BAB I Bisnis Keluarga dalam Perkembangan Ekonomi Lokal Indonesia (Studi Kasus Bisnis Keluarga di Sektor Bunga, Ahmad Jazuli Yogyakarta) A. Latar Belakang Dunia bisnis mendapatkan dua laporan penting mengenai bisnis keluarga di dunia. Kedua laporan ini menjadi menarik ketika keduanya melaporkan dua fenomena yang berbeda. Laporan pertama yakni dari The Credit Suisse Emerging Markets Research Institute yang melaporkan bahwa pada tahun 2010 sampai dengan 2011, bisnis keluarga menjadi pilar utama perekonomian Asia1. Jauh berbeda dari laporan pertama, justru laporan kedua dari tokoh Howard E. Aldrich dan Jennifer E. Cliff melaporkan bahwa pada awal abad ke-21, bisnis keluarga di Amerika Serikat dan Eropa mengalami penyusutan setiap tahunnya2. Laporan yang memiliki dua kutub berbeda ini, tentu tidak sembarang keluar. Laporan pertama yang dikeluarkan oleh The Credit Suisse Emerging Markets Research Institute adalah hasil penelitian pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2011 yang melibatkan 3.568 bisnis keluarga di sepuluh negara Asia yakni China, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, India, Indonesia, Malayasia, Philippina, Singapura, dan Thailand3. Sementara laporan kedua yang dikeluarkan oleh Howard E. Aldrich dan Jennifer E. Cliff adalah hasil penelitian bisnis berkala, yang dimulai sejak tahun 1994 sampai tahun 2003 yang kerapkali dimuat diberbagai buku karya Aldrich dan di berbagai jurnal bisnis Kanada4. Adapun isi dari laporan pertama menyatakan bahwa bisnis keluarga di wilayah Asia yang dulunya hanya naik turun pada besaran 200 persen total laba kumulatif, pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2011 telah mencapai 261 persen total laba kumulatif, dengan 1
The Credit Suisse Emerging Markets Research Institute. (2011). Asian Family Businesses Report ; October 2011. Switzerland: Credit Suisse Group AG and/or Its Affiliates. hal. 2. Dipaparkan juga dalam data artikel media nasional, seperti berikut ini: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/10/31/19102849/Bisnis.Keluarga.Pilar.Penting.bagi..Perekonomian.Asia (artikel ini diunduh pada Kamis, 28 Maret 2013, pukul 08:51 WIB), http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/10/31/13565976/Bisnis.Keluarga..Pilar.Penting.Perekonomian.Asia (artikel ini diunduh pada Kamis, 28 Maret 2013, pukul 08:53 WIB), http://economy.okezone.com/read/2011/10/31/278/522897/saham-bisnis-keluarga-indonesia-terbaik-di-asia (artikel ini diunduh pada Kamis, 28 Maret 2013, pukul 08:55 WIB), http://finance.detik.com/read/2011/10/31/111403/1756205/4/geliat-bisnis-keluarga-jadi-penopang-ekonomiasia?fsubbs4 (artikel ini diunduh pada Kamis, 28 Maret 2013, pukul 09:01 WIB). 2 Aldrich, Howard E. and Jennifer E. Cliff. (2003). The Pervasive Effects of Family on Entrepreneurship:Toward a Family Embeddedness Perspective. Canada: Journal of Business Venturing 18, hal. 577. 3 The Credit Suisse Emerging Markets Research Institute, Op.Cit., hal.3. 4 Aldrich, Howard E. and Jennifer E. Cliff, Loc.Cit., hal. 573.
1
pertumbuhan tahunan gabungan sebesar 13,7 persen. Bahkan tidak tangung-tangung, kini bisnis keluarga pun telah menguasai 32 persen dari total sumber dana di pasar modal5. Tidak heran kemudian, Helman Sitohang sebagai CEO (Chief Executive Officer) Credit Suisse Asia Tenggara menyatakan bahwa kapitalisasi pasar dari bisnis keluarga setara dengan 34 persen dari total PDB (Produk Domestik Bruto) Asia, bahkan kini bisnis keluarga merupakan tulang punggung perekonomian Asia karena bisnis ini mewakili sekitar 50 persen dari seluruh perusahaan yang terdaftar dalam ruang lingkup penelitian6. Maka dari itulah, bisnis keluarga yang dulunya hanya dijalankan beberapa keluarga kini mulai menjadi primadona. Terlebih, pasca krisis moneter 1998 bisnis keluarga banyak yang gulung tikar. Bahkan Vedi Hadiz (2002) menyatakan, bahwa bisnis keluarga itu seperti tertindih balok besar, sehingga sekalipun berdiri akan seret bagi mereka untuk berkembang dan mengembalikan kejayaannya7. Namun ternyata belum sampai dua belas tahun, kini bisnis keluarga bangun dari keterpurukannya dan terus menjamur. Hal ini, dibenarkan oleh Putri Kuswisnu Wardani8 sebagai CEO (Chief Executive Officer) generasi kedua yang mengelola bisnis keluarga PT Mustika Ratu Tbk, bahwa perjalanan bisnis keluarganya, memang tidak seinstan membalikkan tangan apalagi ketika moneter 19989. Begitupun tokoh Irwan Hidayat10, Eddy Mattuali11, Teddy Tjokrosaputro12 dan pengelola bisnis keluarga skala besar lainnya, mereka benar-benar merasakan jatuh bangunnya mengelola bisnis keluarga. Walaupun kini mereka sudah merasakan buah manisnya, namun tetap saja mereka tidak dapat melupakan proses mendapatkannya. Hal itulah yang membuat mereka tetap semangat mengembangkan sayap-sayap usahanya.
5
The Credit Suisse Emerging Markets Research Institute, Op.Cit., hal. 3. Ibid. 7 Hadiz , Vedi R. (2002). Dinamika Kekuasaan:Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta:LP3ES. hal. 67. 8 Direktur Utama PT Mustika Ratu Tbk., riwayat hidup dan perkembangan usaha di paparkan dalam http://female.kompas.com/read/2011/01/14/13475865/Agar.Bisnis.Keluarga.Tetap.Eksis (artikel ini diunduh pada Kamis, 28 Maret 2013, pukul 08:57 WIB). 9 Ibid. 10 Direktur Utama PT Sido Muncul Tbk., riwayat hidup dan perkembangan usaha di paparkan dalam http://female.kompas.com/read/2011/01/13/16211755/Meneruskan.Bisnis.Keluarga.Butuh.Waktu.Lama (artikel ini diunduh pada Kamis, 28 Maret 2013, pukul 08:59 WIB). 11 Direktur Utama PT Minyak Gosok Cap Tawon Jaya Tbk., riwayat hidup dan perkembangan usaha di paparkan dalam http://nasional.kompas.com/read/2012/12/18/16041973/Bertahan.Lebih.dari.100.Tahun (artikel ini diunduh pada Kamis, 28 Maret 2013, pukul 09:03 WIB). 12 Direktur Utama PT Subafood Pangan Jaya Tbk., riwayat hidup dan perkembangan usaha di paparkan dalam http://nasional.kompas.com/read/2012/12/14/15184382/Teddy..Cucu.Pengusaha.Batik.yang.Sukses.di.Bihun.Jagung (artikel ini diunduh pada Kamis, 28 Maret 2013, pukul 09:05 WIB). 6
2
Sementara itu, bagi bisnis keluarga skala kecil dan skala menengah tentunya tidak perlu berkecil hati, karena menurut pakar pemasaran Hermawan Kertajaya (2011) yang juga pemilik MarkPlus & Co menyatakan, bahwa menikmati perjalanan bisnis bersama dengan keluarga, merupakan suatu hal yang penting bagi kedinamisan hidup13. Maka dari itu, jangan cepat gerah untuk naik kelas, karena bila nanti sudah memiliki kapasitas untuk naik kelas, dengan sendirinya akan menjangkau segmen tersebut. 14 Namun, hal-hal yang menggembirakan tersebut, tampaknya berbanding terbalik dengan bisnis keluarga yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Beberapa bisnis keluarga di Eropa dan Amerika Serikat, seperti Ford Motor Co, SC Johson Co, Wal-Mart Co, dan Faber Castell Co yang sudah berjalan di generasi keempat atau generasi kelima ini hanya sepenggal cerita sukses ditengah fenomena yang ada15. Individualisme yang menggejala, berikut perceraian, hubungan diluar nikah, dan guncangan keluarga lainnya membuat bisnis keluarga dinegara-negara tersebut mengalami penurunan jumlah dalam setiap tahunnya16. Bahkan hasil riset dari
Howard E. Aldrich dan Jennifer E. Cliff (2003)
menyatakan bahwa mulai dari laki-laki maupun perempuan, hampir semuanya mencari kerja diluar rumah. Begitupun anak-anak mereka, dikirim ke sekolah dan tempat kursus, termasuk juga nenek dan kakek mereka, yang dikirim ke panti jompo yang jauh dari rumah17. Melihat hal itu, Francis Fukuyama (2005) menyatakan bahwa apabila hal ini terjadi terus-menerus maka akan terjadi sebuah guncangan sosial, guncangan sosial ini akan menyebabkan keluarga inti menjadi semakin menciut dan dalam jangka panjang akan membuat masyarakat barat gagal menghasilkan fungsi keluarga dalam jumlah yang memadai untuk kelangsungan hidup mereka sendiri18. Maka dari itulah, pada waktu mendatang sebagian besar orang Eropa dan Amerika Serikat, hanya akan punya hubungan keluarga dengan nenek moyangnya saja19. Lebih dari itu, Francis Fukuyama (2005) juga memaparkan bahwa ketika individualisme kian menaik, akan mengakibatkan potensi keuangan yang tersedia didalam 13
Riwayat hidup dan data wawancara di paparkan dalam http://female.kompas.com/read/2011/03/25/16195398/Bisnis%20Tak%20Harus%20Naik%20Kelas (artikel ini diunduh pada Kamis, 28 Maret 2013, pukul 08:57 WIB). 14 Ibid. 15 Longenecker, J.G. et.al. (2001). Kewirausahaan (Manajemen Usaha Buku 1). Jakarta: Salemba Empat. hal. 3. 16 Aldrich, Howard E. and Jennifer E. Cliff, Loc.Cit., hal. 584. 17 Ibid., hal. 587. 18 Fukuyama, Francis. (2005). Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hal. 139. 19 Ibid.
3
keluarga menjadi suatu hal yang tidak dapat diharapkan20. Sehingga, banyak dari mereka yang kehilangan bisnis keluarga karena hilangnya kontak dengan anak-anak mereka atau dengan anggota keluarga lainnya. Bahkan, banyak dari mereka baru mendapatkan kontak anak-anaknya dan anggota keluarga lainnya setelah bercerai, baik dalam satu tahun, dua tahun atau bahkan lebih21. Sehingga menurut Howard E. Aldrich dan Jennifer E. Cliff (2003), suatu kapitalisme dan individualisme yang menaik tersebut, juga dapat menghancurkan ikatan-ikatan yang telah dibangun selama berabad-abad didalam masyarakat, dan pada akhirnya tidak akan menyisakan apa pun kecuali kepentingan pribadi sebagai senjata perekat didalam kehidupan masyarakat22. Selain itu pula, ketika kita membicarakan kedua laporan yang memiliki kecenderungan berbeda tersebut, sebenarnya telah mengingatkan kita untuk kembali kepada fungsi utama dari keluarga itu sendiri. Fungsi utama keluarga yang menompang kehidupan sosial menurut Marilyn M. Friedmen (1998)23 adalah fungsi proteksi (protection function), fungsi sosialisasi (socialization function), fungsi reproduksi (reproductive function), fungsi ekonomi (economic function) dan fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (health care function). Apabila dijabarkan24, fungsi proteksi (protection function) adalah fungsi yang berhubungan dengan perlindungan, sehingga fungsi ini berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Kedua, fungsi sosialisasi (socialization function), fungsi ini sebagai tempat untuk melatih anak dan mengembangkan kemampuannya untuk berhubungan dengan orang lain diluar rumah. Sementara fungsi ketiga adalah fungsi reproduksi (reproductive function), yang mana keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan menambah sumberdaya manusia. Keempat, fungsi ekonomi (economic function), dimana keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi serta sebagai tempat mengembangkan kemampuan individu untuk meningkatkan penghasilan dan memenuhi kebutuhan keluarga seperti makan, pakaian, dan rumah. Namun fungsi ini sukar dipenuhi oleh keluarga dibawah garis kemiskinan. Fungsi terakhir adalah fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (health care function), fungsi ini untuk mempertahankan keadaan
20
Ibid., hal. 47. Ibid., hal. 49. 22 Aldrich, Howard E. and Jennifer E. Cliff, Loc.Cit., hal. 586. 23 Marilyn M. Friedmen (1998), dalam Efendi, Ferry dan Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. hal. 184. 24 Ibid., hal. 184-185. 21
4
kesehatan keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang mencukupi dalam menjalani kegiatan sehari-hari. Maka dari itu, kelima fungsi di ataslah, yang nantinya akan mempengaruhi jatuh bangunnya bisnis keluarga, dan justru melalui kelima fungsi itulah, kedua laporan tersebut menjadi semakin menarik untuk dikaji lebih jauh lagi. Bahkan menurut Anderson Carter (1984), fungsi-fungsi tersebut juga akan semakin berlimpah menjadi suatu sumberdaya, apabila ukuran keluarga juga semakin membesar25. Maka dari itulah, ia membedakan dua bentuk keluarga secara rinci dan mendasar, karena menurutnya kedua bentuk ini memiliki ukuran yang berbeda-beda, yang nantinya akan mempengaruhi ketersediaan sumberdaya bagi bisnis keluarga26. Adapun dua bentuk keluarga yang dimaksudkannya adalah nuclear family (keluarga inti) dan extended family (keluarga besar). Nuclear family (keluarga inti) yaitu keluarga yang hanya terdiri ayah, ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau diadopsi, ataupun keduanya. Sementara extended family (keluarga besar) adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lainnya yang masih mempunyai hubungan darah, seperti kakek, nenek, paman, bibi, dan sebagainya27. Selain dapat dilihat melalui fungsi utama keluarga tersebut, kecenderungan yang berbeda pada kedua laporan ini juga dapat diselidiki melalui faktor struktural yang berlaku dalam dunia bisnis, karena faktor ini adalah faktor yang dapat membantu kita melihat mereka (dalam konteks ini adalah para masyarakat ekonomi) berada dalam posisi mana dan dengan cara apakah mereka beroperasi, apakah dengan cara independen dari tekanan uang, atau bahkan memberikan kompensasi bagi kekurangan uang orang lain, yang merupakan suatu bagian dari strategi individu atau strategi kelompok untuk meraih kekuasaan dan status sosial28.
Selain itu pula, faktor struktural ini benar-benar perlu dielaborasi mengingat keberadaan strata suatu bisnis keluarga yang semakin tidak pasti29. Ketidakpastian ini dapat dilihat dari posisi mereka yang terkadang berkembang naik, terkadang diam ditempat dan terkadang turun bahkan gulung tikar. Sehingga menurut Berger (1987), 25
Anderson Carter (1984), dalam Suprajitno. (2003). Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal. 1. 26 Ibid. 27 Ibid., hal. 2. 28 Field, John. (2003). Modal Sosial. Bantul: Kreasi Wacana. hal. 21. 29 Ibid.
5
ketidakpastian adalah hubungan kurangnya kepastian mengenai masa depan dan status, dari sebuah hubungan tersebut30. Adapun ketidakpastian-ketidakpastian ini sebagian besar terjadi karena keadaan kompetisi yang semakin ketat diantara para pembisnis31. Maka dari itulah faktor struktural ini menempati posisi yang sama pentingnya dengan kajian-kajian lain. Akan tetapi, fenomena naik turunnya bisnis keluarga tersebut, ternyata mengalami perbedaan dengan fenomena naik turunnya bisnis keluarga dinegara lain. Bisnis keluarga Asia yang sedang menaik dan bisnis keluarga Eropa yang sedang menyusut, seperti halnya yang dipaparkan kedua laporan diatas, merupakan sebuah bukti konkret hadirnya suatu perbedaan, sehingga menurut Bourdieu (1997), perbedaan ini lebih mungkin disebabkan oleh suatu hal yang dinamakan cultur capital. Cultur capital merupakan faktor kultural yang dapat menentukan selera budaya mana yang lebih dinikmati oleh seseorang atau beberapa orang untuk dijadikan sebagai basis bagi bisnis keluarganya dibandingkan dengan selera budaya lainnya32. Maka dari itu, sangat dimungkinkan apabila antara bisnis keluarga Asia dan bisnis keluarga Eropa memiliki cara pengoperasian yang berbeda, sehingga sistem strata yang hadir pun juga berbeda. Bahkan menurut Bourdieu (1997), didalam bisnis keluarga Asia atau didalam bisnis keluarga Eropa itu sendiri masih bervariasi sesuai dengan negara dan subbudaya yang dianutnya33. Lebih dari itu, kevariasian negara dan subbudaya ini juga dibuktikan oleh Hildred Geertz (1982) ketika mengkaji bisnis keluarga di Mojokuto Jawa34. Melalui bukunya yang berjudul ”Keluarga Jawa”, ia mencoba menunjukan bahwa bisnis keluarga di Mojukuto ternyata lahir dari sebuah sistem tata letak rumah, yakni suatu sistem rumah yang cenderung berkumpul dalam satu wilayah, dan juga dalam satu keluarga besar35. Sistem rumah seperti ini, berpotensi menyebabkan tingginya interaksi sosial seperti intensitas menyapa, bertemu, dan berdiskusi, baik dengan anak-anak mereka maupun dengan anggota keluarga lainnya. Lebih jauh dari itu, ia pun memaparkan, bahwa sistem rumah seperti ini juga menimbulkan kecenderungan dari orang Jawa untuk lebih percaya kepada keluarganya sendiri, dibandingkan percaya kepada orang lain diluar keluarganya. Namun justru, sistem
30
Mubyarto. (1981). Teori Ekonomi dan Penerapannya di Asia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hal. 131. Ibid., hal. 132. 32 Field, John, Op.Cit., hal. 21. 33 Ibid. 34 Geertz, Hildred. (1982). Keluarga Jawa. Jakarta: Penerbit Grafiti Pers. hal. 4. 35 Ibid., hal. 6. 31
6
ini jugalah yang dapat membuat bisnis berbasis keluarga lebih digemari, dibandingkan dengan bisnis berbasis kesamaan latarbelakang kerja atau berbasis lainnya36. Namun lebih jauh dari itu semua, pembahasan terkait fungsi keluarga, faktor struktural, faktor kultural dan pembahasan lainnya terutama untuk menanggapi kedua laporan bisnis keluarga diatas, membuat penulis menjadi semakin tertarik untuk mengkajinya lebih jauh. Terlebih, penulis kini telah menemukan sebuah lokus penelitian, yakni pedagang bunga berbasis keluarga, tepatnya di Jalan Ahmad Jazuli Yogyakarta37. Pada dasarnya, penulis memang sering membeli bunga di tempat tersebut, namun penulis baru menyadari tempat ini begitu signifikan untuk diteliti sejak memahami kedua laporan bisnis keluarga tersebut, beserta dengan referensi-referensi menarik lainnya. B. Rumusan Masalah Melalui latar belakang diatas, maka pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana strategi 3 (tiga) keluarga dalam mempertahankan bisnis bunganya di Ahmad Jazuli Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk memahami bekerjanya fungsi keluarga dalam bisnis bunga. 2. Untuk memahami sejarah sosial dari keberadaan pedagang bunga. 3. Untuk memahami faktor yang dapat menjelaskan bisnis bunga tetap bertahan. 4. Untuk memahami bekerjanya politik dikalangan pengusaha bunga. D. Landasan Teori Dalam mengasah pisau penelitian, penulis mencoba membedah beberapa kata kunci penting dalam rumusan masalah demi menciptakan konsep bisnis keluarga yang optimal. Kata kunci tersebut diantaranya adalah konsep survival (beradaptasi dan bertahan), konsep keluarga bersama dengan fungsi dan modal sosial, faktor kultural, dan faktor struktural. 36
Ibid., hal. 7. Pedagang bunga berbasis keluarga, yang berderet dari arah timur sampai barat di Jalan Ahmad Jazuli Nomor 55 sampai dengan nomor 70, Kota Baru Yogyakarta (lokasi sebelah selatan Gereja Kota Baru). 37
7
D.1. Konsep Survivalitas (Beradaptasi dan Bertahan)
Charles Darwin38 dalam The Origin of Species, by Means of Nature Selection or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for life mengatakan bahwa makhluk hidup termasuk manusia bukannya tidak berubah melainkan sebaliknya, yakni senantiasa berada dalam proses perubahan. Namun perubahan-perubahan itu bukannya tidak teratur, melainkan teratur sebab manusia yang awalnya sederhana berubah menjadi jenis yang lebih canggih untuk menyesuaikan dengan lingkungannya. Perubahan-perubahan tersebut juga terjadi secara bertahap, misalnya melalui perkawin silang antar manusia itu sendiri ataupun melalui migrasi yang ia lakukan. Hal ini menimbulkan adanya perbedaan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Sehingga selalu menimbulkan terjadinya sebuah perjuangan untuk merebut sumbersumber kebutuhan yang justru semakin sedikit39. Pada perebutan sumberdaya ini yang menang adalah mereka yang lebih unggul, sebab yang unggul berarti yang lebih mampu menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi dan situasi tersebut. Sementara yang kalah lama-lama akan tersingkirkan, sebab yang lebih unggul akan menguasai wilayah mereka serta menjadi bibit pokok dalam perkembangan diwilayah tersebut40. Sehingga hukum seleksi disini bersifat keras bagi yang lemah dan menguntungkan bagi yang unggul terutama untuk tetap lestari sebagai manusia yang terlatih dan enerjik. Keunggulan ini juga dapat disebabkan oleh cara manusia memilih manusia lain untuk menjadi pasangannya agar terhindar dari keadaan yang kurang menguntungkan dimasamasa mendatang. Maka dari itulah manusia yang lebih unggul juga terus-menerus bercabang hingga muncul manusia-manusia baru. Hal inilah yang membuat manusia terus bertambah dalam jumlah yang lebih besar, akibatnya mereka harus berjuang keras untuk bertahan dalam seleksi perebutan sumberdaya yang pada akhirnya menimbulkan kelompok manusia dengan derajat yang bervariasi. Kevariasian ini juga menciptakan aktivitas-aktivitas individu atau kelompok seperti mengembangkan ide untuk melakukan pertahanan terutama untuk melawan pesaing38
Darwin, Charles. 2003.”The Origin of Species-- Asal-usul Spesies”. Penerjemah TIM UNAS; edisi I, Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia. hal 463. 39 Ibid. 40 Ibid., hal 464.
8
pesaing yang berada di eksternal mereka. Namun pada saat yang sama mereka juga melaksanakan aktivitas internal dalam keluarga untuk mengembangkan keadaan internalnya agar lebih pandai menilai situasi dan kondisi lingkungan yang terus berubah, dan juga mempertimbangkan untung ruginya dengan tidak tergesa-gesa, sebab kesalahan dalam pengambilan keputusan dapat berakibat pada pengurangan ataupun kerugian. Adapun sikap mental yang dibutuhkan untuk mendukung pertahanan adalah sikap semangat, percaya diri, disiplin dan menyusun segala kegiatan dengan matang. Sehingga semakin kreatif seseorang maka semakin banyak pula peluang yang hadir. Oleh karena itu lah, kesadaran akan berimajinasi pun akan mengantarkan individu atau keluarga untuk bersikap adaptif terhadap keadaan-keadaan yang ada didepannya. D.2. Pengelolaan Konflik Pada kehidupan manusia termasuk dalam berkeluarga tentu terdapat siklus antara konflik dan kekompakan. Bila kita meminjam pandangan Killman dan Thomas (1978)41 terkait jenis-jenis konflik diantaranya ada tiga. Pertama, konflik persepsi yakni konflik yang berasal dari perbedaan kebutuhan, kepentingan, keinginan dari anggota keluarga atau beberapa anggota keluarga. Kedua, konflik perasaan yakni konflik yang muncul sebagai reaksi emosional terhadap situasi atau interaksi yang memperlihatkan adanya ketidaksesuaian atau ketidakcocokan. Ketiga, konflik sebagai tindakan adalah ekspresi perasaan dan pengartikulasian konflik kedalam tindakan untuk memperoleh sesuatu kebutuhan atau kepentingan. Apabila ketiga konflik tersebut dapat dikelola oleh keluarga menjadi lebih terarah dengan baik, maka konflik tersebut dapat dijadikan sebagai kekuatan positif yang bermanfaat untuk membangun kapasitas individu-individu yang ada didalamnya42. Namun sebaliknya bila tidak dikelola dapat menjadi berbahaya dan bukan suatu yang tidak mungkin akan terjadi perpecahan, ataupun tindak kekerasan yang tentunya merugikan pihak-pihak terkait yang ada didalamnya. Bahkan Geertz43 mencontohkan bahwa banyak keluarga petani Jawa ketika menghadapi konflik atau menghindari konflik mereka melakukan involusi, yang mana tanah satu petak milik keluarga petani harus dipotong lebih kecil-kecil lagi untuk dibagikan kepada anak-anaknya yang banyak. Kegiatan involusi yang bertujuan
mengakomodasi
setiap
kepentingan
anggota
keluarga
inilah,
yang
41
Killman dan Thomas dalam Sumenge. (2013). Manajemen Konflik: Pekerjaan dan Keluarga. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. hal 5. Ibid., hal 8. 43 Geertz, Clifford. 1976. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. hal 12. 42
9
mengakibatkan adanya kemiskinan yang terbagi. Oleh karena itu, keluarga petani sulit untuk menanggulangi kegiatan involusi ini, ini, sebab daripada mendapatkan konflik yang berkepanjangan, mereka lebih mencoba menerima pembagian tersebut dan mengusahakan sawah yang lebih h kecil tersebut dengan bekerja lebih giat lagi. Oleh karena itulah, untuk menghidari perpecahan yang diakibatkan oleh konflik, maka House44 mengatakan ada beberapa dukungan yang dapat dikelola keluarga untuk mengarahkan konflik agar lebih bernilai positif. Pertama dukungan emosional ((emotional support), ), ialah dukungan berupa empati, cinta, dan kepercayaan. Sampai pada akhirnya anggota keluarga yang mengalami konflik tersebut dapat mencair dan merasakan bahwa orang disekitarnya ikut kut memberikan kasih sayang kepada dirinya. Kedua, dukungan instrumental (instrumental instrumental support), support), ialah dukungan yang berupa penyediaan tenaga atau uang untuk membantu anggota keluarga yang menghadapi permasalahan atau konflik dengan mengambil alih tanggung-jawab tanggung jawab yang ia persoalkan. Ketiga, dukungan penilaian (appraisal support), ), ialah dukungan yang membantu anggota keluarga mendapatkan informasi terkait evaluasi dirinya, baik dalam bekerja, dalam berpenampilan maupun dalam berperilaku sehari-hari, hari, sehingga dukungan ini dapat mencegah terjadinya konflik ataupun menjadikan konflik lebih mencair dan menghasilkan pengalaman dalam pengevaluasian diri. D.3. Bisnis Keluarga Bisnis Keluarga
Kubu Pesimis
Kubu Optimis
(Gambar : Skema 2)45 Seperti halnya arah yang selalu memiliki titik binner, ternyata studi bisnis keluarga di Indonesia juga memiliki titik tersebut. Titik binner ini terlihat dari dua kubu besar, yang mana masing-masing masing dari mereka, memiliki kekuatan data secara seimbang. Dua kubu ini adalah kubu optimis dan kubu pesimis. Kubu optimis adalah kubu yang cenderung
44
House dalam Hasibuan, Malayu S. P. (1990). Manajemen Sumberdaya Manusia: Dasar dan Kunci Keberhasilan Keberhasilan. Jakarta: Penerbit CV Haji Masagung. hal 132. 45 Caporaso, James A. and David P. Levine. (2008). Teori-Teori Ekonomi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. 114.
10
berstatement positif, hal ini dapat dilihat dari cara mereka mengelaborasi statementnya yang disertai dengan data kesuksesan dari bisnis keluarga yang mereka miliki. Sementara kubu pesimis, buku-bukunya lebih banyak hadir ditahun-tahun ketika pasca kebijakan benteng, juga ketika krisis moneter dan pasca lengsernya Soeharto, karena kubu ini lebih melihat bukti sejarah dari bisnis keluarga pada saat itu46. Bahkan lebih jauh dari itu, kebinneran ini sering diperdebatkan oleh dua tokoh besar yakni Francois Railon dan Heru Nugroho. Francois Railon (2005) misalnya, ia mencoba memetakan beberapa tokoh besar yang berada di posisi pesimis atas keberlangsungan bisnis keluarga. Posisi pesimis yang ia gambarkan tersebut, diantaranya diduduki oleh Yoshihara Kunio, Richard Robison, dan James Clad47. Pertama-tama Yoshihara Kunio, ia memanggil bisnis keluarga di Indonesia sebagai ”elit ekonomi pencari rente”, dengan cara membuktikan bahwa usahawan yang dibangun oleh lapisan atas seperti negara ataupun modal asing (komprador) justru bukan membuat mereka semakin mandiri, namun membuat mereka semakin menjadi parasit ditengah ketergantungan yang ada48. Hampir sama dengan Yoshihara Kunio, Richard Robison menjuluki bisnis keluarga sebagai pelaku ”kabir” (kapitalis birokrat), julukan ini hadir karena adanya kecenderungan untuk menggantungkan diri kepada kekuasaan negara. Robison pun mencoba menggambarkan kabir ini dengan cara melihat kebiasaan para borjuasi birokrasi yang terus mengumpulkan uang, dengan tanpa menghadapi resiko yang rill seperti yang dilakukan oleh para usahawan pada umumnya49. Sementara itu, James Clad (1989) lebih menyesalkan pelaku bisnis keluarga pribumi karena mereka cenderung menjadi ”rekan boneka” dari para pelaku bisnis Tionghoa. Padahal rezim negara, telah beberapa kali memberikan hak istimewa atas berbagai lisensi yang tidak dimiliki oleh orang lain diluar pribumi termasuk Tionghoa. Maka dari itulah, hasil keuntungan yang didapat pribumi, bukan berasal dari usahanya secara mandiri, namun keuntungan tersebut berasal dari selisih jual-beli berbagai barang lisensi yang
46
Ibid., hal 115. Raillon, Francois. (2001). Dapatkah Orang Jawa Menjalankan Bisnis?; Bangkitnya Kapitalis Pribumi di Indonesia dalam Antlov, Hans dan Sven Cederroth. 2001. Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hal. 223. 48 Ibid., hal. 225. 49 Ibid.
47
11
sebenarnya ditujukan negara kepada pribumi, yang kemudian dijual-belikan kepada Tionghoa50. Berbagai penjelasan-penjelasan pesimis yang ada diatas, sangat berbanding terbalik dengan Heru Nugroho yang justru memiliki argumen optimis atas beberapa data yang dimilikinya. Sebagai salah satu contohnya ia memaparkan konsep self governing community yang terjadi didalam bisnis keluarga, sebagai hasil dari akumulasi fungsi keluarga, yang juga membentuk modal sosial yang berkembang secara dinamis51. Selain itu, Heru Nugroho juga memposisikan kubunya sama seperti Bergen dan Nerhaus yang juga meneliti komunitas bisnis berbasis keluarga sebagai institusi mediasi yang cukup efektif dalam memposisikan dirinya sebagai perantara integral antara lembaga makro diluar sana dengan lembaga mikro seperti individu. Sehingga dengan adanya komunitas bisnis berbasis keluarga ini dapat membuat para individu memiliki bargaining position ditengah melebarnya perusahaan raksasa dan menjamurnya para pengusaha52. Maka dengan kata lain, komunitas bisnis ini dapat dijadikan sebagai alat untuk menunggangi bisnis Indonesia ditengah kancah persaingan dunia. Sehingga dapat dikatakan bahwa bila fungsi keluarga yang membentuk self governing community itu menjadi lebih baik, maka kondisi bisnis keluarga di Indonesia pun juga akan semakin baik53. D.4. Skema Dasar Keluarga
Keluarga
Nuclear Family (keluarga inti)
Keluarga Pedesaan
Extended Family (keluarga besar)
Keluarga Perkotaan
(Gambar : Skema 3)
50
Ibid., hal. 226. Nugroho, Heru. (2000). Menumbuhkan Ide-ide Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. 142. 52 Ibid., hal. 143. 53 Ibid. 51
12
Melalui skema diatas, dapat kita lihat bahwa pengertian keluarga secara mendasar dibagi menjadi dua, yakni nuclear family (keluarga inti) dan extended family (keluarga besar). Nuclear family (keluarga inti) yaitu keluarga yang hanya terdiri ayah, ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau diadopsi, ataupun keduanya. Sementara extended family (keluarga besar) adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lainnya yang masih mempunyai hubungan darah, seperti kakek, nenek, paman, bibi, dan sebagainya54. Namun seiring berjalannya waktu, pemahaman keluarga menjadi berkembang. Perkembangan ini terlihat dari hadirnya turunan baru yang mengacu pada pola kota dan desa. Kecenderungan yang berbeda antara keluarga yang ada dikota dengan keluarga yang ada didesa ini, telah diungkapkan oleh Soerjono Soekanto (2006) sebagai salah satu alat untuk memudahkan penggolongan keluarga ditengah kerumitan interaksi sosial yang ada, yakni dengan cara meninjau penggolongan tersebut melalui tempat tinggal mereka55. Sehingga, penggolongan ini menurutnya dibagi menjadi dua, yakni keluarga pedesaan yang digambarkan sebagai kelompok primer, serta keluarga perkotaan yang digambarkan sebagai kelompok sekunder. Adapun yang dimaksudkan dengan kelompok primer adalah kelompok keluarga yang memiliki ciri-ciri dasar saling mengenal antara anggota satu dengan anggota lainnya, serta mengutamakan kerjasama yang erat dan bersifat pribadi sebagai hasil dari adanya peleburan individu-individu, dalam suatu kelompok56. Sementara kelompok sekunder adalah kelompok keluarga yang ditandai dengan ciri-ciri saling mengenal, akan tetapi cenderung tidak akrab karena hubungan yang terjadi hanya berdasarkan kepentingan rasional. Maka dari itu, tidak dapat dipungkiri walaupun kelompok keluarga tersebut saling bertetangga, dapat terjadi saling ketidak-akraban baik secara aksi maupun secara komunikasi. Hal ini terjadi karena tingginya intensitas bekerja, sekolah, serta kegiatan primer lainnya57. Pada pembagian konsep seperti itu, sepertinya Todaro masih sejalan dengan Soerjono Soekanto. Hanya saja Todaro membagi lagi konsep keluarga perkotaan yang awalnya dianggap tunggal oleh Soerjono Soekanto, menjadi suatu kelompok yang bercabang. Cabangan tersebut, membuat kelompok perkotaan dibagi dalam dua kelompok
54
Ibid. Soekanto, Soerjono. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. hal. 92. 56 Ibid. 57 Ibid., hal. 93. 55
13
lagi. Kelompok pertama adalah kelompok keluarga yang pindah dari desa ke kota karena pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya. Sementara kelompok kedua adalah kelompok keluarga yang memang tinggal dikota tersebut sejak awal perkembangan58. Melalui dua kelompok tersebut jugalah, Todaro (1992) mengidentifkiasi beberapa perbedaan kecenderungan dalam cara mereka membangun interaksi sosial, seperti dibawah ini59: Alat Interaksi Sosial Kelompok Migrasi Kota
Kelompok Asli Kota
- Membentuk komunitas keluarga, paguyuban , atau membuat ikatan asrama tempat asal. - Arisan berbasis tempat asal.
-Pola pembagian kerja sudah terspesialisasi.
- Pola pembagian kerja, semi spesialisasi. -Pulang kampung bersama.
- Membentuk komunitas gaya hidup.
- Arisan berbasis teman kantor, ataupun teman sekolah.
(Gambar : Skema 4)60 Maka, melalui skema tersebut kita dapat melihat bahwa kelompok migrasi kota merupakan kelompok migrasi rantai. Kelompok migrasi rantai adalah kelompok yang sama-sama memiliki sebuah kecenderungan untuk mencari tempat dimana mereka dapat memiliki teman atau kerabat yang satu daerah, yang nantinya akan menjadi sumber untuk memfasilitasi penyesuaian dan mungkin juga membantu mengkompensasikan atas tiadanya kebutuhan sumber daya, seperti uang tunai ataupun kebutuhan lainnya61. Selain itu juga, melalui skema diatas kita dapat melihat bagaimana kelompok asli kota memiliki management yang sudah tersusun dan terspesialisasi seiring berkembangnya tempat tinggal mereka. Adapun menurut Todaro (1992), ketersusunan tersebut hadir
58
Todaro, Michael P. (1992). Kajian Ekonomi Migrasi Internal di Negara Berkembang. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada. hal. 1. 59 Ibid., hal. 2. 60 Ibid. 61 Ibid.
14
sebagai hasil adaptasi mereka terhadap arus globalisasi dan modernisasi yang kini tengah terjadi62. D.5. Fungsi Keluarga - Modal Sosial Tidak kalah menarik dengan keluarga yang dikelompokkan berdasarkan tempat tinggal seperti diatas, kita juga dapat melihat potensi dari fungsi keluarga itu sendiri ketika membentuk modal sosial dalam menjalankan suatu bisnis keluarga. Berikut ini skema yang menggambarkan
akumulasi
fungsi
fungsi perawata n atau pemeliha raan fungsi sosialisasi kesehata (sosialization function)
fungsi ekonomi (economic function)
keluarga
yang yang
menghasilkan
modal
sosial
Fungsi Proteksi (protection function) fungsi reproduksi (reproductive function)
Menghasilkan Modal Sosial
(Gambar : Skema 5)63 Melalui skema tersebut kita bisa melihat bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi utama diantaranya adalah fungsi proteksi (protection ( function), ), fungsi sosialisasi (socialization function), ), fungsi reproduksi (reproductive ( function), ), fungsi ekonomi (economic function)) dan fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan ((health care function). ). Pertama fungsi proteksi (protection ( function) adalah fungsi yang berhubungan dengan perlindungan, sehingga fungsi ini berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Kedua, fungsi sosialisasi (socialization ( function), ), fungsi ini sebagai tempat untuk melatih anak dan mengembangkan kemampuannya untuk berhubungan denga dengan orang lain diluar rumah64.
62
Ibid. Marilyn M. Friedmen (1998), dalam Efendi, Ferry dan Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan n Komunitas Komunitas. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. hal. 184. 64 Ibid. 63
15
Sementara fungsi ketiga adalah fungsi reproduksi (reproductive function), yang mana keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan menambah sumberdaya manusia. Keempat, fungsi ekonomi (economic function), dimana keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi serta sebagai tempat mengembangkan kemampuan individu untuk meningkatkan penghasilan dan memenuhi kebutuhan keluarga seperti makan, pakaian, dan rumah. Namun fungsi ini sukar dipenuhi oleh keluarga dibawah garis kemiskinan. Fungsi terakhir adalah fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (health care function), fungsi ini untuk mempertahankan keadaan kesehatan keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang mencukupi untuk kegiatan sehari-hari65. Seiring berjalannya waktu, fungsi tersebut akan mengasilkan modal sosial. Modal sosial yang berlimpah didalam keluarga, atau modal sosial yang kering didalam keluarga, tergantung pada bagaimana fungsi keluarga tersebut berjalan. Namun lebih dari itu, konsep keluarga dan konsep modal sosial ini, erat kaitanya dengan Bourdieu (1992), yang mendefinisikan modal sosial sebagai suatu sumberdaya yang berbentuk aktual ataupun maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik seperti pengakuan dan kekerabatan yang sedikit banyak sudah terinstitusionalisasikan dalam keluarga66. Namun, agar modal sosial lebih mudah dimengerti, Bourdieu mencontohkannya pada
pertukaran
hadiah.
Pertukaran
hadiah
menurutnya
adalah
upaya
untuk
memersonalisasikan hadiah, dan mengubah nilai yang sepenuhnya bersifat moneter, menjadi sesuatu yang berbeda, karena pertukaran hadiah pada dasarnya dapat dijadikan sebagai alat untuk menginvestasikan kesolidan, yang mana labanya akan muncul dalam jangka pendek maupun jangka panjang, baik bentuk uang ataupun bentuk lainnya yang lebih abstrak67. Namun dari pada itu, ia pun memaparkan bahwa dalam pemupukan modal sosial, seringkali terjadi ekslusifitas. Padahal modal sosial yang ada seharusnya ditujukan untuk menyatukan beragam orang dari berbagai ranah sosial. Sehingga ia pun mengambil statement bahwa hubungan-hubungan yang terbuka dan bervariasi lebih baik dari pada hubungan
ekslusifitas,
karena
hubungan
yang
terbuka
dan
bervariasi
dapat
menghubungkan aset internal dengan aset eksternal yang ada didalam keluarga68.
E. Definisi Konseptual 65
Ibid. Bourdieu (1992), dalam Field, John, Op.Cit., hal. 21. 67 Ibid., hal. 23. 68 Ibid., hal. 51. 66
16
E.1. Konsep Survivalitas (Beradaptasi dan Bertahan) Kehidupan manusia termasuk dalam berkeluarga selalu mengahadapi perubahan sosial. Pada perubahan-perubahan tersebut terjadi hukum seleksi yang mana yang lebih unggul maka dialah yang lebih mampu menyesuaikan diri dalam kompetisi, sementara yang kalah lama-lama akan tersingkirkan sebab yang lebih unggul akan menguasai wilayah mereka serta menjadi bibit pokok dalam perkembangan diwilayah tersebut. Maka pada perebutan sumberdaya ini kemampuan beradaptasi dan bertahan hidup benar-benar diuji sedemikian rupa, sehingga kompetisi ini akan bersifat menguntungkan bagi yang unggul dan bersifat keras bagi yang lemah. Maka dari itulah banyak dari mereka yang mencoba berbagai strategi untuk berjuang agar dapat bertahan dalam kompetisikompetisi tersebut. E.2. Pengelolaan Konflik Konflik yang hadir didalam keluarga dapat dikelola menjadi lebih terarah dengan menjadikan konflik tersebut sebagai kekuatan positif yang bermanfaat untuk membangun kapasitas individu-individu yang ada didalamnya69. Akan tetapi sebaliknya, apabila konflik tidak dikelola dan diarahkan kepada hal yang positif bukan suatu yang tidak mungkin akan terjadi perpecahan, ataupun tindak kekerasan yang tentunya merugikan pihak-pihak yang ada didalamnya. Maka dari itulah adanya pilihan-pilihan yang diambil untuk menghadapi konflik akan tergantung pada keluarga itu sendiri. Namun keluarga dapat berusaha memberikan dukungan baik dukungan emosional berupa empati, cinta, dan kepercayaan, maupun dukungan instrumental (instrumental support) berupa penyediaan tenaga atau uang untuk membantu dengan mengambil alih tanggung-jawab yang ia persoalkan, dan dukungan penilaian (appraisal support) agar anggota keluarga mendapatkan informasi terkait evaluasi dirinya, baik dalam bekerja, dalam berpenampilan maupun dalam berperilaku sehari-hari. E. 3. Bisnis Keluarga Bisnis keluarga ialah sebuah kegiatan yang tidak hanya menghasilkan profit yang berbentuk moneter, akan tetapi juga menghasilkan profit yang berbentuk abstrak bagi para pelakunya. Profit moneter dan profit abstrak tersebut, dapat hadir karena adanya 69
Ibid., hal 8.
17
akumulasi sosial antara fungsi keluarga yang secara kontinyu memproduksi modal sosial, dengan posisi keluarga yang secara kontinyu terlekat dalam nilai-nilai kultural dan struktural yang ada. Bahkan, berbagai aktivitas yang dilakukan para anggota keluarga pun menjadi semakin menarik karena tidak dapat dipisahkan dari proses daily politics yang ada. Lebih jauh dari itu, sebenarnya studi bisnis keluarga di Indonesia ini memiliki dua kubu besar, yakni kubu optimis dan kubu pesimis. Kubu optimis adalah kubu yang cenderung berstatement positif, hal ini dapat dilihat dari cara mereka mengelaborasi statementnya yang disertai dengan data kesuksesan dari bisnis keluarga yang mereka miliki. Sementara kubu pesimis, buku-bukunya lebih banyak hadir ditahun-tahun ketika pasca kebijakan benteng, krisis moneter, dan juga pasca lengsernya Soeharto, karena kubu ini lebih melihat bukti sejarah dari bisnis keluarga pada saat itu. Akan tetapi, penelitian ini tidak akan mengekslusifkan dirinya secara sepihak untuk memilih diantara kedua kubu tersebut. Sehingga penelitian ini akan lebih didorong untuk terbuka terhadap segala kemungkinan, termasuk membuat pola baru atau bahkan pola tambahan diluar kedua kubu tersebut. E.4. Skema Dasar Keluarga Keluarga dapat diartikan sebagai keluarga besar dan inti. Keluarga besar terdiri dari ayah, ibu, anak baik keturunan atau adopsi atau bahkan keduanya, nenek, kakek, paman, bibi, dan sebagainya, pola keluarga besar ini sering disebut dengan extended family. Sementara keluarga inti adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak baik keturunan atau adopsi atau bahkan keduanya, pola keluarga inti ini sering disebut sebagai nuclear family. Pada kesempatan ini, penelitian juga akan didorong untuk memahami skema dasar keluarga dengan lebih spsesifik lagi, yakni dengan memahami pola kewilayahan atau tempat tinggal yang didiami oleh para keluarga. Sehingga pola dan perilaku yang berbeda antara keluarga yang ada didesa dan keluarga yang berada dikota, dapat diidentifikasi secara optimal dalam memahami bisnis keluarga yang ada dilapangan. Lebih jauh dari itu, peneliti juga menambahkan satu sub variatif dari keluarga perkotaan, yakni keluarga migrasi dan keluarga asli kota. Keluarga migrasi ialah keluarga yang awalnya berdomisili di desa kemudian pindah kekota, sementara keluarga asli kota adalah keluarga yang memang lahir dan besarnya dikota.
18
E.5. Fungsi Keluarga – Modal Sosial Keluarga memiliki beberapa fungsi dasar diantaranya adalah fungsi proteksi (protection function), fungsi sosialisasi (socialization function), fungsi reproduksi (reproductive function), fungsi ekonomi (economic function) dan fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (health care function). Kelima fungsi ini secara kontinyu dapat menghasilkan modal sosial yang melimpah maupun terbatas. Keterbatasan dan melimpahnya modal sosial yang ada tergantung pada fungsi keluarga itu sendiri, apakah fungsi keluarga itu berjalan dengan optimal ataukah berjalan dengan stagnat. Namun lebih jauh dari itu, modal sosial yang bercirikan adanya kepercayaan, norma dan jaringan sosial, secara langsung juga akan mempengaruhi keberlangsungan dari bisnis keluarga. Sebagai contoh, bila kepercayaan tidak ada, norma dan jaringan sosial juga akan meredup, begitupun sebaliknya bila norma tidak ada, maka kepercayaan dan jaringan sosial akan berjalan secara tidak beraturan. Sehingga, kapasitas keluarga dalam mengelola fungsi keluarga menjadi penentu apakah modal sosial itu dapat berjalan optimal bagi keberlangsungan bisnis keluarga ataukah tidak. F. Definisi Operasional F.1. Konsep Survivalitas (Beradaptasi dan Bertahan) a) Adanya proses seleksi, yang dapat beradaptasi dan bertahan maka ia yang lebih unggul. b) Mereka yang kalah adalah yang tidak dapat beradaptasi dan bertahan sehingga dalam waktu tertentu akan tergeser atau terusir dari wilayah kompetisi. F.2. Pengelolaan Konflik a) Adanya perbedaan dalam persepsi, emosional, ataupun tindakan. b) Adanya pengarahan konflik kedalam suatu tindakan yang lebih terarah seperti musyawarah. c) Adanya pengarahan konflik kedalam suatu tindakan yang lebih berdiam diri. d) Adanya dukungan-dukungan keluarga seperti dukungan tenaga, pemberian kasih sayang, pemberian penilaian atau pengertian. F.3. Bisnis Keluarga
19
a) Bisnis keluarga muncul atas dampak kebutuhan moneter, walaupun memang hasilnya tidak selalu berbentuk moneter tetapi juga berbentuk abstrak seperti modal sosial yang berupa kepercayaan, norma dan jaringan sosial yang terjadi pada internal keluarga maupun eksternal keluarga. b) Bisnis keluarga yang dimaksudkan disini adalah bisnis keluarga disektor penjualan bunga. c) Bisnis keluarga pengelolanya adalah anggota keluarga. F.4. Skema Dasar Keluarga a) Keluarga besar terdiri dari ayah, ibu, anak keturunan atau adopsi atau bahkan keduanya, kakek, nenek, bibi, paman dan sebagainya. b) Keluarga inti terdiri dari ayah, ibu, anak keturunan atau adopsi atau bahkan keduanya. c) Keluarga perkotaan adalah keluarga yang tinggal didaerah yang teknologinya sudah berkembang, pembangunannya sudah hampir merata, dan tingkat kehidupannya berada pada level lepas landas. d) Keluarga pedesaan adalah keluarga yang tinggal didaerah yang teknologinya masih belum maju, pembangunannya masih jarang dan belum merata, serta tingkat kehidupannya masih berada pada level tradisional. e) Keluarga migrasi kota adalah keluarga yang berasal dari desa, kemudian pindah kekota. f) Keluarga asli kota adalah keluarga yang memang lahir dan tinggal dikota. F.5. Fungsi Keluarga-Modal Sosial a) fungsi proteksi (protection function) Adanya proses saling melindungi antara anggota keluarga satu dengan anggota keluarga lainnya. b) fungsi sosialisasi (socialization function)
20
Adanya proses sosialisasi yang berupa pengenalan untuk memahami suatu hal yang berhubungan dengan interaksi sosial yang ada dimasyarakat. c) fungsi reproduksi (reproductive function) Adanya proses penambahan keturunan, agar dapat melanjutkan bisnis keluarga, dan kegiatan lainnya. d) fungsi ekonomi (economic function) Adanya pemenuhan sandang, pangan, dan papan. e) fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (health care function) Adanya perawatan dan pemeliharan kesehatan, agar anggota keluarga dapat tetap survive dalam melakukan kegiatan sehari-harinya. Perawatan dan pemeliharaan ini dapat berupa pemenuhan gizi keluarga, terdaftar dalam asurasi kesehatan, ataupun terlibat dalam penegakan kebersihan keluarga. f) Adanya modal sosial, berupa: Kepercayaan yakni keadaan saling memahami dan meyakini antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Norma yakni seperangkat aturan yang mengikat segala tata perilaku dalam kehidupan sosial. Jaringan sosial yakni koneksi antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lainnya, atau bahkan dengan orang-orang yang berada diluar mereka.
G. Metode Penelitian G.1. Jenis Penelitian
21
Penelitian terkait tiga bisnis keluarga ini akan menggunakan metode kualitatif dengan jenis studi kasus. Adapun pemilihan studi kasus dalam penelitian ini, lebih disebabkan oleh usaha peneliti untuk memahami fenomena kontemporer yang terjadi secara lebih konstektual dan akurat sesuai dengan ruang dan waktu penelitian70. Adapun fenomena kontemporer yang dimaksudkan adalah fenomena tiga bisnis keluarga yang berupa bisnis penjualan bunga yang berada di Jalan Ahmad Jazuli Yogyakarta. Selain itu, melalui studi kasus yang pada dasarnya memang memiliki fungsi dapat memfasilitasi sebuah eksplorasi fenomena baik itu individu, organisasi, hubungan, proses maupun program71, maka dapat dipastikan penelitian ini juga tidak hanya dieksplorasi melalui satu lensa melainkan berbagai lensa yang memungkinkan beberapa aspek dari fenomena yang ada akan terungkap serta mudah dipahami ketika rekonstruksi dan dekonstruksi72. Terutama pada peristiwa-peristiwa kehidupan nyata seperti perubahan lingkungan sosial, proses organisasional dan managerial industri, hubungan-hubungan keluarga, hubungan-hubungan internasional dan juga fenomena lainnya. Lebih jauh lagi, penelitian ini juga akan menggunakan desain multikasus. Desain multikasus adalah desain yang pada umumnya memang digunakan pada penelitian yang sama namun berisi lebih dari sebuah kasus tunggal. Selain itu, desain multikasus juga memandang multikasus sebagai multieksperimen yang menggunakan logika penelitian yang juga memperlakukan teori sebagai alat bantu dalam mengarahkan73. Maka dari itulah, melalui penggunaan desain multikasus ini diharapkan dapat membantu mengungkapkan makna-makna dari kasus maupun fenomena yang terjadi pada tiga keluarga besar yang memiliki bisnis penjualan bunga, di Jalan Ahmad Jazuli Yogyakarta. Namun disisi lain, studi kasus sebagai suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata ternyata juga memiliki kelemahan dan kelebihannya tersendiri, terutama pada desain multikasus yang digunakan ini, juga memiliki kelemahan dan keuntungan tersendiri. Desain multikasus memiliki keuntungan yaitu dipandang lebih kuat dan lebih menstimulasi dalam proses penelitian. Hanya saja, dalam penyelenggaraan studi multikasus ini dapat menuntut banyak sumber dan waktu yang ektra bagi peneliti, bahkan peneliti dapat menjadi tidak terfokus bila tidak dibantu dengan teori yang ada dalam penelitian ini, yang juga dapat dijadikan sebagai alat untuk 70
Santana, Septiawan. (2007). Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hal. 105. Ibid., hal. 107. 72 Ibid. 73 Ibid. 71
22
mengarahkan dan meminimalisir variasi bias yang dapat menyesatkan peneliti dari banyaknya kebenaran faktual74. Salah satu kelebihan dari studi kasus lainnya, ialah bisa menjelaskan suatu fenomena secara unik dan komprehensif75. Akan tetapi juga memiliki keterbatasan secara metodologis, karena seperti yang kita ketahui, pada dasarnya kasus memang memiliki batas, lingkup kajian dan pola pikir tersendiri dalam mengungkapkan realitas sosial tersebut76. Atas dasar hal inilah studi kasus banyak diperdebatkan mengenai aspek validitas (kemampuan kasus merepresentasikan kasus lainnya), reliabilitas (kemampuan untuk direplikasi dalam kasus lain dalam kesempatan yang lain), serta generalisasi hasil temuan, sebagai sebuah teori yang diterima secara umum. Maka dari itulah, peneliti menyadari bahwa temuan dalam penelitian ini memiliki kemungkinan tidak bisa digeneralisasikan atau direplikasi pada kasus yang lain dalam setting waktu dan tempat yang berbeda77. Sehingga dalam penelitian ini, kebenaran dalam studi kasus menjadi suatu hal yang relatif, karena pada dasarnya pendekatan ini juga mengakui pentingnya manusia yang memiliki telaah subjektif dalam penciptaan makna tetapi studi kasus juga tidak menolak beberapa pengertian tentang objektivitas78. Walaupun demikian, namun tetap saja peneliti tidak menjadi aktor tunggal ketika menginterpretasikan data penelitian. Hal ini dilakukan demi memperkuat validitas, karena pada dasarnya pendapat dari berbagai narasumber ahli seperti dosen, kelompok diskusi, dan informan, menjadi suatu hal yang sangat diperlukan, agar proses interpretasi menjadi lebih berimbang79.
G.2. Unit Analisa Data Penelitian ini memfokuskan diri pada tiga bisnis keluarga yang bergerak disektor penjualan bunga, yang berada di Jalan Ahmad Jazuli, Kota Baru, Yogyakarta80. Adapun peta lokasinya seperti berikut ini81 :
74
Gerring, John. (2004). What Is a Case Study and What Is It Good for?. American Political Science, Review Vol. 98, No. 2 (May 2004), Boston University, Boston: American Political Science Association. hal. 342. 75 Nawawi, Hadari. (1995). Metode Penelitian Sosial; Cetakan 7. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal. 153. 76 Salim, Agus. (2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. hal. 100. 77 Ibid., hal. 101. 78 Yin, Robert K. (2006). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hal. 136. 79 Mulyana, Deddy. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. hal. 201. 80 Lokasi spesifik, yakni sebelah selatan Gereja Kota Baru atau sebelah selatan kantor RRI (Radio Republik Indonesia) Yogyakarta.
23
B S
U T
(Sumber: Radio Republik Indonesia Yogyakarta. (2011). Peta Lokasi Radio Republik Indonesia Yogyakarta, Jalan Ahmad Jazuli Yogyakarta. http://wikimapia.org/14865317/id/RRI. Peta lokasi ini diunduh pada Rabu, 26 Juni 2013, pukul 18:02 WIB. Peta lokasi RRI tersebut, bersebelahan langsung dengan obyek penelitian yakni bisnis keluarga yang bergerak disektor penjualan bunga.)
Melalui peta tersebut, dapat kita lihat bahwa terdapat jalan berwarna merah, dan sebelah kiri dari gambar jalan berwarna merah tersebut merupakan lokasi penelitian yakni lokasi tiga bisnis keluarga tepatnya bisnis penjualan bunga segar. Berhubung tiga bisnis keluarga ini merupakan bisnis keluarga besar, maka penetapan terhadap narasumber internal menjadi penting untuk dilakukan, terutama atas dasar posisi strategisnya didalam keluarga besar82. Adapun narasumber internal ini terbilah menjadi tiga klasifikasi, yaitu : 1). Anggota keluarga yang dituakan, merupakan salah satu narasumber yang sangat diperlukan untuk mengetahui seluk-beluk bisnis keluarganya, mengetahui kesepakatankesepakan yang terjadi didalam keluarga, serta data-data lainnya. 2). Anggota keluarga yang diberi amanah kios bunga, merupakan salah satu narasumber yang diperlukan untuk mengetahui cara pengelolaan bisnis keluarga, untuk mengetahui 81
Radio Republik Indonesia Yogyakarta. (2011). Peta Lokasi Radio Republik Indonesia Yogyakarta, Jalan Ahmad Jazuli Yogyakarta. http://wikimapia.org/14865317/id/RRI. Peta lokasi ini diunduh pada Rabu, 26 Juni 2013, pukul 18:02 WIB. Peta lokasi RRI tersebut, bersebelahan langsung dengan obyek penelitian yakni bisnis keluarga yang bergerak disektor penjualan bunga. 82 Baxter, Pamela and Susan Jack. (2008). Qualitative Case Study Methodology: Study Design and Implementation for Novice Researchers. The Qualitative Report, Volume 13 Number 4 December 2008, Ontario, Canada: McMaster University, West Hamilton. hal. 544.
24
interkasi dan kecenderungan perilaku antar anggota keluarga, serta megetahui data-data lainnya. 3). Anggota keluarga yang tidak diberi amanah kios bunga (dalam artian memiliki pekerjaan lain, atau usaha lain yang tidak sejenis, atau bahkan tidak atau belum memiliki pekerjaan). Narasumber yang satu ini, dapat membantu peneliti untuk mengkomparasikan data, serta mengetahui interaksi dan kecenderungan perilakunya. Lebih jauh dari itu, peneliti juga akan membutuhkan narasumber eksternal yakni narasumber yang berasal dari luar keluarga besar, namun mempunyai informasi yang juga sama pentingnya. Sehingga, pemilihan narasumber eksternal ini sangat berguna untuk mengkomparasikan data agar menjadi lebih komprehensif dan berimbang83. Adapun narasumber eksternal atau diluar keluarga besar diklasifikasikan menjadi dua, yakni: 1). Pejabat lokal setempat (bapak/ibu RT, RW, Kepala Desa/Lurah), merupakan narasumber yang diperlukan dalam mencari data terkait seberapa lama mereka sudah menempati tempat tersebut, dan catatan-catatan sipil lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. 2). Beberapa tetangga dari keluarga besar, merupakan narasumber yang diperlukan untuk mengkomparasikan data. Maka dari itulah, pemaparan obyek nyata dalam penelitian ini, yang kemudian ditambah dengan peta lokasi serta klasifikasi narasumber internal dari keluarga dan narasumber eksternal keluarga yang telah dibahas diatas, diharapkan dapat memudahkan peneliti dalam mencari data dan menganalisa data, serta memudahkan pembaca untuk memahami unit spsesifik dari penelitian ini84. G.3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data primer diperoleh melalui wawancara, dan observasi partisipan. Pertama adalah wawancara. Sebelum melakukan wawancara, peneliti berusaha menyusun interview guide (rancangan pertanyaan), ditujukan agar wawancara tetap terfokus. Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah model indepth interview (wawancara mendalam) dengan teknik memberikan pertanyaan secara umum kepada informan dan kemudian 83
Ibid. Santana, Septiawan, Op.Cit., hal. 107.
84
25
mengajukan beberapa pertanyaan lanjutan85. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan alat rekaman untuk mempermudah melakukan analisis86. Adapun untuk memperoleh data yang mendukung penelitian bisnis keluarga ini, maka wawancara dilakukan kepada beberapa narasumber yang berasal dari anggota keluarga, pejabat lokal setempat (RT, RW, Kepala Desa/Lurah), dan beberapa tetangga keluarga, yang telah lama berinteraksi dan berhubungan dengan keluarga yang memiliki bisnis keluarga ini. Kedua, observasi partisipan. Observasi partisipan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengikuti berbagai kegiatan baik kegiatan dagang, ataupun kumpul keluarga seperti arisan dan kegiatan lainnya. Selain itu, peneliti juga akan mengamati berbagai interaksi antara anggota keluarga, mengamati metode penjualan, program dan peraturan keluarga, proses sharing pengetahuan, serta musyawarah mufakat yang dilakukan oleh keluarga. Maka dari itu, observasi partisipan ini sebenarnya memiliki kelebihan tersendiri diantaranya ialah peneliti dapat lebih mudah memahami konteks data dalam keseluruhan interaksi sosial, dalam rangka mendapatkan pandangan yang menyeluruh tentang suatu fenomena yang dilakukan oleh keluarga dalam mengelola bisnis keluarganya. Bahkan lebih dari itu, observasi partisipan ini dapat mengungkap data-data yang tidak terungkap melalui metode wawancara87. Berlanjut kepada sumber data sekunder. Sumber data sekunder pada penelitian ini diperoleh melalui teknik dokumentasi. Teknik dokumentasi ini dilakukan peneliti guna memperoleh informasi lain yang relevan terkait bisnis keluarga, hal ini dilakukan dengan mencari, mengumpulkan, mengamati, dan mempelajari dokumen yang berupa buku-buku yang terkait dengan substansi penelitian, dokumentasi media massa, dan jurnal ilmiah88. Sebab pada dasarnya, data dokumentasi tersebut sangatlah berguna, karena data dari dokumentasi ini dapat mempengaruhi interpretasi peneliti dalam memandang obyek penelitian dan menjelaskan fenomena yang kala itu sedang terjadi89. Maka dari itulah,
85
Yin, Robert K, Op.Cit., hal. 140. Ibid. 87 Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group. hal. 115. 88 Yin, Robert K, Op.Cit., hal. 140. 89 Baxter, Pamela and Susan Jack, Loc.Cit., hal. 545. 86
26
teknik dokumentasi ini memiliki kelebihan tersendiri, salahsatunya ialah, memperoleh wawasan yang luas ketika mengkaji suatu fenomena termasuk fenomena bisnis keluarga90. G.4. Teknik Analisa Data Analisis
data
merupakan
salah
satu
cara
dalam
mengurutkan
dan
mengkategorisasikan data kedalam berbagai bentuk kategori sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing bab, dan dalam melakukan analisis data ini, peneliti akan memulainya dengan mengumpulkan berbagai data yang didapatkan baik dari wawancara, observasi partisipan maupun dari dokumen-dokumen91. Adapun untuk hasil wawancara peneliti akan melakukan transkrip wawancara dari rekaman wawancara yang didapatkan. Kemudian, hasil dari transkrip tersebut dikumpulkan dengan berbagai data lainnya92. Sementara untuk data yang dihasilkan melalui observasi partisipan dan dokumen-dokumen, peneliti akan membuat sebuah akumulasi laporan baik isinya berbentuk teks, gambar, maupun kliping, dan kemudian dikumpulkan dengan berbagai data lainnya93. Langkah
selanjutnya,
peneliti
akan
menilai
data-data
tersebut
dan
mengelompokannya berdasarkan kegunaan data untuk setiap bab atau bagian tertentu. Setelah itu, peneliti akan melakukan interpretasi terhadap data yang sudah dikumpulkan, dikomparasikan, dan diklasifikasikan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam melakukan tahap selanjutnya yakni tahap pemberian kesimpulan. Adapun kesimpulan yang dihasilkan nantinya, merupakan sinkronisasi antara teori dan data yang ditampilkan dalam bentuk teks94. H. Sistematika Penulisan Penulisan dari hasil penelitian ini, nantinya akan dibagi menjadi lima bab. Bab pertama merupakan bagian yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, definisi konseptual, definisi operasional, metode penelitian sampai pada sistematika penulisan. Runtutan ini bertujuan agar pembaca yang membaca
90
Ibid. Creswell, John W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design; Choosing Among Five Approaches. London: University of Nebraska, Lincoln. hal. 74. 92 Ibid. 93 Ibid. 94 Ibid., hal. 75. 91
27
penelitian ini akan mudah menemukan urutan langkah-langkah dalam penelitian, sehingga inti dari kajian ini akan mudah dipahami oleh pembaca. Bab kedua, akan berisi sejarah bisnis dari tiga keluarga besar pedagang bunga yakni keluarga besar Purwo, keluarga besar Kusumo dan keluarga besar Puspo, yang mana nantinya akan membahas terkait asal-usul terbentuknya bisnis keluarga, serta mengungkap faktor-faktor yang membuat ketiga keluarga ini memilih bisnis disektor penjualan bunga. Kemudian, bab ini juga akan mengungkap generasi-generasi yang hadir dari sejak awal berdiri, sejak masa perkembangan sampai dengan sekarang tahun 2014. Bab ketiga, bab ini akan membahas terkait persaingan dan pengelolaan bisnis bunga, oleh keluarga besar Purwo, keluarga besar Kusumo dan keluarga besar Puspo, yang mana didalamnya membahas bagaimana cara mereka memasuki peluang bisnis, cara mereka mempertahankan bisnis, cara mereka mengelola pekerja, dan cara mereka mengelola penjualan. Bab terakhir atau keempat merupakan bagian kesimpulan dari penelitian ini, dalam bab ini akan dipaparkan jawaban dari pertanyaan penelitian yang isinya merupakan hasil akumulasi data dan teori-teori yang ada. Selain itu, pada bab ini juga akan dipaparkan terkait kontribusi penelitian bisnis keluarga terhadap khasanah ilmu politik secara umum.
28