BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Merayakan 25 tahun Lembaga Sosial Mardi Wuto 1 Kethoprak Distra Budaya menampilkan lakon Suminten Edan. Anggota kethoprak ini adalah orang-orang yang oleh penyelenggara acara disebut sebagai penyandang gangguan penglihatan (visually impaired) yakni penyandang tuna netra (blind) dan penglihatan rendah (low vision). Meskipun ini hari Minggu kondisi jalan depan tempat pementasan lumayan ramai dan bising.Begitu musik pembuka selesai masalah segera muncul di adegan pertama. Tidak tersedianya microphone untuk pemain membuat suara mereka tidak terdengar oleh penonton yang sebagian besar juga bergangguan penglihatan. Penonton berteriak-teriak ramai di awal pertunjukan meminta suara yang lebih keras. Menambah keramaian jalan di depannya, teriakan itu membuat suara pemain semakin tidak terdengar. Ketika penonton sudah tenang dan mulai menerima kenyataan bahwa mereka tidak akan bisa mendengar pementasan itu, masalah lain di panggung menyusul. Beberapa pemain kethoprak menabrak tiang microphone yang ditambahkan panitia. Karena panggungnya setinggi hampir semeter di atas tanah, tak jarang beberapa pemain berdiri terlalu pinggir dan hampir jatuh. Hampir semua arahan sutradara soal arah panggung tidak berhasil mereka tangkap. Mungkin grogi, mungkin mereka tak cukup punya informasi. Mereka sudah mencapai tahap yang sebenarnya siap dipentaskanselama latihan. Dialog mereka lancar, keluar-masuk pemain mengalir serta bloking lebih tertata dengan panduan sutradara. Hanya saja saat melihat sang sutradara mengarahkan pemain, saya bertanya apakah latihan di ruang studio yang „aman‟ itu juga sudah diproyeksikan untuk latihan di ruang „kurang aman‟ seperti panggung pinggir jalan? Bukankah tata suara sebaiknya jadi perhatian utama karena pada akhirnya itulah cara utama pertunjukan terjadi dan dinikmati.
1Sebuah
lembaga sosial yang berada di Kompleks Rumah Sakit Mata Dr. Yap di Jl Cik Di Tiro Yogyakarta
1
Tidak tersedianya situasi yang berpihak pada penyandang gangguan penglihatan tadi tentu tidak hanya terjadi dalam pementasan kethoprak itu. Jika kita melihat lebih jauh, kehidupan sehari-hari kita dipenuhi keterbatasan mereka.Tata kota yang tidak ramah pada mereka (trotoir naik-turun, rambu penyeberangan jalan tanpa suara bip-bip), minimnya halte untuk mengakses transportasi dan keterbatasan pilihan profesi (pemijat) merupakan gambaran bagaimana mereka dipinggirkan dan terbatasi. Padahal jumlah penyandang tuna netra di Indonesia sama banyaknya dengan jumlah penduduk di Singapura, yakni 3,5 juta orang. Jumlah ini nyaris sebesar 10 % dari seluruh jumlah penduduk dunia yang tuna netra yang semuanya berjumlah 45 juta 2. Hanya yang tuna netra, belum termasuk penyandang penglihatan rendah (low-vision). Di sisi lain sejak digunakannya huruf Braille dalam terbitan buku tahun 1827 hingga internet, penyandang gangguan penglihatan sebenarnya mempunyai akses yang lebih luas untuk terlibat dalam dinamika masyarakat. Keterlibatan ini tentu membawa perubahan hubungan sosial mereka dengan masyarakat luas. Mediatisasi, demikian hal ini disebut dalam kajian media, terjadi. Ada proses perubahan hubungan sosial yang berkembang karena penggunaan media. Contoh penggunaan media mutakhir di kalangan para pemain kethoprak tadi adalah pemakaian Short Message Service (SMS) atau layanan pesan singkat yang menghadirkan fitur suara. Fitur ini memungkinkan mereka ikut menggunakan layanan SMS baik untuk mengirim maupun menerima pesan. Alih-alih harus membaca tulisan pesan di layar saat mengirim atau menerima pesan, mereka cukup mendengarkan pesan yang dibacakan3 oleh piranti telepon genggamnya. Fitur suara tersebut juga berlaku tidak hanya dalam pengetikan teks pesan, namun juga petunjuk operasionalisasi pembukaan kotak pesan, pengiriman bahkan penerusan (forwarding) pesan ke pengguna SMS lain. Kenyataan ini menyadarkan kita perkara konstruksi sosial penyandang gangguan penglihatan. Jika mereka bisa melakukan hal yang sama dengan orang lain meski dengan cara yang berbeda maka istilah „gangguan/ impaired‟ menjadi tidak relevan. Jika dilihat
2Jumlah
tuna netra di Indonesia setara dengan penduduk Singapura, diambil dari Merdeka.com diakses pada 22 Juni 2013 3Kata „dibacakan‟ dipakai dan bukan „disuarakan‟. Hal ini untuk memperjelas bahwa sebenarnya teks yang terkirim adalah teks tertulis di layar telepon genggam. Fitur suaralah yang memungkinkan piranti genggam tersebut membacakan pesan itu sehingga ada perubahan dariyang visual teks menjadi audio.
2
dari ranah kajian budaya dan media hal tersebut adalah perkara perbedaan kemampuan yang selalu dikonstruksikan sebagaikecacatan. Nalar tersebut membuat tesis ini urung menggunakan istilah „bergangguan penglihatan‟ dan menggantinya menjadi difabel netra.4 Konstruksi sosial difabel netra yang masih sering dianggap „gangguan‟ dan „cacat‟ memunculkan ketidaksetaraan. Mediatisasi dapat dilihat sebagai arena dimana ketidaksetaraan ini ternegosiasikan karena munculnya penggunaan SMS berfitur suara. Ada dinamika relasi sosial antara difabel netra dengan lingkungan sosialnya, terutama jika kita ingin lebih focus, terkait dengan penerimaan sosial (social acceptance). Tesis ini menguji bagaimana proses perubahan relasi sosial (mediatisasi) difabilitas netra terkait penggunaan media SMS berfitur suara tersebut. Meski tidak secara khusus beberapa bagian tesis ini juga akan menyinggung perkara penerimaan sosial (social acceptance) yang bersumber dari mediatisasi ini. Tujuh orang difabel netra yang juga pemain kethoprak Distra Budaya terlibat dalam workshop teater pemberdayaan 5 untuk bersamasama difasilitasi melihat praktik mereka sendiri terkait pertanyaan di atas.
B. Rumusan Masalah Bagaimana perubahan relasi sosial (mediatisasi) dalam konteks difabilitas netra terkait penggunaan SMS berfitur suara?
C. Tujuan Penelitian 1. Menguji bagaimana dinamika perubahan relasi sosial difabel netra terkait penggunaan media SMS berfitur suara 2. Melihat dinamika penerimaan sosial difabilitas netra dalam proses di atas. 3. Merekomendasikan gagasan-gagasan penggunaan media SMS berfitur suara untuk peningkatan akses dalam isu difabilitas.
4Istilah
baru ini juga dianggap menggantikan istilah tuna netra yang biasanya bermakna benar-benar tidak dapat melihat secara visual. Difabilitas netra tidak hanya merujuk pada konstruksi sosial yang lebih berpihak, ia juga mencangkup orang yang berpenglihatan kabur (low vision). 5Teater pemberdayaan adalah metode teater yang partisipatif, terinspirasi oleh teaterawan Brasil Augusto Boal. Hal ini akan lebih dijelaskan di bagian metodologi.
3
D. Tinjauan Pustaka Penelitian mediatisasi sudah cukup banyak berkembang dan hal ini akan secara khusus dibahas di BAB II. Namun sepanjang penelusuran pustaka, belum ditemukan penelitian yang menghubungkan mediatisasi dengan difabilitas netra atau yang oleh penelitian lain masih disebut disabilitas atau tuna netra. Semakin tidak ada yang bisa kita temukan jika kita menggabungkan dua hal di atas dengan penggunaan media SMS berfitur suara. Meski demikian, di bagian ini kita akan tetap melihat irisan-irisan yang mungkin bisa dijadikan pijakan awal. Pertemuan disabilitas 6 dengan konsep lain dapat ditemukan di beberapa penelitian. Kita menjumpai tuna netra dengan pertolongan yang mereka butuhkan di lingkungan rumah (Ann Lang dan Sullivan, 1986) ataupun perpustakaan (Tigerman, 1978). Dua penelitian ini termasuk penelitan awal dimana tuna netra mulai dipikirkan sebagai kelompok yang perlu mendapat perlakuan khusus. Penelitian pertama menjelaskan bagaimana keterbatasan kemampuan visual mempengaruhi anak-anak untuk tumbuh dan berinteraksi dengan dunia fisik di luar sana. Rasa takut dan kekawatiran terjadinya tabrakan atau luka karena pertemuan yang tidak terduga menghalangi mereka untuk memulai. Untuk itu Ann Lang dan Sullivan yang aktif di Lighthouse, The New York Association for the Blind, mensyaratkan bahwa untuk membangun lingkungan rumah yang membantu anak-anak yang terbatas penglihatannya untuk belajar, sebuah rumah harus (i) memungkinkan anak-anak ini dapat lebih menerima lingkungannya lewat penglihatan ataupun indera yang lain (2) meningkatkan pengamanan rumah, (3) mengurangi halangan untuk bergerak dan berinteraksi, (4) mengatur elemenelemen yang membantu anak-anak ini mengintegrasikan pengalaman dan (5) meningkatkan kesempatan mereka berinteraksi dengan elemen, bentuk dan konfigurasi spasial yang variatif. Paul C Higgins (1980) membuat penelitian reaksi sosial terkait disabilitas fisik. Menurut perspektif reaksi hubungan sosial, reaksi non-disabled adalah kunci 6Harus
mulai dibedakan kata „disabilitas‟ dan „difabilitas‟. Kata pertama merujuk keterbatasan/ kecatatan/ gangguan sementara yang kedua merujuk gagasan baru yang lebih menggarisbawahi perbedaan kemampuan dan cara mengakses/ melakukan sesuatu. Di beberapa tulisan arti keduanya berbeda sementara di tulisan lain sebenarnya maksudnya sama yakni merujuk pada perbedaan.
4
memahami orang-orang dengan disabilitas fisik. Konsekuensinya, stigmatisasi menjadi hal yang ditekankan ketika kita menjelaskan pertemuan (encounter) antara paradisable dan non-disable yang seringkali canggung. Padahal stigmatisasi tidak secara penuh menjelaskan hal ini. Dengan melihat pertemuan tuna rungu (the deaf) dengan yang mampu mendengar (the hearing) dan menganalisanya secara kualitatif, Higgins menunjukkan bahwa para disable ini juga mengacau ketika mereka menyebabkan asumsi dan praktik rutinnya berhasil membuat interaksinya problematis. Penelitian disabilitas untuk pedidikan lebih tinggi dilakukan peneliti dari University of Leeds, Inggris bernama Colin Barnes (2007). Ia menguji hubungan dan bentuk particular produksi pengetahuan untuk memahami lebih jauh disabilas dan perjuangan mewujudkan masyarakat inklusif dan setara. Latar belakang penelitian ini adalah fakta bahwa hingga tahun 1990-an di Inggris sendiri sangat sedikit jumlah universitas yang dapat diakses oleh orang disable. Penelitian yang mempertemukan disabilitas netra dengan seni juga dapat kita jumpai di beberapa jurnal. Wagener (1976) melakukan penelitian bagaimana seni berbahasa dilakukan oleh anak-anak difabel netra. Di sini ia menegaskan bahwa keterbatasan penglihatan pada anak-anak bergangguan penglihatan dapat digantikan dengan kepekaan indera lain yang diasah dari kemampuan seni berbahasa. Sementara itu Kersten (1981) memakai seni musik sebagai terapi pada anak bergangguan penglihatan. Meskipun aspek estetis penting, dalam hal terapi ia menempatkannya pada posisi sekunder. Disabilitas gangguan penglihatan dan teater dapat kita temukan dalam jurnal yang lebih baru seperti karya Sandahl (2004). Di sini Sandahl tidak hanya mengulas tuna netra dengan teater, namun ia kaitkan juga dengan isu ras kulit hitam, dan politik identitas. Ia menggunakan pementasan seorang aktor tuna netra Lynn Manning, di Kennedy Center‟s Millenium Stage pada 14 Juni 2003. Dalam karyanya yang berjudul Weight, Manning menceritakan perubahan identitasnya sebagai laki-laki kulit hitam menjadi laki-laki tuna netra setelah perkelahian dan penembakan yang dialaminya di sebuah bar saat berumur dua puluh tiga tahun
5
hingga ia menjadi buta. Dari satu minoritas ke minoritas lain, dalam kerangka politik identitas inilah pementasan dan kajian itu berfokus. Penelitian pengembangan SMS berfitur suara untuk tuna netra dilakukan oleh Ingrid Masithoh (2009). Dengan menggandalkan format MP3 dan menggunakan JSR 135 ia merancang fitur suara sehingga para tuna netra dapat mengakses layanan SMS secara mandiri. Penelitian ini ada dalam ranah teknologi informasi sehingga tidak banyak menyinggung perkara mediatisasi. Perkara-perkara yang lebih merujuk pada hubungan sosial dapat dilihat pada penelitian yang mengulik ketidaksetaraan dan penerimaan sosial. Penerimaan sosial bagi learning disable (LD)/ cacat mental dewasa dilakukan oleh Sabornie & Kauffman (1986). Mereka meneliti status sosiometrik dalam ruang kelas para siswa SMA yang learning disable yang digabung dengan nondisable (mereka menyebutnya nonhandicapped/ NH). Sejumlah empat puluh enam siswa masuk dalam kelas regular bersama dengan siswa non-handicapped di anak sekolah. Status sosiometrik mereka menunjukkan tidak adanya perbedaan yang berarti. Lebih jauh dilihat siswa LD ini nampak lebih dekat dengan sesama siswa LD di dalam kelas dibanding dengan siswa NH. Hal ini menurut Sabornie & Kauffman tidak konsisten dengan studi-studi sebelumnya dimana kelas reguler dapat diterapkan pada PD dewasa. Dengan begitu sebenarnya tidak ada cukup penerimaan sosial dalam kasus ini. Penelitian yang lebih terkini tentang persamaan hak dan masyarakat sipil ditemukan di penelitian Sarah D Phillips (2009). Penelitian di Ukraina ini, seperti kebanyakan penelitian disabilitas di berbagai negara, selalu dihubungkan dengan latar belakang politik kemunculan perundang-undangan dan gerakan masyarakat sipil yang mengadvokasi hak-hak orang disable. Penelitian di Indonesia dengan perspektif gerakan yang lebih baru dilakukan oleh Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB). Secara khusus mereka mempertemukan gerakan politik kaum difabel dengan Pemilihan Umum (Pemilu). Perkara diskriminasi pemilih difabel, identitas dan perjuangan difabel hingga janji-janji politik yang diberikan pada kaum difabel ditulis dalam buku penelitian berjudul Memahami Pemilihan Umum dan Gerakan Politik Kaum
6
Difabel (Salim-ed, 2014). Dari semua pustaka yang ditelusuri hanya buku inilah yang secara khusus mengajukan gagasan difabilitas dan tidak memakai kata „disabilitas‟.
E. Kerangka Teori 1. Mediatisasi Untuk membicarakan mediatisasi kita perlu menjelaskan satu persatu apa itu mediatisasi, apa perbedaannya dengan “mediasi” sebagai konsep yang lebih dikenal luas. Selain itu secara mendasar juga perlu dijelaskan apa yang disebut media dalam mediatisasi. Sampai di titik ini logika media juga menjadi penting untuk membuat bagian ini lebih komprehensif. Kunt Lundby (2009) menjelaskan mediatisasi menunjuk pada perubahan hubungan sosial (societal changes) dalam masyarakat modern lanjut yang kontemporer dan peran media serta komunikasi yang termediasi dalam transformasi-transformasi ini. Proses mediatisasi mempengaruhi hampir semua area kehidupan sosial dan kultural di modernitas lanjut. Stig Hjarvard (2008) mengisi penjelasannya dengan mengingatkan bahwa teori mediatisasi tidak harus selalu secara baik terspesifikasi, komprehensif dan koheren. Ia harus dapat membuktikan kegunaannya sebagai alat analitis dan validitas empirisnya melalui studi yang kongkret mediatisasi di area-area yang sudah dipilih. Sementara Knut Lundby tidak menyinggung soal waktu, Hjarvard memasukkannya sebagai elemen penting pengertian mediatisasi. Hal ini seturut dengan pendapat Andreas Hepp (2013) bahwa ada pertimbangan durasi waktu dalam mediatisasi. Jika kita simak lebih jauh:
By contrast, mediatization refers to more long lasting process, wehereby social and cultural institutions and modes of interaction are changed as a consequence of the growth of the media‟s influence. (Hjarvard, 2008:114) dan kita bandingkan dengan:
7
Mediatization as a concept used to analyse the (longterm) interrelation between media-communicative and socio-cultural change in a critical manner. (Hepp, 2013:6) maka jelas mediatisasi adalah proses yang memakan waktu. Hepp membubuhkan kata „longterm‟, tanda kurung dari Hepp sendiri. Sementara Hjarvard menuliskan more long lasting sebagai perbandingan mediatisasi dan mediasi. Dalam pengertian ini kata „more‟ (lebih) menunjuk pada adanya durasi dan tidak melulu sebagai sesuatu yang harus lama. Dalam penjelasan lain ia secara sederhana mengatakan pengujian ini dapat didasarkan pada situasi sebelum dan sesudah penggunaan media yang tentu sudah memunculkan jarak waktu. Mediasi sendiri menurut Hjarvard, menggambarkan babak nyata komunikasi dalam pengertian medium dalam konteks sosial yang spesifik. Sementara mediatisasi seperti yang sudah disinggung sebelumnya merujuk pada proses yang lebih lama.7 Perbedaan mediasi dan mediatisasi ini juga disinggung oleh Lundby. Mediasi dianggapnya sebagai istilah yang terlalu umum, dengan perbedaan konotasi dari resolusi konflik sepanjang proses dan perubahan media modern. Silverstone misalnya menjelaskan mediasi sebagai pengertian dialektis yang mendasar, namun juga melengkapi konsep komunikasi(Silverstone, 2005 dalam Lundby, 2009). Sementara mediatisasi masuk lebih spesifik pada transformasi dalam masyarakat dan kehidupan sehari-hari yang dibentuk oleh media modern dan proses mediasi seperti yang dipaparkan sebelumnya. Sementara dalam kaitan dengan industry media, Bernard Miege (2011) menambahkan bahwa sudah sejak lama komunikasi yang termediasi secara progresif memasuki setiap aspek kehidupan dan hubungan sosial. Tren kelihatannya dipercepat oleh pertumbuhan ICT dan alat-alat digital. Terlepas dari perkiraan negatif dari sebagian intelektual, yang sedang kita lihat sebenarnya adalah kehadiran bersama (coexistence) dan bahkan proses melengkapi (complementarity) dari pada proses pergantian atau penggeseran (displacement).
7Hjarvard
menjelaskan bahwa sebagian ahli seperti Altheide dan Snow (1985) menggunakan istilah mediasi dalam pengertian mediatisasi seperti yang dipaparkannya ini. Lihat Hjarvard 2008; 114
8
Waktu yang dihabiskan di depan layar monitor untuk aktivitas personal belum membahayakan bagi pertukaran inter-individual, bahkan dengan perkembangan proses belajar di rumah (home-schooling). Hampir semua konsep mediatisasi diterapkan pada penggunaan media modern dalam pengertian teknologi. Hepp tidak menunjuk media utama (“primary”
media)
seperti
bahasa
atau
akting
teater.
Ia
juga
tidak
menggeneralisasi media dalam pengertian seperti uang, cinta atau kekuasaan. Pendapat Hepp merujuk pada media komunikasi teknis, seperti berbagai jenis media yang kita gunakan untuk memperpanjang kemungkinan komunikasi yang melampaui “kini” dan “di sini” seperti televisi, telepon genggam, jejaring sosial dan seterusnya. Meskipun uang dipahami sebagai media penukaran dalam teori sosiologi, Hjarvard juga tidak memaksudkan media seperti ini ketika ia bicara mediatisasi. Pun pidato, yang dalam konteks psikologi juga disebut medium ekspresi. Senada dengan Hepp, Hjarvard menunjuk media dalam pengertian studi media dan komunikasi, yang menyertakan teknologi hingga orang dapat berkomuniasi melampui ruang dan/ atau waktu. Proses mediatisasi di masyarakat dipahami sebagai proses dimana masyarakat dalam derajat yang semakin terikat dan tergantung dengan media dan juga logika media (media logic). Hjarvard menyebut dualitas yang menandai mediatisasi yakni media semakin terintergrasi dengan operasi institusi sosial yang lain, dan ketika media mengembangkan status institusi sosial seturut aturannya. Konsekuensinya, interaksi sosial dalam dan antar institusi tersebut dan juga masyarakat, menggunakan media. Hjarvard dan Hepp merujuk sumber yang sama yakni Altheide dan Snow. Menurut keduanya logika media merujuk pada modus operandi institusi dan teknologi media, termasuk cara mereka mendistribusikan sumber daya material dan simbolis, serta beroperasi dengan bantuan aturan-aturan formal dan informal. (Altheide & Snow, 1979 dalam Hjarvard, 2008: 113). Hepp bahkan menekankan bahwa logika media tidak terkandung dalam isi media tersebut.
9
Altheide and Snow establish that a „media logic” inheres not in media contents, but in the form of media communication. The later should be understood as “processual framework through which social action occurs” in this case, the social action of communication (Altheide & Snow, 1979 dalam Hepp, 2013:4 – penekanan asli dari Altheide & Snow) Lundby mengutip sisi lain dari format media dalam pengertian Altheide dan Snow. Karakteristik format adalah “bagaimana material diorganisir, gaya yang akan ditampilkan, fokus atau penekanan karakteristik tertentu dari perilaku, dan tata bahasa komunikasi media” (Altheide and Snow 1991,p.9 dalam Lundby, 2009:8). Hal ini dielaborasi dengan pendapat Mazzoleni yang melihat logika media sebagai kombinasi logika komersil, teknologi dan budaya.8Ia menjelaskan sangat mungkin untuk memahami apa yang berada di balik proses produksi media. Proses produksi ini komplek. Mereka biasanya menerapkan standarisasi dan spesifikasi tertentu untuk menjaga profil, menyerap audiens dan menjaga tetap efisien. Istilah „logika media‟ menangkap seluruh proses yang pada akhirnya membentuk dan membingkai isi medianya. (Mazzoleni 2008a dalam Lundby, 2009:4)
2. Difabilitas Istilah difabel merupakan akronim dari differently abled people (orang yang berkemampuan berbeda) dan bukan person with different ability(orang dengan kemampuan berbeda).9 Istilah difabel pertama kali digagas oleh Mansour Fakih Fakih dan Detya Adi Purwanta (seorang difabel netra) 10 . Istilah ini bukanlah serta merta merupakan pengganti istilah penyandang cacat, namun lebih sebagai ide perubahan konstruksi sosial memahami difabilitas yang saat itu dikenal sebagai kecacatan/ penyandang cacat (Salim-ed, 2014).
8Mazzoleni
tidak menjelaskan lebih lanjut perkara logika budaya. Ia hanya fokus pada logika komersial dan teknologi. Logika komersial melibatkan komersialisasi baik institusi media dan masyarakat secara keseluruhan, yang diikuti oleh logika industri dari industri media dan budaya. (lihat Lundby, 2009 :4) 9penjelasan pengertian ini dilakukan oleh M Joni Yulianto, Direktur SIGAB dan Ananto Sulistyo. Lihat Salim-ed, 2014. 10Meskipun tidak dijelaskan secara lengkap, diyakini hal ini hanya dalam konteks Indonesia, bukan dalam konteks internasional.
10
Dalam banyak kasus, sebagaimana sudah disebutkan dalam bagian tinjauan pustaka, difabilitas jarang ditemukan terutama dalam pergaulan internasional. Banyak konsep-konsep akademis yang masih mengacu pada konsep disabilitas (disabled people, people with disability). Istilah difabilitas ditengarahi lebih banyak terdapat dalam gerakan masyarakat sipil dibanding dalam dunia akademis. Untuk melihat konsep difabilitas ini kita akan sedikit berkilas balik pada konsep disabilitas terlebih dahulu. Gagasan disabilitas dikenal dalam sosiologi sudah cukup lama. Titchkosky (2000) menyebut ada kajian disabiltas lama dan baru. Pembagian ini didasarkan pada penelitian sosiologi tradisional dan kurikulum yang dikembangkan darinya. Kajian yang lama memperkuat kontrol bahwa rehabilitasi/ industri medis dan sistem pendidikan khusus (luar biasa) telah melampaui orang disable dan hal ini membuat penelitian disabilitas tetap berlanjut, terisolasi dalam bidang-bidang terapan (Linton, et al, 1995 dalam Titchkosky, 2000). Disabilitas, dalam pemahaman di atas, diperlakukan sebagai sebuah kondisi yang terberi. Disabilitas adalah kondisi dengan tubuh sebagai masalah. Dengan begitu disabilitas dilepaskan dari lokasi sosial atau signifikansi sosial apapun. Sebagai „sesuatu yang secara obyektif terberi” ia menjadi material yang digunakan dalam proses sangsi (hukuman) dan stigma sosial. Mengikuti pertimbangan masyarakat tentang orang yang berkemampuan terbatas ini (disabled person) karya-karya sosiologi bermula. Masyarakat menganggap orang disable sebagai penyimpangan (deviant) dan sosiologi kemudian mempelajarinya sebagai “…penyimpangan karena orang disable terpisah dari konsepsi normatif atas apa yang disebut „kondisi normal‟. Kondisi ini menggarisbawahi ketunanetraan, keterbelakangan mental, kecatatan fisik yang merujuk pada orang lumpuh serta obesitas dan ketidakteraturan makan. Dengan seluruh tubuh yang abnormal ini para sosiolog dapat mempelajari relasi normal dari kondisi menyimpang yang diterima sebagai sesuatu yang terberi (Goode,1996 dalam Titchkosky, 2000). Penawaran konsep „difabilitas‟ yang diturut oleh tesis ini menurut Yulianto dan Sulistyo (2014) dilatarbelakangi kegagalan „disabilitas‟ menjawab
11
beberapa pertanyaan berikut. Pertama, konsepsi kecacatan telah gagal melihat keberadaan faktor di luar individu sebagai bagian yang sangat menentukan dalam pencapaian aktualitas sosial seseorang. Tiga hal kausatif yakni keterbatasan fungsi fisik dan/ atau mental, hambatan aktivitas, serta ketidakberuntungan sosial secara langsung mengabaikan faktor individu lain di luar keterbatasan itu yang telah nyata-nyata melahirkan hambatan bagi kaum difabel. Kedua, konsepsi kecacatan sangat dekat dengan faham normalisme yang didisain oleh para professional medis dengan standar keilmuan sepihak menjadi normal dan abnormal (tidak normal). Ketiga, konsepsi kecacatan dinilai tidak konsisten dengan nilai teologis yang menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan dengan derajat tertinggi, dan Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta yang tidak pernah salah dengan ciptaan-Nya. Sebaliknya, difabilitas mengakomodir segala kritik di atas dan mendekonstruksi gambaran negatif dari konsepsi kecacatan. Konsepsi ini dipandang mampu melepaskan kausatif antara keterbatasan fungsi, hambatan fisik dan ketidakberuntungan sosial. Ia mengakui realitas akan keterbatasan fungsi (fisik atau mental) sebagai sesuatu yang normal. Difabilitas juga menggeser standar normalisme sebagai realitas. Standar kenormalan adalah realitas itu sendiri dimana manusia adalah sejatinya beragam. Yang terakhir, konsepsi ini tidak menghadapkan kelompok sebagai inferior/ superior. Pada kenyataanya segala penghalusan istilah seperti tuna netra atau disable masih menghasilkan makna inferior.11
F. Metodologi Penelitian 1. Etnografi Baru Tesis ini akan menggunakan metodologi Etnografi Baru. Menurut Sauko (2003) tujuan penelitian etnografi baru adalah untuk mengembangkan moda studi 11Konsep
perbedaan (different) membawa konsekuensi bahwa setiap orang berbeda. Artinya setiap orang dapat memasukkan dirinya sebagai difabel. Yulianto dan Sulistyo menjelaskan, sebagai sebuah konsepsi yang membalik pemaksaan „ketidakberuntungan‟ sebagai „perbedaan‟, konsepsi difabilitas berujung pada pengakuan atau kesetaraan. Jika setiap orang mengaku difabel maka sejatinya konsepsi difabel telah dapat diterima dan pesan kesetaraan telah dapat sepenuhnya diterima. Lihat Yulianto dan Sulityo dalam Salim-ed, 2014:74)
12
dan penulisan yang membuat si peneliti mampu mendapatkan kebenaran yang lebih dekat dengan kenyataan hidup dari si liyan yang diteliti. Dengan begitu karakteristik etnografi baru seringkali menggunakan beragam strategi semisal kolaborasi yang meningkatkan sudut pandang partisipan penelitian. Kolaborasi dalam tesis ini dilakukan dengan mengajak tujuh orang difabel netra yang juga anggota
Kethoprak
Distra
Budaya
untuk
melakukan
workshop
teater
pemberdayaan yang akan dibahas di bagian berikutnya. Karakteristik lain adalah refleksi diri (self-reflexivity) yang memediasi dunianya sendiri dengan dunia partisipan penelitian.Polivokalitas digunakan untuk memberi ruang pada gagasan bahwa kenyataan yang hadir banyak. Atas azas keadilan pendapat satu sama lain juga harus saling diperdengarkan. Hal ini menutup penghakiman atas kenyataan yang berbeda. Untuk menghindari keberagaman yang tidak berarti peneliti perlu mengevaluasi realitas yang diteliti dengan konteks sosialnya. Etnografi baru yang secara sosial sensitif ini menunjuk cara melakukan penelitian yang secara kritis menganalisis struktur sosial dan ketimpangan. Dengan metodologi ini struktur tersebut tampak berbeda dari perspektif yang berbeda.
2. Teater Pemberdayaan Teater pemberdayaan dikembangkan dari konsep teater rakyat (TR). Bentuk teater ini adalah media pertunjukan yang menjadi media pemberdayaan dan pendidikan politik bagi masyarakat dengan cara memfasilitasi masyarakat mementaskan isu-isu sosial yang penting dan aktual untuk dibicarakan bersama dalam komunitas masyarakat itu sendiri.Konsep ini paralel (atau dikembangkan) dengan gagasan Theater of The Oppressed oleh Augusto Boal (1931-2009), seorang sutradara/ penulis dan aktivis sosial Brasil yang peduli untuk memberdayakan masyarakatnya agar berani berjuang melawan penindasan rejim militer di Brazil pada tahun 1970an. Apa yang dirumuskan Boal merupakan kritik atas puitika (dan politika) dramaturgi yang hadir sebelumnya. Berikut adalah perbandingan puitika Aristoteles, Bertolt Brecht dan Augusto Boal:
13
Tabel 1: (sumber: Theater of The Oppressed, Boal (1979) p. 121) Aristoteles
Puitika dimana penonton mendelegasikan kekuasannya pada karakter dramatis (aktor/ pemain) sehingga mereka bertindak dan berpikir untuknya. (Katarsis) A poetic in which the spectator delegates power to the dramatic character so that the later may act and think for him. (A catharsis occurs)
Brecht
Puitika dimana penonton mendelegasikan kekuasan pada karakter dimana mereka bertindak atas posisinya namun penonton tetap mempunyai hak berpikir untuk dirinya sendiri, seringkali dalam posisi yang berseberangan dengan karakter dramatik. (Bangkitnya kesadaran kritis) A poetic in which the spectator delegates power to the character who thus acts in this place but the spectator reserves the right to think for himself, often in opposition to the character (An awakening of critical consciousness)
Boal
Fokus pada aksi itu sendiri, penonton tidak mendelegasikan kekuasaan pada karakter (atau aktor) baik untuk bertindak ataupun berpikir di posisinya. Sebaliknya mereka sendiri mengasumsikan peran protagonis, mengubah aksi dramatis, mencoba solusi, mendiskusikan rencana perubahan, pendeknya melatih diri mereka sendiri untuk tindakan nyata. Focus on the action itself, the spectator delegates no power to the character (or actor) either to act or to think in his place. On the contrary he himself assumes the protagonic role, changes the dramatic action, tries out solution, discusses plans for change- in short trains himself for real action.
Boal sendiri mengaku bahwa ia banyak dipengaruhi oleh Paulo Freire, seorang aktivis pendidikan dari Brazil juga. Setelah rejim militer di Braziljatuh, Boal meneruskan proyek-proyek teaternya dengan masyarakat di sekitarnya. Ia
14
mengajak banyak kelompok teater di Brazil untuk juga terlibat dan peduli pada masyarakat di sekitar mereka (Boal, 1979). Metode
TR
bisa
dikatakan
hampir
mirip
denganmetode
teater
pemberdayaan di seluruh penjuru dunia terutama yang berasal dari Boal. Hanya saja, TR sudah disesuikan dengan kondisi Indonesia. Pada awal berkembangnya banyak pekerja TR yang berhubungan langsung dengan PETA (The Phillippines Eduactional Theater Association) di Filipina.Awal dekade 1980-an beberapa seniman Indonesia (di antaranya Emha Ainun Nadjib dan Fred Wibowo) dikirim mengikuti lokakarya teater di PETA Manila. Sepulang dari lokakarya ini, Fred Wibowo yang pada waktu itu bekerja di Studio PUSKAT Jogja yang dikelola Pastor Jesuit mencoba mengadaptasi metode lokakarya dengan gagasan Boal itu ke dalam kurikulum lokakarya yang diberi nama Lokakarya Teater Rakyat (Bodden, 2010). Perbandingan Metode Augusto Boal dan Teater Rakyat di Indonesia Tabel 2: Tahap
Tahap I
Augusto Boal
Teater Rakyat
Theater of the Oppressed
PUSKAT versi Lokatera seminggu
Memahami Tubuh/ Knowing
Mengenali dan membebaskan tubuh
the body Tahap II
Menciptakan Tubuh yang
Ekspresi
Ekspresif/ Making the body expressive Tahap III
Teater sebagai bahasa, Mempunyai tiga tingkatan: 1. Simultaneous dramaturgy
Produksi Mini 1. Teater Patung gambaran riil gambaran ideal
2. Image theater
usaha untuk
3. Forum theater
transformasi 2. Teater Tari 3. Teaterikalisasi Puisi
15
Tahap IV
Teater sebagai diskursus,
Produksi Teater Rakyat
sebagai contoh:
1. Survey
1. Newspaper theater
2. Penulisan Naskah
2. Invisible theater
daftar masalah
3. Photo romance theater
identifikasi akar
4. Breaking of repression
masalah
5. Myth theater
premis
6. Trial theater
tema
7. Mask and Ritual
sinopsis treatment 3. Latihan 4. Pementasan
Dalam tahap ini kemudian TR banyak dikembangkan sebagaimana contoh teater sebagai diskursus menurut Boal.
3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian ini utamanya menggunakan pelatihan (workshop) teater pemberdayaan, yang dilengkapi dengan observasi lapangan, wawancara serta referensi yang lain. Workshop tersebut dianggap sebagai modus yang diciptakan secara sengaja mempertemukan kaum difabel netra dengan lingkungan sosialnya dalam konteks yang lebih spesifik. Media ini dianggap memfasilitasi multidimensi ekspresi
(emosi, vokal, rupa, tindakan dll) yang
memungkinkan peneliti menemukan variasi data. Workshop dilaksanakan selama lima hari (lima pertemuan) pada tanggal 11, 12, 17, 18 dan 21 Juni 2014. Setiap pertemuan berisi dua sesi berdurasi
16
masing-masing 50 s.d 60 menit. Adapun profil tujuh peserta workshop tersebut yang kesemuanya anggota Kethoprak Distra Budaya adalah sebagai berikut: a. Harjito/ Jito (laki-laki, 45 tahun) berprofesi sebagai pemijat. Ia adalah ketua Kethoprak Distra Budaya. b. Yadi/ Baryadi (laki-laki, 34 tahun) berprofesi sebagai pemijat dan berjualan pulsa elektronik. Ia belum lama bergabung dengan Distra Budaya, atas ajakan Harjito. c. Ningsih (perempuan, 39 tahun) berprofesi sebagai pemijat. Sejak setahun lalu ia menjadi istri Yadi, namun baru selama tiga bulan tinggal serumah. Sebelumnya Ningsih menjadi pemijat di Jakarta. d. Bejo (laki-laki, 38 tahun) berprofesi sebagai pemijat. Ia pernah berjualan pulsa dan telepon genggam namun terhenti karena merasa terlalu repot. Bejo paham internet dan hobi mengunduh lagu-lagu untuk teleponnya. e. Getir (laki-laki, 50 tahun) berprofesi sebagai pemijat dan juga dikenal sebagai kaum (modhin) di desanya di Kulon Progo. Ia juga menjadi sekretaris Kethoprak Distra Budaya yang bertugas membuat proposal, mencetak serta mem-foto copynya. f. Ratmi(perempuan, 40 tahun) berprofesi sebagai pemijat dan salah satu istri Getir. Ia adalah salah satu pemain terbaik Distra Budaya. Ia memerankan Suminten pada pementasan Suminten Edan. g. Makmun(laki-laki, 38 tahun) berprofesi sebagai pemijat. Setiap hari ia melakukan aktivitas mengantar dan menjemput anaknya ke sekolah.
Dari semua peserta itu hanya Getir dan Makmun yang berpenglihatan kabur (low vision). Dalam penggunaan SMS berfitur suara, hanya Getir, Makmun dan Ratmi yang tidak menggunakannya secara langsung. Alasannya adalah perkara ekonomi dan penggunaan telepon genggam yang memiliki fitur itu belum mendesak dibutuhkan. Meski begitu mereka akrab dengan fitur itu karena digunakan di kalangan pergaulan mereka.
17
Karena peserta workshop adalah kaum difabel netra, seluruh materi workshop disesuaikan dengan mereka. Materi-materi yang bersifat visual diganti menjadi berbasis sentuhan atau audio. Misalnya teater patung yang biasanya berbentuk diorama diganti menjadi teater suara. Ekspresi emosi pada wajah diganti dengan ekspresi suara dan juga penugasan pengiriman SMS yang melibatkan emosi.12Selain penugasan SMS emosi peserta juga diberi penugasan pengiriman SMS kepada kenalan mereka. Pada hari terakhir workshop dilakukan presentasi kecil yang menyampaikan tema penggunaan SMS berfitur suara dalam dinamika relasi mereka.13 Observasi di luar workshop dilakukan beberapa kali semisal melihat mereka latihan dan pentas, bertamu ke rumah mereka dan berinteraksi dengan keluarga mereka, mengunjungi partisipan pada saat Pemilihan Umum atau perayaan Lebaran berlangsung. Sejumlah wawancara juga dilakukan terutama dengan partisipan.
4. Metode Analisis Data Data diolah dengan kerangka teori mediatisasi yang sudah dipaparkan sebelumnya dan memperhitungkan pertimbangan kolaborasi dengan peserta pelatihan sebagai subyek penelitian, refleksi diri dan polivokalitas. Hjarvard (2008) menawarkan dua tingkat yakni mikro dan makro ketika kita melihat proses mediatisasi dan interaksi-interaksi di dalamnya. 14 Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: 12Lihat 13Lihat
Lampiran Penyesuaian Metode Workshop. Lampiran Catatan Proses
14Joshua
Meyrowitz juga mengusulkan tiga metaphor untuk membedakan aspek media komunikasi yang berbeda-beda yakni: media sebagai saluran (channel), media sebagai bahasa (language) dan media sebagi lingkungan (environment). Media sebagai saluran digunakan untuk melihat media yang menjadi transportasi simbol dan pesan antar pengirim dan penerima yang berjarak, hingga penelitian difokuskan pada isi media. Media sebagai bahasa berfokus pada cara-cara meda memformat pesan dan membingkai relasi antara pengirim, isi dan penerima. Media sebagai lingkungan berkonsentrasi pada cara system dan institusi media memfasilitasi dan menstrukturkan interaksi dan komuniasi manusia (Meyrowitz, 1997 dalam Hjarvard, 2006:4). Sementara itu Andreas Hepp juga menawarkan operasionalisasi penelitian mediatisasi dengan menggunakan figurasi komunikatif (communicative figurations) dengan perspektif diakronus (diachronous) dan sinkronus (synchronous). Figurasi komunikatif merupakan pola dari proses keterhubungan yang muncul dari berbagai media dan mempunyai bingkai tematik yang berorientasi pada
18
a. Tingkat Mikro adalah tingkatan dimana media mengubah interaksi atau dampak yang menstrukturkan interaksi manusia. Pada tingkat ini Hjarvard meminjam teori depan dan belakang panggung
(backstage/frontstage)
dari
Erwing
Goffman
(1959).Tingkatan ini meliputi bahasan sebagai berikut: i. Media membuat beberapa interaksi sosial terjadi pada saat bersamaan ii. Media memungkinkan pelaku mengoptimalkan interaksi sosial untuk kepentingannya sendiri iii. Media memudahkan relasi mutual antara partisipan berubah, termasuk norma-norma perilaku yang diterima.
b. Tingkat Makro, dimana analisa berfokus pada institusi yang berhadaphadapan (interface). Kita dapat melihat bagaimana institusi terhubung satu sama lain karena intervensi media pada tingkatan ini. Bagian ini mencermati bagaimana: i.
Media menyebabkan situasi berhadap-hadapannya (interface) relasi dalam dan antara dua institusi. Institusi sosial serta media dilihat
sebagai
arenabudaya
dalam
pemahaman
Pierre
Bourdieu. Konsep kutub otonom dan heteronom digunakan di sini untuk melihat pertarungan dalam arena tersebut. ii.
Media memunculkan ruang pengalaman bersama. Bagian ini terkait dengan identitas komunitas Hjarvard meminjam pendapat Anthony Giddens bahwa satu aspek modernitas sebagai masih terus berjalannya struktur sosial yang terlepas (an ongoing disembedding of social structures) telah pecah dan bertransformasi melalui kontak dengan dunia yang lebih luas.
aksi komunikatif. Yang diakronus dilakukan dengan membuat perbandingan waktu, di satu hal/ bidang yang termediasi dengan titik dan waktu yang berbeda, dengan demikian ia membutuhkan biaya dan sumber daya yang sangat besar. Yang sinkronus lebih melihat momen eruptif tertentu yang disebut gelombang mediatisasi karena proses mediatisasi juga tidak linear (Hepp, 2013:12). Penelitian tesis ini tidak menggunakan cara-cara di atas karena karakter media (yang hanya berfokus pada) SMS berfitur suara lebih tepat dilihat dengan cara bertingkat mikro dan makro-nya Hjarvard.
19
Konsep meta-kapital media yang dikembangkan Nick Couldry (2005) dari konsep meta-kapital Bourdieu dipinjam oleh Hjarvard dalam bagian ini. iii.
Media
menciptakan
geografis
baru.
ruang
virtualisasi
Kemungkinan
ruang
pengguna
sekaligus
masuk
dalam
globalisasi semakin besar meskipun secara bersamaan ada arah ke lokalisasi.
G. Sistematika Penulisan Sebagai sebuah penelitian yang menggunakan metodologi etnografi tesis ini akan banyak berisi catatan-catatan lapangan yang deskrpitif. Catatan tersebut disusun sedimikian rupa sehingga menjadi bagian-bagian yang terhubung satu sama lain. Setiap bagian mempunyai kemampuanmenjelaskan satu bahasan yang terfokus. Badan tulisan akan diisi dengan kutipan-kutipan penugasan SMS, transkrip presentasi atau catatan proses dari workshop yang dimaksud di bagian sebelumnya. Kutipan-kutipan tersebut akan disalin sebagaimana adanya (verbatim) terutama kutipan yang berasal dari penugasan SMS. Cara ini meskipun akan menimbulkan kesan salah tulis, berguna untuk menunjukkan kekuatan data yang dikontribusikan oleh para partisipan workshop. Sepanjang sudah dapat dipahami apa isinya kutipan-kutipan tersebut tidak diubah penulisannya. Tesis akan dibagi ke dalam beberapa bab sebagai berikut: 1. Bab I: Pendahuluan Bab ini berisi bagian ini dimana seluruh latar belakang, pertanyaan penelitian dan metodologi dibahas. Sebagai sebuah bab yang berawal dari proposal penelitian bab ini juga memberi gambaran dan penyesuaian awal ketika penelitian hendak dimulai. 2. Bab II: Mediatisasi Bab ini merupakan bagian yang secara khusus membahas mediatisasi dan seluruh dinamikanya. Jika dalam bab sebelumnya sudah dijelaskan pengertian mediatisasi, perbedaannya dengan mediasi dan juga
20
pemahaman awal logika media, dalam bab ini kita akan membahas contoh-contoh penerapan mediatisasi dalam berbagai bidang, perluasan dan pertemuannya dengan berbagai teori serta pembahasan media sebagai institusi. 3. Bab III: Perubahan Interaksi Bab ini merupakan bagian dimana analisa mikro mediatisasi diperdalam dengan menggunakan konsep Goffman (1959). Lewat metafor atas dan belakang panggung kita melihat perubahan-perubahan interaksi para difabel netra ketika menggunakan media SMS berfitur suara sebagai media. 4. Bab IV: Institusi Yang Berhadap-hadapan Mediatisasi dalam tingkatan makro akan dibahas di bab ini.Penggunaan kutub heteronom/ otonom serta konsep meta-kapital dari Pierre Bourdieu (1993, 2005) dipakai dalam bab ini. Lebih jauh metakapital media yang dikembangkan Nick Couldry (2003) digunakan untuk menjelaskan terbentuknya pengalaman bersama. 5. Bab V: Virtualisasi Institusi Bab ini membahas proses virtualisasi institusi, dalam hal ini difabilitas netra, sebagai efek mediatisasi yang memunculkan domestikasi, deteritorialisasi dan geografi baru. Bagian domestikasi akan melihat rumah sebagai titik akses perputaran institusi yang lain sementara bagian deteretorialisasi melihat perubahan pada pengalaman kultural dan interaksi sosial. Pada bagian geografi baru kita akan melihat praktik bermedia para difabel netra, apakah mereka mengarah pada lokalisasi, globalisasi, individualisasi atau nasionalisasi. 6. Bab VI: Penutup Bab ini merupakan bagian akhir dimana penulis menyimpulkan semua temuan dan memberi catatan akhir. Beberapa hal penting yang ditemukan dalam penelitian ini juga digarisbawahi dan ditegaskan ulang dalam bagian penutup ini.
21