katolik Indonesia. Di Jawa
W
Barat, tepatnya di Cisarua, Bogor, Pastor Agatho Elsener, OFM Cap rohaniwan anggota
KD
Gereja Katolik ordo Fransiskan Kapusin dari Swis yang telah berasimilasi kewarganegaraan Indonesia sejak 1983, yang karyanya menjiwai gerak Gereja dan sangat mendorong gerakan pertanian organik di Indonesia40 mengembangkan Yayasan Bina
U
Sarana Bakti. Di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Gereja Katolik
IK
Ganjuran dan Romo Gregorius Utomo, Pr di Bantul memelopori berdirinya Sekretariat Pelayanan Tani dan Nelayan Hari Pangan Sedunia (SPTN HPS) untuk memberdayakan
IL
petani di daerah DIY, Jawa Tengah, maupun di daerah-daerah lain di Nusantara. Belum
M
lagi menilik kisah-kisah Gereja Katolik lain dengan beberapa pastornya, seperti paroki yang tersebar di kawasan Gunung Merapi-Merbabu maupun di tempat lain yang dikenal
Coolen di Ngoro, Paulus Tosari dan kawan-kawan di Mojowarno, dan para perintis desa-desa Kristen lainnya di Jawa Timur. Bahkan Pdt. Dr. Bambang Ruseno Utomo, tokoh sekaligus teolog GKJW, menyebutkan bahwa secara sosial ekonomi desa-desa Kristen di Jawa Timur telah kehilangan vitalitas dan harapan (Bambang Ruseno Utomo, GKJW Kini dan Kedepan, Makalah Seminar HUT GKJW Ke-75, hal. 5.). Disebutnya pula bahwa desa-desa Kristen yang dihuni warga GKJW yang dulunya menjadi perintis kesejahteraan dan kemakmuran sosial bagi masyarakat petani kini malah menjadi kantong-kantong kemiskinan, banyak pengangguran yang menyebabkan maraknya penyakit sosial seperti perjudian dan kriminalitas. 40 Peran Pastor Agatho Elsener sangat menggerakkan dan menginspirasi banyak penggiat pertanian organik di Indonesia. Peranannya mendapat liputan yang cukup luas di media massa. SCTV misalnya, dalam Liputan 6, 23/03/2008, mengapresiasi peran Pastor Agatho dengan menyebutnya sebagai pastor yang akrab memegang cangkul. Juga dalam buku karya Sabastian Eliyas Saragih, Pertanian Organik: Solusi Hidup Harmoni dan Berkelanjutan, (Jakarta: 2008), hal. 96 nama Pater Agatho termasuk seorang tokoh rohaniwan yang peranannya diakui menjadi perintis dan penggerak pertanian organik di Indonesia.
10
sangat inklusif bersahabat dengan kaum tani dan alamnya; serta terlibat melakukan pemberdayaan di bidang pertanian secara luas, menembus sekat-sekat agama bahkan berani keluar dari getho keagamaan di lingkungan mereka. Kursus Pertanian Taman Tani di Salatiga yang dikelola ordo Jesuit juga dikenal berperan memajukan kemandirian petani di Indonesia dari berbagai daerah melalui karya pendidikan dan pelatihan yang dikelolanya. Hal tersebut sangat menarik untuk didalami. Tindakan pemberdayaan dari Gereja
W
maupun rohaniwan Katolik yang inklusif dan menyentuh aspek kehidupan yang konkret
KD
tersebut bisa menjadi pembelajaran bagi berbagai denominasi Gereja di Nusantara untuk berkarya aktif di tengah-tengah konteks yang melingkupinya dan menjadi Gereja kontekstual yang melayani kehidupan rakyat jelata Indonesia secara inklusif. Tetapi,
U
seperti apa sebenarnya praksis gerakan para rohaniwan Katolik beserta lembaga Gereja
IK
Katolik dalam menanggapi konteks agraris, dalam peranannya berpihak kepada para petani? Hal ini perlu diteliti lebih jauh. Karenanya penulis sangat tertarik untuk
IL
mendalami apa saja gerakan pertanian yang dilakukan? Bagaimana ketahanan gerakan
M
pertanian yang berakar pada konteks agraris bisa diwujudkan oleh berbagai gerakan di dalam Gereja Katolik, sehingga gerakan pertanian yang dilakukan sungguh berdampak kepada masyarakat petani secara luas? Mengambil contoh kasus gerakan pertanian yang dilakukan oleh Pater Agatho di Yayasan Bina Sarana Bakti (YBSB) Cisarua dan keterlibatan Gereja Katolik yang melahirkan Sekretariat Pelayanan Tani dan Nelayan Hari Pangan Sedunia (SPTN HPS) pendalaman terhadap gerakan kontekstual Gereja dan para rohaniwan Katolik dalam bidang agraris hendak dilakukan penulis melalui penelitian ini. Pemilihan gerakan
11
pertanian Pater Agatho di YBSB sebagai subjek penelitian, sangatlah penting untuk memahami proses terbentuknya sebuah gerakan pertanian melalui pengorganisasian yang modern, inklusif, dan dimanajemeni secara profesional. Sementara pendalaman terhadap SPTN HPS yang lahir dari keterlibatan Gereja dan rohaniwan Katolik dipilih dengan memperhitungkan bahwa gerakan pertanian yang dilakukan SPTN HPS mampu merangkul petani dan berbagai pihak lintas agama, sesuai konteks komunitas pedesaan Indonesia dengan pluralitas masyarakatnya. demikian
karya
rohaniwan
dan
Gereja
Katolik
W
Dengan
Indonesia
KD
memperjuangkan terwujudnya Kerajaan Allah dan menyebarkan Injil Kristus secara konkret dan terbuka dalam kehidupan masyarakat agraris bisa dijelaskan dan dapat menjadi bahan belajar bagi Gereja-gereja Katolik sendiri maupun Gereja-gereja Protestan
U
di Indonesia beserta pendetanya yang tinggal dalam konteks agraris. Berpijak dari hal
IK
tersebut pada tesis ini akan diajukan refleksi teologis dan pemahaman tentang teologi
IL
agraris berdasarkan pendalaman alkitabiah.
M
B. Rumusan Masalah Penelitian 1. A. Apa praksis gerakan pertanian yang dilakukan Yayasan Bina Sarana Bakti Cisarua dan SPTN HPS yang lahir dari pelayanan Gereja dan rohaniwan Katolik Indonesia? B. Apa saja kendala yang dihadapi Yayasan Bina Sarana Bakti dan SPTN HPS dalam melaksanakan gerakan pertanian? C. Apa dampak gerakan pertanian yang dilakukan terhadap masyarakat petani?
12
2. Mengapa Yayasan Bina Sarana Bakti di Cisarua dan SPTN HPS yang lahir dari pelayanan Gereja dan rohaniwan Katolik melakukan gerakan pertanian? A. Apa saja alasan yang mendukung gerakan pertanian yang dilakukan oleh Yayasan Bina Sarana Bakti dan SPTN HPS? B. Apa visi teologis (dan nilai-nilai spiritualitas) yang mendasari gerakan pertanian Yayasan Bina Sarana Bakti di Cisarua dan SPTN HPS? 3. Teologi kontekstual macam apa yang bisa dikembangkan dari dua gerakan
KD
W
pertanian tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memahami, menganalisis, dan menguraikan bentuk
U
gerakan pertanian yang dilahirkan Gereja Katolik serta para aktor di dalamnya dalam
IK
mengkontekstualisasikan peranannya di tengah masyarakat agraris Indonesia. Penelitian ini juga bertujuan memaparkan berbagai hambatan dan beragam faktor yang menjadi
IL
motivasi, landasan gerak, maupun visi teologis (termasuk spiritualitas) yang mendasari
M
ketahanan gerakan Gereja dan para rohaniawan Katolik Indonesia dalam berperan aktif terlibat memperjuangkan Kerajaan Allah secara inklusif dan nyata melalui pemberdayaan di bidang agraris. Berangkat dari pemaparan tentang gerakan pertanian karya Gereja tersebut, dalam tesis ini akan dilakukan usaha menggali teologi agraris menurut Kitab Suci. Pendalaman biblika tentang teologi agraris menjadi dasar bahwa gerakan pertanian adalah tindakan iman yang fundamental sangat alkitabiah.
13
D. Metode Penelitian D.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Dengan memperhitungkan kemampuan peneliti, lokasi penelitian yang dipilih ada di dua tempat, yaitu: 1. Yayasan Bina Sarana Bakti, di daerah Tugu Selatan, kawasan Puncak, Cisarua, Bogor, Jawa Barat. 2. Lingkungan kerja Sekretariat Pelayanan Tani dan Nelayan Hari Pangan Sedunia
W
yang berada di Kabupaten Bantul, Propinsi DIY.
KD
Pemilihan tempat, merepresentasikan tujuan penelitian seperti telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Pemilihan Yayasan Bina Sarana Bakti, di daerah Tugu Selatan, Puncak, Cisarua, Bogor, Jawa Barat didasarkan bahwa gerakan pertanian yang didirikan
U
oleh Pater Agatho ini, merupakan gerakan pertanian yang dikelola dalam sebuah yayasan
IK
yang terbuka dan memiliki pengelolaan bisnis pertanian yang dikelola secara modern. Sementara itu pemilihan SPTN-HPS dengan wilayah kerja pendampingan petani di
IL
sekitar Gereja Katolik Ganjuran memperhatikan bahwa organisasi ini adalah organisasi
M
pendamping petani buah pelayanan Gereja Katolik, yang usahanya memberdayakan petani di pedesaan Jawa Tengah-Yogyakarta bersifat terbuka lintas agama dan menyentuh komunitas petani akar rumput. Kerja lapangan di Yayasan Bina Sarana Bakti Cisarua, Bogor dilaksanakan pertengahan Maret 2009 hingga pertengahan April 2009. Sedangkan kerja penelitian di lingkungan SPTN HPS dilaksanakan pertengahan Juli hingga September 2009. Penentuan waktu penelitian lapangan mempertimbangkan bahwa setiap lokasi penelitian
14
membutuhkan pendalaman secara live in minimal satu bulan dengan memperhatikan tingkat kesulitan pengumpulan data dan kemampuan peneliti.
D.2 Metode Pengumpulan Data Penelitian di dua lokasi ini merupakan penelitian kualitatif yang dilaksanakan dengan cara penelitian lapangan untuk memahami subyek tineliti. Penelitian lapangan dengan cara observasi dan wawancara mendalam dengan teknik bola salju menjadi upaya
W
menggali apa yang terjadi dan dilakukan oleh pihak yang diteliti dalam melaksanakan
KD
gerakan pertanian. Peneliti live in di lokasi penelitian dalam waktu yang cukup untuk mengobservasi dengan cara berperan serta secara terbatas dan melakukan wawancara mendalam dalam upaya menggali data menjawab masalah penelitian. Wawancara
U
mendalam dilakukan terhadap aktor-aktor penting penggerak gerakan pertanian di
IK
lembaga yang diteliti.
Pemilihan subyek yang diwawancarai untuk mendalami data yang dibutuhkan
IL
dilakukan secara purposif. Sampel purposif terhadap subyek tineliti ditentukan ketika
M
berada di lapangan dengan memilih aktor yang menjadi pencetus gerakan, tokoh gerakan pertanian yang ada pada saat penelitian dilaksanakan, terhadap beberapa aktivis yang terlibat di dalamnya, juga terhadap petani yang menjadi anggota gerakan maupun petani yang mengikuti kegiatan di dalam lembaga yang diteliti. Pemilihan sampel purposif juga dilakukan untuk menggali dampak gerakan pertanian bagi petani yang tinggal di sekitar tempat penelitian. Selain itu, pengumpulan data sekunder menjadi bagian sangat penting untuk melengkapi penelitian ini sekaligus memahami kerangka teori dan landasan berpikir
15
lembaga yang diteliti. Data sekunder dikumpulkan dengan membaca dan menganalisis berbagai dokumen yang berkait dengan keberadaan lembaga dan subyek yang diteliti, beserta buku-buku yang menjadi acuan para tokoh penggerak gerakan agraris di setiap lembaga yang diteliti.
D.2.1 Metode Penelitian di Yayasan Bina Sarana Bakti Peneliti live in di Yayasan Bina Sarana Bakti sejak tanggal 14 Maret 2009 hingga
W
15 April 2009. Penulis menginap di asrama Yayasan Bina Sarana Bakti, satu kompleks
KD
dengan kantor dan tempat tinggal Pater Agatho dan stafnya. Setiap jam 07.00-12.00, selama dua minggu pertama, penulis mengikuti kegiatan bertani di kebun organis yang berlokasi sekitar 300 meter dari asrama. Di sana peneliti mengobservasi sekaligus
U
melakukan peran serta secara terbatas di kebun organis, dan melakukan wawancara
IK
mendalam dengan informan utama maupun para petani. Siangnya dari jam 13.00-16.00 penulis melakukan studi pustaka di perpustakaan dan kantor Yayasan Bina Sarana Bakti
IL
untuk menggali berbagai sumber sekunder tentang gerakan pertanian organis di Yayasan
M
Bina Sarana Bakti dan pemikiran Pater Agatho. Kegiatan wawancara dengan Pater Agatho untuk menggali alasan teologis dan basis gerakan pertanian dilakukan dalam berbagai kesempatan selama penulis tinggal di Yayasan Bina Sarana Bakti.
D.2.2 Metode Penelitian di Lingkungan SPTN HPS Mulai akhir April 2009 peneliti membangun kontak dengan staf SPTN HPS yang tinggal di sekitar Gereja Ganjuran. Setelah menyelesaikan penulisan hasil penelitian di Yayasan Bina Sarana Bakti Bogor, peneliti selama beberapa waktu (mulai Juni 2009
16
sampai akhir September 2009) tinggal di sekitar Gereja Ganjuran untuk membangun kedekatan dan keakraban dengan staf SPTN HPS dan petani dampingan mereka sebagai informan dan subyek tineliti. Karena keberadaan kantor SPTN HPS ada di Tegal Gendu, Kotagede, Yogyakarta, untuk memudahkan menggali data-data sejarah yang terdapat di kantor SPTN HPS, peneliti tinggal di Yogyakarta dan beberapa kali melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci seperti Romo Utomo dan Panggih Saryoto tokoh awal pengelola SPTN HPS. Setelah data-data sejarah didapatkan dan selesai
W
ditulis, maka pada Minggu kedua bulan Agustus peneliti mulai live in lagi di Bantul, di
KD
sekitar Gereja Ganjuran untuk lebih teliti melihat praksis dan dampak pertanian lestari yang dilakukan komunitas petani hasil dampingan staf SPTN HPS. Peneliti juga menyempatkan mengobservasi kelompok tani dampingan SPTN HPS di Kalibawang,
U
Kulon Progo. Sedangkan untuk menggali alasan teologis dan dasar gerakan pertanian
IK
SPTN HPS, penulis melakukan wawancara dengan Romo Utomo, Romo Wiryono,
IL
informan lain, dan menggunakan hasil tulisan mereka untuk penulisan tesis ini.
M
E. Judul Tesis
BERTANI SEBAGAI USAHA BERTEOLOGI (DOING THEOLOGY)
BELAJAR DARI YBSB DAN SPTN HPS
F. Sistematika Penulisan BAB 1. PENDAHULUAN (Menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan)
17
BAB 2. GERAKAN PERTANIAN ORGANIS YAYASAN BINA SARANA BAKTI (Bagian pertama memaparkan sejarah lembaga, praksis yang dilakukan, dinamika pelaksanaan gerakan termasuk berbagai hambatan yang dialami, dampak bagi petani. Bagian kedua memaparkan landasan gerakan pertanian organis Yayasan Bina Sarana Bakti yang terkait dengan sejarah hidup, pemikiran, dan teologi yang dicetuskan Pastor Agatho Elsener) BAB. 3 SPTN-HPS, GERAKAN PERTANIAN DARI GANJURAN
W
(Bagian pertama memaparkan sejarah lembaga, praksis gerakan yang dilakukan,
KD
berbagai dinamika pelaksanaan gerakan termasuk berbagai hambatan dan dampak bagi petani. Bagian kedua menjelaskan landasan gerakan pertanian pihak yang diteliti, memaparkan visi teologis yang mempengaruhi gerakan pertanian, serta
U
kesimpulan)
IK
BAB 4. TEOLOGI PERTANIAN GEREJA DI INDONESIA (Merefleksikan secara teologis hasil penelitian pada bab 2 dan bab 3)
M
IL
BAB 5. KESIMPULAN : MENJADI GEREJA KAUM PETANI
18