BA B I PENDAHULUAN
A.
L a ta r B elak an g
Gagasan akan pentingnya keberadaan perw akilan daerah di parlemen, pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi pertam a Indonesia U ndang-undang D asar 1945, dengan konsep “utusan daerah” di dalam M ajelis Perm usyaw aratan Rakyat (MPR), yang bersanding
dengan “utusan golongan” dan anggota Dewan
Perw akilan R akyat (D PR ).1 Hal tersebut diatur dalam Pasal (2) U ndang-undang D asar 1945, yang menyatakan bahw a M PR terdiri atas anggota D PR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, m enurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.2 Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945 tersebut kem udian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundangundangan.3 D alam periode konstitusi berikutnya, UUD R epublik Indonesia Serikat (RIS), gagasan tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia Serikat yang mewakili negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS. Selanjutnya, dalam UUD Sem entara (UUDS) 1950 (Undang-Undang No. 7 Tahun 1950) tetap m engakomodasi Senat yang sudah ada sebelumnya, selama masa transisi berlangsung. M asa transisi ini ada karena UUDS 1950, yang dibuat untuk menghentikan federalisme ini, secara khusus m engam anatkan adanya pem ilihan um um (Pemilu) dan pem ilihan anggota K onstituante untuk membuat 1 Jimly Asshiddiqie, 2012, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 13. 2 Pasal (2) Sebelum Perubahan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 3 “Menurut Aturan yang ditentukan undang-undang” dengan mangadakan tafsiran yang luas maka, ketentuan di atas mengandung arti pula, bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat akan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan demikian yang akan diatur dengan undangundang tidak hanya akan diatur undang-undang tentang susunan Majelis atau apa yang dimaksud dengan utusan daerah serta golongan-golongan. 1
UUD
yang definitif yang akan menjadi landasan bentuk dan pola baru
pem erintahan Indonesia. K arena itulah, adanya Senat dalam UUDS 1950 hanya diberlakukan selagi Pem ilu yang direncanakan belum terlaksana (kem udian terlaksana pada tahun 1955). Dalam sistem perw akilan UUDS itu sendiri, Senat ditiadakan karena bentuk negara tidak lagi federal. Setelah UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, Indonesia kem bali ke UUD
1945 melalui D ekrit Presiden 5 Juli
1959.4
Konsekuensinya, utusan daerah kem bali hadir. Dekrit ini lantas diikuti dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959 tentang Pem bentukan M PR Sementara (M PRS) dan Penetapan Presiden No. 12 tahun 1959 tentang Susunan MPRS. Penetapan Presiden No. 12/1959 ini m enetapkan bahw a M PRS terdiri dari anggota DPRS (hasil Pem ilu 1955) ditambah utusan daerah dan golongan karya.5 A nggota M PRS tidak dipilih melalui Pemilu, m elainkan melalui penunjukan oleh Soekarno. Kem udian Soekarno memangkas fungsi, kedudukan, dan w ew enang M PRS melalui K etetapan M PRS No. 1 Tahun 1960 sehingga M PRS hanya bisa m enetapkan Garis B esar H aluan N egara (GBHN), tanpa bisa m engubah UUD. Pada masa pem erintahan Soeharto, skema ini tidak berubah. U tusan daerah sebagai anggota M PR hanya bekerja sekali dalam lima tahun, untuk memilih Presiden dan W akil Presiden, serta menetapkan GBHN. Tidak ada hal lainnya yang dapat dilakukan oleh utusan daerah selam a lima tahun m asa jabatannya. Akibatnya, efektivitasnya sebagai wakil daerah dalam pengam bilan keputusan tingkat nasional dapat dipertanyakan. Bila dibandingkan dengan konsep parlem en 4 Sri Soemantri, 1993, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 66. 5 Moh. Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, 1980 , Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan ke 3, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Hlm. 213 214 2
dua kam ar (bikameral) yang menjadi rujukan perw akilan daerah, keberadaan utusan daerah ini berada di luar konteks. Sejalan
perkem bangan
pem ikiran
yang
signifikan
dengan
tuntutan
dem okrasi guna m emenuhi rasa keadilan m asyarakat di daerah, memperluas serta m eningkatkan sem angat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional serta untuk m em perkuat N egara K esatuan Republik Indonesia, maka dalam rangka perubahan konstitusi pada tahun 1999 sampai 2002, M PR RI m em bentuk sebuah lem baga perw akilan baru, yakni D ew an Perw akilan D aerah Republik Indonesia (DPD R I).6 Pem bentukan D PD RI ini dilakukan melalui perubahan ketiga U ndang-Undang D asar N egara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan N ovem ber 2001. Sejak perubahan itu, maka sistem perw akilan dan parlem en di Indonesia berubah dari sistem unikam eral menjadi sistem bikameral. Perubahan tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap pem bahasan yang cukup panjang baik di m asyarakat m aupun di M PR RI, khususnya di Panitia Ad H oc I.7 Proses perubahan di M PR RI selain m em perhatikan tuntutan politik dan pandangan-pandangan yang berkem bang bersam a reformasi, ju g a melibatkan pem bahasan yang bersifat akademis, dengan mempelajari sistem pem erintahan yang berlaku di negara-negara lain khususnya di negara yang m enganut paham demokrasi. D alam proses pem bahasan tersebut, berkem bang kuat pandangan tentang perlu adanya lem baga yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan daerah, serta untuk m enjaga keseim bangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah,
secara adil dan serasi. Gagasan dasar pem bentukan DPD RI adalah
6 Mariam Budiarjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 348-349 7 Ibid, hlm. 349 B
keinginan untuk lebih m engakom odasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengam bilan keputusan politik untuk daerah.
hal-hal terutam a yang berkaitan langsung dengan kepentingan
K einginan
tersebut
berangkat
dari
indikasi
yang
nyata
bahw a
pengam bilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata telah m engakibatkan ketim pangan dan rasa ketidak adilan, dan diantaranya ju g a memberi indikasi ancam an keutuhan w ilayah negara dan persatuan nasional. K eberadaan unsur U tusan D aerah dalam keanggotaan M PR RI selama ini (sebelum dilakukan perubahan terhadap U ndang-undang D asar 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut. N am un Perubahan sistem badan perw akilan di Indonesia berubah dari sistem m onokameral ke sistem bikameral, bahw a sistem bikam eral yang diselenggarakan di Indonesia berbeda dengan sistem bikam eral negara-negara lain8. D alam hal ini perlu kita ketahui bahw a apa yang dikenal
dengan sistem bikam eral diberbagai negara di dunia
adalah sistem dua kam ar yang kuat (strong bicameralisme). Sehingga kedua kam ar (Lem baga Parlem en) dilengkapi dengan kew enangan yang sam a-sam a kuat dan saling mengimbangi satu terhadap yang lain, bahkan ditam bah dengan hak veto. Dalam Congress A m erika serikat, misalnya, D PR dan senat punya kesem patan
untuk
m engecek
semua
rancangan
undang-undang
sebelum
disam paikan kepada Presiden. D engan demikian, dalam fungsi legislasi, senat punya kew enangan yang relatif seimbang dengan DPR. Tidak hanya di A m erika Serikat, dalam praktik sistem dua kam ar Inggris, H ouse of Lord punya peran yang relatif berim bang dengan H ouse of Com mons.
8 Sulardi, Aspek Hukum Sistem Bicameral di Indonesia, surya, Rabu 9 Oktober 2002 4
Jika
dibandingkan
dengan
Kongres
A m erika
Serikat
maka
sistem
bikam eral yang kita gunakan memiliki beberapa perbedaan. W alaupun dari proses pengisiannya
D PD dan Senat memiliki persam aan yaitu melalui pem ilihan
umum, nam un lebih jauh Arrend Lijphart mengem ukakan perbedaan tersebut terlihat m encolok dalam hal pem bagian w ew enag legislasi. Kongres Amerika Serikat merupan pem egang kekuasaan Legislasi dan m erupakan jo in t
session
antara senat dan DPR. K ekuasaan dibidang legislasi dibagikan pada m asingmasing kam ar sehingga A m erika Serikat digolongkan pada strong bicam eral yang sym etrical congruent. D alam kontek Indonesia dew asa ini dim ana otonom i daerah makin cenderung federalistik, mulai muncul usulan agar struktur parlemen yang dianut adalah yang bersifat”strong becameralism ””9 Berdasarkan Pasal 22D UUD 1945 yang diam andem en disebutkan bahw a DPD dapat m engajukan RU U tertentu kepada D PR dan ikut membahas RU U tertentu bersam a DPR. Bidang-bidang yang m em ungkinkan DPD m engajukan R U U atau ikut membahas RU U adalah yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pem erintah pusat dan daerah, pem bentukan dan pem ekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnnya, serta yang berkaitan dengan perim bangan keuangan pusat dan daerah. Dalam fungsi pertimbangan, DPD memberi pertim bangan kepada D PR atas RU U APBN, R U U yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama, serta pertim bangan dalam hal pem ilihan BPK. D isam ping itu DPD mempunyai fungsi pengaw asan terhadap pelaksanaan U U dalam bidang-bidang dim ana DPD dapat m engajukan RUU, ikut membahas dan m em berikan pertimbangan. Pengaw asan
9 2004, hlm. 17
Wahyudi Himawan, Pemilu 2004 Akan Relatif Damai, Suara Muhammadyah, Februari
5
secara tidak langsung D PD dapat terjadi dengan m enerim a laporan BPK. H asilhasil pengaw asan DPD disam paikan kepada D PR sebagai bahan pertim bangan untuk ditindaklanjuti. D ari rum usan UUD 1945 tersebut, kita dapat mengetahui bahw a D PD sebagai lem baga perw akilan D aerah mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, fungsi pertim bangan dan fungsi pengawasan. K ritik yang sering ditujukan kepada perubahan ketiga UUD adalah lem ahnya
w ew enang
DPD.
Sehingga,
konsep
bikam eral
tersebut
sering
dibahasakan sebagai “w eak bicam eral” atau “soft bicam eral".10 Istilah ini muncul dalam sistem parlem en di Indonesia, karena D PD mempunyai w ew enang yang sangat terbatas dan hanya terkait dengan soal-soal kedaerahan. D alam konstitusi ditentukan bahw a D PD hanya dapat m engajukan RUU, ikut membahas R U U dan dapat melakukan pengaw asan atas pelaksanaan undang-undang, dengan catatan bahw a kew enangan tersebut hanya terbatas pada undang-undang yang berkaitan dengan otonom i daerah (Pasal 22D UUD N R I 1945). Senada dengan hal tersebut Denny Indrayana m engem ukakan : W eak bicameralism sebaiknya dihindari karena akan m enghilangkan tujuan bikam eral itu sendiri, yaitu sifat saling kontrol di antara kedua kamarnya. Artinya, dominasi salah satu kam ar m enyebabkan w eak bicameralism hanya menjadi bentuk lain dari sistem parlem en satu kam ar (unicameral). Di sisi lain, p erfect bicameralism bukan pula pilihan ideal, karena kekuasaan yang terlalu seimbang antara M ajelis R endah dan M ajelis Tinggi memang seakan-akan m elancarkan fungsi kontrol antara kam ar di parlemen, nam un sebenarnya juga berpotensi m eyebabkan kebuntuhan tugas-tugas parlemen, namun sebenarnya ju g a berpotensi m enyebabkan kebuntuan tugas-tugas parlemen. Yang menjadi pilihan, karenanya, adalah terw ujudnya sistem strong bicam eralism .11
10 Arrend Lijphart, Pattens o f Democrary Form and Performance in Thirty Six Countries, dalam bukunya A.M Fatwa, 2004, Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi, Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode 1999-2004, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, hlm. 31. 11 Denny Indarayana, 2005, DPD, Antara (ti) Ada dan Tiada, dalam Menapak Tahun Pertama “Laporan Pertanggungjawaban Satu Tahun Masa Sidang Intsiawati Ayus Anggota DPD6
Pendapat
Denny
Indrayana
tersebut
m enguatkan
bahw a
Weak
Bicam eralism hanya menjadi bentuk lain dari sistem parlem en satu kamar (unicameral) lebih lanjut ia menyatakan yang menjadi pilihan adalah terw ujudnya sistem strong bicameralism. D ari keseluruhan wew enang D PD sebagaimana yang telah
dijelaskan dia atas tersebut dapat terlihat bahw a porsi kewenangan D PD
hanya berkisar dalam tahap pem bahasan dengan DPR. Artinya, keputusan mengenai undang-undang sepenuhnya ada di tangan DPR dan pemerintah. Kondisi tersebut dapat disimpulkan, bahw a Indonesia saat ini m enerapkan bikam eral lem ah atau „weak bicam eralism ’ atau „soft bicam eralism ’. Secara tidak langsung dalam argum en ini
m enegaskan bahw a konsep bikam eral sendiri
sebenarnya
DPD
tidak
diterapkan.
bahkan
tidak
m empunyai
„kekuatan
konstitusional’ untuk berkompetisi. K arena DPD sesungguhnya tidak m empunyai w ew enang sampai pada tingkat pengambil keputusan, term asuk dalam proses legislasi. Seluruh w ew enang DPD hanya sampai pada tingkat mem berikan pertimbangan.
K alaupun
ia
dapat
m engajukan
rancangan
undang-undang,
kekuatannya pun tidak m utlak karena Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD N R I 1945 sudah jelas m enyatakan bahw a kekuasaan legislasi ada pada DPR, dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh D PR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersam a.12 Terlihat jelas, pengam bilan keputusan mengenai legislasi hanya dilakukan oleh D PR dan P residen.13 DPD dapat ikut membahas, tetapi tidak untuk mengambil keputusan.
RI Riau, the Prepheral Institute, hlm. 15. Sebagaimana yang di Kutip Dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Grafido Persada, Jakarta. hlm 234. 12 Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-undang, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 21. 13 Ibid, hlm. 29 7
D em ikian pula dalam hal m engusulkan rancangan undang-undang. Tata Tertib D PR kem udian memang m engatur adanya pem bahasan terhadap rancangan undang-undang usulan DPD, tetapi komisi terkait di D PR dan B adan L egislatif D PR bisa m enolak rancangan tersebut dan tidak diwajibkan untuk menerimanya. Begitu pula dalam konteks fungsi pengawasan, D PD
hanya mem berikan
pertimbangan, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh D PR melalui tiga hak kelem bagaan DPR, yaitu hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat14. Dengan hal ini semakin terlihat jelas bahw a DPD seakan hanya menjadi penasehat D PR dalam soal-soal yang berkaitan dengan daerah, tanpa memiliki suara
untuk
m enentukan
kebijakan.
Di
sinilah
letak
kelem ahan
konsep
“bikam eral” . D engan kew enangan DPD yang begitu terbatas DPD tidak dapat dikatakan m empunyai fungsi legislasi.15 D engan kata lain, DPD hanya memberi m asukan sedangkan yang m em utuskan adalah D PR sehingga DPD ini lebih tepat disebut
sebagai
D ew an
Pertim bangan
D PR
karena
kedudukannya
hanya
m em berikan pertim bangan kepada D P R .16 UUD tidak m engatur secara tegas apa saja hak-hak DPD dan hak Anggota. Selain itu, tidak diatur bagaim ana membahas rancangan undang-undang dari DPD, dan lain-lain. Seharusnya, aturan-aturan yang m enyangkut mekanisme, hak-hak yang m elekat pada DPD, diatur serupa dengan ketentuan mengenai D PR .17 Dari penegasan dalam pasal 22D, Pasal 22E dan pasal 22F berkenaan dengan tugas dan wew enang DPD terlihat bahw a UUD 1945 tidak m engatur secara kom prehensif tentang DPD, pengaturan tentang DPD sagat sumir. DPD 14 Pasal 224 ayat ( i) huruf F Undang-undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. 15 Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi, Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 257 16 Ni’Matul Huda, 2010, Hukum Tata Negara, Gravindo Persada, Jakarta. hlm. 182 17 Ibid, hlm. 183 s
sama sekali tidak m empunyai kekuasaan apa pun. Tidak hanya itu Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 secara eksplesit m enentukan bahw a fungsi legislasi hanya dimiliki oleh DPR. Selanjutnnya kew enangan “dapat m engajukan” dan “ikut m em bahas” sejumlah pasal dalam U ndang-undang N om or 27 tahun 2009 tentang M ajelis Perm usyaw aratan Rakyat, D ew an Perw akilan Rakyat, D ew an Perw akilan Daerah, dan D ew an Perw akilan Rakyat D aerah dan U ndang-undang N om or 12 tahun 2011 tentang Pem bentukan Peraturan Perundang-undangan
makin
mempersempit
kew enangan DPD. M elihat kew enangan yang terdapat dalam pasal 22D UUD 1945 ditambah dengan sulitnya menjadi anggota DPD,
Stephen Sherlock
m em berikan penilaian yang menarik. M enurut peneliti dari A ustralian N ational U niversity ini, D PD m erupakan contoh yang tidak lazim dalam praktik lem baga perw akilan rakyat dengan sistem bicameral karena m erupakan kom binasi dari lem baga dengan kew enangan yang am at terbatas dan legitim asi tinggi ( represents the o d d combination o f lim ited pow ers a n d high legitim acy).1 D engan kew enangan-kewenangan yang dimiliki D PD seperti yang telah dipaparkan maka D PD tidak lebih dari sekedar aksesoris DPR. Sehingga sangat w ajar DPD m engajukan penguatan kelem bagaan dengan m engajukan perubahan kom prehensif terhadap UUD 194519. Adapun upaya minimal yang telah dilakukan adalah dengan m engajukan perm ohonan pengujian terhadap U ndang-undang N om or 27 tahun 2009 tentang M PR, DPR, DPD, dan DPRD dan U ndang-undang N om or 12 tahun 2011 tentang Pem bentukan Peraturan Perundang-undangan.
18 Stephen Sherlock, 2010, Sebagaimana yang dikutip dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Op. Cip, hlm 257. 19 DPD pernah menggalang dukungan untuk melakukan usul perubahan terhadap Pasal 22D UUD 1945 dan mendorong penguatan DPD yang lebih utuh dengan melakukan perubahan UUD 1945 terhadap beberapa pasal terkait yakni Pasal 2, Pasal 7, Pasal 20, dan Pasal 23 UUD 1945. Akan tetapi DPD tidak memiliki dukungan yang signifikan dari para anggota MPR. DPD juga telah menghasilkan Naskah Akademik dan draf Perubahan Komprehensif UUD 1945. 9
Dengan adanya uji materil yang dilakukan pasca putusan M ahkam ah K onstitusi (MK) tertanggal 27 M aret 2013 m em berikan kew enangan bagi D ew an Perw akilan D aerah (DPD) dalam bidang legislasi itu m engubah secara radikal dalam proses legislasi
nasional,
yang
m em berikan
dam pak
signifikan
dalam
merubah
ketatanegaraan di Indonesia serta kedepannya DPD RI akan terlibat dalam program legislasi nasional (prolegnas) yang berhubungan dengan otonom i daerah. Putusan M ahkam ah Konstitusi ini kembali m engingatkan bahw a hukum tidak boleh
dibuat,
ditetapkan,
ditafsirkan
dan
ditegakkan
dengan tangan besi
berdasarkan kekuasaan belaka (m achtstaat).20 Prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan m engabaikan prinsip-prinsip dem okrasi yang diatur dalam konstitusi. Sebab, puncak kekuasaan hukum diletakkan pada konstitusi yang pada hakekatnya m erupakan dokumen kesepakatan tentang sistem kenegaraan yang tertinggi. Sehingga keberadaan M ahkam ah K onstitusi sangat penting, M ahkam ah Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi undangundang yang dihasilkan oleh D ew an Perw akilan R akyat bersam a-sam a Presiden dalam
penyelenggaraan
negara
yang
berdasarkan
hukum
yang
m engatur
perikehidupan m asyarakat bernegara.21 undang-undang yang dihasilkan oleh L egislatif (Dewan Perw akilan Rakyat bersam a Presiden) diimbangi oleh adanya pengujian
formal
dan
materil
dari
cabang
yudisial
melalui
M ahkam ah
K onstitusi.22 M ahkam ah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakim an tidak
20 Jimly Asshiddiqie, 2011, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 57 21 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, 2006, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya dalam sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 31. 22 Ibid hal. 32.
10
dapat dilepaskan dari negara hukum, karena kekuasaan kehakim an m erupakan bagian
dari
salah
satu
negara
hukum .23 D alam
konteks
sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 1 Ayat (3) UUD
negara
hukum
1945 N egara
indonesia adalah negara hukum. D alam negara hukum dasar dari kekuasaan negara adalah hukum dan penggunaan kekuasaan itu dalam segala bentuk keberadaannya diletakkan dibawah hukum. Terjadinya perkem bangan negara hukum yang demokratis, terlihat dalam hubungan antara negara dan hukum, tidak terjadi sendirinya. Dengan adanya perim bangan kew enangan pasca putusan M ahkam ah Konstitusi antar-kam ar dalam pelaksanaan fungsi parlem en
seperti fungsi
legislasi, anggaran, kontrol, representasi, dan rekrutm en politik. D ari semua fungsi tersebut, perim bangan dalam fungsi legislasi menjadi faktor utam a dalam mekanisme lem baga perw akilan rakyat.
Bivitri juga m enyatakan perlunya
peningkatan w ew enang DPD. Setidaknya ada 3 (tiga) alasan, yaitu pem benahan sistem ketatanegaraan, akomodasi, terhadap aspirasi kepentingan daerah dan m enghidupkan
mekanism e
check a n d
perim bangan itu, terutam a dalam m elaksanakan
mekanisme
balances24.
Bagaimanapun,
sistem dua kamar,
checks a n d balances
dengan
dim aksudkan untuk
antar kam ar di lem baga
perw akilan rakyat. Dalam kesem patan lain Jimly Asshiddiqie ju g a menyatakan dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat m enguntungkan karena dapat menjam in semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengaw asan dapat diperiksa dua kali (double check). K eunggulan sistem double check ini semakin
23 Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Kreasi Total Media, Yogyakarta, hlm. 82. 24 Marwan Batubara, Mengawal Tuntutan Rakyat Kepedulian dan Penegasan Sikap Anggota DPD RI Jakarta. hlm 52-53. ll
terasa apabila M ajelis Tinggi yang mem eriksa dan merevisi suatu rancangan itu m emiliki keanggotaan yang kom posisinya berbeda dari majelis Rendah. 25 Senada
dengan
pendapat
Jimly
Asshiddiqie,
menurut
Soewoto
M ulyosudarm o, sistem bikam eral bukan hanya m erujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dilihat pula dari proses pem buatan undang-undang yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui M ajelis Tinggi dan M ajelis Rendah. Bahkan dari segi produkfitas, kem ungkinan sistem dua kam ar ( yang efektif) akan lebih produktif karena segala tugas dan w ew enang dapat dilakukan oleh kedua kam ar tanpa menunggu atau tergantung pada salah satu kam ar saja. Terdapat dua alasan m engapa para penyusun konstitusi memilih sisitem bikameral. Pertam a adalah untuk m em bangun sebuah mekanisme pengaw asan dan keseim bangan (checks and balances) serta untuk pem bahasan sekali lagi dalam bidang legislatif. Alasan kedua adalah m em bentuk perw akilan untuk menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak cukup terw akili oleh majelis pertama. Secara khusus, bicam eralism e telah digunakan untuk menjamin perw akilan yang memadai untuk daerah-daerah di dalam lem baga legislatif. Oleh karenanya, untuk m enata fungsi legislasi, yang diperlukan adalah perubahan pengaturan yang m engatur tentang kew enangan DPD dalam fungsi legislasi yaitu dengan tidak lagi membatasi kew enangan DPD, dengan dem ikian adanya mekanism e cheks and balances pada lembaga perw akilan rakyat Indonesia. Pasca keputusan M ahkam ah Konstitusi atas uji materi U ndang-undang N om or 27 tahun 2009 tentang M ajelis Perm usyaw aratan Rakyat, D ew an
25 Jimly Asshiddiqie, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Sebagaimana yang dikutip dalam Saldi Isra dan Zainal Arifin Mochtar, Menuju Bicameral Efektif dalam Rangka Memperkuat Fungsi Legislasi DPD. jurnal Legislasi Indonesia, hlm. 109. 12
Perw akilan Rakyat, Dew an Perw akilan Rakyat D aerah dan D ew an Perw akilan Rakyat Daerah. Putusan M ahkam ah K onstitusi itu dianggap penting karena m erobah
terhadap
Proses
Legislasi
Nasional,
karena
m enyangkut
aspek
w ew enang bagi DPD untuk dapat m engajukan R U U yang berkaitan dengan kew enangannya dan mem bahasnya sampai selesai. Term asuk ju g a bisa m em bahas Prolegnas (Program Legislasi N asional) secara tripartit dengan DPD, DPR, Presiden. Sayangnya, M ahkam ah K onstitusi memang tidak m engabulkan soal kew enangan yang diajukan DPD agar bisa m enetapkan undang-undang (UU). Putusan M ahkam ah K onstitusi itu m erupakan m om entum untuk memperbaiki Prolegnas supaya lebih efisien, efektif dan lebih baik demi kepentingan daerah. Putusan
M ahkam ah
K onstitusi
m engakibatkan
D PR
untuk
m enjadikan
pem bahasan R U U itu menjadi satu suara. Bukan lagi suara fraksi, melainkan suara DPR. Jadi dalam proses legislasi, suara DPR, DPD dan pemerintah. B erdasarkan uraian diatas dengan persoalan-persoalannya m aka penulis m erasa tertarik untuk m em bahas dan meneliti Bagaim ana K ew enangan D PD pascaputusan M ahkam ah Konstitusi.
lB
B.
P e ru m u sa n M asalah Berdasarkan uraian dari latar belakang yang telah dikem ukakan diatas,
perum usan masalah yang akan dibahas pada Bab III tesis ini adalah sebagai berikut :
A. B agaim anakah Implikasi Putusan M ahkam ah Konstitusi N om or 92/PUUX/2012 terhadap K ew enangan D ew an Perw akilan Daerah?
B. B agaim anakah Pengaruh Putusan M ahkam ah Konstitusi N om or 92/PUUX/2012 tersebut terhadap Sistem Bikam eral di Indonesia?
C.
T u ju a n P en elitian Penulisan ini secara um um bertujuan untuk memenuhi kew ajiban sebagai
m ahasiswa Program M agister Ilm u H ukum yang akan m enyelesaikan pendidikan guna m em peroleh gelar M agister Ilmu Hukum, sedangkan jik a dilihat dari rum usan masalah
yang
telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
A.
U ntuk m engetahui Im plikasi Putusan M ahkam ah Konstitusi N om or 92/PUU-X/2012 terhadap K ew enangan D ew an Perw akilan Daerah.
B.
U ntuk mengetahui pengaruh Putusan M ahkam ah K onstitusi N om or 92/PUU-X/2012 tersebut terhadap Sistem Bikam eral di Indonesia.
14
D.
M a n fa a t P en elitian Penulisan ini diharapkan dapat mem berikan m anfaat : 1. M a n fa a t T eoritis a.
Secara teoritis mampu m em berikan sumbangsih keilm uan bagi pem bangunan dalam didang hukum di indonesia, khususnya H ukum Tata N egara mengenai Implikasi putusan M ahkam ah Konstitusi N om or 92/PUU-X/2012 terhadap kew enangan D ew an Perw akilan D aerah dan pengaruh Putusan Tersebut Terhadap sistem bikam eral di Indonesia .
b. M enam bah
pengetahuan
teoritis
bagi
orang-orang
yang
berkecim pung dalam bidang ilmu hukum tentang kew enangan DPD pasca-putusan M ahkam ah Konstitusi N om or 92/PUU-X/2012 dan pengaruh putusan tersebut terhadap sistem bikameral.
2. M a n fa a t P ra k tis
a.
Secara praktis m anfaat penulisan hukum ini meliputi: mem berikan sumbangan fikiran bagi pem angku kepentingan di bidang hukum dalam w acana tentang kew enangan D ew an Perw akilan D aerah sebagai
wakil
m erepresentasikan
dari
m asing-m asing
aspirasi
rakyat
provinsi dalam
yang
akan
penyelenggaraan
Pem erintahan pasca adanya Putusan M ahkam ah Konstitusi N om or 92/PUU-X/2012.
D an
memberi
m asukan
kepada
D ew an
Perw akilan D aerah dalam hal m enyelenggarakan kew enangannya yang terkait dengan penyelenggaraan urusan Pemerintahan.
ls
b.
M em berikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi kalangan praktisi hukum dan politik pada lem baga L egislatif khususnya D PD Republik
Indonesia
tentang
Implikasi
Putusan
M ahkam ah
Konstitusi terhadap D ew an Perw akilan D aerah dan pengaruh putusan tersebut terhadap sistem bikameral.
E.
K e ra n g k a T eo ritis d a n K e ra n g k a K o n sep tu al 1. K e ra n g k a T eoritis K erangka teori yang digunakan dalam tesis ini adalah teori negara hukum, pem isahan kekuasaan, dan teori tentang kewenangan.
a. K onsepsi N eg ara H u k u m d a n P em isah an K ek u asaan . 1.
T eori N egara H ukum N egara R epublik Indonesia adalah negara yang didasarkan atas hukum
(Rechtsstaats),
bukan
negara
yang
didasarkan
atas
kekuasaan
belaka
(Machtsstaat) .26 Pegertian negara hukum secara sederhana adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pem erintahannya didasarkan atas hukum. M enurut M. Kusnardi dan H arm aily Ibrahim, negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada w arga negara27 di dalam nya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya
prinsip
pem isahan
dan
pem batasan
kekuasaan
m enurut
sistem
konstitusional yang diatur dalam U ndang-undang Dasar, adanya jam inan-jam inan
26 Awalnya ini hanya terdapat dalam penjelasan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Setelah Undang-undang Dasar 1946 diamandemen hal ini telah diatur secara tegas di dalam batang tubuh yaitu pada pasal i ayat (3) UUD 1945. 27 Moh. Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan ketujuh, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm 153 16
hak asasi m anusia dalam U ndang-undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak m em ihak yang menjamin persam aan setiap w arga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang term asuk terhadap penyalah gunaan w ew enang oleh pihak yang berkuasa. D alam paham negara hukum itu, hukum lah yang m emegang kom ando tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Dengan kata lain sesungguhnya yang memimpin dalam penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip the Rule o f Law, a n d not o f M an, yang sejalan dengan pengertian nom ocratie.28 U ntuk m ewujudkan kedaulatan rakyat dan hukum, konsep negara hukum harus
dilaksanakan.
M enurut
A.V.
Diecy,
negara
hukum
m enghendaki
pem erintahan itu kekuasaannya di baw ah hukum (the rule o f law), terdapat tiga unsur utam a di dalam nya yaitu:29 1. 2.
3.
Suprem acy o f law, artinya bahw a yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi di dalam negara adalah hukum (kedaulatan hukum). Equality before the law, artinya persam aan dalam kedudukan hukum bagi semua w arga negara, baik selaku pribadi m aupun dalam kualifikasinya sebagai pejabat negara. Constitusional B a sed on Individual R ight artinya konstitusi itu bukan m erupakan sum ber dari hak-hak asasi manusia dan jik a hak-hak asasi m anusia itu diletakkan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahw a hak asasi m anusia itu harus dilindungi.
Senada dengan A.V. Dieky Konsep negara hukum m enurut Friedrich Julius Stahl mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Adanya perlindungan hak asasi manusia 2. Pem isahan atau pem bagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi m anusia 3. Pem erintahan berdasarkan peraturan-peraturan 28 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, op cit, hlm. 55-56. 29 A.V. Diecy, sebagaimana yang dikutip dalam Charles simabura, 20II, Parlemen Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 20-2I 17
4.
Peradilan adm inistrasi negara dalam perselisihan.30
Dalam kesem patan lain, H .W .R W ade telah mengidentifikasi lim a pilar negara hukum sebagai berikut : 1. Semua tindakan pem erintah harus menurut hukum 2. Pem erintah harus berpilaku di dalam suatu bingkai yang diakui peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang membatasi kekuasaan diskresi. 3. Sengketa mengenai keabsahan tindakan pem erintah akan diputuskan oleh pengadilan yang murni independen dari eksekutif. 4. H arus seimbang antara pem erintah dan w arga negara 5. Tidak seorang pun dapat dihukum kecuali atas kejahatan yang ditegaskan m enurut undang-undang.31 2.
Teori Pem isahan Kekuasaan Teori tentang pem isahan kekuasaan setelah perubahan UUD 1945 mulai
dianut oleh para perum us perubahan U UD 1945 seperti yang tercerm in dalam perubahan Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) sampai Ayat (5).32 Pem isahan kekuasaan (separation o f pow er) ditujukan agar tidak terjadi penum pukan kekuasaan pada satu institusi atau lembaga tertentu. Konsep Trias Politika yang dikem ukakan M ontesquieu tidaklah m utlak dilaksanakan. D alam praktik masingmasing kekuasaan akan saling m em berikan pengaruh sehingga akan saling m engim bangi33 (checks a n d balances) antar kekuasaan tersebut. Seperti dikatakan oleh M ontesquieu, dalam setiap negara terdapat sekurang-kurangnya kekuasaan
30 S.F Marbun & Moh. Mahfud MD, 1987, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberti, Yogyakarta, hlm. 44 31 Laode Husein, 2005, Hubungan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, CV. Utomo Bandung, 2005, hal. 46 32 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, hlm. 36. 33 Makna lain dari saling mengimbangi tersebut diartikan sebagai saling mengendalikan sehingga masing-masing kekuasaan tidak menjadi dominan. Cabang kekuasaan Legislatif tetap berada di Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari dua lembaga perwakilan yang sederajad dengan lembaga negara lainnya. Cabang kekuasaan legislatif berada di tangan presiden dan wakil peresiden. Adapun cabang kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh dua (2) jenis mahkamah, yaitu mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. 18
legislatif, eksekutif dan yudikatif 34tiga kekuasaan ini m enurut M ontesquieu berada pada kedudukan yang seimbang, yang satu tidak lebih tinggi dari yang lain.35 Berbeda
dengan
M ontesquieu,
pendahulunya,
Jhon
Locke,
justru
m enepatkan kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan politik tertinggi36. Hal yang sama dikatakan oleh J.J Rousseau bahw a kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang tertinggi.37Supremasi kekuasaan legislatif pada um um nya dianut di negaranegara yang m enggunakan prinsip dem ocratic centralism .38 Badan legislatif m erupakan lem baga tertinggi dalam struktur kekuasaan negara. Semua lem baga negara tunduk dan bertanggung jaw ab kepadanya. Ajaran pem isahan kekuasaan m enekankan pada pem bagian fungsi-fungsi pemerintahan. Pem bagian fungsi-fungsi mengandung makna tiap fungsi tidak hanya diserahkan kepada suatu lem baga negara tertentu. Ada banyak lembaga negara yang diserahi lebih dari satu fungsi. Dengan kata lain, tiap fungsi dilaksanakan oleh banyak alat kelengkapan negara. Selain pem bagian fungsifungsi pem erintahan, ajaran ini m enekankan pada saling m engawasi antara cabang kekuasaan yang satu dan cabang kekuasaan yang lain. M ekanism e saling mengawasi antara cabang-cabang kekuasaan itu ada yang bersifat timbal-balik,
34 Bagir manan dan Kuntara Magnar, 1993, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 123 35 Dikutip dalam buku Allan R. Brewer-Carias, Judicial Review in Comparatif Law, Cambridge University Press, Cambridge, 1989. Hlm 13 36 Franz Magnis Suseno,2001, Etika Politik : Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm 223, J.J Von Schmid, Ahli-ahli piker Besar tentang Negara dan Hukum (dari Plato sampai Kent), terjemahan. R. Wiramo, et all., Pembangunan, Jakarta, 1980. Him 170 37 Allan R. Brewer Carias, Loc. Cit. hlm. 153 38 Prinsip democratic sentralism adalah “demokrasi” yang dikembangkan dan dijalankan pada negara-negara komunis. Pada negara-negara ini, ada semacam dokrin untuk member kualifikasi dengan penamaan tertentu “demokrasi” yang mereka jalankan. Maksudnya untuk membedakan dengan demokrasi yang dijalankan pada negara-negara Barat non-komunis. Pola semacam ini diikuti oleh beberapa negara baru non-komunis, tetapi tidak berkehendak mengikuti cara-cara demokrasi yang dipakai pada negara yang mengikuti system negara-negara Barat non komunis termasuk “Demokrasi Terpimpin “ ala Soekarno. 19
ada pula yang bersifat sepihak. Di N egara A m erika Serikat, mekanisme semacam ini dikem bangkan dalam rangka checks a n d balances39. M ekanism e tersebut di atas turut m endorong makin m eluasnya lingkup kekuasaan alat kelengkapan negara yang menjadi pelaku atau pelaksananya dalam mekanism e kenegaraan. Badan peradilan, misalnya, tidak lagi sekedar menjalankan kekuasaan m engadili atas pelanggaran UU. Sehubungan dengan ini, Paul Scholten m engatakan, kekuasaan yudikatif tidak lagi sama derajatnya dengan pem bentuk UU, tetapi lebih tinggi40. Hal ini senada dengan yang disam paikan oleh Moh. Kusnardi dan H arm aily Ibrahim 41 : .. .kekuasaan M ahkam ah Agung dalam bidang yudicial review dan untuk m em batalkan tindakan presiden, m enem patkan kekuasaan M ahkam ah Agung lebih tinggi dari kekuasaan lainnya. K arena itulah M ahkam ah Agung di A m erika Serikat dinam akan Supreme Court; jadi yang supreme bukan presiden, bukan kongres melainkan M ahkam ah Agung. Hal ini juga telah menguranggi prinsip Trias Politica, karena ketiga kekuasaan tersebut tidak lagi sederajat, tetapi M ahkam ah Agung telah ditem patkan pada tem pat yang lebih tinggi. Sekalipun terjalin hubungan antar cabang kekuasaan, khusus untuk kekuasaan yudikatif berlaku
hubungan yang
sifatnya
sepihak.
Kekuasaan
yudikatif dapat m elakukan pengaw asan atau kontrol terhadap kekuasaan yang lain, akan tetapi kekuasaan yang lain tidak dapat m engontrol kekuasaan yudikatif, kecuali kekuasaan itu sendiri. Ini dim aksud untuk m enjam in kedudukan dan pelaksanaan kekuasaan yudikatif yang merdeka terlepas dari pengaruh pem erintah atau kekuasaan lainnya. Sri Soemantri dalam hal ini mengatakan dalam doktrin trias politica baik yang
diartikan
sebagai pem isahan kekuasaan
m aupun
pem bagian kekuasaan, khusus untuk cabang kekuasaan yudikatif prinsip yang
39 Bagir manan, 1989, Susunan Pemerintahan, Makalah, FH-Unpad, Bandung, hlm.2 40 Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta, hlm 49 41 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,1988, Pengantar... Loc.cit, hlm. 142 20
tetap dipegang ialah bahw a dalam tiap negara hukum badan yudikatif harusnya bebas dari cam pur tangan pihak kekuasaan negara lainnya42. Hal ini senada dengan pendapat Bagir M anan bahw a kehadiran kekuasaan kehakim an yang m erdeka tidak ditentukan oleh stelsel pem isahan atau pem bagian kekuasaan, tetapi sebagai condition sine quanon bagi terw ujudnya negara berdasarkan atas hukum 43. Dalam kesem patan lain m enurut soehino lahirnya pem isahan kekuasaan karena adanya gagasan membatasi kekuasaan penguasa. Pem batasan kekuasaan bertujuan m encegah tum buhnya kekuasaan ditangan satu orang, dan juga ada jam inan terhadap hak asasi manusia. 44Lebih lanjut N otoham idjojo mem berikan pertim bangan bahw a : Tujuan dari pada pem erintahan negara seharusnya kebebasan politik. K ebebasan politik dari pada w arganegara ialah ketenagan jiw a yang berasal dari pada anggapan bahw a hidupnya aman. U ntuk merealisasikan ketenangan jiw a ini maka pem erintah harus disusun dem ikian sehingga w arga negara seorang tidak takut kepada orang lain. U ntuk keperluan itu fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif harus dipisahkan dan diserahkan kepada lem baga-lem baga yang berlainan. Tidak akan ada nada kebebasan politik apabila kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif dipegang oleh satu tangan, sebab raja atau senat dapat membuat undangundang yang sewenang-wenang untuk dilaksanakan secara sewenangwenang. D em ikian juga tidak akan ada kebebasan politik, apabila kekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif (perundang-undangan). Apabila hakim itu ju g a sekaligus ju g a perundang-undang maka w arganegara akan terancam oleh undang-undang yang sewenang-wenang. A pabila hakim itu ju g a pelaksana maka w arga negara terancam dengan penindasan dan kekerasan. Segala sesuatu yaitu semua kebebasan politik, semua ketenangan jiw a akan hilang dan lenyap apabila ketiga kekuasaan dipegang oleh satu orang atau satu badan.45
42 Benny K. Harman, 1997, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Elsam, Jakarta, hlm. 51 43 Bagir Manan,1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, LPPM-Unisba, Bandung, hlm 11 44 Soehino, Hukum Tata Negara (Sejarah Ketata Negaraan Indonesia), Edisi I, II, BPFE, Yogyakarta, hlm. 240. 45 Notohamidjojo, 1970, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, hlm. 19-20. 21
K etiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan, yudikatif sama-sam a sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances ini, kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggra negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang m enduduki jabatan dalam lem baga-lem baga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditenggulangi dengan sebaik-baiknya.
3.
T eori Kew enangan Teori ini peneliti kem ukakan dengan maksud untuk membahas dan
m enganalisis tentang kew enangan D ew an Perw akilan D aerah Pasca-putusan M ahkam ah
K onstitusi N om or
w ew enang
atau
kewenangan
92/PUU-X/2012. sering
Secara
disejajarkan
konseptual,
dengan
istilah
istilah Belanda
“bevoegdheid’ ( yang berarti w ew enang atau berkuasa). W ew enang m erupakan bagian
yang
sangat
penting
dalam
H ukum
Tata
Pem erintahan
(Hukum
Administrasi), karena pem erintahan baru dapat m enjalankan fungsinya atas dasar w ew enang
yang
diperolehnya.
K eabsahan
tindakan
pem erintahan
diukur
berdasarkan w ew enang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kew enangan dapat dilihat dari Konstitusi N egara yang mem berikan legitimasi kepada B adan Publik dan Lem baga N egara dalam m enjalankan fungsinya. W ewenang adalah kem am puan bertindak yang diberikan oleh undangundang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum .46Asas legalitas m erupakan salah satu prinsip utam a yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pem erintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum. 46 SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 154 22
Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pem erintahan dan kenegaraan harus m emiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian,
substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu
suatu
kem am puan untuk m elakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu. Pengertian kew enangan dalam K am us U m um Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk m elakukan sesuatu. H assan
Shadhily m enerjem ahkan w ew enang
(authority)
sebagai hak atau
kekuasaan m em berikan perintah atau bertindak untuk m empengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.47 Lebih lanjut H assan Shadhily m em perjelas terjem ahan authority dengan mem berikan suatu pengertian tentang “pem berian w ew enang (delegation o f authority)” . D elegation o f authority ialah proses penyerahan w ew enang dari seorang pim pinan (m anager) kepada baw ahannya (subordinates) yang disertai tim bulnya tanggung jaw ab untuk m elakukan tugas tertentu.48 Proses delegation o f authority dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut : 1. M enentukan tugas baw ahan tersebut 2. Penyerahan w ew enang itu sendiri 3. Timbulnya kew ajiban m elakukan tugas yang sudah ditentukan. Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah sumber wew enang dan konsep pem benaran tindakan kekuasaan pem erintahan. Teori sumber w ew enang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan m andat.49
47 Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 170 48 Ibid. hlm. 172 49 T U ; , !
23
Prajudi Atm osudirdjo berpendapat tentang pengertian w ew enang dalam kaitannya dengan kew enangan sebagai berikut : “K ew enangan adalah apa yang disebut kekuasaan formai, kekuasaa yang berasal dari K ekuasaan L egislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan Eksekutif/ Administratif. K ew enangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pem erintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wew enang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kew enangan terdapat wewenang-wewenang. W ewenang adalah kekuasaan untuk m elakukan sesuatu tindak hukum publik” .50 Indroharto mengemukakan, bahw a wew enang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat, yang m asing-m asing dijelaskan sebagai berikut : W ew enang yang diperoleh secara “atrib u si”, yaitu pem berian w ew enang pem erintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundangundangan. Jadi, disini dilahirkan/ diciptakan suatu w ewenang pem erintah yang baru” . Pada delegasi terjadilah pelim pahan suatu wewenang yang telah ada oleh B adan atau Jabatan TUN yang telah m em peroleh suatu w ew enang pem erintahan secara atributif kepada B adan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pem berian w ewenang baru m aupun pelim pahan w ew enang dari B adan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.51 Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa sarjana lainnya yang m engem ukakan
atribusi
itu
sebagai
penciptaan
kew enangan
(baru)
oleh
pem bentuk w et (w etgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada m aupun yang dibentuk baru untuk itu. Tanpa m em bedakan secara teknis mengenai istilah wew enang dan kewenangan, Indroharto berpendapat dalam arti yuridis : pengertian wew enang adalah kem am puan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk m enim bulkan akibat-akibat hukum .52
50 Prajudi Atmosudirdjo,1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm. 29 51 Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, Jakarta, hlm 90. 52 Ibid, hlm 68
24
Atribusi (attributie), delegasi (delegatie), dan m andat (m andaat), oleh H.D. van W ijk/W illem Konijnenbelt dirum uskan sebagai berikut : a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegdheid door een weigever aan een bestuursorgaan; b. D elegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander; c. M andaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid nam ens hem uitoefenen door een ander.53 Stroink dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan, mengem ukakan pandangan yang berbeda, sebagai berikut : “B ahw a hanya ada dua cara untuk mem peroleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan w ew enang baru, sedangkan delegasi m enyangkut pelim pahan w ew enang yang telah ada (oleh organ yang telah mem peroleh w ew enang secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi). M engenai mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan w ew enang atau pelim bahan wewenang. D alam hal m andat tidak terjadi perubahan w ew enang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal” .54 Philipus M. H adjon mengatakan bahwa: “ Setiap tindakan pem erintahan disyaratkan harus bertum pu atas kew enangan yang sah. Kew enangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kew enangan atribusi lazim nya digariskan melalui pem bagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kew enangan delegasi dan m andat adalah kew enangan yang berasal dari “pelim pahan” .55 K ekuasaan sering disam akan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, dem ikian pula sebaliknya. B ahkan kew enangan sering disam akan ju g a dengan wewenang. K ekuasaan berbentuk hubungan dalam
arti bahw a “ada satu pihak yang
53 Ibid. 54 Ridwan, HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Pres, hlm, 74-75 55 Philipus M. Hadjon, Penataan Hukum Administrasi Tahun 1997/1998, Tentang
Wewenang, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, hlm. 2 25
m em erintah dan pihak lain yang diperintah”
(the rule a n d the ruled)56.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. K ekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van M aarseven disebut sebagai “blote m atch”57, sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh M ax W eber disebut sebagai w ew enang rasional atau legal, yakni w ew enang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh negara. Dalam hukum publik, w ew enang berkaitan dengan kekuasaan. K ekuasaan m emiliki m akna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Y udikatif adalah kekuasaan formal. K ekuasaan m erupakan unsur esensial dari suatu negara dalam proses penyelenggaraan pem erintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu; a) hukum; b) kewenangan (wewenang); c) keadilan; d) kejujuran; dan e) kebajikan. K ekuasaan m erupakan inti dari penyelenggaraan negara agar negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu negara harus diberi kekuasaan. K ekuasaan m enurut M iriam Budiardjo adalah kem am puan seseorang atau sekelom pok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelom pok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau negara.58
56 Mariam Budiarjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, hlm. 35-36 57 Suwoto Mulyosudarmo, 1990, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, Universitas Airlangga, Surabaya. hlm. 30 58 Mariam Budiarjo, Loc. cit 26
A gar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga negara itu dikonsepkan sebagai him punan jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejum lah pejabat yang m endukung hak dan kew ajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kew ajiban. D engan dem ikian kekuasaan m empunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kew enangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersum ber dari konstitusi, ju g a dapat bersum ber dari luar konstitusi (inkonstitusional), m isalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kew enangan jelas bersum ber dari konstitusi. Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kew enangan dan w ew enang.59 K ita harus m em bedakan antara kew enangan (authority, gezag) dengan w ew enang (competence, bevoegheid). K ew enangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan w ew enang hanya mengenai suatu “o n d erd eel’ (bagian)
tertentu
saja
dari
kewenangan.
Di
dalam
kew enangan
terdapat
wew enang-w ewenang (rechtsbe voegdheden). W ew enang m erupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wew enang pemerintahan, tidak hanya meliputi w ew enang m em buat keputusan pem erintah (bestuur), tetapi meliputi w ew enang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan m em berikan w ew enang serta distribusi w ew enang utam anya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara yuridis, pengertian w ew enang adalah kem am puan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk m enim bulkan akibat-akibat hukum . K ew enangan yang dim iliki oleh organ (institusi) pem erintahan dalam melakukan
59 Ateng Syafrudin, 2000, Menuju Penyelenggaraan Pemerintah Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung, hlm. 22. 27
perbuatan nyata (riil), m engadakan pengaturan atau m engeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kew enangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, m aupun mandat. Suatu atribusi m enunjuk pada kew enangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD). 1. Atribusi adalah pem berian kew enangan pem erintahan oleh pem buat undangundang kepada organ pem erintahan tersebut. Artinya kew enangan itu bersifat melekat terhadap pejabat yang dituju atas jabatan yang diembannya. M isalnya berdasarkan Pasal 41 U ndang-undang N om or 27 tahun 2009 tentang M ajelis Perm usyaw aratan Rakyat, D ew an Perw akilan Rakyat, D ew an Perw akilan Daerah, dan D ew an Perw akilan R akyat D aerah m enegaskan
“D PR dapat
m em bentuk undang-undang untuk disetuji bersam a dengan Presiden” . 2. Delegasi
adalah
pelim pahan
kew enangan
pem erintahan
dari
organ
pem erintahan yang satu kepada organ pem erintahan lainnya atau dengan kata lain terjadi pelim pahan kewenangan. Jadi tanggung jaw ab/ tanggung gugat berada pada penerim a delegasi/ delegataris. Misalnya: pem erintah pusat memberi delegasi kepada semua Pem da untuk membuat Perda (term asuk m em buat besluit/ keputusan) berdasarkan daerahnya masing-masing. 3. M andat terjadi jik a
organ
pem erintahan
m engizinkan
kew enangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya. Pada m andat tidak terjadi peralihan tanggung jaw ab, melainkan tanggung jaw ab tetap m elekat pada sipemberi mandat. M isalnya instruksi gubernur kepada sekretaris daerah agar ia bertanda tangan untuk keputusan pencairan anggaran pendidikan. Jadi di sini jik a jika keputusan yang hendak digugat berarti tetap yang digugat/ sebagai tergugat adalah Gubernur.
28
Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi, ataupun mandat, J.G. B rouw er berpendapat bahw a atribusi m erupakan kew enangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pem erintahan atau lembaga negara oleh suatu badan legislatif yang independen. K ew enangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kew enangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif m enciptakan kew enangan mandiri dan bukan perluasan kew enangan sebelum nya dan m em berikan kepada organ yang berkompeten. Delegasi adalah kew enangan yang dialihkan dari kew enangan atribusi dari suatu organ (institusi) pem erintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kew enangan) dapat menguji kew enangan tersebut atas namanya, sedangkan pada M andat, tidak terdapat suatu pem indahan kew enangan tetapi pemberi m andat (mandator) m em berikan kew enangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. K ew enangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kew enangan tersebut m erupakan kew enangan yang sah. D engan demikian, pejabat (organ) dalam m engeluarkan keputusan didukung oleh sumber kew enangan tersebut. Stroink m enjelaskan bahw a sumber kew enangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pem erintahan dengan cara atribusi, K ew enangan
organ
(institusi)
pem erintah
adalah
delegasi dan mandat.
suatu
kew enangan yang
dikuatkan oleh hukum positif guna m engatur dan m empertahankannya. Tanpa kew enangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.60 K ew enangan D PD dalam hal m engajukan Rancangan U ndang-undang, ikut membahas rancangan undang-undang tentang otonom i daerah, hubungan 60 F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, him. 2I9 29
pusat
dan
daerah,
pem bentukan,
pem ekaran
serta
penggabungan
daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan
perim bangan
keuangan
pusat
dan
daerah.
m erupakan
kew enangan yang diperoleh secara atribusi yang secara norm atif diatur di dalam U ndang-Undang N om or 27 tahun 2007 tentang M PR, DPR, DPD dan DPRD. K om ponen pengaruh ialah bahw a penggunaan wew enang dim aksudkan untuk m engendalikan prilaku subyek hukum, kom ponen dasar hukum ialah bahw a w ewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya, dan kom ponen konform itas hukum m engandung adanya standard w ew enang yaitu standard hukum (sem ua jenis wew enang) serta standard khusus (untuk jenis w ew enang tertentu). Dalam kaitannya dengan w ewenang sesuai dengan konteks penelitian ini, standard w ewenang yang dim aksud adalah kew enangan DPD dalam bidang Legislasi khususnya
dalam
hal
pengajuan,
ikut
membahas
dan
dapat
melakukan
pengaw asan terhadap undang-undang tertentu.
2.
K e ra n g k a K o n se p tu al Sesuai dengan judul tesis ini i Perluasan Kew enangan D ew an Perw akilan
D aerah Republik Indonesia Pasca Putusan M ahkam ah K onstitusi N om or 92/PUUX/2012 maka kerangka konseptual yang akan digunakan adalah i a. K ew enangan adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. b. DPD adalah lem baga perw akilan daerah yang berjum lah em pat orang dari masing- masing daerah provinsi dipilih melalui pem ilihan umum. c. D PR adalah lem baga negara yang sederajat dengan lem baga negara lainnya dalam U UD 1945.
BQ
d. M ahkam ah
K onstitusi
adalah
lem baga
pengawal
konsitusi
yang
berw enang untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-undang D asar N egara Republik Indonesia Tahun 1945. e. Putusan M ahkam ah K onstitusi R epublik Indonesia N om or 92/PUUX/2012 adalah putusan M ahkam ah K onstitusi R epublik Indonesia yang berkenaan dengan pengujian Pasal-pasal yang berkenaan dengan kew enangan D PD pada Undang-undang N om or 27 tahun 2009 tentang M ajelis Perm usyaw aratan Rakyat, D ew an Perw akilan Rakyat, D ew an Perw akilan D aerah dan D ew an Perw akilan R akyat Daerah. F. M eto d e P en elitian 1.
M etode Pendekatan Tipologi Penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah
yuridis normatif, yakni pendekatan yang m engutam akan segi normatif. D engan pertim bangan bahw a sumber utam a analisa dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan, baik konstitusi, m aupun peraturan perundang-undangan dibawahnya serta putusan hakim konstitusi N om or 92/PUU-X/2012. M enurut Peter M ahmud M arzuki, ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat prespektif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat perskriptif, ilmu hukum mem pelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validasi aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norm a-norm a hukum. Sebagai ilmu terapan hukum m enetapkan
standar
prosedur
ketentuan-ketentuan,
ram bu-ram bu
dalam
m elaksanakan aturan hukum .61
61 Jakarta, hlm. 22
Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Bl
Dari objek yang akan diteliti yaitu bersifat prespektif m aka peneliti berusaha untuk m endapatkan saran-saran untuk m em ecahkan m asalah-m asalah tertentu.62 Dari sifat tersebut penulis memilih tipe penelitian dari segi penulisan adalah penelitian deskriptif yang m enurut Soerjono Soekamto, penelitian tersebut dim aksudkan untuk m em berikan data yang seteliti m ungkin.63M aksudnya adalah terutam a untuk m empertegas hipotesa-hipotesa agar dapat mem bantu didalam m em perkuat
teori-teori
lama
atau
didalam
rangka
m enyusun
teori-teori
baru.64M enurut Soerjono soekamto, penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka/ data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum norm atif atau penelitian hukum kepustakaan.65Penelitian hukum norm atif tersebut juga m enggunakan beberapa pendekatan masalah, yaitu ; pendekatan normatif/ perundang-undangan, pendekatan sejarah, pendekatan politik dan pendekatan perbandingan. 2.
Pendekatan M asalah Penelitian ini m enggunakan pedekatan perundang-undangan, pendekatan
sejarah
pendekatan
politik,
dan
pendekatan
perbandingan66.
Pendekatan
perundang-undangan m erupakan keharusan dalam penelitian hukum norm atif karena yang diteliti adalah aturan hukum. Penelitian ini m elakukan kajian terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUD, U ndang-undang N o 27 tahun 2009 tentang M PR, DPR, D PD dan DPRD dan U ndang-undang N o 12 tahun 2011 tentang Pem bentukan Peraturan Perundang-undangan serta putusan 62 Soerjono Soekamto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.10 63 Ibid. 64 Ibid. 65 Bandingkan dalam Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji,2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Gravindo Persada, Jakarta, hlm. 14 66 Jhonny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, Jawa timur, hlm. 299
32
M ahkam ah Konstitusi N om or 92/PUU-X/2012 dan berbagai produk perundangundangan yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Pendekatan perbandingan dilakukan dengan beberapa sistem parlem en di negara lain, perbandingan bentukbentuk lembaga negara terutam a berkaitan dengan system pengkam aran pada parlemen. Terhadap pendekatan politik dilakukan secara luas, baik ketika sebuah peraturan perundang-undangan dibentuk m aupun upaya im plem entasinya, suasana persidangan yang berisi pendapat-pendapat politik dalam pem bentukan pasal 22 UUD 1945 yang m engatur tentang DPD. 3.
Penelitian Studi Kepustakaan. Penelitian perpustakaan bertujuan untuk m engum pulkan data sekunder dan
inform asi dengan bantuan berm acam -m acam material yang terdapat di ruang perpustakaan, misalnya berupai Buku-buku, terbitan berkala, materi perkuliahan, peraturan perundang-undangan, surat kabar atau pun pendapat para ahli dan inform asi lainnya yang nantinya dapat dijadikan sebagai m asukan dan bahan pertim bangan guna m enyem purnakan penelitian ini dan dapat digunakan sebagai sumber data yang terkait dengan masalah dan penelitian ini yang mencakup i a. Bahan H ukum Prim er b. Bahan H ukum Skunder c. Bahan H ukum Tersier/ penunjang. 3.1.
Jenis dan Sumber D ata 1) D ata Sekunder D alam proses pengum pulan data sekunder, penulis m enggunakan tiga bahan, yaitui
BB
a) Bahan hukum primer, meliputi peraturan perundang-undangan yaitu U ndang-undang N om or 27 Tahun 2009 tentang M ajelis Perm usyaw aratan Rakyat,
Dewan Perw akilan Rakyat,
Dewan
Perw akilan Daerah dan Dewan Perw akilan R akyat Daerah yang berhubungan dengan kew enangan
Dewan Perw akilan
Daerah
Pasca-putusan M ahkam ah K onstitusi N om or 92/PPU-X/2012. Impelemtasi putusan M ahkam ah Konstitusi terhadap kewenangan DPD dan ju g a peraturan-peratuan yang terkait dengan fokus penulisan tesis ini.67 b) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang mem berikan penjelasan
mengenai
data hukum
prim er
seperti,
rancangan
undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum meliputi : a.
Tulisan atau pendapat pakar hukum yang berhubungan dengan kew enangan D PD sebelum dan Pasca putusan M ahkam ah K onstitusi N om or 92/PPU-X/2012.
b. Putusan-putusan M ahkam ah Konstitusi N om or 92/PPUX/2012 yang telah disebarkan kepada m asyarakat umum melalui m edia m asa dan m edia cetak. c) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang m em berikan petunjuk atau penjelasan bahan hukum prim er dan skunder seperti kam us besar bahasa indonesia,
kam us hukum,
ensiklopedia,
majalah, jurnal hukum dan lain-lain.
67 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian..., Loc. cit. Hal.I3 34
4.
Prosedur Pengum pulan Bahan H ukum Pengum pulan bahan hukum prim er dan sekunder dimulai dengan cara
m engelom pokkan
sesuai
dengan
topik
perm asalahan
kem udian
dengan
m enggunakan mekanism e bola salju (snow ing ball) data tersebut kem udian diklasifikasikan
menurut
sumber,
substansi,
kebutuhan
secara
logis,
dan
hirarkinya untuk selanjutnya akan dikaji secara komprehensif. 5.
Pengelolahan dan Analisis D ata B ahan-bahan hukum baik berupa peraturan perundang-undangan, buku-
buku serta putusan M ahkam ah Konstitusi serta bahan hukum lainnya diuraikan dan dihubungkan satu sama lain sehingga menjadi tulisan yang sistematis. Penulisan yang dem ikian diharapkan mampu menjawab identifikasi masalah yang dikem ukakan melalui m etode pengelolahan bahan hukum secara deduktif yaitu m enarik hal yang um um kedalam hal yang khusus (konkrit) mengaitkan antara teori dan im plikasi kem udian analisa hukum dilakukan untuk mengetahui bagaim anakah im plikasi putusan m ahkam ah konstitusi terhadap kew enangan DPD, dan pengaruh putusan tersebut terhadap sistem bikameral.
G.
S istem atik a P en u lisan Sistematika penulisan tesis ini adalah i
B ab I : P e n d a h u lu a n A.
Latar Belakang M asalah
B.
Perum usan M asalah
C.
Tujuan Penelitian
D.
M anfaat Penulisan
E.
K erangka Teoritis dan Konseptual
B5
F.
Metodologi Penelitian
G.
Sitematika Penulisan
B ab II : T injauan Y uridis T entang N egara H ukum dan K ekuasaan Legislatif pada Sistem Pengkam aran A.
Konsepsi Negara Hukum 1. Pengertian Negara Hukum 2. Konsep Negara Hukum 1.1 Konsep Negara Hukum Anglo Saxon 1.2 Konsep Negara Hukum Eropa Kontinental 1.3 Konsep Negara Hukum di Indonesia
B. Pemisahan Kekuasaan Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Negara C. Kekuasaan Legislatif dalam Sistem Pengkamaran pada Negara Hukum 1. Sistem Unikameral 2. Sistem Bikameral 3. Sistem Trikameral
B ab III : K ew enangan Dewan Perw akilan D aerah Pasca P utusan M ahkam ah K onstitusi N om or 92/PUU-X/2012. A. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 terhadap Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah. 1. Kewenangan
Dewan
Perwakilan
Daerah
Sebelum
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. 2. Kewenangan
Dewan
Perwakilan
Daerah
Pasca-putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.
36
B. Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 tehadap Sistem Bicameral di Indonesia. BAB IV : P enutup A. Kesimpulan B. Saran
37