BAB 3 ANALSIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN EVALUASI FORMASI RESERVOIR FORMASI BANGKO “B” Untuk melakukan analisis lingkungan pengendapan suatu reservoir dibutuhkan data batuan inti (core) dan juga melihat pola log sumur pada zona reservoir tersebut (elektrofasies). Lalu, untuk mengetahui persebaran dari ketebalan gross sand dan NES pada reservoir ini langkah-langkah yang harus dilakukan yaitu QC (Quality Control) data dan memindahkan data ke dalam workstation, perhitungan Vsh, perhitungan porositas total dan porositas efektif, perhitungan permeabilitas, dan perhitungan Sw. Dengan begitu dapat diketahui reservoir mana yang paling berprospek. Kemudian, agar cadangan minyak pada lapangan Dahlia ini dapat diketahui, dibutuhkan data peta struktur bawah permukaan yang kemudian dilakukan perhitungan OOIP dengan menggunakan rumus:
OOIP : Original Oil in Place (bbl) Vb
: volume batupasir yang terisi minyak
Sw
: saturasi air
Φ
: porositas
FVF
: Formation Volume Factor
3.1 Analisis Lingkungan Pengendapan Pada Formasi Bangko “B” Analisis lingkungan pengendapan suatu reservoir dapat membantu untuk menentukan kualitas suatu reservoir. Sebab, setiap lingkungan pengendapan akan membentuk karakteristik reservoir yang berbeda – beda, baik dari sifat fisik, geometri, dan penyebaran tubuh batuan. Pada penelitian ini, penulis melakukan analisis lingkungan pengendapan reservoir melalui pendekatan pada data batuan inti dan melihat pola log yang ada pada kurva GR (elektrofasies). Hal ini disebabkan karena data batuan inti yang ada jumlahnya sangat terbatas, sehingga dilakukan pendekatan dengan cara lain. Kurva log GR yang memiliki data 25
batuan inti akan dijadikan acuan untuk penentuan lingkungan pengendapan pada lapangan Dahlia ini. Lapangan Dahlia memiliki data batuan inti pada sumur DHL-12 interval 955-973 ft dan sumur DHL-16 interval 970-989 ft. Deskripsi Data Batuan Inti DHL-12 955-962 ft 955 ft
956 ft Gambar 3.1. Foto batuan inti sumur DHL-12 pada interval 955-962 feet
Batupasir, berwarna abu - abu terang hingga kecoklatan, semen karbonatan,ukuran butir sangat halus, bentuk butir membundar - membundar tanggung, kemas tertutup, pemilahan baik, terdapat bioturbasi Ophiomorpha, porositas baik, terdapat mud drapes, glaukonit setempat. 962-967 ft 962.5 ft
963.5 ft Gambar 3.2. Foto batuan inti sumur DHL-12 pada interval 962-967 feet
26
Batupasir, berwarna abu - abu terang - kecoklatan, semen karbonatan, ukuran butir sangat halus, bentuk butir membundar - membundar tanggung, pemilahan baik, kemas tertutup, ada bioturbasi, porositas baik, terdapat laminasi silang-siur, terdapat mud drapes. 967-973 ft 969 ft
970 ft Gambar 3.3. Foto batuan inti sumur DHL-12 pada interval 967-973 ft
Batupasir, berwarna abu - abu gelap, semen karbonatan, ukuran butir halus, bentuk butir membundar-membundar tanggung, pemilahan baik, kemas tertutup, terdapat bioturbasi, terdapat glaukonit setempat, porositas baik, terdapat mud drapes.
27
Gambar 3.4. Deskripsi dan interpretasi dari data batuan inti sumur DHL-12 beserta foto batuan inti dan log GR. 28
Deskripsi Data Batuan Inti DHL-16 970-975 ft 972 ft
973 ft Gambar 3.5. Foto batuan inti sumur DHL-16 pada interval 970-975 feet.
Batupasir, berwarna abu - abu hingga kecoklatan, semen non karbonatan, ukuran butir halus, bentuk butir membundar-membundar tanggung, kemas tertutup, pemilahan baik, fragmen litik berwarna hitam, terdapat laminasi silang-siur, glaukonit setempat, porositas baik. 975-978 ft
975 ft
976 ft Gambar 3.6. Foto batuan inti sumur DHL-16 pada interval 975-978 feet.
Batupasir, warna abu - abu terang, semen karbonatan, ukuran butir sedang, bentuk butir membundar tanggung-menyudut tanggung, pemilahan sedang, kemas tertutup, glaukonit setempat, kompak, ada bioturbasi setempat, porositas baik.
29
978-982 ft 978 ft
979 ft
Gambar 3.7. Foto batuan inti sumur DHL-16 pada interval 978-982 feet.
Batupasir, warna coklat
gelap-abu, semen karbonatan, ukuran butir kasar, bentuk butir
membundar tanggung-menyudut tanggung, pemilahan sedang-buruk, kemas terbuka, glaukonit setempat, kompak, mud drapes setempat, ada bioturbasi planolites, porositas sedang. 982-989 ft
982 ft
983 ft Gambar 3.8. Foto batuan inti sumur DHL-16 pada interval 982-989 feet.
Batupasir, warna abu-abu hingga coklat, semen non-karbonatan, ukuran butir kasar, bentuk butir membundar tanggung-menyudut tanggung, pemilahan sedang-buruk,kemas tertutup, glaukonit setempat, mud drapes setempat, ada bioturbasi, porositas sedang. 30
Gambar 3.9. Deskripsi dan interpretasi dari data batuan inti sumur DHL-16 beserta foto batuan inti dan log GR 31
Analisis Data Batuan Inti DHL-12 dan DHL-16 Berdasarkan deskripsi data batuan inti, terdapat empat buah asosiasi fasies penyusun reservoir Formasi Bangko “B”, yakni fasies Batupasir Kasar-bioturbasi, fasies Batupasir Sedang-bioturbasi, fasies Batupasir Halus-bioturbasi dan fasies Batupasir Halus-laminasi silang-siur. Terdapat struktur sedimen berupa laminasi silang-siur, yang mengindikasikan daerah ini merupakan daerah yang mengalami perubahan arus (bukan arus tenang). Selain itu, terdapat pula flaser dan mud drapes. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh pasang-surut pada fasies – fasies tersebut saat proses pengendapan sedang berlangsung. Diinterpretasikan bahwa lingkungan pengendapan reservoir ini sebagai Estuarine Channel yang memiliki arus traksi. Mud drapes yang terdapat pada batuan inti mengindikasikan terdapatnya pengaruh arus pasang-surut pada proses pengendapan berlangsung. Terlihat pola perubahan ukuran butir yang menghalus ke atas (fining upward succession) pada data batuan inti. Berdasarkan data log sinar Gamma, terlihat pola log yang cenderung blocky (cylindrical GR) pada Formasi Bangko “B” ini pada setiap sumurnya. Karakter ini akan digunakan sebagai dasar pendekatan elektrofasies pada sumur – sumur yang tidak memiliki data batuan inti.
Gambar 3.10. Bentuk – bentuk elektrofasies dan interpretasi lingkungan pengendapannya (Rider, 2000).
Pola log tersebut diasosiasikan salah satunya yaitu estuarine channel. Kemudian, penulis juga melakukan korelasi antar log yang berarah timurlaut-baratdaya (Gambar 3.11.). 32
Penulis menggunakan marker top formasi dalam korelasi untuk pembagian waktu. Berdasarkan korelasi yang sudah dilakukan, terlihat bentukan channel pada korelasi tersebut.
Gambar 3.11. Korelasi sumur pada salah satu lintarasan berarah Timurlaut-Baratdaya.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa reservoir Formasi Bangko “B” diendapkan pada lingkungan Lower Estuarine/Marine Energy Dominated Estuarine dengan sub-lingkungan pengendapan yaitu Lower Eestuarine Channel.
33
Estuarine Channel
Gambar 3.12. Model lingkungan pengendapan Estuarine (Dalrymple, 1992).
34
3.2 Evaluasi Formasi Reservoir pada Lapangan Dahlia Sebelum dilakukan analisis petrofisika dari lapangan Dahlia ini, terlebih dahulu dilakukan pengumpulan data – data yang mendukung. Data – data yang diperlukan diantaranya yaitu data log header (kepala log) dari marked log, data kurva log sumur, dan data seismik. 3.2.1 Data Log Header (Kepala Log) Log header merupakan salah satu bagian dari lembaran log yang sangat penting untuk analisis log yang berhubungan dengan pengambilan data log pada suatu sumur. Contoh data – data yang terdapat pada log header yaitu lokasi koordinat lokasi pemboran, ukuran bit (bit size), interval bawah log (bottom-logged interval), kedalaman pemboran (depth-driller), resistivitas lumpur (Rm), resistivitas filtrat lumpur (Rmf), resistivitas mudcake (Rmc), suhu lubang bor (BHT), densitas, viskositas, dll. Keterangan Log Header pada lapangan Dahlia dapat dilihat pada tabel 4.1.
35
Well Name
Logging
Depth
Depth
Btm.
Top Log
Bit
Date
Driller
Logger
Log
Interval
Size
(ft)
(ft)
Interv
(ft)
(inch)
Rm
Rmf
Rmc
GL
DF
KB
Den
Vis
sitity cos ity
al (ft)
Surface BHT Temper
(deg
ature
F)
(degF)
Dahlia-2
06/08/1972
1384
1384
1383
363
9 5/8”
3.85
4.93
1.23
132
145
146
10.4
42
95
124
Dahlia-3
07/02/1974
1155
1155
1154
342
9 5/8”
4.47
4.18
4.43
119
131
130
9.76
35
95
118
Dahlia-4
10/02/1974
1056
1057
1056
342
9 5/8”
4.20
4.87
5.84
107
119
120
10.8
38
95
105
Dahlia-5
06/06/1974
1105
1106
1105
321
9 5/8”
3.63
4.08
4.38
112
124
125
10.7
37
95
121
Dahlia-6
08/06/1974
1160
1161
1160
323
9 5/8”
2.19
2.64
3.91
110
122
123
10.7
39
95
128
Dahlia-7
11/06/1974
1184
1155
1154
331
9 5/8”
6.70
6.35
6.71
156
168
169
10.6
37
95
120
Dahlia-8
22/11/1975
1240
1240
1239
338
9 5/8”
4.04
4.37
1.70
115
127
128
10.6
39
95
126
Dahlia-9
19/12/1976
1041
1035
1034
346
9 5/8”
1.76
1.64
2.14
122
134
135
10.2
42
95
115
Dahlia-10
27/04/1980
1042
1044
1029
274
9 5/8”
4.12
4.63
4.02
143
153
154
9.6
46
95
118
Dahlia-11
26/11/1980
1095
1098
1084
100
9 7/8”
5.63
6.05
3.66
122
133
134
9.7
39
95
120
Dahlia-12
27/11/1981
1200
1202
1188
309
9 7/8”
3.22
3.29
2.07
131
143
144
9.5
40
95
120
Dahlia-13
23/10/1983
1070
1070
1057
50
9.875
3.20
3.50
3.00
120
132
133
9.5
38
95
118
Dahlia-14
23/10/1983
1145
1146
1133
50
9.875
3.10
2.60
2.80
146
158
159
9.5
39
95
118
Dahlia-15
26/10/1983
1070
1072
1058
276
9.875
3.40
3.60
3.80
110
123
124
9.9
40
95
118
Dahlia-16
29/10/1983
1140
1140
1139
279
9.875
3.10
3.00
2.80
119
131
132
9.4
39
95
118
Dahlia-17
15/05/1987
1130
1133
1118
300
13.75
3.36
3.66
2.95
135
150
151
10.7
44
95
125
Dahlia-18
21/05/1987
1050
1053
1038
275
13.75
3.45
4.39
5.45
123
138
139
10.2
44
95
125
Dahlia-19
03/05/1988
1100
1099
1084
284
13.75
4.22
5.55
4.04
133
149
150
9.5
41
95
120 38
Dahlia-20
08/05/1988
1145
1145
1130
285
13.75
4.63
5.42
2.27
131
146
147
9.2
40
95
112
Dahlia-22
12/11/1998
1144
1143
1135
256
8.50
1.96
2.02
2.02
113
130
131
9.2
46
95
120
Tabel 3.1 Rincian data – data dari kepala log (Log Header).
39
3.2.2 Data Kurva Log Data kurva log merupakan salah satu data terpenting dalam analisis petrofisika karena data – data inilah yang meliputi parameter – parameter sifat fisik batuan yang diidentifikasi sebagai reservoir. Data – data kurva log ada bermacam – macam tergantung dari alat log yang digunakan dalam pemboran, diantaranya yaitu log GR, log SP, log Caliper, log RHOB, log NPHI, log resistivitas yang terdiri dari LLD, LLS, dan MSFL. Berikut ini adalah gambar dari data kurva log.
LLD
NPHI LLS
RHOB
GR SP
Interval Studi Gambar 3.13. Contoh kurva log pada sumur Dahlia.
Pada lapangan Dahlia ini, terdapat 30 buah log sumur, namun yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 20 log sumur dikarenakan keterbatasan data yang bisa untuk diakses, yaitu DHL-2, DHL-3, DHL-4, DHL-5, DHL-6, DHL-7, DHL-8, DHL-9, DHL-10, DHL-11, DHL-12, DHL-13, DHL-14, DHL-15, DHL-16, DHL-17, DHL-18, DHL-19, DHL-20, dan DHL-22. Penelitian ini terdiri dari Formasi Telisa 600, Formasi Telisa Reservoir Equiv, 38
Formasi Bekasap “A”, Formasi Bangko, dan Formasi Bangko “B”.
Namun, penelitian
difokuskan pada Formasi Bangko “B”. Data log yang digunakan adalah marked log yang kemudian data – data yang ada dipindahkan ke dalam workstation untuk dilakukan analisis petrofisika. Tetapi, tidak semua sumur pada Lapangan Dahlia ini yang memiliki data kurva log yang lengkap dan baik. Oleh karena itu, untuk melengkapi data kurva yang sangat diperlukan, seperti kurva RHOB, maka perlu dibuat kurva sintetiknya pada sumur – sumur yang tidak memiliki data – data tersebut. Sintetik ini dibuat berdasarkan kurva log pada suatu sumur yang dipercaya memiliki data yang akurat dibandingkan sumur – sumur lainnya. Pada lapangan Dahlia ini, sumur DHL-22 yang memiliki data – data paling lengkap dan memiliki nilai CALI (Caliper) yang rendah (bukan bad hole) sehingga dapat dijadikan patokan untuk membuat kurva sintetik tersebut. Selain itu, sumur ini pula yang dibor paling baru, sehingga penulis mengasumsikan teknologi yang digunakan pada sumur inilah yang paling baru dibandingkan sumur – sumur lainnnya. Dengan begitu, keakuratan data pada sumur ini dapat dipercaya. Data kurva sintetik yang dibuat pada penelitian ini adalah data kurva RHOB. Kurva RHOB sangat diperlukan saat analisis petrofisika untuk menghitung porositas. Kurva sintetik dibuat dengan cara membuat regresi dari plot silang antara kurva RHOB (sumbu-Y) dengan kurva sinar Gamma (sumbu-X). Berikut adalah hasil regresinya:
Gambar 3.14. Hasil regresi plot silang antara kurva RHOB dengan log GR. 39
Dari hasil regresi, didapat rumus sintetik RHOB: RHOB = (1.6175 + 0.005041 x (GR)) Kemudian, dibuatlah kurva RHOB berdasarkan rumus diatas pada sumur – sumur yang tidak memiliki data kurva RHOB, yaitu sumur DHL-5, DHL-6, DHL-10, dan DHL-18. Nilai RHOB sintetik tersebut memang tidak akurat 100%, terdapat perbedaan nilai sekitar 0,2 (G/C3), namun memiliki kualitas yang cukup baik. Hal tersebut sudah dibuktikan salah satunya pada sumur DHL-15. Terdapat pola log yang cenderung sama antara kurva RHOB yang didapat dari tool asli dengan kurva RHOB sintetik.
RHOB sintetik RHOB yang berasal dari tool asli 0,2
Gambar 3.15. Contoh perbandingan antara RHOB sintetik dengan RHOB yang berasal dari tool asli.
40
3.2.3 Korelasi Setelah seluruh data terkumpul dan dilakukan QC (Quality Control), maka dilakukanlah korelasi. Korelasi merupakan suatu metoda yang berguna untuk membedakan unit stratigrafi yang ekivalen dalam segi waktu, umur, dan posisi stratigrafi (Tearpock dan Bische, 1991). Sehingga, dengan melakukan korelasi dapat diketahui perubahan – perubahan yang terjadi di suatu tempat pada interval tertentu. Dalam penelitian ini, korelasi yang dibuat merupakan korelasi litostratigrafi. Data yang digunakan dalam melakukan korelasi adalah data log Gamma Ray Normalization (GRN). Penulis melakukan korelasi pada batas marker yang merupakan marker dari top suatu formasi pada marked log yang dihubungkan dengan top formasi yang lain. Tidak dilakukan korelasi secara sekuen stratigrafi dikarenakan setiap bentuk kurva pada lapangan Dahlia ini cenderung memiliki pola log yang hampir sama dan juga berdasarkan geologi regional Cekungan Sumatra Tengah kemenerusan pasir antar log baik dan tidak terdapat kompleksitas pada stratigrafi.
Gambar 3.16. Peta lintasan korelasi Lapangan Dahlia.
Korelasi dilakukan pada setiap sumur yang terdapat beberapa formasi, yaitu Formasi Telisa 600, Formasi Telisa Reservoir Equiv, Formasi Bekasap “A”, Formasi Bangko, dan Formasi Bangko “B”. Pada korelasi ini, datum yang digunakan adalah top marker formasi, karena keberadaan dari top formasi ini penyebarannya sangat luas dan terdapat di semua 41
sumur. Korelasi stratigrafi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan enam lintasan, yaitu dua korelasi yang menunjukkan penampang baratlaut – tenggara (NW-SE) dan empat korelasi yang menunjukkan penampang timurlaut – baratdaya (NE-SW).
Penampang
baratlaut – tenggara ini dilakukan agar dapat memberikan gambaran arah pengendapan menuju basinward, sedangkan penampang baratlaut-tenggara dibuat untuk melihat gambaran geometri dari reservoir lapangan Dahlia ini (tegak lurus dengan arah pengendapan).
Gambar 3.17. Korelasi sumur pada penampang A-A’.
3.2.4 Pemetaan Ketebalan Gross Sand dan NES (Net Effective Sand) Sebelum dilakukannya analisis Gross Sand, NES, dan Net Pay, terlebih dahulu dihitung nilai Vshale. Shale merupakan terminologi yang digunakan pada analisis petrofisika untuk mengidentifikasi batuan berbutir halus seperti batupasir sangat halus, batulanau, dan batulempung. Vshale mengidentifikasi kualitas suatu reservoir, apabila nilai Vshale pada suatu reservoir rendah, maka reservoir tersebut akan semakin bersih. Sehingga akan semakin mudah fluida untuk bergerak mengisi pori – pori yang ada. Sebaliknya, apabila nilai Vshale semakin tinggi, maka reservoir tersebut akan semakin buruk karena akan semakin kecil 42
porositas yang dimiliki. Rumus Vshale yang digunakan pada lapangan Dahlia ini adalah rumus Vshale linear, yaitu:
Keterangan : Vsh
= Volume Shale (jumlah kandungan lempung) (v/v)
GRlog
= Gamma Ray yang terbaca pada kurva (API)
GRmin
= Gamma Ray yang bernilai paling rendah
GRmax
= Gamma Ray yang bernilai paling tinggi
Setelah dilakukan perhitungan dan analisis, lapangan Dahlia ini memiliki nilai sand baseline 45.702 GAPI dan shale baseline 177.767 GAPI dilihat dari tren kurva GR pada setiap sumurnya. Setelah mendapatkan nilai baseline, maka dapat ditarik suatu garis batas yang memisahkan antara shale dan sand yang disebut sebagai cut off. Cut off ini diambil berdasarkan data histogram Sinar Gamma, kemudian ditarik garis yang terletak diantara kedua puncak dari Sinar Gamma tersebut. Penarikan garis ini dilakukan dengan cara menarik garis tengah diantara sand baseline dan shale baseline, lalu dilakukan kontrol terhadap layout – layout sumur yang ada. Nilai cut off Vshale pada lapangan Dahlia ini setelah dilakukan analisis adalah sebesar 0.6. Jadi, data yang memiliki nilai Vshale lebih dari atau sama dengan 0.6, maka data tersebut akan dianggap shale, sebaliknya bila ada data yang memiliki nilai Vshale dibawah 0.6, maka data tersebut akan dianggap sebagai sand. Dari data – data inilah, dapat dibuat peta gross sand pada lapangan Dahlia.
43
Gambar 3.18. Nilai cut off Vshale pada Lapangan Dahlia.
Berikut ini adalah peta gross sand yang dihasilkan pada lapangan Da
Gambar 3.19. Peta ketebalan gross sand Formasi Bangko “B. 44
Setelah didapat peta ketebalan gross sand, maka dapat dicari nilai NES (Net Effective Sand) yang merupakan nilai porositas efektif. Porositas efektif adalah porositas batuan total dikurangi kandungan Vshale. NES merupakan bagian dari gross sand namun yang memiliki nilai porositas efektif yang cenderung tinggi. Sebab, tidak semua sand pada gross sand yang memiliki nilai porositas efektif tinggi, terkadang masih ada sand yang memiliki nilai porositas efektif yang hanya sedikit. Untuk itulah perlu ditarik cut off untuk menentukan zona – zona yang memiliki ketebalan NES. Porositas total pada penelitian ini didapat dari rumus:
Keterangan : RHOB = Bacaan log densitas (gr/cc) PHIT = Porositas total (v/v) = Massa jenis matriks batuan PHID = Porositas Densitas (v/v) = Massa jenis fluida Rumus ini digunakan dengan asumsi batupasir pada daerah penelitian adalah batupasir dengan nilai densitas batupasir bersih (clean sand) 2,65. Sedangkan, untuk menghitung nilai porositas efektif, digunakan rumus:
Keterangan : PHIE = Porositas Efektif (v/v) PHIT = Porositas Total (v/v) Vsh = Jumlah kandungan lempung (v/v) Pada penelitian ini, penulis mendapatkan data rutin batuan inti yang berupa angka – angka pada sumur DHL-2, DHL-3, dan DHL-16 meliputi porositas total, porositas efekif, dan permeabilitas. Angka – angka dari data ini merupakan nilai yang keakuratannya paling tinggi. Sehingga penulis menggunakan data ini sebagai kontrol untuk interpretasi yang akan dilakukan. Penulis mencoba membandingkan nilai porositas total dan porositas efektif hasil perhitungan dengan porositas total dan porositas efektif berdasarkan data rutin batuan inti.
45
Kurva Porositas Total Hasil Analisis
Kurva Porositas Efektif Hasil Analisis
Kurva Porositas Total dari data rutin batuan inti
Kurva Porositas Efektif dari data rutin batuan inti
Gambar 3.20. Perbandingan antara kurva porositas hasil analisis dengan porositas dari data rutin batuan inti.
Dari kurva diatas, terlihat sedikit perbedaan nilai porositas pada kedalaman – kedalaman tertentu sekitar ±0,12. Namun, secara umum kurva tersebut memiliki pola log yang cenderung sama. Sehingga penulis menganggap bahwa porositas hasil analisis sudah memiliki keakuratan data yang cukup baik. Setelah dilakukannya analisis porositas, tahap selanjutnya yaitu menghitung permeabilitas. Kurva permeabilitas ini penting untuk diketahui agar dapat dilihat karakteristik permeabilitas pada lapangan Dahlia. Bisa saja suatu batupasir memiliki porositas yang baik, namun ternyata memiliki permeabilitas yang buruk. Sebab, permeabilitas tidak hanya bergantung kepada porositas, tetapi juga kepada keseragaman butir, hubungan antar butir, dan juga keterdapatan lempung. Terdapat tiga jenis geometri lempung yang menempel pada kuarsa – kuarsa yang membentuk porositas batuan, yaitu pore-filling, pore-lining, dan porebridging. Lempung inilah yang menyebabkan permeabilitas menjadi buruk. Pada penelitian ini, perhitungan permeabilitas dilakukan dengan cara meregresi kurva plot silang antara 46
permeabilitas (sumbu-Y) dengan porositas efektif (sumbu-X) pada data rutin batuan inti. Data – data dari batuan inti merupakan data yang kuantitatif, sehingga keakuratannya sangat tinggi. Namun, tidak setiap sumur memiliki data batuan inti, hanya beberapa sumur saja yang memiliki data batuan inti dalam interval tertentu. Oleh karena itulah dilakukan regresi agar seluruh sumur pada lapangan Dahlia ini memiliki kurva log permeabilitas. Pada lapangan Dahlia, terdapat tiga buah data rutin batuan inti, yaitu pada sumur DHL-3 (interval 923-933 feet MD), DHL-12 (interval 955-973 feet MD), dan DHL-16 (interval 970-989 feet MD). Penulis menggunakan data rutin batuan inti pada sumur DHL-16 dengan pertimbangan bahwa sumur tersebut adalah sumur yang paling baru dibandingkan dua sumur lainnya. Selain itu, data rutin batuan inti ini pula yang memiliki interval paling besar. Berikut ini adalah hasil dari regresi antara permeabilitas data rutin batuan inti (sumbuY) dengan porositas efektif (sumbu-X).
Gambar 3.21. Hasil regresi plot silang antara permeabilitas data rutin batuan inti dengan porositas efektif.
Dari hasil regresi diatas, didapat rumus permeabilitas:
47
Dengan menggunakan rumus tersebut, maka kurva log permeabilitas dapat diaplikasikan untuk setiap sumurnya. Untuk mengetahui kualitas keakuratan dari rumus tersebut, dibandingkanlah kurva hasil rumus regresi dengan data rutin batuan inti yang ada.
Kurva permeabilitas hasil regresi Kurva permeabilitas dari data rutin batuan
Gambar 3.22. Contoh perbandingan antara kurva log permeabilitas hasil regresi dengan kurva log permeabilitas yang berasal dari data rutin batuan inti.
Dari gambar diatas terlihat kemiripan pola log antara kurva log permeabilitas hasil regresi dengan kurva log permeabilitas dari data rutin batuan inti. Sehingga, kurva log permeabilitas hasil regresi ini dapat dipercaya keakuratannya dan memiliki kualitas yang baik dan cocok untuk dilakukan pada semua sumur lapangan Dahlia. Selain melihat kecocokan dengan dari data rutin batuan inti, pola log permeabilitas ini juga dikontrol berdasarkan data log GR, resistivity, RHOB, NPHI, porositas total, dan porositas efektif. Kemudian, dibuatlah garis cut off NES pada Lapangan Dahlia dengan melihat plot silang antara permeabilitas data rutin batuan inti dengan porositas efektif (Gambar 3.21.). Berdasarkan Bear (1972), batupasir bersih memiliki permeabilitas sebesar 10 milidarcy. Dari 48
gradien plot silang tersebut, didapatlah garis cut off porositas efektif sebesar 15% atau 0.15. Sehingga, bila terdapat data gross sand yang memiliki PHIE < 0.15, maka gross sand tersebut tidak memiliki nilai NES, sebaliknya, bila data gross sand memiliki PHIE>0.15, maka gross sand tersebut memiliki nilai NES.
Gambar 3.23. Nilai cut off PHIE (porositas efektif) pada lapangan Dahlia.
Gambar 3.24. Peta ketebalan Net Effective Sand (NES) Formasi Bangko “B”.
49
3.2.5 Perhitungan Cadangan OOIP (Original Oil In Place) Pada Lapangan Dahlia Untuk melakukan perhitungan cadangan hidrokarbon mula-mula (OOIP), dibutuhkan data OWC (Oil Water Contact) dan peta struktur kedalaman. Data OWC diperoleh dari pihak PT Chevron Pacific Indonesia berdasarkan data pemboran pada sumur DHL-3 pada tahun 1974, yaitu pada kedalaman -890 ft. Penulis mengasumsikan bahwa nilai yang berada diatas OWC dianggap seluruhnya minyak, sedangkan nilai yang berada dibawah OWC dianggap seluruhnya adalah air. Sedangkan peta struktur kedalaman berasal dari data peta struktur waktu (time structure map) saat surface yang dihasilkan belum tepat berada pada top marker dari data log. Oleh karena itu, diperlukan pengikatan kembali antara hasil pick seismik dengan korelasi log atau disebut autotie. Namun, penulis tidak melakukan autotie pada penelitian ini, penulis mendapatkan data peta struktur kedalaman dari laporan internal PT Chevron Pacific Indonesia. Sehingga, dengan adanya peta struktur kedalaman dapat diketahui gambaran struktur dan keadaan morfologi bawah permukaan, sehingga dapat diketahui volume batupasir yang terisi minyak (Vb) pada reservoir Formasi Bangko “B” pada lapangan Dahlia ini. Berdasarkan peta struktur kedalaman yang penulis dapatkan, cebakan minyak pada Lapangan Dahlia terdapat pada perangkap struktur antiklin.
Gambar 3.25. Peta struktur kedalaman top Formasi Bangko “B” Lapangan Dahlia.
Lalu, untuk mengetahui batas dari bawah (bottom) struktur dari Formasi Bangko “B”, dibuatlah peta struktur kedalaman bottom. Bottom reservoir adalah pengurangan top Formasi Bangko “B” dengan ketebalan reservoir. Ketebalan reservoir yang digunakan adalah ketebalan net effective sand. 50
Gambar 3.26. Peta struktur kedalaman bottom Formasi Bangko “B” Lapangan Dahlia.
Berdasarkan peta- peta struktur kedalaman diatas (Gambar 3.25 dan Gambar 3.26), penulis menggunakan model antiklin dalam perhitungan volume hidrokarbon (Gambar 3.27).
Gambar 3.27. Model perhitungan volume reservoir dengan perangkap struktur antiklin.
Setelah memiliki data- data yang meliputi batas OWC, peta struktur kedalaman top Formasi Bangko “B”, dan peta struktur kedalaman bottom Formasi Bangko “B” dapat dilakukan pembuatan peta ketebalan net pay pada Formasi Bangko “B” ini. Dari peta net pay inilah yang akan dihitung besarnya bulk volume pada daerah telitian. Peta net pay dibuat dengan cara melakukan overlay antara peta ketebalan NES dengan peta struktur kedalaman top dan bottom Formasi Bangko “B”. Dari peta struktur kedalaman top dan bottom Formasi Bangko “B”, diambil garis OWC, lalu garis OWC top formasi merupakan kontur yang 51
bernilai nol pada peta net pay. Nilai ketebalan NES yang berada diluar garis OWC, dianggap tidak ada. Sedangkan nilai ketebalan NES yang berada di dalam garis OWC tetap memiliki nilai NES yang sama seperti pada peta ketebalan NES. Jadi, sumur-sumur pada daerah telitian yang terletak di luar garis OWC dianggap sebagai dry hole. Berikut ini adalah peta net pay Formasi Bangko “B” pada daerah telitian.
Gambar 3.28. Peta ketebalan net pay Formasi Bangko “B” pada daerah telitian.
Dari peta net pay tersebut, akan dilakukan perhitungan bulk volume. Peta net pay terdiri dari interval kontur 3 feet yang puncaknya pada ketebalan 39 feet. Hal ini menyebabkan lapangan daerah telitian memiliki luas sebanyak 13 buah (A1-A13). Namun ada beberapa kontur yang terdapat dua atau tiga buah yaitu kontur 30 sebanyak dua buah, dan kontur 33 sebanyak tiga buah. Sehingga akan ada A10B, A11B, dan A11C. Berikut ini adalah luas setiap kontur pada peta net pay diatas: A0 = 2.416.000 m2
A7 = 2.071.000 m2
A11C = 12870 m2
A1 = 2.376.000 m2
A8 = 1.980.000 m2
A12 = 293.100 m2
A2 = 2.338.000 m2
A9 = 1.367.000 m2
A13 = 132.100 m2
A3 = 2.301.000 m2
A10 = 563.000 m2
A4 = 2.252.000 m2
A10B = 425.300 m2 52
A5 = 2.210.000 m2
A11 = 442.900 m2
A6 = 2.146.000 m2
A11B = 122.500 m2
Kemudian dilakukan perhitungan volume, bila A1/A0 >0,5 , maka akan digunakan rumus volume trapesium, sedangkan apabila A1/A0<0,5, maka akan digunakan rumus volume piramid.
Keterangan:
Vt = volume Trapesium;
A0 = luas area pertama
Vp = volume piramid ;
A1 = luas area kedua
h = interval kontur Berikut ini adalah perhitungan bulk volume Formasi Bangko “B” pada daerah telitian:
53
Maka, volume total sebesar 68.581.593 feet m2. Bila dikonversi menjadi acre feet dengan mengalikan angka 2.471054 x 10-04 hasilnya yaitu sebesar 16.946,9 acre feet. Untuk menghitung cadangan OOIP, dibutuhkan data saturasi air (Sw), porositas (Φ), dan Formation Volume Factor (FVF). Perhitungan saturasi air (Sw) menggunakan rumus Archie:
54
Keterangan : Sw = Saturasi air
m = Eksponen sementasi
n = Eksponen saturasi
Rw = Resistivity formasi air
a = Faktor Turtuosity
Rt = True Resistivty
Φ = Porositas
Rumus Archie digunakan dengan asumsi reservoir berupa clean sand. Untuk nilai eksponen saturasi menggunakan standar senilai 2. Faktor turtoisity senilai 1. Eksponen sementasi sebesar 1,8 untuk reservoir batupasir. Nilai Rw didapatkan dari percobaan laboratorium yang telah dilakukan sebelumnya. Nilai Rw pada lapangan Dahlia sebesar 1,76 ohmm pada temperature 77 °F. Nilai porositas total dan saturasi air yang digunakan dalam perhitungan cadangan hidrokarbon mula – mula (OOIP) berupa nilai rata-rata. Nilai rata-rata tidak dihitung berdasarkan jumlah seluruh data pada interval penelitian, namun hanya dihitung pada interval Formasi Bangko “B” saja. Berdasarkan histogram frekuensi nilai porositas total dan saturasi air (Gambar 3.37 dan Gambar 3.38), penulis mendapatkan nilai rata-rata porositas total dan saturasi air sebesar 0,25 dan 0,36.
Gambar 3.29. Data frekuensi saturasi air pada Lapangan Dahlia pada interval Formasi Bangko “B”.
55
Gambar 3.30. Data frekuensi porositas total pada Lapangan Dahlia pada interval Formasi Bangko “B”.
Untuk nilai Formation Volume Factor, penulis mendapatkan datanya dari laporan internal PT Chevron Pacific Indonesia tahun 2007, “Plan of Future Development of Dahlia Field”, yaitu sebesar 1,1.
Tabel 3.2. Tabel properti reservoir Formasi Bangko “B”.
Reservoir Property
Bangko B
Porosity, avg.
%
25.0
FVF Oil
RB/STB
1.100
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus OOIP, didapatkan jumlah cadangan minyak mula-mula (Original Oil in Place) yaitu sebesar 19.123.489 barrels. 56
Berdasarkan data yang didapat dari petroleum engineer PT Chevron Pacific Indonesia, total produksi minyak yang sudah dilakukan pada Lapangan Dahlia Formasi Bangko “B” hingga Mei 2011 yaitu sebesar 4.766.800 barrels. Jadi, masih ada total cadangan minyak saat ini (COIP) sekitar 14.356.698 barrels. Cadangan minyak yang tersisa masih cukup banyak, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk membuat sumur baru guna peningkatan produksi pada daerah telitian.
57