1
BAB I PEDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Rumpun bahasa Austronesia merupakan salah satu keluarga bahasa tua. Nama Austronesia berasal dari kata Latin auster "angin selatan" dan kata Greek nêsos "pulau". Para penutur bahasa Austronesia dihipotesiskan berasal dari daerah yang sekarang disebut China bagian selatan. Mereka sekitar 4000 tahun yang lalu bermigrasi ke Taiwan, kemudian menyebar ke Filipina, Indonesia, dan ke Madagaskar dekat benua Afrika serta ke seluruh lautan Pasifik (Dempwolff, 1956). Kekerabatan antarbahasa sekerabat dalam kajian komparatif pada intinya dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari protobahasa pada bahasabahasa berkerabat (Hock, 1988). Protobahasa merupakan suatu rakitan teoretis yang dirancang dengan merangkaikan sistem bahasa-bahasa yang memiliki hubungan kesejarahan melalui rumusan kaidah-kaidah secara sangat sederhana dan dirancang bangun dan dirakit kembali sebagai gambaran tentang masa lalu suatu bahasa (Bynon, 1979, Jeffers, 1979). Dengan munculnya ciri-ciri warisan yang sama pada bahasa-bahasa yang berkerabat, keeratan hubungan keseasalan bahasa-bahasa tersebut dapat ditemukan dan sistem protobahasanya dapat dijejaki (Mbete, 1990: 22). Blust (1981) membagi bahasa-bahasa Austronesia atas empat kelompok utama, yaitu; Atayal, Tsou, Paiwan, Melayu-Polinesia. bawah ini.
1
Perhatikan bagan di
2
Proto-Austronesia
Atayal
Tsou
Paiwan
Melayu-Polinesia Barat
Melayu-Polinesia
Melayu-Polinesia Tengah
Melayu-Polinesia Timur
Halmahera-Selatan,Irian
Oseania
1.1 Proto-Austronesia (Blust, 1981:21) Tiga kelompok utama, yaitu; Atayal, Tsou, dan Paiwan terdapat di Formosa. Kelompok Melayu-Polinesia Barat terdiri atas semua bahasa di Indonesia Barat (bahasa Sulawesi dan bahasa Sundik), Pilipina, Chamorro, Palau, Chami, dan Malagasi; kelompok Melayu-Polinesia Tengah terdiri atas semua bahasa di Flores, Timor, Sumba, Sumbawa Timur (bahasa Bima)
Maluku tengah dan Selatan;
kelompok Melayu-Polinesia Timur meliputi bahasa-bahasa Halmahera Selatan dan Iran Jaya. Bahasa-bahasa Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia ditempatkan ke dalam subkelompok Oseania (Blust, 1981:21). Betapapun telah cukup banyak hasil penelitian, belumlah dapat dikatakan bahwa pendekatan secara linguistik historis komparatif atas bahasa-bahasa Austronesia telah selesai. Adanya unsur-unsur bahasa Proto-Austronesia yang ditemukan oleh para ahli sejarah perbandingan, patutlah disadari bahwa hasilhasilnya, setidak-tidaknya sebagiannya masih bersifat hipotesis. Ini berarti bahwa penelitian yang belakangan di samping pengembangan dan pendalaman, masih diperlukan untuk membuktikan kembali hasil-hasil penelitian terdahulu. Disisi itu perlu diinsyafi bahwa karena hukum perubahan berlangsung pula atas kehidupan bahasa maka masalah-masalah ilmu linguistik historis komparatif, tidak akan
3
selesai, apabila berkembangnya metodologi ilmu linguistik historis komparatif khusunya, serta ilmu pengetahuan umumnya. Bahasa yang ada di kawasan nusantara ini merupakan fakta sejarah kehidupan bahasa. Ada yang berkembang secara mapan, dan ada juga yang perkembangannya mengarah kepunahan, khususnya bahasa-bahasa daerah yang didukung oleh jumlah penutur yang sedikit. Punahnya bahasa daerah adalah proses alami, di antara penyebabnya adalah tiadanya penutur akibat bencana alam dan pernikahan antaretnis serta menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari sebagai pengantar. Sejumlah bahasa ibu atau bahasa daerah di kawasan nusantara ini, mulai punah seiring meninggalnya para penutur bahasa itu. Punahnya suatu bahasa menyebabkan hilangnya berbagai bentuk warisan budaya, khususnya
warisan
tradisi
dan
ekspresi
berbicara
masyarakat
penuturnya.
Punahnya bahasa-bahasa itu, lanjutnya, juga telah merebut
keanekaragaman manusia, yang telah menyebarkan banyak pengetahuan tentang alam dan semesta. Agar tidak pelan-pelan lenyap, penggunaan bahasa daerah harus digiatkan, terutama di kalangan penuturnya. Punahnya bahasa daerah juga berarti hilangnya sebagian kebudayaan, nilai dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Saat ini ada kecenderungan penutur bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah khususnya bahasa Kaili dan bahasa Uma mulai berkurang, terutama kalangan muda tak lagi berbahasa Kaili ataupun berbahasa Uma walau secara genelogi adalah orang Kaili ataupun orang Kulawi, tetapi secara kultural tidak lagi menampakkan kekalian ataupun kekulawian, terutama sebagai penutur bahasa yang paling utama dan pertama yang mengidentifikasi suatu suku.
4
Melihat hal itu, bahasa sebagai anugerah Tuhan dan harta karun yang tak ternilai harganya ternyata telah disia-siakan oleh sebagian umat manusia. Punahnya bahasa adalah fenomena sosial yang dipicu oleh kebutuhan sosial. Tidak ada bukti bahwa ada sesuatu yang salah dengan bahasa tersebut. Untuk itu, sangat
diperlukan
penelitian
linguistik
historis
komparatif
agar
dapat
membuktikan kembali secara lebih lengkap dan tuntas tentang adanya hubungan keseasalan bahasa-bahasa di kawasan nusantara ini khususnya di Sulawesi Tengah. Seperti halnya bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, BK dan BU mempunyai kedudukan dan fungsi bagi kedua suku bahasa tersebut. Perannya tampak dalam kehidupan kebudayaan, termasuk juga dalam kehidupan keagamaan, sosial, dan ekonomi. Di tengah-tengah keanekaragaman budaya bahasa, kedua bahasa
itu
masih
tetap
menunjukkan
identitas
kelompok
masyarakat
pendukungnya. Dengan demikian, pembinaan dan pengembangan terhadap bahasa daerah sangat perlu dilakukan. Barr mengelompokkan bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah menjadi dua kelompok besar. Kelompok yang pertama yaitu kelompok Pamona. Bahasabahasa yang termasuk dalam kelompok ini adalah bahasa Pamona, Bada’, dan Rampi. Yang kedua adalah kelompok Kaili. Bahasa-bahasa yang yang termasuk kelompok Kaili adalah bahasa Uma, Sarudu, Baras, Kaili, dan Topoiyo. Kedua subkelompok bahasa ini sangat menarik (Barr, 1979: 11). Hasil penelitan yang dilakukan oleh Barr hanya berdasarkan pada metode leksikostatistik. Dengan demikian, penelitian ini agak lemah karena tidak didukung atas bukti kekerabatan yang ditunjang dengan pendekatan kualitatif.
5
Berdasarkan uraian di atas, penelitian bahasa ini menjadi sangat penting bila dikaitkan ke arah pembangunan bangsa. Adanya evidensi tentang keseasalan dan kekerabatan yang lebih lengkap dan tuntas, sudah tentu membuka pintu ikatan budaya bahasa yang kurang terjamah secara ilmiah dan sekaligus ikut menanamkan kesadaran sejarah budaya dan kesadaran budaya bahasa khususnya. Dalam hal ini dicoba untuk dibuktikan kembali hubungan kekerabatan BK dan BU berdasarkan korespondensi fonem PAN pada BK dan BU.
1.2 Rumusan Masalah Dari uraian di atas pengkajian difokuskan pada aspek historis dari fonemfonem BK dan BU dalam kaitannya dengan fonem PAN, sehingga rumusan masalahnya dapat formulasikan sebagai berikut. (1) Bagaimanakah pewarisan atau penerusan fonem PAN pada BK dan BU? (2) Mengapa fonem PAN berkorespondensi dengan fonem BK dan BU? (3) Apa sajakah tipe-tipe perubahan bunyi PAN dalam pewarisannya pada BK dan BU?
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rancangan penelitian, secara garis besar penelitian ini mempunyai dua tujuan. Tujuan tersebut adalah tujuan khusus dan tujuan umum. Untuk lebih jelasnya, tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.
6
1.3.1
Tujuan umum Penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu linguistik
historis komparatif terutama dalam bahasa-bahasa Austronesia, yang sampai saat ini belum banyak dikerjakan oleh sarjana-sarjana Indonesia sendiri. Selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan penunjang untuk penelitianpenelitian linguistik historis komparatif selanjutnya, yakni berupa subgrouping bahasa-bahasa Melayu Polinesia Barat dan untuk mencari bahasa meso dari bahasa-bahasa yang telah ditentukan subgrouping-nya. Secara lebih luas penelitian ini dapat dipakai sebagai bukti linguistik bagi penelitian linguistik historis komparatif di Indonesia.
1.3.2
Tujuan khusus Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan khusus penelitian ini adalah
sebagai berikut. (1) Mendeskripsikan pewarisan atau penerusan fonem PAN dalam pewarisannya pada BK dan BU. (2) Menemukan faktor-faktor perubahan fonem PAN yang terwaris pada BK dan BU. (3) Mendeskripsikan tipe-tipe perubahan bunyi PAN dalam pewarisannya pada BK dan BU.
7
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis. Kedua manfaat ini dapat diuraikan sebagai berikut.
1.4.1
Manfaat teoretis Secara toeritis penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai
berikut. (1) Melalui penelitian ini diharapkan adanya pemahaman yang mendalam mengenai bentuk-bentuk pewarisan fonem PAN pada bahasa-bahasa turunannya. (2) Melalui penelitian ini diharapkan adanya pemahaman yang mendalam mengenai korespondensi fonem PAN dalam BK dan BU ditinjau dari pendekatan linguistik historis komparatif. (3) Melalui penelitian ini dapat memperkaya data korespondensi fonem PAN dalam BK dan BU. (4) Secara lebih luas hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bukti linguistik bagi penelitian-penelitian sejarah Indonesia purba.
1.4.2 Manfaat praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut. (1) Mengembangkan dan melestarikan kebudayaan warisan nenek moyang yang dapat memperkaya kebudayaan nasional.
8
(2) Membangun kesadaran masyarakat penutur BK dan BU, ikhwal adanya relasi kesajarahan bahasa. (3) Hasil penelitian ini diharapkan juga bermanfaat sebagai bahan ajar khususnya mengenai LHK.