ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Penelitian ini fokus pada makna arsitektur mall, bagaimana kode teknis,
sintaksis, dan semiotik arsitektur membentuk makna. Serta bagaimana kode-kode arsitektur tersebut mengartikulasikan hedonisme melalui kode-kode arsitektur mall, yang kemudian membentuk simulakra. Mall yang diteliti adalah Tunjungan Plaza Surabaya (selanjutnya akan disebut TP) karena sebagai mall terbesar di Jawa Timur1, TP memiliki empat plaza dengan kode arsitektur dan nuansa yang berbeda sehingga mengartikulasikan konsumsi tanda dan hedonisme yang kaya dan beragam pada sebuah mall. Arsitektur adalah sebagai sebuah tempat untuk melakukan kegiatan manusia.2 Manusia dari zaman prasejarah membuat api unggun saat malam, dan entah mereka akan bermalam di suatu tempat untuk satu malam atau lebih, mereka mendirikan sebuah tempat. Dengan api unggun sebagai sentralnya, mereka membuat tempat untuk memasak serta tempat tidur yang dilapisi dedaunan. Dalam hal ini, mereka telah mengubah sebuah tempat menjadi rumah, di mana mereka menata lingkungan sekitar mereka berdasarkan berbagai tujuan dan aktivitas yang dilakukannya. Mereka melakukan arsitektur. Pada dasarnya, 1
Berdiri di atas tanah seluas 111.700 m², dengan lebih dari 500 toko ritel. Lihat selengkapnya di gambaran umum tentang TP di halaman II-4, atau lihat PT. Pakuwon Jati Tbk. dalam http://www.pakuwon.com/tunjungan-plaza. 2 Unwin, Simon. Analysing Architecture. London: Routledge, 1997. Hal. 15-16. I-1
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
arsitektur bukanlah hal yang abstrak tetapi sebagai aspek fundamental untuk mengidentifikasi tempat manusia menjalani hidup. Manusia membuat tempat untuk menjalani aktivitas mereka: makan, tidur, bekerja, berbelanja, belajar, dan lain sebagainya. Cara seseorang mengorganisasi tempat hidupnya mencerminkan bagaimana dia memandang dunia, kepercayaannya, serta aspirasinya.3 Karena cara memandang dunia tiap orang berbeda, begitu pula arsitektur, dia mencakup level personal, sosial dan kultural level, dan subkultur yang beraneka ragam di masyarakat. Ruang lingkup arsitektur dalam penelitian ini adalah “ruang” dan “bangunan”. “Bangunan” merupakan objek yang mendefinisikan dan mengelilingi ruang.4 Dan “ruang” merupakan struktur tiga-dimensi, baik indoor maupun outdoor, baik lingkungan alami maupun buatan. Dalam penelitian ini, ruang yang dimaksud adalah ruang buatan yang merupakan bangunan, yaitu interior mall. Ruang merupakan struktur yang terbentuk dari persimpangan atap, dinding, dan lantai. Built environment, dalam hal ini adalah mall, merupakan refleksi budaya dan identitas masyarakat.5 Makna yang terkandung pada arsitektur dan desain built environment terbentuk melalui konteks yang ada pada masyarakat, dan 3
Ibid., Hal. 16-17. Stenglin, Maree Kristen. Space Odyssey: Towards A Social Semiotic Model of Three-dimensional Space. London: SAGE Publications, 2009, dalam http://vcj.sagepub.com/content/8/1/35 . Hal. 4. 5 Kopec, Dak dan Natalie Lord. Scares of Communism: Architectural and Design Remnants of an Ideology. London: SAGE Publications, 2010, dalam http://sac.sagepub.com/content/13/4/436 . Hal. 447. 4
I-2
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
arsitektur dan desain built environment meneguhkan makna tersebut. Makna yang terdapat dalam arsitektur dapat dihubungkan dengan komunikasi, yang mana sebagai sistem signifikasi (system of signification) yang dapat dideskripsikan dan dipelajari melalui analogi bahasa.6 Arsitektur, layaknya bahasa, dideskripsikan sebagai komunikasi yang sistematis dan struktural untuk menyampaikan ide dan pemikiran, yang mana penggunaan dan maknanya diatur sesuai konvensi sosial.7 Dengan kata lain, makna tanda dan simbol pada produk arsitektur diungkapkan melalui aspek fisik, yaitu bentuk bangunan dan ruang. Dalam bahasa, sebuah makna dapat disampaikan melalui kata-kata yang berbeda, atau dengan susunan kalimat yang berbeda. Namun kata-kata dan susunan yang berbeda juga dapat mengakibatkan makna yang berbeda pula. Dengan kata lain, kosa kata dan bagaimana susunannya memengaruhi nuansa serta makna. Begitu pun dengan arsitektur, suatu tempat dapat diidentifikasi melalui berbagai elemen-elemennya. Identifikasi tempat juga bergantung pada persepsi atau gambaran mengenai tempat tersebut di mata para pengguna. Tempat bagi arsitektur bagai makna bagi bahasa.8 Layaknya bahasa yang memiliki kosa kata dan gramatika, arsitektur pun memiliki elemen, pola, dan struktur, baik secara fisik maupun intelektual. Secara sederhana, arsitektur berhubungan langsung dengan aktivitas yang dilakukan manusia; arsitektur berubah dan berkembang sebagai sesuatu yang baru, 6
Meunier, John. ed. Proceedings of the ACSA 68th Annual Meeting. New York: Association of Collegiate Schools of Architecture, 1980. Hal. 200. 7 Ibid., Hal. 201. 8 Unwin, Simon. Analysing Architecture. London: Routledge, 1997. Hal. 16-17. I-3
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
mengalami interpretasi ulang mengidentifikasi sebuah tempat. Baik bahasa dan arsitektur, eksistensi keduanya terbentuk melalui penggunaannya, yang mana berubah dari masa ke masa dan berbeda pada tiap budaya. Dalam asal usul kulturalnya, arsitektur memiliki fungsi praktis untuk memberikan perlindungan. Seperti atap dan jendela pada sebagian besar bangunan memiliki beberapa fungsi primer, misalnya memberikan perlindungan terhadap hujan dan cuaca. Namun, arsitektur tidak dibatasi oleh fungsi-fungsi primernya, tetapi arsitektur juga memiliki banyak fungsi dan berbagai dimensi makna. Bahkan pintu, jendela, dan ruang spasial dengan jelas dapat menunjukkan keanekaragaman makna tersebut.9 Jendela, misalnya, dapat dimaknai melalui skala dan tipenya. Arsitektur menyediakan ruang bagi lingkungannya untuk hidup. Bangunan bukan hanya menyediakan perlindungan fisik tetapi juga ruang berlangsungnya ritual sosial.10 Dan karena institusi sosial semakin berkembang, terjadi
perubahan
terhadap
arsitektur,
dalam
usahanya
mengakomodasi
pergerakan orang-orang di dalamnya. Produk arsitektur, dalam hal ini ruang pada bangunan mall, berubah seiring dengan perkembangan teknologi dan budaya.11 Sebagai ilmu yang mempelajari tanda, salah satu ranah semiotik adalah bagaimana elemen nonverbal, termasuk arsitektur, merefleksikan dan memberikan implikasi terhadap kebudayaan. Sebagai hasil produksi budaya, sebuah bangunan 9
Noth, Winfried. Semiotik. Surabaya: Airlangga University Press, 2006. Hal. 444.
10
Conway, Hazel dan Rowan Roenisch. Understanding Architecture. London: Routledge, 1994. Hal. 23.
11
Meunier, John. ed. Proceedings of the ACSA 68th Annual Meeting. New York: Association of Collegiate Schools of Architecture,1980. Hal. 201. I-4
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
dapat merupakan artefak yang berdiri sendiri, tidak tergantung pada sistem yang lebih luas (autonomous, stand-alone artifacts), namun sisi lain sebuah bangunan juga merupakan artefak yang bergantung pada sistem budaya yang lebih luas, yang mengekspresikan makna mendalam, aspirasi, serta lingkup budaya yang lebih luas.12 Makna merupakan hal yang terpisahkan dari arsitektur karena dalam memproduksi sebuah bangunan tak lepas dari ideologi pembuatnya, karena susunan ruang dan layout bangunan itu sendiri merupakan manifestasi kode-kode budaya.13 Mall merupakan konvergensi dari dua bentuk budaya, yaitu budaya sebagai way of life, dan budaya sebagai seni, yang mana bentuk kedua ini disebut sebagai high culture.14 Mall bukan hanya tempat di mana konsumen tak hanya mengalami pengalaman yang menyenangkan dan melakukan permainan, tetapi juga tempat di mana bentuk konsumsi high culture lama terjadi. Pengalaman high culture yang sebelumnya hanya didapatkan sebagian kecil kelompok melalui museum dan galeri seni, kini juga bisa didapatkan di mall, dengan jangkauan konsumen yang lebih luas. Di mall, high culture dilakukan melalui spektakuler, populer, serta aktivitas yang menyenangkan dan mudah diakses. Lebih jauh lagi, proses stylization of life dan estetifikasi dalam kehidupan sehari-hari termanifestasi dalam gaya hidup artistik yang populer, presentasi dan etalase 12
Davis, Howard. The Culture of Building. New York&Oxford. Oxford University Press, 1999. Hal. 95. 13 Featherstone, Mike. Consumer Culture and Postmodernism 2nd Edition. London: SAGE Publications, 2007. Hal. 93. 14 Sassatelli, Roberta. Consumer Culture: History, Theory, and Politics. London: SAGE Publications, 2007. Hal. 97. I-5
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
objek yang ditata dengan penuh gaya, diferensiasi jenis dan ragam objek konsumsi, kegiatan yang dilakukan di waktu luang, serta pengalaman yang melibatkan desain, gaya, dan imajinasi budaya yang populer. Mall menjadi pusat konsumsi, permainan, dan hiburan di kota. Terutama di Indonesia, hal ini dikarenakan jumlah penduduk yang termasuk dalam kelas menengah meningkat pesat. Kelas menengah, atau seperti diungkapkan Homi Kharas, seorang sosiolog, sebagai kelas konsumen baru. Bank Dunia mengklasifikasikan kelas ini berdasarkan pengeluaran per kapita per hari dari US$ 2- US$ 20.15 Pada 2010, di Indonesia terdapat 130 juta orang atau 56,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia yang dapat diklasifikasikan sebagai kelas menengah.16 Menurut AC Nielsen, golongan ini berjumlah 30 juta penduduk Indonesia dan akan menjadi dua kali lipat pada 2015 mendatang.17 Selain itu, golongan “lebih dari cukup ini” telah memenuhi kebutuhan pokoknya sehingga mereka memiliki kebutuhan menganggur (disposable income). Penghasilan sisa inilah yang kemudian dibelanjakan untuk aktualisasi diri, sosialisasi, serta untuk investasi. Besarnya potensi konsumsi kelas ini kemudian menjadi potensi baru bagi industri hiburan dan jasa, tak terkecuali mall. Menurut data Bank Dunia, belanja golongan kelas menengah Indonesia pada 2010 untuk
15
Majalah Marketeers edisi Agustus 2012. Hal. 12. Tim Liputan Khusus Kelas Konsumen Baru. Majalah Tempo edisi 26 Februari 2012. Hal. 54. 17 Ibid., Hal. 58. 16
I-6
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
produk fashion (seperti busana dan alas kaki) mencapai Rp 113,4 triliun. Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik pada 2010, jumlahnya Rp 96 triliun.18 Kecenderungan kelas menengah menjadikan mode internasional sebagai penanda kelas dimulai pada 1990, sejak dibukanya Plaza Indonesia, termasuk di dalamnya SOGO. Manisnya kue fashion ini kemudian diikuti operasi gerai fashion dan lifestyle lainnya di Indonesia. Misalnya Zara (10 gerai), serta Marks 7 Spencer (14 gerai)19; Guess, Raoul, Celine, GAP, Banana Republic, Adidas, Evita Peroni, bebe, serta Dunhill. Semakin menjamurnya label-label internasional tersebut karena konsumen saat ini mencari produk dengan kualitas bagus, harga terjangkau, serta adanya nama (prestise). Dan mall merupakan salah satu tempat yang paling kerap kelas menengah kunjungi pada waktu luang, menunjukkan bahwa konsumsi adalah bagian dari gaya hidup kelas mereka.20 Selain menjadi pusat komersial, mall kemudian juga sebagai social setting.21 Di mall, selain sebagai konsumen, orang-orang di dalamnya juga berperan sebagai audiens bagi desain yang bagaikan “dunia mimpi”, yang menggambarkan kemewahan dan tempat yang mengundang hasrat dan nostalgia. Konsumsi di mall bukan hanya pembelian barang dan jasa tetapi juga tanda yang 18
Ibid., Hal. 86. Per akhir 2011. Majalah Tempo edisi 26 Februari 2012. Hal 87. 20 Pambudy, Ninuk Mardiana. Gaya Hidup Suka Mengonsumsi dan Meniru: Beranikah Berinovasi? dalam Majalah Prisma Volume 31, Nomor I, 2012. Hal. 15. 21 Stillerman, Joel dan Rodrigo Salcedo. Transposing the Urban to the Mall: Routes, Relationships, and Resistance in Two Santiago, Chile, Shopping Centers. London: SAGE Publications, 2012, dalam http://jce.sagepub.com/content/41/3/309 . Hal 310. 19
I-7
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
melekat pada barang dan jasa tersebut. Inilah yang membedakan konsumsi di department store Matahari dan SOGO, dengan objek dan harga yang sama namun prestise konsumsi yang diperoleh berbeda. Selain itu, konsumsi telah didesain ulang dan mengalami perluasan dan tercermin melalui desain ruang interior dan lingkungan simulasi: ilusi dunia mimpi serta paduan kode eklektik, memberi pengalaman baru bagi konsumen. “Istana konsumsi”, “dunia mimpi”, dan “kuil”, di mana objek dipuja oleh konsumen yang berjalan dari satu etalase ke etalase lainnya, dan memberikan pengalaman yang berkesan mengenai dunia simulasi.22 Mall tempat di mana terjadinya pertarungan tanda dan estetifikasi kehidupan sehari-hari, yang mana saat ini dipenuhi bahkan ditenggelamkan oleh tanda. Dalam hal ini, budaya menjadi entitas yang ada di mana pun, secara aktif mengantarai dan merepresentasikan (segala) objek sebagai sesuatu yang memiliki estetika. Terjadi transisi, dari bahasa ke hal yang bersifat figural yang bersifat semu dan menyenangkan karena konsumen tak lagi melakukan aktivitas konsumsi berdasarkan nilai guna sebuah objek, tetapi didasarkan tanda yang melekat pada objek tersebut, misalnya prestise dan status sosial. Konsumsi bukan hanya tentang ekonomi dan kekuatan produksi tetapi juga mengenai budaya dan para penguasa tanda. Konsumsi bukan titik akhir dari produksi, melainkan awal dari siklus yang tak pernah berakhir. Dan hal ini bisa
22
R.H. Williams, 1982; Chaney, 1983 dalam Featherstone, Mike. Consumer Culture and Postmodernism 2nd Edition. London: SAGE Publications, 2007. Hal. 102. I-8
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
ditemukan di mall23. Dalam perpaduan kenyamanan, keindahan, dan keefisienan, para konsumen bisa dengan mudah menemukan berbagai kebutuhan di satu tempat. Mall, layaknya rangkuman kehidupan, di mana segala aktivitas dan kebutuhan bisa dengan mudah diperoleh di tempat yang nyaman. Sementara ibu pergi membeli buku, ayah dan anak bisa menonton film. Setelahnya, mereka bisa makan malam bersama di restoran. Semuanya bisa dilakukan di satu tempat. Pemusatan jumlah produk mempersempit ruang gerak eksplorasi permainan, sehingga penyusunan objek-objek memaksa konsumen menerima perjalanan yang lebih praktis.24 Kita kini hidup dalam dunia simulasi,25 di mana komoditas di masa late capitalism ini memiliki kemampuan untuk menimbukan imajinasi dan asosiasi simbolis yang menutupi fungsi awal objek-objek tersebut (use value), dan karenanya
menjadi
fungsi
komoditas-tanda
(commodity-signs).
Intensitas
konsumsi komoditas dan tanda, citra, dan gambar yang bersifat imajiner, yang kemudian membentuk hyperreality, dunia oleh Baudrillard disebut sebagai dunia yang dipenuhi tanda, citra, dan simulasi melalui konsumerisme dan televisi, yang kemudian menyebabkan halusianasi akan realitas.26 Kehidupan sehari-hari, gaya hidup urban, dan aktivitas di waktu luang adalah hal-hal yang terengaruh olehnya. 23
Mall, atau shopping center, adalah bangunan yang menawarkan lebih dari satu brand ritel. Lihat selengkapnya di Bab II: Gambaran Umum Hal. II-1. 24 Baudrillard, Jean. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004. Hal. 7. 25 Featherstone, Mike. Consumer Culture and Postmodernism 2nd Edition. London: SAGE Publications, 2007. Hal. 97. 26 Ibid., Hal. 97. I-9
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Arsitektur dan seni mengambil pernyataan dari kehidupan sehari-hari yang telah dipengaruhi oleh simulasi, seperti dinyatakan oleh Chambers, ‘where everything is “larger than life”, where the referents are swept away by the signs, where the artificial is more “real” than the real’.27 Di mana tanda bermain-main di permukaan, dengan orang-orang yang menikmati hidup melalui pencarian dan petualangan artifisial, semu, dan dangkal. Kehidupan sehari-hari menjadi campuran fantastis antara fiksi dan nilai-nilai aneh. Hidup adalah/seharusnya work of art, berdasarkan lingkup yang lebih luas. Hal-hal duniawi dan kehidupan sehari-hari konsumen terasosiasi dengan kemewahan, eksotika, dan romansa, dan aspek fungsional objek, yang membuatnya sulit untuk diurai. Dan hal tersebut termanifestasi dalam arsitektur mall, yang mana dunia arsitektur memang berputar di antara rayuan dan godaan hedonisme.28 Manipulasi arsitektur yang merangsang indera manusia yang kemudian menciptakan rasa senang, The Good, yang merupakan faktor utama yang menyebabkan hedonisme.29 Dalam konteks hedonisme, kesenangan datang dari hal-hal di luar diri dan merangsang indera manusia (sensory property). Objek yang menimbulkan efek kesenangan, atau kesenangan yang memang telah terkandung secara intrinsik dalam objek tersebut.
27
Ibid., Hal. 98. Baudrillard, Jean dan Jean Nouvel. The Singular Objects of Architecture. USA: University of Minnesota Press, 2002. Hal. 5-6. 29 Feldman, Fred. Utilitarianism, Hedonism, and Desert: Essays in Moral Philosophy. UK: Cambridge University Press, 1997. Hal. 79. 28
I-10
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Arsitektur mall dipilih sebagai topik penelitian karena sebagai hal yang dekat dengan komunikasi manusia, dalam penelitian ini sebagai pesan, arsitektur masih jarang diteliti oleh akademisi komunikasi di Indonesia. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Antti Ahlava pada 2002. Berbeda dengan disertasi Ahlava yang berjudul Architecture in Consumer Society yang menganalisis mitologi masyarakat konsumen dengan membandingkan mitologi arsitektur dan artefak budaya lainnya, film (moving images), penelitian ini fokus pada makna kode-kode
arsitektur
mall
dan
serta
bagaimana
kode-kode
tersebut
mengartikulasikan hedonisme. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dirumuskan di atas,
rumusan masalah penelitian ini adalah: Bagaimana kode teknis, sintaksis, serta semiotik mengartikulasikan hedonisme? 1.3
Tujuan Penelitian 1. Untuk mengeksplorasi sistem makna antara konsumsi dan hedonisme. 2. Menyajikan detail mengenai artikulasi hedonisme pada kehidupan sehari-
hari masyarakat. 1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah seperangkat analisis dan pemahaman mengenai kode-kode arsitektur sebagai teks dan keterkaitannya dengan konsumsi tanda dan hedonisme di masyarakat. 1.5
Tinjauan Pustaka I-11
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
1.5.1 Semiotika Arsitektur Sebagai seorang semiotician, Eco mendasarkan teorinya pada kode. Selain kode, kata kunci lain dalam semiotika menurut Eco adalah makna denotatif dan konotatif, serta fungsi primer dan sekunder.30 Studi semiotika terhadap arsitektur merupakan studi mengenai “kata” dalam bahasa visual yang ada pada tanda arsitektur, dengan elemen atau objek yang “dikaruniai” makna. Melalui semiotik, kita bisa “mentranskrip” objek layaknya mentranskrip kata-kata yang diucapkan, yang mana memiliki elemen suara, silabel, serta kata. Studi semiotika arsitektur menitikberatkan pada kode-kodenya, yang meliputi kode teknis, sintaksis, dan kode semiotik.31 Kode-kode tersebut tidak dimaknai sebagai artefak yang berdiri sendiri, tetapi melekat dengan konteksnya. Kode-kode arsitektur tersebut mengkomunikasikan fungsinya kepada pengguna. Contohnya sebuah tangga, yang memungkinkan pengguna untuk naik ke lantai atas. Dalam hal ini, bentuk mendenotasikan makna. Denotasi merupakan fungsi struktural dari kode-kode arsitektur. Denotasi sebuah bangunan adalah untuk tempat tinggal para penghuninya. Namun bentuk tak hanya mendenotasikan fungsinya dan konsep tempat tinggal, tetapi juga mengkonotasikan ideologi, fungsi simbolis bangunan tersebut. Atau bisa dikatakan, di samping fungsi primer (fungsinya), terdapat fungsi sekunder 30
Eco, Umberto. Function and Sign: Semiotics of Architecture dalam Leach, Neil. ed. Rethinking Architecture: A Reader in Cultural Theory. London: Routledge, 1997. Hal. 173-179. 31 Ibid., Hal. 184-185. I-12
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
berupa makna simbolis. Makna simbolis memenuhi fungsi komunikasi arsitektur. Konotasi yang berdasarkan konvensi budaya diwariskan dari generasi atau periode sebelumnya dmelalui ideologi. Namun hal ini tidak berarti denotasi lebih tidak penting daripada konotasi karena keduanya merupakan elemen penting untuk memaknai arsitektur sebagai sebuah pesan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, pembacaan semiotik terhadap arsitektur terletak pada kode-kodenya.32 Pembacaan kode tersebut menjadi dasar untuk menggali makna denotasi dan konotasi. Layaknya kode bahasa, kode visual pada arsitektur memiliki tingkatan. Kode teknis dapat diasosiasikan sebagai kata dalam bahasa, kode sintaksis sebagai kalimat, dan kode semiotik sebagai maknanya. Kode teknis meliputi elemen dasar arsitektur dan elemen modifikasi. Perpaduan kedua elemen tersebut menciptakan berbagai variasi artikulasi ruang, yang kemudian dianalisis dalam kode sintaksis. Kode semiotik yang memiliki subkategori yaitu denotasi fungsi primer, konotasi fungsi sekunder, serta makna yang lebih luas. Denotasi fungsi primer merupakan fungsi praktis elemen-elemen arsitektur. Tangga berfungsi mengakomodasi pergerakan atau perpindahan seseorang ke atas atau ke bawah. Walaupun bentuk tangga berbeda-beda (tangga melingkar di Museum Guggenheim atau tangga berjalan di pusat perbelanjaan), namun tujuan utamanya tetaplah memenuhi fungsinya. Dan terutama, bentukbentuk tersebut membuat para pengguna mengetahui cara menggunakannya. 32
Ibid., Hal. 182. I-13
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Konotasi fungsi sekunder merupakan fungsi simbolis kode-kode arsitektur, yang mana berdasarkan konvensi yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini, elemen-elemen
arsitektur
tidak
hanya
sebatas
fungsi,
tetapi
juga
mengkomunikasikan fungsi sosial elemen tersebut. Misalnya gua yang digunakan sebagai tempat berlindung manusia purba memiliki konotasi rasa aman, kelompok, kedekatan, kekeluargaan. Atau singgasana, yang memiliki denotasi tempat untuk duduk, serta kebangaan, kerajaan, dan kekuasaan sebagai konotasinya. Konotasi fungsi sekunder juga mencakup gaya arsitektural yang digunakan, seperti gaya kolonial, klasik, Gothic, modern, dan lainnya. Gaya-gaya tersebut merujuk pada periode tertentu, dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Makna yang lebih luas, yang mana arsitektur seharusnya mampu mengidentifikasi urgensi atau femonena sosial di masyarakat; menyediakan sistem fungsi yang mampu menjawab urgensi dan mengakomodasi fenomena-fenomena tersebut, serta sistem bentuk yang berkesinambungan dengan sistem fungsi. Hal ini menunjukkan tiga aspek penting: sistem bentuk, sistem fungsi, dan konteks sosial dan budaya. 1.5.2 Aktivitas Konsumsi Tanda di Mall Mall sebagai lingkungan dipenuhi oleh manusia yang saling teralienasi karena mayoritas dari mereka tidak saling mengenal. Mereka juga tidak berusaha untuk saling mengenal karena mereka sibuk untuk memuaskan diri masingmasing. Di tengah alienasi dari sesama manusia itu kemudian manusia “berteman” dengan objek dan melakukan pertukaran dengannya. Objek memberi konsumen
“kepuasan”
dan
sebagai
gantinya,
konsumen
memberikan
I-14
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
kekayaannya. Terutama saat ini, di mana kita hidup di zaman objek. Kita dikelilingi oleh objek, kita mencari informasi tentang objek baru, cara mendapatkan objek, dan bagaimana siklus objek terus berputar. Di mall, objek yang melimpah ruah ditata dalam bentuk etalase atau koleksi. Objek ditata sebagai koleksi, misalnya koleksi busana musim panas atau koleksi tas edisi terbatas. Atau objek di etalase ditata di bagian depan toko yang menghadap ke jalan (walkway) dan pertama kali dilihat konsumen. Etalase kini tidak lagi memamerkan objek terbaik yang dimiliki tetapi pilihan apa saja yang bisa dipilih dan diperoleh oleh konsumen. Etalase ditata seatraktif mungkin agar menarik perhatian konsumen, yang menurut Baudrillard, “to stimulate a magical salivation”.33 Etalase juga merupakan salah satu elemen yang membentuk nuansa tersendiri di mall, yang menjadikan mall layaknya tanah yang dipenuhi susu dan madu.34 Etalase merupakan pusat aliran konsumsi di perkotaan.35 Ruang khusus yang merupakan etalase, tidak di luar maupun di dalam, tidak pribadi dan sama sekali tidak umum, telah menjadi jalan menuju transpransi kaca status yang buram dan barang dagangan berjangka waktu. Ruang khusus ini memungkinkan travelling etalase dan pertunjukan yang indah. Objek-objek ditata dengan
33
Poster, Mark. ed. Jean Baudrillard: Selected Writings. Cambridge&Oxford: Stanford University Press, 1988. Hal. 30. 34 Ibid., Hal. 30. 35 Baudrillard, Jean. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004. Hal. 221. I-15
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
gemilang, dalam sebuah pameran sakral sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran simbolis. Selain display window, iklan, arsitektur, dan brand name berperan penting dalam menciptakan nuansa tersebut. Karakteristik utama mall ada pada permainan nuansanya, yang mana nuansa tersebut membentuk klasifikasi pada konsumen di dalamnya. Arsitektur pada dasarnya adalah penciptaan suasana,36 dan nuansa tersebut tercipta melalui elemen-elemen arsitektur seperti pencahayaan dan warna.37 Mall memungkinkan konsumen untuk melakukan segala bentuk konsumsi, mulai dari flirting dengan objek, sekadar bermalas-malasan, membeli berbagai barang dan jasa, atau gabungan dari ketiganya. Hal ini mungkin dilakukan karena mall layaknya rangkuman dari kehidupan sehari-hari kita. Di mall konsumen bisa mendapatkan buku, pakaian, hingga peralatan rumah tangga, menonton film, bersantai sembari minum kopi, dan banyak hal lain. Ditambah dengan AC yang terus menyala sehingga suhu udara mall tidak terpengaruh sengatan matahari atau terpaan hujan, layaknya musim semi sepanjang waktu di dalam mall. Selain itu, tata lampu yang menjadikan konsumen layaknya berjalan di bawah lampu sorot dan kemudahan menggunakan kartu kredit menjadikan mall sebagai tempat yang menyenangkan, bahkan membuat ketagihan (Baudrillard menyebutnya sebagai the drugstore). Perpaduan kenyamanan keindahan, dan kemudahan ini yang 36
Mangunwijaya, Y. B. Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis Edisi Baru. Jakarta: Gramedia, 2009. Hal. 152. 37 Lihat selengkapnya di Elemen Modifikasi hal. I-35. I-16
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
menciptakan gaya hidup baru di masyarakat. Mereka bisa mendapatkan semua hal di satu tempat: istri bisa mendapatkan buku baru sementara suami dan anak menonton film, dan mereka bisa makan malam di tempat yang sama. Melalui gaya hidup, konsumsi telah menyentuh berbagai aspek kehidupan, termasuk agama. 1.5.3 Komodifikasi dan Hedonisme pada Arsitektur Mall Komodifikasi merupakan proses konstruksi sosial, hal tersebut merupakan proses yang diproduksi dan dipertukarkan sebagai komoditas.38 Dalam proses komodifikasi, tak ada barang dan jasa yang tak bisa dijual, bahkan objek “tak berharga” sekalipun selalu memiliki kesempatan untuk bertransformasi menjadi komoditas dan menghasilkan uang. Konsumsi sering memotret ulang makna dan penggunaan material, dengan cara menerjemahkan nilai asli sebuah objek menjadi bentuk nilai yang lain, seperti afeksi, simbolisme, dan status. Praktek konsumsi saat ini dapat dilihat sebagai praktek de-komodifikasi, yaitu praktek konsumsi yang bervariasi dan berdiversifikasi, dan proses ini tidak lepas dari proses komodifikasi yang menjadi pondasinya. Dominasi komoditas sebagai tanda menuntun kita pada pentingnya budaya dalam praktek kapitalisme kontemporer. Budaya merupakan aspek mendasar dalam masyarakat konsumsi. Tak ada masyarakat yang digolongkan oleh tanda dan citra, layaknya masyarakat konsumsi.39 Walter Benjamin dan R.H. Williams (1982) menyatakan bahwa department store dan pusat kota memainkan peranan 38
Sassatelli, Roberta. Consumer Culture: History, Theory, and Politics. London: SAGE Publications, 2007. Hal. 139. 39 Featherstone, Mike.Consumer Culture and Postmodernism 2nd Edition. London: SAGE Publications, 2007. Hal. 83. I-17
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
logika komoditas-dan-tanda dalam menciptakan dimensi baru dari objek. Komoditas, atau sesuatu yang dapat dikonsumsi, kini merupakan citra pemberian atau sumbangan, gambaran keborosan yang tak ada habisnya dan gambaran mengenai keborosan pesta.40 Perayaan aspek budaya dalam konsumsi, yang melekat pada kehidupan sehari-hari menggiring kita pada dunia simulasi, di mana kelimpahruahan tanda dan citra menghapuskan distingsi antara dunia nyata dan imajiner.41 Simulasi ini tercipta melalui melimpahnya informasi dan citra yang ada di media massa, yang membuat masyarakat hidup dalam halusinasi realitas, setiap harinya. Dan hal tersebut termanifestasi dalam arsitektur mall, yang mana dunia arsitektur memang berputar di antara rayuan dan godaan.42 Manipulasi arsitektur yang merangsang indera manusia yang menciptakan rasa senang, The Good, yang merupakan faktor utama yang menyebabkan hedonisme.43 Hedonisme berasal dari bahasa Yunani, hêdonê yang berarti kesenangan.44 Kesenangan adalah apa yang memuaskan keinginan manusia, serta meningkatkan rasa senang atau kenikmatan dalam diri manusia.45 Seorang murid Sokrates, Aristippos (sekitar 433-355 s.M.), menyatakan bahwa yang sungguh baik bagi 40
Baudrillard, Jean. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004. Hal. 5. 41 Featherstone, Mike. Consumer Culture and Postmodernism 2nd Edition. London: SAGE Publications, 2007. Hal. 81-83. 42 Baudrillard, Jean dan Jean Nouvel. The Singular Objects of Architecture. USA: University of Minnesota Press, 2002. Hal. 5-6. 43 Feldman, Fred. Utilitarianism, Hedonism, and Desert: Essays in Moral Philosophy. UK: Cambridge University Press, 1997. Hal. 79. 44 Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia, 2007. Hal. 235. 45 Ibid., Hal. 235. I-18
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
manusia adalah kesenangan, dan menjauhi ketidaksenangan. Bagi Aristoppos, kesenangan bersifat badani karena hakikatnya tak lain daripada gerak dalam badan. Aristippos membedakan tiga gerak: gerak yang kasar yang merupakan ketidaksenangan (seperti rasa sakit), gerak yang halus atau kesenangan, dan ketiadaan gerak yang merupakan keadaan netral (misalnya saat tidur). Hedonisme berkaitan dengan kesenangan dan rasa sakit (pleasure and pain).46 Walaupun hedonisme bertolak dari kesenangan, namun kesenangan bukan satu-satunya yang menyebabkan hedonisme. Rasa sakit juga penyebab hedonisme. Namun sebelum membahas keterkaitan rasa sakit dan hedonisme, mari memperjelas apa yang dimaksud dengan kesenangan. Kesenangan merupakan semua dan hanya hal yang menyenangkan dan baik.47 Chisholm, mengikuti Brentano, menyebut kesenangan sebagai bagian dari hedonisme, saat kesenangan mencapai tahap memberi efek kegembiraan pada seseorang, dan ini mencakup nilai intrinsik berupa kegembiraan dan rasa sakit. Perbedaan mendasar antara kesenangan dan rasa lainnya, termasuk rasa sakit, bahwa kesenangan adalah sesuatu yang baik, The Good. The Good merupakan kesenangan tertinggi yang memberikan nilai yang berharga, sebuah hidup yang dipenuhi kesenangan merupakan kehidupan terbaik yang ada. Lebih banyak kesenangan yang bisa dinikmati, makin baik kehidupan yang dijalani, dan hal yang lainnya merupakan penyeimbang, dengan kata lain tidak mengganggu 46
Feldman, Fred. Utilitarianism, Hedonism, and Desert: Essays in Moral Philosophy. UK: Cambridge University Press, 1997. Hal. 79. 47 Ibid., Hal. 106. I-19
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
kesenangan tersebut. Di sisi lain, rasa sakit merupakan hal yang buruk, The Bad. Rasa sakit merupakan cerminan kesenangan. Lebih banyak rasa sakit, membuat hidup menjadi lebih buruk.48 Kesenangan merupakan perasaan yang terpisah, datang dari hal-hal di luar diri (sensory property), yang ditangkap sebagai sebagai rasa menginginkan sesuatu (desirable).49 Seperti pernyataan berikut, “x is a sensory pleasure for S at t” atau, “ S is pleased at t that ____ is the case.” Kesenangan merupakan, beserta dengan sensory property, merupakan daya tarik dan objek intrinsik yang fundamental dalam hedonisme. Kesenangan tidak hanya terbatas pada satu objek atau satu rasa, tetapi bisa meliputi banyak objek atau rasa. Dalam arsitektur, The Good dan The Bad termanifestasi melalui manipulasi indera manusia, yaitu ritme untuk mengenali ruang (perpanjangan mental melalui pandangan mata, ruang yang menggoda, atau ilusi ruang virtual). “Lebih daripada yang dilihat dan melebihi apa yang tertangkap indera” merupakan perwujudan dalam dan melalui konteks fisik. Konsep mengenai urutan (sequence). Dengan kata lain, konsep seperti perpindahan, kecepatan, dan memori merupakan hal yang dipaksakan, atau hal yang telah diketahui sebelumnya sehingga memungkinkan kita untuk menyadari komposisi ruang arsitektur, tak hanya berdasarkan apa yang dilihat tetapi juga apa yang diingat sebagai bagian dari sequence atau urutan dari satu hal ke hal berikutnya. Hal ini menunjukkan
48 49
Ibid., Hal. 109. Ibid., Hal. 80. I-20
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
paradoks di antara apa yang tercipta dan apa yang ada dalam persepsi mengenai ruang.50 Karena ruang dan arsitektur merupakan sesuatu yang menstimulasi mata, dan apa yang sampai di mata kita dapat diintegrasi dan dimanipulasi melalui penggunaan ruang dan arsitektur. Hal ini berarti bahwa arsitektur menciptakan ruang virtual atau ruang mental untuk memanipulasi indera manusia.51 Seperti diungkapkan Baudrillard, seduksi bukanlah berdasarkan konsensus tetapi dualisme. Seduksi mengkonfrontasi objek sesuai urutan dari the real, urutan hal-hal yang tampak yang ada di sekelilingnya. Jikalau dualisme ini tidak ada, maka tak terjadi interaktifitas, dan seduksi takkan terjadi. Konfrontasi terjadi dari hal-hal yang tampak dan yang tidak tampak. Hal-hal yang tidak tampak itu bukan berarti seperti memakai jubah gaib tetapi karena hal tersebut tidak terlihat oleh kita,
tidak
“tertangkap”
oleh
mata.
Hal-hal
tersebut
tahu
bagaimana
menyembunyikan diri dan mengkamuflasekan diri mereka. Saat kita berdiri di depan sebuah bangunan, kita melihatnya, namun di saat yang sama kita tak melihat hegemoni dan dominasi yang ada pada bangunan tersebut, sistem yang seharusnya disadari dan dimaknai sesegera mungkin. Kita memaknai ruang di saat yang sama di mana arsitektur menciptakan ruang dan non-ruang, dan menciptakan penampilan mereka sebagai ruang yang menggoda (seductive space).
50
Baudrillard, Jean dan Jean Nouvel. The Singular Objects of Architecture. USA: University of Minnesota Press, 2002. Hal. 7. 51 Ibid., Hal. 7-8. I-21
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Sebuah objek yang berhasil menggoda berarti eksisitensinya telah melebihi realitasnya dan menciptakan dualisme, sebuah hubungan yang terjadi melalui diversi, kontradiksi, dan destabilisasi, namun di sisi lain mampu meletakkan ilusi dan realitas saling berhadapan. 1.5.4 Arsitektur Sebagai Frame, Tipe Tempat Primitif, serta Konsep “Kuil” dan “Pondok” Elemen Arsitektur Arsitektur menggunakan dan bergantung pada hal, elemen, atau material yang telah tersedia oleh alam dan lingkungan sekitarnya, mulai dari kontur tanah, pepohonan, hingga bangunan lama yang digunakan kembali, baik melalui renovasi maupun digunakan sebagai bagian dari bangunan baru. Selain memengaruhi aspek estetika, hal ini juga merupakan simbol bagaimana orangorang hidup di dalamnya. Hal ini menjelaskan bagaimana sebuah rumah berkembang menjadi desa, dan kemudian desa berkembang menjadi kota. Arsitektur telah ada sejak zaman manusia hidup di gua, dan semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan dan gaya hidup manusia yang makin kompleks. Walaupun begitu, beberapa tipe tempat primitif tetap ada hingga sekarang, dalam bentuk yang semakin beragam. Tipe tempat primitif meliputi:52 - Hearth atau tungku tempat membuat atau menyalakan api, berperan sebagai titik pusat rumah. Sebagai sumber kehangatan, hearth merupakan tempat memasak, tempat berkumpul dalam rumah, atau titik di mana kehidupan sosial di tempat
52
Unwin, Simon. Analysing Architecture. London: Routledge,1997. Hal. 53-74. I-22
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
tersebut berfokus. Di rumah modern yang telah menggunakan penghangat listrik, bentuk perapian kerap dipertahankan sebagai tempat berkumpul keluarga. - Kamar tidur merupakan tempat untuk beristirahat, yang mana merupakan kondisi manusia yang paling rapuh. Tak hanya berimplikasi pada arsitektur, tetapi juga komposisi ruang pada konsep yang lebih luas. Karenanya tempat tidur lazim ditempatkan di atau bagian rumah yang tersembunyi dan hanya orang tertentu yang boleh memasuki wilayah pribadi ini. - Altar lazimnya berbentuk meja atau platform untuk pemujaan atau pengorbanan secara simbolis untuk ritual keagamaan. Karakteristik utama altar adalah penempatannya di titik tengah atau fokus bangunan, salah satunya melalui perspektif ruang yang panjang (koridor atau lorong) yang kemudian berakhir pada altar. Tak hanya meja pemujaan, meja atau tempat meletakkan karya seni yang berharga juga merupakan altar. Begitupun meja bar yang merupakan altar untuk aktivitas minum, kompor di dapur sebagai altar untuk memasak, atau meja makan sebagai altar bagi kegiatan makan bersama keluarga. - Ruang pertunjukan (performance space) bagi ritual keagamaan, dansa, musik, drama, atau olahraga. Bangsa Romawi dan masyarakat kini melakukan pertunjukan di panggung. Panggung ini lazimnya dilindungi dari gangguan yang mungkin datang dari penonton atau lingkungan sekitar, sehingga merupakan tempat yang lebih tinggi serta berjarak dari penonton. Namun seiring perkembangan teknologi, gangguan pada pertunjukan film dan televisi dapat diminimalisasi. Panggung memiliki kesamaan dengan altar dan hearth, yaitu sebagai titik fokus. I-23
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Arsitektur membentuk frame terhadap orang-orang yang hidup di dalamnya, serta merupakan sarana yang berguna dalam mengidentifikasi orangorang tersebut. Dalam hal ini, frame yang dimaksud lebih dari sekadar frame yang membingkai lukisan, tetapi lebih seperti musik yang mengiringi adegan berdansa. Bukan hanya sebagai bingkai, tetapi latar yang mengiringi dan memiliki implikasi terhadap para pengguna produk arsitektur. Melalui arsitektur juga tercipta frame pergerakan dan perubahan. Hal ini juga berkaitan dengan dimensi waktu, mengenai pola kehidupan dan ritual orang-orang yang hidup di dalamnya.53 Sebagai frame, arsitektur menciptakan batasan: antara ruang untuk bekerja, meja untuk makan, jalan untuk sepeda dan kendaraan bermotor; dan hal tersebut menciptakan framework terhadap hidup kita, layaknya melodi dan ritme yang berbeda dalam adegan-adegan dalam film. Sebagai elemen untuk mengidentifikasi tempat, frame membatasi antara sesuatu yang ada di luar (outsides) dan yang ada di dalam (insides), serta memediasi antara “sesuatu” di dalamnya dengan dunia di luar sana. “Sesuatu” ini meliputi lukisan atau objek, orang, aktivitas, binatang, atau Tuhan (misalnya Dewa Wisnu di kuilnya). Sebuah rumah dibatasi oleh frame berupa dinding terluar atau pagar, namun di dalam rumah tersebut juga memiliki frame lainnya: ruang tamu dan kamar tidur sebagai frame kehidupan sosial dan tidur, halaman rumah sebagai frame pepohonan, tanaman di pot, dan air mancur, bahkan garasi sebagai frame
53
Ibid., Hal. 75-84. I-24
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
mobil di dalamnya. Secara fisik, frame memiliki struktur, karena tanpa struktur frame tak akan berbentuk, tidak eksis. Arsitektur mencakup bagaimana membingkai (frame) sesuatu: bagaimana menata dan menyusun objek serta bagaimana objek-objek tersebut ditampilkan untuk dipamerkan, pergerakan orang-orang yang melihat objek-objek tersebut, serta konteks di mana hal tersebut terjadi. Misalnya saat mendesain opera house, juga harus diperhatikan adanya hal-hal berikut: bagaimana nuansa opera yang ditampilkan, serta bagaimana penampilan orang-orang saat menonton pertunjukan di opera house, bergantung pada kebudayaan masyarakat setempat (misalnya masarakat Eropa yang menonton di opera house adalah kalangan kelas atas yang datang dengan gaun dan setelan formal yang rapi, sedangkan di Amerika semua kalangan dapat menyaksikan pertunjukan di opera house dengan pakaian yang lebih santai). Frame tak selalu sederhana dan berbentuk bujur sangkar. Ragam frame arsitektur tak terhingga banyaknya. Mulai dari frame sederhana (sebuah gazebo, misalnya), hingga frame yang kompleks (jaringan rel kereta api); frame yang kecil (lubang kunci), hingga frame yang besar (sebuah kota); frame dua-dimensi (meja bilyard), frame tiga-dimensi (bangunan bertingkat), frame empat-dimensi (labirin), hingga frame multi-dimensi (internet). Frame tidak selalu tersusun dari material yang terlihat oleh mata, tetapi juga tersusun oleh material yang menstimulasi indera lainnya: seorang perempuan cantik dengan frame wangi parfum, atau masjid yang dibingkai oleh suara adzan yang berkumandang.
I-25
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Yang tentu diperlukan pada frame adalah adanya sesuatu yang dibingkai dan dibatasi, baik secara permanen maupen temporer. Sebuah monumen merupakan tugu peringatan yang membingkai perjuangan para pahlawan. “Perjuangan” itu tidak secara konkrit dan fisik ada di situ, tetapi “ide” yang dibingkai oleh monumen. Tak hanya kehidupan sehari-hari tetapi juga momen bersejarah dapat dibingkai oleh frame, seperti kamp konsentrasi di Auschwitz yang merupakan frame kematian jutaan orang, serta Jembatan Merah Plaza yang merupakan frame perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah. Hubungan antara frame dan kontennya juga merupakan hal yang esensial. Keduanya memiliki hubungan timbal balik, kedua pihak saling membutuhkan satu sama lain. Hal ini bukan berarti konten lebih penting daripada frame, tetapi konten juga memerlukan frame sebagai pelindung dan penegasan eksistensinya. Frame bisa seperti boneka Rusia, yang mana boneka yang lebih kecil berada dalam boneka yang lebih besar, dan begitu seterusnya. Seperti sebuah kota. Di dalam dinding-dinding yang membatasi kota, terdapat jaringan jalan dan bangunan-bangunan dan tempat-tempat yang membingkai apa yang ada di dalamnya. Sebuah taman yang membingkai pepohonan, bunga-bunga, dan air mancur yang ada di dalamnya, yang mana air mancur tersebut membingkai air yang menari-nari di dalamnya. Sebuah rumah merupakan frame bagi ruang tamu, kamar tidur, dan ruang kerja, yang mana di dalam ruang-ruang etrsebut terdapat susunan furnitur yang berbeda. Sebuah meja merupakan frame bagi makanan di atasnya, dengan masing-masing kursi yang membingkai taip anggota keluarga;
I-26
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
sebuah meja merupakan frame bagi progress; dan televisi membingkai dunia di luar sana. Apa yang harus diubah, dan apa yang harus dibiarkan seperi keadaannya? Jawaban pertanyaan ini merupakan hal yang esensial dalam arsitektur, karena berkaitan dengan sikap. Dan sikap tersebut diekspresikan melalui produk-produk arsitektur (seperti bangunan, taman, kota, tempat bermain): apakah mengikuti tradisi lama atau menerapkan sesuatu yang baru dan orisinal, apakah menggunakan material dari lingkungan sekitar situs atau mendatangkan material walau dari tempat yang jauh (yang akan mengubah karakter alami situs), apakah arsitektur mendikte susunan dan tatanan tempat yang akan ditempat oleh orangorang atau membiarkan tempat tersebut tumbuh dan berkembang secara alami tanpa perencanaan yang spesifik? Tiap orang memiliki jawaban masing-masing, bisa sama namun bisa juga berbeda. Sikap dalam arsitektur ditentukan oleh arsitek yang merancanakannya, atau lebih dipengaruhi oleh kebudayaan (culture atau coculture). Secara garis besar, arsitektur berkenaan dengan satu atau lebih hal-hal berikut ini:54 - tanah (the ground) dengan kondisi dan kontur permukaan tanah situs,
bebatuan, pepohonan, serta perubahan tingkatan tanah; - gravitasi (gravity) yang berkaitan dengan gaya vertikal (terutama pada
stratifikasi atau tingkatan lantai); 54
Ibid., Hal. 85-98 I-27
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
- cuaca (the weather) di sekitar situs, apakah disinari terik matahari sepanjang
tahun, hujan, berangin, salju, berawan, dan sebagainya; - material yang digunakan untuk bangunan, batu, tanah liah, kayu, baja,
plastik, gelas, dan sebagainya; - ukuran orang-orang yang menggunakannya, seperti pergerakan mereka, mata
mereka, bagaimana mereka duduk; - kebutuhan tubuh orang-orang yang menggunakannya, seperti kebutuhan
akan rasa aman, aliran udara, makanan, atau pendingin ruangan; - perilaku
orang-orang
yang
mendiaminya,
baik
individual
maupun
berkelompok, bagaimana pola kehidupan sosialnya dan struktur budaya; - produk arsitektur lainnya, bangunan atau tempat lain di sekitar atau yang
telah berdiri sebelumnya; - ruang-ruang yang dibutuhkan untuk berbagai aktivitas; - sejarah serta tradisi; - kemungkinan di masa depan seperti “utopia” atau “apocalypse”; - waktu (the processes of time) yang mengubah, baik dalam arti positif
maupun negatif, penggunaan orang-orang terhadap produk arsitektur. Sikap dalam arsitektur dapat dikategorikan dalam “kuil” (temple) dan “pondok” (cottage). Perencanaan “kuil” merupakan bangunan dengan lingkungan yang selektif, eksklusif, terpisah dari “dunia luar”. Lazimnya “kuil” berbentuk simetris dengan material terbaik yang diperoleh dari tempat yang jauh dari situs. Sedangkan “pondok” merupakan bangunan asimetris, dibuat dengan material dari lingkungan sekitar sehingga menciptakan kesatuan dengan lingkungan tersebut. I-28
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
1.6 Metodologi 1.6.1 Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan semiotika Eco yang membagi kode arsitektur dalah tiga tahap kategori: kode teknis, kode sintaksis, dan kode semiotik.55 1.6.2 Unit Analisis Unit analisis penelitian ini adalah ruang di pusat perbelanjaan, yaitu interior mall. 1.6.3 Teknik Pengumpulan Data Dalam riset ini, peneliti menggunakan data primer dengan cara mengunjungi mall dan memproleh dokumentasi berupa floor plan, foto, dan catatan mengenai mall tersebut melalui observasi dan data sekunder dari manajemen mall melalui website resminya. 1.6.4 Teknik Analisis Data Analisis dilakukan melalui pembagian kode-kode arsitektur, yang oleh Eco meliputi tiga tahapan kategori:56 1.6.4.1 Kode Teknis (Technical Codes) Kode teknis, merupakan kode arsitektur yang bersifat teknik, dalam hal ini bersifat fungsional atau fungsi guna yang bersifat engineering.57 Analisis kode teknis belum mencakup aspek komunikatif elemen arsitektur.58 Untuk menganalisis kode teknis Tunjungan Plaza Surabaya (TP), peneliti menggunakan 55
Eco, Umberto. Function and Sign: Semiotics of Architecture dalam Leach, Neil. ed. Rethinking Architecture: A Reader in Cultural Theory. London: Routledge, 1997. Hal. 184-186. 56 Ibid., Hal. 184-185. 57 Ibid., Hal. 184-185. 58 Ibid., Hal. 184-185. I-29
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
elemen arsitektur yang dikemukakan oleh Simon Unwin. Dasar dari kode arsitektur yang dikemukakan Unwin terletak pada elemen dasar dan elemen modifikasi. Prinsip-prinsip selanjutnya merupakan perpaduan antara elemen dasar dan elemen modifikasi tersebut, layaknya kalimat yang tersusun dari beberapa kata dalam suatu gramatika. 1.6.4.1.1 Elemen Dasar Kategori ini tidak memuat artikulasi kode arsitektur secara komunikatif, tetapi lebih dalam kategori teknis yang bersifat fungsional, yaitu identifikasi suatu melalui elemen-elemen dasar dan elemen modifikasi.59 Elemen-elemen dasar tersebut bukan hanya dipandang sebagai sebuah objek namun sebagai elemen yang membentuk sebuah tempat dan ruang. Tidak semua elemen dasar dan modifikasi akan dianalisis, analisis yang dilakukan hanya meliputi elemen-elemen yang menonjol dan membedakan Tunjungan Plaza dengan tempat lainnya, serta elemen-elemen yang mengartikulasikan hedonisme. Elemen-elemen dasar arsitektur meliputi: - Area tanah (defined area of ground)
59
Unwin, Simon. Analysing Architecture. London: Routledge,1997. Hal. 19. I-30
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Mendefinisi area tanah merupakan hal yang fundamental untuk mengidentifikasi sebuah tempat. Bisa merupakan area kecil di hutan, atau area seluas lapangan baseball. Area tanah tidak harus berbentuk Gambar 1: Area tanah (defined area of ground). (Sumber: Unwin, Simon. 1997. Analysing Architecture. London: Routledge. Hal. 19.)
persegi atau persegi panjang. Tidak pula selalu memiliki batasan jelas, karena bisa saja
membaur
dengan
lingkungan
sekitarnya. - Area tanah yang dinaikkan (raised area atau platform) Area tanah yang dinaikkan menciptakan pandangan horizontal yang lebih tinggi dari permukaan tanah yang sesungguhnya. Bisa
merupakan sesuatu yang besar (seperti Gambar 2: Area tanah yang dinaikkan (raised area atau platform). (Sumber: Unwin, Simon. 1997. Analysing Architecture. London: Routledge. Hal. 19.)
panggung atau teras), medium (meja atau altar),
atau
area
yang
kecil
(rak
penyimpanan).
I-31
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
- Area yang lebih rendah daripada tanah (lowered area atau pit) Merupakan area yang dibuat melalui penggalian permukaan tanah sehingga Gambar 3: Area yang lebih rendah daripada tanah (lowered area atau pit). (Sumber: Unwin, Simon. 1997. Analysing Architecture. London: Routledge. Hal. 20.)
menciptakan area yang lebih rendah dari permukaan tanah. Bisa merupakan jebakan, tempat penyimpanan bawah tanah, atau kolam renang.
- Penanda atau marker
Marker merupakan elemen dasar untuk mengidentifikasi
sebuah
tempat
karena
bentuknya yang menjulang daripada elemen Gambar 4: Penanda atau marker. (Sumber: Unwin, Simon. 1997. Analysing Architecture. London: Routledge. Hal. 20.)
lain di sekelilingnya. Marker dapat berupa batu, bendera di lapangan golf, atau menara gereja. Sering pula disebut column.
- Focus Focus
merupakan
bahasa
latin
dari
perapian. Dalam arsitektur, hal ini berarti elemen yang menjadi titik perhatian. Dapat I-32
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
merupakan perapian, altar, karya seni, atau bahkan gunung di kejauhan.
Gambar 5: Focus. (Sumber: Unwin, Simon. 1997. Analysing Architecture. London: Routledge. Hal. 20.)
- Barrier Barrier memisahkan suatu tempat dengan tempat yang lain. Dapat berupa dinding, pagar, sebuah gundukan, parit, atau bahkan aspek psikologis berupa garis di lantai.
Gambar 6: Barrier. (Sumber: Unwin, Simon. 1997. Analysing Architecture. London: Routledge. Hal. 20.) - Atap atau kanopi (roof atau canopy) Atap memisahkan suatu tempat melalui bagian
langit-langit,
serta
berfungsi
melindungi dari hujan dan paparan sinar Gambar 7: Atap atau kanopi. (Sumber: Unwin, Simon. 1997. matahari. Sebuah atap juga Analysing Architecture. London: Routledge. Hal. 20.) mengimplikasikan area tanah yang ada di bawahnya. Atap bisa berukuran kecil, hanya
I-33
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
menaungi sebuah pintu, atau menutupi sebuah stadion football. Karena adanya gravitasi, sebuah atap memerlukan dinding untuk menyokongnya. Selain dinding, sebuah atap dapat pula didukung oleh supporting posts atau columns.
Gambar 8: Supporting posts atau columns. (Sumber: Unwin, Simon. 1997. Analysing Architecture. London: Routledge. Hal. 21.)
- Jalan setapak atau path Merupakan tempat yang memungkinkan seseorang untuk berjalan. Dapat berbentuk lurus maupun bentuk lainnya. Contoh jalan setapak adalah koridor dan tangga. Gambar 9: Jalan setapak atau path. (Sumber: Unwin, Simon. 1997. Analysing Architecture. London: Routledge. Hal. 21.)
- Openings Dapat berupa pintu, jendela, dinding kaca, serta kayu atau kabel yang diregangkan. Sebuah pintu memungkinkan seseorang bergerak antara suatu I-34
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
tempat ke tempat lain. Jendela memungkinkan seseorang melihat ke arah seberang, serta memungkinkan pertukaran udara dan cahaya. Dinding kaca merupakan barrier secara fisik namun tidak secara visual. Kayu atau kabel yang diregangkan berfungsi menyokong platform dan atap, namun keberadaannya tergantung struktur platform dan atap.
I-35
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 10: Openings berupa pintu (kiri atas), jendela (kanan atas), dinding kaca (kiri bawah), dan kayu atau kabel yang diregangkan (kanan bawah). (Sumber: Unwin, Simon. 1997. Analysing Architecture. London: Routledge. Hal. 21.) Sebagai elemen dasar, mereka dapat dikombinasikan untuk menciptakan beragam bentuk. Beberapa kombinasi memiliki nama tersendiri. Misalnya jembatan yang merupakan kombinasi barrier, platform, dan atap. Atau kombinasi dinding dan atap menciptakan bilik atau cell yang berfungsi memisahkan suatu tempat dengan tempat yang lain. 1.6.4.1.2 Elemen Modifikasi Dalam prakteknya, elemen dasar mengalami modifikasi melalui pencahayaan, warna, suara, temperatur, pergerakan udara (air movements), baubauan (atau bahkan rasa), melalui kualitas dan tekstur material yang digunakan, melalui penggunaan, skala, implikasi, dan penggunaan waktu (experience of time).60 Perpaduan elemen dasar dan elemen modifikasi bahkan mungkin tak terbatas. Tak hanya elemen-elemen dasar, namun suara, pencahayaan, atau aroma juga merupakan elemen yang membentuk suatu tempat, namun dengan cara yang lebih halus dan tak kentara. Dengan kata lain, elemen dasar merupakan cara utama mewujudkan konseptualisasi pikiran mengenai ruang menjadi tempat, namun elemen modifikasi juga memberi kontribusi penting akan tempat. Elemen modifikasi meliputi: 60
Ibid., Hal. 25. I-36
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
- Pencayahaan (light) berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan di suatu tempat. Karenanya, jenis pencahayaan yang berbeda berimplikasi pada jenis aktivitas yang dilakukan. Cahaya dalam suatu tempat bisa berubah dan dikontrol. Ada dua jenis cahaya: cahaya alami yang dipancarkan matahari, dan cahaya lampu elektronik. Cahaya lampu lebih konsisten dan dapat dikontrol, baik intensitas, warna, maupun arahnya. Salah satu penggunaan cahaya yang paling intensif adalah teater, bukan hanya gedung pertunjukan sandiwara tetapi semua tempat mungkin menjadi teater tergantung pecahayaan yang digunakan, yaitu spotlight yang menyorot seseorang atau titik fokus di panggung. Dalam mengidentifikasi tempat, pencahayaan memegang peran penting. Tanpa perlu mengubah tampilan fisik, cahaya mampu menciptakan nuansa dan warna sesuai konsep ruang yang diinginkan, dan berimplikasi pada aplikasi dan penggunaan elemen-elemen dasar. - Warna (colour) merupakan elemen yang tak terpisahkan dari cahaya. Cahaya bisa berubah menjadi warna-warna tak terbatas, seperti pada warna cahaya yang berubah sesuai warna kaca atau gelas yang dilaluinya, atau warna material yang ditimpa oleh cahaya. Warna juga berperan penting dalam identifikasi tempat, yaitu menciptakan mood berdasarkan jenis, kualitas, dan intensitasnya. Selain itu, warna juga mampu menjadi kamuflase atau menyembunyikan bagian yang tidak sempurna dari sebuah tempat. Warna juga berfungsi sebagai kode, misalnya mengindikasikan hal yang penting atau sebagai titik fokus. - Temperatur berperan penting dalam identifikasi tempat. Hal ini tampak dari, misalnya, bangunan iglo di Antartika dan rumah di daerah Spanyol. Iglo umumnya merupakan bangunan kecil berbentuk setengah lingkaran yang tertutup, I-37
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
hal ini dilakukan untuk mempertahankan suhu ruang yang hangat, berbeda dengan rumah-rumah di Spanyol yang dipenuhi dengan bukaan berupa jendela atau pintu yang lebar karena temperatur yang hangat. Temperatur bisa berhubungan dengan cahaya, bisa pula tak berhubungan. Misalnya ruangan dengan pencahayaan terang cenderung dingin, dan ruangan dengan pencahayaan terang bertemperatur hangat. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan temperatur yang berbeda tergantung tujuan dan pengalaman yang dirasakan. Misalnya tempat yang lebih hangat akan lebih dipenuhi orang pada hari yang dingin. -
Ventilasi
berhubungan
dengan
temperatur
dan
kelembaban.
Dalam
mengidentifikasi tempat, ventilasi berperan dalam menentukan tempat yang kering, hangat, atau hangat. - Suara (sound) merupakan elemen penting dalam mengidentifikasi tempat. Sebuah tempat dapat dikenali melalui suara yang dihasilkan, atau efek dari suara yang dihasilkan di tempat tersebut (misalnya gema). Beberapa agama menggunakan suara untuk mengidentifikasi tempat ibadah mereka, seperti lonceng gereja atau suara adzan dari masjid. - Bebauan (smell) merupakan salah satu elemen untuk mengidentifikasi tempat. Bebauan juga merupakan cara untuk membuat suatu tempat, seperti bau roti hangat yang baru dipanggang dari toko roti, atau pembedaan taman berdasarkan bau bunga-bunga yang ada di sana, mawar atau sedap malam. - Tekstur sebagai salah satu karakteristik untuk mengidentifikasi tempat, tak hanya berhubungan dengan cahaya dan indera pengelihatan, tetapi juga dengan bagaimana seseorang merasakan arsitektur melalui sentuhan. Tak hanya melalui I-38
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
permukaan material, tekstur juga dapat diplikasikan melalui kualitas dan struktur material serta bagaimana material tersebut diaplikasikan. Salah satu cara kita mengenali pedestrian adalah melalui teksturnya yang berbeda dari aspal jalan. Selain berimplikasi pada mata, perbedaan tekstur tersebut juga memengaruhi indera sensori kita melalui sentuhan dan kaki. Lantai merupakan elemen yang penting dalam arsitektur, selain sebagai elemen dasar yang membentuk suatu tempat, lantai juga merupakan media di mana kaki melakukan kontak dengan produk arsitektur, dan kontak dengan tubuh ini penting untuk mengidentifikasi tempat. Selain itu, tekstur juga dapat dirasakan melalui tangan, misalnya melalui pegangan pintu. - Skala merupakan elemen yang berkaitan dengan ukuran. Dalam arsitektur, skala berimplikasi terhadap pengalaman diri untuk merasakan produk arsitektur, misalnya bangunan. Lapangan rumput di kebun kecil di belakang rumah dan di stadion memberi pengalaman yang berbeda. Skala juga didiskusikan di bagian Geometri, yaitu pada Pengukuran (measuring). - Waktu (time) merupakan elemen terakhir dalam elemen modifikasi. Cahaya dapat menciptakan perubahan pada arsitektur secara instan (seperti perubahan nuansa), tetapi waktu membutuhkan waktu. Terpaan waktu pada arsitektur berimplikasi pada perubahan material, seperti renovasi atau pembangunan ulang bangunan karena perubahan kebudayaan. Selain itu, waktu juga mengakibatkan penggunaan bangunan yang berubah sesuai kondisi sosial dan kebudayaan. Masyarakat dapat membuat dan menggunakan tempat tersebut melalui cara yang lebih baik, menjadikan tempat tesebut lebih nyaman bagi mereka, atau I-39
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
“mengubah” tempat tersebut menjadi sesuatu yang baru. Implikasi ini bisa berefek positif maupun negatif. Waktu sebagai elemen modifikasi juga berarti waktu yang dibutuhkan seseorang untuk mengalami suatu produk arsitektur, seperti pemandangan dari tampilan luar serta eksplorasi ruang-ruang di dalamnya. 1.6.4.1.3 Elemen Melakukan Lebih dari Satu Hal Pada Waktu yang Bersamaan Sebagai unsur untuk mengidentifikasi tempat, elemen-elemen dalam arsitektur, baik elemen dasar maupun elemen modifikasi, melakukan lebih dari satu hal pada waktu yang bersamaan. Selain barrier yang membatasi suatu tempat, pada saat yang bersamaan dinding juga merupakan penyangga atap. Begitu pun dengan beberapa elemen dasar arsitektur lain, mereka dapat berperan sebagai pendukung elemen lain dalam waktu yang sama. Karakteristik elemen arsitektur ini dapat ditemukan pada berbagai skala dan tipe produk arsitektur dan ini telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Hal ini dapat berimplikasi positif maupun negatif. Jika membangun dua bangunan rumah yang berdekatan namun tidak merupakan bangunan yang menyatu, akan menciptakan ruang yang sia-sia. 1.6.4.2 Kode Sintaksis (Syntactic Codes) Kategori ini mengklasifikasikan kode arsitektur berdasarkan tipe ruang yang terbentuk melalui elemen dasar dan modifikasi, seperti circular plan, ‘open plan’, high-rise, atau labirin.61 Dalam menganalisis kode sintaksis, terdapat 61
Eco, Umberto. Function and Sign: Semiotics of Architecture dalam Leach, Neil. ed. Rethinking Architecture: A Reader in Cultural Theory. London: Routledge, 1997. Hal. 185. I-40
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
konvensi yang perlu diperhatikan, misalnya adanya tangga tidak menunjukkan adanya aturan untuk naik atau turun melalui jendela.62 1.6.4.3 Kode Semiotic (Semantic Codes) Kategori ini dianalisis melalui subkategori berikut: - Denotasi fungsi primer merupakan fungsi praktis elemen-elemen arsitektur. - Konotasi fungsi sekunder merupakan fungsi simbolis kode-kode arsitektur, yang mana berdasarkan konvensi yang berlaku di masyarakat. - Makna yang lebih luas, yang mana hal ini menunjukkan tiga aspek penting: sistem bentuk, sistem fungsi, dan konteks sosial dan budaya.
62
Ibid., Hal. 185. I-41
Skripsi
SEMIOTIKA ARSITEKTUR MALL
YUNITA AYU IRWANTI