BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Audiens merupakan salah satu kajian dalam ilmu komunikasi. Dulu para peneliti melihat audiens sebagai pihak yang pasif dalam menerima sajian media. Namun saat ini telah muncul pandangan baru yang melihat audiens sebagai pihak yang aktif dalam mengelola informasi dari media. Sebagai salah satu bentuk nyata dari audiens yang mudah didentifikasi, fan menjadi objek yang menarik untuk diteliti. MacDonald1 mengartikan penggemar, atau yang biasa disebut dengan fan sebagai ―people who attend to a text more closely than other types of audience members‖. Fan adalah orang yang menaruh minat besar pada sesuatu yang digemarinya dan memaknai teks lebih dari audiens pada umumnya. Hal yang digemari dapat berupa olahraga, musik, film, tokoh atau selebriti, hingga game dan teknologi. Fan juga bisa disebut sebagai respon dari kepopuleran media massa, karena hal-hal yang mereka minati sebagian besar merupakan hasil publikasi media. Orang-orang yang memiliki minat yang sama tersebut kemudian membentuk sebuah lingkungan baru yang disebut dengan fandom. Fandom merupakan sebuah kebudayaan yang menarik untuk dikaji. Fandom adalah sebuah dunia yang diciptakan oleh fan untuk menyebut ruang dimana mereka bisa berkomunikasi dengan satu sama lain tentang bidang yang mereka minati. Di dalamnya terdapat nilai-nilai dan keyakikan-keyakinan yang mereka terapkan bersama. Fandom merupakan sebuah kebudayaan yang tidak memiliki batas wilayah. Ia menembus batas regional, nasional, bahkan internasional. Terlebih lagi setelah berkembangnya teknologi komunikasi, fan dapat berkomunikasi satu sama lain dari berbagai belahan dunia sehingga batas wilayah pun semakin tidak terasa. 1
Andrea MacDonald. 1998. “Uncertain Utopia: Science Fiction Media Fandom & Computer Mediated Communication”. In Theorizing Fandom: Fans, Subculture, and Identity. Cheryl Harris and Alison Alexander (eds.). New York: Hampton Press. Hlmn 136.
1
Salah satu karakteristik fandom adalah kemampuan untuk mengubah interaksi personal menjadi interaksi sosial dan budaya menonton menjadi budaya partisipasi.2 Pernyataan tersebut menegaskan bahwa kegiatan fan di dalam fandom bersifat aktif dan produktif, bukannya pasif seperti audiens pada umumnya. Bagi fan, konsumsi secara alami mendorong produksi dan membaca membangkitkan minat menulis. Produktivitas fan ini dapat sekedar berfantasi tentang idolanya atau menghasilkan karya baru. Salah satu karya fan yang cukup populer adalah fanfiction. Rebecca W. Black3 menyatakan, ―Fanfictions are fan-produced texts that derive from forms of media, literature, and popular culture‖. Fans menulis fanfiction karena adanya kemungkinan karya asli tidak sesuai dengan keinginan atau tidak sebanyak yang mereka harapkan. Oleh karena itu mereka mengadaptasi karya asli, kemudian mengolah dan menulisnya kembali dalam bentuk fanfiction. Fanfiction biasanya menceritakan tentang hal-hal yang menjadi minat fans namun tidak diceritakan dalam karya asli. Sejarah fanfiction sendiri sebenarnya telah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Pada masa itu fanfiction dicetak secara swadaya oleh fan dan dipublikasikan melalui gathering fans atau dikirimkan kepada fan yang memesan fanfiction tersebut. Namun sejak adanya internet, fanfiction menjadi produksi massa yang dapat ditulis dan dibaca oleh siapapun. Karena tingginya minat fan terhadap fanfiction, situs-situs yang menfasilitasi publikasi fanfiction pun mulai bermunculan. Situs-situs fanfiction ini hadir untuk memenuhi kebutuhan fan akan publikasi dan konsumsi fanfiction. Sekarang fan bisa mempublikasikan fanfiction melalui berbagai situs, di antaranya blog pribadi maupun kolektif, LiveJournal, dan berbagai forum yang khusus dibuat untuk para pecinta fanfiction. Situs fanfiction yang berupa forum adalah salah satu yang paling banyak diminati karena fan dapat menemukan
2
Henry Jenkins. 2006. Fans, Bloggers, and Gamers: Exploring Participatory Culture. New York: New York University Press. Hlmn 41. 3 Rebecca W. Black. 2007. Fanfiction Writing and the Construction of Space. Terarsip dalam http://www.wwwords.co.uk/pdf/validate.asp?j=elea&vol=4&issue=4&year=2007&article=2_Blac k_ELEA_4_4_web. Diakses pada 17 Maret 2013.
2
banyak fanfiction dalam satu situs. Penulis-penulis fanfiction mempublikasikan hasil karyanya dalam forum sehingga fanfiction yang terdapat di dalam forum tersebut lebih beragam. Pembaca juga dapat langsung memberikan respon langsung berupa komentar terhadap fanfiction yang dibacanya. Kemunculan situssitus fanfiction ini kemudian menarik perhatian karena jumlah massa yang banyak. Tak terkecuali para peneliti yang tertarik untuk meneliti fenomena fanfiction ini. Tak hanya kepopuleran fanfiction yang menjadi perhatian, namun juga isi dari fanfiction. Jika isinya tidak menarik, maka tidak mungkin fanfiction memperoleh kepopuleran seperti saat ini. Salah satu isi yang menarik dari fanfiction adalah fanfiction ber-genre slash. ――Slash‖ is the term used by fans to refer to fanfiction which focuses on a homosexual relationship between the characters, a concept that was most likely never intended by anyone in evolved in the production of the series.‖4 Sejak awal kemunculannya, slash fanfiction telah memperoleh kepopuleran, bahkan memiliki fan tersendiri. Keberadaan slash fanfiction masih sering diperdebatkan dalam kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat dimana homoseksual masih dianggap sebagai hal yang tabu, bahkan dianggap sebagai perbuatan dosa. Namun hal itu tidak mengurangi kepopuleran slash fanfiction di kalangan fan, bahkan jumlah pembaca slash fanfiction bisa dikatakan meningkat dari waktu ke waktu. Menarik jika mengingat bahwa homoseksual yang di satu sisi masih menjadi isu tabu bagi sebagian besar masyarakat, namun di sisi lain dapat menjadi sebuah isu yang banyak diminati oleh masyarakat, terutama fan. Terlebih lagi jika mayoritas penulis dan pembacanya adalah perempuan. ―Slash fanfiction is overwhelmingly produced and consumed by young women.‖5 Sebagian besar fanfiction bercerita tentang kisah cinta antar tokoh di dalamnya, tak terkecuali slash fanfiction. Cerita romantis merupakan bentuk dari khayalan atau impian seseorang tentang cinta. Menarik untuk melihat bagaimana 4
Laura Hinton. 2006. Women and Slash Fanfiction. Terarsip http://www.jmu.edu/mwa/docs/2006/Hinton.pdf. Diakses pada 17 Januari 2013. 5 Laura Hinton. Ibid.
3
dalam
jika perempuan dihadapkan pada teks homoerotika yang tidak melibatkan perempuan dalam ceritanya, melainkan dua atau lebih tokoh laki-laki sebagai tokoh utama yang menjalin cinta. Slash fanfiction merupakan bentuk pesan media yang menarik untuk diteliti karena ditulis dan dibaca oleh sesama fan. Sebagian atau seluruh tokoh yang terdapat dalam slash fanfiction adalah tokoh yang sama-sama diidolakan atau dikenal oleh penulis dan pembaca. Dengan demikian, dimungkinkan adanya kedekatan emosional antara penulis dan pembaca karena merasa sesama fan. Sama halnya dengan cerpen dan novel, slash fanfiction juga merupakan cerminan kehidupan sosial masyarakat. Meskipun ditulis oleh penulis-penulis amatir, namun slash fanfiction dapat dijadikan potret imajinasi masyarakat saat ini. Sebelumnya telah ada beberapa penelitian mengenai slash fanfiction, baik dari segi penulis, pembaca, maupun konten. Penelitian ini dilakukan di Indonesia yang masih kuat akan budaya ketimuran dimana isu homoseksual masih menjadi hal yang tabu di masyarakat. Penelitian ini akan melihat bagaimana pembaca meresepsi teks homoerotika dalam slash fanfiction. Termasuk di dalamnya tentang eksposur, interaksi dengan slash fanfiction sebagai teks media, serta pengaruh lingkungan sosial terhadap proses resepsi yang dilakukan oleh pembaca. Dengan demikian diharapkan akan dapat terlihat resepsi pembaca terhadap isu yang terkadang masih dianggap tabu namun di sisi lain juga banyak diminati.
B. Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana resepsi pembaca terhadap teks homoerotika dalam slash fanfiction pada konteks masyarakat Indonesia yang menganggap tabu isu homoseksual?”
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Melihat bagaimana slash fanfiction dimaknai oleh pembaca di Indonesia yang masyarakatnya menganggap tabu homoseksualitas.
4
2. Melihat relasi audiens aktif dengan teks yang dikonsumsi.
D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi pandangan baru mengenai penerimaan teks homoerotika dalam slash fanfiction oleh pembaca, khususnya di wilayah
Indonesia yang kondisi sosial masyarakatnya
menganggap tabu homoseksualitas. Termasuk di dalamnya aspek-aspek yang mempengaruhi pembaca dalam memaknai teks homoerotika tersebut. 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti yang akan meneliti di bidang minat yang sama, yaitu fan dan fanfiction.
E. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah fans perempuan dalam fandom K-POP yang secara aktif berinteraksi dengan teks homoerotika dalam slash fanfiction, baik membaca maupun membaca dan menulis slash fanfiction. K-POP atau Korean Pop adalah budaya musik populer Korea Selatan yang saat ini sedang menjadi tren tidak hanya di wilayah Asia, namun juga di seluruh dunia. K-POP dipopulerkan oleh grup idola Korea Selatan yang terdiri dari boyband dan girlband. Fandom K-POP dipilih karena slash fanfiction sangat populer di kalangan fans K-POP. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya slash fanfiction K-POP di situs-situs fanfiction. Penelitian ini mengambil objek dari pembaca slash fanfiction yang berdomosili di wilayah Indonesia. Indonesia adalah negara dimana agama memiliki peran penting, terutama agama Islam. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi pandangan masyarakat Indonesia tentang homoseksual. Di Indonesia homoseksual bukan merupakan isu yang menjadi kontroversi, melainkan dianggap sebagai isu yang tabu untuk dibicarakan. Dengan demikian, menarik untuk melihat bagaimana teks homoerotika dimaknai oleh pembacanya yang berdomisili di wilayah Indonesia dimana homoseksual merupakan isu yang dianggap tabu.
5
F. Kerangka Pemikiran 1. Fans Lisa A. Lewis6 mendeskripsikan fans sebagai orang-orang yang memakai warna dari tim favorit mereka, orang-orang yang merekam atau mengunduh acara televisi favorit agar bisa ditonton berulang kali, orang-orang yang rela mengantri berjam-jam di loket untuk mendapatkan tiket konser, orang-orang yang dapat menjelaskan setiap detail tentang tokoh yang diidolakan. Orangorang itulah yang dikenal sebagai fans. Matt Hills mendefinisikan fan sebagai: “…somebody who is obsessed with a particular star, celebrity, film, TV programme, band; somebody who can produce reams of information on their object of fandom, and can quote their favoured lines or lyrics, chapter and verse”.7 Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa fan bukan sekedar audiens biasa, namun audiens yang mengidolakan dan terobsesi pada sebuah teks media. Fan mengkonsumsi teks media secara intensif dan mengolahnya menjadi informasi yang disimpannya sendiri atau dibagikan kepada sesama fan. Fan adalah penggemar dari bidang yang mereka minati. Bidang tersebut sangat beragam, di antaranya olahraga, musik, film, tokoh atau selebritis, acara televisi, bahkan game dan teknologi. Hampir semua orang adalah fan dari sesuatu yang menjadi minatnya. Fan adalah singkatan dari kata „fanatic‟ yang diambil dari bahasa Latin „fanaticus‟. Kata „fanaticus‟ berarti „milik kuil, pelayan kuil, seorang penggemar‟. Namun pengertian tersebut kemudian mendapat konotasi negatif, yaitu „yang terinspirasi dari upacara pesta pora dan antusiasme yang gila-gilaan‟. Dalam perkembangannya, istilah „fanatic‟ berubah arti dari bentuk berlebihan atas kepercayaan religius dan pemujaan menjadi „antusiasme yang berlebihan dan salah‟. Istilah „fan‟ pertama kali digunakan pada akhir abad ke-19 dalam akun jurnalistik untuk mendeskripsikan pengikut tim olahraga profesional 6
Lisa A. Lewis. 1992. The Adoring Audiences: Fan Culture and Popular Media. London: Routledge. Hlmn 1. 7 Matt Hills. 2002. Fan Cultures. London: Routledge. Hlmn viii.
6
(terutama baseball), tapi kemudian meluas digunakan untuk apapun bentuk penggemar yang setia terhadap apa yang diidolakannya.8 Istilah fan sendiri biasa digunakan untuk menyebut hal-hal yang berkaitan dengan selebritis dan kepopuleran. Fan disebut sebagai respon dari kepopuleran yang disebarkan melalui media massa. Fans adalah orang-orang yang menunjukkan minat, kasih sayang, dan keterikatan terhadap figur atau aspek yang mereka pilih.9 Ones becomes a ―fan‖ not by being a regular viewer of a particular program but by translating that viewing into some kind of cultural activity, by sharing feelings and thoughts about the program content with friends, by joining a ―community‖ of other fans who share common interests.‖10 Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang fan bukanlah kegiatan yang bersifat pasif, namun bersifat aktif. Fan berinteraksi dengan fan lain baik secara nyata maupun dalam dunia maya. Mereka saling berbagi perasaan dan pikiran tentang hal yang mereka idolakan. Fan memiliki kemampuan untuk mengubah interaksi personal menjadi interaksi sosial dan mengubah budaya menonton menjadi budaya partisipasi. Kemampuan fan tersebut membedakan fans dengan konsumen pada umumnya. Konsumen bersifat pasif dalam menerima produk yang diterimanya, sedangkan fan bersifat produktif. Produktivitas yang dimaksud di sini bisa berupa menghasilkan karya baru atau hanya berfantasi tentang apa yang diidolakannya. Bagi fan, konsumsi otomatis akan mendorong produksi, membaca akan membangkitkan minat menulis.11 Fan tidak hanya mengkonsumsi hal-hal yang berhubungan dengan idolanya, namun juga menciptakan karya-karya baru yang
8
Henry Jenkins. 1992. Textual Poachers: Television Fans and Participatory Culture. New York: Routledge. Hlmn 12. 9 Joli Jensen. 1992. “Fandom as Pathology: The Consequences of Characterization” dalam Lisa A. Lewis (Ed.) The Adoring Audiences: Fan Culture and Popular Media. London: Routledge. Hlmn 910. 10 Jenkins. 2006. Op.Cit. Hlmn 41. 11 Jenkins. Ibid.
7
berhubungan dengan idolanya. Karya-karya itu antara lain disebut dengan istilah fanfiction, fanart, fan-video, dan lain-lain. Tidak hanya karya asli saja yang memperoleh popularitas di kalangan fans, namun karya dari fan pun juga memiliki kepopuleran tersendiri di antara sesama fan. Fan mencari alternatif kesenangan di dalam media dominan. Kesenangan itu adalah keaktifan dalam sebuah komunitas yang mau menerima ide-ide baru hasil produksi mereka sendiri, sebuah komunitas dimana mereka bisa merasa memiliki. Sebagian fans bahkan menjauh dari dunia sosial yang berada di dekatnya. Sebaliknya, mereka lebih aktif dalam jaringan fans berskala regional, nasional, bahkan internasional. Komunitas inilah yang disebut sebagai fandom. ―According to Merriam-Webster dictionary, the use of the term ‗fandom‘ dated back to 1931. The origin of the word fandom allegedly came from the merging of ‗fan‘ (fanatics) and ‗–dom‘, signifies a realm or jurisdiction in which a crowd of fanatics hold the reign of control.‖12 Fan berkenalan dengan satu sama lain dalam fandom. Hubungan mereka dimulai dengan kesamaan minat terhadap sesuatu yang mereka idolakan. Relasi antar fans inilah yang membentuk sebuah dunia baru dimana mereka sendirilah yang memegang kontrol di dalamnya, yaitu fandom. Dunia baru ini adalah tempat mereka saling bertukar ide dan pemikiran, bahkan hasil karya mereka sebagai fan. Fandom dapat terbentuk dalam skala regional, nasional, maupun internasional. Fandom merupakan suatu bentuk ikatan sosial yang berdampingan dengan ikatan sosial lain yang ada di masyarakat. Sebagai sebuah komunitas, fandom juga memiliki nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang mereka terapkan bersama. Sama halnya dengan ikatan sosial lainnya, fandom memiliki suatu hal yang mengikat anggotanya, bertemu dengan satu sama lain, dan memiliki keterikatan emosional antar anggota.
12
Pulung Setiosuci Perbawani. 2012. “The Adoring Users: Youth, Fandom and Obsessive Social Media Using Pattern” dalam Media Asia 2012: The Asian Conference on Media and Mass Communication 2012. Nagoya: The International Academic Forum. Hlmn 108.
8
Bagi sebagian orang yang hidup biasa saja atau bahkan terisolasi dari lingkungan sosialnya, partisipasi dalam jaringan internasional fan menjanjikan suatu bentuk gengsi dan kehormatan di balik kekurangan yang dimilikinya. Karena di dalam jaringan fan tersebut latar belakang bukanlah suatu hal yang penting, yang penting adalah dedikasi seorang fan terhadap fandomnya. Bagi sebagian lainnya, fandom memberikan sebuah tempat pelatihan dimana mereka bisa mengembangkan kemampuan di luar kehidupan sehari-hari mereka. Di antaranya kemampuan berkomunikasi terutama dalam Bahasa Inggris jika mereka berada dalam jaringan internasional, kemapuan menulis dalam fanfiction, serta kemampuan seni dalam fanart dan editing media baik audio maupun visual. Banyak fan yang menggolongkan masuknya mereka dalam fandom sebagai bentuk pergerakan dari isolasi sosial dan kultural yang mereka alami. Mayoritas masyarakat masih hidup dalam kondisi sosial yang patriarki dimana posisi dominan masih dipegang oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan pun kemudian mencari alternatif „dunia‟ dimana mereka bisa berperan lebih aktif. Karena itulah sebagian besar fan adalah perempuan. Fan menggambarkan perbedaan yang tajam antara keduniaan dengan fandom. Keduniaan di sini adalah dunia tempat mereka tinggal dan mendapat pengalaman sehari-hari. Sedangkan fandom adalah ruang alternatif tempat histeria dan kehebohan memperoleh kebebasan, hal yang selama ini ditekan dalam keduniaan. Seorang fan menulis, keduniaan di sini bukan hanya berarti kehidupan sehari-hari, namun juga sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sifat pemikiran yang sempit, picik, mengadili, adaptasi, serta dangkal dan bodoh. Bergabung dengan fandom adalah jalan untuk keluar dari keduniaan menuju sesuatu yang luar biasa.13 Penjelasan di atas adalah bagaimana fans melihat diri mereka sendiri. Di sisi lain, masyarakat memiliki pandangan sendiri tentang fan. Saat ini fans dilihat sebagai orang-orang yang terlalu bersemangat, tidak terkendali, tidak dapat menyesuaikan diri secara sosial, dan penuh dengan kecurigaan. Lebih jauh lagi, 13
Jenkins. 2006. Op.Cit. Hlmn 42.
9
konotasi negatif melekat pada budaya modern dimana minat fan dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan norma yang ada di masyakarat. Media massa dominan adalah yang seringkali memunculkan stigma buruk pada fan. Mereka menegaskan bahwa fan identik dengan bahaya, keabnormalan, dan kebodohan. Dengan adanya stigma buruk tersebut, seringkali fan juga tidak mengakui fandom mereka sendiri. Sebagian fan lebih memilih untuk menjalani kehidupan mereka sebagai fan secara sembunyi-sembunyi daripada harus menanggung resiko mendapat citra buruk di masyarakat. Jenkins menentang anggapan umum tentang fans ini. Menurutnya, fans adalah orang-orang yang membaca teks dengan tepat dan menyajikannya kembali dengan gaya berbeda yang memenuhi berbagai minat. Mereka adalah penonton yang mengubah pengalaman menonton menjadi lebih kaya dengan budaya partisipasi.14 Sifat fan yang demikian menentang usaha produsen untuk mengontrol masyarakat dan adanya sirkulasi pemaknaan yang menyimpang dari teks asli. Dengan demikian fans bukanlah sekelompok orang yang secara pasif menerima teks satu arah dari produsen ke konsumen, melainkan orang-orang yang berinteraksi dengan teks yang diproduksi media dan secara aktif memberikan pemaknaan mereka sendiri terhadap teks. Pada kenyataannya fan merupakan bentuk nyata dari audiens yang dapat diidentifikasi.15 Mereka mudah dikenali dan sudah pasti mengkonsumsi konten media yang mereka idolakan, bahkan dalam intensitas yang tinggi. Mereka adalah penikmat konten media, tidak hanya secara pasif namun juga secara aktif. Keberadaan fan tak lepas dari peran media sebagai penyedia konten yang diidolakan, baik media dominan maupun media alternatif. Beberapa konten yang disajikan oleh media, seperti olahraga, film, musik, selebritis, dan lain-lain memperoleh kepopuleran di kalangan masyarakat. Dari konten media itulah kemudian muncul individu-individu yang menaruh minat pada konten tersebut dan menyatakan dirinya sebagai fan. 14 15
Jenkins. 1992. Op.Cit. Hlmn 23. Lewis. Op.Cit. Hlmn 1.
10
Persebaran fan dibantu oleh media. Media menyiarkan konten secara luas sehingga masyarakat mengetahui keberadaan konten media tersebut kemudian ikut menjadi fan. Tak hanya media dominan, media alternatif pun turut berperan dalam persebaran fans, terutama internet. Bagi fan, internet memiliki peran penting dalam fandom. Melalui internet mereka dapat mengakses informasi secara lebih cepat. Fan dapat berinteraksi dengan sesamanya secara interaktif dengan adanya berbagai situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Livejournal, serta blog. Internet memberi ruang dimana fan dari berbagai belahan dunia dapat berkumpul untuk saling bertukar informasi dan ide. Persebaran fan yang sangat luas dan menjangkau hampir semua lapisan masyarakat seperti saat ini tidak lepas dari peran internet. Di sisi lain, media juga secara tidak langsung dibantu oleh fans. Fans menyebarkan informasi secara luas sehingga orang-orang yang sebelumnya tidak mengetahui apapun menjadi tahu akan adanya fandom dan figur yang diidolakan. Akan lebih banyak masyarakat yang kemudian menaruh perhatian pada konten media. Dengan demikian, konsumsi masyarakat, terutama fan, terhadap media pun meningkat.
2. Fanfiction dan Slash Fanfiction a. Fanfiction Sebagian fan bersikap pasif dengan hanya menikmati konten yang disediakan dan menunggu kelanjutan konten yang akan disajikan. Namun di sisi lain ada sebagian fan yang lebih memilih untuk membuat versi mereka sendiri daripada hanya menunggu karya asli dari produsen. Hal ini terlebih lagi dikarenakan adanya kemungkinan bahwa karya asli tidak sesuai dengan keinginan fan, tidak seluas atau tidak sebanyak yang diinginkan oleh fan.16 Oleh karena itu, menulis dan membaca fanfiction menjadi pilihan sebagian fan untuk mengeksplor dimensi-dimensi lain yang belum diungkap dalam karya asli.
16
Jenkins. 2006. Op.Cit. Hlmn 44.
11
Fanfiction adalah teks yang diproduksi oleh fan yang berasal dari bentuk media, literatur, dan budaya populer.17 Fan mengadaptasi karya asli dan mengolahnya dengan imajinasi mereka sendiri untuk kemudian ditulis kembali dalam bentuk karya tulis fiksi. Fan biasanya hanya „meminjam‟ tokoh dari sebuah karya populer atau selebriti untuk membuat cerita fiksi versi mereka sendiri. Fans mengkonstruksi identitas sosial dan kultural mereka dengan meminjam dan mengubah karya asli, menghubungkannya dengan hal-hal yang biasanya belum disuarakan oleh media massa dominan. Hal tersebut yang kemudian dinilai sebagai pencurian karya asli, karena mereka menggunakan tokoh dari karya asli untuk membuat cerita mereka sendiri. Namun pada umumnya penulis fanfiction bersikap hati-hati dengan memberi keterangan bahwa tokoh asli adalah milik penulis asli dan mereka tidak memiliki tokoh yang terdapat di dalam fanfiction buatan mereka. Fanfiction bukan semata-mata merupakan reproduksi dari karya asli. Fanfiction biasanya tidak mereproduksi cerita utama dari karya asli. Para penulis fanfiction mengolah dan menulis ulang dengan tujuan memperbaiki atau menghilangkan faktor yang tidak memuaskan, mengembangkan minat yang dirasa kurang tereksplorasi dalam karya asli. Sehingga dalam hal ini, karya asli bukan mengalami pencurian melainkan pengembangan atau perluasan cerita. Penulis fanfiction menciptakan hal-hal baru yang belum diungkap, bukannya mencuri karya asli.18 Fanfiction adalah salah satu bentuk keaktifan fan sebagai hasil resepsi konten media populer. Mereka tidak hanya menerima dan menikmati konten budaya populer, namun juga mengolah dan mereproduksinya ke dalam bentuk teks media. Fanfiction merupakan salah satu bentuk teks media yang populer di kalangan fan. Meskipun diproduksi oleh penulis-penulis amatir, namun fanfiction tidak kalah diminati dibanding teks media populer lainnya.
17
Black. Op.Cit. Sasha Book, Ph.D. 2003. Textual Extenders: An Exploratorary into a Slash Community. Terarsip dalam http://www.libraryofmoria.com/jsr/toc.html. Diakses pada 17 Januari 2013. 18
12
Fanfiction adalah suatu bentuk teks media. Fan mengkonsumsi fanfiction sebagai bentuk teks media. Istilah „teks‟ yang digunakan merujuk pada materimateri hasil produksi media. Fanfiction adalah teks media dalam bentuk tulisan yang membutuhkan daya imajinasi dari fan yang membaca. Hal ini memungkinkan terjadinya perbedaan dalam proses resepsi fanfiction. Sama halnya dengan film, musik, dan novel, fans mengkonsumsi fanfiction sebagai teks media. Perbedaannya adalah jika film, musik, dan novel didistribusikan secara massal, maka fanfiction hanya didistribusikan melalui situs atau forum. Tentu ada beberapa fanfiction populer yang kemudian diterbitkan sebagai buku, namun jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah fanfiction yang beredar di internet. Fanfiction bukanlah jenis teks media yang baru. Keberadaan fanfiction sudah ada sejak keberadaan fandom puluhan tahun yang lalu. Dulu fanfiction dicetak dalam bentuk fanzine dengan biaya sendiri atau donasi dari fan. Fanzine itu kemudian dipublikasikan dengan cara dibagikan melalui acara gathering fans atau dikirimkan langsung kepada fan yang memesan fanfiction tersebut.19 Sejak kehadiran internet, kepopuleran fanfiction mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Fanfiction dapat dipublikasikan secara lebih luas dan interaktif. Kepopuleran fanfiction ini kemudian mendorong dibentuknya berbagai situs yang dapat memfasilitasi distribusi fanfiction. Beberapa di antaranya adalah livejournal.com, Fanfiction.net, serta berbagai situs blog dan forum khusus fanfiction.
b. Slash Fanfiction Seperti halnya karya fiksi pada umumnya, fanfiction juga memiliki bermacammacam genre. Salah satunya adalah genre yang dibedakan melalui seksualitas tokohnya. Pembagian genre dilihat dari seksualitas tokoh ini biasanya terbagi menjadi tiga, yaitu slash, femslash, heteroseksual. Di antara ketiga genre tersebut, slash adalah genre yang cukup banyak peminatnya. 19
Ibid.
13
“The term ‗slash‘ comes from the ‗/‘ mark placed between the words Kirk and Spock (Kirk/Spock) at the beginning of the story to tell readers that it contains a sexual and romantic relationship between the two characters.”20 Istilah „slash‟ muncul dari penggunaan tanda baca slash ( / ) yang diletakkan di antara nama kedua tokoh dalam fanfiction. Tanda baca itu pertama kali digunakan oleh fans Star Trek untuk menulis fanfiction yang bertemakan homoseksual tentang Kirk dan Spock. Istilah itu menjadi populer dan digunakan hingga saat ini. ―Slash fiction is a subgenre of fan fiction that illustrates eroticism and romanticism among characters of the same sex, found most notably in films and television shows.‖21 Tujuan fan menulis fanfiction adalah untuk mengeksplor dimensi baru di luar karya asli. Salah satu caranya adalah dengan mengeksplor sisi seksualitas dari tokoh yang terdapat dalam karya asli. Slash fanfiction adalah jenis fanfiction yang bercerita tentang hubungan romantis antar laki-laki. Hubungan romantis antara sesama jenis yang diceritakan dalam slash fanfiction bisa merupakan kisah yang tidak terdapat dalam karya asli, atau bisa pula pengembangan hubungan pasangan yang diisyaratkan dalam karya asli. ―To ―slash‖ a character is to place that character or person in a male homosexual relationship, regardless of that character‘s sexual preferences in the source.‖22 Sebuah fanfiction dapat dikategorikan sebagai slash fanfiction apabila tokoh laki-laki yang terdapat di dalamnya terlibat dalam hubungan homoseksual. Representasi tokoh sebagai kaum homoseksual itu terlepas dari orientasi 20
Anne Kustriz. 2003. Slashing The Romance Narrative. Terarsip dalam http://www.asu.edu/courses/fms351vm/total-readings/fms351-L14-reading01.pdf. Diakses pada 19 September 2013. 21 María del Mar Rubio-Hernández. 2012. Slash Fiction; An Active Fandom in the Current Television Series Context. Terarsip dalam http://fama2.us.es/fco/previouslyon/32.pdf. Diakses pada 17 Maret 2013. 22 Sandra Youssef. 2004. Girls who like Boys who like Boys - Ethnography of Online Slash/Yaoi Fans. Honors Thesis submitted in partial fullfilment of the degree of Bachelor of Arts in the Department of Anthropology, Mount Holyoke College. Tidak diterbitkan. Hlmn 11.
14
seksual tokoh dalam karya asli. Fan bebas menggunakan imajinasinya dalam menulis fanfiction sehingga memungkinkan fan untuk mengubah orientasi seksual tokoh dari karya aslinya. ―Slash originated as a genre of fan writing within Star Trek fandom in the early 1970s, as writers began to suggest, however timidly, that Kirk and Spock cared more deeply for each other than for any of the many female secondary characters who brush past them in the original episodes.‖23 Kepopuleran Star Trek mendorong munculnya produksi kultural dalam skala besar, salah satunya adalah slash fanfiction. Pada masa itu, bermunculan banyak slash fanfiction tentang hubungan romantis antara Kirk dan Spock, dua tokoh penting dalam Star Trek. Sejak saat itu fanfiction yang menceritakan hubungan romantis sesama jenis mulai diterima di kalangan fan dan memiliki fannya sendiri. Selain slash, ada pula istilah lain yang digunakan dalam fanfiction untuk menyebut hubungan sesama jenis. Istilah „yaoi‟ juga biasa digunakan untuk hubungan homoseksual sesama laki-laki. ―Yaoi itself is an acronym for the Japanese phrase Yama nashi, Ochi nashi, Imi nashi or ―no peak, no point, no meaning.‖24 Terminologi ini merujuk pada cerita antara laki-laki dan laki-laki. Akronim tersebut didapat dari ungkapan yang merujuk pada sifat dan karakter cerita, yaitu ―no peak, no point, no meaning‖, kemudian dideskripsikan sebagai cerita-cerita yang kurang konten dan perkembangan. Yaoi biasanya tidak memiliki banyak subteks dan pembenaran, dan terkenal akan plot yang kurang serta cenderung blak-blakan akan erotisme. Maygra, seorang tokoh terkemuka dalam fandom slash dan yaoi, memperdebatkan bahwa yaoi adalah slash, namun slash belum tentu dapat dikategorikan sebagai slash. Berikut penjelasan atas pernyataannya dalam 23 24
Jenkins. 1992. Op.Cit. Hlmn 192. Youssef. Ibid. Hlmn 12.
15
esai online ―Being My Own Hero: An Essay on the Why and Wherefore of Slash‖:25 ―Because slash, more often than not, needs a reason. It needs subtext, it needs a (cringe) excuse [...] that is why yaoi can be slash but slash is rarely yaoi. Because yaoi can exist without explanation. There may be a framework, but there doesn‘t have to be [...] Yaoi is richer – if only because it isn‘t burdened by explanation. Slash is almost more selfconscious.‖ Maygra mengakui bahwa batas yang membedakan antara slash dan yaoi tidaklah jelas. Namun dia menjelaskan bahwa dalam slash selalu ada subteks dan pembenaran tentang hubungan antara dua laki-laki, sedangkan yaoi tidak membutuhkan pembenaran apapun dan ditulis sesuka hati. Yaoi dapat ditulis dengan kerangka, namun tidak harus memiliki kerangka cerita. Yaoi bisa lebih kaya karena tidak dibebankan oleh adanya penjelasan, sedangkan slash lebih banyak memuat penjelasan tentang hubungan homoseksual. Meski demikian, slash dan yaoi telah mengalami banyak perubahan dan perbedaan tersebut tidak lagi dipermasalahkan. Kedua fandom slash dan yaoi telah membentuk terminologi baru, yaitu PWPs atau fiksi ―Plot? What Plot?‖. Keduanya telah menghasilkan karya yang panjangnya setara dengan novel.26 Mungkin masih terdapat beberapa perbedaan tentang slash dan yaoi, namun tidak berhubungan dengan isi fanfiction. Karena yaoi berasal dari Jepang, maka terminologi yaoi sering digunakan oleh penulis dan pembaca animasi Jepang atau anime. Slash dan yaoi bisa jadi sama, yang menarik adalah bagaimana istilah ini digunakan. Sebutan „yaoi‟ akan secara tidak langsung menyebutkan siapa yang menggunakan terminologi ini. seseorang yang menggunakan istilah „yaoi‟ mungkin bukan hanya fan slash/yaoi, tapi juga fan Jepang, oleh karena itu ia menggunakan istilah Bahasa Jepang dalam konteks kesehariannya.
25 26
Dalam Youssef. Ibid. Hlmn 13. Youssef. Ibid. Hlmn 13.
16
Istilah „yaoi‟ tidak hanya dikenal oleh fan Jepang, namun juga dikenal secara internasional. Di Jepang sendiri yaoi cukup populer hingga dikenal secara internasional. Karena kuatnya pengaruh kebudayaan Jepang tentang cerita fiksi homoseksual pada dunia internasional, maka fan internasional pun ikut menggunakan istilah „yaoi‟ untuk menyebut cerita homoseksual. Saat ini istilah „yaoi‟ telah sering digunakan dalam internet yang berbahasa Inggris sehingga telah diadaptasi menjadi istilah yang umum dalam bahasa fan. Parameter hubungan sesama jenis ini masih menjadi perdebatan dan diskusi dalam fandom media.27 Perbedaan ini dikarenakan setiap fandom memiliki interaksi dan peraturannya masing-masing. Selain itu seorang fan juga bisa menjadi bagian dari beberapa fandom yang saling beradaptasi dan mempengaruhi. Sebagian fan menegaskan bahwa hubungan yang dimaksud tidak harus selalu hubungan romantis. Sebagian fan juga mengkategorikan kisah persahabatan dan bromance (brother-romance) ke dalam slash fanfiction. Henry Jenkins membagi slash fanfiction ke dalam empat pergerakan yang membedakan transisi dalam minat homososial dan homoerotika28: 1. The Initial Relationship: karakter dari tahap ini adalah adanya kesadaran antara dua tokoh laki-laki
akan bentuk ideal sebuah
hubungan. Pada tahap ini hasrat seksual akan sesama jenis tidak diungkapkan secara eksplisit namun terdapar gambaran akan bentuk hubungan yang ideal antara kedua tokoh. 2. Masculine Dystopia: karakter dari tahap ini adalah adanya ketegangan atmosfer dalam hubungan kedua tokoh. Hal ini disebabkan karena salah satu tokoh menyadari perasaannya akan tokoh lain namun tidak berani mengungkapkan perasaan tersebut karena takut tokoh lain ini tidak merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan oleh tokoh utama.
27 28
Jenkins. 2006. Op.Cit. Hlmn 63. Jenkins. 1992. Op.Cit. Hlmn 212-225.
17
3. Confession: pada tahap ini ketegangan atmosfer antara dua tokoh sudah tidak dapat ditahan lagi. Tahap ini merupakan solusi dari ketengangan atmosfer yang ada, dimana rahasia-rahasia akhirnya terungkap dan saling mengakui perasaan akan satu sama lain. 4. Masculine Utopia: pengakuan perasaan kemudian membuka jalan untuk pelepasan secara fisik, dimana kedua tubuh yang sebelumnya saling berjarak akhirnya bersatu dalam keintiman seksual. Erotisisme dalam slash fanfiction adalah erotik dari pelepasan emosional dan adanya penerimaan yang bersifat mutual atas diri sendiri dan pasangan. Kemunculan slash fanfiction bukannya tanpa kontroversi. Pada awal kemunculannya, bahkan hingga saat ini, slash fanfiction menuai kritik dari berbagai
pihak.
Mayoritas
masyarakat
masih
beranggapan
bahwa
homoseksualitas adalah hal yang tabu, terutama jika dilihat dari sudut pandang agama. Dan menjadikan homoseksual sebagai tema cerita adalah suatu yang yang juga dianggap tidak wajar. Slash, seperti kebanyakan kebudayaan fan lainnya, mewakili sebuah negosiasi daripada sebuah perubahan radikal dengan konstruksi ideologi dari budaya massa.29 Slash fanfiction masih mempertimbangkan antara reproduksi cerita dengan tidak menghilangkan karakteristik asli. Slash fanfiction mewakili perubahan dramatis atas norma ideologi dalam dunia penyiaran. Di sisi lain, slash membuka saluran dimana konstruksi gender dapat dieksplorasi dengan sadar secara lebih terbuka. Meski pada awal kemunculannya slash fanfiction sempat mendapat kritik, namun sekarang slash fanfiction masih memiliki kepopuleran tersendiri. Banyak slash fanfiction yang terinspirasi dari film-film populer. Harry Potter, Smallville, Terminator, X-Files, X-men adalah beberapa di antara film populer yang sering dijadikan inspirasi menulis slash fanfiction oleh fan. Tidak hanya fan karya fiksi seperti film saja yang menulis slash fanfiction tentang hal yang diidolakannya, fan di bidang musik pun sering menulis slash fanfiction tentang idolanya. 29
Jenkins. 1992. Ibid. Hlmn 225.
18
Keintiman atau kedekatan antar tokoh laki-laki kemudian memunculkan shipper, yaitu fan yang mendukung hubungan sesama jenis antara tokoh lakilaki yang diidolakannya. Kemudian dibuat nama pasangan yang merupakan gabungan dari nama dua tokoh yang dianggap memiliki hubungan romantis. Shipper kemudian membuat berbagai karya yang menggambarkan kedekatan hubungan pasangan yang mereka dukung. Karya tersebut di antaranya fanart, fan-video, dan slash fanfiction. Fan yang sama-sama mendukung pasangan inilah yang menjadi konsumen dari karya-karya slash tersebut.
3. Teks Homoerotika Menurut Oxford Dictionary, istilah „homoerotic‟ berarti “concerning or arousing sexual desire centered on a person of the same sex”.30 Homoerotika berarti ketertarikan seksual antara individu-individu yang berjenis kelamin sama, laki-laki kepada laki-laki atau perempuan kepada perempuan. Istilah homoseksualitas merujuk pada orientasi seksual, sedangkan homoerotika adalah istilah yang merujuk pada estetika. Homoerotika digambarkan dan ditunjukkan melalui seni visual dan kesusastraan. Dusk Peterson, seorang penulis fiksi yang berfokus pada tema LGBT, merangkum beberapa alternatif definisi homoerotika yang digunakan oleh penulis-penulis fiksi.31 Alternatif definisi tersebut adalah: a. The term is simply used as a synonym for gay. b. The term is used because people in the stories would not use the word "gay" to describe themselves. c. The term distances the story from certain conventions in gay literature. d. The term implies that the story is erotic. e. The term blurs the boundaries between erotic and non-erotic. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah „homoerotika‟ digunakan untuk mendeskripsikan suatu karya yang mengangkat tema tentang hubungan sesama jenis, baik antar laki-laki maupun antar perempuan. Teks 30
Terarsip dalam http://oxforddictionaries.com/definition/american_english/homoerotic. Diakses pada 12 Oktober 2013. 31 Dusk Peterson. Tanpa Tahun. Definition of Homoerotic Fiction. Terarsip dalam http://duskpeterson.com/definitionhomoerotic.htm. Diakses pada 21 September 2013.
19
homoerotika sendiri dapat bersifat erotis maupun tidak, namun pada intinya terdapat ketertarikan seksual antara dua orang sesama jenis. Teks homoerotika merupakan karya yang menggambarkan estetika dari hubungan sesama jenis atau homoseksual. Sejak ratusan tahun lalu, homoerotika telah digambarkan dalam berbagai bentuk karya seni, antara lain lukisan, puisi, teater, drama, puisi, dan lain-lain. Salah satu karya sastra homoerotika pada masa itu adalah kumpulan puisi sonnet karya Shakespeare yang diterbitkan pada tahun 1609. Selain itu beberapa karya kontemporer seperti film pun menggunakan homoerotika sebagai temanya. Beberapa di antara film homoerotika yang cukup sukses adalah Brokeback Mountain (2005) dan Black Swan (2010). Di Asia, teks homoerotika yang paling populer adalah dalam bentuk manga. Saat ini, homoerotika mudah ditemukan dalam berbagai teks media. Tidak hanya dalam media dominan seperti film dan buku, namun juga dalam karyakarya amatir seperti fanfiction. Fanfiction yang mengangkat tema homoerotika disebut dengan istilah slash fanfiction. Seperti teks homoerotika lainnya, slash fanfiction merupakan karya fiksi yang mengangkat hubungan homoseksual antara tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Berikut adalah contoh penggalan teks homoerotika dari slash fanfiction yang berjudul „Hunting My S.e.x.(y) Babysitter‘32: When their turn finally came, he watched the ginger-head step forward and lean down to talk to the cashier, asking for their tickets. Hyukjae stared at him the whole time, his eyes unable to move away from the younger teen. His gaze remained glued to Donghae's handsome face for a while, somehow hypnotized by the younger's beautiful features. He loved everything about Donghae's face. His soft eyes, his flawless skin, his perfect nose, his pink thin lips. He was just perfect. When he eventually managed to avert his eyes from Donghae's face, it was only to let his gaze move to his neck, and down to his body. He couldn't help but bite on his lower lip as he eyed the ginger's glorious 32
crime-tsumi. 2013. Hunting My S.e.x.(y) Babysitter. Terarsip dalam http://www.asianfanfics.com/story/view/433055/20/hunting-my-s-e-x-y-babysitter-donghaeeunhae-eunhyuk-kyumin-superjunior-haehyuk-yewook. Diakses pada 16 Oktober 2013.
20
body. Donghae wasn't wearing anything special, just a pair of jeans and a white V-collar t-shirt, but he was looking amazingly good. His slender limbs were trapped inside the casual clothes, not to tight but slinky enough to reveal his nicely shaped curves. Hyukjae knew what was under those layers of clothes, he had seen Donghae naked before, and just having the other standing in front of him was enough to bring back memories that left him a bit flushed. He was still lost in his contemplation of Donghae's juicy thighs and bouncy butt when the ginger-headed teen spun around. Hyukjae blinked and quickly looked up, trying to act natural, but as soon as he met Donghae's small smirk, he knew he had been caught staring. "Enjoying the view?" Donghae's smirk widened, much to Hyukjae's displeasure. Dalam penelitian ini, teks homoerotika yang dimaksud adalah ketertarikan antar laki-laki dalam slash fanfiction pada fandom K-POP. Teks homoerotika dalam penelitian ini dibatasi pada hubungan homoseksual antar laki-laki. Dibandingkan slash fanfiction antar perempuan (femslash fanfiction), slash fanfiction antar laki-laki lebih populer dalam fandom K-POP karena mayoritas fansnya adalah perempuan. Slash fanfiction fandom K-POP dapat dengan mudah ditemukan
di
berbagai
situs
seperti
Asianfanfics.com,
Fanfiction.net,
Livejournal, Tumblr, dan blog-blog pribadi.
4. Resepsi Pembaca Dalam tradisi studi audiens, setidaknya pernah berkembang beberapa varian di
antarannya
disebut
secara
berurutan
berdasar
perjalanan
sejarah
lahirnya: effect research, uses and gratification research, literary criticism, cultural studies, reception analysis.33 Penelitian audiens sudah ada sejak tahun 1930-an yang menekankan efek media massa terhadap publik. Institusi media dan media dianggap memiliki kekuatan untuk mempengaruhi khalayak yang pasif. Pada tahun 1960-an penelitian audiens bergeser menjadi penelitian uses 33
Tri Nugroho Adi. 2012. Mengkaji Khalayak Media dengan Metode Penelitian Resepsi. Terarsip dalam http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2012/02/16/mengkaji-khalayak-media-denganmetode-penelitian-resepsi/. Diaksesl pada 24 November 2012.
21
and gratification yang melihat penggunaan media sebagai pemenuhan kebutuhan bermedia. Tahun 1973 muncul penelitian mengenai resepsi audiens. Penelitian ini mengungkapkan bahwa audiens tidak selemah yang digambarkan dalam penelitian mengenai efek media namun juga tidak sekuat yang digambarkan dalam penelitian uses and gratification. Terdapat beberapa peneliti yang melakukan penelitian resepsi, salah satunya adalah David Morley yang melakukan penelitian resepsi pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Penelitian Morley saat itu adalah untuk mencari hubungan antara mengkonsumsi teks berita dengan kelas sosial audiens. Morley mengusulkan bahwa penelitian audiens akan lebih efektif jika berfokus pada macam-macam kompetensi literasi sebagai bentuk dari formasi sosial. As Morley declared: ―Whether or not a programme succeeds in transmitting the preferred or dominant meaning will depend on whether it encounters readers who inhabit codes and ideologies derived from the other institutional areas (e.g. churches or schools) which correspond to and work in parallel with those of the programme or whether it encounters readers who inhabit codes drawn from other areas or institutions (e.g. trade unions or deviant subcultures) which conflict to a greater or lesser extent with those of the program.‖34 Morley berusaha menghubungkan tipologi decoding teks media dengan latar belakang sosio-ekonomi dan kultural penonton. Dia mengungkapkan bahwa terdapat efek dalam keberagaman kondisi sosial, seperti kelas, gender, ras, dan usia. Anggota dari substruktur sosial tertentu memiliki panduan dalam membaca dan memaknai suatu pesan. Pemaknaan audiens terhadap teks akan dipengaruhi oleh ide kultural komunal sesuai dengan substrukturnya. Selain model resepsi David Morley, terdapat teori resepsi lain. Analisis resepsi yang paling sering digunakan adalah model encoding/decoding oleh Stuart Hall (1980). Model encoding/decoding tersebut sangat berpengaruh dalam
34
Marissa Fernandez. 2008. David Morley’s Reception Theory. Terarsip dalam http://www.indiastudychannel.com/resources/31989-David-Morley-s-Reception-Theory.aspx. Diakses pada 14 April 2013.
22
mengkaji hubungan antara teks dan audiens. Croteau dan Hoynes35 menyebutkan, ―the encoding/decoding focuses on the relationship between the media message, as it is constructed or ―encoded‖ by media producer, and the ways that message is interpreted or ―decoded by audiences‖. Proses encoding berlangsung selama proses produksi teks/pesan media. Encoding merupakan proses penstrukturan makna oleh produser media yang berusaha untuk mengartikulasi kode‐kode yang merepresentasi sistem tanda seperti yang diinginkan produser. Sedangkan proses decoding merupakan proses pemaknaan yang dilakukan oleh audiens (receiver) sesuai dengan konteks sosial dan kulturalnya ketika mengkonsumsi atau meresepsi teks media. Encoding dilakukan oleh produsen pesan, sedangkan decoding dilakukan oleh penerima pesan. Keduanya mungkin memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda, sehingga dimungkinkan terjadinya perbedaan antara keduanya dalam memaknai pesan. Audiens aktif akan memaknai pesan sesuai dengan pemikirannya sendiri, dipengaruhi oleh latar belakang dan pengalaman yang dimilikinya.
36
Gambar I.1 Model Encoding/Decoding – Stuart Hall
35
David Croteau & William Hoynes. 2003. Media Society: Industries, Images, and Audiences. Third Edition. London: Sage Publication. Hlmn 275. 36 Stuart Hall. 2006. “Encoding/Decoding” dalam Meenakshi Gigi Durham dan Douglas M. Kellner (Ed.) (2006) Media and Cultural Studies: Keyworks. Oxford: Blackwell Publishing. Hlmn 165.
23
Dari model encoding/decoding di atas dapat dilihat bahwa encoding dan decoding sama-sama merupakan proses pemaknaan. Proses pemaknaan pesan ini dipengaruhi oleh tiga unsur, yaitu frameworks of knowledge, relations of production, dan technical infrastructure yang dimungkinkan adanya perbedaan antara encoding dan decoding. „Meaning structure 1‟ dan „meaning structure 2‟ bisa jadi tidak sama jika kode-kode yang mempengaruhinya berbeda. Dalam penelitian ini, pemaknaan atau decoding yang dilakukan oleh audiens dapat dilihat dari grup acuan yang ada di sekitar audiens, produksi teks sejenis yang dilakukan oleh audiens, serta pola konsumsi audiens terhadap teks. Ketiga hal ini akan mempengaruhi pembentukan makna teks yang dilakukan oleh audiens. Tiga kategorisasi audiens dalam teori encoding/decoding Stuart Hall37, yaitu: 1. Dominant (atau ‗hegemonic‘) reading: pembaca sejalan dengan kode-kode teks (yang didalamnya terkandung nilai-nilai, sikap, keyakinan dan asumsi) dan secara penuh menerima makna yang disodorkan dan dikehendaki oleh pembuat teks. 2. Negotiated reading: pembaca dalam batas-batas tertentu sejalan dengan kode-kode teks dan pada dasarnya menerima makna yang disodorkan oleh si pembuat teks namun memodifikasikannya sedemikian rupa sehingga mencerminkan posisi dan minat-minat pribadinya. 3. Oppositional (‗counter hegemonic‘) reading: pembaca tidak sejalan dengan kode-kode teks dan menolak makna atau pembacaan yang disodorkan, kemudian menentukan frame alternatif sendiri dalam menginterpretasikan teks. Tiga tipe audiens dalam melakukan proses decoding atau resepsi ini dapat menjadi tolok ukur dalam melihat tipe audiens dalam penelitian resepsi (reception analysis). Analisis resepsi merupakan salah satu penelitian tentang audiens yang berpijak pada tradisi kultural dan berusaha untuk mengkombinasi antara teori ilmu sosial dan humaniora. 37
Ibid. Hlmn 171-173.
24
―Reception analysis is effectively the audience research arm of modern cultural studies, rather than an independent tradition. It strongly emphasizes the role of the ―reader‖ in the ―decoding‖ of media texts. It has generally had a consciously ―critical‖ edge, in the terms discussed above, claiming for the audience a power to resist and subvert the dominant or hegemonic meanings offered by the mass media.‖.38 Jika dilihat dari pengertian di atas, maka penelitian resepsi berfokus pada peran audiens dalam memaknai pesan. Audiens bukanlah individu yang pasif dalam menerima pesan. Sebaliknya, audiens memiliki kemampuan untuk menahan dan mematahkan makna-makna dominan atau hegemoni yang ditawarkan oleh media massa. Kemampuan audiens tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kultural audiens.
G. Kerangka Konsep Fanfiction merupakan salah satu jenis teks media. Berbeda dengan teks media konvensional yang diproduksi oleh institusi media profesional, fanfiction diproduksi secara mandiri oleh audiens yang sebagian besar di antaranya adalah amatir.
Audiens
aktif
mengkonsumsi
teks
media
dominan
kemudian
mereproduksinya menjadi sebuah teks media baru. Salah satu jenis audiens aktif ini biasa disebut dengan fan. Fan mengkonsumsi konten media yang menjadi minat mereka kemudian mengolah dan menulisnya kembali dengan versi mereka sendiri dalam bentuk fanfiction. Produksi teks media oleh fan dilakukan secara mandiri dan dipublikasikan melalui situs pribadi maupun kolektif. Konsumen fanfiction pun berasal dari sesama fan. Fanfiction merupakan teks media yang diproduksi, dipublikasi, dan dikonsumsi oleh sesama fan. Status “bawah tanah” yang dimiliki oleh penulis fanfiction memberikan kebebasan untuk mengeksplor interpretasi yang berbeda-beda atas teks asli media dan 38 39
merekonstruksinya
sesuai
dengan
minat
mereka.39
Kebebasan
Dennis McQuail. 1997. Audience Analysis. California: Sage Publications. Hlmn 19. Jenkins. 2006. Hlmn 54.
25
ini
memungkinkan penulis fanfiction untuk menulis cerita yang tidak diungkap dalam teks asli. Salah satunya adalah cerita yang mengangkat isu homoseksual, atau biasa disebut dengan slash fanfiction. Slash fanfiction menjadi genre fanfiction yang diminati oleh fans karena isu yang diangkat yang berbeda dari teks asli. Penelitian ini ingin melihat praktek membaca slash fanfiction sebagai sebuah proses komunikasi. Fan membaca slash fanfiction sebagai teks media yang diproduksi oleh sesama fan, kemudian memberikan memberi makna terhadap teks media yang dikonsumsi. Dengan kata lain, penelitian ini melihat interaksi fan dengan slash fanfiction yang dibacanya. Dinamika yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah hubungan audiens dengan teks yang dibacanya. Audiens memiliki nilai-nilai yang dianutnya, kemudian masuk pesan yang berlawanan dengan nilai-nilai yang dianut. Penelitian ini akan melihat praktek konsumsi audiens terhadap teks yang bertentangan dengan nilai yang dipegang. Bagaimana pertentangan dalam diri audiens adalah apa yang akan dianalisis dalam penelitian ini. Untuk melihat dinamika ini, penelitian ini menggunakan analisis resepsi. Analisis resepsi adalah metode analisis yang digunakan untuk melihat pemaknaan audiens terhadap suatu teks yang dikonsumsi. Dalam penelitian ini, analisis resepsi digunakan untuk membandingkan analisis tekstual yang disampaikan dalam slash fanfiction dengan wacana yang dimiliki pembaca slash fanfiction. Teori resepsi yang akan digunakan untuk menganalisis masalah dalam penelitian ini adalah teori resepsi Stuart Hall tentang encoding/decoding. Stuart Hall mengatakan bahwa proses pemaknaan audiens terhadap teks media dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu frameworks of knowledge, relations of production, dan technical infrastructure. Penelitian ini akan melihat proses pemaknaan audiens (fan) terhadap teks media yang dikonsumsi (slash fanfiction), faktorfaktor yang mempengaruhi pemaknaan audiens terhadap teks, serta pengaruh teks homoerotika terhadap kehidupan pembacanya. Teori resepsi Stuart Hall dirasa sesuai untuk menganalisis masalah tersebut.
26
H. Metode Penelitian Penelitian tentang resepsi pembaca terhadap teks homoerotika dalam slash fanfiction dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh objek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi dengan cara deskripsi dalam bentuk katakata dan bahasa. Oleh karena itu diperlukan metode penelitian yang dapat mendeskripsikan fenomena tersebut secara mendalam. Etnografi adalah metode yang dirasa sesuai untuk penelitian ini. Hammersley dan Atkinson mendefinisikan etnografi sebagai: ―…simply one social research method, albeit an unusual one, drawing on a wide range of source of information. The ethnographer participates in people‘s lives for an extended period of time, watching what happens, listening to what is said, asking questions, collecting whatever data are available to throw light on the isues with which he or she is concerned.”40 Dengan
menggunakan
metode
etnografi,
peneliti
tidak
saja
bisa
mendeskripsikan bagaimana informan memaknai teks media, tetapi juga menjawab pertanyaan mengapa bisa muncul interpretasi atau makna tertentu dari informan tersebut. Sebab melalui etnografi, konteks sosial dan budaya di mana informan berada merupakan bagian yang terintegrasi dalam keseluruhan proses penelitian. Metode etnografi adalah metode yang dirasa tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini. Analisi resepsi audiens merupakan penelitian yang melihat pemaknaan audiens terhadap teks, yang mana pemaknaan tersebut dipengaruhi oleh hal-hal yang ada di sekitar audiens. Penelitian ini tidak hanya melihat audiens dalam konteks fandom K-POP, namun juga pada konteks sosio-kultural dimana audiens berada, yaitu Indonesia. Audiens dilihat bukan hanya sebagai fans KPOP, namun juga sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Karena itulah metode etnografi adalah metode yang sesuai digunakan pada penelitian ini. Hagen dan Wasko (2000) bahkan menyamakan istilah „analisis resepsi‟ dengan „etnografi audiens‟ karena keduanya sama‐sama memfokuskan pada 40
Dalam Klaus Bruhn Jensen dan Nicholas W. Jankowski. 1991. A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research. Hlmn 153.
27
proses.41 Melalui etnografi, akan diperoleh gambaran lengkap bagaimana proses decoding berlangsung, sekaligus melihat konteks keseharian informan dalam menonton televisi, serta konteks sosial dan budaya di mana proses decoding berlangsung. Etnografi pada dasarnya menceritakan ulang kehidupan orang‐orang tertentu, mendeskripsikan tradisi atau tata cara mereka dan memahami praktek‐praktek budayanya. Untuk bisa bercerita ulang, seorang penulis etnografi harus mendapatkan pengalaman kehidupan orang‐orang yang diceritakan, hingga rasa dan emosi yang muncul pada kehidupan orang tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti mengamati keseharian objek penelitian untuk mengetahui pengalaman dan emosi yang mereka rasakan. Keterlibatan peneliti dengan fandom K-POP juga diperlukan untuk melihat budaya yang ada di dalam fandom K-POP. Selain pengamatan, peneliti juga perlu melakukan wawancara untuk mengetahui pemikiran objek penelitian tentang slash fanfiction dan kaitannya dengan homoseksualitas di Indonesia. Penekanan etnografi terhadap konteks dimana penelitian dilakukan memungkinkan peneliti untuk melakukan deskripsi secara mendalam. Namun di sisi lain, etnografi juga membatasi peneliti untuk membawa penelitian ke dalam konteks
yang
lebih
luas.
Etnografi
bukanlah
metode
yang
dapat
menggeneralisasikan suatu fenomena dalam konteks yang berbeda. ―The objective—of ethnography—is not to identify universal laws, but rather to produce ―detailed descriptions of the concrete experience of life within a particular culture and of the social rules and patterns wich constitute it.‖42 Demikian pula dengan penelitian ini. Penelitian ini tidak bertujuan untuk menggeneralisasikan resepsi dari seluruh pembaca slash fanfiction. Penelitian ini fokus pada pembaca slash fanfiction di Indonesia dengan konteks sosio-kultural
41
Dalam Diyah Hayu Rahmitasari. Keluarga Desa Menonton Bencana: Studi Etnografi tentang Resepsi atas Pemberitaan Bencana di Televisi sebagai Tolok Ukur Media Literacy di Desa Dadapayu, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (skripsi). Hlmn. 33. 42 Ibid. hlmn 34.
28
yang menganggap tabu homoseksualitas. Peneliti menyadari bahwa perbedaan resepsi mungkin terjadi pada pembaca yang berada pada konteks sosio-kultural berbeda. 1. Teknik Pemilihan Informan Dalam penelitian ini, sumber atau pelaku fenomena diposisikan sebagai “informan”. Informan merupakan individu-individu yang dapat memberikan informasi yang sesuai sebagai sumber data dalam penelitian. Dalam penelitian etnografi, peneliti menggunakan pendekatan kepada objek penelitian secara umum untuk dapat melakukan observasi. Seiring berjalannya penelitian, objek penelitian akan dikerucutkan sesuai dengan kebutuhan penelitian.43 Untuk memilih informan penelitian, peneliti berbaur dengan objek penelitian, yaitu pembaca K-POP slash fanfiction di Indonesia. Setelah berbaur dan melakukan observasi partisipan, peneliti memilih beberapa informan yang dirasa dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Pemilihan informan dalam penelitian ini akan menggunakan salah satu teknik dari nonprobability sampling, yaitu purposive sampling. Purposive sampling (teknik purposif) adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu.44 Peneliti membuat kriteria-kriteria tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian. Kriteria-kriteria inilah yang kemudian dijadikan pedoman oleh peneliti untuk memilih informan. Dengan demikian data yang sesuai dengan tujuan penelitian dapat diperoleh. Terdapat tiga situasi yang dikemukakan oleh Neuman mengenai alasan seorang peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Pertama adalah karena penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian dengan kasus khusus yang informatif. Kedua adalah karena penelitian mencari objek yang sulit untuk dijangkau, yaitu populasi yang spesial. Ketiga adalah karena peneliti
43
David M. Fetterman. 2010. Ethnography: Step-by-Step. Third Edition. California: SAGE Publications, Inc. Hlmn 35. 44 Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Hlmn 218-219.
29
ingin mengidentifikasi kasus tertentu yang membutuhkan investigasi secara mendalam.45 Ketiga situasi tersebut sesuai dengan penelitian ini, sehingga penelitian ini dapat menggunakan teknik purposive sampling dalam memilih informan. Kriteria pemilihan informan ditentukan sesuai dengan tujuan penelitian. Pemilihan informan dalam penelitian ini akan didasarkan pada kriteriakriteria sebagai berikut: a. Informan telah menjadi pembaca aktif slash fanfiction selama lebih dari satu tahun. b. Informan memiliki keikutsertaan dan aktif di komunitas yang menyediakan slash fanfiction. Kriteria ini diperlukan untuk melihat interaksi informan dengan teks yang dibacanya. c. Informan memiliki kedekatan dengan peneliti sehingga bersedia memberikan informasi dan mau membuka akses kepada peneliti terhadap akun-akun yang mereka miliki di komunitas slash fanfiction. d. Informan berdomisili di wilayah Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Kriteria ini diperlukan agar informan mudah dijangkau oleh peneliti, sehingga mempermudah proses observasi yang dilakukan. e. Informan berusia di atas 17 tahun. Mulai usia tersebut seseorang sudah dapat dikatakan dewasa sehingga perkataan dan pemikirannya dapat dipertanggungjawabkan. Teknik
purposive
sampling
dipilih
untuk
penelitian
yang
lebih
mengutamakan kedalaman data daripada tujuan representatif yang dapat digeneralisasikan.46 Penelitian ini akan meneliti informan secara mendalam sesuai dengan pertanyaan penelitian. Dengan demikian teknik ini dirasa sesuai dengan penelitian.
45
Lawrence W. Neuman. 2000. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Allyn and Bacon. Hlmn 195. 46 Rachmat Kriyantono. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana (Prenada Media Group). Hlmn 155.
30
2. Teknik Pengumpulan Data Untuk menunjang keberhasilan penelitian ini, terdapat dua teknik pengumpulan data yang dilakukan, yaitu: a. Wawancara mendalam Wawancara
adalah
komunikasi
yang
memiliki
maksud
tertentu.
Pewawancara selalu menjadi bagian dari proses wawancara sekaligus menjadi pengamat dalam jalannya proses wawancara, sehingga wawancara berhubungan dengan observasi partisipan.47 Peneliti dapat menemukan ide, pikiran, opini, sikap, dan motivasi informan melalui wawancara. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam (in depth interview) karena sifatnya yang fleksibel dan memiliki validitas data yang lebih akurat. Wawancara mendalam adalah suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan agar mendapatkan
data
yang
lengkap
dan
mendalam.48
Teknik
ini
memungkinkan peneliti untuk membaca perilaku non-verbal secara lebih detail dan memperoleh kedalaman riset. Dalam metode ini diperlukan iklim wawancara yang kondusif, yaitu dengan membangun keakraban antara peneliti dengan informan. Wawancara akan dilakukan berulang-ulang kali secara intensif namun tetap memperhatikan kenyamanan informan dalam memberikan informasi. Sifat wawancara akan dibuat sedemikian rupa hingga terkesan santai seperti mengobrol. Dengan demikian informan akan bersedia memberikan jawabanjawaban secara lengkap, mendalam, dan bila perlu tidak ada yang disembunyikan. Pertanyaan dalam wawancara melingkupi pertanyaan mengenai opini informan terhadap slash fanfiction, riwayat membaca slash fanfiction, latar belakang informan yang dapat mempengaruhi proses resepsi informan terhadap slash fanfiction, serta pengaruh membaca slash fanfiction dalam kehidupan informan. 47
Ina Bertrand and Peter Hughes. 2005. Media Research Methods. New York: Palgrave Macmilan. Hlmn 74. 48 Kriyantono. Op.Cit. Hlmn 98.
31
b. Observasi partisipan Observasi dalam konteks penelitian tidak hanya merupakan aktivitas melihat. Observasi adalah pengamatan yang memiliki maksud tertentu dan mencatat hasilnya.49 Observasi bisa diartikan sebagai kegiatan mengamati secara langsung suatu objek untuk melihat dengan dekat kegiatan yang dilakukan objek tersebut. Observasi membantu peneliti memahami konteks yang menjelaskan apa yang dilakukan oleh seseorang. Penelitian ini akan menggunakan metode observasi partisipan. Metode ini memungkinkan peneliti mengamati kehidupan individu atau kelompok dalam situasi riil, dimana terdapat setting yang riil tanpa dikontrol atau diatur secara sistematis. Metode ini memungkinkan peneliti terjun langsung menjadi bagian yang diriset. Pada metode ini peneliti berperan sebagai partisipan sekaligus sebagai peneliti.50 Dalam penelitian ini observasi dilakukan untuk mengamati perilaku informan dalam membaca dan meresepsi slash fanfiction. Peneliti akan terjun langsung menjadi bagian dari fan yang membaca slash fanfiction untuk memahami konteks pembaca slash fanfiction. Peneliti juga akan berinteraksi langsung dengan informan karena dalam penelitian ini metode observasi partisipan juga dilengkapi dengan wawancara mendalam yang membutuhkan keakraban antara peneliti dan informan. Observasi pada penelitian analisis resepsi adalah untuk melihat interaksi antara informan dengan teks yang dibaca. Dalam penelitian ini hal-hal yang akan diamati antara lain reaksi informan saat dan setelah membaca slash fanfiction, termasuk melihat apakah membaca slash fanfiction membawa efek pada kehidupan nyata informan. Observasi juga akan dilakukan secara online, yaitu melihat interaksi informan dengan slash fanfiction yang dibaca. Slash fanfiction apa saja yang dibaca, komentar apa saja yang disampaikan tentang slash fanfiction tersebut, dan apakah informan juga menulis slash fanfiction adalah hal-hal yang akan dilihat dalam observasi ini. 49 50
Ibid. Hlmn 82. Ibid. Hlmn 108.
32
3. Teknik Analisis Data Geertz (1973) menyebutkan bahwa proses analisis data merupakan tahap interpretasi peneliti terhadap fenomena yang ditelitinya. Dia menuliskan bahwa dalam menganalisis data, “we begin with our own interpretations of what our informants are up to, or think they are up to, and then systematize‖.51 Atau jika merujuk pada Lull, dia lebih membahasakan proses analisis data sebagai proses menarik kesimpulan (draw inference) dari fenomena yang sedang diteliti. Dalam penelitian etnografi, data disajikan untuk memberikan gambaran tentang kehidupan objek penelitian sedetail mungkin. Untuk menyajikan data, para peneliti etnografi mengelompokkan data-data yang ditemukannya ke dalam beberapa bagian. Data yang ditemukan dipaparkan sesuai dengan bagian-bagian yang telah dibuat oleh peneliti.52 Penyajian data dalam penelitian ini dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, yaitu eksposur, penerimaan, negosiasi antara membaca dan menulis, keterbukaan, tingkat kepercayaan, serta internalisasi makna. Data yang diperoleh dari informan dikelompokkan untuk melihat perbandingan antar audiens yang telah diteliti. Pada penelitian ini, data yang terkumpul tersebut akan dianalisis dengan menggunakan analisis resepsi, dimana dalam penelitian ini audiens dilihat sebagai komunitas interpretatif yang akan selalu memproduksi makna dan pemaknaan pesan yang disampaikan media tidak hanya sebagai individu yang pasif yang menerima apa saja yang diproduksi oleh media.53 Penelitian resepsi memiliki fokus pada makna pesan dan hubungannya dengan audiens yang mengintepretasikan pesan tersebut dengan cara yang berbeda-beda. Penelitian ini akan menggunakan perspektif sosio-kultural. Hal ini dikarenakan perilaku dari audiens tidak hanya terbentuk karena paksaan atau 51
Jensen dan Jankowski. Op.Cit. Hlmn 156. Gerald D. Berreman. 2004. “Ethnography: Method and Product” Dalam Vinay Kumar Srivastava (ed.). 2004. Methodology and Fieldwork. New Delhi: Oxford University Press. Hlmn 187. 53 Op cit. Hlmn 19. 52
33
kebiasaan namun juga dipengaruhi oleh keadaan sosial dan struktural di sekitarnya. Analisis resepsi melihat audiens sebagai audiens aktif yang memaknai pesan. Meneliti dengan metode analisis resepsi berarti meneliti interaksi antara teks dan pembaca. Analisis resepsi merupakan komparasi analisis tekstual wacana media dan wacana audiens yang hasil interpretasinya merujuk pada konteks, seperti latar belakang kultural dan konteks atas ini media lain.54 Dalam penelitian ini metode analisis resepsi digunakan untuk membandingkan analisis tekstual yang disampaikan dalam slash fanfiction dan wacana yang dimiliki oleh pembaca slash fanfiction. Penelitian ini akan mengulas proses resepsi audiens terhadap slash fanfiction, faktor yang melatarbelakangi resepsi tersebut, dan respon/tindakan yang mengikuti resepsi tersebut. Analisisnya akan dilakukan berdasar data yang digali melalui wawancara dan observasi. Proses analisis yang dilakukan akan didasarkan pada sundut pandang pembaca atau informan. Kalimat atau ungkapan langsung dari informan selama proses wawancara akan dikutip untuk memperkuat sudut pandang informan dan meminimalisir subjektivitas peneliti. Analisis data dilakukan sesuai dengan pola dari teori analisis resepsi yang dikemukakan oleh Stuart Hall. Data yang telah dikelompokkan akan dibahas dari tiga hal, yaitu framework of references, relations of production, dan technical infrastructure. Hasil data dari penelitian etnografi dianalisis dengan teori resepsi Stuart Hall sehingga akan telihat bagaimana resepsi audiens terhadap teks homoerotika dalam slash fanfiction.
54
Jensen Jankowski. Op.Cit. Hal 189.
34