BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Manajemen pemeliharaan suatu property diperlukan untuk memperpanjang siklus hidup dan mengurangi dampak kegagalan dari suatu kondisi yang buruk. Salah satu property public yang sangat vital bagi perkembangan sebuah daerah/negara yaitu jalan. Sebagai prasarana transportasi yang utama, jalan memegang peranan penting bagi kelancaran distribusi barang maupun jasa bagi perekonomian sebuah daerah. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan Pasal 5 ayat (1) dijelaskan bahwa jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Pemeliharaan jalan menjadi tanggung jawab Pemerintah sebagai penyedia layanan publik karena merupakan barang publik. Kewajiban pemeliharaan jalan oleh Pemerintah ditegaskan dalam UU No.22 Tahun 2009 bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memberikan dasar pembentukan forum lalu lintas jalan dan transportasi
untuk
mengawasi
pengadaan
peningkatan
layanan,
dengan
keanggotaan yang mencakup perwakilan dari masyarakat sipil, lembaga pemerintah
yang
berkepentingan,
dan
pengguna
jalan.
Penyelenggara
pemeliharaan jalan dapat dimintai pertanggungjawaban ketika terjadi kecelakaan terkait kondisi jalan yang buruk. Hal ini diharapkan pemeliharaan jalan yang lebih baik, namun penerapan tersebut selama ini masih sulit. 1
2
Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM) merupakan unit pemerintah yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan infrastruktur jalan dan jembatan di Indonesia. DJBM merupakan organisasi pemerintah yang tidak bersifat kompetitif mencari laba. Keberadaan organisasi ini mampu memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat sehingga teknik manajemen tersebut diarahkan pada menciptakan dan mengembangkan kegiatan yang efektif, efisien, dan saling mendukung. Dengan kata lain, manajemen di organisasi nirlaba tidak fokus pada mempertahankan, mengembangkan keberadaan organisasi tetapi diarahkan pada pendayagunaan agar memberi banyak manfaat kepada masyarakat luas tanpa menimbulkan benturan-benturan kepentingan antara pihak-pihak pengguna jasa (customer), dan penyedia (provider) (Kaplan dan Norton, 1996: 10). Hakikat penyelenggaraan jalan merupakan kebijakan ataupun tindakan langsung yang menyentuh masyarakat dengan tujuan untuk menyediakan akses bagi berbagai kegiatan masyarakat termasuk dunia usaha secara efisien (Dinarsanti, 2010). Untuk mencapai tujuan tersebut, maka seluruh unit yang terlibat di dalam organisasi harus memiliki kinerja yang berkualitas (Kaplan dan Norton, 1996: 7). Selain itu, tantangan akan penyelenggaraan jalan yang efektif, efisien dan tepat sasaran semakin besar. Kegiatan penyelenggaraan jalan merupakan suatu kesatuan proses dari pemograman, penganggaran, perencanaan, pembangunan, dan pemeliharaan jalan. Seluruh proses penyelenggaraan tersebut harus diawali dengan pemrograman dan penganggaran yang optimal, sehingga proses dapat berjalan efektif. Kinerja DJBM selama ini diukur berdasarkan kinerja keuangan dan
3
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (AKIP). Kinerja keuangan terukur dari besar penyerapan dana yang tersedia. Apabila penyerapan dana yang digunakan tinggi, maka kinerja keuangan dianggap baik, dan begitu pula dalam kondisi terbalik. Adapun laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) yang memuat tentang penilaian terhadap pencapaian tujuan dan sasaran strategi organisasi. LAKIP digunakan untuk menilai pencapaian setiap indikator kinerja dengan memberikan gambaran tentang keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran. Pengukuran kinerja tersebut mencakup: 1) kinerja kegiatan yang merupakan tingkat pencapaian target; dan 2) tingkat pencapaian sasaran instansi pemerintah yang merupakan tingkat pencapaian target dari masingmasing indikator sasaran yang telah diterapkan sebagaimana dituangkan dalam dokumen rencana kinerja. Pengukuran tingkat pencapaian sasaran didasarkan pada data hasil pengukuran kinerja kegiatan. Dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM), pengukuran kinerja hanya berdasarkan pada aspek input, output dan outcome yang berpedoman pada LAKIP. Pada kenyataannya, LAKIP sebagai panduan untuk mengukur kinerja suatu instansi, LAKIP dengan tiga indikator tersebut masih sangat lemah, karena ketiga indikator tersebut hanya melihat dari sisi anggaran dan realisasi anggaran (keuangan) pada setiap program kegiatan (Yulisman, 2006). Fenomena tersebut menimbulkan banyak keluhan dan pendapat dari masyarakat selaku sosial kontrol terhadap kinerja DJBM selama ini. Keluhan dan pendapat tersebut disebabkan oleh penggunaan indikator kinerja yang lemah di dalam penyusunan LAKIP sehingga
4
kinerja DJBM terkadang digambarkan berdasarkan prediksi dan persepsi dari pegawai yang menyusun LAKIP tersebut. Pengukuran kinerja instansi pemerintah dituntut lebih menyeluruh atau komprehensif yang tidak hanya meliputi perspektif financial saja, tetapi lebih luas yaitu pelanggan, proses internal dan pembelajaran serta pertumbuhan atau yang lebih dikenal dengan konsep Balanced Scorecard. Balanced Scorecard tidak hanya mengukur kinerja dari perspektif keuangan, namun juga memuat faktorfaktor pendukung kinerja keuangan. Balanced scorecard memberi kemudahan para eksekutif dalam mengukur seberapa besar kinerja untuk menciptakan nilai bagi stakeholder saat ini dan yang akan datang, membangun dan meningkatkan kapabilitas internal, serta sistem dan prosedur yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja organisasi (Kaplan dan Norton, 1996: 9-10). Isutami (2010) menyatakan bahwa sebagai instrumen pertanggungjawaban keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi, LAKIP belum dapat menggambarkan kinerja organisasi keseluruhan secara nyata. Hal ini dikarenakan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) belum mempunyai alat ukur kinerja intangible, tetapi masih berisi ukuran kinerja yang bersifat program berbasis anggaran. Untuk itu, LAKIP sulit untuk mengukur sejauh mana keberhasilan pencapaian visi organisasi. Secara umum, rumus yang digunakan dalam pengukuran kinerja SAKIP adalah rasio antara rencana dan realisasi yang digunakan sebagai ukuran kinerja organisasi instansi pemerintah. SAKIP belum memberikan aktiva tak berwujud (intangible assets), contoh: keterampilan (skill) karyawan yang mampu menciptakan pelayanan sesuai keinginan konsumen dan
5
tepat waktu, kepuasan karyawan yang produktif, serta pengembangan dan penilaian karyawan yang mempengaruhi penghasilan karyawan sehingga ada motivasi untuk bekerja keras. Balanced Scorecard (BSC) sebagai alat komunikasi yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan rencana-rencana strategis kepada semua anggota organisasi. Kaplan dan Norton (1996: 8) mengatakan bahwa metode BSC melengkapi manajemen dengan kerangka kerja yang dapat mentranslasikan visi dan strategi kedalam suatu sistem pengukuran kinerja yang terintegrasi yaitu sistem pengukuran kinerja yang terdiri dari 4 (empat) perspektif, yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Jika visi dan strategi dapat dinyatakan dalam bentuk tujuan strategis, ukuran-ukuran dan target yang jelas, yang kemudian dikomunikasikan kepada setiap anggota organisasi, diharapkan setiap anggota organisasi dapat mengerti dan mengimplementasikan agar visi dan strategi organisasi tercapai. Pengukuran kinerja Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM) yang hanya menekankan pada ukuran keuangan semata mempunyai kelemahan. Ukuran keuangan mengandalkan informasi keuangan selama periode tertentu yang menyebabkan fokus perhatian pimpinan tertuju pada perbaikan kinerja jangka pendek. Penekanan yang berlebihan pada kinerja jangka pendek mendorong pimpinan
untuk
mengambil
tindakan
jangka
pendek,
sehingga
dapat
membahayakan kinerja DJBM dalam jangka panjang. Balanced Scorecard memperluas ukuran kinerja yang digunakan oleh pimpinan DJBM dengan memperkenalkan model pengukuran kinerja dari empat
6
perspektif pelanggan, keuangan, proses internal serta pembelajaran dan pertumbuhan. Balanced Scorecard merupakan suatu bentuk pengukuran kinerja yang komprehensif dengan menyeimbangkan ukuran keuangan (financial measures) dan nonkeuangan (non financial measures), ukuran hasil (outcome measures), dan faktor-faktor pendorong kinerja (driver measures), ukuran internal (internal measures) dan ukuran eksternal (eksternal measures).
1.2
Keaslian Penelitian
Hiep dan Tsunokawa (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan sistemik untuk mendapatkan strategi pemeliharaan yang optimal untuk sistem pemeliharaan jalan aspal dengan menggunakan pendekatan Highway Development and Management System (HDM-4) dari World Bank, yang dikombinasikan dengan metode gradien yang diperkenalkan oleh Hiep dan Tsunokawa (2005). Data dan analisis diambil dari kondisi parameter yang sensitif berdasarkan HDM-4 di Vietnam dan dikombinasikan dengan kondisi lokal dengan penerapan dasar. Temuan yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat membantu dinas yang terkait untuk menerapkan kegiatan pemeliharaan yang tepat pada waktu yang tepat, sehingga hasil yang diharapkan ada penghematan biaya transportasi masyarakat. Asano (2005) melakukan penelitian tentang evaluasi program pemeliharaan jalan dengan menggunakan logic model yang merupakan sebuah studi kasus kebijakan non-studded-tire di Hokkaido, Jepang. Penelitian ini mengevaluasi kebijakan tentang non-studded-tire yang dibuat di tahun 1990 oleh pemerintah Jepang untuk menanggulangi masalah polusi debu yang ditimbulkan oleh
7
studded-tire. Kebijakan ini kemudian dianalisa dengan menggunakan logic model yang terdiri dari empat tahap yaitu: 1) tujuan dan sasaran; 2) input/masukan dan kegiatan; 3) output/keluaran; dan 4) outcome/hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan ini memberikan dampak positif berupa berkurangan polusi debu, namun memberikan efek negatif yaitu kecelakaan di musim dingin semakin meningkat. Dampak negatif tersebut terkait pada pola lalu lintas musim dingin yang semakin buruk, serta penggunaan zat kimia untuk mencairkan es makin meningkat. Aurora (2010) melakukan penelitian berjudul “Penerapan BSC sebagai salah Tolok Ukur dalam Pengukuran Kinerja: Studi Kasus pada RSUD Tugurejo Semarang”, dan menyimpulkan bahwa Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang sangat cocok untuk menerapkan sistem pengukuran kinerja dengan metode BSC karena BSC dapat memberikan gambaran yang telah terstrukur dan menyeluruh dibandingkan dengan sistem tradisional yang masih digunakan sampai saat ini. Susi (2006) meneliti pengukuran kinerja dengan pendekatan Balanced Scorecard (Studi Kasus pada Perwakilan II BPK di Palembang) dan memberi kesimpulan hasil pengukuran kinerja menggunakan Balanced Scorecard. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara visi, misi, tujuan, strategi, dan sasaran-sasaran strategi. Keterhubungan tersebut menjanjikan kemampuan respon dengan cepat setiap perubahan lingkungan. Sasaran strategi dengan memperhatikan aspek keuangan dan nonkeuangan, serta aspek internal dan eksternal. Ukuran kinerja Perwakilan II BPK sudah mempunyai hubungan
8
sebab akibat di antara sasaran strategi Perwakilan II tersebut. Ukuran kinerja yang digunakan untuk menilai kinerja Perwakilan II sudah komprehensif, namun belum menunjukkan hubungan sebab akibat di antara ukuran kinerja tersebut. Sasaran strategiini diharapkan dapat menghasilkan kinerja pelanggan berupa pengelolaan dan tanggung jawab daerah yang lebih baik. Bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, maka perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang lain adalah lokasi, waktu, tugas pokok dan fungsi permasalahan instansi yang menjadi proyek penelitian.
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian 1.
Memperoleh gambaran pengukuran kinerja Direktorat Jenderal Bina Marga saat ini dan kemungkinan mengukur kinerja dengan Balanced Scorecard,
2.
Merancang pengukuran kinerja pemeliharaan jalan di lingkungan Direktorat Jenderal Bina Marga dengan menggunakan konsep Balanced Scorecard.
1.3.2 Manfaat penelitian 1.
memberikan masukan bagi Direktorat Jenderal Bina Marga tentang alternatif pengukuran kinerja pemeliharaan jalan sebagai salah satu upaya peningkatan kinerja yang berkelanjutan,
2.
sebagai salah satu acuan dan referensi bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian dengan topik tentang penerapan Balanced Scorecard sebagai alternatif pengukuran kinerja organisasi sektor publik.
9
1.4
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini meliputi. Bab I Pengantar, yang terdiri atas: Latar Belakang, Keaslian Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan Sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis yang terdiri atas: Tinjuan Pustaka, Landasan Teori dan Alat Analisis. Bab III analisis Data meliputi: Cara Penelitian dan Hasil analisis Data dan Pembahasan. dan Bab IV kesimpulan meliputi: Kesimpulan, saran, dan keterbatasan penelitian.