BAB 3 BAKTERIOLOGI KEDOKTERAN Salmonella typhi
Materi Kegiatan belajar 1. Tinjauan Umum Salmonella typhi 2. Morfologi Salmonella typhi 3. Fisiologi Salmonella typhi 4. Klasifikasi dan Identifikasi Salmonella typhi 5. Antigen Salmonella typhi 6. Flagella sebagai Alat Motilitas 7. Biodiversitas Gen Flagellin 8. Tinjauan umum Demam tifoid 9. Distribusi Demam Tifoid 10. Patogenesis Demam Tifoid 11. Gambaran Klinis Demam Tifoid 12. Faktor Resiko Demam Tifoid 13. Diagnosis Demam Tifoid 14. Pencegahan 15. Pengobatan Tujuan Kegiatan Belajar Tujuan Umum : Peserta didik dapat menjelaskan kembali dengan benar tentang Tujuan Khusus Setelah Mengikuti Kuliah ini, Mahasiswa mampu: 1.
Menjelaskan Tinjauan Umum Salmonella typhi
2.
Menggambarkan morfologi Salmonella typhi 11
3.
Menjelaskan Fisiologi Salmonella typhi
4.
Menyusun Klasifikasi dan Identifikasi Salmonella typhi
5.
Menjelaskan Antigen Salmonella typhi
6.
Menggambarkan Flagella sebagai Alat Motilitas
7.
Menjelaskan Biodiversitas Gen Flagellin
8.
Menjelaskan Tinjauan umum Demam tifoid
9.
Menjelaskan Distribusi Demam Tifoid
10.
Menjelaskan Patogenesis Demam Tifoid
11.
Menjelaskan Gambaran Klinis Demam Tifoid
12.
Menjelaskan 6 Faktor Resiko Demam Tifoid
13.
Menjelaskan Diagnosis Demam Tifoid
14.
Menjelaskan Cara Pencegahan demam tifoid
15.
Menjelaskan Cara Pengobatan demam tifoid
1. Tinjauan Umum Salmonella typhi Salmonella enterica serovar Typhi atau kemudian dikenal sebagai Salmonella typhi adalah bakteri patogen penyebab demam tifoid yakni penyakit infeksi akut yang bersifat sistemik pada usus halus dengan gejala klinik utama adalah demam yang berkepanjangan, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan susunan saraf pusat/gangguan kesadaran (Gasem, 2002 ; Kwenang, 2007). Piere Luis (1829) memberikan nama typhos, berasal dari bahasa dari bahasa Yunani yang berarti smoke, karena terjadinya penguapan panas tubuh serta gangguan kesadaran disebabkan demam tinggi. A. Pfeifer pertama kali berhasil menemukan Salmonella dalam
12
feses penderita, kemudian dalam urine oleh Hueppe dan dalam darah oleh R. Neuhauss (Rampengan dan Laurentz, 1997 dalam Karim, 2005). Dosis oral infeksi Salmonella typhi hingga dapat menimbulkan gejala infeksi klinis antara 1000-1.000.000 organisme. Infeksi bakteri ini ditularkan melalui komsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi feces. Faktor penularan penyakit ini juga dapat melalui komsumsi makanan dan minuman jajanan, sayuran dan buah-buahan mentah yang pemupukannya menggunakan limbah (Bhan, et al, 2005). 2. Morfologi Salmonella typhi Salmonella typhi merupakan bakteri berbentuk batang yang motil,
pada
pewarnaan gram bersifat Gram negatif, ukuran 1-3,5 µm x 0,5-0,8 µm, diameter 0,4 – 0,6 µm, besar koloni rata-rata 2-4 mm, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, dan bergerak dengan peritrichous flagella (flagella peritrikosa).
Gambar 3. Morfologi S. typhi (Sumber: Parkhill et al., 2001)
13
Struktur dinding sel S. typhi memiliki membran sitoplasma yang dikelilingi oleh lapisan peptidoglikan yang disebut lapisan murein dan terdiri dari rantai panjang ikatan disakarida yang berulang. Rantai gula berikatan dengan oligopeptida. Lapisan ketiga yang terdapat di luar membran tersusun atas fosfolipid dua lapis pada bagian lipopolisakarida (LPS). Lipopolisakarida tersusun atas dua bagian, dari luar : Lemak (Lipid A) terdapat pada membran, sebuah selubung dan gula pada rantai oligosakarida. Bentuk akhirnya disebut antigen O. Lipid A memiliki tingkat toksisitas yang cukup tinggi (endotoksin) dan menyebabkan efek demam dan syok serta septikemia (Kwenang, 2007). 3. Fisiologi Salmonella typhi Salmonella typhi bersifat anaerob fakultatif, tumbuh pada suhu 15 – 41 0C (suhu pertumbuhan optimum 37,5 0C) dan pH pertumbuhan 6-8, selain itu S.typhi dapat bertahan pada kondisi dingin (makanan yang didinginkan). S.typhi dapat tumbuh pada medium sintetik sederhana tanpa faktor tumbuh khusus. Pada medium sintetik, bakteri ini dapat menggunakan garam amonium, glukosa, piruvat, laktat, sitrat sebagai sumber nitrogen dan karbonna. S. typhi menfermentasi glukosa tanpa pembentukan gas (non aerogenik). Bakteri ini memiliki kandungan G+C DNA berkisar dari 50-53 mol (Pelczar dan Chan, 2006).
Gambar 4. Koloni Salmonella typhi pada medium SSA 14
S.typhi
merupakan angggota enterobacteriaceae yang tidak menfermentasi
laktosa namun diketahui positif menfermentasi manitol dan sarbitol. Salmonella typhi tidak menghasilkan indol, namun bersifat motil dalam reaksi uji indol motilitas dalam medium Sulfite Indol Motility (SIM). Selain itu S.typhi memberikan reaksi negatif pada tes urease. Bakteri ini dapat menghasilkan hidrogen sulfida (H2S), akan tetapi tidak dapat tumbuh pada medium yang mengandung KCN. Salmonella typhi tahan terhadap alkohol dan asam. Di alam bebas seperti air, tanah atau pada bahan makanan, bakteri ini dapat bertahan hidup lebih lama. Dalam feses di luar tubuh manusia, bakteri ini dapat bertahan hidup antara 1 – 2 bulan. Sedangkan dalam air susu dapat berkembang biak dan hidup lebih lama sehingga sering merupakan faktor utama penularan penyakit demam tifoid (Entjang, 2003). 4. Klasifikasi dan Identifikasi Salmonella typhi Klasifikasi Salmonella sangat kompleks karena organisme ini biasanya lebih merupakan sebuah kesatuan rangkaian dibanding spesies tersendiri. Kelompok bakteri ini biasanya diklasifikasikan menurut dasar epidemiologi, jenis inang, reaksi biokimia, dan struktur antigennya. Studi tentang DNA hibridisasi memperlihatkan bahwa struktur antigen spesies-spesies dari genus Salmonella jauh lebih kompleks daripada struktur antigen dari spesies Shigella. Antigen Salmonella terdiri atas banyak sekali serotipe dan banyak laboratorium yang terekomendasi secara nasional ataupun internasional menggunakan formula antigenik untuk penamaan sub species dari genus Salmonella (Brooks et al., 2005). Klasifikasi Salmonella typhi menurut Garrity (2000) dalam Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology: Kingdom : Procaryotae Phylum
: Proteobacteria
Classis
: Gammaproteobacteria
Ordo
: Enterobacteriales 15
Familia
: Enterobacteriaceae
Genus
: Salmonella
Species
: Salmonella typhi Berdasarkan Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Garnity, 2000),
Pada medium Salmonella Shigella Agar (SSA), Eosin Methylene Blue (EMBA) dan MacConkey, koloni berbentuk bulat kecil dan tidak berwarna sedangkan pada agar Wilson Blair, koloni patogen ini berwarna hitam berkilat akibat pembentukan H2S (Brooks et al, 2005). 5. Antigen Salmonella typhi Antigen yaitu bahan yang dapat bereaksi dengan produk respon imun dan merupakan sasaran respon imun. Antigen sangat berfungsi dalam pembentukan antibodi. Hal-hal yang mempengaruhi antigen adalah berat molekul benda asing yang tinggi, namun berat molekul 5000 dalton dianggap sebagai berat molekul terendah yang dapat memberikan sifat antigenik. Protein dan karbohidrat digolongkan sebagai antigen yang sangat baik karena memiliki berat molekul tinggi, sedangkan yang kurang efektif tetapi masih antigenik adalah asam nukleat dan lipid (Kresno, 2001., Baratawidjaya, 2000). Pada suatu molekul antigen terdapat beberapa tempat di permukaannya yang dapat bereaksi secara khas dengan antibodi, tempat ini disebut determinan antigenik. Karakteristik antigen yang dapat menentukan sifat imunogenitas
respon imun
adalah (Jawezt, et.al., 2005): a. Asing Pada umumnya zat atau molekul yang dikenal sebagai self tidak bersifat imunogenik untuk menimbulkan respon imun, tetapi molekul bersifat nonself. b. Ukuran molekul
16
Imunogen yang paling poten biasanya protein berukuran besar. Umumnya berat molekulnya kurang dari 10.000 dalton kurang bersifat imunogenik dan sangat kecil tidak bersifat imunogenik. c. Kompleksitas kimiawi dan struktural Jumlah tertentu kompleksitas kimiawi diperlukan misalnya homopolimer asam amino kurang bersifat imunogenik dibandingkan dengan heteropolimer yang mengandung dua atau tiga asam amino yang berbeda. d. Determinan antigenik (epitop) Unit kecil dari suatu antigen kompleks dapat diikat oleh antibodi disebut dengan epitop. Antigen mempunyai satu atau lebih determinan. Pada umumnya, suatu determinan mempunyai ukuran lima asam amino atau gula dengan ukuran secara kasar. e. Tatanan genetik penjamu Dua strain binatang dari spesies yang sama dapat merespon secara berbeda terhadap antigen yang sama karena perbedaan komposisi gen respon imun. f. Dosis, cara dan waktu pemberian antigen Derajat respon imun tergantung pada banyaknya antigen yang diberikan, respon imun dapat dioptimalkan dengan cara menentukan dosis antigen dan cara pemberian
serta waktu
pemberian dengan cermat. S. typhi adalah salah satu spesies dari famili Enterobacteriaceae yang mempunyai 3 macam antigen (Gambar 4), yaitu (Davis., et al, 1998; Abhyankar, 2002; McQuinston, 2004) : 1. Antigen somatik (Antigen O) Antigen somatik terdiri dari lipopolisakarida yang mengandung glukoasamin dan terdapat pada badan atau dinding sel bakteri yang dinyatakan dengan symbol O. Huruf O berasal dari kata “Ohne Hauch” dalam bahasa Jerman yang berarti tanpa film. Antigen somatik terdiri dari lebih 60 jenis antigen. Antigen somatik stabil terhadap pemanasan (tidak terpengaruh 17
oleh pemanasan pada 100oC selama 2,5 jam), stabil terhadap alkohol (dengan perlakuan 96% ethanol pada 37oC selama 4 jam) dan juga stabil terhadap asam. Pemanasan menghancurkan flagella dan antigen fimbrial, sementara alkohol memisahkan flagella. Kedua prosedur ini dapat digunakan untuk menyiapkan suspensi bakteri yang menggumpal dengan antibodi-O bukan dengan antibodi-H. Antigen O tidak terpengaruh dengan 0,2% formaldehyde menyebabkan bakteri tidak menggumpal oleh antibodi-O. Lipopolisakarida (LPS) yang dikandung oleh antigen O ini merupakan faktor virulen dan antigen penting S. typhi. Antibodi terhadap LPS antigen O berhubungan erat dengan infeksi sebelumnya, tetapi tidak berkaitan dengan proteksi tubuh terhadap infeksi S. typhi, antibodi yang dibentuk terutama IgM. 2. Antigen Flagella (Antigen H) Antigen H atau flagella adalah suatu protein yang disebut flagellin dan bersifat tidak tahan panas, fenol, atau alkohol tetapi tahan terhadap formalin. Huruf H berasal dari “Hauch” dalam bahasa Jerman yang berarti film, yaitu suatu ciri pertumbuhan bakteri yang mempunyai flagella. Antigen ini motil dengan flagella dan bersifat termolabil. Pemanasan pada 60oC menyebabkan pemisahan flagella bakteri dan bekerja lebih baik dengan pemanasan pada 100oC selama 30 menit. Antigen H juga mengandung beberapa unsur imunologik.. Protein flagel yang dikenal sebagai antigen H merupakan struktur kompleks terdiri dari polimerisasi komponen protein yang disebut Flagelin dengan berat molekul berkisar antara 51-57 kilodaltons (kDA). Flagelin ini bertanggung jawab terhadap aktivitas antigen flagella.
18
Keterangan : 1. Antigen H yang terdapat pada flagella 2. Antigen O yang terdapat pada dinding sel 3. Antigen Vi yang terdapat pada kapsul
Gambar 5. Morfologi dan struktural antigen Salmonella sp
3. Antigen kapsular (Antigen Vi) Antigen Vi adalah antigen kapsular yang dinyatakan dengan symbol Vi yang merupakan polimer dari polisakarida yang bersifat asam, terdapat pada permukaan dari tubuh bakteri. Hampir semua strain S. typhi membentuk antigen Vi sebagai lapisan pelindung diluar dinding selnya. Antigen Vi tidak aktif terhadap pemanasan dan dapat dihilangkan dengan pemanasan suspensi pada 100oC selama 1 jam dan pemisahan bakteri dengan sentrifugasi, antigen Vi biasanya terpisah tanpa pemanasan. Bakteri yang mempunyai antigen Vi ternyata lebih virulen baik terhadap binatang maupun manusia. Antigen Vi juga menentukan kepekaan kuman terhadap bakteriofaga dan dalam laboratorium sangat berguna untuk diagnosis cepat bakteri S. typhi yaitu dengan cara tes agglutination slide (Widal test) dengan Vi antiserum. 19
6. Flagella sebagai Alat Motilitas Beberapa jenis bakteri bersifat motil, yaitu dapat bergerak karena mempunyai organ yang disebut flagella (tunggal: flagellum) yang terdapat pada permukaan sel. Flagella pada bakteri pertama kali dilihat pada Chromatium okenii oleh Christian Ehrenberg pada tahun 1836, seorang ahli pengetahuan alam dari Jerman dan pada tahun 1872 Ferdinand Cohn juga melihatnya pada Spirillium volutanns. Flagella adalah bagian bakteri yang berbentuk seperti benang, yang umumnya terdiri dari subunit protein yang disebut flagellin dengan diameter 12-30 nanometer. Flagella merupakan alat pergerakan pada bakteri. Spesies yang berbeda memiliki jumlah dan susunan flagella yang berbeda, hal ini mempengaruhi cara berenang dalam bakteri dalam suatu cairan. Berdasarkan letak dan jumlah flagella bakteri, dikelompokkan menjadi 4 yaitu sebagai berikut: 1. Monotrik yaitu memiilki flagellum tunggal 2. Lopotrik yaitu memiliki seberkas flagella pada salah satu ujung tubuhnya 3. Amfitrik yaitu memiliki flagella, baik tunggal maupun sekelompok pada kedua ujung. 4. Peritrik yaitu memiliki flagella di sekeliling seluruh permukaan selnya.
Gambar 6. Penataan flagella bakteri : A. Monotrik; B.Lofotrik; C. Amfitrik; 20
D.Peritrik; (Sumber: Kohler, 2005)
Flagellum
(jamak: flagella) merupakan rambut yang teramat tipis mencuat
menembus dinding sel dan bermula dari tubuh dasar, suatu struktur granular tepat dibawah membran sel di dalam sitoplasma. Flagellum bakteri terdiri atas 3 bagian utama yaitu : 1. Basal body (tubuh dasar), terdiri dari beberapa bentuk komponen cincin yang koaksial (dengan sumbu yang sama) pada bagian sentral. Bagian ini merupakan motor flagella yang tertanam pada membran dalam dari bakteri, yang terdiri dari rotor dan stator. Stator tersusun dari 2 protein yakni MotA dan MotB yang melekat pada membran dalam. Dua protein lain yakni cincin S dan cincin M membentuk rotor di dalam kompleks stator silindris. Tenaga putaran dihasilkan diantara rotor dan stator oleh aliran atau gerakan proton dari luar ke dalam sel. 2. Hook (kail), merupakan struktur proteinaceous yang berbentuk lekukan. Bagian ini merupakan gabungan antara tubuh dasar dan filamen, berukuran sekitar 50-10 mm, bertindak sebagai baling-baling dari mikroba. 3. Propoller, merupakan filamen berbentuk heliksyang merupakan tabung kosong dengan ketebalan 20 nm dan panjang 10-15 µm yang tersusun dari protein tunggal yaitu flagellin (fliC). Ada sekitar 30.000 sub unit flagellin pembentuk filamen dan pada ujung filamen terdapat cap protein kompleks. Filamen heliks terdiri dari 11 subunit flagellin bergulung bersama-sama membentuk struktur yang kompak. (Kohler, 2005). Sub unit filamen sikemas secara kuat dalam protofilamen type-R. Tidak ada bakteri wild type yang mempunyai filamen lurus, karena tidak akan menjadi propoller yang efektif. Propoller yang efektif adalah yang membentuk kumparan, yakni propoller yang melipat atau menggulung. Bagian pusat dari flagellin hipervariabel ~350 bp telah dijadikan sebagai pengkode karakter antigen filamen flagella.
21
Jika bakteri berpindah atau bergerak ke depan, maka dapat dikatakan bakteri “berlari”. Dalam hal ini beberapa filamen flagella terikat bersama-sama sehingga menghasilkan kekuatan yang memungkinkan bakteri bergerak ke arah yang lebih spesifik. Pergerakan bakteri sangatlah cepat, kadang-kadang mencapai 100 µm perdetik sebanding dengan 3000 kali panjang selnya permenit. Bakteri bergerak dengan cara memutar flagella (layaknya baling-baling perahu) yang mendorong sel melintasi medium. Flagella berputar dengan kecepatan 3000 putaran permenit. Letak flagella mempengaruhi pergerakan bakteri. Bakteri polar atau lofotrik pergerakannya hanya satu arah sedangkan bakteri peritrik berputar ke segala arah, sehingga seakan akan meloncat dari satu tempat ke tempat lain.
Gambar 7. Struktur dasar flagellum bakteri S.typhi (Sumber: Kohler, 2005)
Pergerakan dengan menggunakan flagella disebut juga pergerakan sejati sedangkan pergerakan yang disebabkan oleh pergerakan/benturan molekul air disebut pergerakan Brown (Brown motion). Pergerakan Brown, gerakannya tidak teratur dan tidak terarah sedangkan bakteri yang bergerak dengan flagella melaju ke arah tertentu.
22
Organel ini sangat halus sehingga tidak dapat dilihat langsung melalui mikroskop medan terang. Flagella dapat dilihat dengan diwarnai dengan pewarnaan khusus, yaitu fukhsin basa dengan asam tanat sebagai mordan. Sebagai pendekatan untuk mengetahui suatu bakteri mempunyai flagella ditandai dengan
kemampuan bergerak pada medium
semi solid. Media yang biasa digunakan yaitu SIM (Sulfit Indol Motility) (Kohler, 2005). 7. Biodiversitas Gen Flagellin
Biodiversitas adalah suatu istilah yang mencakup semua bentuk kehidupan, yang secara ilmiah dapat dikelompokkan menurut skala organisasi biologisnya, yaitu mencakup gen, spesies tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme serta ekosistem dan proses-proses ekologi dimana bentuk kehidupan ini merupakan bagiannya. Dapat juga diartikan sebagai kondisi keanekaragaman bentuk kehidupan dalam ekosistem atau bioma tertentu. Keanekaragaman hayati seringkali digunakan sebagai ukuran kesehatan sistem biologis. Biodiversitas tidak terdistribusi secara merata di bumi, wilayah tropis memiliki biodiversitas yang lebih kaya, dan jumlah biodiversitas terus menurun jika semakin jauh dari ekuator. Biodiversitas yang ditemukan di bumi adalah hasil dari miliaran tahun proses evolusi. Biodiversitas terbagi atas 3 jenis yakni: Biodiversitas ekosistem, biodiversitas spesies dan biodiversitas genetik (Leveque, & Mounolou. 2003). Biodiversitas genetik merupakan variasi genetik di dalam setiap spesies yang mencakup aspek biokimia, struktur dan sifat organisme yang diturunkan secara fisik dari induknya dan dibentuk dari DNA. Ada beberapa faktor yang sangat berperan dalam biodiversitas genetik misalnya mutasi, rekombinasi, seleksi alam dan perkawinan (Leveque, & Mounolou. 2003). Flagella merupakan komponen dari sel yang berperan dalam motilitas bakteri termasuk Salmonella. Salah satu aspek spesifik dari genus Salmonella adalah adanya dua gen flagellin fliC dan fljB yang letaknya terpisah dalam kromosom, diekspresikan melalui sistem variasi fase dan menentukan spesifitas antigen flagella fase 1 dan fase 2. Sejumlah antigen flagella, termasuk diantaranya complex, dapat dijumpai dalam kedua fase tersebut dan kombinasi antigen tersebut telah digunakan untuk sejumlah serovar atau serotype
23
Salmonella (lebih dari 2.000) pada kelompok yang berbeda yang masing-masing dibedakan berdasarkan kombinasi antigen lipopolisakarida somatiknya. Biodiversitas gen fliC juga dijumpai pada gen flagellin dari Salmonella typhi. Serotype flagella Salmonella typhi secara umum di seluruh dunia adalah serotipe H1-d. Meskipun demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia juga ditemukan antigen yang berbeda yakni H1-j serta Z66 (Baker et al, 2007). Antigen flagellar H1 dikode oleh lokus fliC gen flagellin Salmonella
yang
mengandung urutan DNA untuk subunit protein flagellum bakteri. Lokus H1-d dan H1-j sangat homolog kecuali untuk delesi 261-bp dalam lokus H1-j fliC.
Gambar 8. Skema perubahan antigen Hi-d menjadi antigen Hi-j akibat delesi 261 bp melalui rekombinasi.
Delesi ini nampaknya terjadi melalui rekombinasi yang diperantarai oleh pengulangan 11-bp pada ujung fragmen 261-bp dalam lokus H1-d gen flagelin. Perbedaan kecil dalam genotip lokus fliC dari strain-strain tersebut dapat mempengaruhi patogenitas S. typhi jika dihubungkan dengan perubahan fenotip (Baker, et al, 2008). 24
Polimorfisme antigen flagella terjadi akibat akumulasi proses genetik dalam gen flagella, misalnya point mutation, delesi, dan insersi, sebagai fenomena yang dapat menggambarkan transfer material genetik secara lateral yang menghasilkan rekombinasi interspesifik antara gen-gen flagellin. Selain proses-proses tersebut, interaksi antara gen fliC dan fljB juga dianggap salah satu penyebab diversitas antigen serovar Salmonella, karena genus ini ditandai oleh dua gen flagellin. Fungsi flagella dapat berhubungan dengan motilitas flagella dan kemotaksis yang membawa bakteri kontak langsung dengan sel host (sel epitelia). Jika fungsi motilitas serotip H1-j berkurang sebagai akibat perubahan fungsi flagellar, maka daya invasif dan tingkat penyakit klinis dapat juga berkurang. Penurunan motilitas isolasi H1-j merupakan suatu kontributor penting pada penurunan invasifnya (Tomita, et al. 1982). Dibandingkan dengan serotip H1-j, serotip H1-d menyebabkan penyakit klinis yang lebih berat dan juga lebih motil dan invasif seperti dilaporkan oleh Grossman, et al (1995). Keinvasivan berhubungan dengan fungsi flagella karena untuk invasi bakteri membutuhkan kontak langsung dengan permukaan sel inang, perlekatan pada reseptor permukaan sel dan kemudian masuk ke dalam sel melalui endositosis (Zeng, et al, 2003). Seperti dijelaskan oleh Brooks et al., (2005), proses invasi suatu patogen pada inang mekanismenya mencakup kolonisasi (perlekatan dan awal multiplikasi), kemampuan melewati mekanisme pertahanan host dan menghasilkan substansi ekstraseluler yang memfasilitasi proses invasi. Invasi ditentukan oleh suatu protein invasion dan mekanisme forced phagocytosis. 8. Tinjauan Umum Demam Tifoid Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang ditandai dengan demam yang berkepanjangan (lebih dari satu minggu), gangguan saluran cerna dan gangguan kesadaran (Ferri, 2004). Beberapa jenis Salmonella lain diantaranya Salmonella enteriditis yaitu Salmonella enteriditis serotipe paratyphi A atau S.paratyphi A, Salmonella enteriditis serotipe paratyphi B atau S.paratyphi B, Salmonella enteriditis serotipe paratyphi C atau S.
25
paratyphi juga menyebabkan demam pada manusia yang disebut demam paratifoid dengan gejala yang cenderung lebih ringan (Bhutta, 2006). Masyarakat awam mengenal penyakit ini dengan istilah typhus, tetapi dalam dunia kedokteran disebut typhoid fever atau typhus abdominalis. William Budd (1856-1973) memperkenalkannya demam tifoid sebagai penyakit menular yang cara penyebarannya terutama melalui proses pencernaan makanan, susu dan air yang tercemar feses penderita. 10. Distribusi Demam Tifoid Demam tifoid merupakan penyakit endemik di negara berkembang. Sanitasi yang buruk dan fasilitas pengolahan limbah yang tidak memadai, adanya strain yang resisten terhadap antibiotika, lambatnya diagnosa, dan belum adanya vaksin yang benar-benar efektif merupakan penyebab penyakit ini banyak ditemukan di negara berkembang (Chanh, 2004;Nandagopal, 2010). Penyakit ini masih merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada manusia (Hatta & Smith, 2007). Menurut data WHO (2003) memperkirakan lebih dari 16 juta kasus deman tifoid terjadi setiap tahunnya di seluruh dunia dengan angka kematian lebih dari 16 juta jiwa dan kebanyakan insiden ini terjadi di negara-negara berkembang di kawasan Asia Afrika dan Afrika. Tingkat mortalitas akibat demam tifoid bervariasi pada tiap daerah dengan angka kematian tertinggi (lebih dari 12-13%) dilaporkan terjadi di Indonesia, Nigeria dan India (Chanh et al., 2004). Demam tifoid sudah menjadi endemik di Indonesia, penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang No6 tahun 1962 tentang wabah. Walaupun demam tifoid tercantum dalam UU wabah dan wajib dilaporkan, data yang lengkap belum ada sehingga gambaran epidemiologisnya belum diketahui secara pasti (Santoso, 2005). Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan prevalensi 358-810/100.000 pada tahun 2007 dan 64% diantaranya berumur 3-19 tahun. Insidensi di daerah pedesaan diperkirakan 358 / 100.000 penduduk /tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk / tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. 26
Keadaan ini dihubungkan dengan kepadatan penduduk, higiene perorangan, sanitasi lingkungan, status imunologis dan status gizi masyarakat. Sulawesi Selatan merupakan salah satu propinsi di Indonesia dengan prevalensi demam tifoid yang cukup tinggi. Berdasarkan data Depkes RI (2007) dalam Hatta & Ratnawati, (2008), pada tahun 1991 terdeteksi 257/100.000 kasus dan meningkat menjadi 386/100.000 tahun 2007.
Gambar 1.
Peta insiden rate (IR) kabupaten/kota di Sulawesi Selatan tahun 2008
Sumber: (Dinas Kesehatan Prop.Sulsel, 2009)
Penyakit ini dilaporkan endemik di 24 kabupaten di Sulsel dan merupakan penyakit infeksi terbanyak keempat dari lima penyakit menular di Sulsel selain influensa, diare, TBC dan pneumonia. Penyakit ini merupakan penyebab terpenting terjadinya septikemia terkait komunitas, dengan insiden rate yang dilaporkan melebihi 2500/100.000 penduduk Berdasarkan data dari Sub Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan tercatat 1000-2000 kasus per bulan dengan persentase kematian 2-3%. Pada tahun 2006 ditemukan sebanyak 16.909 kasus dengan sebaran tertinggi di Kabupaten Gowa, Kabupaten Enrekang dan Kota Makassar. 27
Pada 2007 tercatat 16.552 kasus dengan sebaran kasus tertinggi berturut-turut Kabupaten Gowa, Kab.Enrekang dan Kota Makassar. Sedangkan tahun 2008 tercatat 20.088 kasus dengan kasus tertinggi kabupaten Gowa dan terendah di Kabupaten Luwu (Gambar 4) (Dinas Kesehatan Prop.Sulsel, 2009). Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 secara nasional di Sulsel, demam tifoid tersebar di semua umur dan cenderung lebih tinggi pada umur dewasa. Prevalensi klinis banyak ditemukan pada kelompok umur sekolah yaitu 1,9% dan terendah pada bayi yaitu 0,8%. Di kota Makassar, berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang P2P Dinas Kesehatan Kota Makassar, terjadi peningkatan jumlah penderia demam setiap tahun. Jumlah penderita demam tifoid terbanyak ditemukan di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi dan Pattingalloang. Demam tifoid dalam 4 tahun terakhir yaitu pada tahun 2004 sebesar 934 kasus, tahun 2005 menjadi 1762 kasus, dan tahun 2006 menjadi 1906 penderita dan pada tahun 2007 jumlah demam tifoid sebesar 2.305 (Dinas Kesehatan Kota Makassar, 2008). Hanya manusia yang bergejala klinis demam tifoid atau sebagai karier merupakan sumber penularan kuman S. typhi, oleh karena itu kontak langsung dengan penderita atau kasus pengidap demam tifoid atau karier sangat erat hubungannya dengan proses infeksi kuman Salmonella. Pelepasan kuman dapat terjadi melalui sekresi saluran pernapasan, urin dan tinja dalam periode waktu berbeda. Umumnya penularan kuman S.typhi paling sering melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi feses manusia. Penularan melalui air minum yang tercemar kuman S. typhi disebabkan karena sanitasi yang jelek, atau secara langsung melalui penyebaran fekaloral karena higiene yang jelek, terutama terjadinya di negara-negara sedang berkembang. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi atau berhubungan dengan demam tifoid erat kaitannya dengan perilaku/kebiasaan hidup bersih dan sehat masyarakat. Khususnya yang perlu mendapat perhatian adalah hygiene perorangan serta penggunaan sarana prasarana yang memenuhi syarat kesehatan.
28
11.Patogenesis Kuman penyebab demam tifoid masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Setelah masuk ke dalam tubuh, bakteri S. typhi menuju ke saluran pencernaan dan melekat pada sel fagosit mononuklear (makrofag dan monosit). Sel fagosit ini merupakan sel dari sistem imun yang bekerja untuk membunuh bakteri dan virus patogen yang masuk dalam tubuh. Namun, S. typhi mampu mempertahankan dan memperbanyak diri dalam sel ini. Karena kemampuan S. typhi bertahan dalam sel maka bakteri ini digolongkan ke dalam parasit fakultatif intraseluler. Ada sebagian bakteri yang dihancurkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plak peyer di pusat ileum yang mengalami hipertrofi (Everest, 2001; De Witt, 2002). S. typhi yang berada dalam saluran pencernaan akan menyerang sel mukosa pada usus kecil. Setelah melekat, bakteri melakukan perpindahan pada folikel limfoid dari usus dan nodul limfa mesentrik. Kuman dapat bertahan dan memperbanyak diri diantara sel fagosit mononuklear dari folikel limfoid, hati dan limfa. Waktu yang dibutuhkan pada periode ini selama bakteri memperbanyak diri antara 10 – 14 hari dari periode inkubasi demam tifoid. S. typhi mengeluarkan endotoksin dalam proses inflamasi lokal pada jaringan tempat bakteri berkembang biak dan merangsang pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang meradang sehingga terjadi demam. Jumlah bakteri yang banyak dalam darah (bakteremia) menyebabkan demam makin tinggi. Bagian utama yang sering terkena infeksi sekunder adalah hati, sumsum tulang, kantung empedu dan ginjal (Everest, 2001). Bakteri akan dilepaskan lagi ke dalam aliran darah setelah terjadi periode multifikasi intraseluller dan terjadi periode bakteremia kedua. Periode ini umumnya cukup lama melibatkan beberapa organ dan biasanya penderita akan mengalami panas yang cukup tinggi. Bakteremia ini akan menyebabkan dua kejadian kritis yaitu masuknya bakteri ke dalam kantung empedu dan plak peyer. Periode tadi akan menyebabkan peradangan dan nekrosis jaringan klinis yang ditandai dengan kolesistitis nekrotikans dan pendarahan perforasi usus ( Everest, 2001; Kwenang, 2007).
29
Gambar 2. Siklus infeksi S.typhi pada tubuh manusia (Everest, 2001)
11. Gambaran Klinis Demam tifoid mempunyai masa inkubasi rata-rata antara 7-20 hari, inkubasi terpendek 3 hari dan terlama 60 hari. Masa inkubasi ini mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang tertelan, umur, status gizi dan status imunologik. Gejala yang ditunjukkan oleh penderita demam tifoid bervariasi, dari demam dengan morbiditas kecil hingga pada toxomia dan komplikasi pada banyak sistem organ. Pada daerah endemik, diagnosis dapat meleset akibat gejala non spesifik seperti diare, muntah atau gejala pernapasan. Karena keragaman ini, demam tifoid sulit dibedakan dari tuberculosis, brucellosis, mononucleosis, hepatitis, dan terkadang leukemia dan limfoma. Demam tifoid biasanya terjadi setelah masa inkubasi 7-14 hari dengan gejala tidak enak badan, nafsu makan berkurang, sakit kepala, nyeri otot, batuk bronchitis kering, anoreksia dan mual-mual. Mulai dari fase awal hingga menunjukkan gejala (periode inkubasi) biasanya membutuhkan waktu 1 – 3 minggu. Hal ini tergantung pada ukuran inokulum S.typhi dan keadaan imunitas seseorang ( Aspx, 2006).
30
Ada dua tingkatan pada penyakit demam tifoid, yaitu (Kadang, 2000; Easmon, 2002) : Fase pertama: suhu tubuh meningkat sampai 400C disertai dengan keluarnya keringat, nafsu makan menurun, batuk, sakit kepala, dan sukar buang air besar. Pada anak-anak, sering muntah-muntah dan diare. Fase pertama berakhir dalam seminggu dan menjelang berakhir penderita tidak bergairah dan kurang kesadaran. Fase kedua: pada minggu kedua sampai minggu ketiga, gejala infeksi intestinal semakin jelas dan demam semakin meningkat, dan denyut nadi menjadi lemah dan cepat, nafas berbau tidak sedap, kulit kering, rambut kering, bibir kering pecah-pecah, lidah ditutupi selaput putih dan kelihatan kotor, ujung dan tepinya kemerahan, perut kembung dan orang tersebut nampak sakit berat. Pada minggu ketiga, sukar buang air besar digantikan dengan diare. Feses mungkin juga mengandung darah. Demam tifoid yang berat menimbulkan komplikasi pendarahan, kebocoran usus (perforasi), infeksi selaput usus (peritonitis), bronchopneumoniae dan kelainan di otak (encelophalopaty, meningitis). Gejala ini tidak sampai pada minggu keempat dan kelima dimana penurunan demam dan kondisi umum lainnya membaik secara perlahan. 12. Faktor Resiko Demam tifoid 1. Kualitas Air Hasil penelitian Srikantiah et al , 2007 mengenai faktor – faktor risiko untuk infeksi demam tifoid di wilayah endemik Samarkand Uzbekistan dengan 97 pasien dan 192 kontrol. Usia rata- rata pasien 19 tahun. Komsumsi air yang belum dimasak Odd Rasio (OR) = 3,09, 95% Cinfidence Interval (CI) = 1,1 – 8,2 secara signifikan terkait demam tifoid. Hasil penelitian Lubis R,(2001) menyatakan bahwa ada hubungan kualitas air minum dengan kejadian demam tifoid . Mereka yang kualitas air minum di rumahnya tercemar berat koliform mempunyai resiko untuk terkena penyakit demam tifoid sebesar 6,4 kali dibandingkan yang kualitas air minumnya tidak tercemar berat coliform. Transmisi melalui air ( air minum ) untuk kepentingan rumah tangga yang tidak memenuhi syarat kesehatan memainkan peranan penting sebagai faktor risiko demam tifoid (Makhnev, 2002; Schoenen, 2002; Entjang, 2003). 31
2. Makanan Transmisi melalui makanan seperti daging, susu yang berasal dari hewan sakit yang kurang matang berperan sebagai factor risiko demam tifoid (Entjang, 2003). Selama tahun 2004 terdapat kasus salmonellosis sebanyak 7.842 kasus, merupakan wabah penyakit bawaan makanan yakni ayam, telur , tiram impor yang disiapkan di restoran dan
katering. Penyebab paling umum yakni Salmonella typhmurium
. (OzFoodNet
Working Group,2005). Hasil penelitian Wintari, 2010 membuktikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan jajan dengan kejadian demam tifoid dengan ( p= 0,001. , Odds Rasio = 3,895, 95% CI : 1,765 – 8,593). 3. Hygiene Hasil penelitian Lubis ,R (2001) menyatakan bahwa ada hubungan hygiene perorangan dengan kejadian demam tifoid . Mereka yang hygiene perorangannya kurang mempunyai resiko untuk terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan yang hygiene perorangannya baik. 4.Sanitasi Demam tifoid berhubungan dengan kebersihan dan kondisi sanitasi. (Esmon,2006). Hasil penelitian Wintari, 2010 mengenai faktor risiko kejadian demam tifoid membuktikan bahwa ada hubungan bermakna dengan kebiasaan cuci tangan dengan kejadian demam tifoid (p= 0,002, OR= 3,590, 95% CI : 1,636 – 7,879. 5. Kebersihan Rute infeksi tergantung pada kondisi kebersihan dan umumnya kebersihan dapur harus dipelihara untuk mencegah infeksi.(Esmon,2006).
32
6. Hewan sekitar Sebagian besar Salmonella sp bersifat pathogen pada binatang dan merupakan sumber infeksi bagi manusia. Binatang- binatang tersebut antara lain tikus, unggas, ternak, anjing dan kucing (Entjang, 2003). Salmonellosis yang paling sering dikaitkan dengan konsumsi makanan terkontaminasi, seperti unggas, daging babi,daging sapi,telur dan produk segar ( Zou ,et al, 2010). Peningkatan infeksi Salmonella berkaitan dengan berjejalnya hewan piaraan di peternakan , produksi massal dan hygiene yang buruk di tempat persiapan, penyimpanan dan penjualan makanan. Pencemaran sewaktu pengiriman juga dapat terjadi dan pencemaran silang dapat terjadi ke semua makanan yang berkontak dengannya. Salmonella adalah organisme zoonotik yang banyak ditemukan pada hewan berdarah panas piaraan maupun liar, termasuk ayam, walaupun pada para pejamu tersebut , bakteri ini biasanya tidak menimbulkan gejala klinis. Salmonella enteridis dapat diisolasi dari sejumlah besar ayam broiler yang akan dijual eceran dan pada telur dari ayam yang dibiarkan lepas dan dipelihara dalam kandang (Massi,et al, 2008) . 7. Riwayat perjalanan dalam 12 bulan terakhir Perjalanan bisnis internasional ke Negara berkembang meningkat selama beberapa decade terakhir. Banyak Negara tujuan emdemik penyakit menular. Beberapa diantaranya berhubungan dengan morbiditas yang cukup besar, kematian atau keduanya. Yang paling beresiko wisatawan yang memiliki daya tahan tubuh menurun ( Hudson et al,2008). Standar higienis yang baik di tempat tujuan perjalanan sangat memberikan kontribusi penurunan angka serangan penyakit fecal oral di antara pelancong. (Baaten et al, 2010)
33
8. Gen Park2 Penelitian tentang gen Park2 telah dilakukan di RSUD Syekh Yusuf Sungguminasa Kab. Gowa pada tanggal 24 Mei – 30 Juni 2012 . Responden dalam penelitian ini adalah penderita demam tifoid di RSUD Syekh Yusuf Sungguminasa Kab. Gowa. Sampel darah penderita di PCR yang dilakukan di laboratorium Biologi Molekuler dan Imunologi , Bagian Mikrobiologi Fakutas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar.untuk mengetahui polimorfisme alel PARK2. Hasil PCR dan elektroforesis didapatkan bahwa dari 30 responden alel PARK2 terdapat alel CC (normal ) sebanyak 28 dan alel TT ( tidak normal ) sebanyak 32.
Gambar 1. Hasil Elektroforesis Produk PCR Gen PARK2 tanpa HpyCH4IV Keterangan M No
: Marker, :
1 - 15
34
Gambar 2. Hasil Elektroforesis Produk PCR Gen PARK2 tanpa Hpy4CH4 IV Keterangan M No
: Marker, : 16 - 30
Gambar 3. Hasil Elektroforesis Produk PCR Gen PARK2 dengan
HpyCH4 IV
35
Keterangan : M : Marker Alel T
: no 1
3
4
6
9
10
Alel C
: no 2
5
7
8
12
14
11 13
15
Gambar 4.Hasil Elektroforesis Produk PCR Gen PARK2 dengan Hpy4CH4 IV Keterangan : M
: marker
Alel T
: No 16
17 22 24 25 26 30
Alel C
: no 18 19
20 21 23
27 28 29
Tabulasi silang antara alel PARK2 dengan status responden terlihat bahwa pada kelompok kasus demam tifoid proporsi tertinggi pada alel TT (tidak normal) 32 dibandingkan alel CC (normal) 28. Hasil analisis chi-square didapat bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara alel Park2 dengan kejadian demam tifoid pada kasus dan control (p=0,464). Korelasi dengan Odds rasio didapatkan : OR =1,714 CI 95% : 0,616 – 4,772.
36
13. Diagnosis Demam Tifoid Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi keterlambatan penegakan diagnosis pasti. Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkannya gejala yang sama pada beberapa penyakit lain terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid. Akan tetapi di daerah-daerah dimana pemeriksaan laboratorium bakteriologis dan serologis sulit dilakukan sehingga diagnosis hanya ditegakkan atas dasar gejala dan tanda klinis yang ada. Oleh karena itu maka ketajaman pengenalan gejala serta tanda klinis sangat penting untuk memastikan diagnosis demam tifoid (Hatta et al, 2002). Beberapa pemeriksaan laboratorium untuk membantu penegakan diagnosis demam tifoid yaitu: 1. Identifikasi kuman melalui isolasi biakan/kultur Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.typhi dalam darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenun atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Kultur darah merupakan metode utama diagnosis penyakit ini. Isolasi kuman dari darah menggunakan ox bile (oxgall) adalah medium yang direkomendasikan untuk pembiakan S.typhi dan paratyphi. Medium ox bile merupakan medium enrichment sekaligus medium transport yang memungkinkan pertumbuhan bakteri yang toleran pada cairan empedu (bile). Diperlukan sebanyak 10-15 ml darah dari orang dewasa atau 2-4 ml dari anak-anak untuk mendapatkan hasil isolasi yang optimal. Berkurangnya volume darah yang diambil akan mengakibatkan berkurangnya pula sensivitas metode kultur darah. Sedangkan untuk waktu pengumpulan specimen, pasien dengan riwayat demam 7-10 hari biasanya akan memberikan hasil kultur positif bila dibandingkan spesimen yang dikumpulkan pada kurun waktu yang lain (WHO, 2003). 37
Kultur sumsum tulang juga merupakan gold standard dalam diagnosis demam tifoid dan secara khusus cocok untuk pasien yang kultur darahnya negatif. Aspirat sumsum tulang memberikan hasil positif sekitar 80-95% pada pasien tifoid. Kultur sumsum tulang berguna untuk diagnosis penyakit yang berkepanjangan dan pada pasien yang sedang menjalani terapi antibiotik (WHO, 2003). Akan tetapi walaupun metode ini sangat sangat sensitif metode ini sulit sehingga jarang diterapkan dalam praktek sehari-hari. Kultur tinja dan urine baru menunjukkan hasil positif setelah minggu pertama infeksi, dan sensifitasnya lebih rendah daripada kultur darah dan biasanya digunakan untuk diagnosis carrier tifoid (Zhou & Pollard, 2010). 2. Pemeriksaan serologi Metode serologi digunakan untuk mengetahui secara kualitatif maupun kuantitatif respon tubuh terhadap agen infektif atau dapat pula digunakan untuk membedakan bakteri yang memiliki hubungan kekerabatan yang erat. Metode ini memerlukan waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan metode kultur mikrobiologis. Reaksi antigen dan antibodi bersifat spesifik, dimana suatu antigen hanya akan bereaksi dengan antibodi yang khas terhadap antigen tersebut. Spesifitas yang tinggi dalam reaksi antigen dan antibodi ini dijadikan prinsip pengidentifikasian dan diagnosis (Bratawidjaja, 2004). Salah satu contoh penggunaan uji serologi adalah identifikasi S.typhi berdasarkan perbedaan tipe antigen O (LPS) dan antigen H (flagella). Dengan uji serologi kita dapat mendeteksi dan mengidentifikasi antibodi spesifik dengan melihat reaksi penggumpalan (aglutinasi) yang terjadi (Rasmilah, 2001; Kwenang, 2007). Sampai saat ini tes Widal merupakan reaksi serologis yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid. Dasar tes Widal adalah reaksi aglutinasi yang dikembangkan sejak 1896. Tes Widal mempunyai nilai besar untuk diagnosis demam tifoid asalkan diketahui titer antibodi pada orang yang demam bukan karena S.typhi (Brooks, et al, 2005). Tes Widal mempunyai arti diagnosis di daerah endemik, apabila diketahui titer antibodi pada individu yang normal. Di Makassar nilai titer Widal yang digunakan adalah 1:320 dengan pemeriksaan cara tabung dan 1:80 dengan cara slide (Kwenang, 2007). 38
Beberapa penelitian melaporkan bahwa tes Widal dianggap tidak sensitif dan spesifik. Disebut tidak sensitif karena ada sejumlah penderita dengan hasil biakan positif tetapi tidak pernah dideteksi adanya titer antibodi yang meningkat sebelum timbul gejala klinik. Disebut tidak spesifik karena semua grup D Salmonella mempunyai antigen O, demikian juga pada grup Salmonella A dan B. Semua grup Salmonella mempunyai H antigen yang sama dengan Salmonella typhi. Titer H meningkat dalam kurun waktu sesudah infeksi. Oleh karena itu, tes Widal sebaiknya tidak hanya dilakukan satu kali saja melainkan perlu satu seri pemeriksaan, kecuali bila hasil tersebut sesuai atau melewati nilai standar setempat. Sekarang ditemukan beberapa teknik baru untuk mendeteksi adanya antibodi atau antigen S.typhi dalam darah, urin, feses, antara lain Indirect hemaglutination test, Latex agglutination test, mudah
cepat dan lebih sensitif dan spesifik dibanding Widal dan
hemagglutination test. Dikembangkan pula tehnik ELISA dan CIE
(Kwenang, 2007).
Akhir-akhir ini telah dikembangkan pula tes-serologi antara lain typhi-dot yang memerlukan waktu 3 jam dan Typhoid Dipstick (Hatta, 2002b). 3. Teknik Molekuler Sejak ditemukannya teknik dalam bidang biologi molekuler yaitu penggunaan enzim untuk menggandakan DNA, maka reaksi rantai polimerase atau Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan satu-satunya teknik yang dapat dipakai untuk melacak DNA S.typhi. Teknik ini berdasarkan adanya urutan DNA yang unik dan diketahui dengan menggunakan primer tertentu yang terdiri dari oligonukleotida yang berlawanan dengan urutan DNA yang akan dilacak. Urutan target DNA yang akan dilacak tersebut diperbanyak dengan menggunakan enzim DNA polymerase yang stabil terhadap panas dan diisolasi dari Thermus aquaticus (Taq polymerase). Dengan ditemukannya tes PCR berdasarkan sekuen unik regio VI dari Hd atau Hj gen flagellin S.typhi dapat memberi kemungkinan dikembangkannya teknik-teknik untuk mendiagnosis karier tifoid di Inggris (Frankel, 1989). Penelitian Massi et al, (2003) dalam mendeteksi S.typhi menunjukkan sensifitas teknik PCR sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13,7%) dan uji 39
Widal (35,6%). Sensifitas yang tinggi dari metode PCR dalam deteksi kuman S.typhi juga dilaporkan oleh Hatta & Smith (2007) pada darah, urine dan feses dibandingkan metode kultur dan widal. Akan tetapi penggunaan PCR untuk diagnosa penyakit masih jarang dilakukan secara rutin karena biaya yang mahal sehingga masih terbatas untuk penelitian. Berbagai metode diagnosis masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita. Insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier (Tumbelaka, 2001).
40
TES FORMATIF Untuk mencapai tujuan belajar maka kerjakan tes formatif berikut ini
Petunjuk 1. Pilih jawaban yang paling tepat antara jawaban A,B,C,D dan E 2. Bila terdapat pilihan 1,2,3, dan 4 : A. Bila 1,2, dan 3 benar B. Bila 1 dan 3 benar C. Bila 2 dan 4 benar D. Bila hanya 4 yang benar E. Bila semua benar Pertanyaan :
Umpan balik( tindak Lanjut) 1. Cocokkan jawaban Anda dengan kunci jawaban yang tersedia Pada bagian akhir kegiatan belajar ini. 2. Hitung jumlah jawaban yang benar dengan menggunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan materi pada kegiatan belajar 1.
41
3. Tingkat penguasaan yang Anda dapatkan adalah ……………. 4. Kemudian cocokkan nilai dengan pedoman sebagai berikut. A. 85 – 100 B. 75 – 84 C. 60 – 74 D. 56 – 59 E. 0 - 55 5. Apakah tingkat pencapaian Anda mencapai 60%? 6. Jika ya, Anda dapat melanjutkan BAB 3 .
42