BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi seperti sekarang ini, semakin banyak petani yang mengelola lahannya untuk mencapai profit maksimum. Padahal pertanian bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Selain orentasi ekonomi, orientasi lain seperti ekologis dan sosial juga perlu diperhatikan. Hal ini bertujuan agar lahan pertanian yang kita usahakan dapat mendatangkan keuntungan maksimum, namun di sisi lain tidak merusak kelestarian alam. Oleh karena itu, perlu diusahakan sistem pertanian yang mampu memenuhi kebutuhan manusia sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam yaitu melalui sistem pertanian berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan (Sustainable agriculture) adalah pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negative terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yng berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan (Kasumbogo, 1997). Secara garis besar ada tiga kriteria sistem pertanian berkelanjutan, yakni: Keberlanjutan secara ekonomi,keberlanjutan secara ekologis, dan keberlanjutan secara social budaya. Selain itu pertanian berlanjut meliputi empat aspek penting yang saling berhubungan, aspek budidaya, aspek hama dan penyakit tanaman, aspek sumberdaya lahan, dan aspek sosial ekonomi.Keempat aspek tersebut sangat berpengaruh dalam keberlanjutan suatu pertanian. Dalam konteks tersebut maka perlu adanya pengenalan pengelolaan lahan yang terpadu untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap konsep pertanian berlanjut. 1.2 Tujuan Tujuan dari pembuatan laporan ini yaitu untuk memperoleh informasi mengenai aspek ekologi sosial dan ekonomi dari suatu lahan. Mengetahui tingkat populasi hama dan penyakit pada suatu lahan. Mengetahui tingkat biodiversitas tutupan lahan. Mengetahui pengaruh pengelolaan lahan pertanian terhadap kondisi hidrologi, dan serapan karbon. Serta Mengetahui kondisi ekonomi dan soasial masyarakat sekitar. 1.3 Manfaat Adapun manfaat penulisan laporan ini yaitu menentukan berlanjut atau tidaknya suatu pertanian berdasarkan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Dapat
1
menyimpulkan kondisi biodiversitas, kualitas air dan karbon di lahan tersebut. Serta dapat mengetahui karakteristik suatu landskap
2
BAB II METODOLOGI 2.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Tempat pelakasanaan fieldtrip pertanian berlanjut dilaksanakan di Desa Tulungrejo, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang. Pelaksanaan fieldtrip dilaksanakan pada hari Sabtu, 15 Oktober 2016. 2.2 Metode Pelaksanaan 2.2.1 Pemahaman Karakteristik Lanskap Alat dan bahan 1. 2. 3. 4.
Klinometer Alat tulis Kamera dokumentasi Kompas
: Untuk mengukur sudut kemiringan lahan : Untuk mencatat hasil pengamtan : Untuk mendokumentasikan pengamatan : Untuk menentukan arah
Menentukan lokasi yang representatif sehingga dapat melihat lansekap secara keseluruhan
Mengamati secara keseluruhan berbagai bentuk penggunaan lahan dan didokumentasikan
Melakukan pengamatan secara keseluruhan terhadap berbagai tingkat kemiringan lereng yang ada serta tingkat tutupan kanopi dan seresahnya
Mengidentifikasi jenis vegetasi yang ada
Mengisikan hasil pada form yang sudah disediakan
3.2.2 Pengukuran Kualitas Air Alat dan Bahan 1. Tabung Transparan 2. Secchi Disc 3. Pita meter
: Untuk tempat sampel air : Untuk mengamati kejernihan air : Untuk mengetahui kedalaman Secchi Disc
3
Cara Kerja
Masukkan contoh air ke dalam tabung/botol air mineral sampai ketinggian ± 40 cm
Aduk air secara merata
Baca berapa cm kedalaman Secchi disc
Masukkan Secchi disc ke dalam tabung yang berisi air serara perlahan dan amati secara tegak lurus sampai warna hitam-putih pada Secchi disc tidak dapat dibedakan 2.2.3 Pengkuran Biodiversitas 2.2.3.1 Aspek Agronomi Alat dan bahan 1. 2. 3. 4. 5.
Frame berukuran 50cm x 50 cm Kamera Kantong plastik Alkohol 75% Alat tulis
: Untuk plot pengamatan : Untuk mendokumentasikan : Untuk wadah spesimen : Untuk mengawetkan spesimen : Untuk mencatat hasil pengamatan
4
2.2.3.1.1 Biodiversitas tanaman Membuat jalur transek pada hamparan yang akan dianalaisis
Menentukan titik pada jalur transek yang mewakili masing-masing tutupan lahan dalam hamparan lansekap
Mencatat karakteristik tanaman budidaya di setiap tutupan lahan yang ditentukan
Catat hasil pengamatan pada form yang disediakan
5
2.2.3.1.2 Keragaman dan analisa vegetasi
Menentukan 3 titik pengambilan sampel pada masing-masing tutupan lahan secara acak pada petak kuadrat ukuran 1m x 1 m
Mendokumentasikan petak dengan kamera sehingga seluruh gulma dalam petak dapat terlihat jelas
Mengidentifikasi gulma yang terdapat pada petak
Bila terdapat gulma yang tidak dikenal, gunakan pisau untuk memotong gulma sebagai sampel, lalu dimasukkan ke dalam plastik
Mengidentifikasi sampel gulma dengan membandingkan dengan buku atau internet
Catat hasil dalam form pengamatan
2.2.3.2 Aspek Hama Penyakit 2.2.3.2.1 Biodiversitas Arthropoda Alat dan Bahan 1. 2. 3. 4. 5.
Yellow Trap Sweepnet Kantong Plastik Alkohol 75% Alat tulis
: Untuk jebakan serangga terbang : Untuk menangkap serangga : Untuk wadah serangga : Untuk megawetkan serangga : Untuk memncatat
6
a. Cara kerja yellowtrap
Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan
Mengambil serangga yang terdapat pada yellowtrap yang telah dipasang sebelumnya
Memasukkannya pada plastik
Melakukan identifikasi, peranan dan jumlah serangga, dokumentasikan
7
b. Cara kerja sweep net
Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan
Menggunakan sweep net secara zig-zag dan langsung tutup agar serangga tidak lepas
Ambil serangga yang telah ditemukan dalam sweep net dan masukkan ke dalam plastik klip
Masukkan kapas yang telah di beri alkohol ke dalam plastik klip
Lakukan identifikasi, peranan dan jumlah serangga yang ditemukan
Melakukan identifikasi
8
2.2.3.2.1 Biodiversitas penyakit
Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
Amati gejala dan tanda pada tanaman yang terserang penyakit
Ambilah daun tanaman yang memiliki gejala dan tanda indikasi terserang penyakit
Masukkan ke dalam plastik klip
Lakukan identifikasi dokumentasi
2.2.4 Pendugaan cadangan carbon Alat : 1. Modul 2. Alat tulis
: Untuk pedoman pengisian data : Untuk menulis data
9
Cara kerja : Menentukan jenis penggunaan pada titik yang diamati
Menentukan kerapatan pohon pada setiap jenis penggunaan lahan
Menentukan cadangan carbon berdasarkan tabel cadangan carbon pada modul
Menuliskan hasilnya pada modul
2.2.5 Identifikasi keberlanjutan lahan dari Aspek Sosial Ekonomi Alat : 1. Modul 2. Alat tulis Cara kerja :
: Untuk pedoman pengisian data : Untuk menulis data
10
Mewawancarai petani pada plot pengamatan
Mencatat hasil wawancara
Mengidentifikasi keberlanjutan lahan berdasarkan wawancara
Hasil
11
BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1 Kondisi umum wilayah Kegiatan fieldtrip Pertanian Berlanjut dilaksanakan di Desa Tulungrejo Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang. Secara geografis Kecamatan Ngantang merupakan salah satu dari 33 (tiga puluh tiga) Kecamatan di Kabupaten Malang, berjarak ± 55 KM dari Pusat Pemerintahan Kabupaten Malang, terletak di antara 7°51'23,1"BT dan 112°22'09,9"LS, dengan ketinggian 600-1.400 m dari permukaan laut dan curah hujan rata 2000 – 3000 mm/tahun. Adapun luas wilayah Kecamatan Ngantang adalah 15.747 ha, yang terbagi menjadi beberapa penggunaan lahan yaitu sawah sebesar 1,645 ha, tegal sebesar 1.067 ha, pekarangan sebesar 7,187 ha, permukiman sebesar 4,857 ha dan lain-lain sebesar 0.991 ha. Secara administratif, Desa Tulungrejo terletak di Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang dengan perbatasan wilayah yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Hutan Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang. Di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Waturejo. Di sisi Selatan berbatasan dengan Desa Sumberagung/Kaumrejo Kecamatan Ngantang, sedangkan di sisi Timur berbatasan dengan Hutan Kecamatan Pujon. Desa Tulungrejo sendiri memiliki luas wilayah 779,699 ha yang terbagi ke dalam beberapa penggunaan, yang dapat dikelompokkan seperti untuk fasilitas umum, pemukiman, pertanian, perkebunan, kegiatan ekonomi dan lain-lain. Luas lahan yang diperuntukkan untuk pemukiman adalah 46,859 ha. Luas lahan yang digunakan untuk Pertanian adalah 98,620 ha (Pemkab Malang, 2014). 3.1.2. Indikator Pertanian Berlanjut dari Aspek Biofisik 3.1.2.1. Kualitas Air Tabel 1. Pengamatan Kualitas Air Ulangan Lokasi Pengambilan Sampel
Plot 1
Plot 2
Parameter
Satuan
DO Kekeruhan Suhu pH Suhu Lab DO
cm °C °C -
1
2
3
0,02 40 23 6,57 29,10 0,02
0,02 40 22,5 6,47 29,23 0,02
0,02 40 22,5 6,31 29,44 0,02
Kelas (PP no.82 tahun 2001) IV
I-IV IV
12
Plot 3
Plot 4
Kekeruhan Suhu pH Suhu Lab DO Kekeruhan Suhu pH Suhu Lab DO Kekeruhan Suhu pH Suhu Lab
cm °C °C cm °C °C cm °C °C
40 23 6,31 29,13 0,02 40 20 6,30 28,49 0,02 40 26 6,22 28,80
40 21 6,28 28,68 0,02 40 24 6,37 28,30 0,02 40 26 6,16 29,66
40 22,5 6,26 28,64 0,02 40 23 6,31 28,21 0,02 40 25 6,15 29,59
I-IV IV
I-IV IV
I-IV
Pendugaan kualitas air dilakukan dengan pengujian tingkat kekeruhan, suhu dan pH. Pendugaan ini berfungsi untuk mengetahui tingkat kelayakan air untuk pengelolaan lahan pada skala lanskap dengan batasan DAS. Kualitas air menggambarkan kesesuaian air untuk penggunaan tertentu, misalnya air minum, irigasi, perikanan dan sebagainya. Kualitas air dapat diketahui dengan melakukan pengujian tertentu terhadap air tersebut. Menurut Gunawan (2004), Pengujian yang biasa dilakukan adalah uji kimia, fisik, biologi, atau uji kenampakan seperti bau atau warna. Menurut Gunawan (2004), pengukuran kekeruhan digunakan untuk menghitung banyaknya bahan terlarut dalam air misalnya lumpur dll dengan menggunakan alat secchi disc, Apabila kondisi air makin keruh maka cahaya matahari yang masuk kedalam air makin berkurang hal ini mempengaruhi proses fotosintesis tumbuhan air, hal ini menyebabkan suplai oksigen dari hasil fotosintesis tanaman air menjadi berkurang. Makin dangkal batas penglihatan maka makin keruh berarti kadar oksigen terlarutnya sedikit. Mengukur kekeruhan berarti menghitung banyaknya bahan-bahan terlarut dalam air misalnya lumpur, alga, dan kotoran lainnya. Pada plot 1,2,3 dan 4 di dapatkan hasil DO (Dissolvid oxygen) sebesar 0,02 mg/L setiap ulangan. Pada pengamatan kekeruhan pada plot 1,2,3 dan 4 di dapatkan hasil 40 cm setiap ulangan. Maka dengan demikian air pada daerah pengamatan tergolong jernih. Suhu rata2 air pada lahan plot 1 sebesar 22.6 °C, plot 2 sebesar 22.2 °C, plot 3 sebesar 22.3 °C, dan pada plot 4 sebesar 25.6 °C. Sedangkan pada suhu rata-rata air di laboratorium pada plot 1 sebesar 29.2 °C, plot 2 sebesar 28.8 °C, plot 3 sebesar 28.3 °C, dan pada plot 4 sebesar 29.3 °C.
13
Menurut Soemitrat (2002), Suhu air merupakan faktor penting dalam keberlangsungan proses biologi dan kimia yang terjadi di dalam air. Tinggi rendahnya suhu berpengaruh pada kandungan oksigen didalam air, proses fotosintesis tumbuhan air, laju metabolisme organisme air dan kepekaan organism terhadap polusi, parasit, dan penyakit. Kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah antara 18-300C. Berdasarkan hal tersebut, maka suhu perairan dilokasi penelitian sangat mendukung kehidupan organisme yang hidup di dalamnya. Pada hasil pH yang di dapatkan dari hasil analisis laboratorium yaitu pada pH rata-rata plot 1 sebesar 6.45, plot 2 sebesar 6.28, plot 3 sebesar 6.32, dan plot 4 sebesar 6.17. pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena ia mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Kadar pH berpengaruh terhadap biota air yang hidup didalamnya, pH yang terlalu masam ataupun basa akan mengakibatkan matinya makhluk hidup, pH masam < 7, pH netral = 7, pH basa > 7. pH optimum bagi makhluk hidup pada kisaran 6,5 – 8,2. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat dikategorikan ph optimum untuk pertumbuhan makhluk hidup sebab masih tergolong netral. Menurut Soemitrat (2002), Kadar pH dapat dipengaruhi oleh faktor alami dan faktor manusia. Pengendapan mineral tanah dan zat-zat asam dari air hujan merupakan faktor alami siklus kadar asam. Faktor pendorong terjadinya tingkat pencemaran terbesar yaitu aktivitas manusia sehari-hari. Pembuangan limbah industry baik kecil maupun besar menjadi pemicu besar pencemaran air selain itu penggunaan pestisida dalam lingkup pertanian juga mendukung penbcemaran air pada sungai. Zat-zat asam ataupun basa akan mengikat kadar oksigen dalam air sehingga menyebabkan tingkat pencemaran air meningkat. Dari data hasil DO, kualitas air pada daerah pengamatan pada plot 1, plot 2, plot 3, dan plot 4 termasuk kelas IV. Sedangkan pH, kualitas air pada daerah pengamatan pada plot 1, plot 2, plot 3, dan plot 4 termasuk kelas I-Iv hal itu berdasarkan pada kriteria yang diatur oleh PP no.82 tahun 2001. Pengklasifikasian kelas kualitas air tersebut hanya berdasarkan data DO dan pH sehingga tidak dapat menentukan kelas secara spesifik sebab range nilai pH dari hasil fieldtrip adalah nilai pH paling rendah yaitu 6.15 pada plot 4 ulangan 3 dan ph paling tinggi yaitu 6.57 pada plot 1 ulangan 1. Sedangkan klasifikasi kualitas air berdasarkan PP no 82. Tahun 2001 yaitu pH 6-9 masuk pada kelas I-III. Menurut Hefni (2003), DO merupakan oksigen yang ada didalam air yang berasal dari oksigen di udara dan hasil fotosintesis tumbuhan air. Oksigen terlarut sangat dibutuhkan tumbuhan dan hewan air untuk hidup Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar.
14
3.1.2.2. Biodiversitas Tanaman a. Biodiversitas Tanaman Pangan dan Tahunan Tabel 2. Pengamatan Biodiversitas Titik pengambilan
Semusim/
Informasi tutupan lahan & tanaman dalam lanskap
Tahunan/
Luas
Jarak tanam
Populasi
Sebaran
sampel tutupan lahan
Campuran
Plot 1
Pinus
5x5m
60
Merata
(Hutan
Pisang
3,5 x 3,5 m
72
Merata
-
357
Tidak Merata
Kopi
1,5 x 1,5 m
28
Kopi
2mx2m
2500
Merata
Pisang
10 m
1000
Tidak Merata
12 m
833
Tidak Merata
Lamtoro
21 m
476
Tidak Merata
Waru
50 m
200
Tidak Merata
80 cm x 32 cm
2700
Merata
30 cm x 30 cm
3000
Merata
25
Tidak Merata
produksi)
Rumput
1 ha
Gajah
Plot 2 (Agroforestry)
Kelapa
Plot 3 (Tanaman semusim)
1 ha
Tanaman
700
jagung
m2
Rumput
2500
Gajah
m2
Kelapa
5000 m2
15
Pisang
5000
50
Tidak Merata
167
Merata
m2 Plot 4 (tanaman
Tanaman
0,25
jagung
ha
30 cm x 50 cm
semusim + permukiman) Menurut Djamaluddin (2010), Biodiversitas (kenaekaragaman hayati) memegang peranan penting dalam suatu ekosistem seperti dalam proses-proses ekologi seperti pengendalian hama, penyerbukan, penentu kesuburan tanah, penyedia sumber daya air serta meningkatkan kendungan nutrien dalam tanah. Suatu kegiatan pertanian dapat berjalan dengan baik sampai dengan proses produksinya, jika didukung oleh faktor ketersediaan biodiversitas di dalamnya. Biodiversitas disediakan oleh alam dan keberadaannya dapat dipengaruhi oleh tindakan-tindakan manusia dalam mengolah lahan pertanian. Biodiversitas secara umum dapat diartikan sebagai keanekaragaman hayati atau sumber daya hayati termasuk di dalamnya adalah flora, fauna maupun mikroorganisme. Dengan adanya komponen tersebut maka akan terbentuk suatu interaksi sesuai dengan prinsip keseimbangan ekologi sehingga servis ekosistem pada lahan pertanian dapat berlangsung seacara maksimal. Berdasarkan data pengamatan diatas dapat diketahui bahwa pada plot 1 dengan penggunaan lahan hutan produksi dengan luas 1 ha, pada tanaman pinus jarak tanamnya 5 m x 5 m, dengan populasi 60 secara merata. Tanaman pisang 3,5 m x 3,5 m dengan populasi 72 sebaran merata. Rumput gajah dengan populasi 357 sebaran tidak merata. Tanaman kopi dengan jarak tanam 1,5 m x 1,5 m, jumlah populasi sebanyak 28 sebaran merata. Pada plot 2 dengan penggunaan lahan agroforestri dengan luas 1 ha, terdapat tanaman kopi jarak tanamnya 2 m x 2m dengan populasi 2500 sebaran merata. Pisang dengan jarak tanamn 10 m, memiliki populasi 1000 sebaran tidak merata. Pohon kelapa jarak tanamnya 12 m dengan populasi 833 sebaran tidak merata. Lamtoro jarak tanamnya 21 m dengan
16
populasi 476 sebaran tidak merata. Dan pohon waru dengan jarak tanam 50 m memiliki jumlah populasi 200 sebaran tidak merata. Pada plot 3 dengan penggunaan lahan tanaman semusim dengan luas 700 m2 untuk tanaman jagung denga jarak tanam 80 cm x 30 cm, memiliki populasi 2700 sebaran merata. Pada tanaman rumput gajah dengan luasan 2500 m, jarak tanamnya 30 cm x 30 cm, dengan populasi 3000 secara merata. Tanaman kelapa dengan luasan 5000 m2 memiliki populasi 25 sebaran tidak merata. Tanaman pisang luasan 5000 m2 memiliki populasi 50 sebaran tidak merata. Pada plot 4 dengan penggunaa tanaman musiman + pemukiman hanya terdapat tanaman jagung dengan luas lahan 0,25 ha memiliki jarak tanam 30 cm x 50 cm dengan jumlah populasi 167 sebaran secara merata. Dari keempat plot, yaitu plot 1 plot 2 plot 3 dan plot 4, biodiversitas yang bernilai ekonomi paling tinggi adalah pada plot 2 sebab pada plot 2 dengan penggunaan lahan agroforestry. Pada lahan agroforestry tersebut bermacammacam biodiversitas yang bernilai ekonomi tinggi seperti kopi, kelapa, dan pisang. Berbeda dengan plot 1 yang digunakan sebagai lahan hutan produksi. Di plot 1, hanya didominasi oleh satu jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi yaitu tanaman pinus. Namun, pada plot 1 biodiversitas alami sangat tinggi dibandingkan plot-plot yang lain. Untuk biodiversitas yang paling rendah adalah di plot 4 sebab hanya ada tanaman budidaya yaitu jagung. b. Analisis Vegetasi Gulma Tabel 3. Perhitungan Analisa Vegetasi Gulma Plot
lokasi
Koefisien
Indeks
komunitas (c)
keragaman (H’)
Indeks dominansi
1
Hutan Alami
16,85 %
1,356
0,264
2
Agroforestry
10,10%
1,708
0,221
3
Tanaman
1,185
0,343
1,551
0,218
Semusim 4
Musiman + Pemukiman
25,26%
17,65%
17
SDR merupakan nilai rata-rata dari sejumlah parameter yang diamati dalam analisis vegetasi. Penetapan jenis gulma dominan dapat menggunakan analisis Summed Diminance Ratio (SDR). Untuk pengamatan gulma berdasarkan hasil perhitungan SDR, pada plot 1 penggunaan lahan hutan dengan spesies gulma daun salam sebesar 29.03%, bandotan 32.53%, pegagan 17.38% dan tanaman X 21.07%. Pad plot 2 penggunaan lahan agroforestri dengan spesies gulma rumput teki SDR sebesar 15%, legetan 10%, rumput gajah mini 18%, tapak liman 38%, setawar 6%, bandotan 4%, dan glentangan 8%. Pada plot 3 perhitungan SDR yang di dapatkan dengan penggunaan lahan tanaman semusim dengan spesies gulma yaitu krokot 11.40%, rumput belulang 43.21%, daun salam kecil 8.35%, dan rumput merak 37.03%. pada plot 4 penggunaan lahan tanaman semusim dan permukiman di dapatkan hasil perhitungan SDR dengan spesies gulma krokot 11.15%, rumput belulang 42.22%, aur-aur 25.11%, bandotan 3.8%, dan tanaman X 3.37%. SDR yang mendominasi terdapat di plot 3 dengan spesies rumput belulang yaitu 43.21%, dan yang tidak mendominasi yaitu pada plot 4 dengan spesies gulma bandotan sebesar 3.8%. Menurut Wahyudi (2008), dalam suatu komunitas gulma seringkali dijumpai ada beberapa jenis yang nilai SDR nya cukup besar. Dengan demikian, tidak ada satu jenis gulma yang dominan, melainkan beberapa jenis yang dominan. Beberapa jenis tersebut harus dipertimbangkan dalam perencanaan pengendalian. Menurut Barus (2003), Gulma menimbulkan kerugian-kerugian karena mengadakan persaingan dengan tanaman pokok, mengotori kualitas produksi pertanian, menimbulkan allelopathy, mengganggu kelancaran pekerjaan para petani, sebagai perantara atau sumber hama dan penyakit, dengan Adanya persaingan gulma dapat mengurangi kemampuan tanaman untuk berproduksi. Persaingan atau kompetisi antara gulma dan tanaman yang kita usahakan di dalam menyerap unsur-unsur hara dan air dari dalam tanah, dan penerimaan cahaya matahari untuk proses fotosintesis, menimbulkan kerugian-kerugian dalam produksi baik kualitas dan kuantitas.
18
Koefisien komunitas (c) 30.00% 25.26% 25.00% 20.00%
17.65%
16.85%
15.00% 10.10% 10.00% 5.00% 0.00% Hutan Alami
Agroforestry
Tanaman Semusim
Musiman + Pemukiman
1
2
3
4
Gambar 1. Koefisien komunitas (c) Nilai koefisien komunitas atau indeks kesamaan suatu jenis gulma merupakan nilai yang menunjukkan homogenitas komunitas gulma pada lokasi yang berbeda. Nilai ini digunakan untuk menentukan cara pengendalian. Berdasarkan grafik dapat dilihat koefisien komunitas yang paling tinggi ada di tanaman semusim pada plot 3 dengan nilai sebesar 25,26%. Menurut Nasution (1986), nilai C < 75%, artinya indeks komunitas atau indeks kesamaan gulma antar lokasi rendah atau tidak homogen. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas gulma pada seriap lokasi memiliki komposisi yang tidak sama sehingga pengendalian gulma untuk setiap lokasi juga tidak sama.
Indeks keragaman (H’) 1.8 1.6 1.4
1.708 1.551 1.356 1.185
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 Hutan Alami
Agroforestry
Tanaman Semusim
Musiman + Pemukiman
1
2
3
4
Gambar 2. Indeks keragaman (H’)
19
Berdasarkan hasil perhitungan indeks keragaman shonnon-weiner (H’) dapat diketahui nilai yang paling besar pada lahan agroforestry yaitu sebesar 1,708. Nilai indeks keragaman 1,0 < H’ < 3,322 keanegaraman rendah. Menurut Soegianto (1994), suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan jenis yang sama atau hampir sama. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit jenis dan jika hanya sedikit jenis yang dominan maka keanekaragaman jenisnya rendah.
Indeks dominansi 0.4 0.343
0.35 0.3
0.264
0.25
0.221
0.218
0.2 0.15 0.1 0.05 0 Hutan Alami
Agroforestry
Tanaman Semusim
Musiman + Pemukiman
1
2
3
4
Gambar 3. Indeks dominan Berdasarkan grafik dominansi setiap lokasi, didapatkan hasil yang paling tinggi yaitu pada lahan tanaman semusim dengan nilai sebesar 0,343. Odum (1993) menyatakan bahwa kriteria dominansi yaitu Jika nilai C mendekati 0 (< 0.5), maka tidak ada spesies yang mendominasi. Jika nilai C mendekati 1 (≥ 0.5), maka ada spesies yang mendominasi.
20
3.1.2.3. Biodiversitas Hama Penyakit Tabel 4. Biodiversitas Antropodha Lokasi pengambilan sampel Plot 1
Nama
Peran
Nama ilmiah
Jumlah
Laba-laba
Lycosa sp
1
MA
Lalat Buah
Drosophila
34
SL
18
SL
3
SL
1
SL
Lokal
(H/MA/SL)
melanogaster Meigen (Diptera:Dros ophilidae) Kutu Kebul
Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera:Al eyrodidae)
Jangkrik
Gryllus asimilis Fabricius (Orthoptera:G ryllidae)
Kupu-kupu
Appias libythea Fabricius (Lepidoptera: Pieridae)
21
Ulat Jengkal
Chrysodeixis
1
H
1
SL
H
chalcites Esper (Lepidoptera: Noctuidae) Ngengat
Amata huebneri Boisduval (Lepidoptera: Erebidae)
Kumbang/kepik
Coccinela sp
1
Kepik
Nezara sp
8
Belalng Hijau
Oxya
1
SL
chinensis Thunberg (Orthoptera:A crididae)
22
Plot 2
Laba-laba bermata
Lynx Spiders
tajam
Latreille
10
MA
(Araneae: Oxyopidae)
Semut rangrang
Iridomyrmex
100
MA
Laba-laba Pembuat
Orb web
7
MA
jaring
spinning spiders
Laba-laba kepiting
Crab Spiders
10
MA
Kepik leher
Assassin bugs
6
MA
Lalat apung
Hover flies
9
H
23
Plot 3
Lalat buas
Robber flies
11
H
Lalat tachinid
Tachinid flies
9
H
Belalang
Ordo
1
H
2
MA
2
MA
2
H
orthoptera
Kumbang spot M
Menochilus sexmaculatus Fabricius (Coleoptera: minochilas)
Belalang
Oxya chinensis Thunberg (Orthoptera:A crididae)
Lalat
Ordo diptera
24
Capung
Anax junius
1
SL
Drury (Odonata: aeshnidae) Kutu Daun
Aphid sp
1
SL
Belalang
Locusta sp
1
SL
Laba-laba
Ordo Araneae
3
MA
Ngengat
Ordo
1
SL
1
SL
2
MA
lepidoptera Boisduval (Lepidoptera: erebidae) Tawon hitam
Xylocopa latipes
Laba-laba
Lycosa sp
25
Kepik mata besar
Geocoris spp
1
MA
Kelabang
Scolopendra
1
SL
Araneidae
1
MA
Peregrinus
1
H
sp
Laba-laba sarang bundar
Wereng jagung
maidis
Plot 4
Lalat bibit
Atherigona sp
1
H
Bekicot
Achatina
1
H
fulica
26
Kumbang kubah
Menochilus
5
MA
Laba-laba kepiting
Thomisidae
1
MA
Laba-laba bermata
Oxyopidae
3
spot M
MA
tajam
Tabel 5. Persentase jumlah antropodha Titik Pengambilan Sampel Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Total
Jumlah Individu
Prosentase (%)
Hama
MA
SL
Total
Hama
MA
SL
1 37 3 3 44
9 127 4 12 152
58 0 5 3 66
68 164 12 18
1,5 22,6 25 16.67
13,22 77,4 33,3 66.66
85,28 0 41,7 16.67
27
Persentase Perbandingan Jenis Antropodha Antar Plot 85.28
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
77.4 66.66
41.7 33.3 25
22.6
16.6716.67
13.22 1.5
0
PLOT 1
PLOT 2 HAMA
SERANGGA LAIN
PLOT 3
PLOT 4
MUSUH ALAMI
Gambar 4. Persentase perbandingan jenis antropodha antar plot
Segitiga Fiktorial
Plot 1 Serangga Lain
Hama
Musuh Alami
28
Plot 2
Serangga Lain
Hama
Musuh Alami
Plot 3 Serangga Lain
Hama
Musuh Alami
29
Plot 4 Serangga Lain
Hama
Musuh Alami
Berdasarkan berbagai aspek pengamatan yang diamati dalam pertanian berlanjut salah satunya mementingkan aspek hama dan penyakit. Di alam banyak hidup berbagai jenis serangga dan hewan. Namun, selama serangga dan hewan tidak meninmbulkan kerusakan secara ekonomis belum dapat dikatakan hama (Yunasfi, 2007). Selain itu, dari aspek ini petani dapat memperkirakan kerusakan akibat serangan antropodha berupa organisme pengganggu tanaman agar tidak mencapai batas ambang ekonomi. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk melakukan pengendalian hama pada tanaman holtikultura, musiman, maupun tahunan. Namun, pada fieldtrip yang dilakukan akan membahas mengenai hama pada masing-masing plot. Hasil pengamatan yang dilakukan pada fieldtrip ditemukan hama, musuh alami dan serangga lain pada plot 1 yang vegetasi lahannya berupa hutan pinus, yaitu dengan presentase hama (1,5%), musuh alami (13,22%), dan serangga lain (85,28%). Hal ini menunjukkan pada plot ini banyak ditemukan serangga lain Karena pada plot ini vegetasinya adalah hutan produksi yang sifat dari hutan sendiri adalah keseimbangan ekosistemnya masih terjaga. Pada plot ini hanya ditemukan hama ulat yaitu menyerang rumput gajah. Sedangkan musuh alami yang ditemukan yaitu Kepik dan Laba-laba. Sedangkan serangga lain yang ditemukan antara lain, Lalat, Jangkrik, Kupu-kupu, dan lain lain. Sedangkan pada plot 2 dengan tutupan lahan tanaman tahunan (kopi) dengan presentase ditemukannya Hama (22,6%), Musuh Alami (77,4%) dan Serangga lain (0%). Pada plot ini jumlah hama semakin meningkat dibandingkan dengan plot 1. Jumlah musuh alami yang ditemukan cukup banyak dikarenakan lahan tersebut masih terdapat banyak tanaman pinggiran (Cover crop) hal ini
30
menyebabkan banyaknya keragaman antropodha yang ada pada plot ini termasuk keberadaan musuh alaminya. Pada plot 3 dengan vegetasi tanaman semusim ditemukan banyak jumlah lerangga lain yang mendominasi. Pada presentase hama (25%), musuh alami (33,3 %) dan serangga lain (41,7%). Berdasarkan jumlah musuh alami, hama dan serangga lain yang terdapat pada lahan tersebut dapat dikatakan bahwa keberadaan antropodha yang terdapat pada plot 3 cukup seimbang. Hal ini dikarenakan lahan plot 3 bersebelahan dengan lahan agrofosestri (plot 2) yang keberadaan antropodhanya cukup beragam. Jadi pada plot 3 keberadaan antropodha sangat dipengaruhi oleh lahan di sekitar plot ini. Pada plot terakhir yang diamati yaitu plot 4 yaitu berupa lahan tanaman semusim (Jagung) dan pemukiman. Biasanya tanaman yang ditanam mengandalkan sistem tanam tadah hujan karena berupa lahan tegalan. Pada plot ini sedikit ditemukan antropoda. Namun plot ini memiliki jumlah musuh alami yang mendominasi dengan persentase hama (16,67%), serangga lain (16,67) dan musuh alami (66,66%). Hal ini terjadi karena pengamatan dilakukan pada siang hari dan tidak terlalu banyak naungan. Sehingga serangga yang terdapat pada daerah tersebut jarang. IDENTIFIKASI PENYAKIT Tabel 6. Biodiversitas Penyakit Lokasi pengambilan sampel Plot 1
Nama Lokal
Nama ilmiah
Gejala
Karat daun pisang
Uredospora musae
Daun pisng bagian bawah berkarat.
Blas
Pyricularia grisea
Berupa bercak pada daun, berbentuk belah ketupat dengan warna kelabu pada tengahnya.
31
Plot 2
Karat daun kopi
Bercak daun kopi
Plot 3
Plot 4
Penyakit Karat Daun
Hawar daun
Hemileia vastatrix
Pada tahap awal terdapat bercak pada daun bagian bawah berupa bulatan kecil berwarna putih, kemudian lama kelamaan berubah menjadi kuning tua kemudian coklat dan akhirnya mongering. Mycosphaerella Terdapat bercak coffeicola bulat, cokelat kemerahan atau cokelat tua, terdapat puast berwarna kelabu, sering tampak ditaburi tepung hitam. Berbentuk bulat sampai oval terdapat di permukaan daun Puccinia polysora. bagian atas maupun bawah, penyebarannya melalui angin. Helminthosporium Awalnya berupa turicum bercak kecil, berbentuk oval kemudian bercak memanjang berbentuk elips, dan berkembang menjadi nekrotik (hawar), warnanya hijau keabu-abuan atau cokelat.
32
3.1.2.4. Cadangan Karbon Tabel 7. Tutupan lahan dan C-Stock Tutupan No Penggunaan Lahan Lahan Pinus Pisang Hutan Produksi 1 Rumput (Plot 1) Gajah Lamtoro
Agroforestri (Plot 2)
Kopi Sengon Pisang Kaliandra Talas Kelapa Belimbing
3
Semusim (Plot 3)
Rumput Gajah Pepaya Jagung
4
Semusim+Pemukiman (Plot 4)
Jagung
2
Kayu Buah
Posisi Lereng Atas Bawah
Tingkat tutupan Kanopi Seresah Sedang Tinggi Rendah Sedang
Daun
Tengah
Rendah
Tinggi
Daun Tengah Jumlah Buah Tengah Kayu Tengah Buah Tengah Kayu Tengah Batang Tengah Buah Tengah Buah Tengah Jumlah
Tendah
Manfaat
Daun
Atas
Buah Tengah Biji Bawah Jumlah Biji
Tengah
Jumlah Spesies 50 30
Kerapatan
C-Stock (ton/ha)
Sedang Rapat
250 80
~
Tinggi
1
Tinggi
22
Tinggi
Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
50 21 8 7 4 3 2
Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Rapat Sedang
250 581 80 80 80 50 1 80 50 421
Tinggi
Sedang
~
Tinggi
1
Rendah Tinggi
Rendah Sedang
2 500
Rendah Tinggi
20 1 22
Rendah
Rendah
400
Tinggi
1
33
Gambar 3. Pedoman Penentuan Nilai C Peran lanskap dalam menyimpan karbon bergantung pada besarnya luasan tutupan lahan hutan alami dan lahan pertanian berbasis pepohonan baik tipe campuran (agroforestri) atau monokultur. Faktor yang mempengaruhi simpanan karbon yaitu jumlah pohon, umur pohon, jenis pohon, dan managemen pohon. Namun demikian besarnya karbon tersimpan di lahan bervariasi antar penggunaan lahan tergantung pada jenis penggunaan lahan dan kerapatan pohon. Pada plot 1 yaitu vegetasi lahan hutan produksi (Pinus), tutupan lahannya berupa pohon pinus, rumput gajah, pisang dan lamtoro. Total cadangan karbon yang terdapat pada lahan ini yaitu 581 ton /hektar. Cadangan karbon di plot ini cukup besar, hal ini dikarenakan vegetasi yang terdapat pada plot ini cukup rapat dan vegetasinya berupa tanaman tahunan. Pada plot ini perlu dipertahankan vegetasinya agar daya simpanan karbon tidak berkurang. Pada plot 2, penggunaan lahan agroforesti dimana terdapat tanaman tahunan dan tanaman musiman dengan kerapatan rendah hingga tinggi. Tutupan lahan pada lahan agroforesti antara lain kopi, sengon, pisang, talas, kaliandra, kelapa, dan belimbing. Berdasarkan kondisi, penggunaan lahan dan tutupan lahan pada stop tersebut memiliki cadangan C-stock yang termasuk dalam kategori tinggi yaitu senilai 421 ton/hektar. Pada plot ini perlu dilakukan pemeliharaan berupa pemeliharaan tanaman tahunan agar nilai simpanan karbon yang terdapat pada plot tersebut semakin besar, dan mempertahankan nilai simpanan karbon jangan sampai turun. Pada plot 3, penggunaan lahan berupa tanaman semusim, dengan tutupan lahan rumput gajah dan jagung dengan kerapatan tinggi dan papaya dengan kerapatan rendah. Nilai simpanan karbon pada plot ini yaitu 22 ton/hektar. Nilai ini cukup kecil dikarenakan jenis vegetasi yang ada yaitu tanaman semusim yang daya simpanan karbonnya rendah. Oleh karena itu pada plot 3 diperlukan perbaikan dengan penanaman tanaman tahunan agar tingkat simpanan karbon semakin besar. 34
Pada plot 4, penggunaan lahan berupa tanaman semusim dan permukiman penduduk. Tutupan lahan pada tanaman musiman yaitu jagung dengan kerapatan tinggi. Daerah sekitar plot 4 memiliki nilai simpanan karbon yang sangat rendah yaitu 1 ton/hektar. Hal ini dikarenakan jenis vegetasi yang terdapat pada lahan tersebut hanya jagung. Oleh karena itu, pada plot ini diperlukan perbaikan dengan penambahan tanaman tahunan agar nilai simpanan karbon semakin meningkat. Hairiah dan Rahayu (2007) mengatakan, tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C = C sink) yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan seresah yang banyak merupakan gudang penyimpanan C tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi (pelapukan) seresah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Berdasarkan kondisi lapang yaitu di Desa Tulugrejo memiliki simpanan karbon yang cukup tinggi pada hutan produksi dan agroforestri, sedangkan pada tanaman semusim dan tanaman semusim dengan pemukiman memiliki nilai simpanan karbon ysng cukup rendah. Pada plot pertama simpanan karbon termasuk kategori tinggi, pada plot kedua nilai simpanan karbonnya termasuk juga kategori tinggi, dan untuk plot 3 dan plot 4 simpanan karbonnya termasuk kategori rendah karena penggunan lahan berupa tanaman semusim dan pemukiman yaitu rumah-rumah warga. Oleh karena itu, pada plot 3 dan plot 4 perlu dilakukan perbaikan dengan penambahan tanaman tahunan agar simpanan karbon di desa Tulungrejo menjadi besar dan seimbang. Hairiah dan Rahayu (2007) mengatakan bahwa hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak. Pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian baru dapat menyebabkan pelepasan karbon (C) ke atmosfer. Karbon (C) yang pada awalnya tersimpan dalam pepohonan dan tanaman lainnya dilepaskan melalui pembakaran (dalam bentuk asap) atau terdekomposisi diatas ataupundibawah permukaan tanah sewaktu pembukaan lahan (land clearing) (Hairirah et al.2011). 3.1.3. Indikator Pertanian Berlanjut dari Sosial Ekonomi 3.1.3.1. Economically viable (keberlangsungan secara ekonomi) Plot 1 Tabel 8. Analisis Pendapatan Usahatani Jagung pada Plot 1 No Uraian Nilai 0,12 ha Nilai 1 ha 1. Produksi (Kg) 1.200 10.000,00
35
2. 3.
4.
5. 6.
Harga Jagung/kg (Rp) Penerimaan (Rp) Biaya a. Biaya Tetap - Sewa/musim tanam (Rp) Sub Total (Rp) b. Biaya Variabel - Pupuk (Rp) - Tenaga Kerja (Rp) - Benih (Rp) - Pestisida (Rp) - Sewa Traktor (Rp) Sub Total (Rp) Biaya (a+b) Pendapatan (3-5)
4.000 4.000,00 4.800.000 40.000.000,00
400.000 400.000
3.333.333,33 3.333.333,33
896.000 7.466.666,67 880.000 7.333.333,33 300.000 2.500.000,00 125.000 1.041.666,67 200.000 1.666.666,67 2.401.000 20.008.333,33 2.801.000 23.341.666,67 1.999.000 16.658.333,33
Tabel 9. R/C Ratio dan GFFI Usahatani pada Plot 1 Penerimaan dan Biaya R/C Ratio GFFI Kesimpulan Penerimaan 4.800.000 Layak (R/Renenue) R/C = 1,71 1.999.000 diusahakan Biaya (C/Cost) 2.801.000 Komoditas yang ditanam pada plot 1 adalah padi dan jagung sebagai komoditas utama dan komoditas sampingannya adalah sayuran dengan luas lahan 1.200 m2. Biaya produksi rata-rata permusim tanam adalah sebesar Rp. 500.000. Produksi yang diperoleh untuk tanaman jagung adalah 1.200 kg dengan harga Rp 4.000/kg dalam bentuk kering, sedangkan penerimaan yang didapat adalah sebesar Rp. 4.800.000, dengan pendapatan Rp. 1.999.000. Petani tidak pernah menghitung hasil keuntungan yang diperoleh secara pasti, bagi petani yang dikatakan untung adalah hasil yang diterima lebih dari modal yang dikeluarkan. Berdasarkan data yang diperoleh, nilai R/C yang didapat untuk budidaya tersebut sebesar 1,7. Maka dapat dikatakan usahatani tersebut menguntungkan dan layak diusahakan. Secara ekonomi, usahatani yang dilakukan pada plot 1 termasuk usahatni yang berlanjut. Dimana usahatani tersebut mempunyai pengembalian yang layak dalam biaya yang dikeluarkan.
36
Plot 2 Tabel 10. Analisis Pendapatan Usahatani Kopi pada Plot 2 Nilai 0,125 No Uraian ha 1. Produksi (Kg) 1.500 2. Harga /kg (Rp) 5.000 3. Penerimaan (Rp) 7.500.000 Biaya a. Biaya Tetap - Pajak (Rp) 30.347 Sub Total (Rp) 30.347 b. Biaya Variabel 4. - Pupuk (Rp) - Tenaga Kerja (Rp) 140.000 - Benih (Rp) 1.500.000 - Pestisida (Rp) - Sewa Traktor (Rp) Sub Total (Rp) 1.640.000 5. Biaya (a+b) 1.670.347 6. Pendapatan (3-5) 5.829.635
Nilai 1 ha 12.000,00 5.500,00 60.000.000,00
242.776,00 242.776,00 1.120.000,00 12.000.000,00 13.120.000,00 13.362.776,00 46.637.080,00
Tabel 11. R/C Ratio dan GFFI Usahatani Kopi pada Plot 2 Penerimaan dan Biaya B/C Ratio GFFI Kesimpulan Benefit 7.500.000 Layak untuk R/C = 4,49 5.829.635 diusahakan Biaya (C/Cost) 1.670.347 Komoditas utama yang ditanam pada plot 2 adalah kopi, dan tanaman sampingan pinus dan pisang yang ditanam secara agroforestry, dengan luas lahan 1,25 ha. Kepemilikan dari lahan tersebut adalah miliki pribadi, sehingga petani tidak mengeluarkan biaya sewa, namun mengeluarkan biaya pajak tanah. Jumlah biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani adalah sebesar Rp. 1.670.347 dan penerimaan yang didapat sebesarRp. 7.500.000. Jumlah produksi kopi yang dihasilkan sebanyak 1,5 ton dengan harga jual kentang kecil Rp. 5.000/kg. Sehingga didapatkan nilai R/C yaitu sebesar 4,49, maka dapat dikatakan usahatani yang dilakukan memiliki efisiensi tinggi dan layak diusahakan. Secara ekonomi usahatani pada plot 2 termasuk usahatani yang berlanjut. Hal tersebut karena dalam usahatani mempunyai pengembalian yang layak dari biaya yang telah dikeluarkan.
37
Plot 3 Tabel 12. Analisis Pendapatan Usahatani Cabai pada Plot 3 Nilai 0,125 No Uraian ha 1. Produksi (Kg) 550 2. Harga /kg (Rp) 25.000 3. Penerimaan (Rp) 13.750.000 Biaya a. Biaya Tetap - Sewa Sub Total (Rp) b. Biaya Variabel 4. - Pupuk (Rp) 451.000 - Tenaga Kerja (Rp) - Benih (Rp) 112.500 - Pestisida (Rp) 500.000 - Sewa Traktor (Rp) 900.000 Sub Total (Rp) 1.963.500 5. Biaya (a+b) 1.963.500 6. Pendapatan (3-5) 11.786.500
Nilai 1 ha 4.400 25.000 110.000.000
-
3.608.000 900.000 4.000.000 7.200.000 15.708.000 15.708.000 94.292.000
Tabel 13. R/C Ratio dan GFFI Usahatani Cabai pada Plot 3 Penerimaan dan Biaya R/C Ratio GFFI Kesimpulan Penerimaan 13.750.000 11.786.50 Layak (R/Renenue) R/C = 7 0 diusahakan Biaya (C/Cost) 1.963.500 Komoditas yang ditanam pada plot 3 adalah cabai dan kubis dengan luas lahan 1250 m2. Kemipilikan dari lahan tersebut adalah milik sendiri, sehingga petani tidak mengeluarkan biaya sewa. Jumlah biaya produksi seperti benih, pupuk dan pestisida yang dikeluarkan oleh petani dalam satu kali musim tanam adalah Rp. 1.697.400. Produksi cabai yang diperoleh adalah 550 kg dengan harga jual cabai Rp. 25.000/kg. Sedangkan penerimaan yang didapat adalah sebesarRp. 13.750.000. Dari total biaya produksi dan total penerimaan didapatkan nilai R/C yaitu sebesar 7. Nilai R/C yang lebih dari 1, maka dapat dikatakan bahwa usahatani tersebut efisien dan memberikan keuntungan, sehingga layak untuk diusahakan. Secara ekonomi usahatani pada plot 3 termasuk usahatani yang berlanjut. Hal tersebut karena dalam usahatani mempunyai pengembalian yang layak dari biaya
38
yang telah dikeluarkan dan dapat memenuhi kebutuhan dasar lainnya bagi keluarga petani. Plot 4 Tabel 14. Analisis Pendapatan Usahatani Jagung pada Plot 4 No Uraian Nilai 0,75 ha Nilai 1 ha A. Jagung Manis 1. Produksi (Kg) 2.500 3.333,33 2. Harga /kg (Rp) 1.500 1.500,00 3. Penerimaan (Rp) 3.750.000 4.999.99 Biaya a. Biaya Tetap - Sewa/musim tanam (Rp) 1.000.000 1.333.333,33 Sub Total (Rp) 1.000.000 1.333.333,33 b. Biaya Variabel - Pupuk (Rp) 825.000 1.100.000,00 4. - Tenaga Kerja (dalam kluarga) 975.000 1.300.000,00 - Benih (Rp) 75.000 100.000,00 - Pestisida (Rp) 400.000 533.333,33 - Sewa Traktor (Rp) 2.275.000 3.033.333,33 Sub Total (Rp) 5. Biaya (a+b) 3.275.000 4.366.666,67 6. Pendapatan (3-5) 475.000 633.333,33 B. Jagung BISI (Jika produksi 2,5 ton) 1. Produksi (Kg) 2.500 3.333,33 2. Harga /kg (Rp) 4.000 4.000,00 Penerimaan (Rp) 10.000.000 13.333.333,3 3. 3 Biaya a. Biaya Tetap - Sewa/musim tanam (Rp) 1.000.000 1.333.333,33 Sub Total (Rp) 1.000.000 1.333.333,33 b. Biaya Variabel 4. - Pupuk (Rp) 825.000 1.100.000,00 - Tenaga Kerja (dalam kluarga) 480.000 640.000,00 - Benih (Rp) 75.000 100.000,00 - Pestisida (Rp) 400.000 533.333,33 - Sewa Traktor (Rp) 1.780.000 2.373.333,33
39
Sub Total (Rp) 5. Biaya (a+b) 2.780.000 3.706.666,67 6. Pendapatan (3-5) 7.220.000 9.626.666,67 Tabel 15. R/C Ratio dan GFFI Usahatani Jagung pada Plot 4 Penerimaan dan Biaya R/C Ratio GFFI Kesimpulan A. Jagung Manis Penerimaan 3.750.000 (R/Renenue) Layak untuk R/C = 1,15 475.000 diusahakan Biaya 3.275.00 (C/Cost) B. Jagung BISI (Jika produksi 2,5 ton) Penerimaan 10.000.000 (R/Renenue) Layak untuk R/C = 3,59 7.220.000 diusahakan Biaya 2.780.000 (C/Cost) Komoditas yang ditanam pada plot 4 adalah komoditas jagung dengan luas lahan ¾ ha (7500 m2). Usaha tani yang dilakukan oleh petani pada plot 4 saat ini adalah budidaya jagung BISI dan baru pertama kali menanam komoditas jagung BISI, sebelumnya petani telah menanam jagung manis. Peralihan tanam dari jagung manis ke jagung BISI ini disebabkan oleh harga jagung manis yang naik turun, sehingga merugikan bagi petani saat harga jatuh. Petani beralih ke jagung BISI karena harganya lebih stabil, hal tersebut dikarenakan telah ada bekerja sama dengan pihak pabrik BISI, dimana hasil panen dari jagung tersebut harus dijual ke pihak BISI untuk dijadikan benih. Harga jual dari jagung BISI adalah Rp. 4000 / kg, sedangkan harga jual jagung manis yang ditanam petani sebelum beralih ke jagung BISI adalah Rp. 1500 / kg dengan produksi 2,5 ton, turunnya harga tersebut membuat petani merugi. Sehingga petani memilih untuk bekerja sama dengan BISI. Kerjasama tersebut telah membuat kesepakatan untuk harga jual dari jagung dan penyediaan benih, pupuk dan pestisida. Benih, pupuk dan pestisida disediakan oleh BISI yang kemudian akan dibayar oleh petani setelah panen. Budidaya jagung manis dengan jagung BISI tidak jauh berdeda dengan budidaya jagung manis, hanya saja jagung BISI dipanen lebih lama, karena akan digunakan sebagai benih. Input yang diberikan seperti pupuk dan pestisida pun sama antara jagung manis dan jagung BISI, yang berbeda hanya pada varietas yang digunakan. Jumlah biaya variabel yang diperlukan untuk budidaya jagung manis adalah Rp. 2.275.000 / musim tanam, sedangkan untuk jumlah biaya variabel jagung BISI adalah Rp. 1.780.000. jumlah biaya tetap pada jagung manis dan jagung BISI sama yaitu Rp. 1.000.000 / musim tanam, biaya tetap tersebut adalah biaya sewa lahan. Jumlah produksi dari jagung manis sebelumnya adalah 2,5 ton
40
dengan harga jual ke tengkulak Rp.1.500/ kg. Dari penerimaan dan total biaya yang dikeluarkan didapatkan nilai R/C sebesar 1,15. Sedangkan pada jagung BISI belum diketahui nilai R/C karena petani belum panen dan belum mengetahui produksinya. Jika produksi dari jagung BISI sama dengan jagug manis yaitu sebanyak 2,5 ton maka nilai R/C dari jagung BISI adalah 3.59. Nilai R/C lebih dari 1 dikatakan bahwa usaha tani yang dilakukan menguntungkan. Perhitungan R/C tersebut tanpa adanya tenaga kerja, karena tenaga kerja yang digunakan oleh petani adalah tenaga kerja dalam keluarga, sehingga tidak masuk dalam perhitungan. Secara ekonomi usahatai yang dilakukan oleh petani baik itu jagung manis maupun jagung BISI memiliki keuntungan, dimana nilai R/C ratio dari kedunya lebih besar dari satu, sehingga layak untuk diusahakan. Secara ekonomi usahatani pada plot 4 termasuk usahatani yang berlanjut. Hal tersebut karena dalam usahatani mempunyai pengembalian yang layak dari biaya yang telah dikeluarkan. Keberlanjutan secara ekonomi tersebut minimal dapat memenuhi kebutuhan dasar dari keluarga petani. Kesimpulan dari ke empat plot dilihat dari keberlanjutan secara ekonomi perbandingan antara penerimaan dan biaya atau R/C ratio, serta pendapatan yang didapat. Nilai R/C ratio paling tinggi terdapat pada plot 3 dengan nilai R/C ratio 7, sedangkan nilai R/C ratio terendah terdapat pada plot 4 pada komoditas jagung manis dengan niali R/C ratio 1,15. Sementara tingkat pendapatan terbesar terdapat pada plot 3 dan pendapatan terendah pada plot 4 dengan komoditas jagung manis. Tingkat pendapatan usahatani tersebut dipengaruhi oleh beberapa factor. Irawan (2013) mengatakan bahwa pendapatan usaha tani sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya status penguasaan lahan dan luas lahan, jenis komoditas yang diusahakan, teknologiyang diterapkan dan harga pasar hasil usahatani. Hal tersebut menyebabkan biaya yang dikeluarkan dan pendapatan yang diperoleh petani pada plot 1, 2, 3 dan 4 berbeda. Pengaruh faktor yang terlihat pada keempat plot tersebut adalah kepemilikan lahan, luas lahan dan komoditas yang dibudidayakan. Pemanfaatan sumberdaya lokal, seperti ternak juga dapat berpengaruh pada biaya yang dikeluarkan petani dan pendapatan petani. Proses budidaya yang dilakukan oleh beberapa petani dengan memanfaatkan ternak sebagai input dalam budidaya seperti pada plot 1, 2, dan 3. Kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Pemanfaatan input pupuk kandang tersebut dapat menekan biaya produksi dan menigkatkan peluang usaha dibidang lain. Hal tersebut sesuai dengan Irawan (2013) bahwa pemanfaatan input dan sarana produksi pertanian berbasis sumberdaya lokal dapat meningkatkan peluang berkembangnya usaha diversifikasi berbasis tanaman dan ternak, seperti crop-livestock system (CLS). Hal tersebut juga dapat meningkatkan keberlangsungan ekonomi masyarakat setempat. 41
Keberlanjutan secara ekonomi pada plot 1, 2, 3 dan 4 termasuk pada usahatani yang berlanjut. Hal tersebut dilihat dari usahatani yang dilakukan memberikan pengembalian yang layak dari biaya yang dikeluarkan oleh petani. Keberlanjutan secara ekonomi minimal dapat memenuhi kebutuhan dasar dari keluarga petani. Keberlanjutan secara ekonomi tersebut dilihat dari pendapatan dan kelayakan usahatani yang dilakukan petani. Kelayakan usahatani dapat dinilai dari perbandingan R/C, yaitu perbandingan antara penerimaan dan biaya yang dikeluarkan. Semakin tinggi nilai R/C ratio maka semakin efisien dan layak usahatani tersebut dilakukan. Irawan (2013) menyebutkan bahwa efisiensi penggunaan sumberdaya adalah rasio antara pendapatan dengan biaya produksi, jika rasio tersebut bernilai positif maka dapat dikatakan usahatani dipandang efisien. Semakin tinggi dan positif nilai rasio tersebut maka efisiensinya semakain baik. Tolak ukur biaya produksi dibatasi terhadap biaya yang dikeluarkan (biaya variable dan biaya tetap). Efisiensi penggunaan sumberdaya tersebut dengan memaksimalkan aliran pendapatan dengan mempertahankan asset produktif yang menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Asset produktif yang dapat dipertahankan oleh petani yaitu seperti lahan. Sehingga keberlangsungan ekonomi dapat tercapai dan dapat memenuhi kebutuhan ekonomi untuk generasi sekarang ataupun generasi mendatang. 3.1.3.2. Ecologically sound (ramah lingkungan) Pertanian yang ramah lingkungan sangat menguntungkan untuk keberlanjutan agroekosistem dan menguntungkan secara ekonomi untuk jangka panjang. Menurut Irawan (2013) menunjukkan bahwa fakta di lapangan petani tidak melaksanakan kegiatan pertaniannya kalau tidak menguntungkan secara ekonomi, tapi di sisi lain kebutuhan mendesak untuk melakukan pelestarian lingkungan, sehingga praktik pertanian dapat dilakukan hingga generasi yang akan datang. Sejalan dengan itu Kementrian Lingkungan Hidup merumuskan kriteria ramah lingkungan mencangkup: (1) efisiensi dalam penggunaan input, (2) pemanfaatan limbah atau zero waste, (3) berperan aktif dalam mencegah emisi gas rumah kaca, (4) memperhatikan kearifan lokal, dan (5) mencegah kerusakaan keanekaragaman hayati (Deddy, 2013). Plot 1 Proses budidaya yang dilakukan petani di plot 1 dengan komoditas jagung dan padi masih menggunakan input kimia. Namun, petani juga meggunakan input organik berupa pupuk kandang. Pada plot 1 penggunaan pupuk kandang diaplikasikan diawal yaitu pada pengolahan lahan, kemudian setelah tanam diberikan pupuk kimia. Sedangkan pengaplikasian pestisida pada plot 1 menggunakan pestisida kimia. Pengaplikasian pestisida dilakukan jika ada serangan hama atau penyakit, jika tidak terjadi serangan maka tidak dilakukan
42
pengendalian dengan pestisida kimia. Sehingga proses budidaya pada plot 1 masih memperhatikan lingkungan. Peran aktif masyarakat dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam merupakan faktor penting untuk keberlanjutan. Berdasarkan hasil wawancara, masyarakat setempat sangat memperhatikan kelestarian hutan dengan menjaga hutan dan pemberian sanksi kepada orang yang melakukan penebangan illegal. Sanksi yang diberikan adalah membayar denda sebesar Rp. 500.000 untuk 1 pohon yang ditebang atau melakukan penanaman kembali. Tindakan masyarakat tersebut sebagai wujud peduli dan untuk melindungan lingkungan dan ketersediaan air. Ketersediaan air tersebut sangat penting dalam budidaya yang dilakukan oleh petani. Hal tersebut sesuai dengan Ruhimat (2015) bahwa tingkat keberlanjutan usahatanidapat dilihat dari pemahaman petani dalam konservasi tanah dan air. Plot 2 Budidaya kopi dengan system agroforestry dengan tanaman sampian pinus dan pisang tidak hanya memberikan keuntungan scera ekonomis, tapi juga memberikan keuntungan secara ekologis. Keuntungan secara ekologis yang dimaksudkan adalah system agroforestry memiliki stratifikasi tajuk yang berlapislapis, karena masing-masing jenis tanaman (kopi, pinus dan pisang) memiliki tinggi dan lebar tajuk yang berbeda. Keanekaragaman dari berbagai jenis tanaman dapat menghasilkann aneka biomas sehingga tingkat pengembalian kesuburan lahan lebih baik dibandingkan biomas pada system monokultur. Menurut Nair dalam Widarti (2015) agroforestry tidak menggunakan budidaya intensif, sehingga lebih ramah lingkungan. Pola tanam kebun campuran memiliki kemampuan dalam memenuhi fungsi ekologi, ekonomi dan sicio cultural masyarakat. Plot 3 Proses budidaya yang dilakukan di plot 3 dalam inputnya menggunakan bahan kimia dan organik. Pengaplikasian bahan kimia seperti pupuk dilakukan setelah tanam, sedangkan bahan organic berupa pupuk kandang diaplikasikan saat pengolahan tanah. Sedangkan pengaplikasian pestisida dilakukan pada saat terjadi serangan hama dan pada intensitas hujan tinggi. Pengelolaan tanaman yang dilakukan pada plot 3 dengan penggunaan bahan kimiawi seperti pupuk dan pestisida tersebut dalam pengaplikasiannya memperhatikan keseimbangan ekosistem. Hal tersebut terlihat dari aplikasi pestisida yang dilakukan saat terjadi serangan hama ataupun penyakit, sehingga meminimalisir penurunan keragaman serangga. Namun di sisi lain penggunaan pestisida yang intensif saat intensitas hujan tinggi dapat menurunkan keragaman serangga dan mininggalkan residu baik di di tanaman maupun di tanah. Residu yang ada di tanaman dapat membahayakan konsumen sedangkankan residu yang tertinggal di tanah akan
43
terakumulasi dan pada jangka panjang dapat menurunkan kesuburan tanah. Menurut Irawan (2013) menyebutkan bahwa kriteria pertanian yang ramah lingkungan salah satunya adalah dapat menjaga kesuburan tanah. Plot 4 Proses budidaya yang dilakukan di plot 4 dalam inputnya menggunakan bahan kimia. Dalam pengaplikasian untuk pupuk kimia dilakukan setelah tanam dan dalam satu kali musim tanam dilakukan pemupukan sebanyak 3 kali. Pupuk organik seperti pupuk kandang diaplikasikan jika tersedia pupuk kandangnya dan jika tidak ada maka tidak mengaplikasikan pupuk kandang dan hanya menggunakan pupuk kimia saja. Sedangkan pengaplikasian pestisida dilakukan jika terdapat serangan hama dan penyakit saja. Pengelolaan tanaman yang dilakukan petani di plot 4 sesuai dengan standar SAN (Sustainable Agriculture Network) dalam penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia. Dimana penggunaan pupuk dilakukan secara terprogram dan berimbang atau sesuai dengan kondisi lahan dan kebutuhan tanaman. Sedangkan pengendalian penyakit ataupun hama dengan meminimalkan penggunaan pestisida kimia. Fungsi lahan pertanian tidak hanya dapat diukur secara langsung melalui mekanisme pasar, namun lahan pertanian memiliki fungsi penting untuk lingkungan yang tidak dapat diukur secara langsung. Fungsi pertanian terhadap lingkungan menurut Irawan (2013), antara lain sebagai pelestarian keragaman hayati, pengendali banjir, erosi dan sedimentasi, pemasok sumber air tanah, pengurang tumpukan dan penyerap sampah organic, dan sebagai penyejuk udara. Dari ke-empat plot yang memiliki manfaat lingkungan besar dan ramah lingkungan adalah pada plot 4 dengan system agroforestry. System agroforestry yang ada pad plot 4 dapat meminimalkan intesitas pengolahan tanah dan memberikan biomas karena memiliki keragaman yang tinggi dibandingkan pada system monokultur. Pertanian yang ramah lingkungan tidak hanya dinilai dari tingginya keragaman hayati dan penggunaan minimum input kimia saja. Peran aktif masyarakat dalam mencegah kerusakan keanekaragaman hayati sangat penting dalam proses keberlanjutan dari pertanian untuk masa mendatang. Seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjaga hutan untuk melindungi sumber mata air. 3.1.3.3. Socially just (berkeadilan = menganut azas keadilan)
Plot 1
Berdasarkan hasil wawancara didapatkan hasil bahwa lahan tersebut merupakan lahan tegalan dengan komoditas utama padi, jagung dan komoditas sampingan sayuran merupakan lahan sewa dengan luas lahan 1200m2. Modal untuk kegiatan budidaya pertanian merupakan modal pribadi. Hasil panennya dijual secara langsung kepada tengkulak dan tidak pernah dijual ke pasar. Harga 44
jualnya juga ditentukan oleh tengkulak, namun setiap tengkulak penentuan harganya berbeda. Petani tersebut bergabung dalam sebuah kelompok tani yang bernama Sidosubur-Wonosari, dan koperasi disana juga tersedia namun petani tidak meminjam modal di koperasi. Hutan di daerah tersebut masih alami terjaga. Sebenarnya Perhutani ingin menebang hutan alami tersebut, namun masyarakat setempat menolak. Hutan tersebut dilindungi karena untuk melindungi air tanah yang berasal dari pegunungan Gunung Kukusan. Dulu ada pengalihan lahan ketika Pemerintahan Bapak Abdurrahman Wahid yaitu dari hutan menjadi lahan pertanian dan penebangan hutan masal tersebut menyebabkan banjir dan erosi. Sekarang, jika ada penebangan ilegal, maka pelakunya di denda, tergantung banyak pohon. 1 pohon bisa lebih dari 500.000 dan harus melakukan penanaman kembali. Keanekaragaman hayati pada tempat tersebut juga masih tinggi, karena masih adanya hutan alami dan pada lahan tersebut selain menanam tanaman pangan seperti jagung dan padi juga menanam tanaman sampingan yaitu sayuran. Petani tersebut masih menggunakan pupuk kandang pada awal pengolahan lahan. Namun petani masih tetap menggunakan pupuk anorganik seperti urea, TSP namun masih dengan dosis yang tidak terlalu tinggi. Pada pengaplikasian pestisida dilakukan apabila ada serangan hama dan penyakit, jika tidak ada hama dan penyakit maka tidak dilakukan penyemprotan, dengan demikian petani masih memperhatikan lingkungan itu artinya petani masih memiliki karakter yang humanistik. Plot 2 Berdasarkan hasil wawancara didapatkan hasil bahwa lahan tersebut merupakan lahan sawah dengan komoditas padi dan lahan tegalan dengan komoditas utama sayuran dan komoditas sampingan sengon, kopi, pisang. Lahan tersebut merupakan taah hasil warisan. Modal untuk kegiatan budidaya pertanian tersebut didapatkan dari meminjam secara kredit dan hasil panenya dijual ke tengkulak yang langsung datang ke tempat tersebut. Harga jual itu sendiri ditentukan oleh tengkulak tersebut. Namun tiap tengkulak berbeda harga, selisih antar Rp.500,00 sampai Rp.1000,00. Pada daerah tersebut masih ada hutan alami dengan luas lahan lebih dari 100ha. Keanekaragaman hayati masih terajaga dengan adanya tanaman tahunan seperti sengon, kopi, pisang, dan sayuran. Petani dalam lahan tersebut masih menggunakan pupuk kandang dengan memanfaatkan kotoran ternaknya, disamping itu petani juga mengaplikasikan pupuk kimia dan pestisida kimia yang berlebihan karena walaupun tidak ada hama dan penyakit yang menyerang tanaman setiap seminnggu sekali tetap diaplikasikan pestisida kimia, hal tersebut menjadikan petani tidak ramah lingkungan karena penggunaan bahan kimia yang tinggi sehingga tidak baik untuk waktu jangka panjang dapat meracuni tanah,
45
tanaman, serta manusia yang mengkonsumsi bahan makanan dari tanaman tersebut. Plot 3 Berdasarkan hasil wawancara didapatkan hasil bahwa lahan tersebut merupakan lahan tegalan dengan komoditas cabai dan kubis dengan luas lahan 1250m2 yang merupakan tanah milik sendiri. Modal yang digunakan untuk kegiatan budidaya pertanian merupakan modal pribadi. Hasil panen tersebut dijual kepada tengkulak yang datang ke Desa tersebut dan harganya juga ditentukan oleh tengkulak setiap tengkulak penentuannya berbeda selisih antar Rp.500,00 sampai Rp.1000,00. Harga tergantung musim, ketika musim hujan harga turun karena banyak penyakit yang menyerang. Di daerah tersebut ada kelembagaan, namun sekarang sudah tidak aktif lagi. Petani tersebut masih menggunakan pupuk kandang pada awal pengolahan lahan. Namun petani masih tetap menggunakan pupuk anorganik masih dengan dosis yang tidak terlalu tinggi. Pada pengaplikasian pestisida dilakukan apabila ada serangan hama dan penyakit, jika tidak ada hama dan penyakit maka tidak dilakukan penyemprotan, dengan demikian petani masih memperhatikan lingkungan itu artinya petani masih memiliki karakter yang humanistik. Plot 4 Berdasarkan hasil wawancara didapatkan hasil bahwa lahan tersebut merupakan lahan tegalan yang ditanami tanaman jagung dengan luas ¾ ha yang bukan merupakan milik sendiri namun menyewa dengan biaya sewa sebesar Rp.3.000.000,00/tahun. Dahulu petani menanam jagung manis dan hasil panennya dijual ke tengkulak dengan harga rendah yaitu Rp.1500,00/kg. Modal untuk kegiatan budidaya pertanian didapatkan dari meminjam kepada bank swasta. Lalu petani beralih menanam jagung BISI. Hasil panen jagung yang berupa buah akan didistribusikan ke pabrik BISI, dan Pabrik BISI akan memberikan bibit, pupuk, dan pestisida kepada petani dan sebagai imbal baliknya petani harus menjual hasil panennya ke pabrik BISI, sedangkan bagian tanaman lainnya seperti daun dijadikan sebagai pakan ternah oleh petani itu sendiri. Tingkat pendidikan petani itu sendiri adalah tingkat SD. Petani tergabung dalam suatu kelompok tani kecil yang anggotanya hanya beberapa orang saja, namun kini kelompok tani tersebut sudah tidak lagi aktif. Petani tersebut masih menggunakan pupuk kandang pada awal pengolahan lahan. Namun petani masih tetap menggunakan pupuk anorganik masih dengan dosis yang tidak terlalu tinggi dan hanya mengaplikasikan pupuk kimia 3 kali pada satu musim tanam. Pada pengaplikasian pestisida dilakukan apabila ada serangan hama dan penyakit, jika tidak ada hama dan penyakit maka tidak dilakukan
46
penyemprotan, dengan demikian petani masih memperhatikan lingkungan itu artinya petani masih memiliki karakter yang humanistik. Secara umum petani menjual hasil panennya ke tengkulak yang datang ke tempat petani tersebut dan juga untuk harga jual ditentukan oleh tengkulak. Hanya pada plot ke 4 petani harus menjual hasil panennya ke Pabrik BISI karena sudah ada perjanjian sebelumnya. Sebagian besar petani masih tetap menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia, hanya mengaplikasikan pupuk kandang saat pengolahan tanah saja. Mereka masih peduli dengan lingkungan karena masih adanya hutan alami disekitar lahan. 3.1.3.4. Culturally acceptable (berakar pd budaya setempat)
Plot 1 Pada wawancara petani sama seperti pada petani di plot kelompok satu yaitu disebutkan bahwa untuk menanam tanaman budidaya masih menggunakan budaya yang berlaku yaitu dengan menggunakan tanda alam yang disebut “Pranatamangsa” merupakan menanam dengan memperhatikan tanda-tanda alam. Misalnya pada musim hujan akan menanam padi dan pada musim kemarau menanam tanaman lainnya. Namun seperti yang kita telah ketahui bahwa pada kondisi sekarang ini kondisi iklim sangat sulit diprediksi, maka penentuan musim tanam sulit untuk diprediksi. Petani tersebut masih menggunakan cara tradisional dalam melakukan kegiatan budidaya tanaman, karena alat-alat yang digunakan masih tradisinal, seperti cangkul atau sabit. Cara budidayanya juga masih tergolong tradisional karena masih menganut cara budidaya yang dipelajari dari dahulu. Plot 2 Petani tersebut tidak lagi menggunakan tanda alam atau “Prananatamangsa” untuk panennya, namun hanya mengira-ngira saja tanaman tersebut sudah dapat dipanen atau belum. Petani masih mempunyai rasa persaudaraan yang tinggi, karena memilih menjual hasil panen pisang kepada tetangga mereka untuk acara khitanaan atau pernikahan. Petani tersebut masih menggunakan cara tradisional dalam melakukan kegiatan budidaya tanaman, karena alat-alat yang digunakan masih tradisinal, seperti cangkul atau sabit. Cara budidayanya juga masih tergolong tradisional karena masih menganut cara budidaya yang dipelajari dari dahulu. Dalam kelompok tani tersebut kini sudah tidak dilaksanakan kembali, karena mereka merasa kelompok tani tidak ada keadilan dalam pembagian bantuan berupa uang, atau bibit. Namun sekarang setelah kepala desa mulai baru Gapoktan akan mulai dijalankan kembali. Plot 3 Pada wawancara petani disebutkan bahwa untuk menanam tanaman budidaya menggunakan tanda alam yang disebut “Pranatamangsa” yaitu menanam dengan memperhatikan tanda-tanda alam. Misalnya pada musim hujan akan menanam padi dan pada musim kemarau menanam tanaman lainnya. 47
Namun seperti yang kita telah ketahui bahwa pada kondisi sekarang ini kondisi iklim sangat sulit diprediksi, maka penentuan musim tanam sulit untuk dipresiksi. Petani tersebut masih menggunakan cara tradisional dalam melakukan kegiatan budidaya tanaman, karena alat-alat yang digunakan masih tradisinal, seperti cangkul atau sabit. Cara budidayanya juga masih tergolong tradisional karena masih menganut cara budidaya yang dipelajari dari dahulu yang merupakan ilmu yang didapat turun temurun dari keluarga. Plot 4 Pada wawancara petani tersebut tidak menggunakan tanda alam untuk menentukan penanamannya. Namun petani terus menanam jagung karena sudah dikontrak oleh pabrik BISI bahwa petani harus menanam jagung, yang hasilnya nanti harus dijual kepada pabrik BISI. Lama umur panennya pun juga ditentukan olh pabrik BISI itu sendiri. Petani tersebut masih menggunakan cara tradisional dalam melakukan kegiatan budidaya tanaman, karena alat-alat yang digunakan masih tradisinal, seperti cangkul atau sabit. Cara budidayanya juga masih tergolong tradisional karena masih menganut cara budidaya yang dipelajari dari dahulu yang merupakan ilmu yang didapat turun temurun dari keluarga. Secara umum petani masih menggunakan teknologi yang tradisional yaitu cara budidaya yang masih tradisional yang mereka dapat sejak dahulu merupakan ilmu pertanian yang turun temurun, kurangnya ilmu pengetahuan dan tingkat pendidikan yang rendah. Cara untuk panen atau memilih budidayanya masih melihat dengan tanda-tanda alam walaupun sekarang ini iklim sudah tidak menentu. Kelompok taninya pun secara umum juga sudah tidak jalan. 3.2 Pembahasan Umum 3.2.1 Keberlanjutan Sistem Pertanian di Lokasi Pengamatan -
Kualitas Air Dari data hasil DO, kualitas air pada daerah pengamatan pada plot 1, plot 2, plot 3, dan plot 4 termasuk kelas IV. Sedangkan pH, kualitas air pada daerah pengamatan pada plot 1, plot 2, plot 3, dan plot 4 termasuk kelas I-IV hal itu berdasarkan pada kriteria yang diatur oleh PP no.82 tahun 2001. Pengklasifikasian kelas kualitas air tersebut hanya berdasarkan data DO dan pH sehingga tidak dapat menentukan kelas secara spesifik sebab range nilai pH dari hasil fieldtrip adalah nilai pH paling rendah yaitu 6.15 pada plot 4 ulangan 3 dan ph paling tinggi yaitu 6.57 pada plot 1 ulangan 1. Sedangkan klasifikasi kualitas air berdasarkan PP no 82. Tahun 2001 yaitu pH 6-9 masuk pada kelas I-III. Berdasarkan pengklasifikasian dengan PP No. 82 tahun 2001 kualitas air pada setiap plot di lahan tersebut memiliki kualitas yang baik dan belum tercemar. Hal ini tentu akan menjadikan agroekosistem tersebut terus berlanjut karena kuualitas air yang baik dan tidak mencemari agroekosistem 48
-
-
tersebut. Menurut Rejintes (1992), air dibutuhkan tanaman untuk berproduksi optimal sehingga ketersediaan dan kualitasnya pada waktu dan jumlah yang cukup, sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan agroekosistem. Biodiversitas Tanaman Dari data hasil pengamatan plot, yaitu plot 1, plot 2, plot 3 dan plot 4, biodiversitas yang bernilai ekonomi paling tinggi adalah pada plot 2 sebab pada plot 2 dengan penggunaan lahan agroforestry. Pada lahan agroforestry tersebut bermacam-macam biodiversitas yang bernilai ekonomi tinggi seperti kopi, kelapa, dan pisang. Berbeda dengan plot 1 yang digunakan sebagai lahan hutan produksi. Di plot 1, hanya didominasi oleh satu jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi yaitu tanaman pinus. Namun, pada plot 1 biodiversitas alami sangat tinggi dibandingkan plot-plot yang lain. Untuk biodiversitas yang paling rendah adalah di plot 4 sebab hanya ada tanaman budidaya yaitu jagung. Biodiversitas yang tinggi tentu dapat membuat agroekosistem terus berlanjut. ekosistem pertanian dapat dikatakan produktif jika terjadi keseimbangan antara tanah, hara, sinar matahari, kelembaban udara dan organisme-organisme yang ada, sehingga dihasilkan suatu pertanaman yang sehat dan hasil yang berkelanjutan (Altieri dan Altieri, 2004). Kemudian dari perhitungan SDR, SDR yang mendominasi terdapat di plot 3 dengan spesies rumput belulang yaitu 43.21%, dan yang tidak mendominasi yaitu pada plot 4 dengan spesies gulma bandotan sebesar 3.8%. Menurut Wahyudi (2008), dalam suatu komunitas gulma seringkali dijumpai ada beberapa jenis yang nilai SDR nya cukup besar. Dengan demikian, tidak ada satu jenis gulma yang dominan, melainkan beberapa jenis yang dominan. Beberapa jenis tersebut harus dipertimbangkan dalam perencanaan pengendalian. Berdasarkan hasil perhitungan indeks keragaman shonnonweiner (H’) dapat diketahui vegetasi gulma pada plot 1 penggunaan lahan hutan pinus, plot 2 penggunaan lahan agroforestri, plot 3 penggunaan lahan tanaman semusim, dan plot 4 penggunaan lahan tanaman semusim serta permukiman, di dapatkan hasil keanekaragam yang rendah pada setiap plot dan setiap spesiesnya. Keragaman Hama dan Penyakit Dari hasil pengamatan diketahui bahwa pada hampir tiap plot didominasi oleh serangga lain dan musuh alami. Hal ini menandakan bahwa serangan hama yang terjadi di agroekosistem tersebut sangatlah rendah. Sehingga agroekosistem tersebut dapat terus berlanjut. Menurut Karindah (2014), melalui peran sebagai musuh alami, serangga sangat membantu manusia dalam usaha pengendalian hama. Selain itu serangga juga membantu 49
-
-
dalam menjaga kestabilan jaring-jaring makanan dalam suatu agroekosistem. Tingkat keragaman jenis serangga memiliki dampak yang sangat penting bagi kestabilan di dalam agroekosistem. Cadangan Karbon Berdasarkan kondisi lapang yaitu di Desa Tulugrejo memiliki simpanan karbon yang cukup tinggi pada hutan produksi dan agroforestri, sedangkan pada tanaman semusim dan tanaman semusim dengan pemukiman memiliki nilai simpanan karbon yang cukup rendah. Hal ini disebabkan oleh keragaman tanaman yang ada di dalamnya. Semakin banyak tanaman tahunan maka semakin banyak karbon yang diserap dan disimpan. Hairiah dan Rahayu (2007) mengatakan bahwa hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak. Pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian baru dapat menyebabkan pelepasan karbon (C) ke atmosfer. Karbon (C) yang pada awalnya tersimpan dalam pepohonan dan tanaman lainnya dilepaskan melalui pembakaran (dalam bentuk asap) atau terdekomposisi diatas ataupundibawah permukaan tanah sewaktu pembukaan lahan (land clearing). Agroekosistem ini dapat dikatakan berlanjut karena nilai cadangan karbon yang tinggi. Sosial Ekonomi Berdasarkan hasil wawancara yang telah didapat, diketahui bahwa dari seluruh kegiatan usaha tani pada agroekosistem tersebut menguntungkan. Hal ini dilihat berdasarkan perhitungan R/C rasio yang dilakukan. Menurut Irawan (2013) efisiensi penggunaan sumberdaya adalah rasio antara pendapatan dengan biaya produksi, jika rasio tersebut bernilai positif maka dapat dikatakan usahatani dipandang efisien. Hal ini menandakan bahwa agroekosistem tersebut akan terus berkelanjutan. Sedangkan dari segi lingkungan, hanya terdapat 1 plot yang tidak memperhatikan lingkungan. Budidaya yang dilakukan masih menggunakan iinput pestisida dan pupuk kimia. Pengaplikasian yang secara terus menerus akan meninggalkan residu bagi tanah dan akan meracuni tanah sehingga agroekosistem tidak dapat berlanjut. Penggunaan insektisida kimia, pada banyak kasus, tidak memecahkan masalah, bahkan menimbulkan masalah baru, yaitu terjadinya resistensi terhadap insektisida dan terjadinya ledakan populasi hama sekunder (Hallberg, 1989). Namun sebagian besar sistem budidaya yang dilakukan sudah memperhatikan lingkungan sehingga agroekosistem dapat berlanjut. Setiap petani melakukan budidaya tanaman berdasarkan kepercayaan yang disebut dengan tanda alam atau Pranatamangsa. Dimana petani 50
melakukan penanaman berdasarkan musim yang sedang terjadi. Kebudayaan ini tetap dipegang erat oleh para petani meskipun akhir-akhir ini iklim sulit untuk diprediksi. Berdasarkan seluruh aspek yang ada, agroekosistem dapat dikatakan berlanjut apabila keseluruhan aspeknya tercapai. Pada agroekosistem ini, seluruh aspek terpenuhi sehingga dapat dikatakan bahwa agroekosistem dapat terus berkelanjutan.
51
BAB 4 Penutup 4.1 Kesimpuan Berdasarkan pengamatan kualitas air pada keempat plot memiliki kualitas air yang baik karena nilai DO berada diskala IV. Pengamatn biodiversitas pada plot 2 merupakan yang paling tinggi dan bernilai ekonomi tinggi karena penggunaan pertanianya lahan agroforestri selain itu sistem penggunaan lahan yang berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama dan adanya berbagai jenis macam tanaman sehingga dengan banyaknya tanaman yang ditanam akan meningkatkan hasil produktivitas selain itu juga dapat meningkatkan banyaknya biodiversitas pada lahan tersebut. Keragaman arthropoda dan penyakit mendominasi pada masing-masing plot. Untuk cadangan karbon berdasarkan kondisi lapang yaitu di Desa Tulugrejo memiliki simpanan karbon yang cukup tinggi pada hutan produksi yaitu pada plot 1 dan agroforestri pada plot 2. Dalam segi aspek sosial ekonomi, pada keempat plot memiliki RC ratio >1 yang berarti usaha tani diwilayah tersebut layak diusahakan karena memperoleh keuntungan. Suatu praktik pertanian dikatakan berlanjut apabila ketiga kriteria pertanian keberlanjutan terpenuhi, yaitu dari segi ekonomi,ekologis dan sosial budaya. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dari berbagai indikator yang meliputi indikator biofisik yaitu indikator kualitas air, indikator agronomi, indikator hama penyakit, serta indikator sosial ekonomi maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan lahan pada skala landskap di desa Tulungrejo kecamatan Ngantang Kabupaten Malang tersebut termasuk dalam kategori pertanian berlanjut. 4.2 Saran Untuk menjaga keberlanjutan pertanianya petani harus tetap menjaga agroekosistem dengan memperhatikan aspek ekologi, aspek sosial ekonomi dan aspek sosial budaya. Serta dengan penambahan teknologi-teknologi dan pengetahuan baru untuk menunjang kegiatan budidayanya.
52
DAFTAR PUSTAKA
Barus, T. A, 2003. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi FMIPA USU. Medan Deddy, U. 2013. Pertanian Ramah Lingkungan. Kementrian Lingkungan Hidup. Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan. Bogor, 29 Mei 2013. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Djamaluddin. 2010. Faktor biotik dan abiotik dalam ekosistem. http://t djamaluddin.spaces.live.com/blog/cns!D31797DEA6587FD7!286.entry (online). Diakses tanggal 7 Desember 2016 Gunawan, Suratno. 2004. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta Hairiah K, Ekadinata A, Sari RR, Rahayu S. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon: dari tingkat lahan ke bentang lahan. Petunjuk praktis. Edisi kedua. Bogor, World Agroforestry Centre, ICRAF SEA Regional Office, University of Brawijaya (UB), Malang, Indonesia. Hairiah, K. dan Rahayu, S. (2007). Pengukuran “Karbon Tersimpan” Di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre, ICRAFSA. Bogor. Irawan. 2013. Pertanian Ramah Lingkungan: Indikator dan Cara Pengukuran Aspek Sosial – Ekonomi. Online http://balittanah.litbang.pertanian.go.id diaksek pada 7 Desember 2016 Kasumbogo, Untung. 1997. Peranan Pertanian Organik Dalam Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Pemkab Malang. 2014. Review Rencana Strategis Kecamatan Ngantang Tahun 2011 – 2015. Pemerintah Kabupaten Malang Ruhimat, Idin Saepudin. 2015. Status Keberlanjutan Ushatani Agroforestry pada Lahan Masyarakat: Studi Kasus di Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 12: (2): 99-110. Wahyudi, T. 2008. Panduan Lengkap Kakao: Managemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Yogyakarta: Penebar Swadaya Widarti, Asmanah. 2015. Kontribusi Hutan Rakyat untuk Kelestarian Lingkungan dan Pendapatan. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversiti Indonesia. 1: (7): 1622-1626. Yunasfi. 2007. Permasalahan Hama, Penyakit dan Gulma dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Usaha Pengendaliannya. Medan: Universitas Sumatera Utara
53
LAMPIRAN Lampiran 1. Sketsa Penggunaan Lahan di Lokasi Pengamatan a. Tanaman Semusim
b. Hutan Produksi
c. Agroforestri Kopi
d. Tanaman semusim dan permukiman
54
Lampiran 2. Transek lahan
a. Hutan Produksi
b. Agroforestri Kopi
c. Tanaman Semusim
d. Tanaman Semusim + Pemukiman
55
Lampiran 3. Data-data lapangan lainnya Pengamatan Aspek Agronomi A. Identifikasi dan Analisis Gulma Plot 1 Dokumentasi
Gulma Nama local Nama ilmiah Daun asam Oxsalis corminaculata
Jumlah gulma plot ke 1 2 3 5 0 32
Total 37
D1 3,5
D2 4
Bandotan
Agreratum conyzoides L.
11
28
10
49
2
5
Pegagan
Centella asiatica
11
3
0
14
2
5
Tanamna x
Tanaman x
0
6
0
6
6
3
Total
D1
D2
Plot 2 Jumlah Gulma Titik ke-
Nama Gulma No. Dokumentasi
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1
2
3
1.
Rumput Teki
Cyperus rotundus L.
53
-
-
53
12.5 cm
9 cm
2.
Legetan
Calyptocarpu s wendlandii
12
2
-
14
9 cm
8.5 cm
3.
Rumput gajah mini
Axonopus compressus
28
7
2
37
7 cm
3 cm
56
4.
Tapak Liman
Elephantopus 8 scaber
-
-
8
29 cm
36 cm
5.
Setawar
Borreria alata
12
-
-
12
9 cm
6 cm
6.
Bandotan
Ageratum conyzoides L.
-
4
-
4
11 cm
2 cm
7.
glentanga n
Synedrella nodiflora
-
23
-
23
8 cm
1 cm
Plot 3 Gulma
Jumlah Gulma Plot ke-
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1
2
3
Total
Krokot
Postulaca oleracea L.
4
3
2
9
D1 D2 (cm) (cm) Dokumentasi
2
18
57
Rumput Eleusine belulang indica
34 27 42 103
16
24
Daun Asam Kecil
Oxalis 6 corniculata L.
-
3
9
4
2.5
Rumput Merak
Themede arguens (L) Hack
4
7
11
33
20
1
Plot 4 Gulma Dokumentasi
Jumlah gulma titik ke-
Jumlah
D1 (cm)
D2 (cm)
Nama lokal
Nama ilmiah
1
2
3
krokot
Postulaca oleracea L.
2
15
0
17
4
1,5
Rumput Belulang
Eleusine indica
10
0
3
13
19
18
58
Aur – aur
Commelina 30 diffusa
5
12
47
7,5
5
bandotan
Ageratum sp.
0
4
0
4
6
2.5
0
4
0
4
2.5
2
DN
IV
Tanaman X
B. Perhitungan SDR Perhitungan SDR Lokasi Hutan No Spesies KM KN FM FN LBA DM 1 Oxsalis 12,33 34,9% 0,67 25% 38,47 51,29 corminaculata 2 Agreratum 16,33 46,2% 1 37,5% 19,62 26,17 conyzoides L 3 Centella 4,67 13,2% 0,67 25% 19,62 26,17 asiatica 4 Tanaman x 2 5,7% 0,333 12,5% 63,59 84,78 Kerapatan Mutlak (KM) =
27,2% 87,1 29,03 % 13,9% 97,6 32,53% 13,9% 52,1 17,38% 45% 63,2 21,07%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
Oxsalis corminaculata =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡 37 3
Agreratum conyzoides L = Centella asiatica
SDR
=
= 12,33
49
14
6
3
3
=16,33
= 4,67
Tanaman x =3 = 2 TOTAL KM = 12,33 + 16,33 + 4,67 + 2 = 35,33 𝐾𝑀 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡 Kerapatan Nisbi (KN) = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑀 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 x 100% 12,33
Oxsalis corminaculata = 35,33 x 100% = 34,9 % 16,33
Agreratum conyzoides L = 35,33 x 100% = 46,2% 4,67
Centella asiatica
= 35,33 x 100% = 13,2%
Tanaman x
= 35,33 x 100% = 5,7%
Frekuensi Mutlak (FM) =
2
𝑝𝑙𝑜𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡
59
2
Oxsalis corminaculata = 3 = 0,667 3
Agreratum conyzoides L = 3 = 1 2
Centella asiatica = 3 = 0,667 1
Tanaman x =3 = 0,333 TOTAL FM = 0,667 + 1 + 0,667 + 0,333 = 2,667 𝐹𝑀 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡 Frekuensi Nisbi (FN) = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐹𝑀 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 x 100% 0,667
Oxsalis corminaculata = 2,667 x 100% = 25% 1
Agreratum conyzoides L = 2,667 x 100% = 37, 5% 0,667
Centella asiatica = 2,667 x 100% = 25% Tanaman x =
0,333 2,667
x 100% = 12,5%
𝑑1 𝑥 𝑑2 2 ] x𝜋 4 3,5 𝑥 4 corminaculata = [ 4 ]2 x 2𝑥5 2
Luas Basal Area (LB) = [ Oxsalis
Agreratum conyzoides L = [ 2𝑥5 2 ] 4
Centella asiatica = [ Tanaman x = [
6𝑥3 2 ] 4
x 3,14 = 19,625
𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑠𝑎𝑙 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
Oxsalis corminaculata =
𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ 38,465
= 51,287
0,75 19,625
Agreratum conyzoides L =
Tanaman x =
63,585 0,75
] x 3,14 = 19,625
4
x 3,14 = 63,585
Dominasi Mutlak (DM) =
Centella asiatica =
3,14 = 38,465
19,625 0,75
0,75
= 26,167
= 26,167
= 84,78
TOTAL DM = 51,287 + 26,167 + 26,167 + 84,78 = 188,401 𝐷𝑀 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 Dominasi Nisbi (DN) = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐷𝑀 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 x 100% 51,287
Oxsalis corminaculata = 188,401 x 100% = 27,2% 26,167
Agreratum conyzoides L = 188,401 x 100% = 13,9% 26,167
Centella asiatica = 188,401 x 100% = 13,9% 84,78
Tanaman x = 188,401 x 100% = 45% Importance Value (IV) = KN + FN + DN Oxsalis corminaculata = 34,9 + 25 + 27,2 = 87,1 Agreratum conyzoides L = 46,2 + 37,5 + 13,9 = 97,6 Centella asiatica = 13,2 + 25 + 13,9 = 52,1 Tanaman x = 5,7 + 12,5 + 45 = 63,2 Summed Dominance Ratio (SDR) = IV/3 87,1 Oxsalis corminaculata = 3 = 29,033 Agreratum conyzoides L =
97,6 3
= 32,533
60
Centella asiatica = 63,2
No 1 2 3 4 5 6 7
52,1 3
= 17,367
Tanamna x = 3 = 21,067 Perhitungan SDR Lokasi Agroforestry Spesies KM KN FM FN LBA DM DN IV Cyperus 17.7 35.1% 0.3 10.1% 2483.8 0.0114 1.14% 46.4% rotundus L. Calyptocarpus 4.7 9.3% 0.7 20.2% 1148.5 0.0053 0.53% 30.0% wendlandii Axonopus 12.3 24.5% 1 30.3% 86.5 0.0004 0.04% 54.9% compressus Elephantopus 2.7 5.3% 0.3 10.1% 213899.9 0.9797 97.97% 113.4% scaber 572.3 0.0026 0.26% 18.3% Borreria alata 4.0 8.0% 0.3 10.1% Ageratum 1.3 2.7% 0.3 10.1% 95.0 0.0004 0.04% 12.8% conyzoides L. Synedrella 7.7 15.2% 0.3 10.1% 50.2 0.0002 0.02% 25.4% nodiflora KM Cyperus rotundus L. = 53/3 = 17.7 Calyptocarpus wendlandii = 14/3 = 4.7 Axonopus compressus = 37/3 = 12.3 Elephantopus scaber = 8/3 = 2.7 Borreria alata = 12/3 = 4 Ageratum conyzoides L. = 4/3 = 1.3 Synedrella nodiflora = 23/3 = 7.7 Total KM = 50.3 KN Cyperus rotundus L. = 17.7/50.3 x 100% = 35.1% Calyptocarpus wendlandii = 4.7/50.3 x 100% = 9.3% Axonopus compressus = 12.3/50.3 x 100% = 24.5% Elephantopus scaber = 2.7/50.3 x 100% = 5.3% Borreria alata = 4/50.3 x 100% = 8% Ageratum conyzoides L. = 1.3/50.3 x 100% = 2.7% Synedrella nodiflora = 7.7/50.3 x 100% = 15.2% FM Cyperus rotundus L. = 1/3 = 0.3 Calyptocarpus wendlandii = 2/3 = 0.7 Axonopus compressus = 3/3 = 1 Elephantopus scaber = 1/3 = 0.3 Borreria alata = 1/3 = 0.3 Ageratum conyzoides L. = 1/3 = 0.3 Synedrella nodiflora = 1/3 = 0.3 Total FM = 3.3 FN
61
SDR 15% 10% 18% 38% 6% 4% 8%
Cyperus rotundus L. = 0.3/3.3 x 100% = 10.1% Calyptocarpus wendlandii = 0.7/3. 3 x 100% = 20.2% Axonopus compressus = 1/3. 3 x 100% = 30.3% Elephantopus scaber = 0.3/3. 3 x 100% = 10.1% Borreria alata = 0.3/3. 3 x 100% = 10.1% Ageratum conyzoides L. = 0.3/3. 3 x 100% = 10.1% Synedrella nodiflora = 0.3/3. 3 x 100% = 10.1% LBA Cyperus rotundus L. = (12.5 x 9/4)² x 3.14 = 2483.8 Calyptocarpus wendlandii = (9 x 8.5/4 x 3)² x 3.14 = 1148.5 Axonopus compressus = (7 x 3/4)² x 3.14 = 86.5 Elephantopus scaber = (29 x 36/4)² x 3.14 = 213899.9 Borreria alata = (9 x 6/4)² x 3.14 = 572.3 Ageratum conyzoides L. = (11 x 2/4)² x 3.14 = 95.0 Synedrella nodiflo = (8 x 2/4)² x 3.14 = 50.2 Total LBA = 218336.3 DM Cyperus rotundus L. = 0.0036/218336.3= 0.0114 Calyptocarpus wendlandii = 0.0017/218336.3= 0.0053 Axonopus compressus = 0.0001/218336.3= 0.0004 Elephantopus scaber = 0.3080/218336.3= 0.9797 Borreria alata = 0.0008/218336.3= 0.0026 Ageratum conyzoides L. = 0.0001/218336.3= 0.0004 Synedrella nodiflo = 0.00007/218336.3= 0.0002 Total DM = 1 DN Cyperus rotundus L. = 0.0114/1 x 100% = 1.14% Calyptocarpus wendlandii = 0.0053/1 x 100% = 0.53% Axonopus compressus = 0.0004/1 x 100% = 0.04% Elephantopus scaber = 0.9781/1 x 100% = 97.97% Borreria alata = 0.0008/1 x 100% = 0.26% Ageratum conyzoides L = 0.0004/1 x 100% = 0.04% Synedrella nodiflo = 0.0002/1 x 100% = 0.02% IV Cyperus rotundus L. = 35.1% + 10.1% + 1.14% = 46.4% Calyptocarpus wendlandii = 9.3% + 20.2% + 0.53% = 30% Axonopus compressus = 24.5% + 30.3% + 0.04% = 54.9% Elephantopus scaber = 5.3% + 10.1% + 97.97% = 113.4% Borreria alata = 8% + 10.1% + 0.26% = 18.3% Ageratum conyzoides L = 2.7% + 10.1% + 0.04% = 12.8% Synedrella nodiflo = 15.2% + 10.1% + 0.02% = 25.4% SDR Cyperus rotundus L. = 46.4%/3 = 15% Calyptocarpus wendlandii = 30%/3 = 10 % Axonopus compressus = 54.9%/3 = 18%
62
Elephantopus scaber = 113.4%/3 = 38% Borreria alata = 18.3%/3 = 6% Ageratum conyzoides L = 12.8%/3 = 4% Synedrella nodiflo = 25.4%/3 = 8% Perhitungan SDR Lokasi Semusim N Spesies KM KN F FN LBA DM DN o M 1 Postulac 3 6,76% 1 27,25 254,34 0,002 0,19% a % oleracea L. 2 Eleusine 34,3 77,44 1 27,25 28938,2 0,25 24,94 indica 3 % % 4 % 3 Oxalis 3 6,76% 0,67 18,26 19,63 0,000 0,019 cornicula % 2 % ta L. 4 Themede 4 9,02% 1 27,25 85486,5 0,75 74,83 arguens % % (L) Hack Jumlah spesies tersebut Kerapatan Mutlak (KM) = jumlah plot 1. Postulaca oleracea L. 2. Eleusine indica 3. Oxalis corniculata L. 4. Themede arguens (L)
Kerapatan Nisbi (KN) =
IV
SDR
34,2% 11,4%
129,63 43,21 % % 25,04% 8,35%
111,1% 37,03 %
9
=3 =3 103 = 3 = 34.33 9 =3 =3 12 = 3 =4
KM spesies tersebut 100% jumlah KM seluruh spesies
1. Postulaca oleracea L. 2. Eleusine indica 3. Oxalis corniculata L. 4. Themede arguens (L)
3
= 44.33 × 100% = 6.76% 34.33 = 44.33 × 100% = 77.44% 3 = 44.33 × 100% = 6.76% 4 = 44.33 × 100% = 9.02%
63
Frekuensi Mutlak (FM)
=
plot yang terdapat spesies tersebut jumlah seluruh plot
1. Postulaca oleracea L.
3
=3 =1 3 2. Eleusine indica =3 =1 2 3. Oxalis corniculata L. =3 = 0.67 3 4. Themede arguens (L) =3 =1 FM spesies tersebut Frekuensi Nisbi (FN) = 100% jumlah FM seluruh spesies 1. Postulaca oleracea L.
1
= 3.67 × 100% = 27.25% 1 2. Eleusine indica = 3.67 × 100% = 27,25% 0.67 3. Oxalis corniculata = 3.67 × 100% = 18.26% 1 4. Themede arguens (L) = 3.67 × 100% = 27.25% d1 d 2 4 Luas basal area = 1. Postulaca oleracea L. 2
2. Eleusine indica 3. Oxalis corniculata 4. Themede arguens (L)
2 ×18
= ( 4 )2 × π = 254.34 16 ×24 = ( 4 )2 × π = 28938.24 4 ×2.5 = ( 4 )2 × π = 19.63 33 ×20 = ( 4 )2 × π = 85486.5
luas basal area spesies tersebut luas seluruh area contoh 254.34 1. Postulaca oleracea L. = 114698.71 = 0.002 28938.24 2. Eleusine indica = 114698.71 = 0.25
Dominansi Mutlak (DM) =
64
19.63
3. Oxalis corniculata
= 114698.71 = 0.0002 85486.5
4. Themede arguens (L) = 114698.71 = 0.75
Dominansi Nisbi (DN) =
DM suatu spesies 100% jumlah DM seluruh spesies
1. Postulaca oleracea L.
0.002
= 1.0022 × 100% = 0.19% 0.25 2. Eleusine indica = 1.0022 × 100% = 24.94% 0.0002 3. Oxalis corniculata =1.0022 × 100% = 0.019% 0.75 4. Themede arguens (L) = 1.0022 × 100% = 74.83%
Menentukan Nilai Penting (Importance Value = IV) Importance Value (IV) = KN + FN + DN 1. IV Postulaca oleracea L. = 6.76% + 27.25% + 0.19% = 34.2% 2. IV Eleusine indica = 77.44 + 27.25 + 24.94 = 129.63% 3. IV Oxalis corniculata = 6.76 + 18.26 + 0.019 = 25.04% 4. IV Themede arguens (L) = 9.02 + 27.25 + 74,83 = 111.1% Summed Dominance Ratio (SDR)= IV/3 1. SDR Postulaca oleracea L.
= 34.2 / 3 = 11.4% 2. SDR Eleusine indica = 129.63 / 3 = 43.21% 3. SDR Oxalis corniculata = 25.04 / 3 = 8.35% 4. SDR Themede arguens (L) = 111.1 / 3 = 37.03% Perhitungan SDR Lokasi Semusim dan Pemukiman N Spesies KM KN F FN LBA o M 1 Postulaca 5,64 20,1 0,67 13,4 7,065 oleracea L. % %
DM
DN
IV
SDR
0,0003 0.03 33,44 11,15 % % %
65
2
Eleusine 4,33 15,28 0,67 13,4 22954,18 0,98 indica % % 3 Commelin 15,67 55,31 1 20 % 275,97 0,01 a diffusa % 4 Ageratum 1,33 4,69 0,33 6.6 44,16 0,001 sp. % % 5 Tanaman 1,33 4,69 0,33 6,6 4,91 0,0002 X % % Jumlah spesies tersebut Kerapatan Mutlak (KM) = jumlah plot 17 1. Postulaca oleracea L. = 3 = 5,67 13 2. Eleusine indica = 3 = 4,33 47 3. Commelina diffusa = 3 = 15,67 4 4. Ageratum sp. = 3 = 1,33 4 5. Tanaman X = 3 = 1,33
2.
3.
4.
5.
126,67 % 72,32 % 11,39 % 11,31 %
42,22 % 25,11 % 3,8 % 3,37 %
KM spesies tersebut 100% jumlah KM seluruh spesies 5,67 100% Postulaca oleracea L. = 28,33 = 20,01% 4,33 100% Eleusine indica = 28,33 = 15,28 % 15,67 100% Commelina diffusa = 28,33 = 55,31 % 1,33 100% Ageratum sp. = 28,33 = 4,69 % 1,33 100% Tanaman X = 28,33 = 4,69 %
Kerapatan Nisbi (KN) 1.
98,99 % 0,01 % 0,10 % 0,02 %
=
66
plot yang terdapat spesies tersebut jumlah seluruh plot 2 1. Postulaca oleracea L. = 3
Frekuensi Mutlak (FM)
=
2. Eleusine indica
3. Commelina diffusa
4. Ageratum sp.
5. Tanaman X
= 0,67 2 = 3 = 0,67 3 = 3 =1 1 = 3 = 0,33 1 = 3 = 0,33
FM spesies tersebut 100% jumlah FM seluruh spesies 0,67 100% Postulaca oleracea L. = 5 = 13,4% 0,67 100% Eleusine indica = 5 = 13,4 % 1 Commelina diffusa = 100% 5 = 20 % 0,33 100 % Ageratum sp. = 5 = 6,6 % 0,33 100 % Tanaman X = 5 = 6,6 %
Frekuensi Nisbi (FN) = 1.
2.
3.
4.
5.
d1 d 2 = 4 2
Luas basal area
4 1,5 = 4 = 7,065 2
1. Postulaca oleracea L.
67
19 18 = 4 = 22954,18 2
2. Eleusine indica
7,5 5 = 4 = 275,97 2
3. Commelina diffusa
6 2,5 = 4 = 44,16 2
4. Ageratum sp.
2,5 2 = 4 = 4,91 2
5. Tanaman X
luas basal area spesies tersebut luas seluruh area contoh 7,065 1. Postulaca oleracea L. = 23286,28 = 0,0003 22954,18 2. Eleusine indica = 223286,28 = 0,98 275,97 3. Commelina diffusa = 223286,28 = 0,01
Dominansi Mutlak (DM) =
4. Ageratum sp.
=
44,16 223286,28
= 0,001 5. Tanaman X
=
4,91 223286,28
= 0,0002
DM suatu spesies 100% jumlah DM seluruh spesies 0,0003 1. Postulaca oleracea L. = x 100 % 0,99 = 0,03% 0,98 100% 2. Eleusine indica = 0,99 = 98,99% 0,01 100% 3. Commelina diffusa = 0,99
Dominansi Nisbi (DN)
=
68
= 0,01 % 4. Ageratum sp.
=
0,001 100% 0,99
= 0,10 % 5. Tanaman X
=
0,0002 100% 0,99
= 0,02 %
Importance Value (IV) = KN + FN + DN 1. Postulaca oleracea L. 2. Eleusine indica 3. Commelina diffusa 4. Ageratum sp. 5. Tanaman X
= 20,01 + 13,4 + 0,03 = 33,4 = 15,28 + 13,4 + 98,99 = 126,67 = 55,31 + 20 + 0,01 = 75,32 = 4,69 + 6,6 + 0,10 = 11,39 = 4,69 + 6,6 + 0,02 = 11,31
Summed Dominance Ratio (SDR) = IV/3 1. Postulaca oleracea L. = 33,44 / 3 = 11,15 2. Eleusine indica = 126,67 / 3 = 42,22 3. Commelina diffusa = 75,32 / 3 = 25,11 4. Ageratum sp. = 11,39 / 3 = 3,8 5. Tanaman X = 11,31 / 3 𝑊
Perhitungan C = 4 x 𝐴+𝐵+𝐶+𝐷 x100% A = 35,53 C = 44,33 A+B+C+D = 35,33 + 50,3 + 44,33 + 28,33 = 158,36 B = 50,3 D = 28,33 W plot 1 = 2 + 4,6 = 6,67 W plot 2 = 1,3 + 2,7 = 4 W plot 3 = 3 + 3+ 4= 10 W plot 4 = 1,33 + 1,33 + 4,33 = 6,99 6,67 C Plot 1 = 4 x 35,33+50,3+44,33+28,33 x 100% 6,67
= 4 x 158,36 x 100% C Plot 2
= 16,85 % 4 = 4 x 158,36 x 100% = 10,1 %
69
PERHITUNGAN H’ 𝑛𝑖 𝑛𝑖 a. PLOT 1 (H’ = -∑𝑛𝑛=𝑖( 𝑁 In 𝑁 )) 87,1
97,6
299,97
= 0,24757 34,20 = 299,97x LN
Eleusine indica 34,20 299,97
300
= 0,36532 52,1 52.1 Centella asiatica = 300 x LN 300 = 0,30402 63,2 63,2 Tanaman x = 300 x LN 300 = 0,32811 TOTAL = 1,356 𝑛𝑖 𝑛𝑖 b. PLOT 2 (H’ = -∑𝑛𝑛=𝑖( 𝑁 In 𝑁 )) 44,40
46,40
= 300,20x LN
x LN
299,97
34,20 87,1
Oxsalis corminaculata = 300 x LN 300 = 0,35906 97,6 Agreratum conyzoides = 300 x LN
Cyperus rotundus L.
34,20
Postulaca oleracea L. =
Oxalis corniculata
= 0,36257 34,20 =299,97x LN 299,97 34,20
= 0,20729 34,20 Themede arguens (L) = 299,97x LN = 0,36787 TOTAL = 1,185 𝑛𝑖 𝑛𝑖 d. PLOT 4 (H’ = -∑𝑛𝑛=𝑖( 𝑁 In 𝑁 )) 33,44
Postulaca oleracea L. = 145,07x LN 33,44
300,20
= 0,28815 30 Calyptocarpus wendlandii = 300,20x 30
LN 300,20 = 0,22974 54,90 Axonopus compressus = 300,20x LN 54,90
145,07
= 0,35906 33,44 Eleusine indica = 145,07x LN 145,07 33,44
= 0,33826 33,44 Commelina diffusa = 145,07x LN 33,44
145,07
300,20
= 0,31027 113,40 Elephantopus scaber = 300,20x LN 113,40
Ageratum sp. 33,44 145,07
300,20
= 0,36778 18,30 Borreria alata = 300,20x LN 300,20 18,30
= 0,17017 12,80 Ageratum conyzoides L. = 300,20x LN 12,80
300,20
= 0,13422 25,40 Synedrella nodiflora = 300,20x LN 25,40 300,20
= 0,20855 TOTAL = 1,708 𝑛𝑖 𝑛𝑖 c. PLOT 3 (H’ = -∑𝑛𝑛=𝑖( 𝑁 In 𝑁 ))
= 0,33826 33,44 = 145,07x LN
Tanaman X 33,44
= 0,33826 33,44 = 145,07x LN
145,07
= 0,19892 TOTAL = 1,551 PERHITUNGAN INDEKS DOMINAN C 𝒏𝒊 = ∑( 𝑵 )2 𝑛𝑖
a. PLOT 1 C = ∑( 𝑁 )2 Oxsalis corminaculata Agreratum conyzoides Centella asiatica Tanaman x TOTAL 𝑛𝑖 b. PLOT 2 C = ∑( 𝑁 )2
= 0,084 = 0,105 = 0,030 = 0,044 = 0,264
70
34,20 299,97
Cyperus rotundus L = 0,023 Calyptocarpus wendlandii = 0,009 Axonopus compressus = 0,033 Elephantopus scaber = 0,142 Borreria alata = 0,004 Ageratum conyzoides L = 0,002 Synedrella nodiflora = 0,007 TOTAL = 0,221 𝑛𝑖 2 c. PLOT 3 C = ∑( 𝑁 ) Postulaca oleracea L = 0,013 Eleusine indica = 0,187
Oxalis corniculata = 0,007 Themede arguens (L) = 0,137 TOTAL = 0,334 𝑛𝑖 2 d. PLOT 4 C = ∑( 𝑁 ) Postulaca oleracea L = 0,053 Eleusine indica = 0,053 Commelina diffusa = 0,053 Ageratum sp. = 0,053 Tanaman X = 0,006 TOTAL = 0,219
71