BAB I PENDAHULUAN
Atribusi berarti upaya kita untuk memahami penyebab di balik perilaku orang lain, dan dalam beberapa kasus, juga penyebab di balik perilaku kita sendiri (Baron dan Byrne (2004: 49). Teori mengenai bagaimana seseorang menjelaskan perilaku orang lain; misalnya, dengan mengatribusikan sesuatu berdasarkan watak internal (sifat, motivasi, dan sikap) atau kepada situasi eksternal dikenal sebagai teori atribusi (Myers, 2008: 100). Penelitian yang menggunakan teori atribusi untuk menjelaskan, memprediksi, dan memahami suatu fenomena perilaku telah banyak dilakukan, antara lain, untuk penelitian bertopik advertising: Sparkman dan Locander, 1980; Golden dan Alpert, 1987; Stern, 1994; Rifon, Choi, Trimble, dan Li, 2004; untuk penelitian bertopik perilaku konsumen: Bitner, 1990; Taylor, 1994; Maxham dan Netemeyer, 2002; Bendapudi dan Leone, 2003; Tsiros, Mittal, dan Ross, 2004; Morales, 2005; penelitian bertopik marketing communication: Furse, Stewart, dan Rados, 1981; Raghubir dan Corfman, 1999; Prabhu dan Stewart, 2001; Laczniak, DeCarlo, dan Ramaswami, 2001; penelitian bertopik kinerja pekerja: Teas dan McElroy, 1986; Bitner (1990); Bitner, Booms, dan Mohr, 1994; DeCarlo dan Leigh, 1996; Dixon, Spiro dan Jamil, 2001. Dengan melakukan ulas balik terhadap penelitian-penelitian yang menggunakan teori atribusi di atas, Wang (2008) menemukan adanya beberapa kelemahan penggunaan teori atribusi dalam menjelaskan perilaku, yaitu: (1) kurang melihat atribusi secara holistik; (2) pembauran antara proses atribusi dan proses atribusional; (3) pengabaian motif dalam proses atribusi; (4) pengaburan/ pembauran antara atribusi sebab akibat dan atribusi sifat; dan (5) kesalahan menganggap atribusi sebagai keseluruhan proses kognisi.
1
Penelitian ini berusaha untuk mengurangi kelemahan-kelemahan yang dinyatakan oleh Wang (2008). dengan cara mengintegrasikan teori atribusi dengan teori aksi kolektif, prososial, dan nilai-pengharapan. Secara lebih spesifik, penelitian ini akan diterapkan pada protes yang dilakukan perajin tahu-tempe akibat kenaikan harga bahan dasar pembuatan tahutempe dengan cara sebagai berikut: (1) melakukan pengintegrasian teori-teori tersebut yang ditekankan pada sebuah model yang menunjukkan bahwa konsumen dapat membuat intepretasi motif yang mendasari perajin tahu-tempe melakukan protes; (2) empati, sebagai sebuah proses emosional, akan mempengaruhi sikap konsumen terhadap perajin tahu-tempe yang melakukan protes; (3) menguji efek interpretasi motif yang mendasari perajin tahutempe melakukan protes dan empati konsumen pada sikap terhadap perajin tahu-tempe yang melakukan protes; dan (4) menguji hubungan antara sikap tersebut dengan niat beli konsumen terhadap produk yang dihasilkan perajin tahu-tempe yang melakukan protes. Pada bab ini, pertama peneliti menguraikan konteks penelitian, yaitu protes perajin tahu-tempe, dan pengertian dari protes. Kemudian, peneliti menyampaikan celah/ kesenjangan dari penelitian bertopik protes dan konsumen sebelumnya. Mengapa penelitian tentang protes perajin tahu-tempe penting untuk dilaksanakan merupakan bagian selanjutnya yang peneliti sampaikan. Dan bagian akhir dari bab ini ditutup dengan tujuan dari penelitian ini, di mana didalamnya mencakup pertanyaan penelitian. 1.1. Protes Perajin Tahu-tempe yang Terjadi Kenaikan harga kedelai menyebabkan para perajin tahu- tempe protes dengan melakukan mogok produksi di tahun 2012. Terhitung mulai Rabu (25/7) hingga Jumat (27/7), selama 3 hari, perajin tahu-tempe melakukan protes. Mereka menuntut pemerintah mengambil alih tata niaga kedelai agar dapat membantu para produsen perajin tempe dan tahu mendapatkan harga kedelai yang lebih murah.
2
Lebih dari setahun kemudian, Harian Kompas Selasa, 10 September 2013, kembali menuliskan bahwa mogok produksi tahu dan tempe terjadi, antara lain di Jakarta, Surabaya, Bandung, Sukoharjo, Kendal, Magelang, Yogyakarta. Meskipun berbeda penyebabnya, yakni kenaikan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, harga kedelai di pasaran meningkat antara Rp 9.400 –Rp 10.500 per kilogram. Firmanzah, Staf khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan menyatakan bahwa, “Presiden meminta Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, serta Menteri Koperasi dan UKM, atau direksi Perum Bulog untuk segera melakukan rapat koordinasi. 1.2. Pengertian Protes Para ahli menggunakan istilah protes dalam banyak cara. Beragamnya penggunaan istilah ini justru memberikan pemahaman yang lebih baik atas makna protes. Tabel 1.1 berikut ini adalah definisi protes yang dinyatakan oleh berbagai ahli. Tabel 1.1 Beberapa Definisi Protes No
Definisi
Ahli
Keterangan
1.
Sebagai kata benda, protes diartikan sebagai komplain yang keras untuk menunjukkan ketidak setujuan atau kemarahan tentang sesuatu yang dianggap salah atau tidak adil.
Longman Dictionary
Merupakan pendapat dari ahli bahasa, bukan pendapat dari peneliti tentang protes.
Sebagai kata kerja, protes diartikan sebagai mengatakan atau melakukan suatu untuk menunjukkan ketidak setujuan dengan atau marah tentang sesuatu yang dianggap salah atau tidak adil 2.
Dari beberapa kutipan kamus lain, beberapa dimensi protes: (1) penolakan atau keberatan; (2) atas sesuatu yang berseberangan; (3) yang sudah tidak dapat ditoleransi; (4) yang ditujukan kepada pribadi atau lembaga yang berkuasa; (5) secara beramai-ramai dan resmi; (6) yang dilakukan secara terbuka; dan (7) didasari oleh perasaan ketidak adilan.
Kamus lain (Lofland, 2003)
3
Meskipun telah memasukkan berbagai pendapat dari beberapa kamus, tapi masih sama dengan di atas, hanya merupakan kompilasi dari ahli bahasa.
Lanjutan Tabel 1.1 3.
Memandang protes sebagai aksi politik (1) yang ditandai dengan kegiatan yang bersifat tidak umum; dan (2) dilakukan oleh kelompok yang relatif lemah.
Lipsky (1968)
Tidak memasukkan pemogokan dan boikot sebagai protes. Ia mengganggap bahwa pemogokan dan boikot hanya bisa dilakukan oleh kelompok yang (memiliki) kekuatan. Tidak semua protes bersifat politik
4.
Semua bentuk aksi kekerasan atau non kekerasan akibat keberatan terhadap suatu hal.
Piven & Cloward (1977)
Menyertakan pemogokan dan kerusuhan dalam analisisnya sebagai “deviasi massa” yang memicu penghancuran lembaga secara serius.
5.
Sebuah proses yang dilakukan oleh pihak tertentu melalui aksi publik/ cara-cara yang demonstratif atau aksi perusakan sebagai bentuk resiko yang akan diterima (oleh target) jika meneruskan kegiatan tertentu.
Wilson (1973)
Menidentikkan protes dengan sesuatu yang hingar bingar. Sementara protes dalam bentuk yang tidak demonstrative tidak dimasukkan.
6.
Pola perilaku yang berbeda dengan perilaku pada umumnya.
Eisinger (1973)
Memisahkan protes dengan kekerasan. Mengasumsikan bahwa suatu protes adalah sebuah bentuk penyimpangan.
7.
Bentuk aksi kolektif yang bersifat tidak permanen dan spontan, tak terencana, dan episodik.
8.
Semua peristiwa berkumpulnya orang-orang dengan sumber daya bersama (secara mandiri), mencakup usaha bersama untuk mencapai tujuan tertentu.
Tilly (1981)
9.
Tidak memberikan definisi dan tidak memberikan penjelasan lebih dalam terhadap rujukan empiris. Namun kekerasan dianggap sebagai salah satu bentuk protes.
Gamson (1975)
-
10.
Melakukan survei pada warga Inggris yang dewasa untuk menjawab pertanyaan “Berbicara tentang protes, seberapa jauh Anda siap melakukannya?” Responden diberi 10 kartu yang berisikan aksi protes. Urutannya: (1) penandatanganan petisi; (2) demonstrasi menentang hukum; (3) boikot; (4) mogok sewa dan pemogokan ilegal; (5) pendudukan gedung serta blokade jalan raya.
Mars (1973)
-
11.
Menyusun protes berdasarkan 4 kelas tingkat keseriusan dan tingkatan organisasi, yaitu: (1) protes simbolis; (2) anti kerja sama; (3) intervensi; dan (4) lembaga alternatif.
Sharp (1973)
-
Gushfield (1970)
Mengasumsikan bahwa protes dapat terjadi sewaktu-waktu dan bisa berulang di tempat dan sebab yang sama. Protes tidak selalu mengacu pada semua posisi politik. Bentuk-bentuk resmi oposisi tidak termasuk dalam konsep protes.
Sumber: Lofland (2003) dan ditambah dari beberapa sumber
4
Dari Tabel 1.1 di atas, menarik apa yang dikemukakan oleh Sharp (1973). Ia membagi protes dalam 4 kelas tingkatan berdasarkan tingkat keseriusannya, yaitu: (1) protes simbolik atau protes santun, yaitu cara-cara teratur, tidak merusak, dan kurang begitu aktraktif yang dilakukan secara kolektif untuk mengungkapkan keluhan. Contohnya adalah prosesi, parade, pertemuan/ assembly (rapat umum), dan aksi pagar betis (picketing). Aksi protes ini ini hanya terjadi dalam konteks masyarakat yang relatif terbuka. Pihak berwajib atau masyarakat luas sudah siap dengan berlangsungnya aksi tersebut tanpa penolakan/ hambatan. Sifat simbolik suatu protes terletak pada tanggapan sosial terhadapnya dan tidak hanya pada aksi itu sendiri; (2) anti kerja sama, yaitu penolakan untuk meneruskan tatanan sosial yang ada. Ia juga menyatakan bahwa hampir semua aksi tanpa kekerasan sepenuhnya menggunakan kelas tingkatan ini. Kelas tingkatan ini dibedakan/ dipilah berdasarkan fokus sosial, ekonomi, dan politik. Yang paling umum terlihat pada realitas ekonomi di antaranya adalah pemogokan, penggembosan, boikot, dan lain sebagainya; (3) intervensi, yaitu bentuk protes yang dapat menghancuran pola-pola, kebijakan, dan hubungan perilaku serta lembaga yang dianggap sebagai penghambat. Dibandingkan dengan 2 sebelumnya (protes simbolik dan anti kerja sama) aksi protes ini memiliki tantangan yang lebih langsung dan nyata. Aksi ini cenderung melibatkan kekerasan. Ada 4 pola bentuk protes ini, yaitu: (a) harrasment (pelecehan), dilakukan melalui kegiatan-kegiatan menentang orang yang dimaksud dengan cara-cara yang tidak lazim; (b) system overloading, karena terlalu banyaknya proses-proses yang diintervensi; (c) blockade, pemrotes secara temporer menghambat gerakan orang atau properti dari pihak yang ditentang; dan (d) occupation (pendudukan), yang dilakukan dengan “memasuki atau menolak meninggalkan” tempat-tempat yang tidak diinginkan atau dari tempat yang dilarang; dan (4) lembaga alternatif, merupakan bentuk protes yang tertinggi. Jika aksi ini dapat menggantikan loyalitas masyarakat, maka aksi telah mencapai jenis protes
5
yang paling serius dan paling penting. Aksi ini mampu memicu perubahan yang sangat besarbahkan revolusi-yang tidak mungkin dapat dipicu oleh ketiga jenis protes sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, Gambar 1.1 mengilustrasikan pendapat Sharp (1973) tentang jenis protes berdasarkan tingkat keseriusannya. Gambar 1.1 Protes Berdasarkan Tingkat Keseriusan
Sumber: Dikembangkan dari Gene Sharp dalam Lofland (2003: 10)
Dari pembagian bentuk protes tersebut (Gambar 1.1), maka apa yang dilakukan oleh perajin tahu-tempe ini termasuk dalam anti kerja sama. Bentuk aksi yang dapat dilakukan dalam anti kerja sama ini adalah pemogokan, penggembosan, dan boikot. Dengan mengadopsi pendapat Hoffman dan Muller (2009), yang membedakan boikot (sebagai salah satu bentuk protes) menjadi instrumental dan ekspresif, maka protes yang dilakukan oleh perajin tahu-tempe termasuk instrumental. Perbedaan antara instrmental dan ekspresif dapat dilihat dari tujuannya. Tujuan dalam instrumental dinyatakan dengan jelas dan terukur
6
sedangkan pada ekpresif adalah kebalikannya, tidak jelas, tidak terukur dan hanya merupakan pelampiasan kemarahan atau frustasi kepada target. 1.3. Kesenjangan Penelitian Bertopik Protes dan Konsumen Sebelumnya Dari hasil ulas balik pada artikel, yang diperoleh dengan kata kunci ”protes” dan ”konsumen”, dari basis data daring EBSCO (Lihat Bab 3 tentang penelitian pendahuluan 1), peneliti menemukan adanya beberapa kesenjangan dalam penelitian yang telah dilakukan. Secara teori, kesenjangan tersebut adalah masih jarangnya teori atribusi digunakan untuk menjelaskan protes yang terjadi. Manalu (2009: 40) menyatakan bahwa sejak awal, perspektif perilaku sosial telah memberi kontribusi yang sangat baik, dengan menyatakan bahwa akar dari semua konflik, kekerasan, dan gerakan sosial adalah ketidakpuasan. Bentuk ketidak puasan itu bisa terhadap norma-norma yang sedang berlaku, struktur sosial yang tidak adil, sistem politik yang menindas, ekonomi yang eksploitatif, diskriminasi kelompok dan identitas tertentu, dan yang keseluruhannya bisa pula dilihat dari kacamata idiologi dan perspektif yang berbeda-beda. Menurut peneliti, hal ini juga dapat dilihat dari perspektif teori atribusi. Sebagai contoh, Frieburger (1984) menggambarkan tentang kejadian protes (yang berakhir dengan kerusuhan) yang terjadi di Amerika di tahun 1917. Protes tersebut dipicu oleh kenaikan harga bahan makanan yang tinggi. Frustasi, kemarahan, dan ketakutan akan kesejahteraan keluarga menyebabkan sebuah ledakan rasa benci dan kekerasan yang diluar kebiasaan. Protes yang pada awalnya dilakukan ibu-ibu di Brownsville, bagian dari Brooklyn, New York, kemudian menyebar ke berbagai kota di Amerika. Menurut peneliti, frustasi, kemarahan, dan ketakutan akan kesejahteraan keluarga akan bergantung kepada atribusi kausal, yaitu pengidentifikasian pihak yang dipersalahkan atas situasi yang meresahkan tersebut. Hasil atribusi kausal tersebut kemudian akan membawa kepada permasalahan
7
identitas. Dari permasalahan identitas ini akan timbul pengidentifikasian “mereka” (penguasa, kelompok elit tertentu), yang dianggap bertanggung jawab; dan “kita” sebagai korban. Kesenjangan lainnya adalah: (1) kebanyakan literatur tersebut fokus pada identifikasi faktor-faktor yang menentukan mengapa konsumen melakukan protes; sikap bukan merupakan fokus dalam menjelaskan mengapa konsumen melakukan protes; selain itu, belum banyak dari artikel-artikel tersebut yang melihat sikap konsumen terhadap objek yang melakukan protes; dan (2) sedikit artikel yang fokus pada analisis tentang pengaruh protes produsen terhadap sikap konsumen di dalam membeli produk yang dihasilkan (produsen). -
Gambar 1.2 Ringkasan Ulas Balik Penelitian-penelitian Sebelumnya
Sumber: Diadopsi dari Hendarto, Dharmmesta, Purwanto, Moeliono (2013a). 8
Mempertimbangkan kesenjangan yang disebutkan di atas, maka penelitian ini akan diarahkan pada: Pertama, memahami mengapa protes terjadi (Lihat Bab 3 tentang penelitian pendahuluan 3). Kedua, menjelaskan dan memprediksi perilaku konsumen pengguna produk dari individu/ kelompok yang melakukan protes. Hal ini sesuai dengan Garrett (1987), yang menyatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa aktivitas protes ini perlu dianalisis, yaitu: (1) peningkatan penggunaan aktivitas ini sebagai kebiasaan khusus sosial (social quirks); (2) semakin canggihnya sponsor dalam mengefektifkan gerakannya untuk mempengaruhi masyarakat umum; (3) hasil keputusan hukum yang sedikit banyak mendukung aktivitas ini sebagai bentuk aktivitas yang legal; (4) strategi pemasaran yang menegasikan aksi ini sebagai kekuatan lingkungan yang menekan; dan (5) kebijakan pensikapan aksi ini yang double barreled (ambigu). Selain itu, berkembangnya demokrasi dan kemajuan teknologi mempengaruhi mengapa protes perlu untuk dipelajari. Teknologi internet sebagai contoh, dapat membuat orang saling berkomunikasi dengan cepat. Dengan internet, individu tidak hanya terbatas menerima pesan, tapi juga mampu menyampaikan pesan secara langsung (real time) (Vivian, 2008: 263). Ketiga, menguji peran sikap terhadap objek yang melakukan protes sebagai mediasi dari hubungan antara faktor personal dan niat berperilaku dari konsumen. Dalam menjelaskan tindakan orang lain, kita sering kali terlibat dalam dasar atribusi yang keliru. Kita terlalu banyak mengatribusikan perilaku orang lain dengan sifat bawaan mereka, sehingga kita tidak memperhitungkan kekuatan situasional yang penting. Kesalahan ini terjadi sebagian karena perhatian kita terfokus pada orang tersebut, bukan kepada situasi yang ada (Myers, 2008: 330). Namun di sisi lain, ketika kita menjelaskan perilaku kita sendiri, kita cenderung menjelaskannya berdasarkan kekuatan situasional.
9
1.4. Alasan Protes Perajin Tahu-Tempe sebagai Konteks Penelitian Dengan mensitir beberapa ahli, Manalu (2009: 47) menuliskan bahwa peran gerakan sosial (protes) dalam mempengaruhi kebijakan publik dan Negara secara keseluruhan tampaknya sudah tidak diragukan lagi. Bahkan tidak sedikit ilmuwan sosial terkemuka yang mengakuinya sebagai kekuatan perubahan yang penting dalam masyarakat. Mereka melihat protes sebagai: (1) salah satu cara utama menata ulang masyarakat modern; (2) pencipta perubahan sosial; (3) aktor histories; dan (4) agen perubahan kehidupan politik atau pembawa proyek histories. Bahkan ada pula yang menyatakan bahwa hal ini adalah agen utama perubahan sosial. Friedman (1999: 17) menuliskan bahwa kriteria kesuksesan protes tidak mudah untuk ditentukan. Hal ini disebabkan karena pemimpin (sponsor) terkadang enggan menekankan tuntutannya dengan bukti-bukti yang nyata. Namun demikian, ia menuliskan bahwa suatu protes bisa dikatakan sukses tergantung pada kriteria: daftar tuntutan/ tujuan yang dikabulkan, dampak jangka pendek-jangka panjang; mikro sukses-makro sukses; eksekusi-konsekuensi. Di sisi lain, Schumaker dalam Manalu (2009: 49) menuliskan bahwa dari kacamata kebijakan publik, dampak atau keberhasilan dari suatu gerakan sosial/ protes adalah: (1) terbukanya akses, yakni mengindikasikan tingkat di mana pemilik otoritas (target) bersedia mendengarkan tuntutan; (2) respon ditingkat agenda, ketika target atau pemilik otoritas rela menempatkan tuntutan pada agenda politiknya; (3) respon kebijakan, yakni ketika pemilik otoritas mengadopsi kebijakan baru yang kongruen dengan tuntutan; (4) hasil yang dicapai, yakni pemilik otoritas secara efektif mengimplementasikan kebijakan baru; dan (5) dampak yang terjadi, yakni tingkat aksi-aksi maupun respon sistem politik berhasil meredakan dan menjawab tuntutan gerakan.
10
Dari apa yang telah dituliskan di atas, protes yang disponsori oleh KOPTI (Koperasi Perajin Tahu-Tempe Indonesia) telah berhasil (dalam tingkat tertentu). Keberhasilan ini dapat dilihat dari turunnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 133/PMK.011/2013, tanggal 3 Oktober 2013. Peraturan ini mengubah PMK Nomor 213/PMK.011/2011 yang memberikan bea masuk sebesar 5% atas impor barang berupa kacang kedelai. Keluarnya PMK ini didasari atas usul dari Menteri Perdagangan (Surat Nomor 1096/MDAG/SD/9/2013, tanggal 19 September 2013) yang juga telah disetujui oleh Menteri Pertanian (Surat Nomor 153/KU.210/M/9/2013/Rhs) yang menyetujui dilakukan pembebasan sementara untuk bea masuk kedelai impor (Tribun Jogja, 2013). Untuk protes yang pertama, keberhasilan ini dapat dilihat dari turunnya PMK Nomor 135/PMK.011/2012, tanggal 13 Agustus 2012. Dalam PMK ini, disebutkan bahwa mempertimbangkan Surat Menteri Perdagangan Nomor 1255/M.DAG/SD/7/2002, tanggal 27 Juli 2012; dan Surat Menteri Pertanian Nomor 257/TU.210/M/8/2012, tanggal 10 Agustus 2012. 1.5. Tujuan Penelitian Sebagai sebuah penelitian dasar (basic research), penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperluas batas-batas ilmu pengetahuan. Berdasarkan apa yang telah dikemukakan sebelumnya, tujuan penelitian ini adalah: (1) mengintegrasikan teori atribusi dan teori tindakan kolektif, teori prososial, dan teori nilai-pengharapan untuk menjelaskan dan memprediksi persepsi konsumen (kepercayaan, sikap, dan perilaku konsumen pengguna produk dari individu yang melakukan protes) terhadap fenomena tersebut; (2) melakukan verifikasi seberapa baikkah integrasi teori atribusi, tindakan kolektif, prososial, dan nilaipengharapan menjelaskan dan memprediksi persepsi konsumen terhadap fenomena tersebut. Verifikasi ini dilakukan dengan menggunakan model yang terdiri dari 4 variabel amatan, yaitu: (1) persepsi terhadap motif insentif kolektif perajin tahu-tempe yang
11
melakukan protes; (2) empati konsumen terhadap perajin tahu-tempe yang melakukan protes; (3) sikap konsumen terhadap perajin tahu-tempe yang melakukan protes; dan (4) niat beli konsumen terhadap produk perajin tahu-tempe yang melakukan protes. Dengan demikian, secara lebih spesifik penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis: (1) apakah persepsi terhadap motif insentif kolektif dari perajin tahu-tempe yang melakukan protes mempengaruhi sikap konsumen terhadap perajin tahu-tempe yang melakukan protes; (2) apakah empati pada perajin tahu-tempe yang melakukan protes mempengaruhi sikap konsumen terhadap perajin tahu-tempe yang melakukan protes; dan (3) apakah sikap konsumen terhadap perajin tahu-tempe yang melakukan protes akan mempengaruhi niat untuk membeli produk perajin tahu-tempe yang melakukan protes?
12