BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penelitian Terdahulu Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan
beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah penulis baca diantaranya : Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Windyastuti tahun 1999, dengan judul Pengaruh Sosialisasi Gender Pada Wanita Kelas Menengah Terhadap Kesadaran Politik, pada penelitian tersebut dijelaskan sikap apatisme perempuan terhadap politik karena memandang politik identik dengan kekerasan. Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Wanita Surabaya tahun 1987, dengan judul
Peran Perempuan Di Jawa Timur, pada penelitian ini
disebutkan beberapa peran perempuan yang begitu besar dan berat akan tetapi tidak pernah terekspos oleh publik, yaitu peran – peran domistik dan reproduksi. Penelitian tentang Gender Sensitivity Dalam Platform Partai Politik oleh Lembaga Penelitian Universitas Airlangga Surabaya tahun 2003, dijelaskan bahwa belum semua partai politik menpunyai sensitivitas gender baik dalam program maupun platformnya. Penelitian tentang Faktor yang mempengaruhi persepsi wanita tentang partai politik pada tahun 1992 di Yogjakarta oleh Ria Angin Mahasiswa UGM Jogjakarta menyimpulkan bahwa diberlakukannya Undang – Undang Pemilihan Umum no.15 tahun 1969 serta
UU No 4/1975 dan UU No.29/1980 telah
mempengaruhi faktor perempuan yang dahulunya mendapat sosialisasi bahwa
9
10 peran yang terbaik bagi dirinya adalah menjadi ibu dan istri, dengan adanya UU berganti peran menjadi peserta pemilu yang bijaksana dengan mencoblos tanda gambar yang diinginkannya.
2.2
Pengertian Komitmen Organisasi Istilah komitmen banyak digunakan sebagai sebuah ungkapan atau janji baik
tertulis maupun tidak tertulis, akan tetapi istilah komitmen organisasi itu sendiri sebenarnya merupakan kepedulian anggota atau karyawan terhadap organisasi, dan
sebaliknya
organisasi–organisasi itu
melalui
pimpinan
yang akan
mengimplementasikan dalam kehidupan sehari hari, karena secara tertulis komitmen anggota dituangkan dalam aturan – aturan organisasi. Sebagaimana pendapat salah satu dosen FISIP UNAIR yang juga pengurus NU Jawa Timur (Wawancara 12 Juli 2004), bahwa Komitmen organisasi tertuang dalam visi – misi organisasi itu sendiri yang sumbernya dari para anggota. Sehingga untuk mengetahui sejauh mana komitmen atau kepedulian sebuah organisasi terhadap aktivitas perempuan dapat dilihat dari bagaimana visi dan misi partai itu sendiri, jika secara tertulis tidak terurai, apalagi praktek di lapangan, maka tidak akan ditemui kepedulian atau komitmennya terhadap perempuan. Beda dengan komentarnya pakar sosiolog UNAIR Surabaya (Wawancara 12 Juli 2004), bahwa partai politik tidak punya komitmen organisasi, karena memenuhi kebutuhan elite – elite politik, bahkan kepentingan perorangan. Jadi jika ngomong tentang komitmen terhadap partisipasi perempuan, tidak pernah akan ada.
11 Pengertian komitmen organisasi menurut Indrawati adalah “komitmen anggota itu sendiri, sejauh mana para anggota mempunyai kepedulian atau keinginana memperjuangkan kepentingan – kepentingan masyarakat melalui sebuah organisasi politik, jika itu komitmen organisasi politik”. Pengertian Porter mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dan individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi. Hal ini dapat ditandai dengan tiga hal, yaitu : 1. Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. 2. Kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi. 3. Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi (menjadi bagian dari organisasi). Sedangkan Zainuddin (Makalah,Jakarta, 25 juli 2002) dalam Richard M. Steers (1985 : 50) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai atau anggota terhadap organisasinya. Steers berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Berdasarkan definisi ini, dalam komitmen organisasi tercakup
12 unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. Secara singkat inti dari beberapa definisi tentang komitmen organisasi dari beberapa ahli diatas mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses pada individu (anggota) dalam mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai, aturanaturan, dan tujuan organisasi. Disamping itu, komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi, dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan anggota dengan perusahaan atau organisasi secara aktif. Karena anggota yang menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempat bekerja (Kul, 1992,2 ) Menurut pendapat Zainuddin komitmen-
(Makalah, Jakarta, 25 juli 2002 ) Jenis
komitmen organisasi dapat dibedakan menjadi 2 bagian :
1. Jenis komitmen menurut Allen dan Meyer, Allen dan Meyer ( dalam Dunham dkk, 1994 : 370 ). Membedakan komitmen organisasi atas tiga komponen, yaitu : Komponen afektif berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan anggota di dalam suatu organisasi. merupakan perasaan-perasaan anggota tentang kewajiban yang harus di berikan kepada organisasi. Komponen continuance berarti komponen berdasarkan persepsi pegawai tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi. Meyer dan Allen berpendapat bahwa setiap komponen memiliki dasar yang berbeda. Anggota dengan komponen afektif tinggi, masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi.
13 Sementara itu anggota dengan komponen continuance tinggi, tetap bergabung dengan organisasi tersebut karena mereka membutuhkan organisasi dan mempunyai keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi Anggota yang memiliki komponen normatif yang tinggi, akan tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukannya yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki anggota. Komponen normatif menimbulkan perasaan kewajiban pada anggota untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi. Setiap anggota memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen organisasi yang dimilikinya. Anggota yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku. Sebaliknya, mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak maksimal. 2. Jenis komitmen organisasi dari Mowday, Porter dan Steers lebih dikenal sebagai pendekatan sikap terhadap organisasi. Komitmen organisasi ini memiliki dua komponen yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Sikap mencakup : a. Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi, dimana penerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi. Identifikasi anggota
tampak melalui sikap menyetujui kebijaksanaan organisasi,
dimana penerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi, kesamaan
14 nilai pribadi dan nilai-nilai organisasi, rasa kebanggaan menjadi bagian dari organisasi. b. Keterlibatan sesuai peran dan tanggung jawab pekerjaan di organisasi tersebut. anggota yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir semua tugas dan tanggung jawab pekerjaan yang diberikan padanya. c. Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi dengan anggota . Anggota dengan komitmen tinggi merasakan adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi. Sedangkan yang termasuk kehendak untuk bertingkah laku adalah : 1. Kesediaan untuk menampilkan usaha. Hal ini tampak melalui kesediaan bekerja melebihi apa yang diharapkan agar organisasi dapat maju. anggota dengan komitmen tinggi, ikut memperhatikan nasib organisasi. 2. Keinginan tetap berada dalam organisasi. Pada anggota yang memiliki komitmen tinggi, hanya sedikit alasan untuk keluar dari organisasi dan berkeinginan untuk bergabung dengan organisasi yang telah dipilihnya dalam waktu lama. Jadi seseorang yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki identifikasi terhadap organisasi, terlibat sungguh-sungguh dalam anggota dan ada loyalitas serta afeksi positif terhadap organisasi. Selain itu tingkah laku berusaha ke arah tujuan organisasi dan keinginan untuk tetap bergabung dengan organisasi dalam jangka waktu lama. Menumbuhkan komitmen-komitmen organisasi memiliki tiga aspek utama, yaitu : identifikasi, keterlibatan dan loyalitas pegawai terhadap organisasi-organisasinya.
15 1. Identifikasi Identifikasi, yang mewujud dalam bentuk kepercayaan anggota terhadap organisasi, dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para anggota ataupun dengan kata lain organisasi memasukkan pula kebutuhan dan keinginan anggota dalam tujuan organisasinya. Hal ini akan membuahkan suasana saling mendukung diantara para anggota dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa anggota dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi, karena anggota menerima tujuan organisasi yang dipercayai telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula. 2. Keterlibatan Keterlibatan atau partisipasi anggota dalam aktivitas-aktivitas kerja penting untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan pegawai menyebabkan mereka akan mau dan senang bekerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman kerja. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan anggota adalah dengan memancing partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan, yang dapat menumbuhkan keyakinan pada anggota bahwa apa yang telah diputuskan adalah merupakan keputusan bersama. 3. Loyalitas Loyalitas anggota terhadap organisasi memiliki makna kesediaan seseorang untuk melenggangkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun. Kesediaan anggota untuk mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal yang penting untuk menunjang komitmen anggota terhadap organisasi dimana mereka
16 bekerja. Hal ini dapat diupayakan jika anggota merasakan adanya keamanan dan kepuasan di dalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja. Pemberdayaan sangat mempengaruhi terhadap loyalitas baik pengurus ataupun anggota ( Clutterrbuck, 2003 : 19 ). Sistim pemberdayaan yang diberlakukan oleh organisasi politik sangat mempengaruhi loyalitas anggota dalam mewujudkan tujuan dan cita – cita organisasi. Salah satu pengurus perempuan PPP Jawa Timur ( Wawancara, 23 Juli 2004 ) mengatakan bahwa komitmen anggota perempuan partai cukup tinggi, terbukti dengan kegigihannya, loyalitasnya dan sregepnya melaksanakan program – program partai, tapi dari organisasi sendiri komitmennya setengah hati. Sehinga perempuan sering ditinggal untuk hal – hal yang bersifat strategis. Pengasuh pondok pesantren di Kediri ( Wawancara, 3 November 2003 ) mengungkapkan bahwa ada keseimbangan antara komitmen anggota dengan aplikasinya oleh organisasi terhadap perempuan akan tetapi perempuan itu sendiri terkadang yang kurang optimal , karena partai menyadari sepenuhnya peran dan kontribusi perempuan yang tidak bisa diremehkan begitu saja, pendapat salah satu pengurus PKB Jawa Timur Menyimpulkan dari pendapat beberapa aktivis tentang komitmen partai politik merupakan janji atau kepedulian anggota baik secara langsung atau tidak terhadap organisasi yang di tuangkan dalam platform organisasi. Sehingga menjadi tradisi pada menjelang musim-musim pemilihan umum, banyak janji-janji yang dilontarkan oleh partai-partai politik guna meraih simpati masyarakat, mulai dari janji akan menurunkan harga sembako, menaikkan gaji para pegawai negeri sipil, membuka lapangan pekerjaan sampai hal-hal yang lain
17 yang bagi masyarakat umum menjadi kebutuhan umum mendasar, janji atau komitmen-komitmen di atas tidak mungkin akan ditolak atau bahkan mendapat sambutan, dukungan serta simpati yang luar biasa dari masyarakat. Kondisi semacam ini terjadi dari pemilu ke pemilu dan anehnya lagi kekecewaan masyarakat hanya sesaat setelah hasil pemilhan umum dimenangkan oleh salah atu partai yang tanpa peduli dengan komitmen dan janji-janji yang diberikan kepada masyarakat. Situasi dan kondisi pemilihan umum sekarang mengalami perbedaan dan perubahan yang jauh dari pemilihan umum tahun lalu, karena tidak hanya institusi partai politik yang akan mempertanggung jawabkan komitmen atau janji secara moral dan langsung kepada masyarakat, akan tetapi para nggota calon legeslatif akan mempunyai beban moral langsung apabila janji atau komitmenkomitmennya tidak terealisasikan. Komitmen partai politik merupakan tanggung jawab moral bagi anggota dan pengurus kepada masyarakat, meskipun sampai saat ini sangat rendah (Opini, Ani Soetjipto, Senin 15 september 2003), untuk melihat prospek komitmen sebuah partai politik, dapat dilihat melalui :1. Bagaimana kultur atau budaya sebuah partai politik 2. Pola rekrutmen 3. Ideoloogi partai politik.
18 2.3
Pengertian Organisasi Politik Banyak pembahasan tentang organisasi politik oleh para ilmuwan,
mempunyai perbedaan sangat tipis dengan pengertian partai politik. Karena organisasi politik tidak ikut dalam pemilihan umum, sedangkan partai politik menjadi peserta setiap pemilihan umum ( Surbakti, 1992 : 15 ) Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisasikan secara stabil dengan tujuan merebut kekuasaan atau mempertahankan penguasa terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasa ini memberikan kepada anggota – anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ide maupun materil ( Gender Sensitifity, 2003 : 50 ) Max Weber memberikan definisikan politik sebagai persaingan untuk membagi kekuasaan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan antar negara maupun antar kelompok di dalam suatu negara. ( Surbakti,1992 : 6 ) Partai politik merupakan penghubung antara rakyat dengan pemerintah ( Mas’oed, 1987, 61 ). Dikatakan demikian karena ketika awal lahirnya partai politik di Eropa Barat, sebagai usaha kelompok–kelompok di luar kekuasaan politik untuk bersaing merebut jabatan pemerintahan dan mengendalikan kebijaksanaan pemerintah. Ketika gerakan kelas menengah dan kelas buruh mulai mendesak kelas atas dan kelas aristokrat untuk partisipasi dalam pembuat keputusan, maka kelompok yang menjalankan pemerintahan berusaha mencari dukungan dalam upaya mempertahankan pengaruh kekuatan lawan. Apapun nama partai politik, merupakan sebuah sistem organisasi yang mempunyai aktivitas politik sebagai sarana untuk mencapai dan mempertahankan serta mengelolanya. Jadi partai politik merupakan kumpulan sekelompok orang
19 yang mempunyai kesamaan visi dan misi serta berusaha untuk mencapai tujuan bersama pula. Keberadaan partai politik merupakan bagian dari sistem politik suatu negara. Sebagai sebuah organisasi, partai politik diharapakan sebagai wadah yang dapat mengartikulasi kepentingan rakyat dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberi jalan kompromi bagi perbedaan pendapat serta persaingan. Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa organisasi politik atau disebut juga partai politik adalah suatu organisasi yang berusaha menghimpun kekuatan dan dukungan rakyat dan berusaha menempatkan anggotanya yang berkualitas untuk menjadi wakil partainya dalam mengendalikan kekuasaan atau pemerintahan yang sedang berjalan melalui lembaga legislatif atau lemabga perwakilan rakyat.
2.4
Partisipasi Perempuan Partisipasi perempuan merupakan partisipasi yang dilakukan oleh para
aktivis perempuan baik di partai politik maupun organisasi kemasarakatan dan Lembaga swadaya masarakat dalam upaya meningkatkan peran sekaligus meningkatkan dan mengembangkan sumber daya yang dimiliki oleh para perempuan, karena menurut data di BPPS tahun 2003 menunjukkan perbedaan tingkat pendidikan antara laki – laki dan perempuan, jika perempuan berada pada tingkat pendidikan tinggi, prosentasenya menyebutkan perempuan lebih memilih pada jenis pendidikan kejuruan seperti: Sekolah Ilmu Keguruan, Kebidanan, Keperawatan dan laiannya.
20 2.4.1. Pengertian Partisipasi Partisipasi merupakan salah satu aspek penting dalam sistim demokrasi, bahkan yang mendasari demokrasi adalah nilai – nilai partisipasi. Karena partisipasi adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. ( Surbakti,1992,141) Partisipasi politik adalah kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa baik secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Samuel P. Hungtington, dan Joan M. Nelsen ( 1994 : 6 ) berpendapat bahwa : partisipasi politik merupakan kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi dengan maksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah, dan partisipasi dapat bersifat individual atau kelompok. Myron Wiener dalam Huntigton ( 1994 : 10 ) menekankan sifat sukarela dari partisipasi dan mengemukakan “menjadi anggota organisasi atau menghadiri rapat umum atas perintah pemerintah, tidak termasuk ( partisipasi politik )”. Dari pengertian ini maka, partisipasi dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh para aktivis perempuan pada hakekatnya adalah usaha menggali dan memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki oleh perempuan. Secara umum partisipasi tidak hanya pada bidang politik akan tetapi dalam segala bidang kehidupan perempuan mempunyai hak dan kewajibannya untuk ikut serta atau berpartisipasi aktif, hanya saja karena selama ini terjadi kesenjangan antara kaum laki-laki dan perempuan yang diakibatkan oleh produk-produk kebijakan yang bias gender. Sehingga dibutuhkan perjuangan keras dan holistic
21 dari segenap perempuan dalam segala lini, terlebih pada lini politik, karena sangat berpengaruh terhadap produk kebijakan. Menurut Lester dalam bukunya “Political Participation”, menyebutkan adanya dua orientasi dalam partisipasi politik berhubungan dengan proses politik yaitu : partisipasi politik yang berhubungan pada output proses politik ( disebut partisipasi pasif ) dan pada input proses politik ( disebut partisipasi aktif ), dimana aktivitas individu atau kelompok yang berkenaan dengan masukan-masukan proses pembuatan kebijakan. Dalam partisipasi politik berlaku proses-proses politik yang harus difahami dan diikuti, baik laki-laki atau pun perempuan. Yang dikatakan oleh David Easton, proses politik adalah merupakan interaksi diantara lembaga-lembaga pemerintahan kelompok-kelompok sosial. Hal ini menunjukkan tidak hanya aktivitas yang ada pada tingkat elit tetapi melihat sudut pandang yang lebih pluralistic yang menyertakan analisis pada aktivitas-aktivitas berbagai kelompok yang terorganisir di luar pemerintahan dengan memberikan penekanan pada individu-individu, kepentingan-kepentingan bersama dan nilai normatif. Sehinga berpartisipasi tidak sekedar ikut – ikutan tanpa tujuan dan arah yang jelas bagi setiap anggota akan tetapi dalam proses partisipasi keterlibatan secara aktif mental, emosi dan prilaku untuk memperoleh sesuatu yang diharapkan menjadi bagian yang penting.
22 Situasi
Program Partisipasi
Keterlibatan
- Managemen Konsultatif
- Mental
- Gugus Kualitas
Hasil - Organisasi :
- Emosional
Keluaran lebih
-Sistim Pengajuan saran
banyak,kwalitas lebih baik - Anggota : Tunjang terima, Harga diri,
( Sumber: Davis, 1995 :185 )
Kurangnya
stres
Gambar 2.1. Proses Partsipasi Akan ada nilai manfaat bagi organisasi maupun anggota apabila kedua belah pihak ( pimpinan organisasi dan anggota organisasi ) sama menyadari nilai nilai partisipasi. Karena banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses partisipasi, diantara pengaruh penerapan partisipasi terdiri dari :Lingkungan, Organisasi, Kepemimpinan, Tehnologi dan Pegawai. Bagaimana sebuah organisasi memandang nilai – nilai partisipasi, akan mempengaruhi organisasi tersebut di dalam menerapkan dan menerima prinsisp – prinsip partisipasi, dan tentunya banyak melihat nilai manfaat yang bisa diperoleh bagi organisasi itu sendiri serta anggotanya. Jika organisasi mempunyai komitmen tinggi terhadap perubahan dan kemajuan, maka organisasi akan semakin mudah dan cepat menerapkan prinsip –prinsip partisipasi bagi para
23 anggotanya, karena anggota merupakan aset organisasi yang dapat memberikan kontribusi pemikiran, tenaga dan lainnya bagi kemajuan sebuah organisasi. Sehingga partisipasi bersifat manusiawi, karena memandang anggota dengan segala potensi – potensi yang dimiliki. Bagi para pimpinan atau manager yang memberlakukan dan memerlukan partisipasi anggota, secara tidak langsung telah terjadi proses pemberdayaan dalam organisasinya, karena memandang segala potensi anggota untuk mencapai tujuan organisasi secara bersama – sama. Huntington juga menyebutkan bahwa: “ Partisipasi merupakan unsur pemberdayaan “. Sehingga sangat sesuai apabila Bowen dan Lawler menyebutkan ada tiga tipe pemberdayaan : 1. Suggestion Involvement, para karyawan ( anggota dalam organisasi ) menyubangkan ide-ide melalui program-program formal 2. Job Involvement, para karyawan akan menggunakan aneka ketrampilannya 3. High Involvement, dilibatkannya perasaan para karyawan dalam pekerjaan dan totalitas organisasi. Tiga tipe pemberdayaan ini dapat mewujudkan adanya bentuk partisipasi yang dilakukan oleh anggota dalam segala bidang kehidupan.. Partisipasi perempuan dalam bidang politik di Indonesia masih jauh dari harapan dan keseimbangan, bila dibandingkan dengan kaum laki-laki, hal ini dapat dilihat representasi hasil pemilu dari tahun ke tahun, padahal pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi yang sejati menempatkan semua komponen bangsa pada hak dan kewajiban sama, tanpa mendiskriminasikan golongan, jenis kelamin, suku dan sebagainya.
24 Pemilu 1999 sebagai proses politik wacana dan proses pembuka nilai-nilai demokratis,
diharapkan
mampu
memberikan
perubahan
besar
terhadap
keterwakilan perempuan Indonesia di berbagai bidang kehidupan, terutama pada kehidupan politik sebagai barometer dalam partisipasi menguatkan peran-peran dalam penentu kebijakan berkaitan dengan isu-isu perempuan, ternyata justru sebaliknya, terjadi penurunan partisipasi perempuan, bila dibanding dengan partisipasi politik perempuan pada pemilu 1997, karena perempuan di legeslatif mencapai 11,2 %, sedangkan hasil pemilu 1999 hanya 9,8 %. ( http:// www.cetro. Com ) Kondisi ini tidak hanya disebabkan karena budaya patriakhi yang masih kuat, dan melahirkan sistem politik maskulin, akan tetapi rendahnya kualitas pendidikan perempuan juga menyebabkan anggapan terhadap perempuan dengan peran-peran public polecy sangat rendah dan perjuangan terhadap keterwakilan perempuan sangat minim baik di lembaga legeslatif dan eksekutif, sebuah contoh kecil dari 100 anggota DPRD I Jawa Timur, hanya 11 wakil perempuan. Meskipun UU tentang Partai Politik no.12 th 2003 telah memperhatikan aspek keadilan dan kesetaraan gender, serta UU tentang Pemilu no.31 th 2002 yang memberi peluang terwakilinya perempuan dalam lembaga legeslatif minimal 30 % merupakan peluang bentuk affirmative action dari pengambil kebijaksanaan negara sebagai jaminan awal terakomodasinya kepentingan perempuan sebagai populasi mayoritas bangsa ini, meski secara kuantitatif angka tersebut belum cukup proporsional. Rumusan kedua UU tersebut masing-masing adalah : 1. Kepengurusan partai politik disetiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan
25 anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender (UU tentang Partai Politik pasal 31 ayat 3). 2. Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % (UU tentang Pemilu pasal 65 ayat 1). Meski kedua UU tersebut tidak bersifat imperatif, namun semangat yang ada di dalamnya patut direspon oleh kaum perempuan dalam bentuk tindakan dan aktifitas yang positif sebagai tanggung jawab atas peluang yang diberikan, karena selama ini partisipasi perempuan menunjukkan representasi yang rendah atau under represented, minimnya representasi perempuan dibidang politik selama ini sering kali dikaitkan dengan alasan kualitas SDM perempuan lebih rendah, meski alasan tesebut tidak sepenuhnya salah, tetapi realitas menunjukkan bahwa potensi perempuan dibidang politik tidaklah tepat bila dianggap lebih rendah dari lakilaki. Dicantumkannya klausul kesetaraan gender dan quota perempuan di dalam UU tersebut bukanlah sesuatu berlebih, melainkan melalui proses perdebatan yang cukup melelahkan di Dewan Pimpinan Rakyat dan fraksi Kebangkitan Bangsa adalah salah satu dari sedikit fraksi yang getol memperjuangkan quota perempuan di parlemen tersebut, maka sebagai konsekuensi logisnya PKB harus menjadi pemicu dalam merealisasikan dan mengimplementasikan isi UU tersebut. Atas dasar pemikiran tersebut, maka para pimpinan organisasi perempuan baik politik maupun organisasi sosial kemasyarakatan senantiasa bekerjasama melakukan political will dalam mengadakan kegiatan pendidikan dan pelatihan
26 yang diharapkan dapat meningkatkan sumberdaya perempuan dibidang politik dengan indikator kecukupan dalam hal wawasan (sosial insight), keterampilan (skillful), berkepribadian luhur (good personality) dan memiliki sosial devotion (jiwa pengabdian kepada umat).
2.4.2. Bentuk Dan Tingkat Partisipasi Perempuan Berangkat dari perjalanan diberlakukannya otonomi daerah, yang demokratis
dengan
melibatkan
semua
komponen
masyarakat
,
maka
penyelenggaraan pemerintahan daerah harus makin meningkatkan partisipasi masyarakat dalam seluruh proses pembangunan, terutama pada sektor publik. Sementara system nilai yang berkembang telah cukup kondusif bagi kemungkinan diperluasnya ruang keterlibatan komunitas perempuan. Maka kiranya era otonomi daerah juga sebagai peluang dan momentum yang paling tepat bagi komunitas perempuan untuk meningkatkan intensitas partisipasinya dalam sektor publik ini. Partisipasi ini dapat dilakukan secara individual maupun kolektif melalui lembaga swasta ataupun terutama lembaga voluntary, apakah itu Ormas, LSM atau organisasi sosial politik. Selanjutnya berangkat dari asumsi bahwa pemerintah daerah merupakan aktivitas manajemen publik yakni mengatur dan melaksanakan urusan-urusan pelayanan publik yang menjadi kewenangan daerah, maka ada beberapa ruang partisipasi strategis yang dapat dimasuki oleh komunitas perempuan dalam era otonomi daerah ini. Pertama, partisipasi dalam proses perencanaan. Peran ini cukup penting untuk menjamin agar rencana-rencana pembangunan daerah nantinya benar-benar
27 aspiratif dan membela kepentingan masyarakat secara adil. Ruang-ruang partisipasi dalam hal ini antara lain dengan memberikan data-data kebutuhan oyektif masyarakat, memberikan pendampingan kepada masyarakat untuk makin aktif terlibat dalam proses perencanaan, memberikan kritik yang obyektif rasional terhadap rencana-rencana pembagunan daerah, di samping merumuskan sendiri program-program internal organisasi untuk pengembangan ke dalam maupun untuk partisipasi ke luar organisasi. Kedua, partisipasi dalam pengorganisasian. Dalam hal ini partisipasi itu dapat diwujudkan dalam bentuk saran dan provokasi keterlibatan organisasiorganisasi non pemerintah dalam program-program pembangunan daerah. Pemerataan keterlibatan lembaga-lembaga bisnis dalam pembangunan saranasarana umum sehingga menggairahkan partisipasi sekaligus memeratakan pendapatan masyarakat. Begitu pula keterlibatan lembaga Ormas dan LSM dalam pengembangan sisi sosial seperti keagamaan, pendidikan, ketenagakerjaan dan sebagainya. Kesemuanya itu harus didesakkan kepada pemerintah daerah dalam upaya
menciptakan
sinergi
antar
berbagai
komponen
daerah
dalam
pengorganisasian pembangunan di daerah. Ketiga, partisipasi dalam pelaksanaan. Ini merupakan kelanjutan dari kedua bentuk partisipasi sebelumnya. Pada dasarnya dalam pelaksanaan sektorsektor pembangunan dapat dimasuki oleh peran komunitas perempuan. Namun demikian beberapa peran yang tampaknya lebih relevan antara lain dalam keagamaan, pendidikan, penanganan fakir miskin, yatim piatu dan berbagai kegiatan sosial lainnya. Beberapa Ormas dan LSM perempuan tampaknya cukup memberi perhatian terhadap masalah konservasi lingkungan hidup. Di samping itu
28 masalah kekerasa terhadap perempuan kiranya juga menuntut keterlibatan aktivitas komunitas perempuan, lebih-lebih masalah perjuangan kesetaraan gender yang secara kultural belum sepenuhnya bisa diterima oleh mayoritas komunitas. Keterlibatan dalam sektor sosial politik tampak juga mulai menjadi ruang yang dapat dimanfaatkan oleh komunitas perempuan untuk makin menjamin aspirasi dan “suara” perempuan dapat lebih didengar dan diakomodasikan. Dalam hal ini komunitas perempuan harus berani untuk memperjuangkan keterwakilan mereka dalam jabatan-jabtan struktural organisasi sosial politik dan harus ada yang berani untuk melakukan bargaining politik agar dapat direkrut dalam jabatan-jabatan politik bak di birokrasi maupun di lembaga legislatife. Keempat, partisipasi dalam kontrol. Perempuan secara kodrati memiliki kelebihan disbanding lelaki, antara lain dalam hal ketelitian dan kecermatan. Kelebihan ini sebenarnya akan sangat bermanfaat apabila digunakan untuk meneliti dan mencermati setiap tahapan proses pembangunan di daerah apakah itu dalam
proses
perencanaan,
pengorganisasian
maupun
dalam
pelaksaan
pembangunan. Dari bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh para aktivis perempuan bersamaan dengan berlakunya UU No.22 tentang otonom Daerah, merupakan hal yang signifikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya perempuan dalam berbagai segi kehidupan. Dengan demikian apakah perempuan telah mengambil bagian cukup signifikan bila dibandingkan dengan kuantitasnya, dan apakah perempuan telah berpartisipasi atau berperan aktif dalam publik policy ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti akan melakukan wawancara dan pendataan sejauh
29 mana perempuan memahami dan berperan aktif atau berpartisipasi politik dalam kehidupan sehari – hari. Untuk mengetahui seberapa tingkat partisipasi politik perempuan, maka dapat dilihat dari apa peran yang diberikan oleh pimpinan organisasi politik kepada para aktivis perempuan partai yang diaplikasikan dengan gambar berikut : Ganbar 2.2 Tingkat Partisipasi Mengikutsertakan Bidang wewenang manjer
Mendelegasikan
Mengkonsultasikan Menjual
Bidang partisipasi pegawai dalam Pengambilan keputusan
MemberiI tahu Rendah
sedang
Tinggi
( Sumber : Devis , 1995 : 182 )
Jika dilihat dari gambar tersebut dan kondisi perempuan dalam keanggotaan di partai politik, maka tingkat partisipasi perempuan masih terbatas pada mengkonsultasikan dan didelegasikan, yang artinya masih pada tataran sedang, karena hanya sebagian kecil partai politik yang memberikan ruang gerak secara luas untuk partisipasi perempuan.
2.4.3. Hambatan Perempuan Berpartisipasi Dalam Politik Pembagian peran gender secara biologis antara laki-laki dan perempuan, publik domestik yang di bangun di atas konstruk budaya patriarkis, interpretasi
30 agama yang disalahartikan merupakan hambatan karier perempuan dalam politik. Hambatan ini bergulir, sehingga perempuan berpartisipasi di wilayah politik tidak mendapatkan dukungan dari lingkungannya atau bahkan dirinya sendiri. Beberapa hambatan yang dirasakan oleh peremuan adalah : Pertama:
Dari segi budaya atau kultur. Ketimpangan
atau ketidak
adilan gender yang dimanifestasikan dalam bentuk marginalisasi, streriotype, kekerasandan beban ganda ( double berden ) ( faqih,2001,12) serta gender dan kekerasan dimana perempuan dipinggirkan dari urusan publik dan politik, perempuan menjadi pelengkap kebutuhan laki-laki, sebagai mahluk lemah, emosional, kurang bertanggung jawab dsb,yang berdampak pada
perempuan
sering menjadi korban kekerasan baik kekerasan dalam bentuk fisik, psikhis, ekonomis, kekerasan seksual, kekerasan politik, hal ini akan mendistorsi kondisi perempuan sendiri, dan dianggap kelas dua dalam mengatur dan berpartisipasi membangun negara, sehingga politik seolah-olah bukan wilayah perempuan. Apalagi jika beban ganda yang dialami perempuan ketika berpolitik praktis menyebabkan sindrom bagi laki-laki (suami) akan kehilangan hak-haknya dan bahkan akan menggeser posisinya. Kedua: Segi pendidikan (SDM), adanya pembedaan antara laki-laki dengan perempuan berdampak pada perbedaan pada penguasaan IPTEK, sehingga tertinggal dalam memperoleh informasi dan keterbatasan komunikasi sehingga perempuan terhambat dalam membangun jaringan di wilayah publik. Informasi tentang politik selalu diterima melalui perspektif laki-laki, sudah barang tentu perempuan tereliminasi karena beranggapan bahwa politik menjadi fenomena
31 diluar dirinya. Hal ini dapat menjadi kendala terbesar dalam mengangkat keterpurukan dan ketertindasan perempuan dalam nuansa budaya patriarkhi. Keempat: Komunikasi, beberapa wakil perempuan yang telah duduk di lembaga
legislatif
mengalami
kendala
psikhologis
luar
biasa
( Wawancara,Isti’anah,12 mei 2004 ) Untuk mengkomunikasikan kepentingan perempuan secara khusus yang seharusnya dipahami oleh laki-laki seperti pentingnya peningkatan kaulitas hidup perempuan, hak-hak reproduksi, peningkatan pendidikan dan wawasan perempuan, kekerasan terhadap perempuan, eksploitasi perempuan dan anak pada dunia kerja, dan isu-isu perempuan lainnya. Sejumlah kepentingan perempuan yang dipandang menjadi penghambat proses pembangunan secara makro kurang mendapat respon dikalangan anggota legislatif disebabkan kurangnya sensitifitas dan responsif terhadap kesetaraan gender dan jumlah perempuan sangat minor. Tidak heran jika anggota legislatif perempuan harus berjuang dihadapan mayoritas laki-laki. Sementara segelintir perempuan yang duduk di parlemen belum seluruhnya menjadi pejuang gender, bahkan terbawa arus politik maskulin. Kelima: Diri perempuan (internal), hambatan berpartisipasi secara politis berasal dari peremmpuan sendiri.( Makalah, Mufidah, 12 mei 2004 ) Pencitraan perempuan sebagai mahluk lemah, tidak mandiri, kurang tanggung jawab yang sudah meresap di alam bawah sadar, dirasakan oleh perempuan sebagai fitrah, bawaan dan kodrati. Inferioritas (rendah diri) akibat konstruk masyarakat juga menjadi hambatan perempuan dalam proses aktualisasi potensi dirinya. Kurang mampunya perempuan mengukur potensi diri menyababkan perempuan seolah kehilangan jati dirinya. Sebagai akibatnya adalah pola pikir perempuan menjadi
32 sangat akrab dengan kepasrahan, sengaja atau tidak akan dimanfaatkan oleh kekuatan superioritas laki-laki. Keenam: Pandangan tentang politik. ( Faktor yang mempengaruhi, 1992, 19 ) Sebagaian perempuan beranggapan bahwa memasuki wilayah politik adalah memasuki dunia lain yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan luar biasa. Hal ini dapat mendorong perempuan untuk terlena mengejar karier politik tanpa menoleh bawa sisekitarnya ada sejumlah perempuan yang menunggu untuk diperjungkan nasibnya, sehingga kepentinga perempuan menjadi terlupakan. Di sini awal munculnya tipe madona-madona yang menikmati prestasi dan karier untuk dirinya sendiri. Kurang memiliki naluri juang untuk orang yang lemah dan tertindas yang dikenal dengan politik androsendtris.( Makalah,Pingky S,Sabtu,128-2003). Politik androsentris dengan ciri khasnya adalah memarginalisasi perempuan,
semestinya
menjadi
agenda
untuk
dihapuskannya
dan
mempopulerkan politik androgini agar siapapun baik laki-laki atau perempuan dapat menyuarakan suara perempuan. Ketujuh: Sosialisasi. Persoalan perempuan sulit untuk tercover dalam kebijakan
legislatif, karena perundang-undangan pada umumnya masih bias
gender, sekalipun dalam UUD 45, Pancasila sebagai dasar negara dan ratifikasi Indonesia terhadap konvensi- konvensi internasional tlah memberikan peluang sama antara laki dan peremuan, dalam realitas sangat jauh berbeda. Politicak will di tingkat eksekutif untuk perempuan masih rendah. Karenanya kebijakan politik kurang berpihak pada perempuan. Kedelapan: Ekonomi.( Wawancara, Maulidah, 12 Februari 2004 ) Kesulitan lain yang tidak menjadi perhatian awal bagi perempuan adalah dana
33 kampanye..Setiap partai politik membutuhkan dana besar yang diperoleh dari pendaftaran calon anggota legislatif. Pada masalah ini perempuan secara umum mengalami kesulitan, terlebih ketika perempuan merasa akan penempatannya pada nomor–nomor urut tidak jadi, maka persoalan pendanaan menjadi pertimbangan yang cukup besar dalam proses politik bagi perempuan.
2.4.4. Peluang Perempuan Berpartisipasi Dalam Politik Mengapa perempuan berpartisipasi dalam politik, padahal jika melihat peran dan problematika perempuan yang begitu komplek akan semakin banyak membutuhkan energi dalam sistem patriakhi di rana publik, ruang gerak perempuan seakan dibatasi, akan tetapi potensi dan faktor – faktor pendukung itulah yang membuat aktivis perempuan tidak pernah jenuh berpartisipasi di panggung politik, antara lain : 1. Jumlah perempuan lebih banyak dibanding jumlahlaki – laki ( 52 % ) data BPPS 2000. 2. Secara rasional, perempuan mempunyai pengaruh kuat terhadap komunitasnya, karena jumlah perempuan. 3. Sumberdaya perempuan menunjukkan peningkatan, hal ini terbukti dengan semakin banyaknya perempuan yang mengikuti program- program pendidikan sampai tingkat tinggi, hal ini terbukti dengan latar belakang pendidikan anggota dewan perempuan di Jawa Timur
34 2.1 Tingkat Pendidikan Anggota DPRD Perempuan di Jatim 1999 - 20004 2004 - 2009
Tingkat pendk. periode
SLTA Sarjana Muda Sarjana ( S 1 ) Sarjana ( S 2 )
2 ( 18,2 % ) 7 ( 63,6 % ) 2 ( 18,2 % )
2 ( 12,5 % ) 8 ( 50 % ) 6 ( 37,5 % )
4. Dari segi moral, perempuan masih menunjukkan sikap yang baik di lembaga legislatif sehingga kemungkinan sangat kecil melakukan penyimpangan tugas dan kewajiban dalam mengemban amanat rakyat 5. Prosses karier politik bagi perempuan sangatlah sisitematis karena selalu diawali dari pengalaman berorganisasi, sehingga kebiasaan untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan adalah sesuatau yang biasa 6. Kelompok – kelompok pejuang perempuan baik di LSM atau di pusat – pusat studi perempuan serta ormas keagamaan dapat ditingkatkan dalam memberikan dukungan politik kepada perempuan di parlemen. 7. Rasa dan kehendak perempuan tidak mungkin terwakilkan pada kaum laki – laki, terutama dalam tataran rumusan kebijakan ( Opini, Ani Soetjipto, Senin 15 september 2003 )
2.5
Partisipasi Perempuan Sebelum Pemilihan Umum 2004 Berbagai upaya pemberdayaan dan peningkatkan peran yang dilakukan oleh
para perempuan yang aktif dalam dunia politik atau ormas dan LSM di Jawa Timur telah dilakukan jauh sebelum pemilihan umum 2004, Pemilu dianggap sebagai grand final bagi para aktivis politik dalam sebuah proses politik.karena hasil pemilu akan memberikan data tingkat keberhasilan perjuangan yang telah dilakukan. Diantara kegiatan pemberdayaaqn perempuan melalui :
35 2.5.1 Meningkatkan 30 % Keterwakilan Perempuan dalam Pengurus Parpol Sistem demokrasi telah memberikan angin segar berupa peluang terhadap keterlibatan perempuan dalam legislatif, ikut serta menentukan kebijakan.Hal ini tampak ketika disaratkannya keterwakilan perempuan baik dalam UU No.13 tentang partai politik pasal 13 ayat 3, tentang kepengurusan partai politik hendaknya dilakukan secara musyawarah, disesuaikan dengan AD/ART dengan memperhatikan kesetaranan dan keadilan gender. Meskipun pasal ini tidak mengikat dan memberikan sangsi hukum bagi partai yang tidak merealisasikannya, akan tetapi masyarakat akan memberikan penilaian dan menjadi beban moral bagi pimpinan parpol, karena akan mempengaruhi citra partai. Sementara itu, kita wajib salut pada PKB yang telah menetapkan kewajiban memasukkan unsur perempuan di seluruh jajaran kepengurusan partai pada. Setiap jenjang kepemimpinan minimal 30 %. Akhir-akhir ini di jaIan-jalan raya sepanjang Malang- Surabaya, dapat kita baca spanduk - spanduk dari PKB, yang antara berbunyi; "Tidak ada demokrasi yang sejati, tanpa keterwakilan perempuan dalam Lembaga Perwakilan Rakyat". Keputusan PKB dan pernyataan dalam spaduk harus ditangkap oleh perempuan sebagai peluang emas dalam kebangkitan perempuan pada bidang politik. PDIP, Golkar, PKB, PPP, Demokrat sebagai partai terbesar di Jawa Timur dalam perolehan suara pada pemilihan umum 2004 telah mengikut sertakan perempuan dalam kepengurusannya 20 – 25 %, bahkan ada yang memberikan tempat yang secara otonomi dalam gerakan pengembangan dan perekrutan kader perempuan melalui organisasi yang dibawa naungannya, misalnya PPP dengan
36 wanita persatuannya, PKB dengan pergerakan perempuan kebangkitan bangsa ( PPKB ). 2.5.1. Meningkatkan 30 % Keterwakilan Perempuan pada Pencalonan Anggota Legislatif Kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen disebabkan oleh serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan mereka. Oleh karena itu, berbagai strategi harus dilakukan secara simultan untuk mengatasi hambatan dan sekaligus meningkatkan partisipasi serta keterwakilan perempuan di parlemen. Pada Pemilu tahun 1999, 52% pemilih adalah perempuan, di Jawa Fimur 57% pemilih adalah perempuan, namun setelah Pemilu, secara nasional hanya 7% perempuan, yang menjadi anggota DPR (lembaga legislatif). Hanya dua orang perempuan yang menjadi menteri (lembaga legislatif),dan seorang perempuan sebagai presidennya. Di Jawa Timur, peta posisi perempuan di tiga lembaga negara. tersebut, adalah: pada lembaga legislatif, hanya ada 11 orang perempuan dari 100 orang anggota DPRD, dengan rincian 4 orang dari FPKB, 3 orang dari FPDIP, 2 orang dari FGabungan; 2 orang Fpartai Colkar dan 0 orang dari TNI. Pada, lembaga eksekutif, perempuan hanya menduduki jabatan pada level Kepala Bagian saja.(Profil Statistik dan Indikator jender di Jawa Timur, 2001). Perubahan dalam cara penyelenggaraan pemilu, dengan jumlah partai politik yang cukup besar dibawah pemerintahan Orde Lama, menjadi tiga partai di bawah rezim Orde Baru, kemudian berkembang menjadi 48 partai di era reformasi, menghasilkan perubahan yang signifikan dalam pola presentasi perempuan dalam
37 berbagai lembaga negara, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada berbagai tingkatan administrasi pemerintahan. Meskipun secara nasional, sejak pemilu tahun 1955, unsur perempuan selalu terwakili di DPR dan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), persentase keterwakilan mereka menunjukkan perbedaan. Kongres Wanita Indonesia Pertama pada tahun 1928 merupakan tonggak sejarah bagi wanita Indonesia dalam upaya mempertegas peran publik mereka, khususnya dalam politik. Dalam forum ini organisasi -organisasi perempuan dari berbagai kelompok etnis, agama dan bahasa dipersatukan. Kemunculan dan perkembangan organisasi-organisasi ini memainkan peranan penting dalam meningkatkan kualitas diri perempuan, seperti meningkatkan
kemampuan
manajemen,
memperluas
wawasan,
dan
mengembangkanjaringan. Dalam konteks politik, organisasi-organisasi yang melatih dan meningkatkan kapasitas diri perempuan ini merupakanjaringan yang efektif untuk merekrut kendidat anggota legislatif. Pada pemilihan umum pertama, tahun 1955, beberapa calon anggota legisiatif perempuan merupakan anggota organisasi perempuan yang berafiliasi pada partai. Pada pemilu berikutnya,ada kecenderungan bahwa kandidat anggota legislatif berasal dari kalangan pimpinan organisasi-organisasi perempuan yang bernaung di bawah partai atau berafiliasi dengan partai. Dalam
negara
yang
menganut
sistem
nilai
patriarkal,
seperti
Indonesia,kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias kearah membatasi peran perempuan pada urusan rumah
38 tangga. Namun demikian, pada masa perjuangan kemerdekaan, kebutuhan akan kehadiran banyak pejuang, baik laki-laki maupun perempuan, membuka kesempatan luas bagi para wanita untuk berkiprah di luar lingkup domestik dengan tanggungjawab urusan rumah tangga. Masyarakat menerima dan menghargai para pejuang perempuan yang ikut berperan di medan perang, dalam pendidikan, dalam pengobatan, dan dalam pengelolaan logistik. Kesempatan ini memberi kemudahan pada perempuan untuk memperjuangkan isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan mereka atau yang terjadi di sekitar mereka, selain isu politik. Pada pemilihan umum tahun 1955, pada masa Orde Lama, jumlah perempuan di DPR mencapai 17 orang, empat diantaranya dari organisasi Gerwani dan lima dari Muslimat NU. Pemilihan umum pertama dinilai sebagai demokratis, dengan partisipasi perempuan dalam politik didasarkan pada kemampuan mereka sebagai pemimpin dari unit-unit yang ada dalam organisasi-organisasi partai. Pada Pemilu 2004, UU pemilu No.12 pasal 65 ayat 1 juga mensyaratkan keterwakilan perempuan 30 %. Kedua pasal tersebut sebagai peluang dan tantangan perempuan dalam berpartisipasi aktif dalam dunia politik,akan tetapi realisasi di lapangan menggambarkan :” Sulitnya memenuhi quota 30 % bagi kontestan pemili 2004” sebagaimana dilansir ketua muslimat pusat Khofifah Indar Parawansah dalam pembekalan calon anggota legislatif di Jakarta (Duta, Desember 2003). Bukan hanya partai politik ditingkat pusat yang merasa kesulitan memenuhi quota perempuan, tapi pengurus partai di tingkat Kabupaten / Kota merasakan hal
39 yang sama,sebagai tindakan antisipatif ada beberapa pengurus partai politik yang memberikan ruhsoh kepada perempuan yang mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif, misalnya : masalah konstribusi pendaftaran, pembuatan karya ilmiah bagi setipa pendaftar. Ruhsoh yang diberikan kepada perempuan dalam satu sisi menguntungkan karena setart perjuangan antara laki-laki itu berbeda, pada sisi lain sangatlah merugikan nilai bargaining bagi perempuan untuk meninggkatkan partisipasinya dalam mencapai tujuan bersama. Sebagai gambaran tingkat partisipasi perempuan dalan pencalonan anggota legislatif latif tahun 2004, berikut data calon anggota legislatif laki dan perempuan beberapa partai politik. Tabel 2.2 Data Calon Anggota Legislatif Jawa Timur Jumlah Caleg No. Partai Presentase Caleg perempuan 1. 120 38 PKB 32% 2. 60 21 PAN 36% 3. PDIP 95 13 14% 4. 34 PNI 13 38% 6. 37 PBR 14 38% 7. PPDK 111 30 27% 103 8. GOLKAR 25 24% 9. 50 15 PPP 30% 10. DEMOKRAT 74 20 27% Sumber data : ( Duta mayarakat Rabu, 31 Desember 2003 )
2.5.2. Melaksanakan Voters Education Bagi Perempuan Perempuan diciptakan dengan karakteristik “ Suka Berkorban “, sehingga aktivitasnya begitu luas dan padat, jika dilihat mulai dari pagi sampai petang dan kembali pagi lagi, dari sebelum musim kampanye sampai penetapan calon anggota legislatif dan musim kampanye lagi, aktivitas perempuan tidak pernah
40 berhenti untuk terus menerus meningkatkan sumberdaya perempuan serta mengupayakan penyetaraan dan keadilan gender dalam dunia politik. Pada bulan september 2003 di Country Suite Surabaya, berkumpul aktivis perempuan dari partai politik dan organisasi kemasyarakatan atau LSM se Jawa Timur untuk mengadakan kegiatan pemberdayaan anggota perempuan berkaitan dengan sisitem pemilu 2004, proporsional dengan daftar nama terbuka
(semi
proporsional), sebuah peluang dan sekaligus tantangan bagi para aktivis perempuan dalam meningkatkan keterwakilannya di anggota legislatif jika melihat sistim pemilu dan hambatan berpolitik bagi perempuan di masyarakat. Melalui FPJ-POL yaitu forum perempuan Jawa Timur untuk politik ini, mengadakan muhibah di beberapa daerah Jawa Timur dengan issu “ Voters Education for Women “, di 24 Kabupaten/ Kota sebanyak 48 kali dalam waktu 2 bulan berturut – turut mulai Deaember 2003 sampai Februaei 2004, dalam sosialisasi Undang – Undang pemilu pada tingkat basis, banyak ditemukan problem, diantaranya : 1. Sikap apatisme masyarakat terhadap pemilu 2. Sikap khawatir dan tidak percayanya masyarakat terhadap calon anggota legislatif perempuan 3. Kekhawatiran dari caleg. Perempuan sendiri
2.5.3. Mengadakan Pelatihan Politik Pelatihan politik diperuntukkan kepada pengurus perempuan partai, hal ini sebagai upaya pemberdayaan dan penempaaan kepada para aktivis partai agar selalu siap mengikuti proses politik yang ada dalam partainya masing – masing
41 melalui aliansi perempuan partai yaitu FKPPI (Forum komunikasi perempuan partai Indonesia) di Jawa Timur. Ada beberapa perempuan partai
yang bergabung dalam FKPPI yaitu
Perempuan PDIP ( Departemen Wanita ), Golkar ( KPPG ), PPP ( Wanita Persatuan ). PKB ( Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bnagsa ), dan Demokrat ( Wanita Demokrat ). Para pengurus perempuan partai berusaha meningkatkan SDM kader melalui beberapa pelatihan karena selama ini mereka kurang banyak memahami proses – proses politik dengan ketrampilan – ketram[pilan yang harus dimiliki, dengan materi yang bervariasi antara lain : materi loby, negosiasi, advokasi, kepemimpinan dll. Selama pra pemilu FKPPI telah mengadakan pelatihan politik sebanyak tiga putaran untuk tingkat wilayah Jawa Timur.
2.5.4. Mengadakan Pelatihan Advokasi Partai politik sebenarnya identik dengan advokasi, karena partai politik harus melakukan pendampingan ( advokasi ) terhadap konstituennya melalui kader–kader partai baik yang menjadi anggota legislatif atau kader partai yang berada di organisasi lainnya. Materi advokasi diberikan untuk meningkatkan sumber daya kepada para aktivis partai bahkan non partisan tentang produk–produk kebijakan, sehingga dapat mengkritisi sejauh mana produk kebijakan yang dihasilkan atau dirumuskan oleh wakil – wakil rakyat melalui lembaga legislatif. Dan bagi aktivis non partai
42 dapat melakukan kontrol dan tekanan ( preasure ) terhadap anggota legislatif atas produk kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat.
2.6
Partisipasi Perempuan Sesudah Pemilu 2004 Pemilihan umum calon anggota legislatif baik tingkat kabupaten / kota,
propinsi sampai pusat serta pemilihan anggota dewan perwakilan daerah telah dilaksanakan pada tanggal 5 juli 2004, hasil perolehan suara yang akan menentukan berapa calon anggota legislatif
sudah ditentukan, sehingga para
aktivis perempuan dapat menghitung seberapa jumlah keterwakilan perempuan di DPRD, DPRD I, dan DPR. Hasil pemilu 2004 memberikan kesan tersendiri bagi perjuangan perempuan, kegagalan memperjuangkan quota 30 % bagi perempuan di anggota legislatif sebagai pengalaman. Berikut keterwakilan perempuan di DPRD Jawa Timur dan data keterwakilan perempuan dari pemilu ke pemilu untuk DPR RI sebagai bahan perbandingan.
Tabel 2.3. Jumlah Anggota Legislatif Perempuan Tingkat 1999 2004 DPR 45 = 5,2 % 57 = 10,3 % DPRD I 11 = 11 % 16 = 16 % Data dari seketariat DPRD I Jawa Timur
43 Tabel 2.4. Tingkat Keterwakilan Perempuan di DPR RI Hasil SetiapPemilu Perempuan Laki-laki 1950 – 1955 9 ( 3,8 % ) 236 ( 96 % ) 1955 – 1960 17 ( 6,3 % ) 272 (93,% ) 1956 – 1959 25 ( 5,1 % ) 488 ( 94 % ) 1971 -1977 36 ( 7,8 % ) 460 ( 92 % ) 1977 – 1982 29 ( 6,3 % ) 460 ( 93 % ) 1982 – 1987 39 ( 8,5 % ) 460 ( 91,5 % ) 1987 – 1992 65 ( 13 % ) 500 ( 87 % ) 1992 – 1997 62 ( 2,5 % ) 500 ( 87 % ) 1997 – 1999 54 ( 10,8 % ) 500 ( 89,2 % ) 1999 – 2004 46 ( 9 % ) 500 ( 91 % ) 2004 - 2009 57 ( 10,3 % ) 493 (89,7 % ) Data dari Olahan Cetro dan Jawa Pos 10 Mei 2004 Meskipun perjuangan untuk mendapat quota 30 % bagi perempuan dianggap gagal akan tetapi keterwakilan perempuan mengalami penigkatan pada pemilu 2004 di DPRD Jawa Timur, hal ini tidak menyurutkan nilai – nilai perjuangan aktivis perempuan, karena sarana strategis dalam meminimalisir bahkan menghapus ketidak adilan untuk mencapai titik kesetaraan gender melalui lembaga legislatif dan keterwakilan yang representatif dan profesional. Sehingga partisipasi perempuan secara optimal melalui anggota legislatif 2004 diharapkan : 1. Secara kolektif anggota legislatif perempuan mempunyai keberanian memperjuangkan hak – hak perempuan serta berjuang memberantas KKN. 2. Anggota legislatif perempuan hendaknya dapat merubah image bahwa politik itu kotor sehingga
perempuan tetap akan menjaga keseimbangan antara
intelektualitas dan emosional dalam proses politis 3. Anggota
legislatif
perempuan
diharapkan
menjadi
pelopor
dalam
memperjuangkan issu kerakyatan, perempuan dan anak yang selama ini kurang disentuh oleh para wakil rakyat. (Rosanti,2004,14) 4. Anggota legislatif perempuan dapat merubah image tentang gaya hidup, agar tidak menjadi jurang pemisah denagn rakyat yang diwakilinya
44 5. Komunikasi aktif dengan rakyat yang diwakili, hendaknya menjadi sarana memahami permaslahan yang berkembang. 6. Anggota Legislatif perempuan harus kompak untuk sebuah perubahan yang signifikan bagi perubahan kaumnya. Selain partisipasi anggota legislatif perempuan, segenap komponen masyarakat tetap akan berpartisipasi secara aktif melalui forum – forum atau organisasi yang ada dalam bentuk, bahkan beberapa kelompok perempuan yang mempunyai integritas tinggi, merasa lebih nyaman berpartisipasi dalam wadah organisasi non pemerintahan NGO atau LSM dan tidak tertarik di partai politik (Makalah, Eros Jarot, 12 Januari 2004). Para aktivis perempuan diluar anggota legislatif dapat berpartisipasi aktif melalui beberapa kegiatan, diantaranya : a. Melakukan kontrol terhadap kinerja anggota dewan yang terhadap amanat rakyat, meskipun fungsi dewan juga kontroling, sebenarnya kontrol internal lebih efektif dan efisien karena tidak melibatkan unsur organisasi yang lain (Clutterbuck,2003,45) b. Ikut serta dalam perencanaan anggaran pembangunan Daerah c. Sebagai pelaksana dalam peningkatan pemberdayaan warga masyarakat
45