BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS 2.1.1
Pengertian HIV dan AIDS Virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk
ke dalam famili lentivitus. Retrovirus mempunyai kemamapuan menggunakan RNA nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama masa periode inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik-laten), dan utamanya menyebabkan muncul tanda dan gejala Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). HIV menyebkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4 dan limfosit untuk mereplikasi diri. dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4 dan limfosit (Nursalam dan Kurniawati, 2007). Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh. Bukan penyakit bawaan tetapi di dapat dari hasil penularan. Penyakit yang disebabkan oleh HIV ini telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah penderita dan semakin melanda banyak negara. Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau obat yang relatif efektif untuk AIDS sehingga menimbulkan keresahan di dunia ( Depkes RI, 2006 ).
9 Universitas Sumatera Utara
Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar melebar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen fungsional dan structural. Tiga gen tersebut adalah gag, pol dan env. Gag berarti grup antigen, pol mewakili polymerase, dan env adalah kepanjangan dari envelope. Gen gag mengode protein inti. Gen pol mengode enzim reserse transcriptase, protease, dan integrase. Gen env mengode komponen struktural HIV yang dikenal dengan glikoprotein (Hoffmann, Rockstrob, dalam Nursalam dan Kurniawati, 2007). 2.1.2. Patogenesis HIV menempel pada sel limfosit sel induk melalui gp 120 sehingga akan terjadi fusi membran HIV dengan sel induk. Inti HIV kemudian masuk ke dalam sitoplasma sel induk. Di dalam sael induk, HIV akan membentuk DNA HIV dari RNA HIV melalui enzim polymerase. Enzim integrasi kemudian akan membantu DNA HIV untuk berinteraksi dengan DNA sel induk. DNA virus yang dianggap oleh tubuh sebagai sel DNA induk, akan membentuk RNA dengan fasilitas sel induk, sedangkan RNA dalam sitoplasma akan diubah oleh enzim protease menjadi partikel HIV. Partikel ini selanjutnya mengambil selubung dari bahan sel induk untuk dilepas sebagai virus HIV lainnya. Mekanisme penekanan pada system imun (Immunosupresi) ini akan menyebabkan pengurangan dan terganggunya jumlah dan fungsi limfosit T (Widoyono, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Cara Penularan Penyakit ini menular melalui berbagai cara. Antara lain melalui cairan tubuh seperti darah, cairan genetalia, cairan sperma dan ASI. Virus terdapat juga pada saliva, air mata dan urin tapi dengan konsentrasi yang sangat rendah. Terdapat tiga cara penularan HIV, yaitu : a. Hubungan seksual : baik secara vagina, oral maupun anal dengan seseorang pengidap. Ini adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 70-80% dari total kasus sedunia. Penularan lebih mudah terjadi apabila terdapat lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis, gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Risiko pada seks anal lebih besar dibandingkan seks vagina, dan resiko lebih besar pada receptive dari pada insertive. b. Kontak langsung dengan darah atau produk darah/jarum suntik : b.1 Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, resikonya sangat tinggi sampai 90% ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus sedunia. b.2 Pemakaian jarum suntik tidak steril/ pemakaian bersama jarum suntik dan sempritnya pada para pecandu narkotika suntik. Resikonya sekitar 0,5-1% dan terdapat 5- 10% dari total kasus sedunia b.3 Penularan lewat kecelakaan, tertusuk jarum pada petugas kesahatan, resikonya kurang dari 0,5% dan telah terdapat 0,1% dari total kasus sedunia.
Universitas Sumatera Utara
c. Secara vertical : dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selama hamil, saat melahirkan, atau setelah melahirkan.resiko sekitar 25%-40% dan angka transmisi melalu ASI di laporkan lebih dari sepertiga. 2.1.4. Diagnosis Metode yang umum untuk menegakan diagnosis HIV meliputi : a. ELISA (Enzym Linked Immuno Sorbent Assay): sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100% . Tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi b. Western blot : spesifisitasnya tinggi yaitu sebesar 99,9-100%. Pemeriksaannya cukup sulit, mahal, membutuhkan waktu sekitar 24 jam. c. PCR ( Polymerase Chain Reaction ) :tes ini digunakan untuk : c.1 Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang dapat menghambat pemerikasaan secara serologis. Seorang ibu yang menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit tersebut. Zat kekebalan tubuh yang diturunkan pada bayi melalui plasenta yang mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut ( Pemeriksaan HIV sering merupakan deteksi dari zat anti HIV bukan deteksi HIV nya sendiri ). c.2 Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko tinggi. c.3 Tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi. c.4 Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitifitas yang rendah untuk HIV-2.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Pengobatan Pengobatan pada penderita HIV/AIDS meliputi : a. Pengobatan suportif b. Penanggulangan penyakit oportunistik c. Pemberian obat antivirus d. Penanggulangan dampak psikososial Obat antivirus HIV/AIDS adalah : a. Didanosin (ddl) Dosis :
2 x 100 mg, setiap 12 jam (BB < 60 kg ) 2 x 125 mg, setiap 12 jam (BB < 60 kg )
b. Zidovudin (ZDV) Dosis 500-600 mg/hari, pemberian setiap 4 jam sebanyak 100 mg, pada saat penderita tidak tidur. c. Lamivudin (3TC) d. Stavudin (d4T) Obat ARV (antiretrovirus) masih merupakan terapi pilihan karena : a. Obat ini bisa memperlambat progresivitas penyakit dan dapat memperpanjang daya tahan tubuh. b. Obat ini aman, mudah dan tidak mahal. Angka transmisi dapat diturunkan sampai mendekati nol malalui identifikasi dini ibu hamil dengan HIV positif dan pengelolaan klinis yang agresif.
Universitas Sumatera Utara
c. Hasil penelitian dalam hal upaya pencegahan dengan imunisasi belum memuaskan. Beberapa ahli megusulkan penelitian tentang bagaimana agar CD4 tiruan diserang oleh virus, sehingga CD4 alami tetap normal. Bagian yang diserang virus HIV adalah sel darah putih terutama sel limfosit pada bagian CD4. CD4 adalah bagian dari limfosit yang menunjukkan seberapa besar fungi pertahanan tubuh manusia. Jumlah CD4 yang rendah menunjukkan pertahanan tubuh yang lemah dan mudah terkena infeksi virus, bakteri dan jamur. 2.1.6. Pencegahan Pada prinsipnya pencegahannya dapat dilakukan dengan cara mencegah penularan virus HIV melalui perubahan perilaku seksual yang terkenal dengan istilah “ABC” yang telah terbukti mampu menurunkan percepatan penularan HIV, terutama di Uganda dan beberapa Negara Afrika lain. Prinsip “ABC” ini telah dipakai dan dibakukan secara internasional, sebagai cara paling efektif mencegah HIV lewat hubungan seksual. Prinsip “ABC” itu adalah : “A” : Anda jauhi seks sampai anda kawin atau menjalin hubungan jangka panjang dengan pasangan (Abstinesia). “B” : Bersikap saling setia dengan pasangan dalam hubungan perkawinan atau hubungan jangka panjang tetap ( Be faithful ) “C” : Cegah dengan memakai kondom yang benar dan konsisten untuk penjaja seks atau orang yang tidak mampu melaksanakan A dan B (Condom). Untuk penularan non seksual berlaku prinsip “D” dan “E” yaitu :
Universitas Sumatera Utara
“D” : Drug ;“say no to drug” atau katakan tidak pada napza/narkoba. “E” : Equipment ; “no sharing” jangan memakai alat suntik secara bergantian.
2.2 Konseling dan Tes HIV Sukarela atau Voluntary Counselling and Testing HIV 2.2.1. Pengertian Konseling dalam VCT Konseling
merupakan
proses
membantu
seseorang
untuk
belajar
menyelesaikan masalah interpersonal, emosional dan memutuskan hal tersebut. Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV dan AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawaban, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV dan AIDS ( Depkes RI, 2006 ). Orang yang memberikan konseling disebut dengan konselor. Untuk dapat memberikan layanan VCT maka konseling dan tes haruslah berkualitas, artinya VCT harus dilakukan secara professional oleh mereka yang kompeten. Ada 4 jenis konselor yang kompeten memberikan layanan konseling berdasarkan model implementasi dan strategi untuk meningkatkan layanan VCT : 1. Konselor sebaya (Peer counselor), adalah konselor yang mempunyai latar belakang sama dengan klien (termasuk ODHA). misalnya, mantan pengguna NAPZA yang bertugas sebagai konselor penjangkauan, ibu-ibu membantu konseling pada PMTCT, konselor ditempat kerja dan konselor bagi remaja sebaya.
Universitas Sumatera Utara
2. Konselor awam (Lay counselor) adalah konselor yang melakukan konseling pre dan pos test, konseling lanjutan pada kasus yang biasa tanpa komplikasi. 3. Konselor professional (Profesional counselor) adalah konselor dengan latar belakang tertentu dokter, psikolog, pekerja social, perawat, dan lain-lain. Konselor ini dapat melakukan konseling pre dan pasca test, konseling pasangan, konseling lanjutan dan dukungan konseling bagi konseling awam dan sebaya. 4. Konselor senior (Senior Counselor) adalah konselor berpengalaman dan memiliki pendidikan konseling dan psikoterapi. Tugasnya memberikan dukungan dan supervise bagi konselor lainnya, membimbing peran pembibingan, pelatihan kader konselor, menerima rujukan kasu-kasus komplek dan sulit, memfasilitasi kelompok-kelompok dukungan jika diperlukan (Depkes RI, 2006). 2.2.2. Peran Konseling dan Testing Sukarela (VCT) a. Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat klien mencari pertolongan medic dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik, dan ART. b. VCT harus dikerjakan secara professional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan resiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV dan AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk
Universitas Sumatera Utara
menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat. c. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan, segera setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi, dan risiko. Konseling dan tes HIV sukarela uyang dikenal sebagai Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV dan AIDS berkelanjutan. Program VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien dengn memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk pencegahan primer melalui konseling dan KIE ( Komunikasi, Informasi dan Edukasi ) seperti pemahaman HIV, pencegahan penularan dari ibu ke anak (Prevention of Mother To Child Transmission – PMTCT ) dan akses terapi infeksi oportunistik, seperti tuberculosis (TBC) dan infeksi menular seksual (KPA, 2010). VCT harus dikerjakan secara professional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan resiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV dan AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat (KPA, 2010). VCT merupakan kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah untuk HIV di laboratorium.
Universitas Sumatera Utara
Test HIV dilakukan setelah klien terlebih dahulu memahami dan menandatangani informed consent yaitu surat persetujuan setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar. VCT merupakan hal penting karena : 1. Merupakan pintu masuk ke seluruh layanan HIV dan AIDS 2. Menawarkan keuntungan, baik bagi yang hasil tesnya positif maupun negatif, dengan focus pada pemberian dukungan atas kebutuhan klien seperti perubahan perilaku, dukungan mental, dukungan terapi ARV, pemahaman factual dan terkini atas HIV dan AIDS. 3. Mengurangi stigma masyarakat 4. Merupakan pendekatan menyeluruh : kesehatan fisik dan mental. 5. Memudahkan akses ke berbagai pelayanan yang dibutuhkan klien baik kesehatan maupun psikososial. Meskipun VCT adalah sukarela namun utamanya diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah terinfeksi HIV atau AIDS, dan keluarganya, atau semua orang yang mencari pertolongan karena merasa telah melakukan tindakan berisiko di masa lalu dan merencanakan perubahan di masa depannya, dan mereka yang tidak mencari pertolongan namun berisiko tinggi. Ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi dalam pelayanan VCT, yakni VCT harus dilakukan dengan : 1. Sukarela, tanpa paksaan. 2. Kerahasiaan terjamin : proses dan hasil tes rahasia dalam arti hanya diketahui dokter/konselor dan klien.
Universitas Sumatera Utara
3. Harus dengan konseling. 4. VCT tidak boleh dilakukan tanpa adanya konseling atau dilakukan secara diamdiam. 5. Harus ada persetujuan dari pasien dalam bentuk penandatanganan Lembar Persetujuan (informed consent) (Depkes RI, 2006). Tujuan umum VCT adalah untuk mempromosikan perubahan perilaku yang mengurangi risiko mendapat infeksi dan penyebaran HIV. Tujuan Khusus VCT Bagi ODHA : 1. Meningkatkan jumlah ODHA yang mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV. Saat ini sangat sedikit orang di Indonesia yang diketahui terinfeksi HIV. Kurang dari 2.5% orang diperkirakan telah terinfeksi HIV mengetahui bahwa dirinya terinfeksi. 2. Mempercepat diagnose HIV, Sebagian besar ODHA di Indonesia baru mebgetahui bahwa dirinya terinfeksi setelah mencapai tahap simtomatik (bergejala) dan masuk ke stadium AIDS, bahkan dalam keadaan hampir meninggal. Dengan diagnosa lebih dini, ODHA mendapat kesempatan untuk melindungi diri dan pasangannya, serta melibatkan dirinya dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, sesuai dengan asas keterlibatan lebih besar oleh ODHA ( GIPA-Greater involvement of people with AIDS ) yang dideklarasikan pada KTT AIDS Paris 1994, yang ditanda tangani 42 negara termasuk Indonesia. 3. Meningkatan penggunaan layanan kesehatan dan pencegahan terjadinya infeksi lain pada ODHA. ODHA yang belum mengetahui dirinya terinfeksi HIV tidak
Universitas Sumatera Utara
dapat mengambil manfaat profilaksis terhadap infeksi oportunistik, yang sebetulnya sangatlah mudah dan efektif. selain itu,mereka juga tidak dapat memperoleh terapi antiretroviral secara lebih awal, sebelum system kekebalan tubuhnya rusk total dan tidak dipulihkan kembali. 4. Meningkatkan kepatuhan terhadap terapi antiretroviral. Agar virus tidak menjadi resisten dan efektivitas obat dapat dipertahankan diperlukan kepatuhan yang tinggi terhadap pengobatan. kepatuhan tersebut didorong oleh pemberian informasi yang lengakap, dan pemahaman terhadap informasi tersebut, serta oleh dukungan pendamping. 5. Meningkatkan jumlah ODHA yang berperilaku hidup sehat dan melanjutkan perilaku yang kurang berisiko terhadap penularan HIV dan IMS. Jika sebagian ODHA tahu status HIV dirinya, dan berperilaku sehat agar tidak menulari orang lain maka mata rantai epidemi HIV akan terputus. Konseling merupakan proses interaksi antara konselor dank lien yang membuahkan kematangan kepribadian pada konselor dan memberikan dukungan mental-emosional pada klien. Proses konseling mencakup upaya-upaya yang realistik dan terjangkau serta dapat dilaksanakan.
2.3 Perilaku 2.3.1 Pengertian Perilaku Telah banyak para ahli mendefinisikan perilaku, namun definisi tersebut hampir sama antara satu dengan yang lain. Bila ditinjau dari aspek biologis, perilaku
Universitas Sumatera Utara
adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010). Menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2010) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (Rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses : Stimulus-OrganismeRespon, sehingga teori Skinner ini disebut teori “SOR”. Berdasarkan Teori SOR, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : a. Perilaku tertutup (Covert behavior) ; Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus. b. Perilaku terbuka (Overt behavior) ; Perilaku terbuka terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar. Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010). a. Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya).
Universitas Sumatera Utara
b. Sikap (Attitude) Sikap adalah respons tertutup terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. c. Tindakan atau Praktik (Practice) Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. 2.3.2 Determinan Perilaku Kesehatan Lawrence W. Green dalam teorinya mencoba menganalisa masalah kesehatan dengan membagi menjadi dua faktor yaitu masalah yang berkaitan dengan faktor perilaku dan faktor non perilaku. Selanjutnya perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai. Kedua, faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik seperti ketersediaan sarana/fasilitas, informasi. Ketiga, faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku kelompok referensi, seperti petugas kesehatan, kepala kelompok atau peer group.
Universitas Sumatera Utara
Predisposing Factors - kebiasaan - kepercayaan - tradisi - pengetahuan - sikap
Non Perilaku
Masalah Kesehatan Pendidikan Kesehatan
Enabling Factors - ketersediaan fasilitas - ketercapaian fasilitas
Perilaku
Reinforcing Factors - sikap dan perilaku petugas - peraturan pemerintah Gambar 2.1 Bagan Predece Lawrence W. Green Selain itu perilaku manusia juga merupakan resultant dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, dan sikap. Gejala kejiwaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pengalaman, keyakinan, sarana fisik, dan sosiobudaya masyarakat (Notoatmodjo, 2007). Kurt Lewin (1970) dalam teorinya berpendapat bahwa perilaku manusia adalah keadaaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining forces). Perilaku itu dapat berubah
Universitas Sumatera Utara
apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut didalam diri seseorang. Sehingga ada tiga kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang itu, yakni : a. Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat . Hal ini terjadi adanya stimulusstimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan perilaku. b. Kekuatan-kekuatan penahan
menurun. Hal ini akan terjadi adanya stimulus-
stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. c. Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat dan kekuatan-kekuatan penahan menurun. Teori Health Belief Model (HBM) dari Becker & Rosenstock berpendapat bahwa perilaku juga dibentuk oleh persepsi kita terhadap sesuatu. Persepsi akan menentukan keputusan yang kita ambil dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya. Teori HBM oleh Rosenstock dalam Kalichman (1998) ini didasarkan pada empat elemen persepsi seseorang, yaitu : a. Perceived susceptibility : penilaian individu mengenai kerentanan mereka terhadap suatu penyakit. b. Perceived seriousness : penilaian individu mengenai seberapa serius kondisi dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut. c. Perceived barriers : penilaian individu mengenai besar hambatan yang ditemui untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan, seperti hambatan financial, fisik, dan psikososial.
Universitas Sumatera Utara
d. Perceived benefits : penilaian individu mengenai keuntungan yang didapat dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan. Selanjutnya, teori ini kemudian dikembangkan dan ditambahkan dengan faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, yaitu : a. Variabel sosio-demografi ; seperti usia, jenis kelamin, ras, pekerjaan, dsb. b. variabel sosio-psikologis ; seperti kepribadian, sosial-ekonomi, dsb . c. Variabel structural ; seperti pengetahuan, pengalaman, dsb. d. Cues to action ; pengaruh dari luar dalam mempromosikan perilaku kesehatan yang disarankan, seperti pemberian informasi melalui media massa, artikel surat kabar dan majalah, saran dari ahli, dsb.
2.4 Landasan Teori HBM (Health Belief Model) dikembangkan pada tahun 1950-an untuk menjelaskan respon individu terhadap gejala penyakit, diagnosa, pengobatan dan alasan mengapa orang tidak berpartisipasi pada program kesehatan masyarakat. HBM pada dasarnya adalah psikologi sosial dan didasari oleh pemikiran bahwa persepsi terhadap ancaman adalah prekusor yang penting dalam tindakan pencegahan. HBM berakar pada teori kognitif yang menekankan peran hipotesis atau harapan subjektif individu. Pada perspektif ini, perilaku merupakan fungsi dari nilai subjektif suatu dampak (outcome) dan harapan subjektif bahwa tindakan tertentu akan mencapai dampak tersebut. Konsep ini dikenal sebagai teorinilai-harapan (value-expectancy). Jadi dapat dikatakan HBM merupakan teori-harapan. Jika konsep ini diaplikasikan
Universitas Sumatera Utara
pada perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, maka dapat diterjemahkan menjadi keinginan untuk tidak sakit atau menjadi sembuh (nilai), dan keyakinan (belief) bahwa tindakan kesehatan tertentu akan mencegah atau menyembuhkan penyakit (harapan). Harapan ini kemudian diterjemahkan sebagai perkiraan seseorang terhadap resiko mengidap suatu penyakit dan keseriusan akibat suatu penyakit, serta kemungkinan untuk mengurangi ancaman penyakit melalui suatutindakan tertentu. HBM terdiri dari tiga bagian yaitu latar belakang, persepsi dan tindakan.Latar belakang terdiri dari faktor sosiodemografi, sosiopsikologi, dan struktural. Latar belakang ini akan mempengaruhi persepsi terhadap ancaman suatu penyakit dan harapan keuntungan kerugian suatu tindakan mengurangi ancaman penyakit. Komponen HBM : 1) Ancaman (Threat) : persepsi terhadap ancaman suatu penyakit merupakan langkah awal dalam proses bertindak mengurangi ancaman tersebut. Persepsi terhadap ancaman merupakan gabungan 2 faktor, yaitu persepsi terhadap risiko tertular suatu penyakit (perceived susceptibility) dan persepsi terhadap keseriusan suatu penyakit baik secara medis maupun sosial (perceived severity). 2) Harapan : persepsi terhadap harapan ini dibagi atas 3 faktor yaitu Persepsi positif terhadap suatu tindakan pencegahan (perceived benefit), dalam hal ini adalah persepsi positif terhadap pelayanan VCT, persepsi negative terhadap pelayanan VCT (perceived barriers) misalnya privasi, ketidaknyamanan, dan lain-lain. Faktor lainnya adalah persepsi kemampuan diri dalam melakukan tindakan pencegahan tersebut dengan sukses. Keyakinan individu terhadap kemampuannya
Universitas Sumatera Utara
dapat menentukan bagaimana mereka berperilaku, berfikir, dan bereaksi terhadap situasi yang tidak menyenangkan. Penilaian diri terhadap kemampuan yang dimilikinya akan menentukan rangkaian perilaku yang harus ditampilkan dan berapa lama harus menjalaninya, pola pikir dan reaksi emosional. 3) Cues to action Cues to action adalah tanda/sinyal yang menyebabkan seseorang untuk bergerak kearah perilaku pencegahan. Tanda tersebut berasal dari luar (kampanya di media massa, nasihat dari orang lain, kejadian pada kenalan/keluarga, artikel di majalah). 4) Variabel sosiodemografi, sosiopsikologi dan structural Variabel sosiodemografi meliputi, status ekonomi, ras, umur, pendidikan dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Variabel sosiopsikologi meliputi dorongan dari peer group atau reference group, sedangkan variabel struktural mencakup pengetahuan dan pengalaman seseorang yng menjadikan dia berperilaku sehat. Variabel sosiodemografi, sosiopsikologi dan structural mempengaruhi persepsi individu maka secara tidak langsung mempengaruhi perilaku yang berhubugan dengan kesehatan (health-related behavior). Tingkat pendidikan diyakini mempunyai dampak tidak langsung terhadap perilaku dengan mempengaruhi perceived susceptibility, perceived severity, perceived barriers dan perceived benefit to action.
Universitas Sumatera Utara
Latar Belakang Faktor Sosiodemografi • Umur • Pendidikan • Status pernikahan
Faktor Sosiopsikologi • Dorongan dari peer group atau reference group Struktural • Pengetahuan • Pengalaman
Persepsi Ancaman • Persepsi terhadap risiko tertular penyakit • Persepsi terhadap keseriusan suatu penyakit
Harapan • Persepsi positif terhadap suatu tindakan • Persepsi negatif terhadap suatu penyakit • Persepsi terhadap kemampuan sendiri untuk bertindak
Tindakan
Cues to Action • Media massa • Informasi dari orang lain
Perilaku untuk mengurangi ancaman berdasarkan harapan
Gambar 2.2 Bagan Komponen Health Belief Model (HBM) Sumber : Rosentock dkk. (1994) dalam preventing AIDS
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Konsep Pelayanan klinik VCT merupakan suatu tindakan pencarian pengobatan dan outcome dari faktor sosiodemografi, sosiopsikologi, akses ke pelayanan dan struktural. Faktor-faktor ini berhubungan dengan persepsi individu baik persepsi ancaman dan harapan yang selanjutnya berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan. Dengan demikian kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. Variabel Independen
Variabel Dependen
Faktor Sosiodemografi • Umur • Pendidikan • Status pernikahan Faktor Sosiopsikologi • Dorongan dari peer group atau reference group Struktural • Pengetahuan • Akses ke pelayanan
Pemanfaatan Pelayanan VCT
Ancaman • Persepsi terhadap keseriusan suatu penyakit Harapan • Persepsi positif terhadap suatu tindakan
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara