BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kebijakan
nasional
penanggulangan
HIV/AIDS
menggarisbawahi
kebutuhan serangkaian program layanan yang komprehensif dan bermutu yang menjangkau luas masyarakat dengan tujuan (a) mencegah dan mengurangi penularan HIV/AIDS, (b) meningkatkan kualitas hidup Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), (c) mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV/AIDS pada individu. Kebijakan nasional juga memberikan prioritas kepada program intervensi yang potensial efektif dengan biaya yang dapat dijangkau. Program layanan yang komprehensif HIV/AIDS mencakup (a) promosi dan pencegahan, (b) perawatan dukungan dan pengobatan, (c) pemberdayaan sosial dan ekonomi, (d) penciptaan lingkungan fisik dan sosial yang kondusif terhadap upaya penanggulangan, dan (e) penguatan kelembagaan. Program pencegahan transmisi seksual dilakukan melalui promosi penggunaan kondom, pengobatan, dan Voluntary Counseling and Testing). Berbagai kebijakan dan program penanggulangan di atas HIV/AIDS telah dilakukan namun, penyakit yang mematikan itu terus berkembang. Untuk itu memerlukan perhatian semua pihak, terutama kalangan Perguruan Tinggi, salah satunya Undiksha Singaraja. Melalui kesempatan ini kami ingin mengabdikan diri untuk mendiseminasi bahaya HIV/AIDS kepada para mahasiswa perguruan tinggi yang ada di Kabupaten Buleleng. 1.2 Analisis Situasi Berdasar data KPAD Bali, hingga Juni tahun 2011, secara nasional, Bali menduduki ranking kelima dalam hal jumlah kasus Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) . "Ada 4.464 kasus yang terpantau sampai saat ini". Dari ribuan kasus HIV/AIDS itu, korban yang sudah meninggal mencapai 392 orang. Kota Denpasar menduduki ranking pertama jumlah kasus HIV/AIDS yakni sebanyak 1.980 kasus atau 44,35 persen dari kasus HIV/AIDS di Pulau Dewata. Pada urutan kedua diduduki Kabupaten Buleleng dengan 979 kasus dan ketiga Kabupaten Badung yang tercatat memiliki
2
727 kasus. Bahkan di Kabupaten Buleleng di akhir bulan Agustus 2011 menembus angka 1.200 penderita. Bahkan penyebaran virus mematikan tersebut kini bergeser dari Kecamatan Gerokgak ke wilayah Kota Singaraja. Yang mengejutkan, tiga orang Waitress atau pelayan Café serta seorang 'Dakocan' atau 'Dagang Kopi Cantik' positif tertular penyakit mematikan ini. Penyebaran keganasan virus HIV tersebut dari catatan Komisi Penanggulangan Aids Daerah, KPAD Buleleng dan Yayasan Citra Usada Indonesia (YCUI) merata di 9 Kecamatan di Kabupaten Buleleng. Kecamatan Buleleng berada di bagian teratas dengan mencatat 280 penderita HIV/AIDS dan Kecamatan Gerokgak di kedua dengan jumlah 208, serta Kecamatan Sawan diurutan ke tiga dengan jumlah penderita mencapai 167. “Dalam jangka waktu sebulan terakhir, rata-rata di Buleleng dari tiga kecamatan tercatat 58 warga yang sudah positif, termasuk satu orang yang sering mangkal di dagang patokan atau dakocan. Kondisi ini sebuah fenomena gunung es sehingga perlu diwaspadai,” ungkap Koordinator YCUI Buleleng, Ricko Wibawa dan Ketut Sukiarta. Pengabdian Kepada Masyarakat ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Partisipasi Desa Pakraman dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Buleleng”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebaran
HIV/AIDS sangat cepat sampai ke desa-desa. Dari temuan ini kami mencoba melakukan pengabdian kepada masyarakat pada sasaran yang terbatas (mahasiswa), karena mahasiswa termasuk salah satu kelompok transmisi seksual beresiko tinggi. 1.3 Identifikasi dan Perumusan Masalah Seperti yang telah terurai dalam analisis situasi bahwa Kabupaten Buleleng di akhir bulan Agustus 2011 menembus angka 1.200 penderita. Bahkan penyebaran virus mematikan tersebut kini bergeser dari Kecamatan Gerokgak ke wilayah Kota Singaraja. Yang mengejutkan, tiga orang Waitress atau pelayan Café serta seorang 'Dakocan' atau 'Dagang Kopi Cantik' positif tertular penyakit mematikan ini. Penyebaran keganasan virus HIV tersebut dari catatan Komisi Penanggulangan Aids Daerah, KPAD Buleleng dan Yayasan Citra Usada Indonesia (YCUI) merata di 9 Kecamatan di Kabupaten Buleleng. Kecamatan Buleleng berada di bagian teratas dengan mencatat 280 penderita HIV/AIDS dan
2
3
Kecamatan Gerokgak di kedua dengan jumlah 208, serta Kecamatan Sawan diurutan ke tiga dengan jumlah penderita mencapai 167. “Dalam jangka waktu sebulan terakhir, rata-rata di Buleleng dari tiga kecamatan tercatat 58 warga yang sudah positif, termasuk satu orang yang sering mangkal di dagang patokan atau dakocan. Kondisi ini sebuah fenomena gunung es sehingga perlu diwaspadai,” ungkap Koordinator YCUI Buleleng, Ricko Wibawa dan Ketut Sukiarta. Berdasarkan informasi Prajuru Desa Pakraman Tukadmungga (I Ketut Sutana) bahwa di Desa Tukadmungga terdapat 7 orang yang sudah terkena HIV/AIDS. Atas dasar itulah Ketut Sutana tergugah kesadaran untuk terlibat aktif dalam penanggulangan HIV/AIDS berkoordinasi dengan Perbekel membuat tambahan pasal
yang
ada
dalam
Awig-Awig
Desa
Pakraman
untuk
mencegah/menanggulangi HIV/AIDS di Desa Pakraman Tukadmungga. Berdasarkan paparan masalah di atas, dapat dirumuskan masalah Pengabdian Kepada Masyarakat berikut ini. “Penyebaran HIV/AIDS di Kabupaten Buleleng berkembang dengan cepat tanpa memandang kedudukan, jenis kelamin, dan umur”.
1.4 Tujuan Kegiatan Tujuan kegiatan P2M ini adalah untuk mendiseminasi bahaya penyebaran HIV/AIDS sebagai penyakit
mematikan yang terus berkembang,
khususnya kepada para mahasiswa di Kabupaten Buleleng. Agar mahasiswa memproleh informasi yang lebih komprehensif dalam menemukan, merumuskan, memecahkan, dan menanggulangi permasalahan HIV/AIDS.
1.5 Manfaat Kegiatan Kegiatan P2M ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi para mahasiswa sebagai salah satu kelompok beresiko tinggi dalam penularan HIV/AIDS di Kabupaten Buleleng.
3
4
BAB II METODE PELAKSANAAN
2.1 Khalayak Sasaran Strategis Khalayak sasaran strategis dalam P2M ini adalah para mahasiswa di Kabupaten Buleleng yang jumlahnya sebanyak 40 orang dengan rincian masingmasing universitas sebagai brikut. Mahasiswa Undiksha 20 orang Mahasiswa Panji Sakti 10 orang Mahasiswa STIE Satya Dharma 5 orang STIKES Majapahit 5 orang 2.2 Metode Pelaksanaan a. Kerangka Pemecahan Masalah Diseminasi program P2M ini diawali dengan pengamatan real lapangan, dilanjutkan dengan identifikasi masalah, need assessment, pelaksanaan langsung di lapangan, dan evaluasi kegiatan. Secara bagan alur kerja dari kegiatan sosialisasi adalah sebagai berikut.
Potret Real Lapangan
Need Assessment
Rumusan Masalah
Penerjunan ke Lapangan
Evaluasi
Diseminasi/Simulasi
b. Metode Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan P2M ini dilaksanakan dengan mempergunakan metode ceramah, tanyajawab, dan diskusi.
4
5
2.3 Katerkaitan Pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan program ini adalah sebagai berikut. 1) Pihak mahasiswa Undiksha, Panji Sakti, STIE Satya Dharma, dan STIKES Majapahit tergolong transmisi seksual beresiko tinggi. 2) Pihak Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) Kabupaten Buleleng yang telah lama dan secara intens mengabdi dalam menanggulangi HIV/AIDS di Kabupaten Buleleng, kaligus dalam kegiatan ini sebagai penceramah. 3) Pihak Pemerintah Kabupaten Buleleng, terutama Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Kabupaten Buleleng. 4) Pihak Undiksha, akan berusaha menyiapkan civitas akademika dalam memberi informasi dan mencegah HIV/AIDS di Kabupaten Buleleng.
5
6
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 HIV/AIDS DI Kabupaten Buleleng HIV (Human Imunodeficiensi Virus) adalah virus penyebab AIDS. Terdapat dalam cairan tubuh pengidapnya seperti darah, air mani, atau cairan vagina. Pengidap HIV akan tampak sehat sampai HIV menjadi AIDS dalam waktu 5-10 tahun kemudian. Walaupun tampak sehat mereka dapat menular dengan HIV pada orang lain. AIDS (Aquired immune Deficiency Syndrome) atau sindroma menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan HIV sehingga tubuh tidak dapat memerangi penyakit. Penularan HIV itu dapat terjadi melalui beberapa cara: 1) Melalui hubungan seks yang tidak terlindung (anal, oral, vaginal) dengan pengidap HIV 2) Melalui transfuse darah atau menggunakan jarum suntik secara bergantian 3) Melalui ibu hamil pengidap HIV pada bayi yang dilahirkan dan dari ibu ke anak selama menyusui. HIV tidak ditularkan melalui pergaulan seperti berjabat tangan, sentuhan, ciuman, pelukan, peralatan makan, gigitan nyamuk, penggunaan jamban atau tinggal serumah, kontak dengan penderita yang batuk atau bersin. Hal ini menjawab bahwa isu yang berkembang di masyarakat tidaklah benar. Siapapun bisa saja tertular HIV dan gejala yang ditimbulkan tidak dapat di bedakan dengan orang sehat kebanyakan karena penampilan luarseseorang tidak menjamin mereka bebas HIV. Orang dengan HIV positif sering terlihat sehat dan merasa sehat sebelum melakukan tes darah. Apabila melakukan tes HIV barulah seseorang mengetahui dan menyadari bahwa dirinya tertular HIV. Tes HIV merupakan satu-satunya untuk mendapatkan kepastian tertular HIV atau tidak. Pelayanan tes darah ini telah disediakan oleh pemerintah di rumah sakit atau puskesmas dengan tidak dipungut bayaran. Sampai saat ini secara umum kelompok-kelompok masyarakat yang beresiko tinggi belum banyak terlibat dalam penanggulangan HIV/AIDS di Bali. Sedangkan pada sisi yang lain bahwa berdasarkan kenyataan yang ada di Bali
6
7
terdapat 4.464 kasus yang terpantau sampai akhir tahun 2011. Dari ribuan kasus HIV/AIDS itu, korban yang sudah meninggal mencapai 392 orang. Di Kabupaten Buleleng di akhir bulan Agustus 2011 menembus angka 1.200 penderita. Berdasarkan dua hal tersebut di atas sangat dibutuhkan partisipasi kelompok-kelompok masyarakat secara maksimal termasuk sekeha teruna-teruni (salah satu kelompok beresiko) dalam penanggulangan HIV/AIDS di Desa Pakraman. Di Desa Pakraman Tukadmungga, sekeha teruna-teruni turut secara aktif dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Desa Pakraman Tukadmungga merupakan desa yang berada di daerah wisata (lovina) di Kabupaten Buleleng. Model partisipasi yang dilakukan oleh sekeha teruna-teruni Desa Pakraman Tukadmungga
dalam
penanggulangan
HIV/AIDS
adalah
dengan
cara
berpartisipasi dalam Kelompok Desa Pakraman Peduli HIV/AIDS (KDPPA). Dalam melaksanakan kegiatan sekeha teruna-teruni berpegang pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD dan ART) dan program desa pakraman. Kegiatan yang secara rutin dilakukan adalah melaksanakan sosialisasi secara intens kepada anggota teruna-teruni dalam rapat rutin setiap tiga bulan sekali. Ikut terlibat dalam mengawasi cafe dan warung reman-remang diwilayah desa pakraman Tukadmungga yang disinyalir sebagai penular HIV/AIDS. Kegiatan lainnya adalah membantu Prajuru Desa Pakraman dalam mensosialisasi dampak HIV/AIDS. Model seperti ini berdasarkan pengamatan penulis lebih efektif apabila dibandingkan dengan cara-cara interventif yang dilakukan oleh negara (pemerintah) melalui Desa/Kelurahan. Di Bali dikenal dualisme pemerintahan desa yaitu Desa Pakraman dan Desa/Kelurahan. Desa Pakraman lebih dominan dalam mempengaruhi anggota masyarakat termasuk sekeha teruna-teruni. Namun Desa Dinas/Kelurahan mempunyai tugas administratif. Keterlibatan Desa Pakraman Tukadmungga dalam penanggulangan telah disiapkan dalam bentuk pasal tamabahan dalam Awig-Awig Desa Pakraman Tukadmungga. Dalam melengkapi Awig-Awig Desa Pakraman telah dibuat Peraturan Desa Pakraman Tukadmungga No. 02/DP.DT/I/HIV/2012 tentang Penanggulangan HIV/AIDS. Adapun kegiatan penanggulangan HIV/AIDS dilakukan melalui promosi, pencegahan, konseling dan tes sukarela rahasia, pengobatan, dan perawatan dan dukungan. Terkait dengan keterlibatan sekeha
7
8
teruna-teruni, secara aktif mendukung program Desa Pakraman yang telah tertuang dalam Awig-Awig. Kebijakan dan langkah Desa Pakraman Tukadmungga menjadi patut dicontoh bagi desa pakraman yang lain dalam penanggulangan HIV/AIDS. Faktor yang dibutuhkan dalam partisipasi adalah adanya motivasi untuk berkontribusi. Faktor ini amat penting dan menjadi landasan psikologis bagi individu atau kelompok dalam berkreasi memberikan yang terbaik untuk kepentingan bersama masyarakat. Motivasi berkontribusi bagi kepentingan bersama ini menuntun partisipasi setiap individu atau kelompok sosial yang menjadikannya sarana untuk menumbuhkan perasaan memiliki organisasi. Jika perasaan memiliki ini telah tumbuh, maka partisipasi akan meningkat seiring dengan visi, misi, dan tujuan-tujuan bersama kelompok yang telah ditetapkan. Dengan demikian kontribusi menunjukkan sumbangan setiap individu atau kelompok untuk mewujudkan kepentingan atau tujuan bersama (Katika Dewi, 2006). Faktor ketiga yang juga vital harus ada dalam setiap upaya partisipasi adalah tanggung jawab. Di sini setiap orang atau kelompok tertentu merasa bertanggung jawab terhadap upaya pencapaian kepentingan bersama. Tanggung jawab menunjukkan keputusan nilai-nilai moral untuk bertindak atau tidak bertindak yang diperlukan seseorang atau kelompok dalam mengambil beban atau resiko atas keputusan moral tersebut. Begitulah tanggung jawab akan mewajibkan seseorang atau kelompok tertentu dalam suatu organisasi sosial untuk mewujudkan harapan-harapan dan tujuan-tujuan mereka bersama (Kartika Dewi, 2006). Partisipasi masyarakat dalam pembangunan memiliki beberapa bentuk. Hal ini tergantung pada jenis atau bidang pembangunan yang dilaksanakan. Berbagai bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan, misalnya: memberikan suara dalam pemilihan umum, mempengaruhi kebijakan publik pemerintah, membayar pajak, melaksanakan gotong royong, terlibat dalam kegiatan kooperasi, menjadi sukarelawan dalam aktivitas kemanusiaan, mensosialisasikan program KB, dsb. Berbagai bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan tersebut tergantung pada beberapa faktor baik bersifat internal maupun eksternal. Secara internal bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan tergantung pada kepentingan pribadi/kelompok, tingkat pengetahuan/kemampuan, umur, jenis
8
9
kelamin, status perkawinan, minat, orientasi nilai, komitmen, keyakinan agama, dsb. Sementara itu, secara eksternal bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan tergantung oleh faktor-faktor, antara lain: situasi politik, kondisi sosial ekonomi, tuntutan atau kepentingan masyarakat luas, kebijakankebijakan publik yang ada, faktor geografis keruangan, dsb. (lihat Kartika Dewi, 2006). Perda Provinsi Bali No. 03 Tahun 2006 tentang Penanggulangan HIV/AIDS
dinyatakan
bahwa
Gubernur
melakukan
koordinasi
dengan
Bupati/Wali Kota dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS baik menyangkut aspek pengaturan dan aspek pelaksanan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Gubernur melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penanggulangan HIV/AIDS baik yang dilkukan oleh aparatur Pemerintah Provinsi, masyarakat, maupun sektor usaha. Makna pernyataan di atas bahwa Kabupaten/Kota
mempunyai
kedudukan
sentral
dalam
penanggulangan
HIV/AIDS. Tanggung jawab penanggulangan berada pada kita semua, termasuk masyarakat adat yang menjadi kearifan lokal masyarakat Bali. Proses yang diamati dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada awal kegiatan dilakukan penjajagan ke lokasi pelaksanaan pengabdian, khususnya di lokasi Yayasan Citra Usada Indonesia (YCUI) Cabang Buleleng dan IDS Kabupaten Buleleng. Kegiatan ini mengikutsertakan anggota tim peneliti, KPAD dan staf pengurus YCUI. Kabupaten Buleleng di akhir bulan Agustus 2011 menembus angka 1.200 penderita. Bahkan penyebaran virus mematikan tersebut kini bergeser dari Kecamatan Gerokgak ke wilayah Kota Singaraja. Yang mengejutkan, tiga orang Waitress atau pelayan Café serta seorang 'Dakocan' atau 'Dagang Kopi Cantik' positif tertular penyakit mematikan ini. Penyebaran keganasan virus HIV tersebut dari catatan Komisi Penanggulangan Aids Daerah, KPAD Buleleng dan Yayasan Citra Usada Indonesia (YCUI) merata di 9 Kecamatan di Kabupaten Buleleng. Kecamatan Buleleng berada di bagian teratas dengan mencatat 280 penderita HIV/AIDS dan Kecamatan Gerokgak di
9
10
kedua dengan jumlah 208, serta Kecamatan Sawan diurutan ke tiga dengan jumlah penderita mencapai 167. “Dalam jangka waktu sebulan terakhir, rata-rata di Buleleng dari tiga kecamatan tercatat 58 warga yang sudah positif, termasuk satu orang yang sering mangkal di dagang patokan atau dakocan. Kondisi ini sebuah fenomena gunung es sehingga perlu diwaspadai,” ungkap Koordinator YCUI Buleleng, Ricko Wibawa dan Ketut Sukiarta. Berdasarkan informasi Prajuru Desa Pakraman Tukadmungga (I Ketut Sutana) bahwa di Desa Tukadmungga terdapat 7 orang yang sudah terkena HIV/AIDS. Atas dasar itulah Ketut Sutana tergugah kesadaran untuk terlibat aktif dalam penanggulangan HIV/AIDS berkoordinasi dengan Perbekel membuat tambahan pasal yang ada dalam Awig-Awig Desa Pakraman untuk mencegah/menanggulangi HIV/AIDS di Desa Pakraman Tukadmungga. Perkembangan terkini penyebaran penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Buleleng, Bali dari awal tahun hingga April 2012 tercatat sebanyak 1.263 warga dinyatakan positif. Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Buleleng Made Arga Pynatih di Singaraja, mengatakan, mereka yang dinyatakan positif HIV/AIDS itu kebanyakan dari kalangan pekerja seks komersial (PSK). Selain itu juga dari kalangan buruh, karyawan swasta, PNS, ibu rumah tangga, dan balita yang orangtuanya tertular HIV/AIDS. "Kami juga menggalakkan penggunaan kondom karena kami tidak bisa melarang para PSK berhenti berpraktek," kata Wakil Bupati Buleleng itu. Data menunjukkan 98% perkembangan HIV/AIDS di Buleleng disebabkan oleh perilaku seks berresiko terutama hubungan seks dengan para PSK yang diduga 20%nya telah terinfeksi HIV/AIDS. Perilaku seks berresiko ini terutama melibatkan remaja dan generasi muda golongan usia 15 tahun sampai dengan 49 tahun. Yang cukup meresahkan masyarakat adalah bahwa kini cukup banyak tempat prostitusi di Kabupaten Buleleng, bahkan sampai ke pelosok desa, baik yang beroperasi di lokasi-lokasi PSK (sebenarnya ilegal) maupun yang terselubung dan telah menjadi salah satu
10
11
faktor utama terjadinya hubungan seks beresiko tinggi di Buleleng. Buktinya secara komulatif sejak tahun 1999 hingga Pebruari 2012 ini sudah tercatat 1313 pengidap HIV/AIDS di Bumi Denbukit ini. Tiga kecamatan di Kabupaten Buleleng dengan populasi penduduk terinfeksi HIV/AIDS terbesar adalah Kecamatan Buleleng (24,10%), Kecamatan Gerokgak (18,26%), dan Kecamatan Sawan (14,27%). Pertanyaan utama yang perlu diajukan dari data tersebut adalah bagaimana dari kajian sosial budaya desa pakraman dengan sistem budayanya (sistem ideologi, sistem sosial, dan sistem teknologi) dapat dipengaruhi oleh penyebaran praktik perilaku seks berresiko terhadap HIV/AIDS? Hasil analisis data menunjukkan bahwa secara ideologi mengapa masyarakat desa pakraman di Kabupaten Buleleng dewasa ini cenderung terpengaruh oleh praktik perilaku seks berresiko adalah karena masyarakat cenderung pasrah dan bersikap pragmatis dalam memaknai ideologi rwa bhineda dan ideologi demokrasi. Yang dimasud ideologi rwa bhinneda di sini adalah suatu pandangan dan keyakinan yang memposisikan segala sesuatu dalam kehidupan ini menjadi dua hal yang berbeda (Widja, 1989). Misalnya, ada dharma (kebajikan) ada adharma (kebatilan), ada kaya ada miskin, ada perbuatan baik (cubha karma) ada perbuatan buruk (acubha karma), dsb. (Dharmayudha dan Cantika, 1991; Kaler, 1996). Sikap pasrah masyarakat ini seakan-akan membiarkan berkembangnya semangat kebebasan di era demokrasi terutama untuk berbeda satu sama lain. Masyarakat desa pakraman pada umumnya
percaya bahwa sekarang ini menurut ajaran
Hindu manusia hidup di jaman kali (kali yuga). Menurut pandangan dan keyakinan masyarakat ciri kehidupan masyarakat di jaman kali ditandai dengan berkuasanya kejahatan atau ketamakan atas kebajikan. Lebih banyak orang-orang yang berbuat tidak baik dari pada yang selalu berbuat kebaikan. Masyarakat desa pakraman percaya: “clebingkah batan biyu, ada pane ada paso, gumi linggah ajak liyu, ada kene, ada keto; anak suba pekibeh gumi” (potongan genteng di
11
12
bawah pohon pisang, ada mangkok ada baskom, hidup di bumi yang luas banyak orang, ada yang begini, ada yang begitu. Memang sudah kehendak alam). Dengan keyakinan seperti ini, masyarakat tampak tidak begitu kuat lagi kohesivitas sosialnya (Sujana, 1994). Dengan alasan demokrasi dan kebebasan, masyarakat seakan-akan membiarkan pihak lain untuk memiliki praktik perilaku yang berbeda satu sama lain (Tilaar, 2003), termasuk tentunya yang bersentuhan dengan dunia hubungan seksual. Dalam kasus ini walaupun sebagian besar masyarakat masih menghargai nilai-nilai moral dalam praktik hubungan seksual yang suci melalui lembaga perkawinan yang taat dan setia dengan satu pasangan, tetapi masyarakat juga cenderung mulai pasrah pada adanya praktik perilaku hubungan seksual secara komersial, hubungan seks berganti-ganti pasangan, dan perilaku seks pranikah yang makin berkembang. Contohnya, masyarakat dewasa ini cenderung membiarkan munculnya lokasi-lokasi prostitusi ilegal di dalam masyarakat, kafe remang-remang sebagai tempat prostitusi terselubung, warung dakocan (dagang kopi cantik) terselubung, munculnya perilaku cewek orderan, praktik gigolo dan kipper di daerah wisata, hubungan seks pranikah yang cukup bebas di kalangan remaja, dan sejenisnya. Seorang ibu parobaya menyatakan: “sebenarnya saya marah, suami saya suka ke kafe dan suka berhubungan dengan cewek kafe itu. Tapi, saya harus bagaimana. Bu bidan menyuruh saya belajar mempercantik diri, supaya tidak kalah cantik dengan cewek-cewek kafe”. Lalu mengapa masyarakat cenderung pragmatis? Jawaban atas pertanyaan ini adalah karena masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di satu sisi, sementara di sisi lain pengaruh kehidupan modern di era globalisasi yang dibawa sebagian oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi begitu kuat. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat menyebabkan banyak masyarakat kurang mampu mengembangkan penalaran nilai dan moral yang dibutuhkan ketika menerima pengaruh nilai-nilai baru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Sukadi, 2006).
12
13
Sebagaimana diketahui dengan kehidupan modern di era globalisasi ini sebagian masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh nilai-nilai baru yang cenderung berorientasi individualistik, materialistik, komodistik, konsumeristik, dan hedonistik (Atmadja, 2008; Piliang, 1998; Widja, 2007). Praktik perilaku seks komersial dan berganti-ganti pasangan adalah salah satu contoh pengaruh nilainilai yang menekankan kepentingan individual, material,
dan kepentingan
hedonistik ini. Seorang tenaga sukarelawan mengatakan: Di sini pendidikan masyarakat masih rendah pak, termasuk generasi mudanya. Rata-rata hanya berpendidikan sampai SMP. Orang-orang berpendidikan SMA, apalagi perguruan tinggi masih dapat dihitung dengan jari. Ini karena aspirasi pendidikan masyarakat memang rendah. Walau begitu, banyak perilaku generasi muda sok modern. Mereka punya sepeda motor, mereka punya hp, mereka punya tv dan vcd player. Mereka suka memiliki gambar-gambar dan menonton film (vcd) porno. Mereka suka berkumpul mabuk-mabukan, suka ke kafe, atau warung dakocan, atau ke lokasi PSK. Mereka tidak terlalu peduli apakah tindakan itu baik atau buruk. Kondisi
pragmatisme
dalam
pemilihan
nilai-nilai
baru
tersebut
menyebabkan sebagian masyarakat mulai oportunistik. Di awal era reformasi di Indonesia, dengan alasan demokrasi dan kebebasan sebagian orang mulai menerima tindakan pornografi dan pornoaksi. Betapa banyak majalah dan surat kabar yang mempertontonkan gambar-gambar dan berita pornografi sebagai suguhannya. Masyarakat mulai sangat marak menerima peredaran VCD porno. Usaha warung internet dibuka seperti tumbuhnya jamur di musim hujan dimana pelanggannya dengan bebas membuka situs-situs porno. Lokasi-lokasi prostitusi mulai menyebar ke desa-desa baik yang bersifat vulgar maupun laten seperti pembukaan kafe remang-remang, warung dakocan, dan muncul praktik cewek orderan. Tidak itu saja, di kabupaten Buleleng bahkan karya-karya seni tradisional pernah disusupi kepentingan materialisme yang hedonistik, seperti seni tari joged bumbung yang semula dianggap sebagai tari pergaulan dengan nilai-nilai seni budaya yang tinggi, pernah berkembang salah arah menjadi semacam tarian striptease yang meberikan suguhan porno kepada penontonnya (Atmadja, 2005).
13
14
Kondisi seperti ini meningkatkan dipraktikkannya perilaku hubungan seks secara komersial di masyarakat yang semula memang sudah terjadi di lokasi-lokasi prostitusi, seperti yang ada di lokasi Desa Pakraman dan beberapa lokasi di beberapa desa pakraman di Kecamatan Gerokgak. Atmadja (2005) menjelaskan gejala ini sebagai gejala komoditisme dan pasarisme, dimana seni dan manusia pendukungnya cenderung bisa dianggap sebagai barang komiditi yang dapat dimodifikasi sesuai tuntutan selera pasar. Pragmatisme dalam memaknai konsep rwa bhineda dan nilai-nilai kebebasan sebagian juga turut mempengaruhi tatanan hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat desa pakraman. Di sini nilai-nilai kohesivitas sosial melalui praktik gotong royong dengan prinsip sepi ing pamerih rame ing gawe mulai dipertanyakan. Masyarakat mulai luntur nilai-nilai kesatuan dan kebersamaannya. Sementara itu identitas individu dan kelompok subbudaya cenderung mulai menguat (Margi, 2011). Dalam hubungan sosial, anggotaanggota masyarakat mulai kuat disusupi kepentingan-kepentingan individual, materialistik, dan hedonistik (Pitana, 1994; Sujana, 2004). Contoh untuk hal ini adalah kegiatan gotong royong di masyarakat diganti dengan uang, TV keluarga menjadi seperti TV milik pribadi hanya karena kepentingan menonton acara yang berbau pornografi dan pornoaksi dengan memanfaatkan VCD porno, telepon keluarga menjadi HP pribadi yang membuat pemiliknya bebas menggunakan untuk apa saja menurut kemauannya, dsb. Itulah sebabnya kemudian konflik sosial dalam masyarakat mulai mengalami eskalasi (Margi, 2011; Sujana, 2004). Ini tidak saja terjadi dalam tubuh kehidupan bermasyarakat. Bahkan dalam kehidupan kekerabatan, hubungan sosial antar anggota keluarga juga mulai mengalami penurunan. Terjadilah kemudian banyak praktik pembiaran terhadap adanya pelanggaran nilai-nilai hubungan sosial di dalam masyarakat, termasuk dalam praktik hubungan seksual secara komersial, hubungan seks ganti-ganti
14
15
pasangan, dan hubungan seks pranikah yang berresiko (Sendratari, 2011). Banyak masyarakat yang menilai bahwa sekarang ini satu-satunya urusan masyarakat desa pakraman yang masih dilaksanakan secara gotong royong adalah urusan upacara agama. Selebihnya telah menjadi urusan individu dan keluarga (Sendratari, 2011). Jadi, desa pakraman mulai kehilangan kharismanya dalam menata kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Seorang prajuru desa pakraman menuturkan: “sekarang ini sudah susah mengatur kepentingan bersama masyarakat desa pakraman. Setiap anggota krama sering sudah sendiri-sendiri mengatur dan menjalankan kepentingan hidupnya baik dalam bidang sosial, budaya, keagamaan, ekonomi, maupun aspek kehidupan lainnya. Satu-satunya urusan desa pakraman yang masih dilaksanakan secara bergotong royong adalah melaksanakan upacara agama di pura kahyangan tiga”. Masyarakat desa pakraman dewasa ini juga kehilangan kemampuan dan legitimasinya untuk mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk pencegahan dan tindakan kuratif untuk menanggulangi meningkatnya perilaku hubungan seks secara komersial. Pertama, desa pakraman tidak memiliki landasan yuridis (hukum adat) untuk mengaturnya. Walaupun desa pakraman memiliki awig-awig adat,
awig-awig
tersebut
tidak
ada
yang
mengatur
pencegahan
dan
penanggulangan masalah hubungan seksual secara komersial dan hubungan seks berganti-ganti pasangan yang mengarah kepada perilaku seks berresiko HIV/AIDS. Awig-awig adat hanya mengatur masalah hubungan seksual tersebut secara suci melalui lembaga perkawinan yang harus memiliki legitimasi spiritual dan sosial di desa pakraman. Ketika ada penyimpangan sosial yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan masalah hubungan seks ini, awig-awig adat atau desa pakraman tidak mampu mengantisipasi atau menjangkau permasalahannya. Penanggulangan cenderung dilakukan hanya dengan himbauan-himbauan moral keagamaan saja. Kedua, desa pakraman tidak memiliki lembaga adat yang memiliki kewenangan untuk mengawasi, mengontrol, mengatur, dan memberikan sanksi terhadap munculnya penyimpangan-penyimpangan sosial dalam masalah-masalah
15
16
hubungan seks secara komersial dan hubunagn seks berganti-ganti pasangan serta hubungan seks pranikah yang makin menguat. Jika ada masalah yang muncul di wilayah desa pakraman terkait dengan perilaku seks seperti itu -- misalnya: adanya kasus perselingkuhan (memitra) dan hubungan seks pranikah -- maka desa pakraman umumnya menyelesaikannya secara musyawarah dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait. Ketiga, para prajuru desa pakraman tidak memiliki kemampuan dan komitmen yang kuat untuk dapat mengatasi berkembangnya
perilaku seks
komersial di antara para warga / kramanya. Ketika seorang Bendesa Pakraman ditanya apakah Desa Pakraman dengan prajurunya tidak memiliki kewenangan untuk menanggulangi meningkatnya perilaku hubungan seksual secara komersial diantara para kramanya, jawabannya adalah sebagai berikut. “Kami para prajuru desa pakraman tentu tidak harus sok pintar dan sok bijak untuk melarang secara langsung dan personal orang-orang yang suka melakukan tindakan hubungan seksual secara komersial, hubungan seks ganti-ganti pasangan, dan hubungan seks pranikah. Kami tidak punya prajuru untuk itu. Lagi pula, masalah itu bukan masalah desa pakraman semestinya. Itu masalah masing-masing pribadi atau keluarga. Tetapi, jika tindakannya ketahuan atau dipergoki masyarakat dan dianggap membuat desa pakraman leteh (kotor), maka yang bersangkutan dapat diberikan sanksi untuk melakukan upacara pecaruan/pabyakala atau upacara pembersihan jagad. Kondisi
ini
makin
mendapat
penguatan
(reinforcement)
dengan
menyusupnya nilai-nilai baru kehidupan modern yang cenderung vulgar dalam hal pornografi ke dalam sistem teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang di masyarakat. Masyarakat sekarang sangat mudah mengakses baik perangkat keras maupun perangkat lunak yang mengandung materi pornografi dan pornoaksi tanpa khawatir mendapat sanksi dari masyarakat. Walaupun sekarang ini telah berlaku Undang-undang tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi, tetapi di masyarakat pedesaan di Kabupaten Buleleng tampaknya UU ini tidak efektif. Seorang tenaga sukarelawan menyatakan: “tidak sulit mendapatkan gambargambar dan film porno, baik itu film Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina,
16
17
Cina, Jepang, India, Latin, dan film barat. Anak-anak mudah mengaksesnya lewat warnet, counter Hp dan agen pulsa, pinjam dengan sesama teman, dan membeli VCD porno bajakan”. Demikianlah masyarakat desa pakraman digempur dari dalam dan dari luar yang menyebabkan mereka seakan-akan pasrah dan harus mau mengakui bahwa dewasa ini praktik perilaku seks komersial dan perilaku seks pranikah yang makin kuat muncul dalam berbagai bentuk di kalangan generasi muda (merebaknya lokasi PSK terselubung, kafe remang-remang, dagang kopi cantik, praktik gigolo dan kipper, cewek orderan, hubungan seks masa pacaran) seakanakan menjadi bagian dari sistem sosial budaya dan teknologi anak muda yang mulai cenderung berorientasi individualistik, materialistik, dan hedonistik. Sebagaimana diketahui kemudian bahwa maraknya perilaku seks komersial dan perilaku seks pranikah di kalangan generasi muda (terutama usia 15 tahun s.d. 49 tahun) berkorelasi secara linear dengan meningkatnya
kasus
HIV/AIDS di masyarakat termasuk di Kabupaten Buleleng. Hal ini diketahui karena penyebaran utama kasus HIV/AIDS adalah melalui transmisi jaringan hubungan seksual komersial dan ganti-ganti pasangan yang tidak aman. Pada masyarakat Desa Pakraman A, misalnya, kasus HIV/AIDS yang ada sekarang ini diduga berjumlah 7-8 kasus di luar kasus ODHA yang sudah meninggal. Berkembangnya jumlah kasus HIV/AIDS di Desa Pakraman A diduga berkaitan dengan faktor pernah adanya lokasi PSK, sebagian kecil warga khususnya anak muda yang suka ke lokasi-lokasi prostitusi di Kecamatan Gerokgak, kasus perkawinan dengan pasangan yang telah terinfeksi HIV, pernah adanya usaha kafe remang-remang, menjamurnya dakocan, mulai munculnya CO karena faktor ekonomi, dan praktik hubungan seksual pranikah di kalangan remaja. Demikianlah juga yang terjadi di Desa Pakraman C. Desa ini sudah sejak lama terkenal karena lokasi PSKnya. Mula-mula masyarakat di sini menerima
17
18
pekerja dari Jawa Timur untuk memanen hasil pertanian ladang (tembakau) dan sawah (padi). Lalu masuklah satu dua orang PSK memberikan jasa hiburan malam dalam memuaskan kebutuhan seksual kaum laki-laki hidung belang. Para PSK ini diterima oleh penduduk desa pakraman, karena mereka memberikan pemasukan dana (uang sewa rumah / uang kost). Kian lama, kian banyak para PSK yang datang hingga pernah mencapai 200 orang. Mereka semua ditampung oleh anggota krama desa yang memanfaatkan mereka untuk pendapatan keluarga. Di samping itu, diam-diam dengan prinsip tahu sama tahu usaha PSK ini juga memberikan manfaat finansial kepada desa pakraman untuk beberapa kegiatan di desa pakraman. Terkenallah kemudian desa ini menjadi lokasi PSK di Bali Utara. Karena diketahui bahwa sebagian dari PSK di lokasi ini ada yang telah terjangkit HIV, maka wajarlah jika masyarakat pengguna jasa PSK di desa pakraman ini tertular HIV. Saat ini jumlah penderita HIV di desa ini diduga ada 9 kasus tidak termasuk kasus yang sudah meninggal. Berbeda dari kasus kedua desa di atas, kasus di Desa Pakraman B praktik perilaku hubungan seks berresiko HIV di atas memang tidak terkait dengan lokasi PSK di desa ini, karena memang tidak ada lokasi PSK di desa ini. Tetapi, di Desa B terdapat empat buah usaha kafe yang diakui masyarakat merupakan tempat prostitusi terselubung. Sebagian warga masyarakat muda Desa Pakraman B diakui suka “jajan” (melakukan hubungan seks secara komersial) tidak aman dengan perempuan pelayan yang disebut “cewek-cewek kafe” tersebut. Selama ini belum diketahui dengan pasti apakah cewek-cewek kafe tersebut bebas dari terjangkit HIV atau tidak. Seorang ibu muda melaporkan dengan jujur bahwa suaminya suka menggunakan jasa cewekcewek kafe secara bergantian untuk hubungan seksual yang tidak aman, sehingga membuat dirinya was-was apakah sudah terinfeksi HIV atau belum. Sementara belum ada keberanian dari ibu tersebut untuk memeriksakan dirinya.
18
19
Sebagian warga masyarakat Desa B juga bekerja di sektor pariwisata, terutama di kawasan pariwisata Lovina dan sekitarnya. Hasil penelitian Atmadja (2006) dan Sendratari (2009) menemukan bahwa sebagian masyarakat lokal ada yang menyelenggarakan praktik “gigolo” dan “kipper” untuk para turis asing. Di musim pariwisata ramai, mereka menjajakan diri kepada para turis, tetapi di musim sepi mereka melakukannya dengan penduduk lokal dengan hubungan seks yang tidak aman. Perilaku seperti ini rentan sekali terhadap penyebaran HIV/AIDS. Karena contoh yang diberikan oleh orang dewasa yang suka jajan ke kafe dan karena pengaruh teknologi informasi dan komunikasi yang negatif, sebagian remaja dan anak muda Desa Pakraman B juga sudah mempraktikkan hubungan seks pranikah yang tidak aman dengan pacarnya, dengan teman sebayanya, dengan CO, dengan wanita warung dakocan, dan dengan PSK. Seorang tenaga sukarelawan melaporkan: satu kasus diakui pernah terjadi, sekelompok remaja laki-laki (sebanyak belasan orang) pada satu malam sampai pagi berhubungan seks bebas dan gratis dengan seorang gadis remaja siswa SMA yang cantik teman sebayanya dari luar desa. Berita positifnya, mereka tidak lupa menggunakan kondom. Karena faktor himpitan ekonomi keluarga, ada orang tua yang dilaporkan tega menyuruh anaknya yang masih remaja dan sekolah untuk menjadi cewek orderan guna mendapatkan penghasilan tambahan untuk membiayai sekolah. Cewek orderan ini diakui sudah banyak digunakan para lakilaki secara tersembunyi. Perilaku ini dikhawatirkan telah ikut menyebarkan HIV/AIDS di wilayah Desa Pakraman B. Dari kajian-kajian di atas, jelaslah bahwa masyarakat di tiga desa pakraman di atas telah mendapat pengaruh masuknya perilaku seks berresiko tertular HIV/AIDS, antara lain dalam bentuk hubungan seks secara komersial, hubungan seks ganti-ganti pasangan, dan hubungan seks pranikah yang makin meningkat. Pengaruh ini terjadi karena secara ideologi masyarakat cenderung
19
20
keliru dalam menafsirkan makna ideologi rwa bhinneda. Akibatnya, sebagian masyarakat cenderung pasrah menghadapi pengaruh nilai-nilai baru yang cenderung
disalahartikan
dari
kebebasan,
individualisme,
materialisme,
sekulerisme, dan hedonisme yang dibawa oleh globalisasi lewat kemajuan iptek di bidang informasi dan komunikasi. Kondisi ini terjadi tidak bisa dilepaskan pula dari faktor rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang dinilai kurang mampu bernalar dengan baik dalam memilih nilai-nilai kebajikan dan menjauhi nilai-nilai kebatilan. Dari jumlah tersebut, sekitar 300 orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mendapat pendampingan dari Yayasan Citra Usada Indonesia (YCUI) Kabupaten Buleleng. "Kami melakukan pendampingan terhadap ODHA yang tersebar di sembilan kecamatan," kata Ricko dari YCUI. Pemerintah Kabupaten Buleleng mengambil kebijakan untuk mengatur penanggulangan HIV/AIDS dalam suatu peraturan daerah yaitu Perda No 5 Tahun 2007 tentang Penanggulangan HIV/AIDS. Komitmen pemerintah Kabupaten Buleleng dalam penanggulangan HIV/AIDS tidak diragukan lagi. Program dilaksanakan secara komprehensif artinya adalah pada tempat-tempat dimana terjadi penularan, dilaksanakan program mulai dari pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan serta mitigasi didukung oleh kebijakan yang memberdayakan masyarakat untuk secara mandiri menanggulangi masalah HIV dan AIDS. Program komprehensif juga berarti
pelibatan
seluruh
komponen
masyarakat
termasuk
sektor-sektor
pemerintah dan swasta, juga aparat-aparat setempat. Dengan demikian penduduk yang paling berisiko tertular HIV dapat mengakses informasi dan layanan kesehatan, sementara stigma dan diskriminasi dapat dihilangkan. Program komprehensif dilaksanakan untuk mengatasi semua penyebab penularan,baik melalui penggunaan narkoba suntik, transmisi seksual, maupun penularan dari ibu ke bayi. Pelaksanaan program yang komprehensif menerapkan prinsip-prinsip kewaspadaan universal dan berorientasi pada integrasi pemberian layanan kesehatan dalam sistem yang sudah ada. Dengan demikian
20
21
pelaksanaan program dapat dipantau serta didukung pada tingkat nasional. Tujuan program komprehensif adalah tercapainya akses universal pada tahun 2010, dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan Millenium Development Goals tahun 2015. Upaya pencegahan juga telah dilakukan bersamaan dengan intervensi kesehatan masyarakat. Program pencegahan bertujuan untuk meningkatkan perilaku aman dari tertular HIV. Remaja dan orang muda adalah penduduk paling rentan tertular HIV. Upaya pencegahan termasuk promosi abstinensi – tidak berhubungan seks sebelum menikah, saling setia – hanya berhubungan seks dengan pasangan sahnya, dan terakhir, penggunaan kondom – jika tidak mampu menahan tidak berhubungan seks dengan bukan pasangan. Melalui Keputusan Bupati Buleleng dibentuklah Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam Pembentukan dan Susunan Keanggotaan KPA Kabupaten Buleleng No 286 Tahun 1999, kemudian diperbaharui melalui Keputusan Bupati Buleleng No.197 Tahun 2002, dan diperbaharui lagi melalui Keputusan Bupati Buleleng No. 422 Tahun 2005. Pendanaan untuk kegiatan penanggulangan AIDS terus ditingkatkan melalui APBD Kabupaten Buleleng. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) adalah lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan dan melakukan koordinasi dalam penanggulangan HIV/AIDS di Buleleng. KPA melakukan koordinasi dengan instansi-intansi pemerintahan yang ada di Buleleng. Dalam merumuskan kebijakan dalam penanggulangan HIV dan AIDS, Pemerintah Kabupaten Buleleng mengambil kebijakan untuk mengatur penanggulangan HIV / AIDS dalam suatu peraturan daerah yaitu Perda No 5 Tahun 2007 tentang Penanggulangan HIV/AIDS, dengan Perda ini diharapkan mampu melindungi masyarakat dari HIV/AIDS. Berbagai program juga telah dilaksanakan seperti salah satunya membentuk dan melatih Guru Pembina KSPAN (Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba) di seluruh sekolah SMP dan SMA/SMK Negeri dan Swasta se-Kabupaten Buleleng serta pelatihan tutor sebaya KSPAN SMP dan SMA, pelatihan konselor profesional dan konselor dasar bagi petugas kesehatan, pelatihan KDPA (Kader Desa Peduli AIDS). Program pencegahan juga dilakukan dengan penjangkauan pada penduduk paling berisiko, mulai dari pemberian informasi langsung, perubahan perilaku (penggunaan kondom yang konsisten untuk setiap perilaku seksual berisiko, layanan konsultasi dan tes sukarela,
21
22
perawatan dan dukungan bagi ODHA dengan adanya klinik VCT di RSUD Singaraja dan Puskesmas, CST dan klinik PMTCT di RSUD Singaraja, serta pengobatan infeksi menular seksual dengan adanya klinik IMS di Puskesmas Sawan I, Puskesmas Seririt I dan Puskesmas Gerokgak II. Selain itu di seluruh Puskesmas di Kabupaten Buleleng sudah ada petugas konselor terlatih yang siap dalam pelayanan konseling bagi masyarakat yang membutuhkan. Pada saat ini ada dua LSM di Kabupaten Buleleng yang berkecimpung dibidang HIV/AIDS, yaitu Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), dan Yayasan Gaya Dewata. Sedangkan tiga Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) telah terbentuk di Kabupaten Buleleng yaitu KDS Tali Kasih, KDS Kosala, dan KDS Mitra Sehati. 3.2 Langkah-langkah Nyata Penanggulangan HIV/AIDS di Buleleng Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), instansi terkait dan semua komponen masyarakat termasuk LSM peduli AIDS, secara bersama-sama melakukan langkah-langkah nyata antara lain: A. Manajemen Program 1. Pertemuan Lintas Sektor 2. Rapat Rutin KPA 3. Pengolahan & Analisa Data 4. Hari AIDS se-Dunia 5. Jambore KSPAN B. Pelayanan Kesehatan 1. Pelatihan VCT 2. Pelatihan CST 3. Pelatihan HR 4. Pelatihan Tatalaksana IMS 5. Pelayanan Klinik VCT 6. Pelayanan CST bagi ODHA 7. Pelayanan Klinik PMTCT
22
23
8. Pelayanan Terapi Rumatan Methadone (PTRM) 9. Penjangkauan dan Pendampingan 10. Pelayanan Klinik IMS 11. Pengobatan IMS 12. Promosi Kondom 13. Pelatihan Konselor 14. Pelatihan Guru Pembina KS-PAN (Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba) 15. Pelatihan Peer Edukator bagi Siswa KSPAN 16. Pelatihan Peer Edukator bagi Karang Taruna dan KDPA (Kader Desa Peduli AIDS) C. Komunikasi, Informasi dan Edukasi 1. Penyuluhan bagi Karang Taruna 2. Penyuluhan bagi warga binaan LAPAS 3. Penyuluhan bagi Siswa Sekolah 4. Penyuluhan bagi Dharma Wanita 5. Penyuluhan massa 6. Sosialisasi HIV/AIDS dan PMTCT bagi Bidan 7. Sosialisasi HIV/AIDS dan PMTCT bagi Ibu Hamil 8. Media KIE (Media cetak, Radio Spot, dan Dialog Interaktif Penguatan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di semua tingkat dan kelompok-kelompok kerja penanggulangan AIDS (Pokja AIDS) di semua sektor akan diteruskan agar mampu memimpin, mengkoordinasikan implementasi, monitoring dan evaluasi. 3.3 Partisipasi Desa Pakraman dalam Penanggulangan HIV/AIDS Partisipasi
Desa
Pakraman
dalam
Penanggulangan
HIV/AIDS,
menjelaskan bahwa desa pakraman memang akhirnya menyadari perlu menunjukkan peran dan partisipasinya dalam penanggulangan HIV/AIDS yang terjadi di wilayah desanya. Kesadaran ini muncul adalah hasil refleksi kritis dari
23
24
tokoh-tokoh masyarakat desa pakraman baik dari golongan tua maupun muda yang merasa mendapat ancaman serius dari dampak perilaku seks komersial, ganti-ganti pasangan, dan perilaku seks pranikah yang tidak aman terhadap bahaya HIV/AIDS. Dalam melakukan penanggulangan terhadap ancaman HIV/AIDS, setiap desa lokasi penelitian memang meresponnya secara berbedabeda. Tetapi secara keseluruhan dapat dijelaskan dalam beberapa subtema, antara lain: (a) perlunya revitalisasi ideologi agama Hindu, (b) pengembangan awig-awig desa pakraman yang propenanggulangan HIV/AIDS, (c) peranan kepemimpinan desa pakraman, (d) agen-agen sosial dalam penanggulangan HIV/AIDS, dan (e) penguatan penggunaan kondom.
24
25
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Kabupaten Buleleng telah mendapat pengaruh masuknya perilaku seks berresiko tertular HIV/AIDS, antara lain dalam bentuk hubungan seks secara komersial, hubungan seks ganti-ganti pasangan, dan hubungan seks pranikah yang makin meningkat. Pengaruh ini terjadi karena secara ideologi masyarakat cenderung keliru dalam menafsirkan makna ideologi rwa bhinneda. Akibatnya, sebagian masyarakat cenderung pasrah menghadapi pengaruh nilai-nilai baru yang cenderung
disalahartikan
dari
kebebasan,
individualisme,
materialisme,
sekulerisme, dan hedonisme yang dibawa oleh globalisasi lewat kemajuan iptek di bidang informasi dan komunikasi. Kondisi ini terjadi tidak bisa dilepaskan pula dari faktor rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang dinilai kurang mampu bernalar dengan baik dalam memilih nilai-nilai kebajikan dan menjauhi nilai-nilai kebatilan. Penyebaran HIV/AIDS di Kabupaten Buleleng tidak memandang umur, kedudukan, pekerjaan dan lain-lain. Menanggulangi HIV/AIDS di Kabupaten Buleleng sangat dibutuhkan adanya langkah konkrit dan terpadu dari berbagai lini. Selain itu, sangat perlu
mengembangkan program penanggulangan secara
komprehensif, terprogram, dan terukur. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan pemahaman dan komitmen sumber daya manusia dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. B.Saran/Rekomendasi Dalam rangka mengantisipasi perkembangan perilaku seks berresiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS, masyarakat perlu melakukan gerakan revitalisasi ideologi agama yang lebih kontekstual dengan tuntutan perkembangan masyarakat dan kemajuan iptek untuk meningkatkan kesadaran moral masyarakat.
25
26
DAFTAR PUSTAKA Awi-Awig Desa Pakraman Tukadmungga Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Nasional KPAD Kabupaten Buleleng. 2011. KPAD Kabupaten Badung. 2011 KPAD Kota Denpasar. 2011 Margi, I K. 2011. Pemertahanan Identitas Etnik dan Implikasinya terhadap Hubungan Intern dan Interetnik di Desa Pengastulan, Buleleng, Bali. Disertasi (Tidak dipublikasi) Denpasar: Pascasarjana UNUD Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2006. Tentang Penanggulangan HIV/AIDS Sendratari, L.P. 2011. Membongkar Jaring Kuasa, Kekerasan, dan Resistensi di Balik Perkawinan Ngemaduang (Poligami) di Desa Lokapaksa Buleleng, Bali. Disertasi (Tidak dipublikasikan) Denpasar: Pascasarjana UNUD.
26
27
LAMPIRAN: 1. Peta Lokasi Daerah Sasaran
27
28
28