1
BAB I A. Latar Belakang Penelitian Akne merupakan penyakit kulit yang terjadi akibat peradangan menahun folikel pilosebasea yang ditandai dengan komedo, papul, pustul, nodul dan kista pada wajah, leher, dada, bahu, punggung dan lengan atas. Akne biasanya timbul pada awal usia remaja. Akne juga dapat ditemukan pada bayi baru lahir, yang kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh
hormonal dari
ibu.
Kondisi ini dapat menetap hingga
usia
pertengahan (Zaenglein et al, 2012) Akne sering kita dijumpai di masyarakat dan merupakan salah satu masalah kulit yang bersifat kronis. Kondisi ini bukan merupakan suatu penyakit
yang
mengancam
jiwa,
namun akne
dapat
menyebabkan
masalah psikologis yang berbeda-beda, mulai dari perasaan rendah diri hingga stress pada penderitanya. Selain itu sering pula menimbulkan bekas berupa skar pada wajah yang bersifat permanen. Sekitar 15-30% penderita akne memerlukan perawatan medis karena keparahan dan kondisi klinisnya, 27% di antaranya mengalami skar paska akne yang bertahan lama (Zouboulis et al, 2005). Hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini, maka sering dianggap sebagai kelainan kulit yang timbul secara fisiologis. Ketika pada masa remaja akne vulgaris mulai menjadi salah satu problem. Umumnya insiden terjadi pada usia 14-17 tahun pada wanita, 16-19 tahun pada pria dan pada masa itu lesi yang pradominan adalah komedo dan papul. Diketahui pula
1
2
bahwa ras Oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih jarang menderita akne vulgaris dibanding dengan ras Kaukasia (Eropa dan Amerika), dan lebih sering terjadi nodulo-kistik pada kulit putih daripada kulit hitam (Wasitaatmadja, 2010). Penyakit ini menempati urutan ketiga penyakit terbanyak dari jumlah pengunjung Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di Rumah Sakit maupun Klinik Dermatologi di Indonesia (Wasitaadmaja, 2013). Akne vulgaris menempati urutan pertama dalam daftar sepuluh penyakit terbanyak di poliklinik kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Dr.Sardjito, Yogyakarta pada tahun 2013 – 2014. Etiologi akne vulgaris belum jelas sepenuhnya. Patogenesis akne adalah multifaktorial, namun telah diidentifikasi empat teori sebagai etiopatogenesis akne. Keempat patogenesis tersebut adalah hiperproliferasi epidermis folikuler, produksi sebum yang berlebih, bakteri Propionibacterium acnes dan inflamasi (Zaenglein et al, 2012). Pengobatan topikal umumnya direkomendasikan untuk jerawat ringan sampai sedang. Jenis obat yang digunakan cukup banyak, beberapa yang tersedia bebas di pasaran di negara tertentu. Produk yang paling sering diresepkan adalah antibiotik dan retinoid dengan agen lainnya termasuk benzoil peroksida, asam salisilat, asam azelaik, dan asam alfa hidroksi (Leyden et al, 2013). Penggunaan antibiotik topikal biasanya digunakan pada akne tipe ringan dan sedang (Goulden, 2003). Antibiotik topikal yang paling sering
3
digunakan adalah eritromisin dan klindamisin, namun tetrasiklin juga dapat digunakan (Tan, 2004) Sebuah penelitian di Jakarta melaporkan bahwa resistensi P. acnes terhadap eritromisin oral sebesar 63,2%, kemudian diikuti oleh klindamisin 57,9% dan tetrasiklin 47,4% (Barira et al, 2006). Penelitian lain menunjukkan adanya resistensi terhadap klindamisin sebanyak 76,9% dan eritromisin sebanyak 84% (Hee, 2003). Adanya resistensi menunjukkan perlunya antibiotik topikal baru lainnya sebagai alternatif dalam terapi akne. Nadifloksasin merupakan antibiotik golongan kuinolon baru, yang telah disetujui sebagai terapi topikal pada akne vulgaris (Hosoda et al, 2012). Penelitian di Jepang menunjukkan tidak ada resistensi P. acnes terhadap nadifloksasin (Takigawa et al, 2013). Antibiotik topikal ini merupakan anggota yang relatif baru dari obat anti-jerawat. Nadifloksasin telah digunakan untuk terapi jerawat ringan sampai sedang di Jepang dan negara-negara Eropa lainnya dan juga telah diluncurkan di India (Chodhury et al, 2011). Nadifloksasin adalah
generasi kedua fluorokuinolon yang memiliki spektrum luas yang
efektif terhadap bakteri gram negatif dan gram positif. (Kumar et al, 2010).
4
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah perbandingan efektivitas nadifloksasin dan klindamisin terhadap pertumbuhan P. acnes dan penurunan jumlah lesi pada akne vulgaris derajat sedang.
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas krim nadifloksasin dan gel klindamisin terhadap pertumbuhan biakan P. acnes dan penurunan jumlah lesi akne pada penderita akne vulgaris derajat sedang.
D. Manfaat Penelitian Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Bagi peneliti, dapat meningkatkan pemahaman tentang efektivitas krim nadifloksasin dan gel klindamisin terhadap pertumbuhan biakan P. acnes dan pada penurunan jumlah lesi pada pasien akne vulgaris derajat sedang 2. Bagi institusi, dapat digunakan sebagai masukan data dan informasi mengenai efektivitas krim nadifloksasin dan gel klindamisin pada pasien akne vulgaris dan sebagai pedoman dalam pemilihan terapi antibiotik topikal dalam pengobatan akne vulgaris derajat sedang.
5
E. Keaslian Penelitian Bedasarkan penelurusan melalui internet yang dilakukan penulis melalui http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed dengan menggunakan kata kunci nadifloksasin, klindamisin dan akne vulgaris terdapat 20 artikel. Hasil penelusuran
melalui
http://www.sciencedirect.com/
dengan
kata
kunci
nadifloksasin dan klindamisin ditemukan 30 artikel. Sepengetahuan penulis sampai sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai efektifitas nadifloksasin dan klindamisin pada pasien acne vulgaris di Yogyakarta. Tabel 1. Beberapa penelitian mengenai sensitivitas Propionibacterium acnes terhadap nadifloksasin dan klindamisin pada pasien acne vulgaris
Peneliti,
Judul
Subyek
Tahun
Penelitian
Penelitian
Züleyha Yazıcı Özgen, Oya Gürbüz, Marmara Med Journal 2013; 26: 17-20
A randomized, double-blind comparison of nadifloxacin 1% cream alone and with benzoyl peroxide 5% lotion in the treatment of mild to moderate facial acne vulgaris Clinical and histological evaluation of 1% nadifloxacin cream in the treatment of acne vulgaris in Korean patients
Nadifloksasin n=46, nadifloksasin benzoil peroksida n=47
Dilihat klinis penurunan lesi pada pasien. Kombinasi nadifloksasin lebih baik
Perbedaan: perbandingan nadifloksasin dan nadifloksasin benzoil peroksida
n=34, dilakukan biopsi kulit
Penurunan lesi inflamasi dan ekspresi IL-8 pada nadifloksasin
Perbandingan nadifloksasin dan vehicle cream
Jae Yoon Jung et al, IJD 2011; 50: 350 – 357
Hasil
Persamaan/ Perbedaan
6
S.Choudhur y et al, IJP 2011; 43(6): 628-631
Mustafa Tunca et al, IJD 2010; 49: 14401444
Jasmen Silitonga, 2007
Efficacy and safety of topical nadifloxacin and benzoyl peroxide versus clindamycin and benzoyl peroxide in acne vulgaris: A randomized controlled trial Topical nadifloxacin 1% cream vs. topical erythromycin 4% gel in the treatment of mild to moderate acne Perbandingan efektivitas krim nadifloksasin 1% dengan krim eritromisin 2% terhadap akne vulgaris derajat sedang
n=43 nadifloksasin, n=41 klindamisin, Dilihat penurunan jumlah lesi
Hasilnya keduanya efektif, tidak ada perbedaan yang signifikan
Perbandingan nadifloksasin benzoil peroksida dan klindamisin benzoil peroksida dilihat dari penurunan jumlah lesi
n=86, Dilihat klinis penurunan jumlah
Hasilnya keduanya efektif, tidak ada perbedaan yang signifikan
Perbandingan krim nadifloksasin dan gel eritromisin
Nadifloksasin n= 42 Eritromisin n= 42
Hasilnya dilihat berdasarkan perbaikan klinis. Tidak terdapat berbedaan yang signifikan
Perbandingan krim nadifloksasin dan krim eritromisin