BAB DUA PERSPEKTIF TEORI
Pendahuluan Dalam Bab II perspektif teori ini akan dibahas teori besar yaitu perspektif teori Max Weber dan Pierre Bourdieu yang menjadi rujukan dalam penulisan disertasi ini. Dimana pemikiran Max Weber mengkritisi kehidupan spirit agama untuk memobilisir kegiatan ekonomi sebagai bentuk hubungan manusia dengan Tuhan, sehingga semangat prilaku kapitalisme muncul, tumbuh dan berkembang. Pengaruh ajaran agama Kristen Protestan yang dikembangkan oleh kelompok Calvinisme percaya adanya doktrin predestinasi, calling “panggilan” pelayanan kepada Tuhan, sikap asketisme seperti bekerja keras, tidak berfoya-foya, dan hidup sederhana, serta pola perilaku yang rasionalitas (berpikir logis dan inovatif) telah mendorong serta menggerakan perilaku seseorang untuk mencari keuntungan (profit), dan keuntungan yang dapat diperbarui untuk diakumulasikan usaha lebih lanjut. Usaha-usaha kapitalistis yang rasional dilakukan secara terus-menerus akan berakibat mengubah dunia menjadi lebih cepat pertumbuhan ekonominya yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan teori Pierre Bourdieu mengupas proses pengembangan pembentukan habitus sebagai realisasi sosial dalam proses “dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalitas internalitas” dalam aktivitas sosial. Ekternalitas adalah struktur objektif yang ada di luar pelaku sosial, sedangkan internalitas merupakan segala sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial. Dalam proses interaksi dialektis itulah struktur objektif dan subjektif, struktur dan agen bertemu dalam arena dan berdialektika dalam bentuk praktik. Dinamika dialektika yang dilakukan pelaku-pelaku sosial menjadikan 43
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
dasar pembentukan social capital yang mampu menggerakan para pelaku (actor) sehingga mampu meningkatkan kinerja aktivitasnya dalam memenuhi kebutuhannya melalui kegiatan ekonomi.
Perspektif Max Weber Max Weber dilahirkan di Erfurt, Jerman, pada 21 April 1864. Max Weber berasal dari keluarga kelas menengah yang terpandang di kalangan politik Partai Liberal Nasional (National Liberal Party) yang dipimpin bangsawan Hanover, Bennigsen. Keluarga itu menetap di Charlottenburg, waktu itu merupakan kawasan bagian barat pinggir kota Berlin, dan keluarga pedagang linen dan produsen tekstil. Ayahnya, Max Weber, Sr., seorang ahli hukum yang cakap dan penasehat kota praja yang sangat menyukai kesenangan duniawi. Sedangkan ibu Weber, Helena Fasllenstein Weber, adalah seorang wanita Protestan terpelajar dan liberal, wanita yang berusaha menjalankan hidup prihatin (ascetic), tanpa kesenangan yang didambakan suaminya. Menurut Noorkholis (2006), perbedaan antara perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada orientasi intelektual dan perkembangan pribadi Weber kecil. Pada awal perkembangan hidupnya, Weber cenderung lebih berorientasi pada gaya hidup ayahnya, sehingga ibunya sangat mengkuatirkan ketidakpedulian religius anaknya. Weber remaja semakin kurang memiliki dasar yang sama dengan ibunya dalam persoalan-persoalan serius. Tapi bukan berarti ia dekat dengan ayahnya; atmosfer duniawi kehidupan intelektual modern menjauhkannya dari pengaruh ayahnya dan dari kesolehan ibunya. Setelah perkawinannya dengan Mariane, Weber menjalani kehidupan sukses sebagai seorang ilmuwan muda di Berlin. Pemikiranpemikiran Weber sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya, ayah, ibu maupun isterinya, serta guru-gurunya, koleganya maupun lingkungan sosial dimana Weber berada. Pada tahun 1894,Weber menerima jabatan professor penuh dalam bidang ekonomi di 44
Perspektif Teori
Universitas Freiburg.Weber meninggal pada tahun 1920 pada usia 56 tahun, selama hidupnya Weber banyak melakukan penelitian mengenai peranan agama dan pengaruhnya terhadap etika ekonomi, beliau menekankan penelitiannya pada dua segi utama, yaitu agama yang mempengaruhi pandangan hidup manusia dan perubahan sosial ekonomi yang mempengaruhi agama. Namun dilihat dari semua karya-karyanya, Weber lebih mementingkan pengaruh agama dan peranannya terhadap etika ekonomi. Di
awal
penelitiannya,
Weber
mencoba
melakukan
transformasi struktural sekaligus juga melakukan lintas structural antara bidang agama dan ekonomi. Berdasarkan data empiris statistik yang diamati menunjukkan, perkembangan perusahan-perusahaan di dunia Eropa modern, dimana banyak pimpinan-pimpinan perusahaan dan para pemilik modal, maupun mereka yang tergolong sebagai buruh terampil (ahli) tingkat tinggi, terlebih lagi karyawan-karyawan perusahaan modern yang sangat terlatih dalam bidang teknis dan niaga memeluk agama Kristen Protestan1. Ini menunjukkan bukanlah suatu fakta yang kebetulan (temporer) melainkan suatu fakta sejarah. Giddens (1985) mengatakan bahwa, beberapa negara Eropa sebagai pusat perkembangan kapitalis di permulaan abad keenambelas merupakan pusat yang sangat kuat unsur Protestannya2. Menurut Weber kapitalis modern timbul sebagai hasil kumulatif kekuatan sosial, politik, ekonomi dan agama atau dengan kata lain, ada hubungan yang sangat signifikan antara kemajuan bidang pemikiran (immaterial) dan kemajuan dalam bidang material. Weber menempatkan pengaruh agama (khususnya agama Kristen Protestan) sebagai faktor yang determinan. Agama merupakan faktor yang berpengaruh dan berdiri sendiri. Menurut Tuner (1984), inilah yang membedakan antara Weber dengan Marx yang menempatkan agama pada posisi nomor dua dan dependen3. Weber memiliki keinginan yang kuat dalam mempertanyakan hubungan antara penghayatan agama dengan pola-pola perilaku manusia artinya bagaimana hubungan “motivasi dan dorongandorongan psikologis” dari setiap perilaku kehidupan termasuk aspek 45
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
ekonomi. Kondisi psikologis dari setiap perilaku kegiatan ekonomi berakar kuat dari pada tradisi atau doktrin-doktrin agamis (khususnya agama Kristen Protestan). Secara literasi, ranah agama dan ekonomi sangatlah bertolak belakang, dimana agama berada dalam ranah ukhrawi sementara ekonomi dalam ranah duniawi. Masalah agama tidaklah selalu dihubungkan dengan aspek teologis yaitu pemikiran transendental yang menempatkan dogma keagamaan maupun Tuhan sebagai kebenaran sejati. Akan tetapi, agama juga perlu dihubungkan dengan aspek sosiologi yaitu memandang agama diterapkan secara nyata dalam kehidupan manusia sebagai bagian subsistem dan pranata dari sistem sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, konteks agama dalam pandangan sosiologis ingin melihat bagaimana ajaran kebenaran dan keyakinan agama itu dilakukan dan diwujudkan dalam norma, nilai dan etika perilaku para pemeluknya dalam kehidupan seharihari. Dwi Suyono (2005) menyatakan bahwa, ajaran mengenai norma, nilai, dan etika adalah bentuk dari religiusitas dan kristalisasi ajaran agama tersebut4. Dalam ranah ekonomi, manusia cenderung bersaing dalam mencapai kesejahteraan di arena privat sehingga manusia sebagai aktor ekonomi sering digambarkan sebagai serigala sesama (homo homini lupus) dimana perilaku ekonomi selalu terjadi mengejar kegiatan ekonomi dan mengejar keuntungan, memperlihatkan sikap acuh tak acuh dan mengabaikan kehidupan agama, bahkan kadang-kadang sampai melupakan serta memusuhi agamanya, karena kegiatan ekonomi lebih mengutamakan pemenuhan material. Namun kenyataan dalam agama Kristen Protestan tidak ada fenomena seperti itu dan tidak nampak dan tidak ditemukan dalam agama Kristen Protestan. Bahkan sebaliknya muncul dari agama Kristen Protestan suatu desakan yang sangat kuat yang mendorong seseorang untuk terlibat dalam kegiatan sehari-hari dengan penuh gairah dan antusias. Analisis Weber tersebut, mendapat dukungan dari Warner Sombart bahwa sistem-sistem keagamaan dan gereja memang dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku kehidupan ekonomi melalui cara-cara yang berbeda. Kekuatan sistem keagamaan dan gereja akan 46
Perspektif Teori
mengarahkan pikiran (mind) dalam tercapainya tujuan hidup. Pengaruh-pengaruh tersebut, baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan kecenderungan, rangsangan dan dorongan-dorongan tertentu. Hal ini tidak mengherankan, apabila kemudian Green (1959) menyatakan bahwa sejarah munculnya semangat kapitalisme adalah berjalan bergandengan dengan sejarah gereja dan sistem-sistem keagamaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semangat kapitalis modern secara khas ditandai oleh suatu kombinasi unik dari kegairahan kepada usaha untuk memperoleh kekayaan dengan melakukan kegiatan ekonomi di satu pihak, disertai ketaatan yang berakar pada suatu kepercayaan di pihak lain. Tahun 1904, Weber menulis esai-esai tentang problem sosial dan ekonomi Estates Junker, objektivitas dalam ilmu sosial, dan bagian pertama Protestant Ethic and the Spirit of Capitalisme. Sekembali ke Jerman, Max Weber merampungkan bagian kedua The Protestant Ethic, yang dalam sepucuk surat kepada Rickert ia sebut ”Asketisisme Protestan” sebagai fondasi peradaban kerja sebagai panggilan jiwa modern-semacam konstruksi spiritual ekonomi modern (Noorkholish, 2009). Pemikiran Weber dalam “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” merupakan langkah pertamanya untuk memasuki bidang sosiologi agama membahas masalah hubungan berbagai kepercayaan keagamaan dan etika praktis, khususnya etika dalam kegiatan ekonomi di kalangan masyarakat Barat sejak abad keenambelas hingga sekarang. Dalam tesisnya itu, Weber membahas reformasi terhadap ajaran gerejawi sehingga memunculkan agama Kristen Protestan. Weber mengikuti reformasi yang dicetuskan oleh Martin Luther dan John Calvin sebagai penggerak reformasi gereja. Reformasi ini menuntut pembaharuan terhadap gereja terutama dalam bidang administratif, moral dan hukum5. Pada waktu itu entitas gereja dipandang sudah tidak netral dan terindikasi korup, sehingga Martin Luther menyatakan bahwa gereja sendiri mengandung berbagai keburukkan yang ada di dalamnya, terutama penyelewengan surat penghapusan dosa (aflat) dan sistem kepausan, kehidupan para pejabat gereja (klerus) yang korup 47
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
dan bersembunyi di balik jubah Paus dan menuntut penghapusan kuasa Paus atas Jerman. Kekuasaan Paus yang terlalu absolut sudah mengarah kepada aspek duniawi dimana Paus berhak menentukan siapa yang masuk surga dan neraka, menentukan besaran pajak, maupun menentukan aturan negara lainnya. Maka reformasi digerakkan oleh Calvin, supaya kaum gerejawi kembali kepada ajaran yang murni bukan lagi terjemahan yang kadang-kadang disusupi kepentingan politis, serta upaya membersihkan aturan agama yang dinilai menyimpang dan menempatkan gereja kembali lagi pada urusan yang berhubungan dengan akherat (akrawi). Dampak yang ditimbulkan reformasi ajaran-ajaran gerejawi cukup besar mempengaruhi kinerja ekonomi moderen, yaitu komponen-komponen kapitalisme rasional diperkuat oleh semangat etika yang ada dalam agama Kristen Protestan khususnya dalam aliran Calvinisme terutama sekte Puritanisme. Doktrin Calvinisme yang terkenal adalah tentang kelahiran manusia di bumi dan takdir Tuhan atas manusia yang “terpilih”6. Calvin mengatakan bahwa pada dasarnya ketika manusia dilahirkan di bumi, manusia itu telah dilahirkan dan ditakdirkan untuk masuk surga sebagai orang yang dipilih Tuhan atau masuk neraka. Menurut Calvin, Tuhan sudah mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan kebajikan yang diperbuatnya apabila orang itu baik atau buruk perbuatannya di dunia. Selanjutnya, ajaran predestinasi, yaitu hanya sebagian orang yang akan dipilih untuk diselamatkan dari siksaan dan pemilihan ini telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan, sehingga umat Protestan tidak tahu apakah mereka akan dipilih atau tidak, apapun yang terjadi diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan (sikap pasrah kepada Tuhan). Maka untuk menepis kecemasan selama hidup apakah dirinya masuk surga sebagai orang yang terpilih Tuhan atau masuk neraka, para pengikut Calvin berusaha menjadi individu yang hidup secara “lurus” atau “benar” dan rajin bekerja keras. Penganut Protestan hidup sederhana dan menginvestasikan uang hasil keuntungan tidak digunakan untuk berfoya-foya tetapi akan diinvestasikan kembali dalam usahanya.
48
Perspektif Teori
Dengan demikian, bagi penganut Calvin, kerja dilihat sebagai suatu panggilan untuk melayani kehidupan masyarakat. Kerja tidak sekedar pemenuhan kebutuhan tetapi sebagai tugas suci. Oleh karena itu, untuk menjadi manusia yang terpilih, manusia harus mendapat panggilan (calling). Konsep the calling atau “panggilan7” menurut Weber berarti ajaran bahwa kewajiban moral yang paling tinggi dari seseorang manusia adalah untuk melaksanakan tugas yang ditetapkan Tuhan, maka satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah melaksanakan tugas dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaikbaiknya. Keberhasilan dalam melaksanakan hanya dapat diukur oleh tingkat kemakmuran mereka. Tingkat kemakmuran ini juga menunjukkan apakah mereka diberkati oleh Tuhan dan apakah mereka akan dipilih untuk lepas dari siksaan (neraka). Dengan kata lain, ketaatan transendental penganut Protestan dapat diukur dari gairah dan etos kerja yang dimilikinya8. Semakin banyak harta yang dimiliki, maka semakin tebal keimanannya kepada Tuhan. Begitu juga sebaliknya semakin sedikit harta yang dimiliki, maka dapat ditegaskan bahwa keimanannya kepada Tuhan juga rendah. Logika inilah yang mendorong semangat kapitalisme sebagai etika yang dimiliki Protestanisme. Etika Protestan inilah yang menjadi cikal bakal kelahiran dan perkembangan sistem kapitalisme. Weber (1958) mengedepankan kapitalisme sebagai upaya manusia untuk mendapatkan kentungan dalam melakukan kegiatan usaha yang dikelola secara pribadi dan kapitalis harus mengandung aspek rasionalisasi, atau setidak-tidaknya identik dengan suatu watak rasional. Kapitalisme secara pasti identik dengan pencarian keuntungan (profit), dan keuntungan yang dapat diperbarui untuk selamanya, dengan usaha-usaha kapitalis yang rasional dan yang dilakukan secara terus-menerus. Karena memang demikian seharusnya; dalam suatu tatanan masyarakat kapitalistis secara keseluruhan, suatu usaha kapitalistis individual yang tidak memanfaatkan kesempatan yang ada mengambil keuntungan pasti akan mengalami malapetaka, yaitu kehancuran. Dan apa yang paling penting dalam hubungan itu karena adanya semangat baru “semangat kapitalis” yang mencoba mengatur 49
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
kerja. Semangat kapitalis mencoba mengatur dunia ekonomi ke dalam suatu sikap mencari keuntungan secara rasional dan sistematis, seperti perusahaan yang telah mengalami reorganisasi produksi secara rasional, yang diarahkan bagi efisiensi produksi sebanyak mungkin adalah bukan karena pemasukan modal. Weber (2003) mengemukakan suatu tindakan ekonomi kapitalistis sebagai suatu tindakan yang didasarkan pada harapan-harapan untuk memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan segala kesempatan untuk transaksi, yaitu “secara formal” kesempatan memperoleh keuntungan secara damai dan berorientasi pada perolehan keuntungan melalui pertukaran. Samuelson (1964) menekankan, lebih penting dari itu karena disebabkan masuknya suatu “semangat baru” dari jiwa usaha, yaitu semangat kapitalis.9
Doktrin Calvinisme dan Semangat Kapitalisme ”The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism” menunjukkan adanya keterkaitan antara doktrin agama dengan semangat kapilatisme. Etika Protestan tumbuh subur di daratan Eropa yang dikembangkan oleh seseorang yang bernama Calvin. Calvinisme sebagai gerakan reformasi di bidang keagamaan tidak bisa terlepas dari bidang lain, baik di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya. Dalam perkembangannya, Calivinisme senantiasa bergesekan dengan persoalanpersoalan hidup dan kehidupan merupakan persoalan yang unik, kompleks dan dilematis. Saat itu telah muncul ajaran yang mengatakan bahwa seseorang pada intinya percaya kepada nasib yang telah ditakdirkan Tuhan. Sebab hanya sedikit saja orang-orang yang terpilih untuk mendapatkan kasih sayang yang abadi daripada-Nya. Ini merupakan sesuatu yang telah diberikan kepada munusia tanpa dapat diambil atau diubah dari sejak pertama penciptaan. Namun demikian, Weber (1958) mengatakan, tetap masih ada anggapan bahwa kegiatan-kegiatan manusia bisa mempengaruhi kebijakan Tuhan Yang Maha Suci. Ajaran tentang predestinasi atau takdir, maka dalam menghadapi nasib dan 50
Perspektif Teori
mencari kepastian keselamatan, orang Calvinis berhadapan dengan dirinya sendiri. Hanya saja dengan keyakinan penuh sebagai “terpilih” dan “melakukan aktivitas duniawi secara intens” mereka merasakan anugerah Tuhan yang akan mengantarkan keselamatannya. Kombinasi tentang keyakinan, antara kemutlakan norma-norma yang sah dengan determinisme yang mutlak serta transendensi Tuhan telah menjadi karakter khas dari gerakan asketik Calvinis. Weber (1958) menjelaskan bahwa, Calvinisme telah menyumbangkan sesuatu yang positif dalam mengembangkan asketik, yaitu tentang perlunya pembuktian kepercayaan seseorang dalam aktivitas duniawi. Dengan kenyataan yang terlihat dalam perilaku orang-orang Calivinis, dapat dikatakan doktrin mereka tentang anugerah secara psikologis telah mendukung sikap sistemik untuk melakukan rasionalisasi kehidupan secara metodik. Pandangan asketisme duniawi Protestan sangat menentang kesenangan yang bersifat spontan, menentang pemakaian kekayaan yang bersifat irrasional serta menentang sikap tidak jujur dan tamak untuk mendapatkan kekayaan karena sikap demikian dianggap telah keluar dari panggilan Tuhan. Weber (1958) mengatakan, mereka bersandar kepada dasar-dasar ekonomi yang tidak sehat, lebih mementingkan hidup bermewah-mewah daripada hidup sederhana. Pengikut Calvinis dalam menghadapi panggilannya di dunia memperlihatkan sikap hidup yang optimis, positif dan aktif. Sifat-sifat yang dikutip Weber (Sudrajat,1994) sebagai ciri–ciri orang Protestan yaitu tanggung jawab langsung kepada Tuhan, kejujuran dalam perbuatan, kerja keras, sifat hemat, pembagian waktu secara metodik dalam kehidupan sehari-hari, kalkulasi perdagangan yang rasional. Bagi pengikut Calvinis berkeyakinan akan menghilangkan rasa kuatir dan ragu-ragu dengan keselamatan yang dicarinya. Dengan mengembangkan aktivitas dan karya yang baik dalam mengahadapi realita di dunia, anugerah Tuhan dirasakan berada dalam dirinya.Bagi pengikut Calvinis hanya orang-orang terpilih sajalah yang mendapatkan kepastian keselamatannya. Menurut Weber (1958), hal 51
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
itu dilakukan dengan cara mengagungkan Tuhan secara nyata dan melakukan aktivitas duniawi secara baik. Karya orang–orang Kristen dalam suatu panggilan (Beruf,Calling) di samping menunjukkan adanya anugerah Tuhan, juga sebagai sarana yang paling baik untuk meyakinkan proses kelahiran kembali sekaligus sebagai benih bagi perluasan sikap yang disebut Max Weber (1958) dengan sebutan “Semangat Kapitalisme”. Semangat kapitalisme ditandai secara khusus oleh suatu kombinasi yang khas dari ketaatan kepada usaha untuk memperoleh kekayaan dengan melakukan kegiatan ekonomi yang halal, sehingga berusaha menghindari pemanfaatan penghasilan untuk kenikmatan pribadi semata-mata. Hal ini sebagai dasar dalam suatu kepercayaan atas penyelesaian secara efisien sebagai suatu kewajiban dan kebajikan. Salah satu unsur yang sangat mendasar dari “Semangat Kapitalisme” adalah terdapatnya sikap rasional berdasarkan kepada ide tentang panggilan. Ide ini jelas terlahir dari kandungan semangat asketik yang telah dikembangkan oleh orang puritan (seperti Protestan). Bersumber kepada watak asketik yang menjadi ciri orangorang puritan, sekalipun bertolak dari pemikiran agama yang berbeda telah melahirkan etika baru yang mewarnai perilaku ekonomi. Inilah yang kemudian Max Weber sebut sebagai Semangat Kapitalisme modern. Suatu etika pendapatan yang rasional, sistematis dan metodik berdasarkan moral agama. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat penting dan faktor yang sangat menentukan dalam membentuk watak dan perilaku manusia, terutama sekali berkaitan dengan perilaku ekonomi. Weber (1958) mengatakan, keinginan orang puritan untuk bekerja dalam panggilan “calling” dan menguasai moralitas duniawi berarti merupakan bagian dari dunia yang besar, yaitu orde ekonomi. Karena melalui arketisme berusaha melakukan perbaikan terhadap dunia dan melakukan cita-citanya di dunia maka kekayaan material menjadi semakin meningkat. Sukses di dunia bisnis dan mengumpulkan harta kekayaan demi kemuliaan Tuhan diyakini sebagai “tanda” atau ”konfirmasi” bahwa mereka termasuk di antara orang-orang terpilih, atau dalam istilah Weber ”suatu tanda keberkahan Tuhan”. 52
Perspektif Teori
Hubungan Antara Agama dan Rasionalitas Di dunia ini ada lima agama10 besar (Konfusius, Hindu, Budha, Kristen dan Islam) merupakan sistem pengaturan hidup yang ditetapkan secara religius yang berhasil menghimpun sejumlah besar pengikutnya yang secara signifikasi historis dan otonomnya bagi perkembangan etika ekonomi. Istilah “etika ekonomi” dalam Max Weber-Sosiologi terjemahan Noorkholish (2009), menunjuk pada dorongan praktis bagi tindakan yang didasarkan pada konteks psikologis dan pragmatis agama. Bahkan dalam bentuk-bentuk organisasi ekonomi yang sama secara ekternal, boleh jadi sesuai dengan etika-etika ekonomi yang sangat berlainan dan, menurut karakter unik etika ekonomi mereka yang dapat membuahkan hasil yang berbeda-beda tergantung pada mentalitas kapitalisme, cara produksi kapitalis dan kerangka sosioekonomi kapitalis.11 Pada pokoknya ke semuanya itu merupakan tiga segi dari satu gejala yang sama, yaitu usaha yang merujuk kepada peningkatan produksi dan peningkatan intensitas modal dari sektor penghasilan komoditi termasuk modal manusia sebagai tenaga kerja. Usaha-usaha manusia untuk menafsirkan kehendak Tuhan (termasuk kitab suci) dalam perkembangan jaman menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda. Dalam agama Kristen, serta berbagai agama di dunia adanya perbedaan-perbedaan penafsiran kehendak Tuhan telah mendorong gerakan-gerakan yang pada awalnya hanya seputar persoaalan-persoalan yang bersifat konsepsional dan masih mengikuti tradisi-tradisi ritual agamanya secara umum, sehingga muncul pandangan para ahli untuk mengkaji, salah satunya adalah Weber (1905) dengan “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism” ia mengungkapkan bahwa moral Protestan sebagai suatu pencarian keuntungan atau kekayaan yang sangat keras berjuang dan tidak terbatas lewat industrialisasi telah memunculkan pola perilaku rasional. Collins (1992) dalam ”Weber‟s Last Theory of Capitalism” mengatakan bahwa, sistem kapitalis yang rasionalis, menurut Weber 53
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
adalah sistem yang menggunakan perhitungan akuntansi, yaitu sistem perhitungan pengeluaran dan pemasukan dengan sistem perhitungan berdasarkan tata pembukuan modern. Kapitalis yang rasional memiliki beberapa komponen. Pertama, sistem perhitungn pengeluaran dan pemasukan berdasarkan pembukuan modern. Kedua, tenaga kerja yang bebas dan bisa berpindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Ketiga, adanya pengakuan hak milik pribadi. Keempat, pasar perdagangan tidak dibatasi oleh aturan-aturan yang tidak rasional. Kelima, adanya hukum yang mengikat anggota masyarakat serta teknologi. Jadi kemampuan pemusatan mental serta perasaan yang esensial tentang kewajiban untuk melakukan kerja tertentu, sering dikombinasikan dengan suatu pendekatan ekonomi yang sangat teliti, yang menghitung-hitung kemungkinan besarnya pendapatan dan kontrol pribadi yang sangat mengagumkan. Rasionalitas sebagai penghubung agama dan ekonomi kemudian mengajak manusia untuk berinovasi dan berpikir logis dalam mengambil suatu tindakan logis seperti menekankan penggunaan alatalat berteknologi untuk mencapai tujuannya. Dalam proses rasionalisasi dari cita-cita kapitalisme, maka agama yang memiliki ajaran teratur dan tersusun rapi berusaha untuk melembagakan sistem kepercayaan, juga sistem nilai lain termasuk ekonomi untuk memberikan rasa puas dan aman kepada pemeluknya. Agama sebagai penjelasan rasional dan sekaligus mengatur nilai-nilai serta kepercayaan teologis. Di antara bangunan kepercayaan inilah dibangun pemikiran-pemikiran rasional, namun pemikiran rasional tidak mampu berdiri sendiri, tidak bisa tegak sendiri, melainkan harus didampingi oleh kepercayaan. Proses rasionalisasi yang disebut Weber (1905), berasal dari agama itu sendiri, disamping perkembangan daya pikir manusia yang dengan cepat dapat mengikuti proses tersebut. Daya pikir tersebut dalam arti formal sehubungan dengan konsistensi (kemantapan dalam bertindak) dan sifat sistematika maupun dalam arti substansi (kokoh/ kuat) dalam menyisihkan hal-hal yang tidak rasional dan mengandung fantasi atau mitos. Dengan demikian, kegiatan perekonomian yang bersifat kapitalis menurut Weber (1905), adalah rasionalitas yang 54
Perspektif Teori
didasarkan kepada perhitungan-perhitungan yang cermat yang disusun secara sistematis dan sederhana berdasarkan situasi ekonomi yang diharapkan. Artinya kapitalis rasional yang dikelola dengan sistem nilai rasional atau sistem nilai orang-orang yang rasional dan diusahakan dalam kegiatan ekonomi yang halal didasarkan pada nilai-nilai agama yang dianutnya. Aspek dari proses rasionalisasi yang perlu diperhatikan adalah perkembangan “teologi rasional” yang akan mempengaruhi organisasiorganisasi keagamaan. Teologi rasional berkembang dari rasionalitas pemikiran. Perkembangan teologi rasional juga mencakup pengembangan etika rasional yang didasarkan kepada implikasi empiris pengalaman keagamaan dan tradisi. Dengan cara ini mereka masuk ke dalam batasan situasi dimana manusia bertindak. Talcon Parson (1959), menjelaskan konsepsi mereka tentang tujuan yang tepat dan sarana untuk mencapainya menjadi terikat pada sifat-sifat praktis terhadap kehidupan sehari-hari. Etika Protestan (Weber, 1905) menunjukkan, teologi rasional telah menjadi kelengkapan orientasi yang lebih dalam sehingga mempengaruhi tindakan dan perilaku individu dan masyarakat. Weber melihat perkembangan Protestanisme yang cenderung ke arah asketisme yang mempunyai kesan dan pesan yang menentukan untuk menghilangkan magis dan mitos dari pandangan keagamaan dan memusatkan perhatian pada kemampuan bertindak dan perilaku manusia. Calvinis menunjukkan sikap anti magis, hilangnya sistem perantara yang memediasi hubungan Calvinis dengan Tuhan dan memilih kalkulasi rasional dalam hidup. Weber (1958) menegaskan bahwa, “pada prinsipnya, seseorang dapat menguasai segala sesuatu melalui kalkulasi rasional.” Di sini askese merupakan suatu kekuatan ”yang mencari hal-hal yang baik, tetapi juga menciptakan yang jahat12”, apa yang jahat dalam pengertian itu adalah kepemilikan dan godaan-godaannya. Askese memandang pencarian kekayaan sebagai suatu tujuan dari dirinya sendiri sebagai sesuatu yang patut dicela, tetapi hasil yang dicapai dari 55
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
itu semua sebagai buah dari suatu pekerjaannya dalam suatu panggilan merupakan tanda rahmat dari Allah. Dan bahkan yang lebih penting lagi adalah penafsiran keagamaan dari karya sistematis, terus-menerus dalam suatu panggilan duniawi sebagai suatu sarana paling tinggi kepada askese. Pada waktu yang sama merupakan bukti yang paling pasti dan paling dapat dibuktikan akan adanya kelahiran kembali dan iman yang murni, pasti merupakan pengungkit yang dipakai paling kuat bagi ekspansi sikap semacam itu menuju kehidupan, ini yang disebut sebagai semangat kapitalisme. Ritzer (2012) menjelaskan bahwa, rasionalisasi dunia adalah proses penghapusan segala hal yang magis atau supranatural, sehingga dunia ini tidak lagi terpana, terpukau oleh seluruh sifat magis, karisma dan kekudusan, tetapi telah dipenuhi kekuatan-kekuatan yang bisa diubah, dipakai dan dipergunakan. Hanya agama yang memiliki nabinabi besar pembaharu dan rasionalis yang berhasil meng-hancurkan kekuatan magis dan membentuk penyelenggaraan kehidupan yang rasional. Para nabi itu telah membebaskan dunia dari magis dan dengan berbuat demikian telah menciptakan dasar bagi ilmu dan teknologi modern. Kapitalis yang rasional, menurut Weber adalah kondisi-kondisi tertentu dalam masyarakat yang dapat menggerakkan dengan cepat perkembangan kapitalisme (daratan Eropa dan Amerika), tetapi ada pula masyarakat suatu wilayah yang perkembangan kapitalismenya yang rasional sangat lambat seperti Cina dan India.
Pemahaman Nilai-nilai Konfusianisme
Ekonomi
dalam
Agama
Kepercayaan orang Tiongkok yaitu Konfusionisme dan Taoisme, oleh Weber Konfusianisme dilukiskan lebih sebagai doktrin dan ritus dan bukan sebagai agama, yang dipaksakan terhadap Cina oleh birokratisnya. Konfusionisme dan Taoisme dipandang mencakup etika konvensi, kontrol diri, derajat yang utilarian dan rasionalistik serta dipertentangkan dengan bentuk kontemplasi mistik dan ekstasi 56
Perspektif Teori
organik sebagai kekacauan rasional atau barbaritas vulgar13. Masyarakat Tiongkok memiliki akar budaya yang kuat dengan kehidupan nenek moyang mereka sejak tahun 200M. Konfusianisme sendiri pada dasarnya mengajarkan keharmonisan dan keselarasan dengan sekitarnya. Masyarakat konfusianisme sendiri pada dasarnya merupakan masyarakat yang hierarkis dimana peran sebuah pemimpin komunitas sangatlah kuat dalam membentuk dan mengarahkan masyarakat yang dipimpinnya. Konfusianisme meletakkan raja atau penguasa sebagai wakil dewa langit untuk mengatur masyarakat. Ajaran nilai-nilai etos dalam konfusianisme seperti Dao (orang-orang terpilih yang akan dipilih nenek moyang), Ren (cara hidup manusia di dunia untuk saling berbagi dan memberi terhadap sesama), Xin (ajaran manusia bertindak secara logis), Li (bersikap sopan santun dalam kehidupan), De (bertindak kebajikan di dunia), dan Yi (hidup layak). Bila ajaran konfusianisme dikomperasikan dengan ajaran Calvinisme dalam kapitalis, terdapat beberapa nilai ajaran konfusius yang sama yaitu Dao sama dengan calling mengenai orang terpilih dan Xi yang memiliki kesamaan dengan rasionalisme. Namun meskipun ada persamaan tetapi ajaran Konfusius dengan kapitalisme-Calvinis berbeda, karena ajaran konfusianisme mengajarkan membentuk masyarakat yang harmonis, tetapi ajaran Calvin adalah membentuk masyarakat kompetitif. Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang membentuk benteng-benteng di kota Tiongkok, di situ merupakan pusat perdagangan, namun mereka tidak mendapatkan otonomi politik dan warganya tidak memiliki hak-hak khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan kekerabatan (klan) yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Sehingga perkembangan kapitalis yang rasional terhambat oleh ikatan kesukuan dan sistem klan yang feodal dan patriarki.14 Unit-unit kekerabatan yang besar memberikan bentuk-bentuk kerja sama ekonomi sehingga justru membatasi pengaruh organisasi kerja atau aktivitas kewirausahaan individu tertentu serta sistem kakaisaran yang mendasarkan pemerintahan pada nilai-nilai keyakinan tradisional. Etos 57
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
kerja bagi ajaran konfusianisme sebagai bentuk pengabdian dan penghormatan kepada keluarga, pemimpin, dan negara dapat dilihat pada nilai-nilai Yi (hidup layak), Li (sopan santun) dan Chi‟ib (kebijaksanaan) sebagai pembentuk etos kerja15. Calhoun (2002) menjelaskan, bentuk pengabdian tersebut adalah untuk mencari kebahagiaan dan martabat setinggi-tingginya kepada keluarga, pemimpin dan negara.16 Konfusianisme tidak melarang seseorang menjadi kaya, asalkan kekayaan yang berhasil dikumpulkan didapat melalui hasil yang benar melalui etika dan moral. Panggilan atau calling bagi Konfusianisme adalah panggilan menjaga harga diri keluarga, negara maupun pemimpin. Konfusianisme memberikan pengaruh yang besar dalam pembentukan etos kerja ekonomi adanya reformasi ajaran konfusianis melalui modernisasi ekonomi yang dilakukan para pemimpin dan negara. Ajaran Konfusianisme dan Taoisme yang menekankan keharmonisan dalam kehidupan digunakan sebagai landasan etik pembangunan ekonomi. Konfusianisme di Jepang menurut Morishima(1982), etos kerja dalam ajaran Konfusianisme adalah Jen (kebajikan) untuk mencapai masyarakat harmonis. Jen (kebajikan) bersumber dari Chung (kesetiaan) dan Bsin (keyakinan) dimodifikasi menjadi perubahan ekonomi dari masyarakat melayani negara artinya kerja keras merupakan bentuk kesetiaan kepada kaisar17. Ini menunjukkan fakta yang unik dalam etos kerja Konfusianisme, dimana sistem ekonomi kapitalis dan sosialis bisa berjalan seiring, sistem kapitalis yang mengedepankan kompetisi berjalan seiring dengan keharmonisan dalam masyarakat sehingga sosialisme digunakan sebagai dasar harmoni dan stabilitas ekonomi kapitalis.
Pemahaman Nilai-nilai Ekonomi dalam Agama HinduBudha Agama Hindu-Budha mengajarkan kebahagiaan dan kolektivitas, itulah sebabnya matrialisme ekonomi tidak berlaku sebagai tujuan etos kerja dalam tradisi ajaran agama Hindu-Budha. Pengejaran materialisme ekonomi hanya akan membuat ketimpangan 58
Perspektif Teori
yang tidak disukai dalam ajaran agama Hindu-Budha karena akan menimbulkan problem perpecahan. Keuntungan dalam ekonomi harus dibagi terhadap sesama karena akan menimbulkan perdamaian umat. Maka tidaklah mengherankan apabila kehidupan perekonomian dipengaruhi oleh ajaran dharma (budi pekerti dan moral) yang disebut dharmanomic. Dalam ajaran agama Hindu ada 2 macam dharma yaitu dharma yang baik “asuri sampat” dan dharma yang buruk “daivi sampat”. Dikatomi baik-buruk mencerminkan bahwa setiap orang memiliki dharma baik yang akan senantiasa dilingkupi kebahagiaan dan dharma yang buruk akan senantiasa dilingkupi nafsu jahat duniawi. Demikian juga dalam cerita Mahabharata dan Ramayana yang menggambarkan antara perbuatan baik melawan perbuatan yang buruk, dimana dharma kebaikan akan memenangkan keburukan yaitu kejahatan akan selalu kalah dengan kebaikan. Oleh karena itu, pelaku ekonomi dalam memenuhi kehidupan sehari-hari didasarkan pada nilai-nilai kejujuran dan kesetiaan, kepimpinan yang mampu mengatasi masalah individual dan kolektif, adil dan menepati janji, serta hormat-menghormati dengan orang lain. Di India perkembangan kapitalisme rasional terhambat perkembangannya oleh sistem kasta. Pembedaan masyarakat dalam kasta-kasta menjadi dasar sistem pemerintahan dan ekonomi. Kepatuhan selama hidup terhadap nasib seseorang dipancangkan lebih kuat dalam janji agama Hindu tentang kelahiran kembali dibandingkan dengan etika sosial lainnya karena Hindusime tidak mengabaikannya dengan ajaran-ajaran mengenai nilai moral stabilitas pekerjaan dan kepatuhan yang sabar, seperti pada bentuk-bentuk kekristenan patriakal, tetapi mengkaitkannya dengan kepentingan pribadi individu atas penyelamatan. Doktrin penyelematan Hindu menjanjikan kelahiran kembali sebagai raja, ningrat, dan seterusnya. Pengabaian kewajiban-kewajiban kasta seseorang, karena didesak oleh aspirasiaspirasi yang terlalu tinggi, pasti akan membawa celaka baik dalam kehidupan sekarang maupun masa datang. Menurut Andreski (1989), efek-efek sistem kasta pada ekonomi adalah negatif, sebab tatanan 59
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
kasta hakekatnya adalah tradisionalistik dan antirasional. Dalam agama Hindu di India, selama doktrin karma tetap kokoh, paham-paham revolusioner atau progresivisme tidak dapat lahir. Sedangkan konsep ajaran agama Budha, pengertian keuntungan dimaknai sebagai kepentingan pribadi (suka) dan kepentingan bersama (bita). Etos kerja ekonomi dibangun dalam ajaran Budha yang mampu membahagiakan diri sendiri dan orang lain. Konsep tersebut merujuk pada pengertian bahwa sumber daya ekonomi sangat terbatas sehingga setiap orang harus bisa manahan ego keserakahan untuk bertindak berlebihan18. Maka bila dianalogikan dengan konsep calling, dalam ajaran Budha adalah kebahagiaan dalam pemahaman etos kinerja ekonomi dan kebahagiaan meliputi pemenuhan jiwa dan duniawi sehingga setiap orang bisa merasakan kesetaraan yang sepadan dengan orang lain. Ajaran Bhudisme justru masih melihat dimensi spiritual sebagai dimensi etik.
Pemahaman Nilai-nilai Ekonomi dalam Agama Islam Weber meninggal tahun 1920 sebelum menyelesaikan tesisnya mengenai perbandingan Calvinisme dengan agama-agama lain, termasuk agama Islam, Kristen periode awal dan Katolik abad pertengahan. Namun Weber sebelum meninggal sudah ada catatan tesisnya tetapi belum sempurna mengenai agama Islam yang menyangkut tentang sistem agama, sosial kemasyarakatan, dan perekonomian. Menurut Weber mengenai etos kerja Islam dalam rangka Weberian yaitu Islam tidak mendukung adanya iklim sosialmasyarakat kapitalis seperti hukum rasional, pasar kerja bebas, kota yang otonom, ekonomi uang dan kelas borjuis. Semua pra-kondisi kapitalisme rasional-modern yang terjadi di negara-negara Barat, tidaklah muncul di masyarakat Islam Timur Tengah. Bahkan dalam tesa sosiologis tentang Islam, tulisan Weber seringkali menulis dengan gaya yang sangat reduksianis, utamanya tentang etika dalam agama60
Perspektif Teori
agama di dunia yang sangat dipengaruhi oleh realitas sosial yang membentuknya, dalam konteks ini Weber memberikan contoh ketika melihat relasi antara muatan teologis dalam agama Islam sangat ditentukan oleh para kesatria perang.19 Menurut Weber, Islam memeliki keyakinan predeterminasi, bukan predistinasi, dan berlaku pada nasib orang muslim di dunia, bukan di akhirat kelak, Jika doktrin predestinasi diyakini Calvinis untuk memotivasi etos kerja keras. Namun doktrin predistinasi tidak memainkan peran dalam Islam. Akibatnya, orang Islam bersikap kurang positif terhadap aktivitas di dunia bisnis dan pada akhirnya terjatuh pada sikap fatalistik. Pandangan Weber tentang agama Islam merupakan agama yang menentukan keberlangsungan dari struktur-struktur agama Islam, dan lebih jauh Weber menyimpulkan bahwa Islam adalah sebuah agama monoteistik. Monoteistik terakhir dari tradisi Ibrahim (Abrahamic Religions) yang kemudian berkembang dan bergeser menjadi semacam agama yang menekankan adanya prestise sosial, dan hal ini sangat berbeda sekali dengan sekte Calvinis Puritan, Islam tidak memiliki afinitas teologis dengan pengembangan kapitalisme. Dalam konteks ini, Weber berargumentasi bahwa sifat alami institusi politik muslim yang patrimonial, yang menghalangi munculnya pra-kondisi kapitalisme yang ditandai hukum rasional, pasar kerja bebas, kota yang otonom, ekonomi uang, dan kelas bourjuis. Semua pra-kondisi kapitalisme rasional-modern yang ada di Barat yang menurut Weber tidaklah muncul di masyarakat Islam Timur Tengah. Temuan awal yang belum sempurna dari Weber menjelaskan bahwa, nilai-nilai ekonomi dalam agama Islam tidak berkembang mengikuti kondisi pra-kapitalisme karena pengaruh patrimonialisme dan dogma agama, dan justru menimbulkan kritik yang berkepanjangan. Pandangan Weber tentang Islam baik secara teologis maupun sosiologis sulit diterima terutama oleh kalangan Islam atau setidak-tidaknya oleh mereka yang memahami Islam dengan “baik” Kritik tesis Weber tentang agama Islam banyak dilakukan oleh pakar sosiologi agama yang menolak dan meragukan catatan tesis 61
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
terakhir Weber karena substansi catatan terakhirnya yang masih sebatas asumsi subyektif yang belum terbukti validasinya, antara lain kritik oleh Bryan.S.Tuner dan Taufik Abdullah. Kritik Bryan.S.Tuner tentang tesa sosiologis yang dihasilkan oleh Max Weber yang menjadikan masalah terdiri dari dua hal20. Pertama, analisanya tentang etika Islam, yang dianggapnya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari analisanya dari struktur sosial ekonomi Islam. Kedua, argumennya tidak menunjukkan sebagai seorang yang mengidealisasi sejarah yang ada dalam agama Islam. Kritik dari Abdulah (1979) menyatakan, Weber kurang begitu serius (mendalami) atau tidak begitu banyak waktu yang dia luangkan untuk mempelajari Islam karena sebelum tuntas sudah meninggal, sehingga penafsiran-penafsiran Weber tentang Islam tidaklah bertolak dari kurangnya pengetahuan saja, tetapi terutama dari dasar konseptual dan sikap ilmiah yang tidak tepat. Menurut Abdullah21, agama tidak sekedar gejala sosiologis yang bisa dikategorikan begitu saja menurut seorang pengamat. Sebab bagi penganutnya, agama menyangkut masalah makna sebagai landasan untuk melihat dan mengerti realitas. Ada hubungan dialektika antara sistem makna yang dipercayakan agama dan pengertian yang dihayati oleh para pemeluk, yang secara obyektif juga terkait oleh konteks ralitasnya. Perubahan sosialekonomi dapat merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya kemajemukan pemahaman terhadap doktrin yang utuh itu.22 Terbukti dalam etos kerja yang dibentuk agama Islam mengenal nilai-nilai iklas, cinta, dan istiqomah begitu mendominasi, karena akan menyeimbangkan antara kebutuhan ukrawi dan duniawi. Sifat-sifat etos kerja yang dikutip Weber sebagai ciri khas Protestan seperti tanggung jawab langsung kepada Tuhan, kejujuran dalam perbuatan, kerja keras, sifat hemat, pembagian waktu secara metodik dalam kehidupan sehari-hari, kalkulasi perdagangan yang rasional, semua juga ditentukan dalam etika Islam.23 Dalam Islam pun ada konsep panggilan “calling” yaitu bila seseorang yang berhasil dalam kehidupan dinyatakan sebagai “diberkahi Tuhan” atau ”berkat dari Tuhan”. Bekerja keras juga diutamakan dalam Islam dan dinyatakan dalam 62
Perspektif Teori
konsep “ikhtiar”.24 Namun ajaran Islam menolak tentang “takdir” sebagai konsep Calvinisme dan ajaran Islam juga tidak mengajarkan harta kekayaan sebagai petanda penyelamatan masuk surga atau neraka. Islam tidak mengenal eksploitasi konsep Weber yang membenarkan eksploitasi untuk menjamin peningkatan produktivitas serta peningkatan pelayanan yang penuh ketaatan dan rajin bagi para majikan untuk mencapai kekayaan yang berlimpah sebagai tanda keselamatan dirinya dan kaum buruh. Ajaran Islam tidak melarang orang kaya asalkan orang tersebut dapat menguasai dirinya, sebab di dalam ajaran Islam menjelaskan kekayaan itu tidak dicari untuk sekedar dikumpulkan tetapi dicari untuk berbakti kepada Tuhan dan untuk melaksanakan perbuatan baik, yang bermanfaat dan penuh kasih sayang. Kekayaan pribadi adalah amanah suci yang harus dinikmati oleh semuanya, terutama fakir miskin yang membutuhkan dalam bentuk zakat maupun sedekah25 sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan spiritual.
Perspektif Pierre Bourdieu Pierre Bourdieu adalah seorang ahli filsafat dan ahli sosiologi yang memiliki kedudukan penting dalam sosiologi Perancis.Bourdieu lahir pada tahun 193026 di Denguin, Pyrenia Atlantik sebuah kota kecil selatan Perancis, lahir dari keluarga pada umumnya. Ayah Bourdieu adalah seorang pegawai pos. Pemikiran-pemikiran Bourdieu dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya di Perancis. Dimana pada saat itu terjadi ketidakadilan dalam bidang pendidikan antara pelajar dari keluarga menengah ke bawah dengan pelajar dari golongan atas. Di sini terjadi ketimpangan dalam penerimaan ilmu pengetahuan yang semakin lama semakin terakumulasi, sehingga semakin merugikan golongan masyarakat menengah ke bawah. Teori Bourdieu lahir dijiwai oleh keinginannya untuk memadukan semangat antara objektivisme dan subjektivisme. Dalam aliran pemikiran objektivisme, terlalu menekankan pada peranan 63
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
struktur yang menentukan aktor dan lingkungan sosialnya, di sini kaum objektivisme lebih melihat secara makro atau bisa disebut dengan aliran strukturalis seperti Durkheim, Marx, Saussure dan lainnya. Di sisi lain, pemikiran subjektivisme lebih melihat pada sisi mikro, yaitu menekankan pada tindakan aktor dalam analisisnya, tokoh subjektivisme misalnya seperti Weber, Sartre, dan lainnya. Bourdieu menentang kedua pemikiran ini dan ingin menggabungkan di antara keduanya. Karena menurut Bourdieu, tidak semua hal dipengaruhi secara mutlak atau dominan oleh struktur maupun oleh aktor, tetapi ada pengaruh timbal balik dari keduanya. Sehingga Bourdieu berusaha untuk membuat hubungan dialektik antara struktur objektivisme dan fenomena subjektivisme. Subjektivisme mewakili bangunan pengetahuan tentang dunia sosial yang didasarkan pada pengalaman utama dan persepsi-persepsi individu. Subjektivisme meliputi aliran-aliran pemikiran seperti fenomenologi, teori tindakan rasional dan bentuk-bentuk tertentu sosiologi interpretatif, antropologi dan analisis bahasa (yang disebut Volosinov “subjektivisme individualistik”)27. Subjektivisme maupun objektivisme gagal memahami apa yang disebut Bourdieu “objektivitas subjektif” (the objectivity of the subjektive) dalam Bourdieu (1990a). Subjektivisme gagal memahami landasan sosial yang membentuk kesadaran, sedangkan objektivisme melakukan yang sebaliknya, kegagalan mengenai realitas sosial di tataran tertentu yang dibentuk oleh konsepsi dan representasi yang dilakukan individu-individu terhadap dunia sosial. Pada dasarnya dalam pandangan Bourdieu, yang disebut sebagai objektivisme adalah suatu pengetahuan objektif yang mengandung dominasi, dan dalam kondisi ini, individu tidak bisa menolaknya. Sedangkan pengertian dari subjektivisme sendiri adalah mengarah pada tindakan individu yang bertindak atau melakukan sesuatu diluar struktur, dimengerti untuk menjelaskan suatu pengetahuan/ pengalaman dari sudut pandang sendiri, dimana seseorang bisa mengerti melalui bahasa yang kita pahami. 64
Perspektif Teori
Upaya Bourdieu untuk menjembatani antara objektivisme dengan subjektivisme, dapat dilihat dari konsep Bourdieu tentang habitus dan lingkungan (ranah) dan hubungan dialektik antara keduanya. Habitus28 berada di dalam pikiran aktor sedangkan lingkungan berada di luar pikiran aktor. Meskipun sebenarnya semua konsep dari Bourdieu saling berkaitan dan mempengaruhi.
Pierre Bourdieu: (Habitus x Capital) + Arena = Praktik Bagian terpenting dalam pemikiran Bourdieu adalah upaya mengatasi pilihan “wajib” dan “ritual”, antara subjektivisme dan objektivisme. Dua momen, objektivitas dan subjektivitas, berada dalam hubungan dialektis.29 Cara berpikir yang berusaha lepas dari pengaruh objktivisme dan subjectivisme dalam upaya memahami realitas sosial. Realitas sosial, dalam bahasa Bourdieu, merupakan sebuah proses “dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalitas internalitas.” Dalam proses interaksi dialektis itulah struktur objektif dan pengertian-pengertian subjektif, struktur dan agen bertemu. Pertemuan itu disebut Bourdieu dengan praktik. Praktik sosial dipahami oleh Bourdieu sebagai hasil dinamika dialektis antara internalisasi eksterior dan eksternalisasi interior.30 Eksterior adalah struktur objektif yang ada di luar pelaku sosial, sedangkan interior merupakan segala sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial. Segala sesuatu yang diamati dan dialami yang ada di luar diri pelaku sosial (eksterior) bergerak dinamis secara dialektis dengan pengungkapan dari segala sesuatu yang telah diinternalisasi menjadi bagian dari diri pelaku sosial (interior). Bila dikaitkan antara habitus, arena dan kapital, dimana kapital menurut Bourdieu juga memiliki arti luas, mencakup hal material dan immaterial yang dapat memiliki nilai simbolik secara budaya, misal prestise, status dan otoritas yang merujuk sebagai kapital simbolik. Kapital ini harus berada di dalam sebuah ranah. Karena dalam rumusan generatif Bourdieu, ada keterkaitan antara habitus, kapital dan ranah yang bersifat langsung. Dimana nilai yang diberikan pada kapital 65
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan habitus adalah sebagai berikut: (Habitus x Kapital) + Ranah = Praktik.
Habitus Wacquant (1998) menyatakan bahwa, term habitus bukan ciptaan Bourdieu sendiri, tetapi term ini Bourdieu ambil dari tradisi filsafat: “Habitus adalah sebuah konsep filosofis tua, digunakan sesekali oleh antara lain Aristoteles (dalam term/istilah/hexis), Hegel, Weber, Durkheim, Mauss dan Husserl. Bourdieu mengambilnya dalam analisis pada tahun 1967 atas pemikiran sejarahwan seni Erwin Panofsky dan telah menyempurnakan baik secara empiris dan secara teoritis, dalam setiap karya utamanya. Habitus merupakan upaya Bourdieu yang paling ambisius untuk menjelaskan praktik-praktik secara khusus (mikro) dan umum (makro) pada setiap konteks sosial budaya, namun bukan dalam hal narasi sejarah (sebagai mana Marxisme), psikoanalisis (Oedipus Complex), Strukturalisme (Levi-Strauss tentang objektif) atau sesuatu yang membuat sesuatu itu otentik (Heidegger). Singkat kata, konsep habitus merepresentasikan “niat teoritis untuk keluar dari filsafat kesadaran tanpa membuang agen, dalam hakikatnya sebagai operator praktis bagi pengonstruksian obyek.” (Bourdieu, 1985). Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai: sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan (transposable), struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai penstruktur struktur-struktur (structured structures predisposed to function as structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik dan representasirepresentasi yang bisa diadaptasikan secara obyektif kepada hasilhasilnya tanpa mengendalikan suatu upaya sadar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlukan untuk mencapainya. Karena sifatnya “teratur” dan “berkala” secara obyektif, tapi bukan produk kepatuhan-aturan, prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan secara kolektif tanpa harus 66
Perspektif Teori
menjadi produk tindakan pengorganisasian seorang pelaku (Bourdieu, 1990a;1997). Habitus kadangkala digambarkan sebagai logika permainan (feel for the game), sebuah rasa praktis (practice sense) yang mendorong agen-agen bertindak dan bereaksi dalam situasi-situasi spesifik dengan suatu cara yang tidak selalu bisa dikalkulasi sebelumnya, dan bukan sekedar kepatuhan sadar pada aturan-aturan. Ia lebih mirip seperangkat disposisi yang melahirkan praktik dan persepsi. Berdasarkan definisi Bourdieu, disposisi-disposisi yang dipresentasikan maka habitus bersifat: (a) bertahan lama dalam arti bertahan di sepanjang rentang waktu tertentu dari kehidupan seorang agen; (b) bisa dialihpindahkan alam arti sanggup melahirkan praktikpraktik di berbagai arena aktivitas yang seragam; (c) merupakan struktur yang distrukturkan dalam arti mengikutsertakan kondisikondisi sosial objektif pembentukannya; inilah yang menyebabkan terjadinya kemiripan habitus pada diri agen-agen yang berasal dari kelas sosial yang sama dan menjadi justifikasi bagi pembicaraan tentang habitus sebuah kelas di dalam distinction ; dan (d) merupakan “struktur yang menstrukturkan” artinya mampu melahirkan praktik-praktik yang sesuai dengan situasi-situasi khusus dan tertentu. Menurut Bourdieu (1990a) dalam ‟The Logic of Practise‟. bahwa habitus tidak menutup kemungkinan bagi para peserta agen untuk melakukan kalkulasi strategis, hanya caranya berfungsi agak berbeda yaitu “Sistem disposisi ini - sebuah masa lalu yang ada sekarang (a present past) yang cenderung menghadirkan lagi dirinya di masa depan dengan mengaktifkan kembali dalam praktik-praktik yang distrukturkan secara sama. Suatu kaidah internal yang melaluinya keniscayaan eksternal yang tidak bisa direduksi menjadi penghalang langsung didorong mundur terus-menerus adalah prinsip utama bagi kelangsungan dan keteraturan yang sudah bisa ditangkap obyektivisme di dalam praktik-praktik sosial namun tidak pernah bisa dipahaminya. Sistem disposisi ini juga sanggup menjelaskan sebab-musabab terjadinya transformasi-transformasi teratur yang tidak bisa dijelaskan entah melalui determinisme ekstrinsik dan instan dari sosiologisme 67
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
mekanistik, maupun lewat determinasi murni internal yang tidak kalah instannya dari subjektivisme spontanistik” (Bourdieu, 1990a ). Jadi, menurut Bourdieu (Ritzes, 1996), secara dialektik habitus adalah: “the product internalization of the structures of social world”, atau habitus merupakan struktur sosial yang terinternalisasi dalam diri seseorang. Habitus sifatnya juga berbeda-beda, tergantung pada posisi seseorang dalam dunia sosialnya; dan inilah yang menjelaskan mengapa tidak semua orang memiliki habitus yang sama, walaupun kecenderungan dari mereka yang memiliki disposisi yang sama dalam satu dunia sosial yang sama akan memiliki habitus yang (relative) sama. Pengertian yang sama ini mengacu pada adanya habitus yang sama yang dimiliki secara kolektif oleh sekelompok orang. Selain merupakan fenomena kolektif dan memiliki dimensi historis, habitus juga memiliki sifat durable dan transporable, yaitu bisa berpindah-pindah dari satu field (arena) ke field (arena) yang lain.
Capital Menurut Wacquant (2006) mengenai modal (capital), Bourdieu berangkat dari pendasaran yang menyatakan bahwa konsep masyarakat (society) itu didasarkan pada kelas (social life:class-based). Bourdieu (1989) menyatakan bahwa subjek atau individu menempati suatu posisi dalam ruang sosial multidimensional. Ruang itu tidak didefinisikan oleh keanggotaan kelas, namun melalui jumlah setiap jenis modal yang dia miliki. Modal itu mencakup nilai jejaring sosial, yang bisa digunakan untuk memproduksi kekuasaan (power) atau memproduksi ketidaksetaraan. Mereka membutuhkan waktu dan tenaga bagi para pelaku untuk membentuk dan selanjutnya mendapatkan keuntungan dari modal. Tentu saja, modal juga harus berisi nilai yang menjadi obyek kepentingan. Karena itu, modal memiliki implikasi strategistrategi investasi, baik pada tingkat individu maupun kelompok. Modal merupakan “game masyarakat”, bukan hanya game yang murni ekonomi namun juga bersifat immaterial, yaitu seluruh game. 68
Perspektif Teori
Kapital dimungkinkan untuk menjelaskan praktik dunia sosial yang tidak hanya diarahkan pada perolehan modal ekonomi namun juga seluruh bentuk modal. Berbagai bentuk modal material dan immaterial ini harus dipahami secara umum sebagai sumber daya di dalam masyarakat. Perolehan sumber daya-sumber daya ini memberi akses ke kekuasaan dan pada akhirnya ke kemakmuran materi. Melalui cara ini, Bourdieu mengarahkan fokusnya pada ekonomi dalam praktik, yaitu menuju kalkulasi ekonomi yang bukan hanya ada di belakang praktik-praktik ekonomi namun juga pada praktik yang lebih tersembunyi dan simbolis. Perumusan ulang Bourdieu terhadap konsep modal-nya Marx terdiri dari dua observasi (Calhoun 1993). Pertama, ada banyak bentuk modal yang berbeda, mulai dari material (fisik, ekonomi) sampai immaterial (budaya, simbol, sosial). Kedua, dengan berbagai tingkat kesulitan, dimungkinkan untuk mengubah satu bentuk modal ke bentuk lainnya, yang disebut transformasi antar modal. Ini mencakup pemutusan konseptual dengan ekonomisme dari Marx serta ahli ekonomi Klasik, monopolisasi bidang ekonomi yang dihasilkan dari etnosentrisme, dan dimungkinkan dengan mengisolasikan ekonomi keekonomian dari ekonomi budaya (Bourdieu: 1990a; Lash: 1993). Alternatifnya Bourdieu, seperti sudah disebutkan, adalah melepaskan dari substantialisme dan materialisme sedemikian dengan menempatkan kekuatan ekonomi di belakang seluruh tindakan manusia, tanpa harus menganggap hal ini dihasilkan dari kepentingan diri sendiri, seperti dikatakan para ahli ekonomi (Bourdieu, 1977; Snook 1990; May, 1996). Dengan kata lain, analisis seharusnya tidak hanya menjelaskan tindakan-tindakan yang dapat dikapitalisasikan yang disebut Marx “pembayaran tunai tanpa perasaan” (Bourdieu, 1977), namun juga tindakan-tindakan yang ditandai oleh tanpa rasa kepentingan, dimana orang-orang mencoba menutupi dorongan ekonomi yang ada di belakang usaha mereka untuk mendapatkan modal. Seperti dicatat di atas, bagi Bourdieu, seluruh bentuk modal selalu bisa diubah menjadi modal ekonomi. 69
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Pada saat yang sama, dia mencatat paradoks bahwa meski kalkulasi ekonomi ada di belakang semua tindakan, namun setiap tindakan tidak dapat direduksi ke kalkulasi ekonomi (Bourdieu, 1979). Intinya adalah bahwa bagi para pelaku, nilai itu sendirilah yang penting untuk berpartisipasi dan untuk menginvestasikan waktu, tenaga serta uang di dalam “game ekonomi” yang karenanya mendapatkan legitimasi dengan sendirinya (Bourdieu, 1990). Jika dirangkum, bagi Bourdieu, istilah “kepentingan” masih mendua, dimana dia tidak dapat dituduh sebagai pemilih rasional murni. Bourdieu (1996) dalam artikel “The Forms of Capital” menjawab pertanyaan apa yang dimaksud dengan modal dan apa saja bentuk-bentuk modal. Sudah sangat dipahami kalau modal merupakan unsur yang harus ada dalam dunia bisnis. Definisi dan cakupan modal terus berkembang. Hasilnya adalah konsep modal-nya Marx terdiri dari dua observasi (Calhoun, 1993). Pertama, ada banyak bentuk modal yang berbeda, mulai dari material (fisik, ekonomi) sampai immaterial (budaya, simbol, sosial). Kedua, dengan berbagai tingkat kesulitan, dimungkinkan untuk mengubah satu bentuk modal ke bentuk lainnya. Bourdieu (1986), mengartikan modal secara umum sebagai “kerja manusia yang terakumulasi” yang berpotensi menghasilkan bentukbentuk laba yang berbeda-beda. Pekerjaan ini dapat dipandang sebagai sejarah yang terakumulasi, yang ditransfer melalui waktu dalam bentuk yang terbendakan – yaitu materi, atau dalam bentuk yang terwujud, yaitu sebagai bagian dari seseorang. Dengan kata lain, modal tertanam di dalam struktur obyektif dan subyektif, dan karena itu menjadi penjamin bagi keteraturan dan stabilitas dunia sosial. Memang, pada waktu tertentu, berbagai bentuk modal dapat dikatakan menjadi “struktur yang tetap ada” dari dunia sosial, yang dipahami sebagai “serangkaian batasan”, yang tertanam di dalam realita dunia tersebut, yang mengatur fungsinya dalam cara yang abadi, yang menentukan peluang kesuksesan bagi praktik-praktik (Bourdieu 1986).
70
Perspektif Teori
Konsep modal yang telah diperluas sedemikian adalah jauh dari definisi ekonomi tradisional mengenai kata tersebut sebagai sumber daya yang memfasilitasi produksi dan yang secara bersamaan tidak dikonsumsi di dalam proses produksi, yaitu sebagai faktor produksi (Coleman 1994). Bourdieu berpandangan bahwa modal merupakan hubungan sosial. Modal merupakan energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam ranah perjuangan dimana modal memproduksi dan mereduksi. Modal memiliki beberapa ciri penting yakni: (1) Modal terakumulasi melalui investasi, (2) Modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan, (3) Modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya (Patrice Bonnewitz, 1998 dalam Haryatmoko, 2003)31. Di dalam pengertian ini, modal tidak dapat dipisahkan dari produksi, tanpa memandang apakah kita mengacu pada modal fisik (gedung, mesin dll.), modal keuangan ataupun modal manusia (pendidikan dan rekualifikasi). Menurut Bourdieu (2004), terdapat empat jenis modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial (social capital), modal budaya, dan modal simbolik. Penjelasan modal tersebut adalah: (1) Modal ekonomi, yang mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penggunaan terminologi ekonomi oleh Bourdieu tidak mengacu pada ekonomisme atau reduksionisme ekonomi apapun. Bourdieu melihat arena ekonomi hanya sebagai salah satu arena di antara arena-arena lain, tanpa memberikan keunggulan di dalam teori umumnya tentang arena (2) Modal budaya, yang mencakup keseluruhan kualifikasi intelektual yang dapat diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga, misal kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya yang bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, kemampuan inovasi, kemampuan ber-entrepreneurship, juga sertifikat (gelar kesarjanaan), tata krama atau sopan santun, cara bergaul dan sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan 71
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
reproduksi kedudukan-kedudukan sosial; (3) Modal sosial Social capital, menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungan dengan pihak lain yang memiliki kuasa; dan (4) Modal simbolik, mengacu kepada derajat akumulasi prestise, ketersohoran, status, otoritas, konsekuensi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan (connaissance) dan pengenalan (reconnaissance). Kalau diamati, tidak semua modal yang disebutkan oleh Bourdieu memiliki muatan ekonomi dengan sendirinya. Artinya, modal itu menjadi bernilai bukan karena nilai ekonomi yang melekat pada modal itu sendiri. Tetapi, karena memiliki sifat-sifat sosial tertentu yang kemudian melahirkan nilai ekonomi. Misalnya, orang bisa memiliki jaringan yang luas dan kuat karena mereka memiliki sifat jujur dan dapat dipercaya. Jujur dan dapat dipercaya bukanlah aspek ekonomi, tetapi persoalan yang terkait dengan pandangan hidup. Jadi, pandangan hidup yang dimiliki seseorang dapat melahirkan nilai ekonomi yang bisa digunakan sebagai modal untuk melakukan kegiatan ekonomi. Hal itu memperlihatkan posisi lemah dari teori ekonomi yang selalu mengesampingkan aspek non ekonomi (budaya, sosial, dan politik), seperti modal merupakan komponen penting dari kegiatan bisnis, sering tidak memadai manakala hanya dipandang dari sisi ekonomi, karena terjadinya pemilikan modal bukan berasal dari sisi ekonomi tetapi bisa bermula dari faktor sosial, termasuk di dalamnya social capital. Berkembangannya eksploitasi modal secara terus-menerus akan mempengaruhi sistem sosial yang berlaku, sehingga memunculkan pola perilaku kapitalisme. Menurut Heilbroner (1991), menolak memperlakukan kapital hanya dalam kategori hal-hal yang material berupa barang atau uang. Menurutnya, jika kapital hanya berupa barang–barang produksi atau uang yang diperlukan guna membeli material dan kerja, maka kapital akan sama tuanya dengan peradaban. Oleh karena itu, menurut Heilbroner, kapital bukan suatu benda material melainkan suatu proses yang memakai benda-benda material sebagai tahap-tahap dalam eksistensi dinamiknya yang berkelanjutan. 72
Perspektif Teori
Jadi kapital merupakan suatu proses sosial, bukan proses fisik. Kapital memang mengambil bentuk fisik, tetapi maknanya hanya bisa dipahami jika kita memandang hanya benda-benda material ini mewujudkan dan menyimbolkan suatu totalitas yang meluas. Heilbroner (1991) menelaah secara mendalam pengertian hakiki dari kapital yang mampu menjelaskan formasi sosial sampai sekarang adalah kapitalisme. Menurutnya kapitalisme sebagai suatu sistem dapat diterangkan dalam 2 (dua) konsep yaitu hakekat dan logika. Hakekat kapitalisme sebagai sifat dasar yang mengacu pada perilaku pembentukan institusi atau “pemilikan pribadi” yang ditunjukan oleh dua aspek utama yang saling berhubungan yaitu perilaku individu dalam mengumpulkan kapital atau kekayaan yang dapat mendominasi penguasaan kapital. Proses yang berulang dan ekpansif ini memang diarahkan untuk membuat barang-barang dan jasa-jasa dengan pengorganisasian niaga dan produksi, yang oleh Marx digambarkan dengan simbul M – C - M atau metabolisme M – C- M; transformasi “capital as money (M)” ; ke dalam “capital as commodity (C )”; yang diikuti re-transformasi ke dalam “capital as more money (M)”. Oleh karena itu, hakekat kapitalisme menurut Heilbroner (1991), adalah dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi kapital sebagai sublimasi dorongan bawah sadar manusia untuk merealisasi diri, mendominasi, dan berkuasa. Dorongan ini berakar pada jati diri manusia, maka kapitalisme lebih merupakan salah satu modus eksistensi manusia. Mungkin inilah sebabnya mengapa kapitalisme mampu bertahan dan malah menjadi hegenomi peradaban manusia. Logika kapitalisme mengacu pada pola perubahan yang dihasilkan dan dikendalikan oleh hakekat kapitalisme melalui pemilikan pribadi dan perluasan diri kapital secara terus-menerus melaui proses pola M-C-M sehingga menghasilkan akumulasi modal, ekspansi modal, dst. Dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk mengakumulasikan kapital. Logika kapitalis merupakan logika berpikir 73
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
rasional yang dikendalikan oleh hakekat kapitalis untuk memenangkan kompetisi dalam pemilikan/penguasaan kapital dalam masyarakat di pasar.
Arena (Field) Field atau arena menurut pandangan Bourdieu merupakan sistem dan hubungan-hubungan (relasi). “Berpikir berdasarkan arena berarti berpikir secara relasional,” dan arena tidak bisa dipisahkan dari ruang sosial (social space). Ruang sosial merupakan suatu ruang integrasi, yang berisi sistem arena-arena. Lebih lanjut Bourdieu mengungkapkan bahwa sistem arena32, adalah: “hampir dapat dibayangkan, sederhananya, sebagai sebuah sistem planet, karena ruang sosial benar-benar merupakan suatu arena integral. Setiap arena memiliki struktur dan kekuatan-kekuatan sendiri, serta ditempatkan dalam suatu arena yang lebih besar yang juga memiliki kekuatan, strukturnya sendiri, dan seterusnya”.
Hal ini sesuai dengan pandangan Bourdieu (2004) bahwa, aset non fisik merupakan aset yang dimiliki individu (pengusaha industri kecil) dalam lingkungan sosialnya yang digunakan untuk menentukan posisi dalam ranah33. Ranah (field) lebih dipandang oleh Bourdieu (dalam Ritzer dan Goodman,2010) secara relasional daripada struktural antar-individu. Ranah bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan, bukan pula intersubyektif. Ranah adalah jaringan relasi antar-posisi objektif di dalamnya (Bourdieu dan Waquant, 1992; Ritzer dan Goodman, 2010). Ranah merupakan: (1) arena kekuatan sebagai upaya perjuangan untuk merebutkan sumber daya atau modal dan juga untuk memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan; (2) semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Menurut Bourdieu, ranah (field) lebih dipandang secara relasional daripada secara struktural. Ranah merupakan jaringan relasi 74
Perspektif Teori
antar-posisi objektif di dalamnya (Bourdieu dan Waquant, 1992; Ritzer dan Goodman, 2010). Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak individu. Lebih lanjut Bourdieu (dalam Ritzer dan Goodman,2010) menyatakan bahwa, ada tiga langkah proses menganalisis ranah, yaitu: (1) menggambarkan keutamaan ranah (lingkungan) kekuasaan (politik) untuk menemukan hubungan setiap lingkungan khusus dengan lingkungan politik; (2) menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam ranah tertentu; dan (3) analisis harus mencoba menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam ranah. Menurut pandangan Bourdieu, arena itu sendiri semacam arena pertempuran (buttle field), yang dalam arena itu berbagai jenis kapital akan saling digunakan untuk dikonversikan dan dikompetisikan. Dikonversikan dalam pengertian bahwa jenis-jenis kapital tertentu bisa digunakan dan diubah menjadi jenis-jenis capital lainnya. Seperti misalnya, kapital ekonomi bisa dikonversikan menjadi kapital sosial, sehingga orang yang memiliki kekuatan ekonomi bisa memiliki peluang untuk memperoleh kekuatan modal sosial simbolik dalam wujud seperti kehormatan atau prestice, dan dalam konteks tertentu bisa pula sebaliknya. Agen yang memiliki kapital budaya dapat mengkonversikan menjadi kapital ekonom; dan sebaliknya.
Field sebagai suatu kunci yang berkaitan dengan ruang metafor dalam teori sosiologi Bourdieu. Field menentukan atau mendefinisikan settingan struktur sosial yang mana di situ tempat beroperasinya habitus.34 Bourdieu menekankan pada pernyataan bahwa “hubungan antar posisi objektif”‟. Maka keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Arena (field) bukanlah interaksi atau ikatan, arena bukan pula intersubyektif antara individu. Konsep arena (fields) merupakan refleksi dari dimensi metateori pemikiran Bourdieu yang melihat fields sebagai konsep yang terbuka dapat ditandai dan dikoreksi bagi suatu bentuk variasi teori antara subjektivisme dan objektivisme. Bourdieu melancarkan kritik terhadap subjektivisme dan objektivisme, dan mengatasi keduanya 75
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
melalui cara konseptualisasi “hubungan antara sosial dan struktur budaya dan praktik”. Sebagai teori, Bourdieu menyusun tiga langkah proses untuk menganalisis arena (field) yaitu (1) Konsep field sebagai koreksi terhadap positivisme. Menurut Bourdieu dan Wacquant (1992), arena (field) merupakan suatu kontruksi konseptual yang didasarkan atas ratio mode relational (relational mode of reasoning). Bourdieu dan Wacquant menggambarkan logika relational dengan menganjurkan para peneliti (rasearcher) mencari-cari, menemukan sesuatu yang mendasar dan menemukan suatu relasi-relasi tidak terlihat yang dapat membentuk aksi bentuk daripada pembendaharaan (pengetahuan) yang telah terberi dalam kategori pengetahuan umum. Karena itulah Bourdieu lebih memilih term field ketimbang populasi, group, organisasi atau instansi-intansi. Rupanya ia ingin menarik perhatiannya pada bentuk pola-pola laten dari kepentingan dan pertarungan yang membentuk keberadaan realitas empirik. (2) konsep field adalah sebagai suatu penyaluran (conduit) dari polemik Bourdieu yang menentang dua sudut pandang yaitu reduksionisme kelas dan materialisme yang vulgar. Dengan konsep field, Bourdieu sebenarnya hendak membawa suatu perpektif kelas sosial dalam konteks masyarakat modern, akan tetapi latar belakang kelas sosial. Milleu, atau konteks semuanya tidak pernah berefek/berakibat langsung atas tingkah laku individual, justru latar belakang kelas milleu, atau konteks semuanya malah menjadi diperantarai (mediated) oleh struktur arena itu sendiri. (3) Sebagai konsep, field ditandai sebagai penolakan Bourdieu pada cara interpretasi kaum idealis terhadap praktik-praktik kebudayaan yang begitu terlalu subtansialis; tidak memperhatikan atribut-atribut kebudayaan dan praktiknya. Kemudian, bagaimana hubungan antara arena dengan habitus, ini dapat dijelaskan sebagai berikut: arena bisa mengkondisikan habitus; dan sebaliknya habitus mampu membentuk arena sebagai sesuatu yang bermakna dan bernilai. Sedangkan proses interelasi antara habitus dan arena itu sendiri dijembatani oleh apa yang disebut sebagai “praktik”. Jadi di sini ada hubungan yang bersifat timbal balik secara dialektis. Hubungan habitus dan arena secara sederhana dapat 76
Perspektif Teori
menggambarkan hubungan antar-individu (agen) dan masyarakat (struktur). Dalam hubungan seperti itu, habitus atau arena (field) tidak memiliki kapasitas secara sepihak (unilateral) untuk menentukan tindakan sosial (social action). Namun sebaliknya, tindakan sosial ditentukan oleh proses relasi dialektis dari keduanya, yaitu habitus – yang juga bisa dikatakan struktur mental- dan arena (field), yang bisa dikatakan sebagai struktur sosial. Jadi menurut Bourdieu (Ritzer, 1996), jika menyangkut konsep habitus dan arena, yang paling penting adalah hubungan dialektik di antara keduanya (habitus dan arena). Lebih dari itu, dalam hubungan dialektika itu, baik habitus ataupun arena, keduanya saling mendefinisikan satu sama lain.
Praktik Praktik merupakan konsep Bourdieu yang digunakan untuk menjelaskan tentang penolakan terhadap dominasi objektif maupun dominasi subjektif. Konsep praktik berarti bagaimana seseorang diberi stimulus kemudian akan melakukan suatu respon. Praktik menurut Bourdieu merupakan kritik tentang pandangan kaum objektivis yang menekankan pandangannya bahwa struktur yang paling berkuasa dan menentukan tindakan aktor akan membentuk lingkungan, sehingga tindakan aktor tidak akan bebas melainkan terbatas. Demikian pula Bourdieu menolak pandangan kaum subjektivis yang menekankan bahwa individu dapat bertindak bebas tanpa dipengaruhi oleh struktur. Praktik sosial dirumuskan sebagai hasil dinamika dialektika antara internalisasi eksterior dengan eksternalisasi interior. Internalisasi eksterior dimaksudkan sebagai internalisasi segala sesuatu yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku sosial. Sedangkan eksternalisasi interior berarti pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri pelaku sosial35. Praktik sosial dipandang sebagai integrasi antara habitus dikalikan kapital dan ditambahkan ranah. Kapital sebagai sebuah konsentrasi kekuatan spesifik yang beroperasi dalam ranah dan setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal khusus agar dapat hidup 77
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
secara proporsional dan bertahan di dalamnya. Dalam ranah pertarungan sosial akan terjadi, mereka yang memiliki modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal. Menurut pandangan Bourdieu, bila seseorang individu atau aktor dipengaruhi oleh strukturnya, ia juga melakukan kebebasan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Sehingga akan menentukan praktik atau tindakan individu atau aktor adalah ranah dimana dia berada dan habitus masing-masing individu. Praktik individu atau kelompok sosial, karenanya harus dianalisis sebagai hasil interaksi habitus dan ranah. Jenkins (1992), menjelaskan ada beberapa karakteristik yang terdapat dalam praktik, yaitu: (1) Praktik terdapat dalam ruang waktu. Praktik, ”secara intriestik didefinisikan oleh temponya” kata Bourdieu36. Praktik tidak bisa dipahami di luar konteks ruang dan waktu. Waktu dikonstruksikan secara sosial dan gerakan individu atau kelompok dalam ruang sosial otomatis gerakan dalam waktu. (2) Praktik diatur dan digerakkan secara tidak sadar atau tidak sepenuhnya sadar. Tindakan sosial menurut Bourdieu, lebih cenderung merupakan hasil proses improvisasi individual dan kemampuan untuk berperan dalam interaksi sosial. Hal ini terjadi karena dalam kehidupan sosial, kebanyakan agen atau aktor (individu atau kelompok) cenderung menerima dunia sosial dengan apa adanya. Agen tidak memikirkan kembali mengapa harus berbuat seperti ini atau mengapa harus begitu.
Pemikiran Pierre Bourdieu tentang Social Capital Dalam memahami pemikiran Bourdieu tentang social capital, perlu melihat pokok perhatiannya dahulu dan sekarang adalah pemahaman atas hierarki sosial dalam banyak hal. Bourdieu membahas gagasan-gagasan yang banyak dipengaruhi oleh Marxis dan di awal tulisan-tulisan Bourdieu (Field, 2003) tentang social capital menjadi 78
Perspektif Teori
bagian analisis yang lebih luas tentang beragam landasan tatanan sosial. Bourdieu melihat posisi agen dalam arena sosial ditentukan oleh jumlah dan bobot modal relatif mereka, dan strategi tertentu yang mereka jalankan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Konsep social capital menurut Bourdieu (1977) pada awalnya mendefinisikan sebagai berikut: Modal hubungan sosial yang jika diperlukan akan memberikan “dukungan-dukungan” bermanfaat: modal harga diri dan kehormatan yang seringkali diperlukan jika orang ingin menarik para klien ke dalam posis-posisi yang penting secara sosial, dan yang bisa menjadi alat tukar, misalnya dalam karier politik. Kemudian Bourdieu bersama Wacquant (1992) memperbaiki pandangannya, dengan menyampaikan kesimpulan dalam pernyataan sebagai berikut: “Social capital adalah jumlah sumber daya, aktual atau maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan banyak terinstitusionalisasikan”. Menurut Bourdieu agar social capital tersebut dapat bertahan nilainya, individu harus mengupayakannya. Maka untuk memahami pemikran Bourdieu tentang social capital, diperlukan pula pokok perhatian dahulu dan sekarang yaitu pemahaman atas hierarki sosial. Ketimpangan harus dijelaskan oleh produksi dan reproduksi modal. Bourdieu menyatakan “modal” adalah akumulasi kerja yang memerlukan waktu dan akumulasi (Field, 2010). Sehingga melihat modal dari aspek ekonomi saja tidaklah cukup, karena pertukaran ekonomi digerakkan untuk mencari laba, sehingga hanya untuk mengejar kepentingan sendiri. Bourdieu (1986) menyatakan bahwa, mustahil memahami dunia sosial tanpa mengetahui peran modal dalam segala bentuknya, dan tidak sekedar dalam satu bentuk yang diakui oleh teori ekonomi. Kemudian, Bourdieu (1980) memasukkan beberapa pendekatan umum yang sama pada pemaparannya tentang social capital. Bourdieu menyatakan bahwa istilah social capital adalah “satu-satunya cara” untuk menjabarkan “prinsip-prinsip aset sosial” yang menjadi lebih 79
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
jelas manakala “individu yang berlainan memperoleh hasil yang sangat tidak setara dari modal yang kurang lebih ekuivalen (ekonomi atau budaya) menurut sejauh mana mereka mampu memobilisasi sekuat tenaga modal dari suatu kelompok (keluarga, mantan siswa sekolah elite, klub pilihan, kebangsawanan dan lain sebagainya). Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan cara yang khas social capital berfungsi memproduksi ketimpangan, namun hal ini dilakukan secara independen dari modal ekonomi dan modal budaya, yang menjadi bagian yang tidak terlepaskan darinya. Sejauh bentuk-bentuk modal yang berlainan tidak dapat diubah, atau lebih tepatnya, tidak dapat direduksi menjadi modal ekonomi, itu semua karena perbedaan jangkauan mereka dalam”„mengungkapkan aspek ekonomi”. Semakin transparan nilai ekonomi, semakin besar konvertibilitasnya, namun semakin rendah kesahihannya yang menjadi sumber diferensiasi sosial (Bourdieu, 1986). Daripada konvertibilitas, Bourdieu lebih tertarik pada bagaimana jenis-jenis modal yang berlainan secara bersama-sama membedakan “kelas-kelas utama berdasarkan atas kondisi eksistensi; dan dalam masing-masing kelas tersebut, meningkatkan ‟perbedaan sekunder‟ pada basis dari ‟perbedaan distribusi modal secara keseluruhan mereka diantara jenis modal berlainan” (Bourdieu, 1986). Berbeda dari dua modal lainnya yang lebih dulu populer dalam bidang ilmu sosial, yakni modal ekonomi (economic financial capital) dan modal manusia (human capital), social capital baru dapat aksis bila social capital berinteraksi dengan struktur sosial.37 Sifat ini jelas berbeda antara modal ekonomi dan modal manusia. Dengan modal ekonomi yang dimiliki seseorang/perusahaan dapat melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh dengan struktur sosial, demikian pula dengan modal manusia. Bourdieu (1986) menyatakan bahwa, volume social capital yang dimiliki oleh seseorang tergantung pada ukuran jejaring koneksi yang dapat dimobilisasikannya serta pada volume modal (ekonomi, budaya, atau simbolis) yang dimilikinya. Ini artinya bahwa, meski relatif tidak dapat direduksi ke modal ekonomi dan budaya yang dimiliki oleh agen tertentu, atau bahkan oleh seluruh agen yang terhubung, social capital 80
Perspektif Teori
tidak pernah independen seluruhnya dari agen karena pertukaranpertukaran membentuk pengenalan satu sama lain. Keuntungan yang timbul dari keanggotaan di suatu kelompok adalah dasar dari solidaritas yang memungkinkan keuntungan tersebut terjadi. Ini bukan berarti bahwa keuntungan tersebut dikejar secara sengaja, meski pada kasus kelompok-kelompok seperti klub-klub terpilih, yang sengaja dibuat untuk mengkonsentrasikan social capital dan untuk menghasilkan manfaat sepenuhnya akan berimplikasi di dalam konsentrasi tersebut dan untuk mengamankan keuntungan dari keanggotaan – yaitu keuntungan materi, misalnya seluruh jenis jasa yang timbul dari hubungan yang bermanfaat, dan keuntungan simbolis, misalnya keuntungan yang dihasilkan dari asosiasi dengan kelompok yang prestisius. Menurut Bourdieu (1980; 1986), hubungan yang erat dan tahan lamanya adalah ikatan yang sama vitalnya: social capital merepresentasikan agregate sumber daya aktual atau potensi yang dikaitkan dengan kepemilikan jaringan yang tahan lama, nilai ikatan yang dijalin seorang individu (atau volume social capital yang dimiliki agen tertentu tergantung pada jumlah koneksi yang dapat mereka mobilisasi dan volume modal (budaya, sosial dan ekonomi) yang dimiliki masing-masing koneksi. Dalam mempertahankan pandangan tentang modal sebagai produk akumulasi kerja. Bourdieu menegaskan bahwa koneksi memerlukan kerja. Solidaritas dalam jaringan hanya mungkin terjadi karena keanggotaan di dalamnya meningkatkan laba, baik laba material maupun laba simbolik. Dengan demikian, mempertahankan hal tersebut diperlukan “strategi investasi secara individu maupun kolektif” yang bertujuan mentrasformasikan hubungan-hubungan yang terus berlangsung, seperti hubungan di kampung atau tempat kerja, atau hubungan kekerabatan, menjadi “hubungan sosial yang secara langsung dapat digunakan dalam jangka pendek atau jangka panjang”; karena hal itu hanya efektif dalam jangka panjang yang dirasakan secara subjektif (Bourdieu,1980;1986), misalnya pertukaran hadiah: “upaya untuk 81
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
mempersonalisasikan hadiah” mengubah nilai yang sepenuhnya bersifat moneter dan juga titik temu pada skala yang lebih luas, sehingga menjadi “investasi solid, yang labanya akan muncul dalam jangka panjang dalam bentuk uang dan bentuk lainnya”, dengan investasi yang berbentuk “upaya sosiabilitas tiada henti” (Bourdieu, 1986).
Pierre Bourdieu tentang Social Capital Setelah Pierre Bourdieu 1970 menulis teori social capital dalam bahasa Perancis dangan judul „le Capital Social:Notes‟ namun karena publikasi ditulis dalam bahasa Perancis membuat tidak banyak ilmuwan sosial (khususnya sosiologi dan ekonomi) yang menaruh perhatian (Portes,1998:3). Setelah James S.Coleman mempublikasikan topik yang sama pada tahun 1993, barulah diikuti para intelektual lainnya. Sehingga masyarakat ilmiah berkeyakinan bahwa Coleman (1988) sebagai ilmuwan pertama yang memperkenalkan konsep social capital, seperti yang Coleman tulis dalam jurnal American Journal of Sociology yang berjudul “Social Capital in the Creation of Human Capital”. Kemudian Poldan (dalam Walis, Kilerby, dan Dollery, 2004) menerangkan bahwa social capital adalah sangat dekat untuk menjadi konsep gabungan bagi seluruh disiplin ilmu sosial, yakni modal ekonomi (economic/financial capital) dan modal manusia (human capital), dan social capital baru eksis bila berinteraksi dengan struktur sosial. Berdasarkan pengertian social capital di atas, muncul beragam definisi dengan bentangan yang sangat luas. Oleh karena itu Bourdieu (Yustika, 2006), sebagai peletak fondasi konsep social capital, mendefinisikan social capital sebagai “agregat” sumber daya aktual ataupun potensial yang diikat untuk mewujudkan jaringan yang awet (durable) sehingga menginstusionalkan hubungan persahabatan (acquaintance) yang saling menguntungkan. Melalui pemaknaan tersebut, Bourdieu berkeyakinan bahwa jaringan sosial (social network) tidaklah alami (natural given), melainkan dikonstruksi 82
Perspektif Teori
melalui strategi investasi yang berorientasi kepada kelembagaan hubungan kelompok (group relations) yang dapat dipakai sebagai sumber terpecaya untuk meraih keuntungan (benefit). Selanjutnya, Bourdieu mengemukakan dalam kaitannya dengan definisi tersebut bahwa social capital juga memisahkan dua elemen: (a) hubungan sosial itu sendiri yang mengizinkan individu untuk mengklaim akses terhadap sumber daya yang dimiliki oleh asosiasi mereka; dan (b) jumlah dan kualitas dari sumber data tersebut. Dengan gambaran tersebut, melalui social capital, aktor dapat meraih sukses langsung terhadap sumber daya ekonomi (pinjaman yang bersubsidi, saran-saran investasi, pasar yang terlindungi), atau mereka dapat berafiliasi dengan institusi yang membahas nilai-nilai terpercaya/value credentials atau pelembagaan modal budaya (Portes, 1998). Setelah Bourdieu kemudian muncul Coleman, dan diikuti para ilmuwan lainnya, mencoba mendefinisikan social capital menurut versinya, walaupun pada prinsipnya tidak mengubah definisi dari pendahulunya. Seperti Uphoff (dalam Dhesi, 2000) yang menyatakan social capital dapat ditentukan sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi, budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang mempengaruhi perilaku kerja sama. Menurut Hjerppe (2003) dan Chou (2006), Social capital sering dibagi ke dalam dua bentuk atau jenis, yaitu social capital kognitif dan struktural. Social capital kognitif meliputi norma-norma dan kepercayaan, sedangkan social capital struktural meliputi jaringanjaringan sosial baik formal maupun informal. Menurut Field (2011) dengan jaringan (social capital struktural) dan kepercayaan (social capital kognitif) tinggi akan berfungsi lebih baik dan lebih mudah daripada dalam jaringan dengan kepercayaan yang rendah. Siapa pun yang mengalami pengkianatan dari mitra dekat akan tahu betapa sulit bagi dua orang untuk bekerja sama ketika perilaku mereka tidak dilandasi kepercayaan. Namun kepercayaan tidak hanya didasarkan atas hubungan tatap muka antara dua orang atau lebih. Kepercayaan bisa menjadi atribut institusi dan kelompok maupun individu, dan sering didasarkan pada reputasi yang diperantai pihak ketiga (Dasgupta 83
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
2000). Demikian juga kehidupan bisnis industri kecil selalu menekankan pada kepercayaan dan jaringan dalam memenuhi kebutuhan proses produksi, misalnya kebutuhan bahan baku dibayar di belakang hari setelah hasil produksinya sudah laku terjual. Selanjutnya Weijland (1999) memklarifikasi, social capital sebagai berikut, yaitu Social capital sebagai bonding mengarahkan perhatian pada pentingnya keluarga, teman dekat, dan anggota kelompok etnis atau pekerjaan yang sama, kemudian social capital bridging mengenai adanya network yang melintasi ikatan-ikatan yang lebih luas, sedangkan social capital linking untuk mempertanyakan kapasitas dukungan dari pihak-pihak yang menempati posisi-posisi ekonomi dan sosial yang berbeda-beda, serta institusi yang lebih formal di kota tersebut. Glaeser et al (2000) dan Mateju (2002) menyatakan bahwa, peluang untuk melakukan penelitian social capital tersebut masih terbuka lebar terutama karena adanya perbedaan alat ukur yang digunakan dalam mengukur kepercayaan, baik oleh para ahli sosiologi maupun para ekonom. Para sosiolog pada umumnya fokus mengkaji variabel-variabel yang berkaitan dengan relasi dan kohesi sosial, sumber dan proses terbentuknya norma, kepercayaan, peran aktor, partisipasi sosial, eksplorasi kekuatan jaringan, struktur sosial, perubahan sosial dan sebagainya. Sedangkan para ekonom lebih tertarik pada kepercayaan melalui data akuntansi untuk membedakan pertumbuhan ekonomi, keadilan, pemerataan dan kesejahteraan. Porter (Cho & Moon, 2003) menunjukkan bahwa, daya saing suatu perusahaan itu tidak hanya tumbuh karena kontribusi faktor produksi alamiah akan tetapi juga sangat tergantung kepada kemampuan dalam melakukan inovasi dan pembaharuan. Ini berarti, dalam proses penciptaan dan penguatan daya saing perusahaan terhadap peran dan kontribusi dari aset lain yang tergolong sebagai asset non fisik (intangible assets) yang selama ini diabaikan. Aset non fisik (intangible assets) menurut MC. Kinsey dalam Satria (2003) terdiri
84
Perspektif Teori
dari pengetahuan, relasi dan jejaring, dan reputasi yang dimiliki oleh perusahaan. Kegiatan ekonomi sering tidak dapat bekerja secara sempurna dan memuaskan manakala hanya menekankan pada faktor ekonomi (modal, tanah, tenaga kerja, dan usahawan). Modal yang merupakan komponen sangat penting dalam kegiatan bisnis/industri, sering tidak memadai manakala hanya dipandang dari sisi ekonomi. Karena tumbuh dan berkembangnya modal tidak hanya berasal dari sisi ekonomi, tetapi bisa bermula dari faktor sosial, termasuk di dalamnya social
capital. Bourdieu dan Wacquant (1992) menyampaikan kesimpulan dalam pernyataan sebagai berikut; Social capital adalah jumlah sumber daya aktual atau maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terlembagakan. Namun menurut Fukuyama (2000), bahwa penyebaran nilai atau norma tidak serta merta menjadi social capital apabila nilai atau norma termaksud tidak mengandung kebenaran. Lebih lanjut Fukuyama (1999) mengatakan bahwa, norma akan menjadi social capital bilamana padanya terdapat unsur-unsur substantif, seperti kebijakan,kebenaran berkata, kejujuran, saling mempercayai. Demikian pula dengan pengusaha industri kecil sebagai entitas ekonomi, maka yang pertama-tama menentukan konsep sosiologi ekonomi adalah menyangkut pada bagaimana norma, kepercayaan, kejujuran maupun jejaring yang dianutnya terwujud sebagai social capital38. Social capital yang tercipta di lingkungan industri kecil adalah bersumber dari anasir-anasir nilai yang dimiliki setiap pengusaha industri kecil bertata laku yang bersenyawa dalam interaksi di lingkungan bisnis, karena dalam kegiatan bisnis para industri kecil mendapat penerimaan maka menjadi tradisi kehidupan bisnis dimana para pebisnis industri kecil dan selanjutnya menjadi dasar acuan bertindak para pengusaha industri kecil dalam melaksanakan kegiatan bisnis yang disebut sebagai norma. Norma ini tumbuh di lingkungan 85
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
bisnis industri kecil disebabkan juga oleh keyakinan agama yang dianut pelaku industri kecil. Pelaku industri kecil dan pelanggan atau konsumen maupun pemasok bahan baku sebagai manusia tentu memerlukan orang lain, dan untuk itu ada kecenderungan untuk dapat bekerja sama dan saling berinteraksi termasuk dalam hal bertransaksi. Karena nilai dan norma diperlukan mengatur dalam berperilaku, sehingga dapat hidup bersama-sama yang saling menguntungkan. Penelitian dari Wejland (1999) mengenai klaster usaha mikro pedesaan, terutama di Jawa dan Makasar, menemukan bahwa di komunitas desa, hubungan sosial lazim menjadi subyek hubungan patronase yang terkait dengan hierarki sosial politik, kepemilikan lahan dan ikatan keluarga tradisional. Ketika ingin mendirikan industrinya sendiri, para buruh yang sebelumnya bekerja bagi orang lain harus melepaskan dirinya dari kewajiban-kewajiban terkait sebelum mengembangkan social capital-nya sendiri, dimana jaringan keluarga sangat penting, yang juga terlihat di Makasar. Secara bersamasama, faktor-faktor penting dari kajian ini membentuk sebuah kerangka pikir untuk melakukan analisis tingkat mikro mengenai karakter dan efektifitas social capital yang digunakan oleh para pengusaha skala kecil di kota Makasar. Ini menunjukkan pentingnya dinamika-dinamika seperti politik lokal, struktur sosial, dan norma budaya di dalam menentukan ketergantungan perusahaan-perusahaan pada bentuk social capital yang berbeda-beda, seperti kualitas, atribut, dan substansi ikatan-ikatan serta hubungan-hubungan, dan bagaimana semua hal tersebut saling terjalin dengan kepercayaan, norma, dan sikap.
Pengembangan Paradigma Social Capital Elemen-elemen pokok social capital antara lain: (1) norma atau nilai; (2) hubungan saling kepercayaan (trust); (3) jaringan usaha/sosial (business/social networks); (4) pranata (institutions), dan (5) resiprositas (pertukaran timbal balik) [Bourdieu,1977; Suseno, 1987; Cambel,Wood, dan Kelly 1999; Coleman, 1988; Ostrom, 1993; 86
Perspektif Teori
Putnam, 1993; Fukuyama, 1995; Cox, 1995; Adams & Someswar,1996; Grootaet,1998; Pretty & Ward, 1999; Krishna & Uphoff, 1999; Lubis, 2002; Lawang, 2004; Baharudin, 2006, Hasbullah, 2006]. Norma dan Nilai Banyaknya definisi social capital turut mempengaruhi keberadaan konsep norma atau nilai. Menurut definisi dari Coleman (dalam Yustika, 2006), Putnam (1995) dan Fukuyama (1999), bahwa norma atau nilai adalah terdapat pada institusi sosial dan menjadi “tambatan” (tempat terikatnya) social capital. Sedangkan Kasper W.et al.(1998) menempatkan nilai sebagai bentuk sebuah dukungan bagi lembaga kemasyarakatan, sehingga meningkatkan kesempatan dari social order. Nilai dan norma sebagai satu kesatuan komponen penting institusi sosial selalu berpasangan dengan norma dan dihubungkan dengan kebutuhan pokok (Lawang,2005). Dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok, pada diri dan komunitas pengusaha industri kecil terkandung nilai-nilai yang sangat fundamental bagi kehidupannya dan bagi kelangsungan komunitas pengusaha industri kecil. Maka daripada itu, nilai memerlukan perlindungan dari norma. Karena norma merupakan standar tentang hal-hal yang dipandang baik dan benar dan norma mengandung ide tentang kewajiban dan keharusan (Jaffries,1980:340 dalam Lawang 2005). Menurut Fukuyama (1999), norma merupakan bagian dari
social capital yang timbul tidak diciptakan oleh birokrasi atau pemerintah. Sedangkan Bertens (2001, 2003) menyatakan nilai merupakan sesuatu yang baik, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang berharga, sesuatu yang worth while. Nilai dicari karena dapat memenuhi sesuatu keinginan, dan menurut kodratnya, nilai bersifat positif. Selanjutnya Porter (2000) menerangkan bahwa values, dengan atitudes dan beliefs (nilai, sikap & kepercayaan ) adalah sebagai budaya ekonomi (economic culture) yang menjadi faktor kemajuan ekonomi. Sedangkan Rutherford (1994) & Manig (dalam Yustika, 2006) menyatakan bahwa, kelembagaan merefleksikan sistem nilai dan 87
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
norma dalam masyarakat; tetapi nilai dan norma itu bukanlah kelembagaan itu sendiri. Di sisi lain, Fountain (1998) mengatakan, norma yang penting adalah norma timbal balik dimana orang-orang bertindak demi manfaat bagi orang lain dan mengharapkan mendapatkan bantuan sebagai balasan saat dibutuhkan. Oleh karena itu, pada kasus kepercayaan yang tinggi, ekspektasi bahwa orang lain akan memberi balasan yang tinggi dan orang-orang cenderung benar-benar mengikuti norma-norma kebajikan di dalam tindakan-tindakan mereka (Knack dan Keefer, 1997) dan penyebaran nilai atau norma tidak serta merta menjadi social capital apabila nilai atau norma termaksud tidak mengandung unsur kebenaran (Fukuyama,1999;2000). Oleh karena itu,social capital merujuk pada norma atau nilai umum yang mempengaruhi interaksi di antara jejaring individu-sosial (Putnam, 2000; Bowles dan Gintis, 2002). Dalam praktiknya, social capital bisa berbentuk interaksi sosial, kepercayaan, dan visi bersama (MolinaMorales dan Martinez-Fernandez, 2010). Interaksi sosial adalah kontak atau hubungan yang dijaga oleh seorang pelaku dari satu perusahaan dengan para pelaku lain dari perusahaan-perusahaan lain di dalam komunitas. Menurut Bertens (2000), untuk memenuhi sistem hukum dan menurut norma moral sekurang-kurangnya harus memenuhi tiga tolok ukur yakni (a) tidak bertentangan dengan suara hati nurani, yakni sesuatu (nilai) yang terkait dengan keyakinan terdalam. Hati nurani adalah menyangkut tentang integritas pribadi manusia. Karena hati nurani bersifat subyektif, sehingga tidak terbuka dengan orang lain, sebagai norma moral, hati nurani acapkali sulit untuk dipakai sebagai ukuran umum; (b) untuk obyektivitasnya maka perlu disertai normanorma yang lain, yaitu memperlakukan orang lain, sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan atau tidak memperlakukan sesuatu tindakkan tertentu pada orang lain, karena diri sendiri tidak ingin diperlakukan sebagaimana tindakan tertentu tersebut dari orang lain (c) guna efektivitasnya diperlukan penilaian umum atau penilaian masyarakat atau sebagai audit sosial, yang luas dan terbuka. Etika 88
Perspektif Teori
dalam konteks praktis bermakna sama dengan nilai-nilai dan normanorma yang ditatalakukan atau yang tidak ditatalakukan walaupun seharusnya diwujudkan sebagai pelaku. Ada penelitian mengenai norma dan nilai dalam social capital yaitu penelitian Lincolin Arsyad (2005) yang menunjukkan bagaimana pengaruh kearifan lokal (termasuk social capital) terhadap pembangunan ekonomi di Bali, khususnya dalam penyaluran kredit, beberapa BPR (Bank Perkreditan Rakyat) yang menyerap sistem dari adat setempat yang merupakan bagian penting dari social capital, justru memiliki kinerja yang lebih baik dari BPR yang mengikuti aturan resmi dari pemerintah. Dalam penelitian diungkapkan bahwa kepala adat ikut berperan serta dalam pemilihan pengurus BPR dan didasarkan musyawarah, sehingga pengurus yang terpilih adalah orang-orang yang jujur, rela berkorban, memiliki integritas yang tinggi terhadap moral, dan tidak cacat di mata masyarakat. Hubungan Saling Percaya (Trust) Hubungan saling percaya merupakan nilai yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur dan kerja sama berdasarkan normanorma yang dianut bersama. Pada dasarnya kepercayaan harus dimiliki dan menjadi bagian yang kuat untuk membentuk social capital yang baik, yang dapat ditandai dengan kuatnya lembaga-lembaga sosial yang menciptakan kehidupan yang harmonis dan dinamis. Mitstal (1996) menyatakan bahwa, kepercayaan sebagai milik individual, hubungan sosial, atau sistem sosial dengan perhatian yang tidak seimbang dengan perilaku yang didasarkan pada tindakantindakan di tingkat individu. Bila dilihat sebagai karakteristik individu, kepercayaan adalah variabel kepribadian, sehingga menempatkan penekanan pada karakteristik individu seperti perasaan, emosi, dan nilai-nilai (Wolfe, 1976). Kepercayaan (rasa percaya) bisa dijelaskan sebagai keyakinan terhadap keandalan orang lain. Rasa percaya yang dimiliki orang-orang terhadap orang lain secara umum dapat disebut kepercayaan umum. Selain itu, kepercayaan terhadap institusi-institusi yang berbeda seperti kepolisian, pemerintah, gereja, bank, dan media 89
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
yang juga disebut kepercayaan institusional. Rasa percaya dan normanorma terkait secara kuat: norma-norma kebajikan yang memandu perilaku orang-orang bisa dianggap sebagai sifat bisa dipercaya yang meningkatkan kepercayaan terhadap orang lain Pada perorangan, anda percaya untuk melakukan sesuatu yang didasarkan pada apa yang anda ketahui dari disposisi, reputasinya dan sebagainya bukan hanya karena ia mengatakan dan melakukannya. Pada tingkat kolektif, jika anda tidak mempercayai suatu badan atau organisasi yang berafiliasi individu, anda tidak akan mempercayai dia untuk memenuhi perjanjian (Dasgupta, 2000). Selain itu, individu mempertimbangkan latar belakang, budaya, dan sistem sosial lain ketika mencari untuk menentukan apakah akan percaya padanya. Itu adalah keterkaitan yang menunjukkan bagaimana membangun kepercayaan di tingkat mikro countributes sebagai determinan bentuk yang lebih abstrak kepercayaan pada tingkat makro (Luhman, 1988). Menurut Coleman (1988), Putnam (1993), dan Sztompka (1999). kepercayaan sebagai salah satu komponen kunci dari social capital. Kepercayaan memainkan peranan penting dalam konsep Fukuyama tentang social capital. Fukuyama mendefinisikan kepercayaan sebagai dasar social capital. Dalam model Putnam, hubungan saling percaya di antara pelaku ekonomi berevolusi dari berbagai budaya dan menjadi tertanam dalam ekonomi lokal, yang kemudian membentuk jaringan keterlibatan masyarakat. Hubungan sebab akibat yang menghubungkan kepercayaan dan jaringan yang ada dalam asosiasi/lembaga. Sedangkan Cohen, J. (1999) dan Woolcock (1998) berpendapat bahwa, bentuk kepercayaan kemungkinan bentuk yang unggul dan dapat dikembangkan oleh orang-orang dari tempat lain dan budaya yang berbeda, dan bahkan orang-orang dengan ide-ide yang berbeda pula. Kepercayaan dan norma-norma, keadilan, dan kerja sama adalah manfaat yang dipelihara dan memfasilitasi serta memperkuat kinerja kelembagaan yang efisien, tetapi tidak ada secara independen dari hubungan sosial. Konsekuensi mungkin menjadi salah satu indikator dari jenis social capital yang ada tetapi tidak boleh disamakan dengan social capital itu sendiri. 90
Perspektif Teori
Kepercayaan terkait erat dengan kondisi social capital menurut Luhman (1988), Nahapiet dan Ghoshal (1998), Glasser et.al (2000), dan Adler & Kwon ( 2002) memperlakukan kepercayaan sebagai aspek kunci dalam dimensi relasional social capital. Tetapi yang berbeda ini terkait dengan persepsi tentang hubungan antara kepercayaan dan
social capital. Sedemikian pentingnya kepercayaan, Glasser et.al (2000) menyatakan bahwa kepercayaan merupakan modal dasar dan dapat memperkuat kohesi social capital. Dengan adanya kepercayaan, maka timbul harapan. Melalui harapan yang didasari oleh kepercayaan, juga memungkinkan terjadinya pertukaran. Kepercayaan melibatkan resiko berbicara; Jelasnya, kedua belah pihak tahu bahwa tindakan dari satu pihak dapat secara material mempengaruhi yang lain, namun keduanya berbagi ide, keprihatinan atau masalah walaupun sudah jelas. Ada tiga tingkat kepercayaan yang saling berhubungan. Pertama, tingkat perorangan, anda percaya sebuah individual untuk melakukan sesuatu yang didasarkan pada apa yang anda ketahui dari disposisi, reputasinya dan sebagainya bukan hanya karena ia mengatakan dan akan melakukannya. Kedua, tingkat kolektif, jika anda tidak mempercayai suatu badan atau organisasi yang berafiliasi individu. Ketiga, individu mempertimbangkan latar belakang, budaya, dan sistem sosial lain ketika mencari untuk menentukan apakah akan percaya padanya, itu adalah keterkaitan yang menunjukkan bagaimana membangun kepercayaan di tingkat kontribusi mikro sebagai bentuk determinan yang lebih abstrak kepercayaan pada tingkat makro (Luhman, 1988). Coleman (1990) mengisyaratkan bahwa, sebagai seorang rasional tentang perilaku manusia, kepercayaan hanya dapat diproduksi dalam informasi, kecil, tertutup, dan homogen masyarakat yang mampu menerapkan saksi normatif. Tidak dijelaskan bagaimana ketepatan untuk menciptakan kepercayaaan di dalam masyarakat, terutama dalam keragaman masyarakat. Selain hubungan sosial, norma-norma bersama menjadi sumber kepercayaan. Granovetter (1985) berpendapat bahwa, hubungan sosial dan kewajiban yang melekat pada mereka adalah dua sumber utama kepercayaan dalam 91
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
kehidupan ekonomi. Selanjutnya, Wolfe (1989) berpendapat bahwa individu menciptakan aturan-aturan moral mereka yaitu, kewajiban bersama- melalui interaksi sosial yang mereka alami dengan orang lain. Kemudian Fox (1997) menyatakan bahwa, kepercayaan sebagai karakteristik dari sistem sosial. Dia berpendapat percaya dan ketidakpercayaan adalah yang terkandung dalam aturan, peran, dan hubungan yang memaksa atau berusaha untuk diterima oleh orang lain. Selanjutnya Farrell dan Knight (2003) berpendapat bahwa lembaga-lembaga menciptakan aturan, insentif dan sanksi bagi orangorang untuk berperilaku dalam cara yang dapat dipercaya, sehingga menumbuhkan kepercayaan. Selain itu, lembaga dapat menyebarkan informasi tentang perilaku yang diharapkan untuk mempengaruhi keyakinan sosial tentang kepercayaan. Ada 2 (dua) pandangan yang berbeda dari beberapa peneliti tentang hubungan antara kepercayaan dengan social capital yaitu Pertama, menganggap kepercayaan sebagai prasyarat social capital. Kedua, menganggap kepercayaan sebagai sebuah produk atau manfaat social capital. Demikian juga, Francois (2001) berpendapat bahwa, kepercayaan adalah komponen yang relevan dalam budaya ekonomi masyarakat. Hubungan sebab akibat yang menghubungkan kepercayaan dan jaringan yang ada dalam asosiasi/lembaga. Sedangkan Cohen (1999) berpendapat bahwa, bentuk kepercayaan kemungkinan bentuk unggul dan dapat dikembangkan oleh orang-orang dari tempat lain dan budaya yang berbeda bahkan orang-orang dengan ide-ide yang berbeda pula. Kepercayaan dan norma-norma, keadilan, dan kerja sama adalah manfaat yang dipelihara dan memfasilitasi serta memperkuat kinerja kelembagaan yang efisien, tetapi tidak ada secara independen dari hubungan sosial. Konsekuensi mungkin menjadi salah satu indikator dari jenis social capital yang ada tetapi tidak boleh disamakan dengan social capital itu sendiri (Woolcock,1998). Para peneliti lain menganggap ikatan kuat justru merugikan bukannya menguntungkan (Cross dan Parker 2004; Borgatti dan Cross 2003; Gargiulo dan Benassi 1999) karena: Pertama, hilangnya pelaku jejaring inti yang tak terduga akan meningkatkan kerentanan 92
Perspektif Teori
organisasi-organisasi jaringan, karena integrasi para partner tertutup yang kuat cenderung menyatu dengan masalah ketergantungan sumber daya (Porter dan Sensenbrenner 1993). Pada saat yang bersamaan, perubahan-perubahan institusional mungkin meruntuhkan ikatan sosial, yang menyebabkan ketidakstabilan yang tinggi, karena pengelolaan hubungan jaringan mungkin tidak berjalan baik ke mode hubungan yang lain (Mu, Peng, dan Love 2008; Cross et al., 2001). Kedua, ikatan-ikatan kuat dapat mengurangi aliran informasi baru di antara para partner yang saling terkait karena ikatan-ikatan yang berlebihan ke partner jaringan yang sama memiliki arti bahwa hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada hubungan ke partner luar yang mungkin memberi kontribusi ide-ide alternatif (Burt 1992). Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kriteria seseorang memiliki social capital yang rendah atau kuat tergantung dari tingkat kepercayaan seseorang terhadap orang lain dan kepada masyarakat di sekitarnya, yaitu (a) bila seseorang hanya percaya kepada nilai/norma yang diwariskan oleh keluarga dan tidak percaya kepada masyarakat, kurang percaya kepada tokoh panutan masyarakat dan kurang percaya kepada lembaga formal dan informal maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki social capital yang rendah, (b) bila seseorang hanya percaya pada norma/nilai yang disepakati oleh komunitasnya seperti famili, kerabat dekat, tetangga dan tokoh panutan masyarakat yang masih ada hubungan famili dan kekerabatan serta orang luar yang sudah dikenal, termasuk terhadap pemerintah yang dipimpin orang yang masih ada hubungan kekerabatan atau yang dikenalnya, maka ini menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki sosial capital yang sedang, dan (c) bila seseorang lebih percaya kepada semua orang yang memiliki etika dan perilaku yang baik dalam masyarakat, percaya pada norma/nilai yang berlaku untuk kepentingan orang banyak, percaya kepada tokoh masyarakat serta pemerintah yang selalu memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak tanpa memandang hubungan keluarga, suku, etnis, dan agama, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki social capital yang kuat.
93
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Jejaring Usaha Menurut Prabaatmodjo (1996), ada 3 hal yang melatarbelakangi terbentuknya jaringan usaha: Pertama, berdasarkan perspektif pertukaran yang dikembangkan oleh Blau. Menurut model ini jaringan usaha dipandang sebagai struktur sosial yang terbentuk karena adanya relasi sosial diantara para pelakunya, misalnya, melalui pertukaran secara langsung atau tidak langsung mengenai segala sesuatu yang dianggap berharga. Kedua, model ketergantungan sumber daya. Model ini menjelaskan bahwa terbentuknya jaringan usaha adalah hasil upaya strategis unit usaha dalam mengamankan sumber daya penting yang dikuasai pihak lain. Ketiga, model transaction cost economy dari Williamson. Model ini menjelaskan, dengan jaringan usaha, perusahaan dapat memperoleh kebutuhannya secara efisien melalui pasar atau hierarki. Pandangan jaringan (network view) menurut Woollcock dan Narayan (2000) menegaskan bahwa, pandangan ini menggabungkan dua level, sisi atas (upside) dan sisi bawah (downside), yang menekankan pentingnya asosiasi vertikal dan horizontal di antara orang-orang dan relasinya dengan entitas organisasi lain, semacam kelompok komunitas dan perusahaan (firm). Secara jelas, konsep ini sebetulnya mengoperasikan dua sifat penting dari social capital, yakni sebagai ikatan sosial (social bonding) dan jembatan sosial ( social bridging).
Sosial
bonding
merupakan tipe modal sosial dengan karakteristik adanya ikatan-ikatan yang kuat sebagai perekat dalam suatu kehidupan di masyarakat. Seperti, hubungan kekerabatan dalam suatu keluarga dengan keluarga yang lain, yang masih dalam satu etnis tertentu, dan hubungan seperti itu dapat menumbuhkan rasa kebersamaan yang diwujudkan rasa empati, rasa simpati, rasa kewajiban, rasa percaya, resiprorsitas, pengakuan timbal balik, dan nilai kebudayaan yang mereka percaya.
Social bridging (jembatan sosial) sebagai suatu ikatan sosial yang tumbuh sebagai reaksi atas berbagai macam perbedaan karakteristik dalam kelompoknya. Social bridging dapat tumbuh dan 94
Perspektif Teori
berkembang karena muncul berbagai kelemahan yang ada di sekitarnya, sehingga akan memberikan pilihan untuk membangun kekuatan baru dari kelemahan yang ada. Menurut Hasbullah (2008), ada tiga hal yang mendorong munculnya social bridging yaitu (a) adanya persamaan sehingga setiap anggota dalam suatu kelompok memiliki hak dan kewajiban yang sama dan keputusan yang diambil didasarkan pada kesepakatan yang egaliter, (b) adanya kebebasan bagi setiap anggota kelompok bebas bicara dalam mengemukakan pendapat dan ide yang dapat memajukan kelompok, dan (c) adanya nilai-nilai kemajemukan dan humanisme artinya nilai-nilai kemanusiaan, menghormati hak asasi setiap anggota dan orang lain sebagai dasar pengembangan komunitas sosial dalam suatu masyarakat. Sikap kemajemukan seperti terbangun suatu kesadaran yang kuat bahwa hidup yang berwarna-warni, dengan beragam suku, agama, warna kulit dan cara hidup dalam masyarakat sebagai kekayaan manusia. Sikap humanisme seperti berkehendak membantu orang lain merasakan penderitaan orang lain, berempati terhadap situasi dan kondisi orang lain. Sedangkan Davis dan Aldrich (2000), Gulati et al (2000) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa, jaringan usaha dengan perusahaan-perusahaan mitra, tidak hanya merupakan peluang untuk membangun rasa percaya, partisipasi politik dan interaksi sosial, akan tetapi juga mendorong pembentukan jaringan personal dan meningkatkan hasil dari jaringan personal. Rasa memiliki terhadap asosiasi sukarela dapat memperbaiki peluang anggota untuk membangun koneksi dengan orang-orang yang berbeda. Maka dari pada itu, keanggotaan dalam organissi dapat berhasil meningkatkan heterogenitas jaringan personal para pemilik perusahaan. Meningkatnya heterogenitas ini, pada gilirannya dapat berperan penting dalam memperbaiki akses ke berbagai sumber daya, dan sebagai hasilnya, dapat meningkatkan sukses dan kelangsungan usaha. Jaringan usaha ini meliputi sejumlah relasi, baik relasi horizontal maupun vertikal, dengan berbagai lembaga seperti pemasok, pelanggan, pesaing atau lembaga lain apakah dalam industri yang sama maupun pada industri yang berbeda. 95
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Dalam jejaring terdapat simpul (nodes) dan hubungan (links). Sjaifudin dalam Soen‟an (2002), mendefinisikan jejaring usaha sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk melepaskan usaha, terutama di sektor manufaktur, dari keterbatasan sumber daya yang sering menjadi faktor penghambat bagi perusahaan untuk berkembang. Sedangkan menurut Soen‟an (2002), jaringan usaha dimaksudkan sebagai suatu bentuk organisasi di bidang ekonomi yang dimanfaatkan untuk mengatur koordinasi serta mewujudkan kerja sama antar unsur atau antar unit, baik dalam intra organisasi maupun antar organisasi. Unsurunsur tersebut dapat berupa unit usaha atau non unit usaha yang merupakan unsur dalam rangkaian yang memfasilitasi pengoperasian unit usaha. Bentuk keterkaitan unit usaha tersebut dapat berupa komunikasi informasi di antara unit usaha, asosiasi, dan kerja sama usaha (joint venture). Menurut Warner (2004), Mauled Moelyono (2007), untuk mendukung keberhasilan jaringan usaha perlu memenuhi beberapa syarat agar jaringan usaha yang dibentuk terus dipertahankan: (1) adanya disiplin, kejujuran, sikap saling percaya, dan sikap kesungguhan yang kuat di antara semua pihak yang berkepentingan dalam melaksanakan kerja sama yang telah disepakati, (2) adanya tekad yang kuat memberi dan menerima kontribusi dan menerima dukungan, untuk meraih kemajuan dalam kebersamaan, (3) mengedepankan sikap transparansi dalam setiap tindakan yang melibatkan kepentingan bersama, dan (4) berusaha kuat menangani setiap masalah dan perbedaan demi kepentingan bersama dengan mengajukan kebutuhan pihak mitra dan mengajukan kebutuhan perusahaan (kita) serta percaya dan tekun. Penelitian-penelitian lain mengkonfirmasikan pentingnya ikatan jaringan yang kuat, khususnya pada sebuah perusahaan Burt (1992), Uzzi (1997), Leana dan Van Buren (1999), Ahuja (2000), Gulati, et al (2000), Wellman & Frank ( 2001) Hite dan Hesterly 2001, Autio, dan Sapienza (2001), Lin (2001), Lechner dan Dowling (2003); Moran (2005), Elfring dan Hulsink (2007), dengan menekankan bahwa ikatan tersebut mengikat para partner dan hubungan yang lebih panjang dan 96
Perspektif Teori
akrab yang bermanfaat bagi keduanya untuk memperkuat rasa saling percaya dan identifikasi kognitif serta untuk berkontribusi bagi penghematan waktu, secara tradisional dianggap sebagai proksi ikatan lemah, karena merujuk pada jenis jaringan dimana para pelaku bisnis adalah terikat oleh hubungan impersonal yang bermanfaat sebagai penghubung ke pasar yang lebih luas. Ikatan sosial kuat dan lemah dapat dianalisis berdasarkan kriteria, yaitu: frekuensi kontak, intensitas emosional hubungan tersebut, serta tingkat intimasi dan komitmen timbal balik di antara para pelaku yang terlibat di dalam hubungan. Yang memiliki beberapa manfaat potensial yang dapat diperoleh dari keberadaan anggota dalam jejaring di antaranya, melaui jejaring anggota dapat memanfaatkan saluran berbagai pengetahuan yang efektif dan efisien, dan melalui jejaring anggota akan mudah mendapatkan informasi, sumber daya, pasar dan teknologi. Struktur jaringan mengacu pada kepadatan relatif linkes antara orang-orang di dalamnya yang memfasilitasi arus informasi dan penyediaan dukungan sosial ke struktur sosial dimana seseorang berada. Sedangkan menurut studi Ayda Eraydin & Bilge ArmatliKoroglu (2005), ada empat alasan utama mengapa keterlibatan perusahaan lokal di dalam jaringan-jaringan nasional dan global yang lebih luas sangat penting bagi pertumbuhan jangka panjang. Pertama, dengan bantuan jaringan-jaringan ini, dimungkinkan untuk menciptakan ide-ide baru, tidak hanya menggunakan pengetahuan dan keahlian lokal, tetapi juga keahlian eksternal untuk mengubah ide-ide tersebut menjadi produk-produk yang bisa dipasarkan dan kontribusi lingkungan pergaulan lokal memiliki batas-batas dan mereka harus didukung oleh jaringan-jaringan antar-perusahaan yang lebih luas sebagai suatu cara akses ke informasi mengenai teknologi-teknologi yang berubah cepat dan peluang-peluang pasar (Revilla-Diez, 2002, Camagni ,1991). Kedua, dalam rangka menutupi masalah-masalah sehubungan dengan menurunnya permintaan domestik, maka dibutuhkan aktivitas-aktivitas berorientasi ekspor, yang harus didukung oleh jaringan-jaringan transfer teknologi (Kautonen 1996). Ketiga, aktivitas-aktivitas non regional bisa meningkatkan kontribusi 97
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
langkah-langkah yang berorientasi secara regional dan karena itu memberikan dukungan yang lebih kuat bagi manajemen inovasi dan daya saing perusahaan-perusahaan regional. Tidak dimungkinkan bagi perusahaan-perusahaan, khususnya perusahaan kecil dan menengah, untuk hanya bergantung pada pembelajaran lokal dan pengetahuan tersirat; pada saat bersamaan, mereka harus dilengkapi kompetensi R&D formal dan akses ke pengetahuan universal melalui jenis-jenis jaringan non regional dan global yang berbeda-beda (Glasmeier 1991, 1994; Kautonen 1996,Asheim dan Isaksen 2002,). Keempat, seorang pelaku adalah bagian dari suatu sistem teritorial, tetapi jika pelaku tersebut bergabung ke sistem global, maka ia memiliki peluang untuk mendapatkan manfaat dari sinergi-sinergi yang ditawarkan situasi ini. Yang terakhir, hasil-hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa hubungan-hubungan eksternal sangat penting untuk mencegah tersumbatnya teknologi. Berdasarkan hasil-hasil penelitian dari berbagai pakar tersebut di atas, maka dapat disimpulkan ukuran tinggi atau rendahnya social capital yang dimiliki seseorang dalam membangun jejaring dengan kriteria yaitu:(a) memiliki social capital rendah, bila seseorang memiliki tujuan membangun jejaring untuk memenuhi kepentingan sendiri tanpa peduli kepentingan orang lain, sasaran jaringan masih terbatas pada lingkungan keluarga. Motivasi membangun jejaring karena ikut-ikutan, tidak ada inisiatif untuk mengembangkan jaringan lebih lanjut serta tidak peduli bila terjadi konflik di lingkungannya, (b) memiliki social capital sedang, bila tujuan membangun jejaring untuk memenuhi kepentingan sendiri dengan memperhatikan orang lain, sasaran jaringan tidak hanya dalam lingkungan keluarga tetapi lingkungan yang lebih luas, sumber motivasi membangun jejaring berasal dari keluarga, tetangga dan teman-teman dekat serta bila terjadi konflik ada kecenderungan akan meninggalkan jaringan dan berpindah atau membangun jaringan lain yang lebih menguntungkan disrinya, (c) bila social capital yang tinggi, seseorang membangun dan ikut dalam suatu jaringan dengan tujuan membantu orang lain tanpa mengorbankan kepentingan dirinya, sasaran jaringan yang diikuti 98
Perspektif Teori
adalah komunitas umum yang tidak dibatasi oleh ikatan keluarga, kesukuan/etnis, wilayah dan sebagainya, dan motivasi ikut dalam jaringan ada pada diri sendiri dengan penuh kesadaran dalam upaya mencapai tujuan bersama dan bila terjadi konflik dalam jaringan ikut terlibat langsung menyelesaikan konflik yang terjadi. Pranata (Institutions) Menurut North (1994), pranata atau kelembagaan adalah sebagai aturan yang membatasi perilaku menyimpang menusia, kelembagaan dapat meminimalisasi perilaku manusia yang menyimpang telah berhasil menciptakan ketertiban dan mengurangi ketidakpastian dalam melakukan pertukaran (exchange). Kelembagaan merupakan faktor terpenting dalam mendorong pertumbuhan suatu negara dan kelembagaan berbeda dengan faktor pendidikan, sumber daya alam, penduduk dan teknologi yang dipandang dapat menjelaskan fenomena perbedaan pencapaian kemajuan ekonomi (pertumbuhan ekonom) antarnegara. Jika faktor pendidikan (human capital), sumber daya alam, kepadatan penduduk dan teknologi lebih merupakan faktor sederhana yang dapat dipisahkan dengan realita sosial, maka kelembagaan (rules of the game) justru hidup dan berjalan atas realitas sosial masyarakat. Secara definitif, kelembagaan dapat dipilah dalam dua klasifikasi (Yustika,2006). Pertama, bila berkaitan dengan proses, maka kelembagaan merujuk kepada upaya untuk mendisain pola interaksi antar-pelaku ekonomi sehingga mereka dapat melakukan kegiatan transaksi. Kedua, jika berhubungan dengan tujuan, maka kelembagaan berkonsentrasi untuk menciptakan efisiensi ekonomi berdasarkan struktur kekuasaan ekonomi, politik, dan sosial antar-pelaku. Tugas terpenting dari kelembagaan adalah menciptakan pasar (market-creating) yang dapat melindungi hak kepemilikan dan melaksanakan kontrak. Oleh karena itu, menurut Rodrik dan Subramanian (2003), dalam suatu perekonomian yang berbasis pasar, fungsi terpenting kelembagaan adalah sebagai berikut: (i) meregulasi pasar (market regulating), khususnya untuk mengatasi persoalan99
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
persoalan ekternalitas (externalities), economies of scale dan informasi yang tidak sempurna (imperfectinformation); (ii) menstabilisasi pasar (market stabilizing), yang bertujuan untuk menurunkan inflasi, minimalisasi volatiliotas makro ekonomi, dan mencegah krisis keuangan; dan (iii) melegitimasi pasar (market legitimizing), yakni kebijakan untuk menopang “kegagalan pasar” seperti asuransi dan perlindungan sosial, redistribusi, dan manajemen konflik. Namun kenyataannya dalam kehidupan masyarakat, perlu disadari bahwa kelembagaan yang ada tidak statis, tetapi dinamis sesuai dengan perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan serta perkembangan interaksi ekonomi yang mempertemukan antar kepentingan maupun perubahan nilai-nilai dan budaya masyarakat seiring dengan perubahan jaman. Menurut Yustika (2006), perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi. Pertama, perubahan konfigurasi antar-pelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan (institutional change), artinya perubahan kelembagaan dianggap sebagai dampak dari perubahan kepentingan/konfigurasi pelaku ekonomi. Kedua, perubahan kelembagaan sengaja didesain untuk mempengaruhi (mengatur) kegiatan ekonomi, artinya kelembagaan ditempatkan secara aktif sebagai instrumen untuk mengatur kegiatan ekonomi (termasuk aktor-aktor yang terlibat di dalamnya). Sedangkan arah dari setiap perubahan kelembagaan yaitu menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem sosial yang kompleks. Dengan demikian, perubahan kelembagaan merupakan proses transformasi permanen yang merupakan bagian dari pembangunan. Selanjutnya North (1984) menyatakan bahwa, perubahan kelembagaan menggunakan marginalis standar yang menekankan pada perubahan harga relatif. Digambarkan oleh North bahwa pada kebangkitan ekonomi negara barat menunjukkan perubahan kelembagaan ”datang dari suatu perubahan di dalam daya tawar yang relatif terhadap 100
Perspektif Teori
peraturan yang melawan konstitusi (pemilih) dan pembicaraan yang luas”. North seterusnya mengatakan bahwa perubahan harga relatif digerakkan oleh perubahan demografis, perubahan dalam penyediaan pengetahuan dan perubahan dalam teknologi militer. Dinamika perubahan kelembagaan dalam teori North berakar dari interaksi yang berlangsung terus-menerus antara lembaga-lembaga dan organisasi dalam konteks bersaing ketika sumber-sumber semakin langka. Berdasarkan pemahaman tersebut, perubahan kelembagaan dapat dianggap sebagai proses yang terjadi secara terus-menerus yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas interaksi (ekonomi) antarpelakunya. Ini menunjukkan terjadinya proses transformasi permanen39, maka perubahan kelembagaan dapat menjadi faktor pengaruh utama terhadap perubahan strtuktur dalam sistem sosial tertentu. Jika norma yang mengatur interaksi sosial berubah, maka seluruh pola hubungan sosial dan jaringan sosial yang sudah dikembangkan oleh anggota masyarakat dapat pula berubah. Menurut North (1993) dalam Dharmawan (2001), perubahanperubahan yang berlangsung dengan adanya rintangan-rintangan informal/informal constraint (norma-norma, konvensi, atau kejujuran personal) dapat memberikan implikasi yang sama seperti perubahan dalam peraturan formal masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara bertahap (gradual) dan kadang-kadang secara cepat karena individu mengembangkan pola-pola perilaku alternatif (tindakan ekonomi dan sosial) sebagai respons atas proses evaluasi biaya dan keuntungan baru yang dirasakan. Perubahan kelembagaan sesungguhnya bisa terjadi karena munculnya masalah kelangkaan dan perilaku individu yang sulit ditebak. Kelangkaan di sini tidak sekedar persoalan keterbatasan sumber daya (ekonomi) yang tersedia, tetapi juga keterbatasan aturan main (rules of the game) yang mengakibatkan pelaku ekonomi tidak memiliki akses untuk melakukan transaksi secara sepadan. Demikian pula perubahan kelembagaan juga bisa terjadi dari perubahan tuntutan pemilih (demands of constituents) atau perubahan kekuasaan pemasok 101
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
kelembagaan (suppliers of institutions), yaitu aktor pemerintah. Jadi perubahan kelembagaan dapat terjadi dari sisi permintaan dan penawaran. Perubahan kelembagaan dari sisi bawah (demand) merupakan hasil dari pertarungan antar-pelakunya, sedangkan perubahan kelembagaan dari sisi atas (supply) merupakan hasil regulasi dari pihak-pihak yang memiliki otaritas (misalnya pemerintah). North menyatakan, terdapat tantangan mendasar dalam menciptakan kelembagaan yang efisien (Hira dan Hira,2000), yakni dengan menyingkirkan aspek-aspek informal dengan halangan formal (aligning informal with formal constraint) dan menciptakan serta merawat kebijakan yang akan mendukung tercapainya kelembagaan yang efisien (creating and maintaining a policy that will support adaptively efficient institutions). Menyangkut rintangan yang pertama, North meyakini bahwa masyarakat menilai suatu sistem tersebut adil (fair), kemudian meminjamkan stabilitas informal ke peraturan formal sehingga akan mengurangi masalah tindakan kolektif. Rintangan kedua, North merujuk kepada kebutuhan terhadap adanya transparansi dan akuntabilitas dana dalam rangka mengurangi biaya informasi pemilih (reducing the information cost of the voter). Dalam ekonomi pasar yang semakin terkonsentrasi maka perubahan kelembagaan akan terjadi namun dalam konteks yang negatif. Dimana pelaku ekonomi kecil yang menguasai pasar akan mendikte aturan main (kelembagaan) melalui serangkaian kesepakatan terbatas yang dibuat antar mereka sendiri. Jika proses ini terjadi tanpa upaya untuk menciptakan hambatan formal (formal constraint) dalam wujud regulasi pemerintah, maka perubahaan kelembagaan yang terjadi akan merugikan sebagian pelaku ekonomi. Untuk mengukur tinggi rendahnya social capital seseorang dalam kehidupan masyarakat, dapat dilihat sejauh mana seseorang terlibat dalam pranata yang ada dalam masyarakat yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) bila tujuan seseorang terlibat dalam organisasi hanya sekedar ikut-ikutan dan frekuensi terlibat dalam kegiatan jarang ikut terlibat dan hanya mengikuti tidak lebih 102
Perspektif Teori
dari satu organisasi, maka dapat dikatakan orang tersebut memiliki social capital rendah, (b) bila tujuan seseorang ikut terlibat dalam organisasi untuk menambah pengetahuan dan pengalaman pribadi dan frekuensi keterlibatan kadang-kadang ikut dan mengikuti 2 atau 3 organisasi, ini menunjukkan social capital yang dimiliki seseorang sedang dan (c) bila seseorang mempunyau tujuan terlibat dalam organisasi untuk menambah dan berbagi pengetahuan dan pengalaman antar sesama anggota dengan frekuensi kehadiran sering, terlibat dan mengikuti lebih dari 3 organisasi dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki social capital yang tinggi. Hubungan Timbal Balik (Resiprocity) Resiprositas menunjukkan pada individu yang secara sukarela memberikan manfaat pada orang lain dalam proses pertukaran yang dalam waktu tertentu orang lain diharapkan berbuat serupa. Resiprositas sebagai salah satu elemen social capital senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara hubungan timbal balik seketika seperti dalam proses jual beli, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain), tetapi resiprositas seseorang tidak sebatas mendapat barang atau jasa namun dapat menunaikan kepentingan sosial yaitu berupa penghargaan, baik ketika berperan sebagai pemberi ataupun penerima. Sejalan dengan itu Dalton (1968), menyatakan resiprositas adalah bentuk pertukaran sosial-ekonomi. Dalam pertukaran ini, pemberian dan penerimaan barang atau jasa sebagai kewajiban sosial. Terdapat kewajiban seseorang untuk memberi, menerima dan mengembalikan kembali pemberian dalam bentuk yang sama ataupun berbeda sesuai dengan kesepakatan dan ini memiliki muatan nilainilai, norma dan kepercayaan dari masing-masing individu. Sedangkan menurut Gouldner (2009), resiprositas merupakan kewajiban moral untuk merespon melalui pola timbal balik dari 103
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
seseorang untuk membantu satu sama lain dan menghindari melukai satu sama lain. Dalam komunikasi timbal balik terdapat proses interaksi yakni proses dimana setiap individu menggunakan simbolsimbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dan lingkungan mereka. Norma timbal balik atau resiprositas merupakan norma sosial yang kuat yang menentukan bahwa kita memperlakukan orang lain seperti kita memperlakukan diri kita. Secara sederhana resiprositas merupakan pertukaran timbal balik antar-individu atau antar-kelompok, tetapi Polanyi (1968) menyatakan, karakteristik pelaku pertukaran merupakan rasa timbal balik (resiprositas) sangat besar yang difasilitasi oleh bentuk simetri institusional ciri utama organisasi orang-orang yang tidak terpelajar. Oleh karena itu resiprositas menjadi ciri sistem ekonomi masyarakat sederhana dan tradisional dan distribusi menjadi ciri sistem ekonomi feodal. Menurut Altman dan Taylor (Budyana 2011) bahwa, resiprositas merupakan kumpulan peristiwa-peristawa pelaku tidak perlu adanya penjelasan mengenai peristiwa itu. Bukti dari Cohn dan Strassberg (Budyatna,2011) menguatkan dan menambah penyemarataan efek resiprositas pengungkapan. Pada tahap-tahap awal hubungan resiprositas dianggap penting karena hal ini menunjukkan dan membangun kepercayaan. Seseorang atau banyak orang dari suatu kelompok memiliki semangat membantu yang lain tanpa mengharapkan imbalan seketika. Semangat untuk membantu bagi keuntungan orang lain. Imbalannya tidak diharapkan seketika dan tanpa batas waktu tertentu. Pada masyarakat, dan pada kelompokkelompok sosial yang terbentuk, yang di dalamnya memiliki social capital yang tinggi. Ini akan juga direfleksikan dengan tingkat keperdulian sosial yang tinggi, saling membantu dan saling memperhatikan. Pada masyarakat yang demikian, problem sosial akan dapat lebih mudah diselesaikan. Menurut Sahlins (1974) dalam “Stone Age Economic” menyebutkan, ada tiga bentuk resiprositas, yaitu: resiprositas umum 104
Perspektif Teori
(generalized reciprocity), resiprositas sebanding (balanced reciprocity), dan resiprositas negatif (negative reciprocity). Resiprositas umum (generalized reciprocity), merupakan suatu tindakan dimana satu pelaku memberikan barang atau jasa kepada pihak lain tanpa menentukan batas waktu pengembalian dan masing-masing pihak saling percaya bahwa satu sama lain akan saling memberi dan akan dibalas pada saat mendatang. Tidak ada ketentuan hukum, kecuali nilai moral yang mengatur seseorang untuk memberi atau mengembalikan. Resiprositas sebanding (balanced reciprocity) merupakan pertukaran barang atau jasa yang menghendaki mempunyai nilai banding. Pada pertukaran ini disertai dengan penentuan saat pertukaran berlangsung, waktu untuk memberikan dan menerima serta mengembalikan. Pada pertukaran ini, masing-masing pelaku memerlukan barang atau jasa, namun masing-masing tidak mengaharpkan pemberian nilai lebih banyak dibanding dengan yang sedianya akan diterima, dan norma atau aturan tidak tertulis bermanfaat untuk mengontrol pelakupelakunya dalam bertransaksi, bila terjadi pelanggaran dalam perjanjian hubungan timbal balik akan berakibat pada hukuman atau tekanan moral di komunitasnya, demikian pula bila keputusan untuk melakukan kerja sama, kerja sama yang tumbuh karena rasa kesetiakawanan di dalam komunitas, sehingga menjadi suatu pranata yang harus ditaati antara para pelaku. Resiprositas negatif (negative reciprocity) ini merupakan hubungan timbal balik seperti dalam mekanisme harga di pasar atau jual beli, dimana antara penjual dan pembeli masing-masing sepakat, pembeli sepakat dengan harga yang ditetapkan penjual dan penjual sepakat pula barang atau jasa yang dijual dengan harga yang telah disepakai oleh pembeli barang atau jasa. Berdasarkan perpektif Weber dan Bourdieu terhadap nilai-nilai
Gus-Ji-gang bagi masyarakat Kudus dalam kehidupan sehari-hari dapat digambarkan pada Gambar 2.1 di bawah ini:
105
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Konseptual CATATAN-CATATAN KAKI 1
Max Weber, The Protestant Ethic and the spirit of Capitalism , translated by Talcott Parsons.(New York: Charles Scribness Son‟s, 1958), hlm.35.
2
Anthony Giddens,Kapitalisme dan Teori Sosial Modern;Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan untuk edisi Indonesia oleh Suheba Kamadibrata, (Jakarta: UI Press, 1985),hlm.153.
106
Perspektif Teori
3
Bryan S.Tuner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis Atas Tesa Sosiologi Weber, diterjemahkan oleh GA Tocialu, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), hlm.7.
4
Dwi Suyono, ”Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan”. (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 247.
5
Ajat Sudrajat.”Etika Protestan dan Kapitalisme Barat, Relevansinya dengan Islam Indonesia”. (Jakarta:Bumi Aksara,1994).hlm.53.
6
Stanislav Anderski,”Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama”. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989).
7
Konsep panggilan dalam agama Protestan adalah untuk membuat urusan-urusan biasa dari kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama. Panggilan bagi seseorang adalah suatu usaha yang dilakukan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, dengan cara perilaku yang bermoral dalam kehidupan sehari-hari. Panggilan adalah konsep agama tentang suatu tugas yang telah ditetapkan Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas dimana seseorang harus bekerja. Ajat Sudrajat,”Ethika Protestan dan Kapitalisme Barat, Relevansinya dengan Islam Indonesia”,(Jakarta:Bumi Aksara,1994),hlm.1.
8
McClearly,” Rachel Religion and Economy”, Journal of Economic Perspective 20,2(2006), hlm 49-72.
9
Kurt Samuelson, Religion and Economic Action: A Critique of Max Weber. (New York;Harper Torch Books and Row Publication,1964),hl,.68-69.
10
Agama merupakan cara-cara yang sangat indah, yang telah dipergunakan secara bersama-sama oleh aneka umat manusia sejagat raya untuk meningkatkan pengetahuan dan cintanya yang mendalam kepada Tuhan. Baca Ajat Sudrajat ”Etika Protestan dan Kapitalisme Barat Relevansinya dengan Islam Indonesia”. (Jakarta:Bumi Aksara.1994).hlm.12.
11
Syah Nawab Haider Naqvi. ”Etika dan Ilmu Ekonomi: suatu Sintesa Islami” diterjemahkan oleh Husin Anis dan Asep Hidayat, (Bandung: Mizan,1985).hlm.11.
12
Diadaptasi oleh Weber dari Faust, Adegan I. Goethe yang menggambarkan Mephistopheles sebagai: ”die Kraft, die state das Bose will, und stets das Gute Schafft”-catatan terjemahan I.dalam Max Weber.”Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme”.(Pt.Pustaka Promethea,2003) cet.kedua 2003), hlm.253.
13
Carlo Antoni,” Pandangan Tentang Agama dan Kelas”, dalam Dennis Wrong. (Ed).” Max Weber Sebuah Khasanah” (Jogyakarta: Ikon Teralitera, 2003), hlm.210.
14
Patriarki digunakan untuk mendiskripsikan dominasi laki-laki atas perempuan, sebuah dominasi yang muncul dalam berbagai macam masyarakat serta untuk menjelaskan jenis pengorganisasian rumah tangga yang didalamnya laki-laki tertua akan mendominasi seluruh anggota rumah tangga, termasuk atas laki-laki yang lebih muda. Baca lebih lanjut, Nicholas Abercrombie,dkk “Kamus Sosiologi” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hlm.406.
107
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
15
Asniah.”Ambiguitas dalam implementasi Konfusianisme dalam Modernisasi di Korea Selatan”. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2006).hlm.45.
16
Calhoun.”Clasical Sosiologcal Theory”.(Massacusetts:Blackwell Published, 2002). hlm.43.
17
Michio Morishima.”Why Has Jepang Succeeded:Western Technology and the Japanse Ethos”.(Cambridge:Cambridge University Press,1982),hlm.56
18
Changkhwanyuen Preecha, ”Budhist Analysis of Capitalim”. The Chulalongkorn Journal of Budhist Studies 3,2 (2006). hlm.247-259.
19
Bryan S.Tuner.Relasi Agama & Teori Sosiologi Kontemporer:.Terj.”Inyiak Ridwan Muzir (yojakarta:IRCiSoD,2012), hlm.29.
20
BryanS.Turner. ”Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber”. Terj.”G A.Ticoalu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1984).hlm.13-14.
21
Taufik Abdullah.”Islam dan Masyarakat”. (Jakarta:LP3ES,1996)
22
Ibid,10.
23
Ajat sudrajat.”Etika Protestan dan Kapitalisme Barat Relevansinya dengan Islam Indonesia”. Jakarta: Bumi Aksara, 1994).hlm.112.
24
Hans-Dieter Evers (ed). ”Modernixation in South-East Asia”.(London:Oxford University Press.1973),hlm.160.
25
Syed Nawab Haider Naqvi. ‟Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesa Islami”. terj. Husein Anis danase Hikmat.(Bandung:Mazan,1995).hlm.112-113.
26
Pierre Bourdieu lahir tahun 1930 di Bearn Perancis. Dia mempelajari filsafat di Ecole Normale Superiure di Paris sebelum memulai kerjanya di bidang antropologi dan sosiologi. Ia lalu menjabat Dekan Sosiologi di College de France yang prestisius dan menjadi Direktur Penelitian di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales en Sciences Sociales dan Direktur Centre de Sociologie Erupeene.
27
V.N Volosinov.”Marxisme and the Philosophy of Language, diterjemahkan oleh L.,Matejka dan I.R.Titunik (Cambridge, Mass:Harvard University Press,1996), hlm 49. Volosinov mempertentangkan „subjektivisme individualistik‟ dengan „objektivisme abstrak‟, bersesuaian secara umum dengan linguistik struktural.
28
Habitus sebagai gagasan, tidaklah diciptakan sendiri oleh Bourdieu, namun merupakan gagasan filosofis tradisional yang ia hidupkan kembali (Warquant,1998, Ritzer dan Goodman,2010:581). Dalam tradisi filsafat, habitus diartikan sebagai kebiasaan yang sering disebut dengan habitual yakni penampilan diri, yang menampak (appearance); tata pembawaan terkait dengan kondisi tipikal tubuh seperti, cara kita makan, berjalan, berbicara, dan bahkan dalam cara kita membuang ingus kita. Lihat,Bourdieu dalam Arizal Mutahir (2010),“Intelektuan Kolektif Pierre Bourdieu,Sebuah Gerakan untuk melawan Dominasi‟ hal.62. … mendefinisikan habitus adalah sistem yang tahan lama (durable) dan disposisi yang dapat berubah–ubah (transposable) menyangkut apa yang kita terima, nilai dan
108
Perspektif Teori
cara bertindak dalam dunia sosial atau pengalaman bersama yang dimiliki bersama oleh agen sebagai subyek meskipun agen mempunyai keunikan masing-masing. 29
Richard Jenkes.Pierre Bourdieu,(Routledge.New York,USA,1992).hlm.67.lihat juga Richard Harker,Cheleen Mahar,Chris Wilkes (ed).(Habitus X Modal) + Ranah = Praktik, Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, terjemahan Pipit Maizier, (Yogyakarta: Jalasutra. 2005).hlm.19
30
Haryatmoko, 2003. Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa.Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu, Basis No.11-12 Tahun ke 52, NopemberDesember 2003, hlm.11.
31
Richard Harker,Cheleen Mahar, Chris Wilkes (ed).” (Habitus X Modal)+ranah= Praktik. Pengantar Paling Komprehensif kepada pemikiran Pierre Bourdieu”, terjemahan Pipit Maizier, (Jalasutra, Yogyakarta, 2005),hal. 46.
32
Ranah atau arena (field) adalah sebagai ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, yang terlepas dari kaidah politik dan kaidah ekonomi, Selanjutnya baca Pierre Bourdieu: Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Peterjemah Yudi Santoso. (Kreasi Wacana Offset, cet kedua,Agustus 2012),hal xvii-xviii.
33
Swartz, David. “Culture and Power:The Sociology of Pierre Bourdieu. (Chicago:University of Chicago.1997). pp.117.
34
Suma Riella Rusdiarti, ”Bahasa, Pertarungan dan Kekuasaan”, dalam Basis,Nomor 1112.Tahun ke 52,Nov-Des 2003; hlm.33.
35
„is intrinsically defined by its tempo”, Baoudieu,1997.Outline of Theory of Practice, translated Richard Nice,Cambridge University Press,USA,hlm.8.
36
Struktur sosial di sini diterjemahkan sebagai: (i) seperangkat unit-unit sosial (posisiposisi) yang mempunyai perbedaan tipe-tipe sumber daya yang bernilai; (ii) secara hirarkhis berhubungan relatif dengan pemilik otoritas (kontrol dan akses terhadap sumber daya); (iii) bagian tertentu atas aturan-aturan (rule) dan prosedur dalam memanfaatkan sumber daya; dan (iv) dipercaya kepada pelaku (agents) untuk bertindak berdasarkan aturan-aturan dan prosedur tersebut.Untuk selanjutnya baca, Nan Lin,Social Capital: A Theory of Structure and Action, (Cambridge University Press,Cambridge, UK.2001).hlm.23.
37
Kapital sosial adalah serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama di antara mereka. Diambil dari Fukuyama (The Great, 1999).
38
Tranformasi permanen merupakan kesadaran bahwa aspek-aspek sosial terus berkembang sebagai respons dari perubahan pada bidang-bidang lainnya, seperti ekonomi, budaya, politik, hukum, dan sebagainya.
109