BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan belaka, selain itu juga berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Hal ini berarti Negara Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negaranya bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya. Pernyataan bahwa Indonesia merupakan negara hukum juga mempunyai konsekuensi, bahwa Negara Indonesia menerapkan hukum sebagai idiologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negara, sehingga hukum itu bersifat mengikat bagi setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negaranya. Negara hukum harus memenuhi beberapa unsur antara lain pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, harus berdasar hukum atau peraturan perundang-undangan, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan dalam Negara, adanya pengawasan dari badan-badan peradilan. Berkaitan dengan unsur di atas, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (HAM), dapat diartikan bahwa di dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara). Perlindungan konstitusi terhadap hak asasi manusia tersebut, salah satunya adalah perlindungan terhadap nyawa warga negaranya seperti yang tercantum dalam Pasal 28A Undang Undang Dasar 1945: ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Nyawa dan tubuh adalah milik manusia yang paling berharga dan merupakan hak asasi setiap manusia yang
Universitas Sumatera Utara
diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan tidak ada seorangpun yang dapat merampasnya. Bangsa Indonesia menjamin perlindungan terhadap nyawa setiap warga negaranya, dari yang ada dalam kandungan sampai yang akan meninggal. Tujuannya adalah untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dalam suatu perbuatan khususnya yang dilakukan dengan cara merampas nyawa orang lain (membunuh). Pada masyarakat yang masih sederhana, membunuh merupakan suatu kebanggan sebagai bukti keberanian dan kepahlawanan seseorang di kalangan kelompoknya. Membunuh jika dipandang dengan sudut agama merupakan sesuatu yang terlarang bahkan tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu setiap perbuatan yang mengancam keamanan dan keselamatan atas nyawa seseorang tersebut dianggap sebagai kejahatan
yang berat
oleh karena
itu dijatuhi dengan hukuman yang berat pula. 1 Mengenai kejahatan terhadap nyawa ini diatur dalam KUHP Buku II Bab XIX Pasal 338-350. Khusus mengenai tindak pidana pembunuhan biasa, diatur dalam KUHP Pasal 338, yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”. Dalam proses peradilan, pembuktian merupakan masalah yang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari
1
Harmien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Surabaya, 1984, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana. Hakim harus hati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. 2 Untuk menjatuhkan putusan yang berupa pemidanaan, undang-undang telah mengisyaratkan adanya syarat minimal, yaitu harus didukung oleh dua alat bukti dan hakim meyakini akan kebenarannya, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat menunjukkan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana. Di dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) terdapat lima alat bukti yang sah yaitu: Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa. Dalam contoh kasus tindak pidana, seperti pencurian, penggelapan, penipuan dan sejenisnya, tentunya pihak penyidik tak akan kesulitan untuk mengidentifikasikan barang bukti yang salah satu atau beberapa diantaranya dapat dijadikan alat bukti, yang selanjutnya akan diperiksa dalam proses sidang pengadilan. Akan tetapi, apabila kejahatan tersebut berkaitan dengan kesehatan seseorang, luka maupun meninggalnya seseorang tersebut, persoalannya menjadi tidak sederhana. Oleh karena terganggunya kesehatan seseorang pada suatu saat akan berubah sembuh ataupun sebaliknya, sementara apa yang dinamakan dengan luka juga pada saat yang lain akan berubah sembuh maupun ada kemungkinan akan menjadi lebih parah. Demikian juga terhadap kejahatan-kejahatan yang menyebabkan matinya
2
M. yahya Harahap, Pembahasan permasalahan KUHAP dan Penerapan KUHAP ,Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjauan kembali edisi kedua, Sinar Grafika, jakarta, 2000, Hal.273.
Universitas Sumatera Utara
seseorang, kematian tersebut telah menutup semua kemungkinan pemrosesan secara hukum, sehingga ketidakadilan menjadi mungkin. Untuk mengungkap secara hukum tentang benarkah telah terjadi tindak pidana yang menyebabkan terganggunya kesehatan seseorang? Benarkah telah terjadi tindak pidana yang menyebabkan matinya seseorang? Serta apakah sesungguhnya yang menyebabkan kesemuanya itu, diperlukan bukti yang konkrit pada waktu terjadinya tindak pidana atau dengan kata lain diperlukan adanya pengganti alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang. Oleh karena itu dibutuhkan suatu dokumen yang dapat menceritakan tentang terjadinya tindak pidana yang menyebabkan luka, terganggunya kesehatan dan juga matinya korban, yang dapat menjadi bukti yang kemudian dapat diusut dalam waktu yang lain. Dokumen yang dimaksudkan tidak lain adalah “Visum Et Repertum”. Secara harfiah Visum Et Repertum adalah apa yang dilihat dan apa yang diketemukan dalam melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang luka atau yang meninggal dunia. Visum Et Repertum termasuk alat bukti surat, sebab merupakan keterangan ahli yang tertulis, di luar sidang pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 KUHAP butir c yang berbunyi “Surat keterangan dari seorang ahli memuat pendapat berdasarkan keadian mengenai hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.” Visum Et Repertum adalah laporan dari dokter ahli yang dibuat berdasar sumpah, perihal apa yang dilihat, dikemukakan atas benda hidup atau mati ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Atas dasar itu selanjutnya diambil kesimpulan yang juga merupakan pendapat dari seorang
Universitas Sumatera Utara
ahli ataupun kesaksian (ahli) secara tertulis sebagai mana yang tertuang dalam bagian pemberitahuan.. Visum Et Repertum juga dapat menjadi bukti keterangan ahli berdasar ketentuan pemerintah tanggal 22 Mei 1937 dalam Lembaran Negara 1937 (Staatsblad 1937 No. 350) Pasal 1 menyatakan bahwa: “Visum Et Repertum dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau Indonesia atau sumpah khusus, sebagai dimaksud Pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkaraperkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang apa yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa”. Dalam Pasal 186 KUHAP dan Lembaran Negara 1937 (Staatsblad 1937 No. 350) Pasal 1, sama-sama menerangkan bahwa sebelum dokter (ahli) memberikan keterangan harus mengucap sumpah didepan hakim. Dalam perkara pidana yang lain dimana tanda buktinya (Corpus Delicti) merupakan suatu benda (tidak bernyawa) misalnya senjata tajam atau senjata api yang digunakan untuk melakukan sesuatu tindak pidana, barang hasil curian atau penggelapan, mata uang yang dipalsukan, barang-barang hasil penyelundupan dan lain-lain pada umumnya selalu dapat diajukan dimuka pengadilan sebagai barang bukti. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Corpus Delicti (tanda bukti) yang berupa tubuh manusia, oleh karena misalnya luka-luka pada tubuh seseorang akan selalu berubah-ubah yaitu mungkin akan sembuh, membusuk atau akhirnya menimbulkan kematian dan mayatnya akan menjadi busuk dan dikubur jadi kesimpulannya keadaan itu tidak pernah tetap seperti pada waktu pemeriksaan dilakukan, maka oleh karenanya Corpus Delicti yang demikian itu tidak mungkin
Universitas Sumatera Utara
disediakan atau diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum Et Repertum. Hal ini dapat dilihat dalam kasus pembunuhan yang menggunakan racun, dimana untuk membuktikan seseorang meninggal karena keracunan tidak dapat tubuh korban itu dibawa di depan persidangan. Jadi dibutuhkanlah peran toksikologi dalam pembuatan visum et repertum. Toksikologi dapat mempermudah para dokter yang berwenang untuk melakukan visum serta dijadikan alat bukti surat yang akan dibawa ke persidangan. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah diperlukan untuk memperjelas dan mempermudah pelaksanaan agar sasaran penelitian menjadi runtut, jelas, dan tegas guna mencapai hasil yang diharapkan. Berdasarkan penelitian yang disusun oleh penulis maka perumusan yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah peranan Toksikologi dalam pembuatan Visum Et Repertum terhadap pembuktian tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan racun? 2. Apa saja hambatan dalam pembuatan Visum Et Repertum pada pembuktian tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan racun. C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui peranan toksikologi dalam pembuatan visum et repertum terhadap pembuktian tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan racun. 2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pembuatan visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan racun. Manfaat penulisan skripsi ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Secara teoritis hasil dari penulisan skripsi ini dapat memberi sumbangan bagi perkembangan kajian ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran tentang peranan toksikologi dalam pembuatan visum et repertum. 2. Secara praktis dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat digunakan untuk membangun perkembangan ilmu forensik baik dalam hal toksikologi. D. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi ini adalah berdasarkan hasil pemikiran dari penulis sendiri, skripsi ini belum pernah ada yang membuatnya. Dalam skripsi ini penulis mengambil judul “Peranan Toksikologi Dalam Pembuatan Visum Et Repertum Terhadap pembukt ian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan menggunakan Racun”. Dimana dalam penulisan ini penulis mengarahkan pembahasannya kepada peranan toksikologi dalam pembuatan visum et repertum terhadap tindak pidana pembunuhan dengan racun dan hambatan-hambatan yang dialami saat pembuatan visum et repertum. Judul skripsi ini telah terlebih dahulu penulis konfirmasikan kepada Sekretariat Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara dan belum ada penulis lain yang mengemukakan judul skripsi ini. Seandainya dikemudian hari terdapat skripsi yang sama maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana. Tindak Pidana merupakan pengertian yang selalu ada dalam hukum pidana. Tindak Pidana di Belanda dikenal dengan nama “Strabaarfeit”. Dalam
Universitas Sumatera Utara
perkembangnnya, pengertian Tindak Pidana atau “Strabaarfeit” didefinisikan oleh para sarjana hukum antara lain menurut Hazenwinkel Suringa dalam bukunya Lamintang, yang mendefinisikan tindak pidana adalah suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam satu pergaulan hiduptertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya. 3 Pendapat lain juga dikemukakan oleh Pompe dalam bukunya Lamintang, menyatakan bahwa tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seseorang pelaku, dimana penjatuhan pidana terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum b. Macam-Macam Tindak Pidana Jenis tindak pidana dibagi menjadi beberapa jenis antara lain: 1) Kejahatan dan pelanggaran. Buku II KUHP memuat kejahatan dan buku III memuat tentang pelanggaran. Kriteria yang digunakan dalam KUHP ini bersifat kwantitatif, bahwa kejahatan dipidana lebih berat dari pada pelanggaran. 2) Delik formil dan delik materiil. Delik formil (delik yang dirumuskan secara formil) yaitu delik yang selesai setelah selesai dilakukan perbuatan. Delik materiil (delik yang dirumuskan secara materiil) adalah delik yang selesai dilakukan setelah timbul akibat yang dilarang. 3
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung:, 1996.
Hal. 181.
Universitas Sumatera Utara
3) Delik comissionis dan delik omissionis Delik Comissionis yaitu delik yang berupa berbuat sesuatu. Delik Omissionis adalah delik yang berupa tidak berbuat sesuatu 4) Delik Dolus dan Delik Culpa. Delik dolus yaitu delik yang dilakukan dengan sengaja Delik culpa yaitu delik yang dilakukan dengan alpa. 5) Delik aduan dan Delik Bukan Aduan. Delik aduan yaitu delik yang penuntutannya tergantung pada adanya aduan dari pihak yang dirugikan. Delik bukan aduan yaitu delik biasa, yaitu tanpa ada aduan pelakunya dapat dituntut. 2. Tinjauan Tentang Pembuktian Untuk mengetahui terjadinya suatu peristiwa, sangat dibutuhkan suatu proses kegiatan yang sistematis dengan menggunakan ukuran dan pemikiran yang layak dan rasional. Melakukan pembuktian dalam hukum acara pidana pada dasarnya sangat diharapkan untuk memperoleh kebenaran yang sebenar-benarnya. Untuk hal inilah Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil. a. Pengertian Pembuktian Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, system yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut
Universitas Sumatera Utara
serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. 4 Pembuktian dalam hukum acara pidana (KUHAP) dapat diartikan sebagai suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. 5 Pembuktian merupakan titik sentral dalam proses pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Pembuktian merupakan ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan Undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Selain itu juga mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-undang yang boleh digunakan hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa. 6 Pembuktian juga berarti usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat dipakai hakim sebagai bahan untuk memberi keputusan tentang perkara tersebut 7 Pembuktian juga sebagai suatu usaha untuk membuktikan bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya sehingga harus mempertanggungjawabkannya. 8 Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan tentang alat bukti dan pembuktian yaitu alat adalah sesuatu hal (barang dan non barang) yang 4
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Surabaya, 2003, Hal. 10. 5 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia, Jakarta, 1984, Hal.77. 6 M. yahya Harahap, Op. cit, Hal.252. 7 J.C.T.Simorangkir dkk, kamus Hukum, Bumi Aksara baru, Jakarta, 1995, Hal. 123. 8 Darwan Sabuan dkk, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990, Hal. 185.
Universitas Sumatera Utara
ditentukan Undang-Undang yang dapat digunaan untuk memperkuat dakwaan, tuntutan atau gugatan maupun guna menolak dakwaan, tututan atau gugatan. Sedang pengertian Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut digunakan, diajukan ataupun dipertahankan, sesuatu yang berlaku. b. Teori-Teori Pembuktian Di dalam KUHAP dikenal beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim di dalam melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa di siding pengadilan. Secara teoritis dapat dijelaskan 4 (empat) teori sistem pembuktian yaitu : 9 1) Conviction-in Time Sistem pembuktian Conviction-in Time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian "keyakinan" hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan dan pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian ini, sudah tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas "dasar keyakinan" belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. 9
M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 1985, Hal. 256.
Universitas Sumatera Utara
2) Conviction-Raisonee Dalam sistem ini pun dapat dikatakan "keyakinan hakim" tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian conviction-in Time peran "keyakinan hakim" leluasa tanpa batas maka pada sistem convection-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan "alasan-alasan yang jelas". Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus "reasonable", yakni berdasar alasan yang dapat diterima. 3) Sistem Pembuktian Positif Pembuktian ini merupakan kontroversi dari sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction-in time. Dalam pembuktian ini peran hakim tidak ikut berperan menentukan salah tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada pembuktian menurut undang-undang. Untuk membuktikan salah tidaknya seorang terdakwa maka harus berdasarkan alat-alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah itulah yang terdapat dalam undang-undang. Dengan kata lain bahwa tanpa alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang maka hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap kesalahan terdakwa. Sebaliknya ialah jika buktibukti yang sah berdasarkan undang-undang telah dipenuhi maka hakim dapat menentukan kesalahan terdakwa.
4) Sistem Pembuktian Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)
Universitas Sumatera Utara
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian keyakinan hakim atau Conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan menurut undang-undang secara negatif "menggabungkan" ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari penggabungan kedua sistem tersebut terwujudlah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Bertitiktolak dari uraian di atas, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif,
terdapat dua
komponen : a) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, b) Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Asas Negatief Wettelijk Stelsel ini diatur juga dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Setelah dijelaskan beberapa sistem pembuktian sebagai bahan perbandingan, pada bagian ini Penulis hendak mengkaji sistem pembuktian yang dianut dan diatur didalam KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP ditegaskan "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya". Dalam rumusan pasal
Universitas Sumatera Utara
tersebut sangat jelas bahwa tanpa dua alat bukti yang sah maka seorang terdakwa tidak dapat dipidana. Sama halnya bagi Polri ataupun pihak kejaksaan (kasus Tindak Pidana Tertentu) dalam melakukan penangkapan harus mempunyai bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP). Akan tetapi sebaliknya apabila terdapat cukup bukti maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah dan dipidana berdasarkan jenis tindak pidana yang dilakukannya. Dalam Hukum Acara Pidana dipakai yang dinamakan sistem negatif menurut Undang-Undang, sistem mana terkandung dalam pasal 294 ayat 1 RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), yang berbunyi sebagai berikut : "Tiada seorangpun dapat dihukum, kecuali jika hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya". 10 3. Tinjauan tentang Toksikologi a. Pengertian Toksikologi Toksikologi merupakan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan sumber, karakteristik dan kandungan racun, gejala dan tanda yang disebabkan racun, dosis fatal, periode fatal dan penatalaksanaan kasus keracunan. 11 Secara sederhana dan ringkas, toksikologi didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap mahluk hidup dan system biologi lainnya. 12 Dari definisi di atas, jelas terlihat bahwa dalam toksikologi terdapat unsur-unsur yang saling berinteraksi dengan suatu cara-cara tertentu untuk menimbulkan respon pada sistem biologi yang dapat
10
Prof. R. Subekti, SH., Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Cet ke 13, 2001,
Hal. 7. 11
Chadha, P.V.Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi., Widya Medika, Jakarta. 1995, Hal 217. 12 Lu, Frank C, Toksikologi Dasar, Asas, Organ sasaran, dan penilaian resiko, UIP, Hal 1.
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan kerusakan pada sistem biologi tersebut. Salah satu unsur toksikologi adalah agen-agen kimia atau fisika yang mampu menimbulkan respon pada system biologi. Selanjutnya cara-cara pemaparan merupakan unsur lain yang turut menentukan timbulnya efek-efek yang tidak diinginkan ini. 13 Toksikologi merupakan ilmu yang sangat luas yang mencakup berbagai disiplin ilmu yang sudah ada seperti ilmu kimia, Farmakologi, Biokimia, Forensik Medicine dan lain-lain, yang terus berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu lainnya. Menurut Ahli Kimia toksikologi adalah ilmu yang bersangkutan paut dengan efek-efek dan mekanisme kerja yang merugikan dari agent-agent kimia terhadap binatang dan manusia. Sedangkan dari para ahli farmakologi, toksikologi merupakan cabang farmakologi yang berhubungan dengan efek samping zat kimia di dalam sistembiologik. Toksikologi mempelajari keracunan oleh karena berbagai zat kimia/terutama obat, termasuk di dalamnya diagnostik keracunan, tindakan pengobatan dan pencegahan. Secara umum terjadinya keracunan dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis yaitu karena disengaja atau yang berkaitan dengan usaha bunuh diri ataupun penyalahgunaan obat-obatan dan karena tidak sengaja atau berkaitan dengan kecelakaan kerja, atau ketidaksadaran maupun ketidaktahuan seseorang terhadap suatu produk tertentu yang dapat menimbulkan keracunan. Tingkat efek racun terhadap tubuh sangat dipengaruhi oleh beberapa factor seperti sifat kimia bahan penyebab keracunan, dosis, lama paparan dan rute paparan, faktor individu korban seperti umur, jenis
13
http://id.wikipedia.org/wiki/Toksikologi, Diakses pada tanggal 30 april 2010 pukul 10.31 WIB.
Universitas Sumatera Utara
kelamin, derajat kesehatan tubuh, daya tahan tubuh, kebiasaan, nutrisi, serta faktor genetika. 14 4. Tinjauan Tentang Visum Et Repertum a. Pengertian Visum Et Repertum Dalam hal terjadinya tindak pidana yang berhubungan dengan tubuh, kesehatan atau nyawa manusia seperti penganiayaan, pemerkosaan, peracunan, pembunuhan dan sebagainya, maka sangat dibutuhkan bantuan dari seorang dokter dalam membantu penyidikan bagi kepentingan peradilan. Pada dasarnya istilah visum et repertum merupakan istilah kedokteran dan bukan istilah hukum. Oleh karena itu dapat dimaklumi bahwa masyarakat pada umumnya kurang memahami dan mengerti apa sebenarnya pengertian dan sejauh mana peranan visum dalam tindak pidana yang mengakibatkan kematian. Di dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga tidak ditemukan istilah maupun pengertian visum et repertum, tetapi yang dapat ditemukan adalah keterangan ahli yaitu apa yang dinyatakan seorang ahli di dalam persidangan baik tulisan dalam bentuk laporan maupun lisan yang disampaikan langsung di dalam persidangan. Visum et repertum juga berarti surat keterangan/laporan dari seorang ahli mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu misalnya terhadap mayat dan dipergunakan untuk pembuktian di pengadilan. 15 Sudarsono mengungkapkan bahwa visum et repertum adalah merupakan surat keterangan dari seorang dokter atau ahli lainnya yang sejenis yang berisi
14
http://larascookie.wordpress.com/Toxicology alias Toksikologi « Laras-Cookie Punya WeBlog.html. Diakses pada tanggal 30 april 2010 pukul 11.08 WIB. 15 J.C.T.Simorangkir dkk, Op, Cit, Hal. 183.
Universitas Sumatera Utara
kesimpulan suatu pemeriksaan yang telah dilakukannya sesuai dengan profesi yang dimilikinya. 16 Menurut R. Atang Ranoemi hardja, visum et repertum adalah suatu keterangan tentang apa yang dilihat dan diketemukan di dalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang luka atau terhadap mayat. 17 Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa visum et repertum adalah hasil pemeriksaan dokter berdasarkan apa yang dilihat dan diketahui dari sesuatu yang diperiksa berdasarkan ilmu penetahuan yang dimiliki guna kepentingan pengadilan. Hasil pemeriksaan ini dapat diberikan secara tertulis maupun secara langsung menurut waktu pemeriksaan perkara yang bersangkutan. Berarti visum et repertum ini merupakan pengganti barang bukti yang sebenarnya yaitu berupa tubuh manusia baik dalam keadaan hidup maupun dalam keadaan mati/mayat, yang mana barang bukti ini tidak mungkin untuk dihadirkan dalam persidangan karena tubuh manusia yang masih hidup akan mengalami perubahan atau jika berupa mayat tentu harus sudah dikuburkan karena akan membusuk. Visum et repertum berguna untuk membantu hakim akan suatu kenyataan atau fakta dari barang bukti tersebut atas semua keadaan sebagai mana
tertuang dalam pemberitaan hakim di persidangan dalam mengambil
keputusan dengan tepat dan atas dasar kenyataan atau fakta sebenarnya. 5. Tinjauan tentang Racun a. Pengertian Racun Racun adalah unsur dalam bentuk apapun yang dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara apapun, yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan, 16 17
Sudarsono, Kamus Hukum, Rineke Cipta, Jakarta, 1992, Hal. 570. R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Tarsito, Bandung, 1983,
Hal.18.
Universitas Sumatera Utara
penyakit atau kematian. Ada kalanya sesuatu unsur bisa menjadi racun hanya dalam keadaan tertentu saja, misalnya unsur kalium yang dibutuhkan tubuh manusia dalam jumlah yang sedikit, tetapi jika terjadi hipokalemia akan berbahaya bagi tubuh. Racun bisa merupakan racun sintesis, berasal dari mineral, hewan atau tumbuhan. Cara pemasukan dalam tubuh bisa melalui mulut, suntikan, inhalasi atau penyerapan melalui kulit dan membran mukosa. 18 Definisi yang kiranya mendekati kenyataan berasal dari Taylor, yang mengatakan bahwa racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil masuk ke dalam tubuh kita dan bekerja secara kimiawi, menimbulkan gejala-gejala abnormal sampai kematian. 19 Keracunan dapat disebabkan oleh bermacam-macam : 20 1) Bahan-bahan kimia beracun (bersifat racun) 2) Racun yang terdapat pada tumbuhan-tumbuhan seperti ubi ketela yang mengandung asam sianida (HCn), jengkol, pohon tuba (derris), sebangsa jamur, dan sebagainya. 3) Racun binatang berbisa seperti ular berbisa, kalajengking, tawon, dan sebangsa laba-laba. 4) Racun yang retdapat pada bahan-bahan makanan yang terjadi karena perubahan-perubahan kimia (fermentasi) dan adanya bakteri karena pembusukan atau daging busuk, tempe bongkrek, racun yang terdapat pada udang dan kepiting.
18
Chadha, P.V ,Op.cit, Hal. 217. I. Ketut Murtika dan Djoko Prakoso. Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, Hal. 219. 20 A. Adiwisastra, Keracunan, Sumber, Bahaya serta Penanggulangannya, Angkasa, Bandung, 1985, Hal. 2. 19
Universitas Sumatera Utara
Cara masuknya bahan-bahan beracun (toksis) dan penyerapannya ke dalam tubuh, dapat melalui tiga jalan, yaitu : 21 1) Melalui mulut/alat pencernaan dengan jalan termakan atau terminum ; melalui mulut jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh tangan yang kotor atau tangan yang tercemar oleh bahan-bahan beracun, dapat juga melalui makanan yang tercemar dan dapat juga karena disengaja mencampurkan bahan-bahan beracun pada makanan dalam usaha bunuh diri atau pembunuhan. 2) Melalui kulit dengan jalan kontak/bersentuhan, tertumpah ke kulit dengan jalan tusukan atau gigitan binatang berbisa, melalui suntikan seperti obatobat narkotika; melalui penyerapan kulit lebih sering terjadi, biasanya terjadi pada pekerja-pekerja yang sehari-harinya bergaul dengan bahanbahan kimia seperti keracunan oleh CS2 (carbon disulfide), air raksa, Hg (mercury), Pb dan senyawaan organic lainnya seperti senyawaan arsen, aniline, dan sebagainya. Bahan kimia tersebut menimbulkan kerusakankerusakan setempat pada kulit, dapat menimbulkan keracunan sistemik, yaitu keracunan yang mempengaruhi/merusak bagian organ tubuh bagian dalam. 3) Melalui alat pernafasan dengan jalan aspirasi (penghisapan). Keracunan melalui alat pernafasan paling banyak terjadi dan merupakan hal yang harus diperhatikan oleh setiap orang, karena penyerapan bahan kimia melalui alat pernafasan sebagian dari bahan kimia tersebut diserap oleh selaput lender bagian atas alat pernafasan dan sebagian lagi menembus jaringan paru-paru.
21
Ibid, Hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
Bahan-bahan kimia beracun atau bahan-bahan racun lainnya dapat menimbulkan gangguan kesehatan dalam berbagai bentuk: 22 1) Menpengaruhi sistem sirkulasi darah: a) Jaringan darah (pembuluh darah), menimbulkan shock disebabkan berkurangnya aliran darah (vasogenic shock) dan berkurangnya volume darah pada jaringan sel-sel otak yang disebabkan adanya penyempitan pembuluh-pembuluh darah. b) Jantung merendahkan tekanan/denyut jantung, terlalu banyak darah mengalir ke jantung atau terlalu banyak darah di dalam jantung. c) Irama detak jantung tidak teratur. d) Jantung mendadak berhenti. 2) Mempengaruhi sistem saraf pusat: a) Rasa sakit, b) Rangsangan saraf sentral yang berlebihan, banyak bicara, timbulnya kejang-kejang dan berkurangnya zat pembakaran dalam darah, c) Depresi terhadap saraf pusat ditandai dengan timbulnya kelumpuhan reflek umum, terhentinya alat pernapasan dan gangguan metabolism dalam sel-sel otak, d) Gangguan dan kelainan psikis (kejiwaan). 3) Pengaruh terhadap alat pencernaan seperti rongga mulut, rasa mual, muntah, rasa sakit daerah lambung, dan mencret. 4) Pengaruh terhadap alat perkencingan, seperti gangguan pengeluaran air kencing/kencing sedikit-sedikit gejala gangguan ginjal.
22
Ibid, Hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
5) Kerusakan pada hati, pingsan disebabkan gangguan pada hati. 6) Pengaruh terhadap keseimbangan air dalam elektrolit dalam tubuh (dehidrasi), yaitu keseimbangan garam, keseimbangan asam dan basa, gangguan keseimbangan postasium dan kalsium dalam darah. 7) Luka bakar kimia pada kulit. F. Metode penulisan Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam mengerjakan skripsi ini antara lain: 1. Spesifikasi Penelitian Dalam hal penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normative. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hokum yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini. 2. Jenis Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder dan didukung dengan data primer. Data sekunder meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet, dan bahan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan dokter spesialis forensik. 3. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode library research (penelitian kepustakaan) yakni dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, bukubuku, dan situs internet. Dan juga metode field research (penelitian lapangan) dengan melakukan wawancara dengan narasumber yang diperlukan.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data Data sekunder dan data primer yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab pertanyaan dalam skripsi ini, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan dianalisis secara utuh dan menyeluruh. G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dan membantu pembaca untuk memahami skripsi ini, penulis akan menguraikan secara singkat gambaran isi dan sistematika penulisan skripsi ini. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis membaginya dalam 4 (empat) bab, dimana tiap-tiap bab dibagi lagi atau pembagian sub bab. Maksud dari pembagian sub bab ini adalah untuk mempermudah penulis dalam menguraikan permasalahan secara teoritis hingga akhirnya diperoleh kesimpulan dan saran. Gambaran keempat bab skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang penulis dalam penulisan skripsi ini dengan judul “Peranan Toksikologi Dalam Pembuatan Pembunuhan
Visum
Et
Dengan
Repertum Terhadap menggunakan
pembuktian
Racun”.
Tindak
Permasalahan
Pidana tentang
Bagaimanakah peranan Toksikologi dalam pembuatan Visum Et Repertum terhadap pembuktian tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan racun dan Apa saja hambatan dalam pembuatan Visum Et Repertum pada pembuktian tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan racun, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan yang membahas tentang pembuktian dalam tindak pidana, pengertian toksikologi dan visum et repertum, dan pengertian racun, kemudian metode penelitian dan sistematika penelitian.
Universitas Sumatera Utara
BAB II : PERANAN TOKSIKOLOGI DALAM PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGANMENGGUNAKAN RACUN Bab ini membahas mengenai peranan toksikologi dalam pembuatan visum et
repertum
terhadap
pembuktian
tindak
pidana
pembunuhan
dengan
menggunakan racun, dan pembuktian tindak pidana pembunuhan dengan racun melalui visum et repertum. BAB III : HAMBATAN DALAM PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM PADA
PEMBUKTIAN
TINDAK
PIDANA
PEMBUNUHAN
DENGAN MENGGUNAKAN RACUN Bab ini membahas mengenai tata cara pengajuan visum et repertum dan apa saja hambatan-hambatan yang dialami dalam pembuatan visum et repertum pada tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan racun. BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN Pada bagian ini merupakan bagian penutup yang berisikan kesimpulan dan saran, dimana dalam bab ini penulis mengemukakan hal-hal yang penting dari pembahasan tentang permasalahan yang diuraikan di skripsi serta saran-saran yang dianggap perlu dalam usaha menuju perbaikan dan kesempurnaan.
Universitas Sumatera Utara