BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul Dalam pasal 1 Ayat (2) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, arti dari Lembaga Pemasyarakatan yaitu tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Sedangkan sistem pemasyarakatan merupakan suatu tatanan mengenai arah dan batasan serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan 1 pemasyarakatan agar dapat menerima kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Lembaga Pemasyarakatan sendiri terbagi menjadi beberapa kategori salah satunya merupakan Lembaga Pemasyarakatan yang dikhususkan untuk menampung narapidana yang berjenis kelamin perempuan. Lembaga Pemasyarakatan ini disebut Lapas 2 perempuan. Kemudian yang dimaksud dengan depresi gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang (Rice, P. L. (1992)). Kondisi seperti ini yang terus menerus akan menyebabkan orang yang mengalaminya memiliki permasalahan terhadap tanggung jawab kehidupan sehari-harinya. Depresi pada seseorang melalui beberapa proses dan tahapan yang disebabkan juga oleh berbagai hal, sehingga terdapat beberapa tingkatan berbeda dalam depresi. Jadi dapat disimpulkan, pengertian dari judul tulisan “Lembaga Pemasyarakatan Perempuan DIY dengan Penekanan pada Penurunan Tingkat Depresi Warga Binaan” adalah sebuah tempat pembinaan terhadap warga binaan perempuan di Indonesia khususnya di wilayah DIY, yang juga mempertimbangkan aspek kejiwaan dan kondisi mental dari warga binaan perempuan itu sendiri. 1
Warga binaan merupakan istilah yang digunakan pada UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan untuk menunjuk pada narapidana. 2 Lapas merupakan singkatan dari Lembaga Pemasyarakatan.
1
1.2 Latar Belakang 1.2.1
Latar Belakang Umum Seperti yang dilansir oleh harian Kompas, Rabu 22 Februari 2012, sejumlah warga binaan membakar Lapas Kerobokan Bali. Aksi ini dilatar belakangi oleh salah satunya protes dari penghuni Lapas karena kondisi yang sudah over kapasitas. Bangunan Lapas yang seharusnya dihuni oleh 300 orang, hingga saat itu penghuni sudah mencapai angka 1000 narapidana yang mendiami Lapas Kerobokan.
Kasus lain yaitu serangan penembakan pada
narapidana yang tersangkut kasus pembunuhan anggota Kopassus di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Selain itu peristiwa lain seperti keributan di Lapas Salemba dan Cipinang serta kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta dan Lapas Labuhan Ruku di Sumatera Utara, menjadi suatu hal yang menambah rentetan kebobrokan pada praktek Lembaga Pemasyarakatan. Kasus lain lagi terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan. Seorang warga binaan wanita kasus narkoba berwarga negara Inggris melaporkan kekejaman yang dialaminya selama di dalam Lapas. Rachel Dougall yang dituduh menyelundupkan 4,7 kilogram kokain mengaku bahwa dirinya kerap kali mendapat perlakuan tidak manusiawi di dalam Lapas yang dilakukan oleh penghuni Lapas yang lain. Dikeroyok oleh napi wanita lainnya dan dipukuli, serta mendapatkan serangan dari seorang lesbian. Selain itu dirinya memaparkan tentang kondisi di dalam Lapas yang membiarkan penggunaan narkotika dan obat terlarang secara bebas. Kondisi yang lebih parah Dougall ungkapkan, bahwa warga binaan dewasa laki-laki yang tinggal tepat di penjara sebelah kerap membayar seorang pelacur tiap malam. Kebobrokan yang terjadi di dalam Lapas diperparah dengan kondisi fisik bangunan Lapas yang kotor dan tidak layak
dengan
jumlah
narapidana
yang
melebihi
kapasitas
ruangan.
(m.liputan6.com, 28 Juli 2013)
2
Gambar 1.1 Situasi Lapas Perempuan Kerobokan Bali (sumber: http://m.tribunnews.com/internasional/2013/07/29/wanita-inggris-bongkarkekejaman-penjara-bali)
Banyaknya hal yang telah disebutkan, dari beberapa kasus yang dibahas, dapat dilihat bahwa Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia belum dikondisikan dan terkondisi sebagaimana mestinya. Beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya hal tersebut ialah seperti adanya over kapasitas, lemahnya penjagaan dan manajemen Lapas, hingga kepersoalan tidak adanya pemisahan antara Lapas pria, wanita, dan anak.
1.2.2
Latar Belakang Khusus Beberapa permasalahan yang sama ternyata juga terjadi di Lembaga Pemasyarakatan yang terletak di Yogyakarta. Menurut data dari Kemenkumham DIY, hingga Agustus 2013, jumlah warga binaan DIY mencapai angka 1.354 orang, dengan keseluruhan kapasitas Lapas 1.603. Jika menilik dari data tersebut, maka tidak ada masalah dalam hal kapasitas narapidana yang mampu ditampung Lapas di DIY. Namun prakteknya, masih ditemukan over kapasitas di tiga Lapas di DIY, salah satunya di Lapas kelas IIB Cebongan, Sleman. Dan sangat disayangkan yakni bahwa over kapasitas tersebut justru ditemui di blok Lapas yang menampung perempuan dan anak-anak. Kondisi yang sama juga ditemui di Lapas kelas IIA Wirogunan. Di mana terdapat warga binaan perempuan yang merupakan pindahan dari Lapas narkotika, dikarenakan over kapasitas. Hal ini ternyata berdampak tidak hanya bagi kondisi fisik warga binaan perempuan, tapi juga berimbas pada 3
menurunnya kondisi mental mereka. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kemenkumham, menurut hasil penelitian dan kajian NGo perempuan di DIY, ditemukan bahwa 66 persen warga binaan perempuan tertekan secara mental sehingga banyak yang mengalami depresi berat. Hal ini dikarenakan rasa takut mengalami perlakuan yang tidak baik dari warga binaan dewasa laki-laki yang tinggal masih dalam satu area yang sama. Dalam pelaksanaan Lembaga Pemasyarakatan yang efektif, setidaknya terdapat beberapa penggolongan Lembaga Pemasyarakatan seperti yang tertulis dalam UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam pasal 12 ayat 1 dituliskan bahwa “Dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas dasar: a). Umur; b). Jenis kelamin; c) Lama pidana yang dijatuhkan; d) Jenis kejahatan; (e) Kriteria lain yang sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan”. Kemudian dalam ayat 2 dinyatakan bahwa “Pembinaan narapidana wanita dilaksanakan Lembaga Pemasyarakatan Wanita”. Tujuannya untuk memisahkan antara narapidana wanita dengan narapidana laki-laki demi faktor keamanan dan psikologis. Dari pernyataan-pernyataan dalam pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seharusnya memang diperlukan adanya penggolongan Lembaga Pemasyarakatan, termasuk di dalamnya penggolongan menurut jenis kelamin. Dan wilayah DIY memerlukan adanya Lembaga Pemasyarakatan yang khusus membina warga binaan perempuan.
1.3 Permasalahan 1.3.1
Permasalahan Umum Untuk menanggapi banyaknya kasus yang terjadi berkaitan dengan proses penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, apa poin pokok yang dapat kita ambil? Belum terselenggaranya penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan yang efektif dan efisien, yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Masih banyaknya ditemui praktek pelanggaran baik itu dari pihak sipir Lapas maupun dari warga binaannya sendiri, menimbulkan belum terpenuhinya hak-hak warga binaan seperti yang tercantum dalam pasal 14 UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang berisi : 1.
Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan; 4
2.
Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
3.
Mendapatkan pendidikan dan pengajaan;
4.
Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
5.
Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masaa lainnya yang tidak larangan;
6.
Mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
7.
Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya;
8.
Mendapat pengurangan masa pidana (remisi);
9.
Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
10. Mendapatkan pembebasan bersyarat; 11. Mendapatkan cuti menjelang bebas; 12. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundnagundangan yang berlaku. Permasalahan tidak terpenuhinya hak warga binaan terjadi akibat salah satunya belum adanya pemisahan bangunan Lembaga Pemasyarakatan perempuan, laki-laki, dan anak di banyak daerah di Indonesia. Untuk itu diperlukan adanya bangunan Lapas yang digolongkan menurut jenis kelamin.
1.3.2
Permasalahan Khusus Penggolongan bangunan Lembaga Pemasyarakatan menurut jenis kelamin juga masih belum dipraktekkan di wilayah DIY. Terbukti dari adanya warga binaan perempuan yang tinggal dalam satu area yang sama dengan warga binaan dewasa laki-laki di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan, Yogyakarta. Hal ini berujung pada perasaan tertekan yang dialami oleh warga binaan perempuan dan kecemasan akan dirinya mengalami perlakuan yang tidak baik dari warga binaan dewasa laki-laki, sehingga tidak sedikit dari warga binaan perempuan yang mengalami depresi berat. Keadaan Lapas yang over kapasitas di blok Lapas perempuan di mana yang seharusnya dihuni oleh 67 orang menjadi 89 orang warga binaan. Hal serupa juga terjadi di blok perempuan narkotika, di mana yang seharusnya 1 kamar ditempati oleh satu orang, pada prakteknya 1 kamar ditempati 3 orang. Informasi yang didapat dari hasil wawancara pihak aktivis perempuan dengan 5
Kemenkumham oleh warga binaan perempuan narkotika, pada awal mereka dipindahkan, merasa depresi berat karena dijadikan satu sel dengan warga binaan yang lain. Hal ini memperburuk kondisi psiskologis dan mental mereka di mana saat itu juga mereka harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru pasca dipindahkan dari Lapas Narkotika di Pakem, Sleman. Ditambah lagi tidak adanya ruangan khusus dan fasilitas yang melayani perempuan hamil da menyusui. Kondisi buruk yang terjadi menjadi pemicu bagi kaum aktivis perempuan bersama Kemenkumham untuk membawa permasalahan ini ke pemerintah. Dengan adanya persetujuan dari Sri Sultan untuk menggunakan tanah yang berada di Pakem, maka diharapkan urgensi ini dapat segera terlaksana. Dari beberapa permasalahan yang sudah disebutkan di atas, maka dapat ditarik beberapa poin tentang permasalahan khusus yang ditemukan adalah : a. Adanya kecemasan yang timbul dalam diri WBP perempuan akan dirinya mengalami perlakuan tidak baik dari WBP laki-laki dewasa. b. Over kapasitas di sel blok hunian perempuan. c. Kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan lapas yang baru oleh WBP perempuan. d. Depresi yang dialami WBP perempuan.
1.4 Tujuan Untuk menciptakan sebuah desain bangunan Lembaga Pemasyarakatan wanita DIY dengan mempertimbangkan kondisi mental warga binaan serta dapat memberikan kontribusi dalam mengurangi dampak mengingkatnya tingkat depresi warga binaan di dalam Lapas.
1.5 Sasaran Memberikan ide gagasan serta konsep, tentang bangunan Lapas di mana terdapat pemisahan antara warga binaan perempuan dengan warga binaan laki-laki maupun anak-anak, yang kemudian dapat digunakan sebagai tahapan paling awal bagi pengajuan pembangunan Lapas perempuan DIY.
6
1.6 Lingkup Pembahasan 1.6.1
Arsitektural Lingkup pembahasan arsitektural berkaitan dengan fisik bangunan dari Lapas perempuan seperti massa bangunan, organisasi ruang, serta detail dari desain bangunan.
1.6.2
Non Arsitektural Lingkup
pembahasan
non
arsitektural
berkaitan
dengan
tema
pertimbangan yang digunakan dalam mendesain Lapas perempuan DIY yaitu : a. Pola aktivitas yang terjadi di dalam Lapas. b. Penerapan konsep pemasyarakatan. c. Kajian tentang pemenuhan hak-hak warga binaan di dalam Lapas. d. Kajian tentang konsep depresi pada warga binaan perempuan. e. Kajian tentang menurunkan tingkat depresi dengan aktivitas tertentu.
1.7 Metodologi Pembahasan 1.7.1
Studi Literatur Melalui beberapa kajian yang telah dibuat sebelumnya baik itu melalui media cetak maupun media elektronik, pengertian-pengertian mengenai istilah yang berkaitan dengan lembaga pemasyarakatan baik itu secara organisasi, proses kegiatan, serta fisik bangunan ditulis.
1.7.2
Studi Kasus Mempelajari beberapa contoh-contoh dari Lembaga Pemasyarakatan yang telah ada dapat menjadi pedoman dalam merumuskan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan tulisan ini.
1.7.3
Observasi Lapangan Observasi dilakukan dengan mendatangi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta. Kegiatan observasi diikuti dengan pengumpulan beberapa data baik itu dari pihak administrasi maupun langsung dari warga binaan perempuan di Lembaga Pemasyarakatan tersebut. Selain itu observasi juga dilakukan dengan mengunjungi lokasi terkait yang digunakan sebagai site bagi bangunan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan yang akan didesain. 7
1.7.4
Analisis Dari hasil studi literatur, studi kasus, dan observasi lapangan, maka dilakukan olah data untuk dapat merumuskan suatu standar, prinsip-prinsip perancangan, serta beberapa pedoman desain yang digunakan untuk membuat konsep perancangan dan perencanaan.
1.7.5
Merumuskan Konsep Perancangan dan Perencanaan Dalam membuat konsep perencanaan dan perancangan, mengacu pada hasil analisis yang telah didapat sebelumnya, yakni sebagai pedoman yang memuat standar dan prinsip-prinsip dari perancangan Lembaga Pemasyarakatan perempuan.
1.8 Sistematika Penulisan BAB I Pendahuluan Pada bab ini dijelaskan mengenai pengertian judul, latar belakang pemilihan judul tersebut, pokok permasalahan yang diangkat, serta tujuan dan sasaran. Kemudian dituliskan juga mengenai sistematika keseluruhan penulisan skripsi ini, mulai dari metode-metode yang digunakan untuk memperoleh data informasi, sampai ke perumusan konsep perencanaan dan perancangan. BAB II Tinjauan Teoritis Lembaga Pemasyarakatan Perempuan dengan Penekanan pada Penurunan Tingkat Depresi Warga Binaan Bab ini memuat tentang data-data teori baik itu yang berasal dari literatur maupun dari media elektronik. Data teori tersebut berisikan pengertian, prinsipprinsip, klasifikasi, serta fungsi dari Lembaga Pemasyarakatan Perempuan. Pada bab ini pula memuat strudi-studi yang berasal dari literatur mengenai penjara 3 baik itu penjara umum maupun penjara perempuan yang berada di negara lain seperti Amerika, dapat dipelajari tipologi bangunannya, sehingga dapat dijadikan acuan maupun perbandingan bagi proses desain Lembaga Pemasyarakatan Perempuan DIY. BAB III Analisis Lapangan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta
3
Istilah penjara merupakan terjemahan menurut kamus Inggris Indonesia dari kata prison/ jail yang digunakan dalam Leslie Fairweather & Sean McConville. 2000.Prison Architecture Policy, Design, and Experience. Massachusetts : Architectural Press.
8
Dengan studi kasus yang dilakukan melalui observasi lapangan di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Wirogunan Yogyakarta, maka bab ini merupakan bab yang berisi data-data yang diperoleh dari proses observasi tersebut. Memuat informasi yang berkenaan dengan proses aktivitas yang terjadi di dalam bangunan Lembaga Pemasyarakatan, kondisi bangunan, serta kondisi narapidana yang diperoleh melalui wawancara dan kuisioner baik dengan pihak urusan administrasi maupun langsung dengan narapidana Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan. BAB IV Tinjauan Site dan Analisis Tapak Melalui proses observasi lapangan ke site terkait yang menjadi lokasi dari konsep perencanaan dan perancangan bangunan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan DIY, maka bab ini berisikan informasi yang didapat mengenai kondisi fisik site serta tentang keterkaitan site dengan lingkungan sekitar. BAB V Konsep Perancangan dan Perencanaan Pada bab ini dijabarkan mengenai konsep awal perancangan dan perencanaan desain bangunan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan yang dilokasikan di site yang
sudah
ditentukan,
dengan
mempertimbangkan
aspek-aspek
yang
mempengaruhi tingkat depresi narapidana dan cara-cara untuk menurunkan tingkat depresi tersebut.
1.9 Keaslian Penulisan Penulis menemukan dua judul penulisan yang memiliki tipologi bangunan yang sama, namun memiliki pendekatan maupun penekanan yang berbeda.
Tabel 1.1 Daftar Tulisan tentang Lembaga Pemasyarakatan
(Sumber: Perpustakaan Archiplan UGM)
9
1. LP Anak Pria Jogjakarta dengan Pendekatan Lingkungan Rumah (Homelike
Environment)
dengan
Penekanan
pada
Area
Hunian
(Herdiansyah)(2009) Pada skripsi yang diajukan oleh Herdiansyah, mengambil tema pendekatan pada lingkungan rumah, yang ditekankan pada area hunian. Dengan latar belakang kondisi LP Anak Pria yang menjadi satu dengan LP dewasa pria, yang menimbulkan tekanan bagi anak tersebut. Untuk itu diperlukan sebuah bangunan Lapas khusus anak yang didesain seperti layaknya desain lingkungan rumah sehingga menimbulkan kenyamanan dalam proses kegiatan pembinaan sehingga menghasilkan perlaku yang lebih baik pada narapidana anak. 2. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA dengan Pendekatan Konsep Rehabilitasi (Tirta Pryandana)(2014) Dengan latar belakang masalah banyaknya narapidana yang terjangkit kasus penyalah gunaan narkotika di Indonesia, maka penulis mencoba untuk merumuskan
bagaimana
menciptakan
tipologi
bangunan
baru
yang
menggabungkan antara proses hukuman dan rehabilitasi.
10
BAB II TINJAUAN TEORITIS PERANCANGAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN PEREMPUAN DENGAN PENEKANAN PADA PENURUNAN TINGKAT DEPRESI WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN 2.1 Tinjauan Teori Lembaga Pemasyarakatan 2.1.1
Sistem Pemasyarakatan Sebuah putusan yang dijatuhkan hakim pada seorang narapidana tidak lantas menjadikannya sasaran balas dendam negara, namun sasaran negara untuk membentuk masyarakat yang memiliki moral yang baik serta berguna bagi lingkungan sekitarnya. Saat itulah negara mulai melaksanakan fungsi pemasyarakatannya. Konsep pemasyarakatan ini pertama kali muncul pada tanggal 5 Juli 1963. Seperti telah dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwa sistem pemasyarakatan merupakan suatu tatanan mengenai arah dan batasan serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyalahi kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali
dalam
lingkungan
masyarakat,
dapat
aktif
berperan
dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Untuk membantu terlaksananya sistem tersebut maka terdapat sepuluh prinsip penyelenggaraan sistem pemasyarakatan yang dikeluarkan pada konferensi Lembang pada 27 April 1964, yang meliputi : 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat; 2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara; 3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan bimbingan;
11
4. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga; 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat; 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara; 7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila; 8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat; 9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan; 10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. 4 2.1.2
Lembaga Pemasyarakatan
2.1.2.1 Pengertian Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Di dalam lapas sendiri dilaksanakan program pemasyarakatan yang meliputi pembinaan warga binaan pemasyarakatan. 2.1.2.2 Jenis dan Klasifikasi Lembaga Pemasyarakatan dibedakan berdasarkan usia dan jenis kelamin. Dijelaskan di UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pasal 12 ayat 1 dan 2 yaitu: (1) Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar : e. umur; f. jenis kelamin; 4
Sumber : Urgensi Pendirian Lapas Perempuan di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Ignas
Triyono (2014)
12
g. lama pidana yang dijatuhkan; h. jenis kejahatan; dan i. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. (2) Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS Perempuan. Adapun klasifikasi Lembaga Pemasyarakatan menurut usia dan jenis kelamin adalah sebagai berikut : a.
Lembaga Pemasyarakatan Umum. Untuk menampung narapidana pria dewasa yang berusia lebih dari 25 tahun.
b.
Lembaga Pemasyarakatan Khusus
-
Lembaga
Pemasyarakatan
Perempuan
untuk
menampung
narapidana perempuan dewasa yang berusia lebih dari 21 tahun atau sudah menikah. -
Lembaga
Pemasyarakatan
Pemuda
untuk
menampung
narapidana pemuda yang berusia 18-25 tahun. -
Lembaga
pemasyarakatan
Anak
terdiri
dari
Lembaga
Pemasyarakatan Anak Pria dan Lembaga Pemasyarakatan Anak Wanita Kemudian klasifikasi Lembaga Pemasyarakatan menurut kapasitas penghuni lapas dan kedudukan adalah: a.
Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Terletak di Ibukota Provinsi dengan kapasitas lebih dari 500 orang.
b.
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Terletak di kotamadya/ kabupaten dengan kapasitas 250-500 orang.
c.
Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Terletak di daerah setingkat kabupaten, kapasitas kurang dari 250 orang. 5
5
Sumber: http://massofa.wordpress.com
13
2.1.2.3 Lokasi Bangunan Untuk bangunan Lembaga Pemasyarakatan sendiri tidak memiliki standar yang khusus berkaitan dengan pemilihan site bangunan. Namun untuk beberapa lapas yang sudah ada di Indonesia, seperti halnya yang berada di DIY, bangunan lapas terletak di site yang mudah dijangkau atau yang letaknya di daerah urban ataupun sub urban. Selain untuk memudahkan akses pengunjung, pemilihan site bangunan harus juga mempertimbangkan kemudahan akses bagi pegawai yang bekerja di dalam lapas.
2.1.2.4 Standar Bangunan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia NOMOR : M.01.PL.01.01 TAHUN 2003 tentang Pola Bangunan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan pasal 4 ayat yang ke 1 dan 2 : (1) Areal bangunan UPT Pemasyarakatan terletak pada: d.
Lokasi yang mudah terjangkau dengan sarana transportasi (umum), telekomunikasi
(telepon),
penerangan
(listrik),
kesehatan
(Puskesmas/Rumah Sakit) dan mudah mendapatkan air bersih (PAM). e.
Areal menurut Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang dikeluarkan oleh Pemda setempat.
f.
Dekat dengan kantor Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaan, Kantor Wilayah Departemen
Kehakiman
dan
Hak
Asasi
Manusia,
Rutan/Lapas/Bapas/Rupbasan dan Instansi lain yang terkait. g.
Bebas atau jauh dari kemungkinan tertimpa bencana alam (gempa, banjir, tanah longsor) dan memiliki pembuangan air limbah sehingga tidak mengakibatkan dampak lingkungan yang tidak sehat.
h.
Untuk pembangunan UPT Pemasyarakatan pada lokasidi perkotaan yang luas lahannya sangat terbatas dapat didirikan dengan bangunan bertingkat dengan memperhatikan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB).
14
(2) Bentuk bangunan disesuaikan dengan tanah/lahan yang tersedia agar dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan mempertimbangkan aspek manfaat sebagai berikut : a. Menjaga keserasian bertetangga dengan masyarakat sekitarnya (jarak antara gedung/bangunan Rutan/Lapas/Bapas dengan tempat tinggal masyarakat cukup berjauhan), dan keserasian lingkungan hidup; b. Menghindari agar masyarakat tidak terganggu jika ada tindakan pencegahan terhadap gangguan keamanan dan ketertiban; c. Jalan/transportasi kendaraan pemadam kebakaran atau kendaraan lain dalam rangka mengatasi keadaan darurat pada UPT Pemasyarakatan; d. Keindahan (pertamanan, penghijauan) agar tampak sejuk dan asri; e. Perumahan untuk Pegawai Pemasyarakatan berlokasi disekitar bangunan UPT Pemasyarakatan; dan atau f. Lapangan upacara dan olah raga. 6
2.1.2.5 Tata Massa Bangunan Irregular Shapes Beberapa tipe lapas menggunakan bentuk tata masa bangunan yang tidak beraturan sehingga menciptakan ruang sisa di antara bangunan. Namun tujuan lain dari digunakannya tata masa bangunan ini adalah untuk mencapai efisiensi fungsi di dalam bangunan.
Gambar 2.1 Irregular Space Prison (Sumber: U.S. Department of Justice National Institute of Corrections.1998.Jail Design Guide) 6
Sumber: http://www.ditjenpas.go.id
15
Multiple Levels Untuk lapas dengan kapasitas sedikit akan lebih efektif menggunakan tipe bangunan satu lantai, atau dua lantai dengan fasilitas-fasilitas pendukungnya (kantor penegakan hukum, kantor pengadilan, dll).
Berkaitan dengan Kontrol Keamanan Massa bangunan yang terpusat dengan satu ruang kontrol menjadi pilihan yang tepat jika mengacu pada aspek kontrol keamanan. Pola penataan massa yang menyebar akan menyulitkan kontrol terhadap keamanan. Oleh karena itu, pola yang memusat ke tengah akan lebih efektif dan efisien.
Gambar 2.2 Massa Bangunan dengan Mempertimbangkan Aspek Kontrol Keamanan. (Sumber: U.S. Department of Justice National Institute of Corrections.1998.Jail Design Guide)
2.1.2.6 Sistem Hunian Master Control Ruang pengawas yang berfungsi sebagai ruang tempat petugas lapas untuk mengawasi proses yang berlangsung di dalam blok sel, sehingga membutuhkan akses yang tepat untuk dapat memantau secara keseluruhan. Master control room juga menghubungkan antara area steril dengan area publik.
16
Gambar 2.3 Skema Hubungan Master Control dengan Komponen Hunian yang Lain. (Sumber: U.S. Department of Justice National Institute of Corrections.1998.Jail Design Guide)
Intake and Release Area Merupakan suatu area yang berfungsi untuk menerima warga binaan baru dan memproses keluarnya warga binaan yang telah dibebaskan.
Gambar 2.4 Alur Masuknya Narapidana. (Sumber: U.S. Department of Justice National Institute of Corrections.1998.Jail Design Guide) 17
Seorang narapidana akan mengalami proses masuknya ke dalam lapas melalui beberapa tahapan proses seperti pemeriksaan kesehatan, pendataan, hingga sterilisasi, sehingga diperlukan ruang-ruag dengan alur khusus serta fungsi berbeda untuk mendukung proses tersebut. Sama halnya dengan proses masuk, proses keluar seorang narapidana juga menyertakan beberapa proses yang perlu adanya ruangan dengan fungsi khusus.
Gambar 2.5 Organisasi Ruang Intake and Release. (Sumber: U.S. Department of Justice National Institute of Corrections.1998.Jail Design Guide)
General Housing Tipe blok sel yang paling sering digunakan adalah tipe dua layer dengan sharing dayroom. Pola ruangan sel dengan ruang sosialisasi di bagian tengah, membentuk
blok.
Kemudian
masing-masing
blok
saling
berhubungan
membentuk pola memusat dengan posisi master control di bagian pusat.
18
Gambar 2.6 Organisasi Ruang Sel Blok Hunian. (Sumber: U.S. Department of Justice National Institute of Corrections.1998.Jail Design Guide)
Special Housing Hunian khusus ini berbeda dengan hunian yang sebelumnya. Beberapa jenis kasus yang dapat dikategorikan sebagai kejadian khusus sehingga harus ditampung dalam blok sel khusus yaitu: -
Tahanan sementara.
-
Tahanan yang mengalami gangguan mental.
-
Tahanan dengan penyakit serius menular.
-
Tahanan dengan kasus kekerasan selama masa tahanan masih berlangsung.
-
Tahanan yang mengalami depresi berat yang dapat berujung pada tindakan bunuh diri.
19
Gambar 2.7 Ilustrasi Ruangan Sel untuk Narapidana dengan Kondisi Khusus. (Sumber: U.S. Department of Justice National Institute of Corrections.1998.Jail Design Guide)
Klinik Kesehatan Dalam hal ini, klinik kesehatan berfungsi sebagai ruangan pemeriksaan kesehatan bagi narapidana yang baru masuk ataupun yang akan keluar. Sehingga perletakkan ruang berdekatan dengan intake and release room.
20
Gambar 2.8 Skema dan Detail Ruangan Pemeriksaan Kesehatan (Sumber: U.S. Department of Justice National Institute of Corrections.1998.Jail Design Guide)
Ruang Kunjungan Ruangan kunjungan terbagi menjadi dua yakni dengan kontak fisik dan tanpa kontak fisik. Masing-masing jenis ruangan tersebut memiliki bentuk serta setting yang berbeda. Namun keduanya dikendalikan melalui satu monitoring room yang sama.
Gambar 2.9 Skema Ruangan Kunjungan (Sumber: U.S. Department of Justice National Institute of Corrections.1998.Jail Design Guide)
21
Area Olah Raga Area olah raga memiliki beberapa tipe berkaitan dengan tata massa bangunan blok sel dan ruang kontrol. Area ini juga memiliki standar-standar tertentu berkaitan dengan fungsi area dan luasan.
Gambar 2.10 Hubungan Area Olahraga dengan Area Hunian (Sumber: U.S. Department of Justice National Institute of Corrections.1998.Jail Design Guide)
Dapur dan Laundry Fasilitas dapur umum yang digunakan haruslah memiliki akses ke dua area yang juga memiliki kontrol terhadap warga binaan. Selain itu akses datangnya pasokan bahan makanan perlu menjadi pertimbangan terhadap pola sirkulasi bangunan. Sama halnya dengan fasilitas laundry, yang perlu memiliki sirkulasi baik itu dari dalam ke luar, maupun dari luar ke dalam.
22
Gambar 2.11 Organisasi Ruang Dapur (Sumber: U.S. Department of Justice National Institute of Corrections.1998.Jail Design Guide)
Gambar 2.12 Organisasi Ruang Laundry (Sumber: U.S. Department of Justice National Institute of Corrections.1998.Jail Design Guide)
23
Kantor Administrasi Kantor administrasi harus memiliki akses yang baik dengan area publik karena menjadi penghubung antara area publik dengan area hunian. Namun ruangan ini juga harus dapat diakses oleh staff yang berada di dalam area hunian, sehingga diperlukan juga control room yang menjaga keamanan baik di dalam maupun di ruangan kantor sendiri.
Gambar 2.13 Organisasi Ruang Kantor Administrasi (Sumber: U.S. Department of Justice National Institute of Corrections.1998.Jail Design Guide)
Ruang Pegawai Pegawai memerlukan suatu area untuk melakukan persiapan sebelum bekerja. Adanya ruang beristirahat juga menjadi salah satu kebutuhan penting bagi pegawai untuk tetap menjaga performa dalam bekerja. Akses yang mudah dari area publik yaitu area parkir menuju blok hunian memerlukan sirkulasi yang tepat dan aman.
Gambar 2.14 Organisasi Ruang Pegawai (Sumber: U.S. Department of Justice National Institute of Corrections.1998.Jail Design Guide) 24
2.1.2.7 Standar Luasan Site dan Bangunan Ukuran luasan site sangat memepengaruhi desain bangunan berkaitan dengan kebutuhan fungsi bangunan seperti lahan terbuka hijau, lahan parkir, lahan ekspansi, akses sirkulasi bangunan, outdoor activity, bangunan lapas sendiri, serta elemen pendukung lain seperti ruang keamanan, servis. Untuk daerah sub-urban, area building coverage yang disarankan adalah 20-30% dari total luas site secara keseluruhan 7. Sebelum menentukan luas bangunan, maka terlebih dulu diketahui kapasitas
yang
akan
ditampung
oleh
bangunan
tersebut.
Dengan
memperhitungkan perkembangan pertambahan jumlah warga binaan dari waktu ke waktu, maka dapat dihitung kebutuhan ruang untuk hunian yang harus dipenuhi. 2.1.2.8 Standar Keamanan Standar keamanan untuk setiap area telah dijelaskan dengan diagramdiagram di masing-masing detail hunian pada sub bab sebelumnya. Untuk detail standar keamanan secara keseluruhan dapat dirinci sebagai berikut: -
Pintu sel yang terbuat dari baja dengan ketebalan tertentu, dengan lock system yang dikontrol dari luar
-
Sistem pintu di blok sel umum, blok hunian khusus, dan area lain yang membutuhkan keamanan ekstra.
-
Sistem televisi yang dapat digunakan oleh penghuni dengan sistem kontrol terpusat.
-
Pemasangan CCTV di area-area krusial seperti blok sel umum, blok sel khusus, ruang makan, ruang ibadah, intake and release room, dll.
-
7
Sistem alarm.
Sumber: U.S. Department of Justice National Institute of Corrections.1998.Jail Design Guide
25
2.2 Tinjauan Penekanan : Tingkat Depresi Warga Binaan 2.2.1
Pengertian Depresi Depresi merupakan penyebab utama dari disabilitas di seluruh dunia menurut Moussavi (2007). Disabilitas di sini berbicara dalam dunia psikologi tentang ketidak mampuan seseorang untuk menjalani hidupnya secara normal atau beraktifitas secara normal. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa depresi akan menjadi masalah yang lebih besar lagi di tahun 2020, dan sebagian besar orang yang mengalami depresi adalah generasi muda.
Tabel 2.1 Penyebab Utama Disabilitas di Seluruh Dunia Seperti Diukur oleh Tahun-tahun Kehidupan yang dijalani dengan Disabilitas
(Sumber : Thomas F. Oltmanns and Robert E. Emery. 2013. Psikologi Abnormal Edisi Ketujuh Buku ke 1)
Depresi di dalam ilmu psikologi tidak hanya menyangkut suasana dan perasaan, namun merupakan kaitan dari simtom 8 emosional, kognitif, dan perilaku. Jadi istilah depresi dapat diartikan sebagai suatu suasana-perasaan muram, sedih, kecewa, dan putus asa, yang disertai oleh beberapa simtom lain 8
Simtom menurut KBBI adalah perubahan atau keadaan khusus kondisi tubuh yang menunjukkan tanda adanya suatu penyakit; gejala penyakit.
26
seperti kelelahan, kehilangan energi, sulit tidur, dan perubahan nafsu makan. Simtom-simtom yang dialami oleh seseorang yang depresi seperti simtom kognitif 9 yaitu rasa bersalah yang ekstrem, perasaan tidak berguna, masalah konsentrasi, dan pikiran untuk bunuh diri. Sedangkan simtom perilaku dapat berupa seseorang yang sering berjalan mondar-mandir dan gelisah terus menerus hingga berujung pada inaktivasi ekstrem.
2.2.2
Kategori Depresi Depresi sendiri merupakan suatu gangguan suasana-perasaan 10 yang dapat dikategorikan menjadi dua yaitu gangguan unipolar dan gangguan bipolar. Skema secara keseluruhan memasukkan dua tipe gangguan suasana-perasaan unipolar dan dua tipe gangguan suasana-perasaan bipolar. Gangguan Unipolar B. Gangguan Depresif Mayor (Major Depressive Disorder) a. Terjadinya satu atau lebih periode atau episode depresi tanpa ada riwayat terjadinya episode manik 11 atau hipomanik. b. Seorang yang terkena ganggunan depresi mayor dapat mengalami satu episode depresi yang diikuti kembalinya orang tersebut pada keadaan fungsional yang biasa. c. Merupakan tipe depresi yang paling umum terjadi. d. Perbandingan masa terjadi dalam hidup laki-laki dan perempuan Perempuan
: 10-25%
Laki-laki
: 5-12%
e. Pada episode depresi yang parah, dapat disertai ciri psikosis seperti delusi bahwa tubuhnya terkena penyakit atau halusinasi seperti mendengar suara kutukan akan kesalahan yang pernah diperbuat. C. Distimia (Dysthymia) a. Sifatnya lebih ringan dari depresi mayor. b. Biasanya merupakan depresi yang berawal dari masa kanakkanak atau remaja. 9
Kognitif menurut KBBI adalah hal yang berhubungan dengan atau melibatkan kognisi; berdasar kepada pengetahuan faktual yang empiris 10 Merupakan sebutan lain untuk depresi dalam dunia psikologi. 11 Suatu episode yang dialami di gangguan bipolar.
27
c. Bersifat ringan namun kronis, berlangsung selama beberapa tahun. d. Perasaan depresi dan kesulitan dalam dunia sosial akan terus ada bahkan setelah orang yang terkena gangguan ini sembuh. Gangguan Bipolar Seseorang yang mengalami gangguan bipolar dapat merasakan kesenangan yang tiada tara namun tidak lama kemudian berubah menjadi rasa takut dan putus asa yang memuncak, tanpa adanya penyebab eksternal yang pasti. Terdapat dua episode pada depresi jenis ini, yaitu episode depresi dan manik. Episode manik merupakan suatu periode peningkatan euforia yang tidak realisitis, disertai gelisah dan aktivitas berlebihan, yang ditandai perilaku tidak terorganisir. Masa episode manik ini dapat berlangsung selama beberapa minggu hingga hitungan bulan. Orang yang berada pada fase episode manik akan memiliki optimisme serta energi tidak terbatas, sehingga menjadikan orang tersebut
suka
bergaul,
hingga
bisa
berujung
pada
tindakan
memaksakankehendak pada orang lain. Pada masa ini juga seseorang akan sangat bersemangat sampai-sampai akan memperolok orang lain dengan lelucon yang keterlaluan. Tidak dapat duduk dengan tenang, tidur nyenyak, membuat seseorang akan mengalami insomnia, namun tetap merasa cukup berenergi. 1. Gangguan Bipolar I -
Mengalami satu episode manik secara penuh.
-
Orang yang mengalami gangguan ini akan mengalami periode mood normal di antara periode episode manik dan depresi.
2. Gangguan Bipolar II -
Tidak pernah mengalami satu periode episode manik secara penuh.
-
Mengalami paling tidak satu atau lebihepisode depresi mayor dan satu episode hipomanik 12.
12
Merupakan episode yang lebih ringan dari episode manik.
28
2.2.3
Faktor Penyebab Depresi Faktor Sosial - Peristiwa Hidup yang Stressful dan Gangguan Unipolar Brown (1998) melakukan studi dengan perempuan yang hidup di enam populasi yang berbeda di Eropa dan Afrika, untuk mengetahui hubungan antara peristiwa hidup yang berat dengan prevalensi depresi. Dia menemukan bahwa masyarakat dengan tingkat peristiwa berat tertinggi menghasilkan tingakat prevalensi depresi mayor paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa variasi prevalensi depresi secara keseluruhan disebabkan oleh faktor-faktor yang memperngaruhi frekuensi stres di dalam masyarakat.
Gambar 2.15 Grafik Hubungan antara Tingkat Tahunan Peristiwa Hidup Berat yang Tidak Reguler per 100 Perempuan di Enam Populasi dan Prevalensi Kasus-kasus Depresi di Tahun yang Sama. (Sumber : Thomas F. Oltmanns and Robert E. Emery. 2013. Psikologi Abnormal Edisi Ketujuh Buku ke 1) - Faktor Sosial dan Gangguan Bipolar Perjanalan gangguan suasana bipolar pada seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sosial di mana orang itu tinggal. Seseorang yang pernah mengalami gangguan suasana bipolar yang telah sembuh, apabila berada di lingkungan keluarga yang bermasalah, maka akan memicu gangguan itu 29
untuk kambuh lagi. Hal lain juga terjadi pada periode episode manik pada gangguan bipolar, di mana peristiwa seperti pencapaian tujuan, misalnya promosi pekerjaan, diterima di institusi pendidikan yang diinginkan, hingga hubungan asmara yang baru dan sedang mekar-mekarnya, memperngaruhi pasang surut emosi, khususnya emosi positiv dan aktivitas yang berlebihan. Faktor Psikologis - Kerentanan Kognitif Teori kognitif tentang depresi unipolar didasarkan pada manusia sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk yang berpikir, memersepsi, dan mengingat peristiwa-peristiwa di dalam hidupnya. Biasanya teori kognitif melibatkan
kegiatan
kognitif
yang
berkaitan
dengan
pengalaman
kehilangan, gagal, dan kecewa. Sehingga pada saat orang merasakan suatu kegagalan, dia akan cenderung untuk melekatkan pengalaman personal globalnya (pengalaman stressful). Misalnya saat seseorang gagal dalam perlombaan lari maraton, dia akan berpikir bahwa dirinya adalah seorang pecundang dan telah mengalami kegagalan sebagai atlet lari. - Integrasi Faktor Kognitif dan Sosial Cara
berpikir
negatif
serta
dan
ketrampilan
interpretasi
yang
disfungsional diduga dipelajari pada awal kehidupan, yaitu sejak dini di lingkungan keluarga. Peristiwa ditelantarkan atau dikritik secara keras menjadi salah saatu latar belakangnya. Ketika seorang anak tumbuh, pengalaman kognitif yang terlihat dalam ketrampilan interpesonal membuat seseorang akan kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain, kurangnya kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta kurangnya kemampuan untuk mendapat dukungan dan bantuan dari orang lain. Faktor Biologis - Genetika Faktor genetika berpengaruh pada tinggi rendahnya kesempatan seseorang untuk dapat mengalami gangguan suasana-perasaan atau depresi, di mana gangguan bipolar lebih dapat diwariskan daripada gangguan unipolar. - Sistem Neuroindokrin
30
Kita tahu bahwa otak merupakan pusat pengatur tubuh kita. Pada saat seseorang mengalami suatu pengalaman stressful, maka di situ otak bekerja untuk menghasilkan suatu hormon untuk merespon stress tersebut.
Gambar 2.16 Sistem Hormonal yang Dikenal sebagai Hypothalamic-PituitaryAdrenal (HPA) Axis (Sumber : Thomas F. Oltmanns and Robert E. Emery. 2013. Psikologi Abnormal Edisi Ketujuh Buku ke 1).
- Studi Pencitraan Otak Studi pencitraan otak menunjukkan bahwa depresi berat sering berkaitan dengan pola aktivitas abnormal maupun perubahan strukturaldi berbagai bagian otak. Pola aktivitas abnormal yang terjadi di daerah profrontal cortex (PFC) (korteks prefrontal), sering ditemukan berkaitan dengan proses depresi seseorang. Orang yang mengalami kondisi abnormal dapa PFC memiliki kemungkinan memiliki masalah emosi, seperti ketidak mampuan untuk merasa puas yang ekstrem.
31
Gambar 2.17 Daerah Otak yang Terlibat Dalam Depresi (Sumber : Thomas F. Oltmanns and Robert E. Emery. 2013. Psikologi Abnormal Edisi Ketujuh Buku ke 1).
2.2.4
Tanda-tanda Depresi Tanda-tanda Emosional -
Kebanyakan orang yang mengalami depresi mengalami perasaan muram, sedih, dan putus asa.
-
Bersifat aprehensif, yaitu takut bahwa keadaan akan menjadi lebih buruk dari keadaan mereka yang sekarang, ataupun ketakutan bahwa orang lain akan mengetahui ketidak mampuan dirinya.
-
Pada episode manik, seseorang dengan gangguan suasana-perasaan akan merasakan kegembiraan yang meluap-luap, energi yang tidak terbatas, serta optimisme yang memuncak.
Tanda-tanda Kognitif -
Pikiran melamban, kesulitan dalam berkonsentrasi, serta mudah terdistraksi.
-
Pikiran menyalahkan diri sendiri untuk segala sesuatu yang berjalan keliru.
-
Memfokuskan perhatian pada hal-hal negatif dari diri sendiri, lingkungan, dan masa depan.
Tanda-tanda Somatik -
Mengalami kelelahan, sakit, nyeri, perubahan nafsu makan, dan pola tidur.
-
Mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas harian yang sifatnya otomatis. 32
-
Pada seseorang yang mengalami episode manik, akan mengalami penurunan yang drastis pada frekuensi tidurnya.
-
Kehilangan nafsu seksual.
-
Yang lebih lanjut akan berkembang pada preokupasi tubuh dan ketakutan terhadap penyakit.
2.2.5
Penanganan Depresi Gangguan Unipolar -
Terapi Kognitif Terapi kognitif dilakukan dengan membantu memfokuskan pasien depresi dengan mengganti pikiran self-defeating dengan pernyataan yang lebih rasional tentang diri. Pasien dibuat mengasumsikan dirinya sendiri bahwa orang tersebut memiliki akses sadar ke kejadian kognitif. - Terapi Interpersonal Terapi ini difokuskan pada hubungan saat ini, khususnya yang melibatkan peran anggota keluarga. Terapis membantu pasiennya utuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang masalah interpersonalnya yang diduga menjadi penyebab munculnya depresi.
-
Obat Antidepresan Contoh obat yang digunakan untuk gangguan suasana-perasaan unipolar : e. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) f. Tricyclics (TCAs) g. Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
Gangguan Bipolar -
Lithium Garam lithium harbobat merupakan salah satu cara untuk mengurangi episode manik dalam episode bipolar. Tidak hanya pada episode manik, namun juga pada episode depresif. Penggunaan lithium di antara episodeepisode memperkecil kemungkinan untuk kambuh pada pasien gangguan bipolar.
-
Obat Antikonvulsan Contoh obat yang diberikan pada pasien gangguan bipolar pada saat mengalami manik akut : 33
a. Carbamazepine (Tegretol) b. Asam valproic (Depakene) 2.3 Konsep Healing Environment 2.3.1
Pengertian Faktor lingkungan memiliki peran besar dalam proses penyembuhan manusia, yaitu sebesar 40%, sedangkan faktor medis hanya10%, faktor genetis 20% dan faktor lain 30%. Faktor lingkungan terdiri dari faktor lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan. Konsep healing environment ini berkembang dari sebuah riset yg dilakukan oleh Robert Ulrich, direktur pada Center for Health Systems & Design, Texas A&M University, Amerika Serikat. Tema utama riset tersebut mengenai efek user-centered design. Riset tersebut membuktikan bahwa lingungan tempat sebuah fasilitas pelayan kesehatan berada berpengaruh pada kualitas proses penyembuhan yang berangsung didalamnnya. Prinsip user-centered design ini kemudian juga diterapkan pada lngkungan buatan yaitu interior, melaluai aplikasi warna, tekstur, material dan elemen arsitektur lainnya untuk menciptakan suasana tenang, santai, dan nyaman. Hasilnya membuktikan bahwa tidak hanya lingkungan alamiah tetapi juga lingkungan buatan memiliki pengaruh dalam menciptakan suatu kesatuan lingkungan yang kondusif bagi proses penyembuhan tidak hanya kondisi fisik tetapi juga psikis.
2.3.2
Prinsip Penerapan Konsep Healing Environment Inti dari penerapan konsep ini adalah penyesuaian semua elemen dalam desain baik itu elemen eksterior maupun interior, untuk dapat menciptakan suasana melalui rangsangan positif terhadap panca indera manusia. Adapun prinsip-prinsip penerapan konsep human environment adalah sebagai berikut: -
Sebuah desain yang mampu mendukung proses pemulihan baik itu pemulihan fisik maupun psikis.
-
Desain yang memiliki akses ke alam.
-
Desain yang memungkinkan adanya kegiatan outdoor yang langsung berubungan dengan alam. 34
-
Desain yang diarahkan pada penciptaan kualitas ruang agar suasana menjadi aman, nyaman, da tidak menimbulkan stress.
2.3.3
Elemen Eksterior pada Penerapan Konsep Healing Environment Istilah healing garden, sebuah taman yang didesain khusus untuk membuat orang yang berada pada taman itu merasakan suasana yang nyaman, tentram, damai serta dapat merangsang perkembangan baik tubuh maupun mental ke arah yang lebih positif, merupakan sebuah elemen luar penting pada penerapan konsep healing environment.
Gambar 2.18 Healing Garden The Johns Hopkins Hospital (Sumber : archdaily.com, diakses 29 Desember 2014). Elemen Alami - Vegetasi Vegetasi yang diatur sedemikian rupa pada healing garden akan merangsang indera penciuman seseorang untuk dapat merasakan bau tumbuhan kayu, rumput, ataupun bunga-bungaan. Selain itu, warna-warna yang ditimbulkan dari bermacam jenis vegetasi dapat memberikan rangsangan tersendiri bagi mata untuk dapat menangkap beragam jenis warna tersebut. Misalnya warna tumbuhan rumput-rumputan yang lebih dominan hijau akan memberikan efek menenangkan, sedangkan warna-warna terang dari bungabungaan seperti merah, ungu, kuning, merah muda, dapat memberikan efek kecerian pada orang yang melihatnya.
35
- Air Elemen lain yang biasa digunakan adalah elemen air. Suara dari aliran dan gemercik air akan merangsang indera pendengaran manusia, dan memiliki efek menenangkan. - Batu Alam Elemen batu-batuan yang diaplikasikan pada healing garden menjadi salah satu elemen penting yang berkaitan dengan efek yang ditimbulkan oleh tekstur batu alami. Dengan meletakkan batu-batuan yang dapat difungsikan sebagai area refleksi dapat memberi dampak yang positif bagi kelancaran kerja sistem saraf serta peredaran darah.
Elemen Buatan - Jalan Setapak Jalan setapak, suatu komponen buatan dari healing garden yang difungsikan sebagai ruang sirkulasi. Berfungsi sebagai suatu pola yang menentukan arah pergerakan manusia di sebuah area healing garden. Pola jalan setapak dapat berupa pola kaku, dapat juga sebuah pola yang organik. Pola yang kaku biasa disebut formal, memiliki bentuk yang simetris dengan elemen-elemen garis lurus yang bersudut. Sedangkan pola organik bersifat lebih dinamis dengan mengikuti kontur tanah, pola perletakkan vegetasi, pola aliran air, dan sebagainya. -
Pencahayaan (Lampu) Pencahayaan buatan dibutuhkan pada waktu malam hari, sehingga healing garden masih dapat difungsikan. Pencahayaan buatan dapat diletakkan mengikuti pola sirkulasi jalan setapak yang ada pada healing garden. Selain itu, pencahayaan buatan di sini juga berfungsi untuk menambah nilai estetika.
2.3.4
Elemen Interior pada Penerapan Konsep Healing Environment Pencahayaan Dengan dua macam pencahayaan, yaitu alami dan buatan, yang cukup, akan dapat berpengaruh pada berkurangnya kecemasan seseorang serta dapat menimbulkan emosi positif pada diri orang tersebut. Pencahayaan alami didapat
36
melalui bukaan jendela dan skylight (langit-langit), sedangkan pencahayaan buatan didapat melalui lampu. Warna Penggunaan warna yang lembut dan mendekati warna unsur alam akan memberikan ketenangan serta menimbulkan optimisme pada diri penghuninya. Penerapan warna ini tidak hanya pada dinding saja, namun juga pada lantai, langit-langit, serta perabot di dalam ruangan. View Estetika ruangan dapat mempengaruhi psikis seseorang. Dengan memasukkan pemandangan alam ke dalam bangunan akan menstimulus perkembangan kesehatan serta mengurangi stress . Suara Sumber bunyi dibagi menjadi dua yaitu suara alami dan suara buatan atau musik. Suara alami didapat dari aliran air atau angin. Dengan membuat jendela pada ruangan, maka akan memungkinkan suara aliran angin dan air yang ada di luar ruangan dapat masuk ke dalam ruangan. Musik dalam dunia psikiatris merupakan salah satu media yang sangat penting dalam hal pemulihan depresi. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa dengan musik, selain dapat memulihkan depresi dan tingkat stress seseorang, musik juga dapat memperbaiki kepribadian seseorang. Aroma Aroma dapat merangsang indera penciuman kita, yang berhubungan dengan pusat emosi yang berada di otak. Untuk itu, perlu memasukkan aroma yang sedap ke dalam ruangan seperti aroma bunga ataupun tanaman kayu dan akar. Seni Seni dapat menurunkan tingkat stress seseorang melalui rangsangan visual. Seni yang menampilkan unsur alam akan membawa energi positif ke dalam ruangan sehingga kualitas lingkungan pun meningkat. Tekstur Pemilihan material yang memiliki tekstur tertentu dapat berpengaruh pada efek psikologis sebuah bangunan. Tekstur selain sebagai sarana terapi sentuh, juga berperan dalam meningkatkan kualitas cahaya yang mengenai suatu
37
permukaan sehingga menciptakan suatu sensasi sendiri pada pengalaman visual seseorang.
2.3.5
Pengaruh Penerapan Konsep Healing Environment Manusia menggunakan kelima panca inderanya untuk menerima rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya, kemudian memprosesnya di dalam otak, yagn selanjutnya dapat mempengaruhi perasaan, emosi, serta fisik. Pengaruh penerapan konsep human environment terhadap manusia antara lain:
-
Membantu mempercepat proses penyembuhan dari penyakit.
-
Mengurangi energi negatif pada seseorang.
-
Menciptakan perasaan aman dan nyaman pada diri seseorang.
-
Mengurangi depresi.
2.4 Studi Literatur Lembaga Pemasyarakatan 2.4.1
Virginia Women’s Multi-Custody Correcctional Faslity, Richmond, Virginia
Merupakan penjara wanita karya HOK (Hellmuth, Obata, & Kassabaum) yang terletak di kota Virginia Amerika Serikat. Dengan ukuran bangunan yang mampu menampung hingga 1.354 bed 13, di mana satu kamar hanya diiisi oleh dua orang sehingga mampu memberikan privasi atas kegiatan sehari-hari serta barang-barang yang dimiliki.
13
Istilah bed di sini digunakan untuk menunjuk pada kapasitas manusia yang dapat ditampung dalam sebuah bangunan.
38
Gambar 2.19 Layout Virginia Women’s Multi-Custody Correcctional Faslity (Sumber : Leslie Fairweather & Sean McConville. 2000.Prison Architecture Policy, Design, and Experience. Massachusetts : Architectural Press.) Layout bangunan ini sendiri mengacu pada bentuk PDBS 14, dengan pola bangunan dengan small-scale cruciorm cell blocks yang diletakkan mengelilingi sebuah area terbuka (central courtyard).
2.4.2
Virginia Women’s Multi-Custody Correcctional Faslity, Richmond, Virginia Mecklenburg County Jail, Central Charlotte, North Carolina Mecklenburg County Jail adalah penjara campuran yang juga didesain oleh HOK yang terletak di North Carolina. Bangunan ini selesai dibangun pada tahun 1996 dan memiliki kapasitas 1.004 orang yang kemudian diekspansi dengan penambahan jumlah kapasitas menjadi 900 orang.
14
PDBS (Prison Design Briefing System) adalah sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh Prison Building Board pada tahun 1987, yang bertujuan sebagai acuan dalam mendesain sebuah penjara yang mampu menjalankan fungsinya sebagai lembaga pemasyarakatan, yakni sebuah bangunan yang mampu menyediakan fasilitas untuk beraktifitas secara produktif serta mampu menjadi wadah sosial bagi pelaku kejahatan yang tidak dapat berkomunikasi dengan dunia luar secara bebas, dengan staf.
39
Gambar 2.20 Layout Bangunan Mecklenburg County Jail (Sumber : Leslie Fairweather & Sean McConville. 2000.Prison Architecture Policy, Design, and Experience. Massachusetts : Architectural Press.)
Dengan bentuk layout ruang triangular 15, yang merupakan pola layout yang sering digunakan oleh bangunan penjara pada masa new generation 16. Dengan pola yang seperti ini terdapat dayroom 17 di pusat tiap-tiap blok sel, memeberikan kesan serta ruang gerak dan ruang bersosialisasi bagi penghuni sel.
15
Pola ini merupakan sebuah pola yang umumnya digunakan oleh penjara di Amerika pada tahun 1990an. Di mana denah bangunan berbentuk segitiga dengan area sentral berfungsi sebagai ruang bersosialisasi. 16 New generation adalah istilah atau sebutan yang digunakan untuk menyebut era desain sebuah penjara pada tahun 1990an. 17 Dayroom merupakan ruangan yang terletak di area sel. Pada pola triangular, dayroom merupakan area di tengah yang berfungsi untuk ruang sosialisasi (lihat gambar 3.2).
40
BAB III ANALISIS MENGENAI BLOK PEREMPUAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA WIROGUNAN YOGYAKARTA 3.1 Selayang Pandang
Gambar 3.1 Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta (Sumber: dok. Penulis)
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta terletak di Jl. Taman Siswa No. 6 Yogyakarta dengan
luas tanah ±3,8 hektar. Awalnya bangunan lapas ini
merupakan bangunan peninggalan masa kolonial Belanda dengan nama Gevangelis En Huis Van Bewaring yang dibangun pada tahun 1910 hingga 1915. Wujud bangunan lapas ini sendiri berupa tembok tebal dengan jendela tinggi.
3.1.1
Tujuan, Fungsi, dan Sasaran Tujuan
1. Membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. 2. Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan yang ditahan di Rumah Tahanan Negara dan Cabang Rumah Tahanan Negara dalam rangka 41
memperlancar proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan 3. Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan / para pihak berperkara serta keselamatan dan keamanan benda-benda yang disita untuk keperluan barang bukti pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta benda-benda yang dinyatakan dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan. (Sumber : http://lapaswirogunan.info/profil/tujuan-fungsi-sasaranpemasyarakatan/)
Fungsi Menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. ( Pasal 3 UUD No.12 Th.1995 tentang Pemasyarakatan ). (Sumber : http://lapaswirogunan.info/profil/tujuan-fungsi-sasaranpemasyarakatan/)
Sasaran Meningkatkan kualitas warga binaan meliputi : 1. Kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Kualitas intelektual. 3. Kualitas sikap dan perilaku. 4. Kualitas profesionalisme / ketrampilan. 5. Kualitas kesehatan jasmani dan rohani. Selain itu juga untuk mewujudkan tujuan pemasyarakatan yang merupakan bagian dan upaya meningkatkan ketahanan sosial dan ketahanan nasional, serta merupakan indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur hasil yang dicapai dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan, yaitu : 1. Isi Lembaga Pemasyarakatan lebih rendah daripada kapasitas. 2. Menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka pelarian dan gangguan kamtib. 3. Meningkatnya secara bertahap jumlah narapidana yang bebas sebelum waktunya melalui proses asimilasi dan integrasi. 42
4. Semakin menurunya dari tahun ketahun angka residivis. 5. Semakin banyaknya jenis-jenis institusi sesuai dengan kebutuhan berbagai jenis / golongan narapidana. 6. Secara bertahap perbandingan banyaknya narapidana yang bekerja di bidang industri dan pemeliharaan adalah 70:30. 7. Prosentase kematian dan sakit Warga Binaan Pemasyarakatan sama dengan prosentase di masyarakat. 8. Biaya perawatan sama dengan kebutuhan minimal manusia Indonesia pada umumnya. 9. Lembaga Pemasyarakatan dalam kondisi bersih dan terpelihara, dan 10. Semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan proyeksi nilai-nilai masyarakat ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dan semakin berkurangnya nilai-nilai sub kultur penjara dalam Lembaga Pemasyarakatan. (Sumber
:
http://lapaswirogunan.info/profil/tujuan-fungsi-sasaran-
pemasyarakatan/)
3.1.2
Visi dan Misi Visi Mengedepankan Lembaga Pemasyarakatan yang bersih, kondusif, tertib dan transparan dengan dukungan petugas yang berintegritas dan berkompeten dalam pembinaan WBP. (Sumber : http://lapaswirogunan.info/profil/tujuan-fungsisasaran-pemasyarakatan/) Misi 1. Mewujudkan
tertib
pelaksanaan
tupoksi
Pemasyarakatan
secara
konsisten dengan mengedepankan penghormatan terhadap hukum dan HAM serta transparansi publik. 2. Membangun kerja sama dengan mengoptimalkan keterlibatan stake holder dan masyarakat dalam upaya pembinaan WBP. 3. Mendaya gunakan potensi sumber daya manusia petugas dengan kemampuan penguasaan tugas yang tinggi dan inovatif serta berakhlak mulia.
(Sumber
:
http://lapaswirogunan.info/profil/tujuan-fungsi-
sasaran-pemasyarakatan/)
43
3.1.3
Struktur Organisasi
Gambar 3.2 Struktur Organisasi Lapas Kelas IIA Yogyakarta (Sumber: http://lapaswirogunan.info/wp-content/uploads/2014/09/StrukturOrganisasi-LP-WIROGUNAN-550x377.jpg)
44
3.2 Analisis Pelaku Kegiatan 3.2.1
Analisis Kegiatan WBP
Tabel 3.1 Pola Kegiatan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Perempuan di Lapas Kelas IIA Wirogunan.
(Sumber: Analisis Hasil Wawancara, 2014)
Jumlah WBP perempuan di Lapas Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta mencapai 90 orang, yang terbagi di dalam dua blok, yakni blok untuk WBP kasus kriminal dan narkotika. Kegiatan mereka mulai sejak pintu blok dibuka yaitu pada pukul 06.30 hingga ditutup kembali pada pukul 17.00 WIB. Kebanyakan dari warga binaan perempuan di lapas ini melakukan kegiatan ketrampilan seperti menyulam ataupun membuat kerajian dari manik-manik, namun kegiatan tersebut bersifat tidak wajib dan tidak ada kegiatan lain yang dapat mereka lakukan sebagai mata pencaharian tetap selama di dalam lapas.
3.2.2
Analisis Kegiatan Pengunjung Lapas Kunjungan kepada warga binaan di Lapas Kelas IIA Worogunan berlangsung
pada hari Senin, Rabu, Kamis, dan Sabtu mulai dari Pk 08.00 hingga Pk 11.30. Untuk dapat mengunjungi kerabat maupun keluarga yang berada di dalam Lapas, maka seseorang harus melakukan registrasi terlebih dahulu di area pendaftaran yang 45
terletak di luar gedung. Ketika telah mendapat nomor antrian, maka pengunjung akan menunggu untuk dipanggil. Pada saat yang sama, petugas Lapas akan membuat surat bon yang ditujukan kepada warga binaan yang dikunjungi. Setelah warga binaan setuju untuk menemui, maka pengunjung akan dipanggil untuk memasuki ruangan yang pertama yaitu ruang pemeriksaan identitas untuk ditukarkan dengan kartu pengunjung. Dilanjutkan dengan pemeriksaan badan dan barang bawaan. Setelah semua dianggap aman, baru kemudian pengunjung memasuki ruang kunjungan. Adapun kapasitas pengunjung dibatasi maksimal lima kunjungan per ruangan.
Gambar 3.3 Bagan Alur Kegiatan Pengunjung di Lapas Kelas IIA Wirogunan (Sumber: Hasil Wawancara, 2014)
3.2.3
Analisis Kegiatan Petugas Lapas Tedapat 224 orang yang tercatat sebagai pejabat dan pegawai lapas yang terbagi
ke dalam tiga seksi, yaitu : 1. Seksi Pembinaan Narapidana (Seksi Binapi) 46
Memiliki tugas melakukan bimbingan kemasyarakatan kepada warga binaan pemasyarakatan. Pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Sub Seksi Registrasi dan Sub Seksi Bimbingan Pemasyarakatan dan Perawatan (Bimaswat), Pembinaan Agama, dan Pembinaan Kesenian. 2. Seksi Kegiatan Kerja (Seksi Giatja) Memiliki tugas melakukan bimbingan dan pelatihan kerja kepada WBP. Dalam pelaksanaannya dibantu oleh Sub Seksi Bimbingan Kerja dan Pengelolaan Hasil Kerja, dan Sub Sarana Kerja 3. Seksi Administrasi Keamanan dan Ketertiban (Seksi Minkamtib) Memiliki tugas untuk mengatur jadwal tugas pengamanan, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan, menerima laporan berkala di bidang keamanan dan tata tertib. Dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Sub Seksi Keamanan dan Sub Seksi Administrasi Pelaporan.
3.3 Analisis Program Ruang 3.3.1
Analisis Kebutuhan Ruang Untuk dapat melakukan analisis kebutuhan ruang, terlebih dahulu melihat data statistik terkini dari Direktorat Jendral Pemasyarakatan.
Gambar 3.4 Data Statistik Harian untuk Jumlah Penghuni di Lapas dan Rutan di DIY (Sumber: Sistem Database Pemasyarakatan Ditjenpas, diakses pada 26 Desember 2014) 47
Dari data di atas dilihat bahwa di Lapas Kelas IIA Yogyakarta memiliki jumlah penghuni WBP laki-laki dewasa sebanyak 244 orang, sedangkan untuk WBP Perempuan dewasa sebanyak 89 orang 18. Tidak terdapat kelebihan kapasitas penghuni
lapas.
Namun
pada kenyataannya,
yang menjadi
keprihatinan adalah kondisi blok untuk WBP perempuan yang tidak layak. Dengan kata lain jumlah penghuni sel tidak sebanding dengan luasan ruangan sel. Satu sel di blok narkotika dihuni oleh tiga orang, sedangkan di blok kriminal, satu sel terdiri dari satu ruangan yang disekat dan dihuni oleh 20 orang.
Gambar 3.5 Ilustrasi Sel Blok Warga Binaan Perempuan Kasus Narkotika (Blok A ) (Sumber: Wawancara dan Observasi, 2014)
Gambar 3.6 Ilustrasi Sel Blok Warga Binaan Perempuan Kasus Kriminal (Blok C1-C4) (Sumber: Wawancara dan Observasi, 2014) 18
Jumlah terakhir yang tercatat per tanggal 26 Desember 2014 dalam website Sistem Database Pemasyarakatan (http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/daily/kanwil/db5c02f0-6bd1-1bd1b375-313134333039/date/2014-12-26).
48
Ruangan lain yang terdapat di dalam Lapas ini adalah ruang pemeriksaan dan ruang kunjungan yang berada di pintu masuk Lapas. Ruangan ini hanya merupakan ruang sempit dengan tempat penyimpanan barang/ loker yang berfungsi untuk meletakkan barang pengunjung yang tidak diijinkan dibawa ke ruang kunjungan. Terdapat dua sampai tiga petugas keamanan yang berjaga di ruang pemeriksaan, sedangkan di ruang pemeriksaan barang terdapat dua petugas wanita yang bertugas untuk memeriksa keamanan barang bawaan pengunjung. Setelah itu jika diperlukan pengunjung akan melewati pemeriksaan badan. Namun hal ini jarang terjadi karena memang kurangnya petugas yang berjaga. Selain itu, tidak tedapat alat pendeteksi barang tajam dan zat aditif yang memungkinkan sekali terjadinya transaksi senjata dan narkotika di dalam ruang pengunjung.
Gambar 3.7 Ilustrasi Ruang Pemeriksaan dan Kunjungan (Sumber: Analisis Penulis, 2014)
Fasilitas klinik untuk WBP juga disediakan di lapas ini. Terletak dekat dengan blok warga binaan perempuan, memiliki dua bangsal yang dapat digunakan untuk pengobatan. Selain itu juga terdapat dokter yang berjaga di dalam klinik. Namun fasilitas pengobatan yang disediakan masih terbatas sehingga untuk beberapa kasus seperti yang pernah terjadi yaitu kasus persalinan tidak dapat dilakukan di dalam lapas.
49
Gambar 3.8 Ilustrasi Klinik (Sumber: Analisis Penulis, 2014)
Tabel 3.2 Kebutuhan Ruang Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta
Kelompok Pelaku Kegiatan Ruang Administrasi Ruang Perkantoran Petugas Lapas
Blok Warga Binaan Pemasyarakatan Warga Binaan Pemasyarakatan
Petugas Lapas
Kebutuhan Ruang
- R. Kalapas - R. Unit Umum - R. Unit Keamanan dan Ketertiban - R. Unit Perawatan - R. Unit Latihan Kerja dan Produksi - R. Arsip - R. Rapat - Pantry - Gudang - Lavatory -
Blok Orientasi dan Observasi Kamar Hunian Umum Kamar Hunian Khusus Kamar Mandi Umum R. Portir 50
Ruang Pembinaan
- Petugas Lapas - Warga Binaan Pemasyarakatan
Ruang Pelayanan dan Kontrol
- Petugas Lapas - Warga Binaan Pemasyarakatan
- R. Jaga - R. Tunggu - R. Arsip - R. Penyimpanan Senjata - R. Pemeriksaan - Pos Pengamanan - R. KPLP - Pos Blok Hunian - Pos Atas - Lavatory - R. Istirahat - R. Portir untuk Pengunjung - R. Tunggu - R. Kunjungan - R. Penitipan Barang - Lavatory - Klinik Kesehatan - R. Administrasi - R. Konsultasi - R. Sidang - Lapangan Olahraga - Lapangan Upacara - R. Ibadah - Aula - Bengkel Kerja - R. Ketrampilan - R. Baca - R. Makan - R. Kerja Pengolahan Sampah - Lahan Berkebun - Dapur Umum - Tempat Cuci - Gudang - R. Laundry - Area Menjemur - R. Pengolahan Sampah - Garasi - Ruang Staff - R. Kontrol
51
3.3.2
Organisasi Ruang Dengan luas total 35.000m2, area Lapas Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta terbagi menjadi beberapa area yang terpisah massa bangunannya. Di bagian depan terdapat kantor administrasi dan ruang pembinaan serta ruang kunjungan WBP. Kemudian terdapat ruang terbuka di sentral site yang digunakan untuk olah raga dan kegiatan outdoor lainnya. Sedangkan di bagian utara terdapat klinik yang digunakan untuk pengobatan WBP. Di bagian selatan terdapat fasilitas ibadah yaitu kapel dan masjid yang biasa digunakan oleh WBP beribadah sehari-harinya atau pada event khusus. Blok laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh pagar besi setinggi 10 meter, di mana blok perempuan menempati area bagian utara, sedangkan blok laki-laki di sebelah barat dan selatan.
Gambar 3.9 Skema Fungsi pada Bangunan Lapas Kelas IIA Wirogunan (Sumber: Observasi Lapangan, 2014)
52
3.4 Analisis Site 3.4.1
Analisis Bangunan Sekitar Bangunan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta terletak di daerah urban dan tidak jauh dari kompleks bangunan pemerintahan Yogyakarta. Bangunan sekitar merupakan permukiman bangunan satu hingga dua lantai.
Gambar 3.10 Lokasi Lapas Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta (Sumber: Analisa Google Earth, 2014) 3.4.2
Analisis Pencapaian
Gambar 3.11 Sirkulasi Jalan di Sekitar Lapas Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta (Sumber: Analisis Google Earth, 2014)
53
Dua jalan utama yang digunakan untuk mengakses tempat ini adalah Jalan Sultan Agung dan Jalan Taman Siswa. Merupakan dua jalan yang cukup ramai dan memiliki lebar lebih dari 10 meter, sehingga mudah diakses baik itu kendaraan roda dua maupun roda empat.
3.5 Analisis Massa Bangunan 3.5.1
Tata Letak Massa
Gambar 3.12 Perletakkan Massa Bangunan di Lapas Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta (Sumber: Analisis Google Earth, 2014)
Gambar 4.12 menunjukkan tata letak massa bangunan di Lapas Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta. Satu area terdiri dari massa bangunan yang terpisah-pisah karena memang merupakan bangunan tua penginggalan jaman kolonial Belanda, kemudian dengan adanya penambahan massa bangunan baru yang bergaya arsitektur sekarang atau arsitektur tropis. Massa bangunan yang terpisah-pisah ini juga memiliki fungsi yang berbeda-beda. Image yang ditampilkan dari masing-masing massa bangunan pun berbeda, dikarenakan masa pembangunan yang tidak sama. Selain itu, massa-massa bangunan yang berdiri sendiri-sendiri tidak memperlihatkan pola sirkulasi yang jelas serta pola bentuk bangunan apakah terpusat atau menyebar.
3.5.2
Fasilitas di dalam Bangunan Analisis tentang keberadaan dan kelayakan fasilitas di bangunan Lapas Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta ini didapat melalui data hasil wawancara
54
dengan penghuni lapas baik itu pegawai lapas maupun warga binaan pemasyarakatan perempuan di dalam lapas tersebut.
Tabel 3.3 Tabel Keberadaan dan Kelayakan Fasilitas Ruang di Lapas Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta
(Sumber: Analisis Penulis, 2014)
55
3.6 Analisis Keamanan Bangunan Keamanan bangunan diperkuat dengan dinding beton dengan tinggi 10 meter yang diberi kawat listrik di bagian ujungnya. Selain itu menara jaga yang berada di sudut-sudut area menjadi satu elemen penting untuk menjaga keamanan di dalam lapas. Untuk di dalam bangunan sendiri yang terlihat adalah adanya cctv di bagian pintu masuk bangunan yakni di ruang kunjungan yang dipantau langsung oleh petugas keamanan lapas. Untuk keamanan di sel dipasang pintu baja tebal yang hanya dapat dibuka dari luar oleh petugas. Untuk blok WBP perempuan kasus narkotika, pintu baja berada di setiap selnya, sedangkan untuk blok WBP perempuan kasus kriminal, pintu baja diletakkan di satu blok (blok C1-C4).
Gambar 3.13 Perletakkan Pintu Pengaman di Blok Hunian Narkotika Lapas Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta
Gambar 3.14 Perletakkan Pintu Pengaman di Blok Hunian Kriminal Lapas Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta
56
Bukaan di setiap ruangan sel yaitu berupa jendela terbuka yang terletak 2,5 meter dari lantai, yang diberi tralis besi. Hal ini dikarenakan bangunan ini merupakan bangunan jaman kolonial Belanda, di mana saat itu masih diberlakukan sistem pemenjaraan dengan kondisi bangunan yang dikondisikan seburuk mungkin sehingga tidak layak untuk ditinggali manusia.
Gambar 3.15 Pagar Pintu Masuk Bangunan Lapas Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta (Sumber: http://www.news.eloramedia.net/2014/12/upt-berikanremisi-napi-jelang-natal.html)
57
BAB IV TINJAUAN SITE DAN ANALISIS TAPAK 5.1 Tinjauan Daerah Istimewa Yogyakarta
Gambar 4.1 Peta Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (Sumber: Analisis Google Earth, 2014) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di selatan Pulau Jawa dengan luas wilayah 3.185,8 km2 . DIY sendiri terdiri dari empat kabupaten dan satu kota yaitu, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul, dengan masing-masing wilayah memiliki kondisi fisik dan potensi alam yang berbeda. Adapun Propinsi DIY berbatasan dengan : -
Kabupaten Wonogiri di bagian tenggara,
-
Kabupaten Klaten di bagian timur laut,
-
Kabupaten Magelang di bagian barat laut,
-
Kabupaten Purworejo di bagian barat. 19
Jumlah penduduk DIY menurut Sensus Penduduk 2010 tercatat sebanyak 3.457.491 jiwa, dengan perbandingan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1.708.910 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 1.748.581 jiwa, serta sex ratio 20 sebesar 97,73.
19 20
Sumber : http://www.jogjaprov.go.id/ Sex Ratio menurut KBBI adalah perbandingan jumlah kelamin laki-laki dan perempuan.
58
Gambar 4.2 Tabel Jumlah Penduduk DIY Hasil Sensus Penduduk 2010 (Sumber: http://www.jogjaprov.go.id/ diakses pada tanggal 22 Desember 2014)
Dari tabel di atas diketahui bahwa persebaran penduduk terbanyak berada di Kabupaten Sleman, yang kedua berada di Kabupaten Bantul yang kemudian diikuti Kabupaten Gunungkidul dengan penduduk terbanyak nomor tiga, kemudian yang terakhir adalah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo.
Gambar 4.3 Persebaran Jumlah Penduduk DIY menurut Kabupaten/ Kota (%) (Sumber: http://www.jogjaprov.go.id/ diakses pada tanggal 22 Desember 2014)
Untuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) DIY dari tahun 2005 hingga tahun 2011 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 dan 2010 DIY menduduki peringkat keempat dengan IPM tertinggi nasional.
59
Gambar 4.4 Perkembangan IPM tahun 2005-2012 (Sumber: http://www.jogjaprov.go.id/ diakses pada tanggal 22 Desember 2014)
5.2 Analisis Site Terpilih Site yang dipilih merupakan sebuah lahan kosong yang berada di area dekat Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, yang terletak di JL. Kaliurang km 17, Pakem, Sleman. Lahan seluas ±9.300 m2 ini merupakan sebuah lahan milik Sultan Yogyakarta, yang memang sangat strategis karena terletak di daerah sub urban dengan suasana lereng gunung yang masih asri. Selain itu daerah yang memang berdekatan dengan Lapas narkotika dan Rumah Sakit Jiwa Grhasia ini menjadi salah satu pilihan karena letaknya yang secara jarak masih terjangkau serta memiliki akses yang mudah.
Gambar 4.5 Lokasi Site Terpilih (Sumber: Analisis Google Earth, 2014) 5.2.1
Analisis Sirkulasi Site berada pada jarak 300 meter dari jalan raya Kaliurang km 17 dan terletak di sebelah timur jalan. Sirkulasi utama kendaraan yaitu melalui jalan
60
gang yang ada di sebelah selatan Rumah Sakit jiwa Grhasia, dengan lebar jalan sekitar 5 meter.
Gambar 4.6 Sirkulasi Jalan di Sekitar Site (Sumber: Analisis Google Earth, 2014) Selain itu, akses utama lahan ini yaitu berada tepat di seberang Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA yang dipisahkan dengan jalan dua arah dengan lebar masing-masing 5 meter, dan di tengah jalan terdapat area hijau dengan pepohonan rindang setinggi 10 meter. Tidak terdapat akses jalan di sebelah utara karena wilayah tersebut merupakan area rumah sakit sehingga akses jalan tertutup.
Gambar 4.7 Akses Jalan Masuk dari Jalan Kaliurang
61
Gambar 4.8 Akses Jalan Dua Arah Menuju Site
Gambar 4.9 Akses Jalan yang Ditutup di Sebelah Utara
62
5.2.2
Analisis Bangunan Sekitar
Gambar 4.10 Batas-batas Site (Sumber: Analisis Google Earth, 2014)
Site terpilih terletak di daerah yang tidak terlalu padat, di mana di sekitarnya terdapat beberapa jenis bangunan seperti berbatasan dengan : -
Rumah Sakit Jiwa Grhasia di sebelah utara,
-
Bangunan pemerintahan dan permukiman warga di sebelah barat,
-
Lapas Narkotika Kelas IIA di sebelah timur, dan
-
Lahan kosong di sebelah selatan.
Gambar 4.11 Batas Sebelah Utara Site (Rumah Sakit Jiwa Grhasia)
Gambar 4.12 Batas Sebelah Timur Site (Lapas Narkotika Kelas IIA)
63
Gambar 4.13 Batas Sebelah Barat Site (Gedung Pemerintahan)
Gambar 4.14 Batas Sebelah Selatan Site (Lahan Kosong)
5.2.3
Analisis Pencapaian Karena letaknya di daerah suburban, maka site termasuk wilayah yang jauh dari pusat kota Yogyakarta. Namun, letaknya yang cukup strategis, yaitu hanya berjarak 300 meter dari Jalan Raya Kaliurang yang notabene memiliki akses yang mudah dari pusat kota, maka yang menjadi kendala hanyalah lama perjalanan yang cukup panjang apabila ditempuh dari pusat Kota Yogyakarta. Yaitu sekitar 30 menit dari kampus teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
5.2.4
Analisis Keamanan Untuk masalah keamanan dari site yang dipilih cukup aman. Letaknya yang dekat dengan Lapas Narkotika menjadikan wilayah ini selalu dipantau oleh penjaga. Yang menjadi perhatian apabila akan mendirikan bangunan Lapas Perempuan di tempat ini adalah bagaimana membatasi site dari lingkungan di luarnya, karena lokasi sitenya yang langsung berbatasan dengan permukiman warga.
64