BAB I GEJALA PARADOKS DIBALIK PRAKTIK PENGUATAN IDENTITAS
A. Latar Belakang Penelitian Berbagai kajian mengenai orang Dayak Kenyah di sepanjang beberapa dasawarsa yang silam menunjukkan bahwa orang Dayak telah berubah dan semakin berubah. Seperti yang diungkapkan oleh Maunati, tentang perubahan generasional orang Dayak Kenyah. Kajian itu menunjukkan bahwa sudah sejak lama terjadi golongan yang lebih muda tidak lagi melakukan aktivitas-aktivitas yang sama dengan yang dilakukan oleh kelompok yang lebih luas. Perubahan ini tersebar luas: dalam bertelinga panjang, misalnya. Sikap orang-orang muda terhadap cara beranting ‘tradisional’ Dayak Kenyah sudah berubah karena adanya situasi-situasi yang baru. Ini tampak kontras dengan sikap generasi tua yang cenderung mengagungkan masa lalu1. Studi ini berangkat dari pengamatan di Kota Samarinda. Dari pengamatan tersebut terlihat bahwa tradisi telinga panjang Suku Dayak Kenyah tidak terwariskan dengan baik secara merata. Dimensi perubahan identitas mengelilingi isu-isu tentang otensitas dan tradisi. Tetapi, perluasan penting dari dinamika ini terletak dalam perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh sesama orang Dayak
1
Yekti, Maunati; 2004, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, LkiS, Yogyakarta. Hlm: 155.
1
Kenyah dalam merespon perubahan. Disatu sisi ada yang masih mempertahankan tradisi telinga panjangnya, dan disisi lain ada yang memotong telinga panjangnya. Perubahan yang menjadi penitikberatan perubahan identitas orang Dayak Kenyah di Samarinda adalah soal perubahan komposisi penduduknya. Dimana saat ini orang Dayak Kenyah di Samarinda hidup dengan masyarakat yang multikultur. Beragamnya masyarakat salah satunya diakibatkan oleh banyaknya perpindahan penduduk dari luar Kalimantan. Perpindahan ini menjadikan kepadatan penduduk Kota Samarinda relatif tinggi dan keragaman budaya masyarakatnya terlihat menonjol. Menurut Sensus Penduduk tahun 2000 misalnya, Samarinda dihuni oleh 521.188 jiwa. Penduduk yang mendiami Samarinda ini pada umumnya merupakan orang-orang yang berasal dari kelompok-kelompok suku Dayak, Kutai, Banjar, Flores, Madura, dan Bugis. Dengan kata lain, mobilitas kebudayaan di kota ini sepertinya terkait dengan perpindahan sumber daya sosial dan budaya (social cultural resources)2. Jika hal ini terjadi terus menerus maka bisa saja berakibat pada adanya perubahan identitas disalah satu pihak. Dunia yang beragam seperti yang terjadi di Samarinda, diungkapkan kepada Kahn dalam Maunati berhubungan erat dengan konstruksi. Masalah yang menjadi fokus perhatian dari Kahn muncul dari kenyataan bahwa proyek menafsirkan ‘kebudayaan-kebudayaan lain’ dengan berbagai cara mengandung sebuah kesalahan fatal bila proyek tersebut tidak pernah berhasil meletakkan kebudayaan-kebudayaan ini kecuali dalam hubungan dengan, dan karena di dalam
2
Riwanto, Tirtosudarmo; 2007, Mencari Indonesia: Demografi-Politik Pasca-Soeharto, LIPI Press, Jakarta. Hlm: 107.
2
kebudayaan milik, si manusia yang menafsirkan. Dalam kaitan ini, Kahn menyatakan bahwa suara the others adalah suara si pengarang. Maksudnya adalah orang tidak bisa berhenti berharap untuk lolos dari batasan-batasan sudut-sudut tertentu budaya mereka sendiri3. Sebelum konsep identitas banyak digunakan, saya yakin bahwa sedikitnya ada satu cara orang Dayak Kenyah memandang ke-Dayak-an mereka. Kita dapat menyebutnya sebagai pengertian mereka tentang identitas Dayak. Identitas tradisional dan berkiblat ke masa silam, disini akan saya sebut sebagai identitas historis4. Identitas historis Dayak sendiri adalah apa yang diperoleh dari nilai-nilai Dayak di masa lampau, yang masih tetap ada tetapi kini tercakup dalam konsep identitas budaya yang lebih luas dan jauh lebih bermanfaat. Jelas bahwa gagasan mengenai identitas mengalami perubahan dan dari waktu ke waktu gagasangagasan baru diperkenalkan sejalan dengan berubahnya situasi di Samarinda. Dalam keberadaan konstruksi-konstruksi orang luar inilah masing-masing etnis juga bereaksi dengan memobilisasi identitasnya sendiri. Dari cara pandang kelompok mainstream untuk kelompok minoritas seperti Dayak sejak masa pemerintahan Orde Baru sampai saat ini masih sering terjadi, orang Dayak di konstruksi kelompok-kelompok lain. Baik para penjelajah maupun kalangan terpelajar yang ada di zaman kolonial telah membentuk konstruksi Barat tentang orang Dayak, yang pada gilirannya mempengaruhi sikap negara Indonesia pascakemerdekaan. Dengan menyertakan embel-embel ‘primitif’, orang-orang Barat 3
Yekti, Maunati; 2004, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, LkiS, Yogyakarta. Hlm: 24. 4 Jennifer, Cushman, dkk; 1988, Changing Identities Of The Southeast Asian Chinese Since World War II, edisi Bahasa Indonesia: Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara, diterjemahkan oleh Achmad Setiawan Abadi. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Hlm: 13.
3
menggambarkan orang Dayak sebagai pemburu kepala dan sebagai orang-orang yang hidup secara komunal dari berburu, mengumpulkan kayu, dan tinggal di rumah-rumah panjang5. Orang-orang Dayak Kenyah di Samarinda-pun akhirnya mengidentifikasi diri mereka sama halnya seperti yang dicitrakan oleh orang luar, yakni orang-orang yang ‘terbelakang’, ‘kuno’, ‘primitif’, dan ‘tertinggal’. Keasyikan orang dengan praktik-praktik budaya Dayak dan citra ‘klasik’-nya sebagai orang-orang asli yang masih ‘primitif’ itupun diadopsi oleh orang Dayak Kenyah untuk menilai kelompoknya sendiri karena mereka merasa apa yang dikatakan oleh orang adalah benar. Anggapan demikian masih tetap dibangun dan disebarluaskan antara orang Dayak Kenyah dalam relasinya antar sesama Dayak hingga ada timbulnya usaha-usaha penghilangan identitas. Dalam kesehariannya, tanda identitas budaya Dayak Kenyah yang paling mencolok bagi orang-orang diluar Dayak adalah praktik menindik dan memanjangkan daun telinga. Meskipun tidak semua suku Dayak melakukan tradisi ini. Di Samarinda, tradisi ini masih terus dilakukan oleh sebagian orangorang Dayak Kenyah. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki daun telinga yang sengaja dipanjangkan. Hanya ukuran panjangnya saja yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki tidak boleh memanjangkan telinga melebihi bahunya, sedangkan perempuan boleh memanjangkannya hingga sebatas dada. Sebelum bertemu langsung dengan orang-orang Dayak Kenyah di Samarinda, saya membayangkan sejumlah besar orang Dayak Kenyah adalah mereka yang memiliki tatto dan daun telinga yang panjang. Belakangan terbukti bahwa hal ini hanya sebagian benar karena banyak orang telah memotong daun 5
Ibid. Hlm: 06.
4
telinga mereka yang dulu sudah terlanjur panjang karena malu diperlakukan berbeda oleh orang-orang kebanyakan. Dalam pesimisme yang terjadi di atas, masih ada orang Dayak Kenyah yang tidak memotong telinganya. Seperti yang dilakukan oleh Poy Periaq. Bahkan Poy Periaq terlihat bangga menjadi orang Dayak Kenyah. Memiliki sebuah penanda fisik ke-Dayak-an bukan menjadi sesuatu yang memalukan baginya. Tidak dipungkiri bahwa kebiasaan yang dimunculkan oleh orang Dayak Kenyah dalam hal memanjangkan telinganya, lama kelamaan menjadi identitas Dayak karena telah diidentifikasi oleh orang luar bahwa orang yang memiliki telinga panjang adalah orang Dayak. Dalam hal ini, Poy Periaq tidak merasa terganggu dengan dikenalinya dia sebagai orang Dayak. Dengan begitu secara otomatis sudah tentu citra negatif tentang Dayak juga dilekatkan pada dirinya. Tapi disaaat yang bersamaan jutru terdapat pemandangan berbeda ketika melihat Poy Pelampang yang merasa terusik dengan dikenalinya dia sebagai orang Dayak hingga membuatnya memutuskan untuk memotong telinga panjang yang dimilikinya agar tidak lagi dikenali sebagai orang Dayak. Tindakan yang dilakukan Poy Pelampang bertujuan untuk menyesuaikan diri dengan apa yang dibayangkan oleh orang luar tentang Dayak. Padahal pada saat yang bersamaan, justru dia sedang mencerminkan kekalahan atau ketidakpercayaan diri. Pada kenyataannya dimana seharusnya setelah memotong telinganya, Poy Pelampang tidak lagi mengalami hambatan untuk melakukan keterbukaan dengan pihak lain, tapi disini justru dia melakukan isolasi diri. Tapi disisi lain, Poy Periaq yang tetap mempertahankan ciri khas yang dianggap oleh
5
orang lain sebagai keanehan, malah justru dapat menghasilkan kebanggaan karena keberpihakannya terhadap tradisi itu menjadi solusi ekonomi bagi dirinya. Peristiwa di Samarinda sebagaimana disebutkan diatas menjadi hal menarik untuk melihat kondisi Indonesia yang kaya akan suku bangsa. Jika telinga panjang menjadi sebuah hal yang memalukan, lalu mengapa masih ada orang yang mempertahankannya. Berangkat dari gambaran diatas, penelitian ini secara garis besar akan memaparkan bagaimana bisa dua orang yang sama-sama berasal dari suku yang sama, tinggal di tempat yang sama, dan sama-sama mendapatkan konstruksi dari luar memiliki sikap yang berbeda dalam merespon perubahan sosial yang terjadi. Tapi pada kenyataannya, sikap yang diambil untuk sebuah alasan tertentu justru menghasilkan sesuatu yang berbalik. Beberapa hal menarik dan penting untuk dikaji secara cermat dibalik persoalan perdebatan kebanggaan yaitu mengungkapkan apa perbedaan mendasar dari Poy Periaq dan Poy Pelampang, dan bagaimana proses pergeseran identitas yang diakibatkan karena adanya pertemuan dengan pihak luar. Dengan menelaah kaitan semua itu, tentu dapat terungkap paradoks yang berlangsung didalamnya. Sehingga penelitian inipun dapat menjadi sebuah contoh bagi suku bangsa lainnya dalam hal bagaimana menjaga eksistensi identitasnya.
B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasar latar belakang yang telah diutarakan. Kemudian skripsi ini memiliki rumusan masalah: Bagaimana kebanggaan akan identitas diri sendiri membentuk sikap yang berbeda dalam merespon perubahan? 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini perlu dilakukan guna mengetahui kaitan antara keteguhan pada identitas diri, dengan perbedaan sikap dalam merespon perubahan. Dengan menelaah kaitan antara keduanya, studi ini diharapkan dapat mengungkap paradoks yang berlangsung di dalamnya. Penelitian ini juga diharapkan akan dapat memberikan sumbangan akademik dalam bentuk gambaran baru mengenai penguatan identitas diri sekaligus pentingnya menjaga sebuah identitas agar tidak terpengaruh dengan konstruksi orang lain. Dari studi ini akan diperlihatkan bekerjanya teori-teori dibalik bekerjanya strategi dari masyarakat adat untuk mempertahankan identitas kesukuannya. Secara praktis studi ini dimaksudkan mengerti cara masyarakat adat meneruskan perjuangannya dan menyediakan rujukan nasional bagaimana strategi mempertahankan identitas nasional sebagai kepribadian nasional.
D. Kerangka Teori: Mengurai Paradoks Signifikansi teoritis dari penelitian ada pada usaha penulis untuk mencermati bagaimana identitas sebagai sebuah sumber daya. Pencermatan ini berangkat dari asumsi bahwa seseorang dapat mempengaruhi orang lain melalui identitas yang dimilikinya. Berangkat dari pemahaman ini diharapkan dapat dijelaskan adanya suatu model perjuangan identitas.
7
D.1. Ekspresi Identitas Sebagai Perlawanan Terhadap Konstruksi Kajian ini berangkat dari teori Kahn dalam Eriyanto yang menyatakan bahwa identitas kebudayaan adalah sebuah konstruksi. Apa yang kita ketahui tentang realitas atau tentang dunia tergantung pada bagaimana kita membingkai dan mengkonstruksi/menafsirkan realitas. Realitas yang sama bisa jadi akan menghasilkan realitas yang berbeda ketika realitas tersebut dibingkai atau dikonstruksi dengan cara yang berbeda6. Karena berbagai citra dan anggapan yang telah dikonstruksi membagi kelompok masyarakat ke dalam kelompok identitas yang tunduk pada konstruksi, dan ada pula yang melakukan perlawanan dengan tetap mengekspresikan apa yang telah menjadi ciri khasnya. Orang yang melakukan penyesuaian terhadap konstruksi, adalah pihak yang kalah karena apa yang dia lakukan adalah lambang ketidak percayaan diri. Sebaliknya, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai ketradisionalannya, justru itu merupakan sebuah perlawanan terhadap konstruksi yang telah menciptakan anggapan dan citra-citra tertentu pada suatu identitas. Tapi pada saat yang bersamaan justru menjadikan ia seorang pemenang karena dapat mempertahankan kebanggaan di tengah orangorang yang tidak lagi memiliki hal itu. Identitas pada dasarnya bukanlah sesuatu yang ajeg. Identitas dapat terus berubah, seiring dengan perubahan struktur di dalam masyarakat yang terus terjadi. Sebagai sebuah produk yang belum final, identitas yang ada harusnya dapat diperkuat dan didewasakan sehingga dapat terbuka tanpa harus kehilangan 6
Eriyanto; 2002, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Lkis, Yogyakarta. Hlm: 155.
8
ke-khas-annya. Misalnya saja, dengan terbentuknya negara kebangsaan modern, masalah kini bukan lagi masalah koeksistensi. Dimana-mana orang Cina mendapatkan bahwa pilihannya kini adalah antara asimilasi dan integrasi. Hal ini menuntut sikap yang lebih luwes dan lebih berpandangan kedepan terhadap kebudayaan dan pengertian budaya Cina baru. Identitas budaya sebagai sebuah konsep secara tidak langsung menyatakan bahwa negara kebangsaan dapat hidup dengan banyak kebudayaan dan bahwa kebudayaan nasional yang baru dapat diperkaya kalau saja kebudayaan rakyat yang beraneka ragam digalakkan agar tetap hidup dan berkembang di dalam kerangka nasional7. Definisi identitas secara harfiah adalah ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada sesuatu atau seseorang yang membuatnya berbeda dengan yang lain, baik dari fisik maupun non fisik. Secara teoritis seperti yang dikatakan Wibisono, pengertian identitas pada hakekatnya merupakan manifestasi dari nilainilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Dengan ciri-ciri yang khas tersebut suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam kehidupannya8. Dalam masyarakat monokultural, hal seperti jati diri bukan saja merupakan suatu ciri yang dapat membedakan, tapi mungkin juga dapat membawa suatu masalah. Akan tetapi di dalam masyarakat majemuk, jati diri seseorang dapat berfungsi sebagai suatu pertanda diri. Tapi hal tersebut secara tidak langsung 7
Jennifer, Cushman, dkk; 1988, Changing Identities Of The Southeast Asian Chinese Since World War II, edisi Bahasa Indonesia: Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara, diterjemahkan oleh Achmad Setiawan Abadi. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Hlm: 07. 8 Siswomihardjo, Koento, Wibisono; 2005, Identitas Nasional Aktualisasi Pengembangannya Melalui Revitalisasi Pancasila. Makalah disampaikan pada Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewarganegaraan yang diselenggarakan oleh Depdiknas Dirjen Dikti di Jakarta pada tanggal 12-23 Desember 2005.
9
dapat mengakibatkan sebuah kekacauan jati diri yang diakibatkan karena interaksi dengan pihak lain. Parahnya lagi, bahkan jati diri tersebut bisa saja hilang atau mengalami modifikasi9. Bicara
tentang
konstruksi,
dalam
studi
komunikasi,
paradigma
konstruksionis ini sering disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis (paradigma transmisi). Menjadi titik perhatian ketika bagaimana masing-masing pihak dalam lalu lintas komunikasi saling mereproduksi dan mempertukarkan makna. Di sini diandaikan tidak ada pesan dalam arti statis yang saling dipertukarkan dan disebarkan. Pesan itu sendiri dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial dimana mereka berada. Fokus dari pendekatan ini adalah bagaimana pesan politik dibuat atau diciptakan oleh komunikator dan bagaimana pesan itu secara aktif ditafsirkan oleh individu sebagai penerima10. Dalam merespok konstruksi yang berkembang, tentu ada identitas yang takluk pada hal itu dan ada pula yang tetap diam dan melakukan perlawanan dengan caranya sendiri. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa identitas atau jati diri yang dapat dikacukan adalah identitas yang rapuh dan lemah. Sebaliknya, identitas yang kuat adalah identitas yang dapat tetap dapat mempertahankan dan mengekspresikan dirinya. Diantara perpecahan yang timbul dari dewasa ini, tidak ada yang lebih mampu memporak-porandakan kesatuan 9
John, W, Berry, dkk; 1992, Cross-Cultural Psychology: Research and Applications, edisi Bahasa Indonesia: Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi, diterjemahkan oleh Edi Suhardono. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Indonesia. Hlm: 589. 10 Eriyanto; 2002, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Lkis, Yogyakarta. Hlm: 40.
10
bangsa dari pada perpecahan antar suku. Munculnya kesadaran akan jati diri kaum kulit hitam dengan sendirinya meningkatkan sadar diri kelompok-kelompok keturunan Mexico (Chicano), Puerto Rico, America Indian, dan kelompokkelompok lain keturunan aneka bangsa Eropa. Terakhir, yang disebut kaum kulit putih, membangkitkan tenaga pelantingnya sendiri, yaitu tenaga yang cenderung melepaskan diri dari musuh. Salah satu peristiwa yang luar biasa di masa kini adalah kebangkitan kesukuan di suatu belahan bumi, yang konon materialistis dan teknokratis ini. Ilmu pengetahuan dan rasionalisasi di bidang perekonomian itu diharapkan
sudah
mengendorkan
atau
bahkan
menghilangkan
naluri
kemanunggalan suku bangsa di dalam satu tanah air dan kepercayaan yang sama, akan tetapi sekoyong-koyong ikatan-ikatan rasial, nasional, dan kepercayaan itu memperoleh makna baru11. Melawan konstruksi dalam hal ini diwujudkan dengan cara berteman dengan ketidaknyamanan itu. Berteman dengan orang lain tentu tidak harus menjadi seragam dengan orang tersebut. Pernyataan ini diamini oleh Mulyana yang mengatakan bahwa untuk bekerja sama dengan orang-orang tidak harus kita melakukan konformitas (keseragaman) sepenuhnya. Orang lain hanya akan menganggap perilaku kita membingungkan dan tidak tulus. Ia akan mencurigai motif kita. Kita diharapkan untuk berbeda. Namun, kitapun diharapkan untuk menghormati dan menerima orang-orang lain apa adanya. Dengan begitu maka
11
Arthur, Mann; 1979, The One And The Many: Reflections On The American Identity, edisi bahasa Indonesia Yang Satu dan Yang banyak: Refleksi Tentang Identitas Amerika diterjemahkan oleh Paul Surono Hargosewoyo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Indonesia. Hlm: 22.
11
kita akan dapat bekerja sama tanpa memaksa dengan mengamati pola-pola tradisi mereka yang tidak tertulis12. Menjadi berbeda adalah kepercayaan kepada normalitas dan penerimaan keberagaman. Bagi mereka yang kehilangan jati dirinya adalah mereka yang orang-orang yang tidak lagi bangga pada identitasnya, begitu juga sebaliknya. Tetapi penting untuk dicatat, keragaman ini hendaklah tidak diinterpretasikan secara tunggal. Dan lebih jauh lagi, komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri dan karakter utama masyarakat-masyarakat dan negara-bangsa seperti Indonesia, tidaklah berarti ketercerabutan, relativisme kultural, disrupsi sosial atau konflik berkepanjangan pada setiap komunitas, masyarakat dan kelompok etnis dan rasial. Sebab, pada saat yang sama sesungguhnya juga terdapat simbol-simbol, nilai-nilai, struktur-struktur dan lembaga-lembaga dalam kehidupan bersama yang mengikat berbagai keragaman tadi. Inilah yang disebut sebagai supra-cultur13.
D.2. Paradoks14: Kontradiktif Tapi Justru Menyelesaikan Masalah Suatu peradaban itu senantiasa mengalami perubahan budaya. Apabila suatu budaya itu statik, maka itu turut mempengaruhi kedudukan suatu peradaban. 12
Deddy, Mulyana, dkk; 1990, Komunikasi Antar-Budaya: Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Hlm: 53. 13 Azyumardi, Azra; 2007, Merawat Kemajemukan = Merawat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta. Hlm: 20. 14 Paradoks menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.
12
Perubahan budaya itu boleh berlaku secara proses evolusi berasaskan pengalaman anggota-anggota masyarakat dalam menyesuaikan dengan alam sekitar dan keperluan semasa. Perubahan yang berlaku dalam konteks ini agak perlahan, dan mengambil masa yang lama. Pembinaan asas dalam peradaban manusia pada peringkat awal adalah melalui proses perubahan secara evolusi itu. Asas yang dibina itu merupakan kekuatan jati diri yang kemudian menjadi tradisi dan mengalami proses penyesuaian peringkat demi peringkat sehingga ke tahap suatu peradaban yang kukuh kemudian. Misalnya saja, kemantapan budaya Melayu, yang dapat dikesan sejak zaman prasejarah, dapat dibuktikan bahwa peradaban Melayu itu telah mempunyai asas pembinaannya yang kukuh dan mantap. Untuk meneliti asas pembinaan tradisi budaya itu, bukti-bukti yang ditemui oleh para pengkaji arkeologi menyatakan bahwa penduduk asal rantau ini, yaitu keturunan kelompok Melayu hari ini melalui pengalaman telah membina asas peradaban Melayu itu. Baik budaya material maupun budaya bukan material yang telah dibina dan diwarisi itu merupakan aspek penting dalam proses pembinaan peradaban Melayu. Berdasarkan bukti-bukti yang ditemui itu dengan jelas menerangkan budaya yang dibina sejak awal itu adalah sebagai asas tradisi yang menyatakan jati diri penduduk asal rantau itu15. Pengaruh mempengaruhi adalah perkara yang lumrah, tetapi penyebaran pengaruh sesuatu peradaban itu tidak pula melenyapkan kekuatan jati diri yang merupakan asas sesuatu peradaban itu. Walaupun pengaruh peradaban asing pesat mempengaruhi peradaban Melayu, tapi peradaban Melayu yang mewarisi tradisi budaya sekian lama itu tetap menyatakan jati diri sendiri. Pembinaan asas tradisi 15
Hashim, Awang, dkk; 2006, Wacana Budaya, Pustaka Wira Sdn Bhd, Kuala Lumpur, Malaysia. Hlm: 15.
13
budaya Melayu sebagai kekuatan peradaban Melayu amat penting dalam mempertahankan jati diri Melayu. Apabila pengaruh budaya asing disesuaikan dengan keperluan tempatan, maka itu menyatakan jati diri Melayu dan ini memainkan peranan penting dalam memperkukuh peradaban Melayu16. Kekuatan dan kebanggaan terhadap jati diri inilah yang dijelaskan sebelumnya sebagai orang yang takluk dan tidak takluk pada konstruksi orang luar. Cushman mencatat bahwa kebanyakan orang Cina di Asia Tenggara menerima perlunya penyesuaian diri dengan kepentingan Melayu dan bersikap realistis terhadap situasi di Malaysia yang multietnis. Mereka tidak berpura-pura seolah-olah tinggal di Taiwan atau Singapura. Literatur umum belum banyak memberikan perhatian kepada etnisitas orang Cina Asia Tenggara yang secara timbal balik mempertautkan antara peran ekonomi dan identitas etnis. Peran ekonomi kemungkinan besar akan menjadi penting dimana etnisitas dan peran ekonomi cenderung bertumpang tindih. Kita belum banyak mengetahui pandangan mengenai hal-hal ini pada berbagai tipe orang Cina yang hidup dilingkungan yang beraneka ragam17. Hidup bersama-sama dengan orang lain yang memiliki identitas sama dengan kita harusnya dapat memberikan ketenangan diri karena adanya pengakuan dari masyarakat atas keberadaan kita. Sudah tentu hal tersebut akan menciptakan sebuah eksistensi. Ketika menemukan orang lain yang memiliki identitas sama dan bergabung dalam satu komunitas akan terbentuk rasa
16
Ibid. Hlm: 16. Jennifer, Cushman, dkk; 1988, Changing Identities Of The Southeast Asian Chinese Since World War II, edisi Bahasa Indonesia: Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara diterjemahkan oleh Achmad Setiawan Abadi. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Hlm: 298. 17
14
kebersamaan (sense of belonging). Begitu juga sebaliknya, pasti akan terbentuk kekamuan dan kelianan (sense of difference)18. Tapi justru berbanding berbalik dengan harapan kita bersama, jika ada yang telah terbentuk berbagai kesamaan tapi terbentuk sikap yang berbeda dari keduanya. Dalam kasus ini, orang yang dapat memperkuat jati dirinya adalah orang yang dapat bertahan ditengah perubahan. Dan kuatnya jati diri itu diperlukan sikap percaya diri. Menurut Surya, ada beberapa hal yang dapat membentuk konsep percaya diri, yaitu: Pertama, penilaian diri. Penilaian diri merupakan cara pandang dan keyakinan untuk menakar dan mengukur terhadap penilaian citra fisik. Jika penerimaan terhadap kondisi cukup memuaskan, konsep diri yang terbentukpun akan positif. Tetapi, jika penilaian penerimaan fisik sangat buruk atau tidak puas dengan penampilan fisik, konsep diripun jadi negatif dan dihinggapi perasaan rendah diri. Kedua, penilaian sosial. Salah satu unsur yang mempengaruhi konsep diri adalah penilaian terhadap bagaimana penilaian dan penerimaan lingkungan sosial terhadap diri. Penerimaan dan penilaian positif dari orang lain akan meningkatkan kepercayaan diri, begitu juga sebaliknya. Ketiga, penerimaan diri (self image). Citra ini merupakan gambaran yang meliputi bagaimana penilaian diri sendiri, seperti tingkat kecerdasan, status sosial, maupun ekonomi dan peranan dalam lingkungan sosial. Selanjutnya juga ada cita-cita ideal yang ingin dicapai dan seberapa besar pengaruh tokoh-tokoh ideal yang diidolakan, baik yang ada di lingkungan atau idola fantasi. Terakhir yaitu,
18
Titik, Widayanti; 2009, Politik Subaltern: Pergulatan Identitas Waria, Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hlm: 30.
15
keberartian diri (kebanggaan diri), seperti misalnya peranan diri dalam lingkungan terhadap diri sendiri19. Perbedaan dalam membentuk kepercayaan diri itulah yang menyebabkan adanya respon yang berbeda dalam menghadapi perbedaan walaupun identitas sama-sama memiliki kesamaan kultural. Penyesuaian yang diharapkan dalam hal ini justru menghasilkan sesuatu yang berbanding terbalik. Justru orang yang tidak melakukan penyesuaian malah dapat bertahan dan keuntungan-keuntungan hingga membuatnya semakin percaya diri.
E. Metode Penelitian E.1. Jenis Penelitian Dalam tulisan ini, penulis akan melihat bagaimana pergeseran identitas yang terjadi akibat pertemuan dengan pihak lain. Di dalam penulisan karya ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode etnografi. Jenis penelitian kualitatif menjadi unsur penting dalam proses menjawab rumusan masalah karena didasari bahwa kualitatif mampu memberikan penjelasan terhadap suatu peristiwa secara deskriptif dan holistik. Seperti apa yang diungkapkan oleh Bognan dan Taylor bahwa penelitian kualitatif merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa rangkaian kata-kata tertulis atau lisan dari perilaku yang diamati. Dengan data kualitatif maka tentu dapat diikuti dan dipahami alur peristiwa secara kronologis menilai sebab-akibat 19
Hendra, Surya; 2007, Percaya Diri Itu Penting: Peran Orang Tua Dalam Membangun Percaya Diri Anak, PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Hlm: 06.
16
lingkup
pikiran
orang
setempat
dan
memperkuat
sejumlah
penjelasan
bermanfaat20. Untuk lebih menjelaskan penelitian kualitatif, metode etnografi dipilih karena dianggap relevan untuk penelitian ini. Menurut Spradley, etnografi dapat mengatakan kepada semua peneliti mengenai perilaku manusia. Tingkah laku manusia berbeda dengan tingkah laku binatang, manusia memiliki makna atas apa yang dilakukannya. Makna ini dapat ditemukan21. Kita dapat menanyakan tentang apa yang dikerjakan oleh seseorang dan mengapa dia melakukan hal itu. Alat-alat etnografi menawarkan satu cara untuk membahas kenyataan makna ini. Hal ini sejalan dengan tujuan dari penelitian ini akan ingin mengungkapkan motif apa yang ada dibalik kekuatan seseorang dalam mempertahankan tradisi telinga panjangnya. Tujuan etnografi sendiri adalah ingin memahami rumpun manusia, sama seperti tujuan dari penelian ini yang melakukan pengamatan terhadap perilaku mempertahankan tradisi telinga panjang dari Suku Dayak Kenyah yang tinggal di Kota Samarinda. Tapi pada kenyataannya, penelitian ini tidak sepenuhnya menggunakan etnografi karena dilakukan tidak selama dan sedetail seperti halnya yang dilakukan etnografer pada umumnya. Penelitian yang dilakukan sejak JanuariApril 2013 ini memadukan metode penelitian etnografi dengan studi kasus (case study). Walaupun masih sama-sama turunan dari penelitian kualitatif, tapi pada prinsipnya etnografi berbeda dengan studi kasus. Studi kasus digunakan untuk membatasi kasus yang sedang diteliti, khususnya dari segi periodisasi waktu, 20
Lexi, J, moleong; 1994, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung. Hlm: 03. James, Spradley; 1997, The Etnographic Interview, edisi bahasa Indonesia Metode Etnografi diterjemahkan oleh Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogyakarta. Hlm: 12. 21
17
individu, dan lokus penelitian. Hal ini untuk menghindari penyimpangan dan manipulasi data, karena kasus yang diteliti mulai merebak dalam skala nasional22. Karena itulah kombinasi etnografi dan studi kasus dianggap cocok dengan alasan dalam hal ini tidak semua hal ingin dideskripsikan seperti halnya yang dilakukan oleh etnografer. Dalam penelitian ini hanya akan mendeskripsikan orang dan keterikatannya pada tradisi. Keterikan orang pada tradisi tersebut membentuk orang untuk memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Hal itulah yang ingin didokumentasikan sebagai pijakan untuk menjelaskan paradoks.
E.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan fokus di Pampang23. Untuk memotrer persoalan identitas. Pampang dipilih tidak saja karena dihuni oleh mayoritas masyarakat Suku Dayak Kenyah, tapi juga karena lokasinya yang berada di daerah urban tidak jauh dari pusat Kota Samarinda. Warga Pampang terlihat dapat menjalin persahabatan dengan orang luar yang datang ke Pampang. Pampang sendiri telah ditetapkan sebagai ‘Desa Budaya’ oleh Pemerintah Kota Samarinda pada tahun 1991. Promosi pariwisata inilah yang banyak mengundang wisatawan banyak berdatangan ke Pampang.
22
John, W, Cresswell; 1998, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions, Sage Publications, United Kingdom. Hlm: 23. 23 Pampang adalah sebutan bagi RT 03, RT 15, dan RT 16 di Kelurahan Sungai Siring yang mayoritas masyarakatnya berasal dari Suku Dayak Kenyah. Pampang merupakan yang dihuni oleh mayoritas orang Dayak Kenyah. Dengan ke-khas-annya, Pampang menjadi ikon kebudayaan Dayak di Kota Samarinda. Oleh karena itulah Pampang ditetapkan sebagai Desa Budaya oleh Pemerintah Kota Samarinda. Penjelasan selanjutnya mengenai Pampang dapat dilihat di Bab selanjutnya.
18
Posisi Pampang yang strategis karena berada tidak jauh dari pusat Kota Samarinda sangat memungkinkan dalam melihat pola interaksi yang terbentuk antara orang Dayak dan orang-orang non-Dayak. Jalan menuju ke Pampang juga dapat dilalui semua jenis kendaraan darat, jadi tidak lagi sulit untuk sampai disana. Selama proses penggalian data berlangsung, saya tinggal di rumah pasangan Terin Ngang dan Efiana Bith. Di rumah yang berkonsep rumah panggung berbahan kayu ulin, saya tinggal bersama sembilan anggota keluarga lainnya. Tapi jarak antar satu rumah dengan rumah lainnya tidak begitu jauh, lagi pula sangat dekat dan tidak membutuhkan waktu lama untuk menjangkau Balai Adat, Gereja, ataupun angkutan-angkutan umum. Tukang sayur, sampai angkutan umum bisa diakses dari depan rumah.
E.3. Metode Pengumpulan Data Ada beberapa metode yang dipakai dalam proses pengumpulan data, diantaranya yaitu pengamatan terlihat (sebagian), dan wawancara mendalam. Obervasi partisipasi dilakukan untuk mengamati berbagai fenomena yang berkembang dalam masyarakat yang tidak mungkin didapatkan melalui metode wawancara. Oleh sebab itu maka bagaimana seseorang merespon perilaku orang lain diluar kelompok maupun dalam kelompoknya dalam ruang dan waktu tertentu menjadi salah satu sasaran observasi partisipasi ini. Pemahaman bagaimana sudut pandang orang Dayak dalam kaitannya dengan identitas budaya, dilakukan dengan cara mewawancarai mereka sambil mengikuti kegiatan sehari-harinya. Hal ini dilakukan tidak hanya di rumah, tetapi 19
juga dengan jalan ikut serta dalam kegiatan berladang, berkunjung ke tetangga, ke Lamin, ke Gereja, sampai ke pasar. Melalui cara seperti itu tentu akan lebih leluasa memahami pandangan mereka tentang pekerjaan dan lingkungan mereka. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan ritual kesukuan juga saya ikuti: ritual Natal Dayak Kenyah dan menari di Lamin pada hari minggu. Keikutsertaan dalam kegiatan tersebut memberikan pemahaman bagaimana orang-orang Dayak Kenyah di Pampang memaknai ritual tersebut dalam keterikatannya pada tradisi dan kebanggaan itu. Guna memahami berbagai hal yang berkaitan dengan pandanganpandangan aktor tentang kelompok mereka, baik sebagai anggota kelompok Suku Dayak ataupun sebagai anggota masyarakat yang lebih luas dilakukan dengan cara ikut berkumpul dengan mereka di Lamin, Gereja, dan di rumah-rumah penduduk yang membuat kerajinan khas Dayak. Keikutsertaan lainnya ialah dengan ikut ambil bagian dalam acara masak memasak bersama ibu-ibu dan remaja putri untuk mempersiapkan makanan menyambut perayaan Natal Dayak Kenyah Kalimantan Timur. Keterlibatan itu membuat saya dapat menangkap obrolanobrolan mereka. Wawancara sering dilakukan dengan orang-orang telinga panjang dan orang-orang yang telah memotong telinganya ketika penulis larut bersama dalam kegiatan hari itu. Untuk mendalami informasi berkenaan dengan konstruksi dan rekonstruksi kebanggaan yang sedemikian rupa, waancara mendalam (indeph interview) digunakan dengan memusatkan perhatian pada pertanyaan mengapa aktor-aktor masih mempertahankan tradisi telinga panjangnya padahal banyak orang Dayak
20
Kenyah lain telah memotongnya karena malu, dan bagaimana mereka mempertahankan diri ditengah orang-orang yang seakan tidak sejalan dengan dirinya. Wawancara banyak dipergunakan untuk lebih memahami konteks sosial budaya dan politik yang melingkupi setiap aktor dalam mengkonstruksi keDayak-annya, sehingga dapat menghasilkan kebanggaan yang kental. Untuk memandu wawancara dilapangan tersebut, telah dipersiapkan terlebih dahulu pedoman wawancara. Berkaitan dengan perbincangan tentang kebanggaan identitas, selain dari mereka yang bertelinga panjang, mereka yang telah memotong telinga juga diwawancarai sebagai informan yang dikategorikan sebagai dekonstruksi kebanggaan terhadap kebudayaannya. Wawancara juga dilakukan dengan para wisatawan yang kebetulan datang ke Pampang. Para wisatawan ini diwawancarai dengan pertimbangan, bahwa mereka datang dari tempat yang jauh dan menempuh perjalanan yang jauh pula untuk demi bertemu dan melihat dari dekat bagaimana keseharian orang-orang Dayak Kenyah.
E.4. Analisis Data Pengumpulan data dimulai dengan berbagai pertanyaan, ungkapan, dan mengamati tindakan yang terkait dengan tradisi dan kehidupan sehari-hari. Adapun data-data dari hasil wawancara dan pengamatan (observasi) dicatat dengan cermat dan rinci menjadi suatu fieldnotes yang kemudian di analisa.
21
Adapun data-data yang dianalisa dalam penelitian ini menyangkut beberapa aspek diantaranya adalah mengenai cerita filosofi asal-usul dan makna yang terkandung dari tradisi memanjangkan telinga Suku Dayak Kenyah, relasi dagang yang luas, dan bagaimana kebanggaan itu ditunjukkan dan di ekspresikan sebagai media eksistensi identitas. Data-data yang terkumpul melalui wawancara akan menggambarkan logika berfikir informan yang sedang diwawancarai. Sedangkan observasi sangat membantu peneliti dalam melakukan interpretasi yang objektif dalam proses pengumpulan data. Tidak lupa analisa data dalam penelitian ini dibingkai dengan menggunakan kerangka teori yang telah ditetapkan. Kerangka teori digunakan untuk mengaitkan antara data yang didapatkan dilapangan dengan pesan-pesan teoritik yang telah dibuat oleh para ahli.
F. Sistematika Penulisan Penelitian yang memfokuskan bagaimana cara bekerjanya suatu strategi untuk mempertahankan identitas kesukuan, dan di khususkan mendalami paradoks yang belangsung di dalamnya, dibagi menjadi 6 bab yang saling menunjang dan berkaitan satu sama lain. Pembagian bab diharapkan agar pembaca kelak dapat mengerti bagaimana step dari penelitian yang dilakukan. Dalam Bab 2, dipaparkan mengenai bagaimana gambaran awal Pampang sebagai kampung Dayak dan memaparkan bahwa yang dilakukan penduduknya dalam kegiatan sehari-harinya berkaitan dengan kesukuannya. Selanjutnya dalam
22
Bab 3 dipaparkan bagaimana konstruksi orang Dayak yang berkembang dilekatkan juga kepada orang Dayak di Pampang. Dimana hal ini secara tidak langsung membentuk dua respon yang berbeda dari sisi orang Dayak tersebut. Dalam Bab 4 diceritakan bagaimana sebuah kebanggaan diri sendiri tetap terpelihara melalui tradisi-tradisi yang dilakukan secara rutin. Dalam tradisi ini tidak
ada
sikap
untuk
mengisolasi
diri.
Bagaimana
seseorang
yang
mempertahankan telinga panjangnya dan tidak merasa malu dengan hal itu akan dipaparkan secara mendalam di bab ini.
Selanjutnya dalam bab 5 akan
direfleksikan inti dari bab 2, 3, dan 4 sebelumnya. Dalam bab ini akan diceritakan bagaimana cara seseorang dapat mengawal kebanggaan dan bagaimana yang tidak lagi dapat mempertahankannya. Akhirnya bab 6 sekaligus bab terakhir, di dalam bab ini akan disimpulkan bagaimana sebuah proses pergeseran identitas karena adanya pertemuan dengan pihak luar justru menghasilkan pengentalan identitas. Justru yang mengentalkan identitasnya adalah pihak yang menang.
23