BAB I MENGATASI TAWURAN PELAJAR MELALUI PERAN SATGASPELAJAR
A. Latar Belakang Ketika kita melihat kebijakan publik dari sudut pandang normatif, apapun bentuknya, mempunyai dasar pemikiran yang sama. Dimana kebijakan publik ditempatkan sebagai serangkaian keputusan yang dibuat oleh aktor atau beberapa aktor pemilik otoritas, aktor tersebut diterjemahkan sebagai pemerintah yang katanya mengerti semua permasalahan yang ada ditengah masyarakat. Pemerintah bertindak sebagai malaikat yang memberikan solusi atas permasalahan yang menghinggapi masyarakat. Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata, sebagai bentuk respon dan perhatian negara terhadap rakyat. Membaca kebijakan publik dari kaca mata teori administrasi negara memiliki tahapan yang sangat baku. Dimulai dari proses agenda-setting, dikerjakan oleh policy-makers sebagai aktor pemilik otoritas. Policy-makers yang katanya sebagai aktor netral berusaha mencari issue diranah publik. Issue yang dimiliki oleh policy-makers selanjutnya dimasukan pada tahap formulasi untuk mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah. Banyaknya alternatif-alternatif pemecahan masalah menuntut decision makers harus memilih mana solusi yang paling tepat untuk dijadikan sebagai policy paper. Selanjutnya policy paper dijabarkan dan dijalankan sesuai dengan tujuannya, hal ini tergolong dalam tahap implementasi. Tahap-tahapan ini terus berputaar, menjadi sebuah lingkaran
1
teoritik yang baku. Pada kenyataanya, kebijakan publik tidak berada pada ruang yang tertutup, melainkan berada dalam proses politik yang begitu kompleks. Jika kebijakan publik hanya menitik beratkan pada putaran tahapan teori dasar, diperkirakan kebijakan publik akan tidak mampu mengikuti pergerakan dinamika masalah yang ada dimasyarakat, yang terus berkembang dan sulit diprediksi. Hadirnya UU No. 22 tahun 1999 membawa angin segar pada perubahan pola pemerintahan di daerah. Hari ini pemerintah daerah memiliki kekuasaan untuk mengelola permasalahan yang ada di wilayahnya secara mandiri. Mendorong pemerintah daerah mengeluarkan berbagai macam kebijakan publik yang dipandang sebagai landasan legal bagi aktor pemilik otoritas lokal untuk melakukan invoasi dalam menyelenggarakan urusan-urusan publik. Akan menarik jika memperhatikan tahapan implementasi pada kebijakan publik level pemerintah daerah. Tidak hanya melihat proses administrasi saja, melainkan menganalisis dinamika politik yang mengelilingi sebuah kebijakan publik. Ada begitu banyak kebijakan publik yang telah diproduksi oleh pemerintah daerah setelah diberlakukan pelimpahan kekuasaan oleh pusat, salah satunya adalah kebijakan publik mengenai permasalahan tawuran pelajar. Dalam pemahaman dan wawasan penulis yang dangkal, penulis menemukan dua kebijakan publik untuk mengatasi permasalah tawuran pelajar, yaitu SK Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta dan SK Dinas Pendidikan Kota Bogor. Tahun 2008, Kota Yogyakarta mengeluarkan SK Dinas Pendidikan Yogyakarta No. 188/147/2008 mengenai penyusunan tata tertib sekolah yang salah satu isinya membahas tentang model pakaian sekolah dan atributnya.
2
Sebuah kebijakan publik yang menggunakan pendekatan top-down untuk mengatasi tawuran pelajar, meletakan wewenang pembuatan keputusan berada ditangan pihak yang memiliki otoritas, yaitu elit Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta. Kepala Sekolah dan jajaranya ditepatkan sebagai aktor implementasi untuk mengatur para pelajar. Sedangkan, pelaksanaan program terletak pada peraturan sekolah yang mengharuskan para pelajar untuk mengganti badge sekolah yang semula menunjukkan identitas sekolah masing-masing, menjadi badge sekolah yang memiliki identitas bersama ‘Pelajar Kota Yogyakarta’. Kebijakan publik yang tujuan akhirnya adalah penyeragaman atribut sekolah mungkin cocok untuk kondisi kota tertentu, dalam mengatasi tawuran pelajar. Sebab menurut Muhammad Dwiki Prastianto dalam penelitiannya ‘Formasi Identitas dan Pergulatan Identitas Geng Pelajar GNB’1 aktifitas tawuran pelajar ‘Kota Yogyakarta’ terjadi disebabkan adanya permasalahan identitas yang membentuk sebuah basis geng pelajar. Dwiki memaknai geng pelajar sebagai sebuah komunitas informal yang terdapat didalam sebuah sekolah tertentu, di luar organisasi formal yang diakui oleh sekolah. Geng pelajar memiliki beberapa sifat yang cukup mirip dengan geng dalam kelompok sosial yang lebih besar. Sedikit menyelami tawuran pelajar di Kota Yogyakarta. Hatib Abdul dalam Dwiki menjelaskan bahwa geng diartikan sebagai sekelompok anak muda yang terdiri lebih dari dua orang dan berkonotasi dengan sebuah kelompok yang
1
Lihat: Prastio, Dwiki . Formulasi Identitas dan Pergulatan Identitas Geng Pelajar GNB. Skripsi Jurusan Politik Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. 2013. Hal 3
3
memiliki kecendrungan bersifat negatif.2 Salah satu upaya mereka untuk menunjukkan keberadaannya adalah dengan melakukan corat-coret dinding bangunan di perkotaan. Oknum pelajar Kota Yogyakarta juga sering melakukan konvoi dengan kendaraan bermotor, saling unjuk kekuatan dan mencari legitimasi. Sehingga, tidak menutup kemungkinan melakukan ‘sebagai pemicu’ aktivitas tawuran dengan sesama geng pelajar dari sekolah lain. Dwiki menggambarkan, proses terbentuknya geng pelajar di Kota Yogyakarta sudah menjadi budaya dikalangan pelajar, karena dilakukan secara turun menurun, melalui cara-cara tertentu sesuai tradisi setiap sekolah. Ada semacam pola pembentukan identitas untuk membuat mereka menjadi seorang anggota geng yang kemudian harus melakukan upaya-upaya dan tradisi geng yang kemudian bertujuan untuk menjaga posisi geng.3 Ketika
identitas
menjadi
dasar
pembentukan
sebuah
geng
dan
mengakibatkan tawuran pelajar, apakah kebijakan publik penyeragaman atribut sekolah yang didasarkan pada identitas mampu menerima tantangan, setidaknya menyesuaikan diri, dengan kondisi tawuran pelajar yang lebih kompleks di kotakota lainnya? Jelas tidak. Di Kota Bogor, penulis menemukan kebijakan publik yang lebih menarik didalam mengatasi tawuran pelajar. Kebijakan publik yang lahir dari porses bottom-up, menjelaskan adanya porses konsultasi dan negosiasi antara masyarakat dan pemilik otoritas. Adanya advokasi issue mengatasi tawuran pelajar yang dikawal dan diawali oleh kepala sekolah, dari sekolah tinggi kejuruan di Kota 2 3
Ibid, Hal 3 Ibid, Hal 4
4
Bogor, dengan melakukan diskusi ‘rembuk’ yang bersifat informal. Meski dilakukan dengan santai, suasana diskusi tercipta begitu konstruktif. Diskusi dengan tema besar tawuran pelajar ‘dilakukan oleh oknum pelajar sekolah kejuruan’ berusaha menemukan solusi kongkrit dalam mengatasinya. Diskusi tersebut berkembang menjadi semacam multi-sekeholder forum, akan tetapi masih bernuansa informal. Ditandai oleh bertambahnya jumlah kepala sekolah, dihadiri oleh guru pembina kesiswaan dari berbagai sekolah kejuruan, perwakilan masyarakat, perwakilan dari Dinas Pendidikan Kota Bogor dan sampai melibatkan aparat kepolisian. Suatu hal yang mengagumkan adalah tawuran pelajar yang disebabkan geng yang mewakili dua sekolah kejuruan ditempatkan menjadi masalah bersama, yang perlu diselesaikan secara bersama-sama. 13 Maret 2014, sampai pada hari ini, masyarakat Kota Bogor merasakan dengan nyata semangat yang diperjuangkan para guru. Semangat itu tertuang dalam bentuk kebijakan publik berupa SK Dinas Pendidikan No. 800/126 – Disdik 2013. SK Dinas Pendidikan ini membahas tentang pendidikan dan pelatihan yang dilakukan didalam/diluar sekolah sebagai pranata utama dalam membangun manusia, secara jelas berperan membentuk pelajar menjadi aset bangsa, yaitu sumber daya manusia yang memiliki keahlian profesional, produktif dan mandiri dalam menghadapi persaingan pasar bebas.4 Keseluruhan kegiatan pembelajaran tersebut untuk dapat berhasil perlu didukung oleh lingkungan yang kondusif, memungkinkan pelajar mendapatkan
4
Pendahuluan pada Anggaran Dasar Satgas-pelajar Bogor,
5
pengalaman pembelajaran dengan sebaik-baiknya.5 Untuk tujuan itu semua, menjadikan unsur utama dari kebijakan ini adalah pembentukan kepengurusan satuan (Satgas) pelajar, sebagai forum komunikasi guru antar sekolah. Menempatkan kebijakan Satgas-pelajar sebagai media untuk mengatasi kenakalan pelajar, khususnya tawuran. Sebagai bentuk meningkatkan/menegakan citra pelajar dan menciptakan situasi kondusif untuk belajar diluar/didalam lingkungan sekolah. Satgas-pelajar sebagai sebuah kebijakan publik mempunyai tujuan untuk meluruskan kembali prilaku negatif para pelajar, menjelaskan seberapa besar target yang ingin dicapai oleh kebijakan publik ini, tidak sebatas menghilangkan identitas sebagai syarat pecegahan tawuran pelajar, tapi menitik beratkan pada implementator untuk mengikuti perkembangan dinamika ‘kenakalan pelajar’ tawuran pelajar. Pemahaman yang diperoleh terhadap tawuran pelajar secara tidak langsung menjadi inspirasi Satgas-pelajar untuk konsisten pada usaha-usaha meningkatkan dan menegakan citra pelajar di Kota Bogor. Hal tersebut setidaknya telah dibuktikan oleh Lembaga Satgas-pelajar selama lebih dari sepuluh tahun aktif menekan tingginya tingkat tawuran pelajar di Kota Bogor. Menurut Bapak Dede dalam perjalanannya hingga tahun 2012 Satgaspelajar sudah menangani lebih dari 52 kasus, secara singkat Bapak Dede menceritakan ‘tiga kejadian’ keberhasilan Satgas-pelajar didalam mengatasi tawuran pelajar.6 Pertama, pada hari Senin tanggal 16 Oktober 2012 Satgaspelajar telah berhasil mengamankan dua grombolan pelajar ‘SMK PGRI 2 dan 5 6
Ibid., Wawancara Bapak Dede, mantan anggota Satgas-pelajar. 20 Oktober 2013
6
SMK Mekanika’ yang diindikasi akan melakukan tawuran. Dari tangan kedua gerombolan pelajar tersebut ditemukan senjata tajam. Kedua, pada hari Jumat tanggal 21 September 2012 Satgas-pelajar telah berhasil membubarkan tawuran yang dilakukan oleh SMK PGRI 2, Mekanika, YKTB dan YAPIS. Tawuran dengan massa yang besar terjadi di Warung Jambu. Sebelum membubarkan tawura, Satgas-pelajar berupaya menarik korban keluar dari zona keributan untuk mendapatkan pertolongan pertama. Terdapat tiga orang korban pelajar, satu orang dari SMK PGRI 2 yang terluka di telinga sebelah kiri akibat terkena bambu runcing dan dua orang lainnya dari SMK YAPIS. Terdapat juga satu orang korban masyarakat yang terkena serpihan kaca mobil. Ketiga, pada hari Senin tanggal 1 Oktober 2012 Satgas-pelajar menerima laporan dari masyarakat adanya penghadangan gerombol pelajar SMK YZA 4 oleh SMK YKTB di Gang Bengkong pukul ± 07.00 WIB. Mendengar laporan tersebut Satgas-pelajar segera meluncur ke TKP, dengan sigap Satgas-pelajar memberikan pertolongan pertama pada korban ‘satu orang dari siswa SMK YZA’, dikarenakan lukanya cukup serius, korban dilarikan ke R.S Karya Bakti. Tidak tinggal diam, Satgas-pelajar juga mengamankan para pelaku siswa dari SMK YKTB dengan barang bukti sebuah penggaris besi dan besi tajam lainya. Para pelaku diamankan oleh Satgas-pelajar ke sekretariat yang berada di Dinas Pendidikan Kota Bogor. Satgas-pelajar tidak berdiri tunggal, melainkan berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan masyarakat didalam menangani kenakalan pelajar. Tercermin dalam kasus yang diliput tim Jurnal Bogor pada tanggal 23 September 2013
7
berikut ini.7 Aparat kepolisian Sektor Bogor Utara dan Satuan Tugas (Satgas) Pelajar serta Forum Komunikasi Antar Masyarakat Kota Bogor berhasil mengamankan grombolan pelajar berbaju lengkap putih abu-abu di Jalan Raya Pajajaran. Para pelajar itu diamankan lantaran diduga akan melakukan aksi tawuran pelajar dengan sekelompok pelajar lainnya yang biasa beroperasi di Kawasan Pajajaran Warung Jambu, Kota Bogor. Menurut Kapolsek Bogor Utara, Kompol J, Taojiri segerombolan pelajar yang diduga akan melakukan aksi tawuran itu, kami ‘bersama Satgas-pelajar’ boyong ke kantor Polsek Bogor Utara.8 Keberadaan gerombolan pelajar yang merupakan sekolah dari wilayah Bogor Tengah ‘SMK Tri Dharma’, sudah keluar jalur lintasan Bogor Utara, para petugas dan satgas secepat mungkin menangani dan mengendalikan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Selanjutnya gerombol pelajar diberi pembinaan salah satunya hukuman fisik kebugaran, agar mendapatkan efek jera. Surat Keputusan dari Dinas Pendidikan tentang pembentukan Satgaspelajar, secara garis besar memberikan suatu arahan agar sebiasa mungkin setiap produk kebijakan dari daerah semisalnya Perda, mengacu atau merujuk atau dalam bahasa hukum tunduk kepada peraturan diatasnya, yaitu salah satunya peraturan-peraturan yang dikeluakan di tingkat propinsi semacam himpunana peraturan pembinaan kesiswaan Kanwil Depdikbud Propinsi Jawa Barat Tahun 1997. Kehadiran SK pembentukan Satgas-pelajar menjadi menarik karena muncul pada waktu dimana proses dialog dan diskusi yang menggagas model baru 7 8
Juran Bogor dalam jurnalbogor.co/?p=6654 Diuduh tanggal 15 Maret 2014 Ibid.,
8
mengatasi pengelolaan tawuran pelajar dilakukan oleh masyarakat, gagasan untuk menggantikan pola lama dengan aktor utama adalah pemerintah, semakin menggelinding dan menjadi sebuah wacana utama dalam kebijakan publik. Dalam kaca mata Grindel, mengatasi permasalahan tawuran pelajar bukan hanya persoalan kebijakan publik semata, tetapi lebih ke-how to make the public policy wokrs appropriately with the purpose. Keseluruhan proses menjalankan kebijakan publik ‘implementasi’ selain harus memperhatikan kewenangan hukum/finansial juga harus memenuhi perincian tujuan serta sasaran, perancangan program pelaksana dan penyediaan sejumlah sarana yang dibutuhkan.9 Setelah semua dipersiapkan barulah kebijakan publik dapat direalisasikan sesuai dengan ketentuan dan aturan yang telah dipersiapkan. Jika seperti itu, maka public policy mengatasi tawuran pelajar tidak hanya sebatas policy peper semata, tetapi sudah siap menjadi tangan kanan pemerintah untuk mengatasi tawuran pelajar. Kondisi tawuran pelajar yang kompleks dan dinamis, menempatkan implementasi Satgas-pelajar pada situasi yang selalu berubah dan sulit diprediksi. Mengakibatkan
tahap
implementasi
Satgas-pelajar
beresiko
mengalami
kegagalan. Hal ini menjadi sangat penting berkaitan dengan semangat bottom-up yang berusaha diangkat melalui Satgas-pelajar. Pertama, menjelaskan profile tawuran pelajar di Kota Bogor dan bagaimana bentuk gerakan masyarakat yang telah berusaha keras menyelesaikan masalah tersebut. Dua, mengapa negara membuat kebijakan atas apa yang sudah dilakukan oleh masyarakat. Tiga, jika hal itu benar-benar terjadi, ada upaya pembentukan sebuah kebijakan mengatasi 9
Grindle, Merilee. S. 1980. Politics and Policy Implementation in The Third Word. Princeton University Press: New Jersey. Hal 7
9
tawuran pelajar, yaitu Satgas-pelajar. Satgas-pelajar telah diimplementasikan di Kota Bogor untuk mengatasi tawuran pelajar, pasti tedapat nilai yang berbeda, karena Satgas-pelajar berawal dari proses bottom-up. Dengan arti, apakah Satgaspelajar yang lahir dari proses bottom-up memperhatikan drajat implementability, yaitu memiliki sinergi antara konten kebijakan dengan konteks implementasinya. Dalam melihat sinergisitas antara konten kebijakan dengan konteks implementasi Satgas-pelajar, dimulai dari memahami makna dari kedua variabel tersebut, sebagaimana ukuran keberhasilan yang ditawarkan oleh Merilee S Grindle. Konten kebijakan lahir dari proses pembuatannya. Menentukan tujuan dan nilai-nilai sebuah kebijakan publik yang akan diterima oleh pemerintah sebagai aktor yang betanggung jawab atas penyelesaian masalah, implementor sebagai aktor yang mengeksekusi kebijakan Satgas-pelajar dan masyarakat sebagai target groups. Sedangkan konteks implementasi Satgas-pelajar berada dalam ruang lingkup relasi kuasa yang berdiri atas kekuasaan, karakter penguasa serta konsistensi dan daya tangkap. Implementasi dilakukan dalam sebuah sistem politik tertentu yang melihat dampak kepentingan. Berada dalam lingkungan pemegang otoritas/politisi/birokrasi dan kekuatan sosial/bisnis. Mereka semua mempunya kekuasaan untuk memperjuangkan kepentingan yang kemungkinan bergesekan atau justru mendukung hadirnya Satgas-pelajar. -siapa, dapat apa, untuk tujuan apa- dalam Satgas-pelajar tergantung pada kekuatan dan startegi masing-masing. Pada akhirnya, sinergi akan terbentuk apabila konten kebijakan
10
dan konteks implementasi berjalan searah didalam pencapaian keberhasialan Satgas-pelajar.
B. Rumusan Masalah Dari dua asumsi diatas menggiring penulis pada pertanyaan yang ingin ditemukan jawabanya melalui penelitian ini, yaitu: Mengapa Satgas-pelajar justru menjadi andalan penanganan tawuran pelajar di Kota Bogor?
C. Tujuan dan Manfaat Studi ini berusaha melihat sejauh mana peran Satgas-pelajar didalam mengatasi tawuran pelajar di Kota Bogor, dengan memperhatikan poin-poin berikut: 1. Menganalisis tawuran pelajar dan penanganannya di Kota Bogor 2. Menganalisis drajat implementability dalam mengatasi tawuran pelajar, mecari sinergi antar konten kebijakan dan konteks implementasi Satgas-pelajar Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah baru dalam kajian kebijakan publik. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan terhadap pemerintah didaerah lain yang memiliki problem tawuran pelajar serupa.
11
D. Kerangka Teori Penulis menggunakan kerangka teori untuk memudahkan penjelasan tentang konsep-konsep kunci yang akan digunakan didalam penelitian, termasuk kemungkinana berbagai keterkaitan antara suatu konsep dengan konsep lainnya. Kemudian konsep-konsep yang merupakan teori akan membantu untuk memahami suatu fenomena lebih tajam dan terperinci. Keseluruhannya akan dipaparkan lebih lanjut melalui poin-poin berikut: D. 1. Implementasi Kebijakan Pada prinsipnya, implementasi kebijakan merupakan cara negara untuk menjalankan kebijakan publik agar sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya.10 Fokus perhatian implementasi kebijakan yaitu dengan memahami sebuah program kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemangku kepentingan, yaitu kejadiankejadian dan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedooman kebijakan negara, yang mencakup usaha-usaha untuk mengadministrasikan maupun untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat.11 Secara general, proses implementasi kebijakan berkaitan dengan ciptaan sistem yang ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Grindle, keseluruhan proses implementasi kebijakan akan dimulai apabila tujuan serta sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci, program pelaksanaan telah dirancang dan sejumlah sarana telah disediakan untuk mewujudkan tujuan dan
10
Abdul Wahab, Solichin. 2001. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta:Bumi Aksara. Hal 65. 11 Ibid.,
12
sasaran tersebut.12 Nantinya tujuan–tujuan yang telah dipersiapkan dapat direalisasikan sesuai dengan ketentuan dan aturan yang telah ditetapkan. Sehingga kebijakan publik digambarkan dalam arti yang luas sebagai sarana dan cara pemerintah yang diterjemahkan kedalam program-program, memiliki tujuan dan telah disepakati bersama. Selanjutnya Grindle berpendapat, didalam proses penerapan kebijakan baru akan dimulai apabila tujuan serta sasaran telah selesai dirancang, mempunyai kekuatan yang sah dan telah dialokasikan dana dari pemerintah. Pada prosesnya, implementasi kebijakan berada pada kondisi yang kompleks dan dinamis sehingga dihadapkan oleh berbagai kondisi yang sering berubah dan sulit diprediksi, akibatnya proses implementasi beresiko mengalami kegagalan atau tidak efektifnya dalam proses pelaksanaan. Disini hal terpenting dalam implementasi, yaitu bagaimana pemerintah mampu melaksanakan kebijakan secara efektif ditengah kondisi yang sering berubah dan sulit diprediksi. Fokus perhatian dari implementasi kebijakan dengan memahami kondisi dimana kebijakan tersebut diberlakukan, yaitu kejadian-kejadian yang timbul setelah pedoman kebijakan disahkan. Soetopo menambahkan, bahwa implementasi kebijakan adalah pengembangan struktur hubungan antara tujuan kebijakan yang telah ditetapkan dengan tindakan pemerintah dalam merealisasikan tujuan yang merupakan hasil dari kebijakan.13
12
Grindle, Merilee. S. 1980. Politics and Policy Implementation in The Third Word. Princeton University Press: New Jersey. Hal 7. 13 Sustansyah, Deni. 2004. Implementasi Kebijakan Tata Kearsipan Pada Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Skripsi program sarjana SIA LAN RI Jakarta. Hal 32.
13
Selanjutnya, didalam melihat bagaimana proses implementasi kebijakan mengatasi tawuran pelajar di Kota Bogor, Dolbeare memberi pandangan bahwa didalam menganalisis implementasi kebijakan sangat perlu mempelajari sebab keberhasilan atau sebab kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan, seperti masalah kepemimpinan dan interaksi politik antara aktor pelaksana kebijakan.14 Mustopadijaja mengungkapkan bahwa keberhasialan suatu kebijakan tergantung pada beberapa kondisi, diantaranya.15 Pertama, ketepatan kebijakan itu sendiri. Kedua, konsistensi dan efektifitas pelaksana. Ketiga, any unanticipated condition atau kondisi diluar dugaan pembuat kebijakan. Dia juga berpendapat, terdapat dua poin yang menyebabkan suatu kebijakan gagal dilaksanakan pada saat diimplementasikan. Poin pertama yaitu kondisi non-implementation, kondisi ini terjadi apabila kebijakan tidak dilaksanakan dengan semestinya, terjadi bisa karena tidak adanya kerjasama antar aktor yang terkait atau terdapat beberapa kendala yang tidak teratasi. Poin kedua yaitu kondisi unsuccesful-implementation terjadi apabila kebijakan tidak mencapai tujuan yang ditetapkan padahal telah dilaksanakan secara utuh sesuai dengan petunjuk atau kondisi lingkungan tidak mendukung keberhasilan kebijakan.16 Tidak sebatas itu saja, implementasi kebijakan sesungguhnya tidak sekedar besangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik yang dilaksanakan dalam prosedur rutin melewati saluran birokrasi. Lebih dalam, implementasi kebijakan menyangkut keputusan, siapa memperoleh apa, 14
Santoso, Amir. 1988. Analisis Kebijakan Publik: Masalah dan Pendekatan. Jurnal Ilmu Politik No 5. Hal 8 15 Mustopadidjaja, Op.Cit., 37 16 Ibid.,
14
dan untuk apa. Implementasi kebijakan akan lebih baik jika dimaknai sebagai proses administratif untuk mengeksekusi keputusan-keputusan politik dengan mendayagunakan serangkain instrumen kebijakan untuk menghasilkan perubahan sosial ke arah yang dikehendaki, yang menyangkup pula serangkaian proses negosiasi antara implementor dengan sasaran kebijakan untuk memastikan tercapainya misi kebijakan.17 Sangat disayangkan, implementasi selama ini berputar pada peran aktoraktor negara, khususnya aparatus pemerintah.18 Hal ini membuat implementasi kebijakan seringkali dimaknai sebagai proses administratif semata.19 Padahal, jauh akan lebih menarik ketika menganalisis implementasi kebijakan dari sudut padang relasi kuasa. Dengan demikian, untuk menganalisis implementasi kebijakan dengan menggunakan sudut pandang relasi kuasa akan lebih mudah menggunakan teori Grindle yang akan dijelaskan melalui gambar 1.1 dibawah ini: 20
17
Santoso, Purwo. 2002. Modul Kuliah Kebijakan Pemerintah dan Implementasinya. Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Konsetrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM. 18 Santoso, Purwo. Op,cit. Hal 126 15 Ibid., 20 Grindle, Op.Cit., Page 11
15
Dalam gambar 1.1 menjelaskan bahwa sebuah kebijakan publik memiliki tujuan, tujuan tersebut akan tercapai jika sudah memiliki program aksi kebijakan dan adanya pendanaan didalam program tersebut. Grindel berpendapat, terdapat dimensi lain selain teknis administratif didalam implementasi kebijakan. Menurutnya, keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan itu sendiri, yaitu content of policy dan context of implementation.21 Content of policy ini lahir dari proses pembuatan kebijakan, menentukan tujuan dan nilai-nilai sebuah kebijakan yang akan diterima oleh masyarakat, siapa aktor-aktor yang terlibat sebagai implementator dan perubahan apa yang akan dirasakan. Sedangkan context of implementation berada dalam ruang lingkup relasi kuasa yang terdiri atas kekuasan, karakter penguasa serta konsistensi dan daya tangkap. Pada level kekuasaan, implementasi kebijakan dilakukan dalam sebuah sistem politik tertentu yang melihat dampak kepentingan, yang terdapat pada lingkungan birokrasi atau politis dan kekuatan sosial atau bisnis. Masingmasing mereka mempuyai kekuasaan untuk memperjuangkan kepentingan yang kemungkinan bergesekan dengan kebijakan. Oleh karena itu, siapa dapat apa disebuah kebijakan tergantung pada kekuatan dan stratgi masing masing. Dengan melihat kedua variabel tersebut, dapat dirasakan adanya penggabungan proses administratif kedalam relasi kuasa. Interaksi kedua variabel didalam implementasi kebijakan ini akan melibatkan proses tawar menawar dan akomondasi.22 Hal ini
21 22
Ibid., Hal 127 Ibid., Hal 127
16
membenarkan bagaimanana proses implemntasi kebijakan tidak hanya bersifat administratif semata, melainkan juga bersifat politis. D.1.1. Top-Down Vs Bottom-Up Memahami proses implementasi kebijakan tidak akan terlepas dari pendekatan top-down dan bottom-up. Kedua pendekatan ini akan lebih menarik untuk dipahami dengan mengikuti ringkasan yang dibuat oleh Purwo Santoso dalam modul belajar Analisis Kebijakan Publik..23 Pertama, menempatkan topdown sebagai proses yang terlahir dari atas, berjalan secara konsekuental dalam pola yang telah ditentukan. Implementasi kebijakan dikerjakan sesuai dengan prosedur dan pentunjuk yang telah disepakati. Dalam prakteknya di Indonesia kasus ini bisa ditemui ketika sebuah kebijakan harus patuh pada petunjuk pelaksana ’juklak’ dan petunjuk teknis ‘juknis’ baik dilevel pusat atau pemerintah. Kedua, menempatkan bottom-up sebagai proses implementasi, sebuah inisiatif yang dibangun dari bawah. Prosesnya bukan bersifat konsekuental, namun berlangsung dalam proses tawar-menawar yang terjadi secara terus menerus antar berbagai aktor kebijakan. Pendekatan ini mengandalkan inisiatif, pengetahuan dan kemampuan belajar adapatis masyarakat, masyarakat yang diterjemahakan sebagai stakeholders dalam mengimplementasikan kebijakan. Tabel 1.1 berikut ini, gagas oleh Purwo Santoso, memberikan gambar lebih detil tentang perbedaan antara pendekatan top-down dan bottom-up.24
23
Santoso, Purwo. 2010. Modul Pembelajaran Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : PolGov. Hal 12 dan 13 24 Ibid., Hal 130
17
Tabel 1.1. Kontras Pendekatan Top-Down dan Bottom-Up Poin Perbedaan
Top-Down
Bottom-Up
1.
Corak Institusi
State promoted mengandalkan kewenangan birokrasi pemerintah dan dana masyarakat cendrung dipadang hanya sebagai obyek kebijakan
Social-promoted mengandalkan modal sosial dan jaringan, cendrung dihasilkan sebagai produk mandiri masyarakat
2.
Sifat keputusan dalam implementasi
Keputusan bersifat otoritatif
3.
Tujuan Kebijakan
Tujuan kebijakan bersifat final dan tidak bisa ditawar
4.
Pemaknaan terhadap implementasi
Implementasi direduksi sekedar sebagai proses administrasi
No
Keputusan merupakan hasil dari komitmen terhadap kebijakan bersifat konsensual, keputusan kebijakan hanya bersifat garis besar Tujuan kebijakan banyak mengandung abguitas dan harus selalu diotorisasi melalui proses negosiasi untuk membangun konsesus Implementasi direduksi sebagai proses politisi yang secara terus menerus melibatkan negosiasi
Mencermati tabel 1.1 terdapat pemahaman mendasar bahwa kontras pendekatan ini menjelaskan tentang kebijakan publik dalam perjalanannya telah mengalami perkembangan makna yang dinamis. Kebijakan publik saat ini tidak sekedar mengandung pengertian tentang bagaimana peran pemilik otoritas atau negara menjalankan fungsinya sebagai pelayan publik, pembuatan kebijakan dan mengontrol kebijakan saja, tidak hanya bersifat top-down. Akan tetapi sudah berada pada satu level yang lebih tinggi, terdapat pilihan lain yaitu bottom-up, yang menjelaskan adanya sebuah mekanisme, proses atau hubungan yang kompleks dimana warga negara atau kelompok diluar negara memiliki kepentingan atas hak dan kewajiban serta dapat melakukan mediasi atas perbedaan kepentingannya, hal itu akan menetukan arah kebijakan publik. D.1.2. Model Bottom-Up dalam Implementasi Kebijakan Memahami sebuah implementasi kebijakan yang terjadi dalam dan diantara
institusi-institusi
yang
terlibat,
18
tidak
dimungkinkan
tanpa
mempergunakan suatu kacamata teoritis. Kacamata teoritis inilah yang dipakai untuk membedakan serangkaian variabel-variabel potensial yang menunjukan adanya hubungan kausalitas serta mengabaikan secara elegan variabel lain yang tidak relevan.25 Model ini terinspirasi oleh serangkaian penelitian tentang implementasi kebijakan yang selama ini dilakukan oleh peneliti administrasi negara, dan beberapa kelemahan-kelemahan pada pendekatan top-down yang tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan mengenai dinamika dalam kebijakan publik. Pertama, ketidak mampuan mengidentifikasi faktor penting yang muncul dan berperan dalam kebijakan publik. Pendekatan ini ternyata telah meremehkan peran aktor lain selain pemilik otoritas, seperti masyarakat, sama seperti ketika aktor tersebut mengimplementasikan kebijakan inovatif yang mereka kreasikan sendiri. Kedua, bahwa pendekatan top-down dalam implementasi kebijakan yang selama ini digunakan hanya terfokus pada ide yang berkaitan dengan aspek teknis, hanya terpaku melihat konten kebijakan selalu mempengaruhi konteks implementasi. Implementasi kebijakan Marile S Grindle akan sangat menarik apabila dipahami dengan menggunakan pendekatan bottom-up. Pendekatan bottom-up sejatinya tidak hanya memberikan warna pada corak institusi saja, social mechanisms, lebih mengutamakan ide dan gerakan masyarakat yang mandiri, akan tetapi mampu memberi nuansa pada pemaknaan terhadap implementasi
25
Sabatier, A. Paul, and Smith. 1993. Policy Change and Learning, An Advocacy Coalition Approach. Westview Press. Hal 55
19
kebijakan, yang nantinya mempengaruhi setiap keputusan dalam implementasi kebijakan, karena sangat dikelilingi oleh gesekan negosiasi. Garis besar konsep bottom-up dalam implementasi kebijakan Marile S Grindle yaitu berusaha mengkaitkan antara koteks implementasi dan konten kebijakan, adanya dominasi kuat yang dimiliki konteks implementasi sehingga mampu mempengaruhi konten kebijakan. Akan lebih mudah dipahami dari gambar 1.2. berikut ini:26 Gambar 1.2. Konsep Bottom-up dalam Implementasi Kebijakan
Mencermati gambar 1.2 kita dapat melihat satu poin dari variabel konteks implementasi
‘kekuatan,
kepentingan
dan
strategi
masyarakat’
yang
mempengaruhi poin pada konten kebijakan ‘letak pengambilan keputusan’. Hal tersebut sangat bisa terjadi pada negara yang mengklaim dirinya menganut paham demokrasi, dimana adanya keterlibatan masyarakat dan kebijakan publik sebagai salah satu pekerjaan pemerintah pun pada akhrinya harus terbuka serta mengakui kuatnya partisipasi masyarakat. Hal tersebut selama ini tidak mampu dijelaskan 26
Diolah oleh penulis
20
oleh kebijakan publik bersifat administratif, yang terpaku pada pendekatan topdown, bahwa ternyata masyarakat mampu menentukan arah sebuah kebijakan publik, untuk menyelesaikan masalah yang ada disekitarnya.
E. Definisi Konseptual Memperhatikan karakteristik pemasalahan penelitian, diketahui bahwa penelitian ini akan banyak menggunakan konsep yang relevan dengan realitas penelitian. Dimana nantinya akan dibangun dan dikembangkan secara mendetail di penelitian lapangan. Untuk itu konsep-konsep kunci penelitian ini adalah 1. Implementasi kebijakan merupakan cara negara untuk menjalankan kebijakan sesui dengan tujuannya. Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh implementability kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas content of policy dan context of implementation.. A. Content of policy terdiri dari: Intres Affected Didalam suatu kebijakan banyak sekali terdapat kepentingan dan sejauh mana kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap proses implementasi Type of Benefits Kebijakan harus memiliki beberapa jenis manfaat.. Hal tersebut sesuai dengan tujuan yang telah digariskan didalam formulasi kebijakan. Ketika kebijakan memberikan manfaat kolektif, maka proses implementasi akan lebih mudah mendapatkan dukungan. Extent of Change Encision
21
Kebijakan memiliki target yang ingin dicapai, yang mana melihat seberapa
besar
perubahan
yang
ingin
dicapai
melalui
proses
implementasi. Semakin luas dan besar perubahan yang diinginkan dari kebijakan, biasanya akan semakin sulit pula dilaksanakan Site of Decision Making Pengambilan keputusan dalam kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaannya, yang perlu diperhatikan adalah dimana letak pengambilan keputusannya dan seberapa luas besaran kedudukan pengambilan keputusan. Program Implementors Kebijakan harus didukung dengan adanya aktor pelaksana kebijakan yang kompeten demi keberhasilan suatu kebijakan. Selain itu, kebijakan juga
memerlukan
dukungan,
dukungan
yang
dimaksud
adalah
ketersediaan sumberdaya. Resources Committed Pelaksanaan kebijakan harus didukung oleh sumber-sumber yang mendukung agar pelaksaaannya berjalan dengan baik. B. Context of implementation terdiri dari : Power, Interest and Startegy of Actor Involved Kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau kekuasaan, kepentingan, serta strategi yang digunaka oleh para aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan. Bila hal ini tidak diperhitungkan dengan matang sangat besar
22
kemungkinan program yang hendak diimplementasikan akan jauh arah dari tujuan. Institustion and Regime Characteristic Lingkungan politik juga berpengaruh terhadapt keberhasilan. Karena karakteristik pemerintah dipengaruhi oleh lingkungan politiknya. Semua bagian
tersebut
saling
berintergrasi
dan
mempengaruhi
proses
implementasi kebijakan. Permasalahanya adalah pelaksanaan program rentan menimbulkan permasalahan bagi kepentingan-kepentinganya terpengaruhi. Startegi mengenai ‘siapa mendapatkan apa’ akan menjadi petunjuk langsung mengenai ciri-ciri penguasa atau lembaga yang menjadi implementator Compliance and Responsiveness Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan
oleh konsistensi dan
ketundukan para aktor, tentunya terhadap tujuan yang telah ditetapkan serta daya tanggap aktor pelaksana didalam memenuhi kebutuhan publik. 2. Model top-down dan bottom-up memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Model bottom-up lebih melihat kebijakan sebagai proses yang lahir dari bawah, yang berasal dari dinamika masyarakat. Sehingga kebijakan yang dihasilkan cendrung direduksi sebagai proses politik yang sarat akan negosiasi. Sedangkan model top-down sebaliknya, yaitu lebih melihat kebijakan publik sebagai proses yang lahir dari atas. 3. Model bottom-up dalam implementasi kebijakan akan mempengaruhi proses implementability pada sebuah kebijakan. Terdapat pergeseran bagaimana
23
konteks implementasi akan mempengaruhi konten kebijakan, dipengaruhi oleh social mechanisms.
F. Metodologi F. 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pemilihan metode kualitatif didasarkan pada sifat penelitian, dimana penulis ingin menjauhi statistik dan mencari ketajaman analisis-logis, sehingga didapatkan makna dari relasi kuasa pada implementasi kebijakan Satgas-pelajar. Menempatkan teori menjadi alat penelitian, mulai dari memilih tema, menentukan masalah, membangun hipotesis, melakukan pengamatan, sampai dengan menguji hasil pengamatan penelitian. Untuk memperkuat metodologi, penulis memilih studi kasus sebagai salah satu teknik yang tersedia didalam metode kualitatif. Terdapat beberapa alasan yang menjadi pertimbangan mengapa Studi Kasus dipilih untuk melihat peran Satgas-pelajar didalam mengatasi tawuran pelajar. Alasan pertama, penggunaan teknik studi kasus akan mengarahkan penulis untuk mampu merumuskan sejumlah pertanyaan berdasarkan kepada suatu yang bersifat ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’. Kata-kata pertanyaan tersebut membantu mengungkap fenomena tersembunyi didalam implementasi kebijakan penanganan tawuran pelajar yang hendak dikaji oleh penulis. Tentunya, bentuk pertanyaan memberikan arahan penting untuk strategi penelitian yang sesuai. Menurut Robert K. Yin, kekuatan yang unik dari studi kasus adalah kemampuan untuk berhubungan sepenuhnya dengan berbagai jenis bukti seperti
24
dokumen, wawancara, dan observasi.27 Ketiga jenis bukti tersebut akan membantu penulis sebagai titik terang dalam menemukan jawaban atas kasus penanganan tawuran pelajar oleh Satgas-pelajar dalam implementasi kebijakan, dengan variabel konten kebijakan dan konteks implementasi. Studi kasus yang dapat meneriman semua strategi pengumpulan data merupakan teknik yang tepat didalam mengungkapkan fenomena relasi kuasa dalam kebijakan yang bersifat administratif, hal inilah yang menjadi alasan kedua mengapa Studi Kasus dipilih. Alasan yang ketiga, dalam studi kasus terdapat empat tipe desain yang harus diperhatikan seorang peneliti pada saat mengkaji suatu kasus. Keempat tipe desain tersebut diantaranya, desain kasus tunggal holistik, desain kasus tunggal terpancang ‘embeded’, desain multi kasus holistik dan desain multi kasus terpancang.28 Pada penelitian ini, penulis hendak menggunakan desain startegi studi kasus yang pertama, yaitu desain kasus tunggal holistik. Oleh karena itu, terdapat tiga alasan utama menapa penulis memilih desain kasus tunggal holistik. Alasan pertama, relasi kuasa pada implementasi kebijakan Satgas-pelajar merupakan kasus yang penting didalam menentukan kegagalan atau keberhasilan penanganan tawuran pelajar di Kota Bogor, dengan demikian kasus tersebut dapat diangkat sebagai bahan penguji teori implementasi kebijakan yang dianggap penulis telah disusun dengan baik. Kasus yang diangkat ini diharapkan mampu untuk menentukan apakah proposisi teori tersebut benar, atau terdapat beberapa alternatif penjelasan yang lebih relevan. Sehingga kasus tunggal ini dapat
27
K, Robert Yin. 1996. Study Kasus: Desain dan Metide. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta. Hal 12 28 Ibid. Hal 46
25
menengahkan
suatu
kontribusi
yang
signifikan
terhadap
pembangunan
pengetahuan dan teori. Alasan kedua, melihat konten kebijakan dan konteks implementasi didalam aktivitas implementasi akan menyajikan suatu hasil penelitian yang ekstrim dan unik. Dipermukaan, kebijakan hanya dilihat sebagai suatu proses administratif semata, akan tetapi ketika kita mengorek lebih dalam, maka akan terlihat bahwa suatu kebijakan sangat kental diselimuti oleh proses politik. Hal ini bisa dijadikan suatu alasan mengapa kasus ini sangat berharga untuk didokumentasikan dan dianalisis. Alasan ketiga, studi kasus tunggal dapat dikatakan sebagai penjelasan fenomena yang umum terjadi akan tetapi sulit untuk dimasuki, karena situasi tersebut muncul jika peneliti mempunyai kesempatan untuk mengamati dan menganalisis suatu fenomena yang tidak mengizinkan penelitian didalamnya. Dengan maksud, penulis disini memiliki akses untuk masuk kedalam birokrat tempat dimana kebijakan ini diimplementasikan dan belum tentu penulis lain memiliki peluang yang sama. F. 2. Unit Analisis Data Dalam perspektif ilmu politik, implementasi kebijakan tidak hanya dimaknai sebagai proses administratif semata, melainkan terdapat realasi kuasa yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya sebuah kebijakan itu dijalankan. Jika politik diartikan sebagai –siapa, melakukan apa, untuk memperoleh apa-, maka aktivitas yang terjadi dalam implementasi kebijakan merupakan suatu bentuk kegiatan yang dilakukan aktor didalam memperoleh nilai dan kepentingan
26
politiknya. Hal tersebut yang menjadikan sebuah kebijakan publik itu menarik untuk diteliti. Sama seperti kota-kota besar lainnya, Kota Bogor dihadapkan oleh permasalahan kekerasan yaitu tawuran yang dilakukan oleh oknum pelajar. Namun, hadirnya kebijakan Satgas-pelajar di Kota Bogor membawa nuansa baru didalam mengatasi masalah kekerasan pada pelajar. Dengan demikian penulis menjadikan kebijakan Satgas-pelajar sebagai objek riset. Ketertarikan penulis dengan kebijakan Satgas-pelajar menjadi referensi utama, sebab penulis ingin menerapkan ilmunya di Kota Bogor. Pemilihan kluster negara didalam matakuliah yang disajikan jurusan dan ruang lingkup keluarga birokrasi yang dirasakan penulis menjadi titik temu untuk memilih kebijakan publik sebagai tema penelitian. F. 3. Teknik Pengumpulan Data F. 3. 1. Sumber data Pada umumnya didalam penelitian ilmiah, terdapat dua pilihan besar yang menjadi sumber data dari penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara melalui metode in-depth interview dengan aktor-aktor yang terlibat dalam proses kebijakan Satgas-pelajar Kota Bogor. Metode in-depth interview menurut Burham Bungin merupakan teknik wawancara yang dilakukan berkali-kali dan membutuhkan waktu yang lama bersama informan di lokasi penelitian.29
29
Bugin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Prenada Media Group: Jakarta. Hal108
27
Adapun data primer dalam penelitian ini mengacu pada empat jenis data pokok yang dibutuhkan. Data pertama berkaitan dengan policy statment dari kebijakan Satgas-pelajar kota Bogor. Data kedua berkaitan konten kebijakan Satgas-pelajar. Data ini berupa informasi tentang kepentingan yang dipengaruhi, tipe benefit, derajat perubahan, lokasi pengambilan keputusan, implementor program dan sumber daya yang dibutuhkan. Data pokok yang ketiga berkaitan dengan konteks implementasi. Data yang dibutuhkan adalah informasi tentang kekuatan; kepentingan; dan strategi aktor yang terlibat; karakterristik rezim dan institusi, serta kepatuhan dan responsivitas. Sedangkan data keempat diperoleh dengan melihat outcome dari kebijakan, apakah kebijakan mempunyai dampak terhadap masyarakat, individu dan kelompak, serta menganalisis perubahan dan derajat penerimaan terhadap perubahan tersebut. Data skunder penelitian ini diperoleh dari kajian pustaka diberbagai lokasi. Untuk menguatkan data sekunder diperlukan dokumen resmi. Dokumen resmi penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu dokumen intern dan dokumen ekstern. Dokumen intern berupa surat Keputusan Dinas Pendidikan tentang pembentukan satuan tugas atau satgas pelajar yang terdiri instrukis juklak dan juknis. Sedangkan sumber data sekunder dokumen eksteren berupa bahan-bahan informasi yang keluar dari suatu lembaga seperti berita-berita media cetak atau media elektronik yang menceritakan dan menjelaskan tawuran pelajar di Kota Bogor.
28
F. 3. 2. Cara Pengumpulan Data Startegi awal penulis untuk mendapatkan data primer dan sekunder secara formal dengan cara membuat surat izin penelitian tugas akhir di jurusan, disahkan oleh fakultas dan universitas. Kemudian surat izin penelitian tersebut diserahkan ke Badan Kesbanglinmas Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mendapatkan rekomendasi penelitian di wilayah Dinas Pendidikan Kota Bogor. Sebelum sampai ke Dinas Pendidikan Kota Bogor surat rekomendasi tersebut harus diserahkan kepada Kesbangpol Profinsi Jawa Barat yang berada di Kota Bandung. Surat nomer 070/1323/Rekomlit/Kesbang/2013 yang telah dikeluarkan oleh Provinsi Jawa Barat selanjutnya diteruskan ke Kesbangpol Kota Bogor. Badan Kesbangpol Kota Bogor mengeluarkan surat nomer 070/ 1016 – Kesbangpol yang ditujukan untuk Dinas Pendidikan Kota Bogor. Setelah semua perizinan selesai dibuat, barulah peneliti dapat melakukan penelitian guna mendapatkan data primer dan skunder secara formal. Didalam membangun format subtansi penelitian yang mapan, penulis tidak hanya menjadikan aktor-aktor utama yang terlibat didalam kebijakan Satgaspelajar sumber data yang tunggal, melainkan memadukannya dengan dokumen resmi dan observasi sebagai sumber rujukan utama untuk keperluan crosschecking atas hasil wawancara dengan aktor-aktor tersebut. Pemanfaatan multi sumber data -wawancara, observasi dan dokumen- memberikan peluang kepada penulis untuk mengarahkan diri untuk berfikir secara luas. Menurut Robert K Yin, keuntungan terpenting dalam pemanfaatan multi sumber data adalah pengembangan kesatuan inkuiri -suatu proses tri-anggulasi-,
29
karena temuannya atau kesimpulan apapun dalam studi kasus akan lebih meyakinkan dan tepat jika didasarkan pada sumber informasi yang berlainan, mengikuti bentuk pendukungnya.30 Penulis meyakini bahwa studi kasus yang menggunakan multi sumber data memiliki nilai lebih tinggi kualitasnya dibandingkan pada studi yang bersumber pada informasi tunggal. Format wawancara in-depth interview memudahkan penulis untuk memodifikasi basis pertanyaan yang telah disusun, karena sifatnya flaksibel, maka penulis memantapkan pilihan untuk memilih format wawancara tersebut. In-depth interview atau wawancara mendalam menurut Burham Bugin adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatapan muka antara pewawancara dengan narasumber atau informan yang dilakukan berkali-kali.31 Proses In-depth interview dilakukan penulis dengan menggunakan interview guide sehingga poin-poin yang akan ditanyakan tetap terfokus. Agar tidak kehilangan poin-poin yang ditanyakan, penulis menggunakan recorder sebagai alat bantu untuk merekam dan mempermudah analisis data. Akan tetapi dalam perjalanannya, ada beberapa informan yang kurang nyaman apabila pembicaraan direkam, sehingga penulis mencatat poin-poin penting ketika wawancara berlangsung. Dengan proses snowball sampling method, peneliti menetapkan dua orang sebagai gatekeeper yaitu bapak Muhammad Iqbal SE ‘Kepala SMK Taruna Andhiga’ sebagai ketua harian Satgas-pelajar dan Bapak Drs. Indarto ‘Guru SMK 30 31
K. Yin. Op,cit. Hal121 Bugin, Burhan. Op, Cit. Hal 108
30
Negeri 2’ mantan anggota Satgas-pelajar. Kedua aktor tersebut diharapkan penulis diawal penelitian sebagai orang pertama yang dapat diwawancarai, menjadi aktor utama untuk membuka lebih luas pengetahuan tentang tawuran pelajar serta faktor-faktor konten maupun konteks yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan. Selanjutnya gatekeeper menggiring penulis untuk menemukan aktoraktor lain yang memberikan nuansa dan nilai-nilai baru, secara berkesinambungan aktor-aktor tersebut memberikan informasi dan data serta menyebutkan aktor lainnya untuk dijadikan informan dan narasumber. Dalam hasil penelitian dilapangan, ditemukan bahwa aktor-aktor lain memberikan ide-ide segar dan data baru yang tidak terpikirkan oleh peneliti diawal penelitian. Hal ini dikarenakan isu tentang implementasi kebijakan publik sangat sensitif bagi para birokrasi, isu tersebut bermuara pada aksi dan statements ‘antara’. Seringkali kedua variabel tersebut terlihat bertentangan atau seringkali diiringi dengan berbagai alasan yang tidak jelas dan hal tersebut ‘sengaja’ dirahasiakan ditutup-tutupi oleh birokrasi. Para birokrasi yang terkait dengan implementasi kebijakan ini tidak serta merta membeberkan informasi dan data yang dimiliki dengan mudah kepada penulis. Dalam melakukan wawancara, penulis tidak hanya melakukannya secara formal. Penulis juga melakukan pendekatan dengan cara informal untuk melakukan wawacara dengan informan dan narasumber. Para birokrasi yang terkait dengan implementasi kebijakan dapat juga ditemui penulis di luar jam kerja mereka. Salah satu contoh, penulis ikut kegiatan mereka bermain futsal, saat
31
istirahat atau setelah bermain futsal merupakan waktu yang tepat bagi penulis untuk melakukan wawancara. Tidak kalah penting dan merupakan bagian yang paling mengesankan didalam penelitian ini yaitu penulis ikut berbaur kedalam gang pelajar guna mendapatkan data tentang tawuran pelajar. Proses pengumpulan data pada tahap ini terbilang cukup sulit, karena penulis harus sangat memahami etika dalam melakukan wawancara dan berusaha menempatkan diri sebagai orang yang dapat dipercaya oleh narasumber dan informan. Untuk
pengambilan
data
melalui
observasi,
penulis
melakukan
pengamatan secara langsung dilapangan, menggunakan kesempatan pada saat wawancara dan pengumpulan dokumen untuk melakukan pengamatan secara langsung terhadap pemerintah yang diperankan oleh Dinas Pendidikan Kota Bogor, sebagai lembaga implementor kebijakan Satgas-pelajar yang diperankan oleh guru-guru dan masyarakat yang terkena dampak dari kebijakan tersebut, khususnya pelajar. Observasi merupakan poin penting yang ditempatkan penulis sebagai media crosschecking ‘benar atau tidaknya dan dilakukan atau tidak’ data dari hasil wawancara dan dokumen resmi. F. 3. 3. Teknis Analisis Data Bahan data primer dan sekunder dikumpulkan menjadi satu dalam berbagai wawancara dan sumber refrensi data. Hasil wawancara diolah, ditulis kembali menjadi sebuah naskah dan diberi tanda agar mudah dipahami. Pemberian tanda dimaksudkan untuk memberikan klasifikasi pada masing-masing hasil naskah wawancara mengenai aspek personal narasumber, kepentingan apa
32
yang mempengaruhinya sehingga mereka memberikan pernyataan tersebut dan posisi jabatan apa yang sedang mereka emban. Setelah itu, hasil naskah wawancara dikelompokkan berdasarkan sumber data primer, yaitu berkaitan dengan tawuran pelajar, konten-konteks-outcome dari kebijakan Satgas-pelajar. Setelah data primer dianalisis, kemudian data dikelompokan sesuai dengan sistematika bab. Berakar pada teorisasi, penulis menggunakan teori sebagai pisau analisis untuk mengungkap temuan data yang dimiliki. Selanjutnya, data di crosscheck dengan menggunakan data sekunder, dengan demikian ada proses pengayaan data atas analisa kajian. Sehingga, penulis mendapatkan temuan apakah teori yang digunakan tersebut dapat diterima dan diperkuat, diragukan dan dikritik, serta direvisi dan ditolak. Terakhir, kesimpulan dalam analisis implementasi kebijakan Satgas-pelajar ini berdasarkan pada nilai-nilai inti yang terdapat pada masing-masing bab. Kesulitan didalam pengambilan data adalah bagaimana penulis kesulitan untuk mendapatkan data mengenai tingkat statistik tawuran pelajar di Kota Bogor. Lembaga Satgas-pelajar dan Dinas Pendidikan Kota Bogor tidak memberikan data terkait tingkat tawuran pelajar, karena sifat data tersebut rahasia. Selanjutnya, baik sekolah SMP, SMA, SMK maupun sekolah sederajat lainnya sangat merahasiakan data terkait tingkat tawuran pelajar, hal tersebut disinyalir karena untuk mempertahankan nama baik serta citra mereka. Dengan demikian, penulisan penelitian mengatasi tawuran pelajar ini tidak dapat memaparkan fakta secara terperinci terkait seberapa banyak tingkat tawuran yang telah terjadi baik yang telah ditangani ataupun tidak ditangani oleh kebijakan Satgas-pelajar.
33
G. Sistematika Bab Temuan dari hasil penelitian ditulis kedalam lima bab. Bab pertama memuat yang berisikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori implementasi kebijakan publik, pendekatan top-down vs bottom-up dan model bottom-up dalam implementasi kebijakan, definisi konseptual dan metodelogi penelitian. Bab kedua membahas tawuran pelajar dan melihat bagaimana social mechanisms bekerja didalam mengatasi masalah tersebut, sebagai context implementation. Memahami tawuran pelajar dengan cara membuat postur tawuran pelajar, dari pemetaan aktor di era orde baru, era reformasi dan era otonomi daerah serta membahas sifat dari tawuran pelajar, yang bersifat struktural. Bab ketiga membahas tentang mengapa negara membuat kebijakan atas apa yang sudah dilakukan oleh masyarakat, didalam merespon tawuran pelajar yang terjadi di Kota Bogor, yang menjelaskan bagaimana content of policy terpengaruhi. Bab keempat membahas tentang sinergi antara konteks implementasi dengan konten kebijakan dalam kebijakan Satgas-pelajar, sehingga mampu mengatasi tawuran pelajar di Kota Bogor. Bab kelima merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan. Pada bab ini mengulas ulang secara singkat mengenai garis besar penelitian serta menjabarkan teori yang diulas dengan hasil penelitian sejalan atau bertolak belakang dengan kasus yang diteliti di Bogor. Refleksi penelitian juga terlampir dalam bab ini.
34