BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Spiritualitas 2.1.1 Defenisi Spiritualitas Istilah “spiritualitas” diturunkan dari kata Latin yaitu “spiritus”, yang berarti “meniup” atau “bernafas”. Spiritualitas mengacu pada bagaimana menjadi manusia yang mencari makna melalui hubungan intra-, inter-, dan transpersonal (Reed,1991 dalam Kozier dkk., 2010). Spiritualitas (spirituality)
merupakan
sesuatu yang dipercayai oleh seseorang dalam hubungannya dengan kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan), yang menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan terhadap adanya Tuhan, dan permohonan maaf atas segala kesalahan yang pernah diperbuat (Asmadi, 2008). Spiritualitas adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah ”sesuatu yang lebih besar dari manusia” adalah sesuatu yang diluar diri manusia dan menarik perasaan akan diri orang tersebut. Spiritualitas mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, dan dimensi horizontal adalah hubungan dengan orang lain, diri sendiri dan lingkungan ( Stoll, 1989 dalam Hamid, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Konsep yang berhubungan dengan spiritualitas yaitu agama, keyakinan, harapan, transendensi, pengampunan. Agama merupakan sistem keyakinan dan praktik yang terorganisasi. Agama memberi suatu cara mengekspresikan spiritual dan memberikan pedoman kepada yang mempercayainya dalam berespon terhadap pertanyaan dan tantangan hidup. Perkembangan keagamaan individu mengacu pada penerimaan keyakinan, nilai, pedoman pelaksanaan, dan ritual tertentu. Keyakinan adalah meyakini atau berkomitmen terhadap sesuatu atau seseorang. Keyakinan memberi makna bagi kehidupan, memberi kekuatan pada saat individu mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Keyakinan memberi kekuatan dan harapan (Kozier dkk., 2010). Harapan merupakan konsep yang tergabung dengan spiritualitas. Yaitu proses antisipasi yang melibatkan interaksi berpikir, bertindak, merasakan, dan keterkaitan yang diarahkan ke pemenuhan di masa yang akan datang yang bermakna secara personal. Tanpa harapan, pasien menyerah, kehilangan semangat, dan penyakit kemungkinan semakin cepat memburuk. Transendensi melibatkan kesadaran seseorang bahwa ada sesuatu yang lain atau yang lebih hebat dari diri sendiri dan suatu pencarian dan penilaian terhadap sesuatu yang lebih hebat tersebut, baik itu adalah mahluk, kekuatan, atau nilai yang paling hebat (Kozier dkk., 2010). Kebutuhan akan ampunan merupakan kebutuhan akan ampunan dari Tuhan, diri sendiri, dan orang lain serta kebebasan individu untuk mencintai Tuhan, diri sendiri, dan orang lain. Bagi banyak pasien, penyakit atau kecacatan menimbulkan rasa malu atau rasa bersalah. Masalah kesehatan diinterpretasi
Universitas Sumatera Utara
sebagai hukuman atau dosa yang dilakukan di masa lalu. Perawat dapat berperan penting dalam membantu pasien memahami proses pengampunan (Kozier dkk., 2010). 2.1.2 Aspek Spiritualitas Menurut Schreurs (2002) spiritualitas terdiri dari tiga aspek yaitu aspek eksistensial, aspek kognitif,dan aspek relasional: 1. Aspek eksistensial, dimana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dari dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self). 2. Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga dengan melepas pola pemikiran
kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat
mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan refleksi atas pengalaman tersebut, disebut aspek kognitif karena aktivitas yang dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual. 3. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan dan/atau bersatu dengan cintaNya. Pada aspek ini seseorang membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya dengan Tuhan.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Karakteristik Spiritualitas 1. Hubungan dengan diri sendiri. Kekuatan dalam atau/dan self reliance yaitu: a)
pengetahuan
diri
(siapa
dirinya,
apa
yang
dapat
dilakukannya). b) sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa depan, ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri sendiri). 2. Hubungan dengan alam harmonis: a) mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, dan iklim. b) berkomunikasi dengan alam (bertanam dan berjalan kaki), mengabadikan, dan melindungi alam. 3. Hubungan dengan orang lain harmonis: a) berbagi waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal balik. b) mengasuh anak, orang tua, dan orang sakit. c) meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat dan lain-lain). Bila tidak harmonis akan terjadi konflik dengan orang lain, resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi. 4. Hubungan dengan Ketuhanan terdiri yang Agamais dan tidak agamais: a) sembahyang/berdoa/meditasi. b) perlengkapan keagamaan. c) bersatu dengan alam. Secara ringkas, dapat dinyatakan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan spiritualitasnya jika mampu: a) merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaaannya di dunia/kehidupan. b) mengembangkan ari penderitaan dan meyakini hikmat dari suatu kejadian atau penderitaan. c) menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya, dan cinta. d) membina integritas personal dan merasa diri berharga. e) merasakan kehidupan yang terarah
Universitas Sumatera Utara
terlihat melalui harapan. f) mengembangkan hubungan antar-manusia yang positif (Hamid, 2008) 2.1.4 Fungsi Spiritualitas Spiritualitas mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hidup pada individu. Spiritualitas berperan sebagai sumber dukungan dan kekuatan bagi individu. Pada saat stres individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dan hasilnya belum pasti. Melaksanakan ibadah, berdoa, membaca kitab suci dan praktek keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan spiritualitas dan merupakan suatu perlindungan bagi individu (Taylor dkk., 1997). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Haris (1999 dalam Hawari, 2005) pada pasien penyakit jantung yang dirawat di unit perawatan intensif yang diberikan pemenuhan kebutuhan spiritualitas hanya membutuhkan sebesar 11% untuk pengobatan lebih lanjut. Menurut American Psychological Association (1992 dalam Hawari, 2005) bahwa spiritualitas dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengatasi penderitaan jika seseorang sedang sakit dan mempercepat penyembuhan selain terapi medis yang diberikan. Dalam hal ini bahwa spiritualitas berperan penting dalam penyembuhan pasien dari penyakit (Young & Koospen, 2005). Selain itu, spiritualitas dapat meningkatkan imunitas, kesejahteraan, dan kemampuan mengatasi peristiwa yang sulit dalam kehidupan (Koenig dkk., 1997 dalam Young & Kooospen, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Pada individu yang menderita suatu penyakit, spiritualitas merupakan sumber koping bagi individu. Spiritualitas membuat individu memiliki keyakinan dan harapan terhadap kesembuhan penyakitnya, mampu menerima kondisinya, sumber kekuatan, dan dapat membuat hidup individu menjadi lebih berarti (Pulchaski, 2004). Pemenuhan kebutuhan spiritualitas dapat membuat individu menerima kondisinya ketika sakit dan memiliki pandangan hidup positif (Young, 1993 dalam Young & Koospen, 2005). Pemenuhan kebutuhan
spiritualitas
memberi kekuatan pikiran dan tindakan pada individu. Pemenuhan kebutuhan spiritualitas memberikan semangat pada individu dalam menjalani kehidupan dan menjalani hubungan dengan Tuhan, orang lain, dan lingkungan. Dengan terpenuhinya spiritualitas, individu menemukan tujuan, makna, kekuatan, dan bimbingan dalam perjalanan hidupnya. 2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas Menurut Taylor, Lillis & Le Mone (1997 dalam Hamid, 2008), dan Craven & Himle (1996), menjabarkan faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang adalah Tahap perkembangan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan empat agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda menurut usia, seks, agama, dan kepribadian anak. Diuraikan persepsi anak tentang Tuhan mencakup hal-hal: gambaran tentang Tuhan yang bekerja melalui kedekatan dengan manusia dan saling keterikatan dengan kehidupan; mempercayai bahwa Tuhan terlibat dlam perubahan dan pertumbuhan diri serta
Universitas Sumatera Utara
transformasi yang membuat dunia tetap segar, penuh kehidupan, dan berarti; meyakini Tuhan mempunyai kekuatan dan merasa takut menghadapi kekuasaa Tuhan; gambaran cahaya/sinar. Bayi dan todler (0-2 tahun): tahap awal perkembangan spiritual adalah rasa percaya yang mengasuh yang sejalan dengan perkembangan rasa aman dan dalam hubungan interpersonal. Bayi dan todler belum memiliki rasa salah dan benar serta keyakinan spiritual. Mereka mulai meniru kegiatan ritual tanpa mengerti arti kegiatan yang dilakukan. Usia pra sekolah meniru apa yang mereka lihat bukan yang dikatakan orang lain. Menurut Kozier, Erb, Blais, dan Wilkinson (1995 dalam hamid, 2008) pada usia prasekolah ini metode pendidikan spiritual yang paling efektif adalah memberikan doktrinasi dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memilih saranya. Usia sekolah mengharapkan Tuhan menjawab doanya, yang salah akan dihukum dan yang baik akan diberikan hadiah. Pada masa prapubertas, anak sering mngalami kekecewaan karena mereka menyadari bahwa doa tidak selalu dijawab menggunakan cara mereka dan mulai mencari alasan tanpa mau menerima keyakinan begitu saja. Pada masa remaja, mereka membandingkan standar orang tua mereka dengan orang tua lain dan menetapkan standar yang akan di integrasika dalam perilakunya. Kelompok usia dewasa muda dihadapkan pada pertanyaan bersifat keagamaan dari anaknya akan menyadari apa yang pernah diajarkan kepadanya pada masa kanak-kanak dahulu, lebih dapat diterima pada masa dewasa daripada waktu remaja dan masukan dari orang tua tersebut dipakai untuk mendidik
Universitas Sumatera Utara
anaknya. Usia pertengahan dan lansia lebih banyak waktu untuk kegiatan agama dan berusaha unutk mengerti nilai agama yang diyakini generasi muda. Keluarga. Peran orang tua sangat menentukan perkembangan spiritualitas anak. Anak mempelajari mengenai Tuhan, kehidupan, dan diri sendiri dari perilaku orang tua mereka. Oleh karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman pertama anak dalam mempersepsikan kehidupan di dunia, pandangan anak pada umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan dengan orang tua dan saudaranya. Latar belakang etnik dan budaya. Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya. Seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai kegiatan keagamaan. Pengalaman hidup sebelumnya. Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Pengalaman hidup yang menyenangkan seperti pernikahan, pelantikan kelulusan, kenaikan pangkat/jabatan dapat menimbulkan perasaan bersyukur kepada Tuhan, tetapi ada juga merasa tidak perlu. Peristiwa dalam kehidupan sering dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan untuk menguji kekuatan iman. Pada saat ini, kebutuhan spiritual akan meningkat yang memerlukan
kedalaman
spiritual
dan
kemampuan
koping
untuk
memenuhinya.
Universitas Sumatera Utara
Krisis dan perubahan. Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedlaman spiritual seseorang (Toth, 1992) dan Craven & Hirnle (1996). Krisis sering ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan bahkan kematian khususnya pada klien dengan penyakit terminal. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual selain pengalaman yang bersifat fisik dan emosional. Terpisah dari ikatan spiritual. Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sisitem dukungan sosial. Kebiasaan hidup yang berubah antara lain tidak dapat menghadiri acara resmi, melakukan kegiatan keagamaan, tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau teman dekat yang biasa memberikan dukungan setiap saat yang diinginkan. Terpisahnya klien dari ikatan spiritual dapat beresiko terjadi perubahan fungsi spiritualnya. Isu moral terkait dengan terapi. Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan
dianggap
sebagai
cara
Tuhan
unutk
menunjukkan
kebesarannya walaupun ada yang menolak intervensi pengobatan. Konflik antara jenis terapi dengan keyakinan agama sering dialami oleh klien dan tenaga kesehatan. Asuhan keperawatan yang kurang sesuai. Ketika melakukan asuhan keperawatan kepada klien, diharapkan perawat peka terhadap kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
spiritual klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemunginan perawat justru menghindari untuk memberikan asuhan spiritual. 2.2 Konsep Rawat Inap Defenisi American Hospital Assosiation (1978) menyatakan bahwa rumah sakit adalah suatu institusi yang fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan pada pasien-diagnostik yang terapeutik untuk berbagai penyakit dan masalah kesehatan, baik yang sifat bedah maupun non-bedah. Rawat inap adalah pemeliharaan kesehatan rumah sakit dimana pasien tinggal/mondok sedikitnya satu hari berdasarkan rujukan dari pelaksana pelayanan kesehatan atau rumah sakit pelaksana pelayanan kesehatan lainnya. Rawat inap adalah pelayanan kesehatan
perorangan
yang
meliputi
observasi,
diagnosa,
pengobatan,
keperawatan, rehabilitasi medik, dengan menginap di ruan rawat inap pada sarana kesehatan rumah sakit yang oleh karna penyakitnya penderita harus menginap. Pasien rawat inap umumnya mengalami penyakit akut atau penurunan ke kondisi akut dari kronis yang di deritanya. Faktor-faktor seperti tingkat keparahan, jenis perawatan, pengalaman perawatan di rumah sakit sebelumnya, dan dukungan keluarga akan mempengaruhi kebutuhan-kebutuhan emosional maupun spiritual pasien bahwa perawatan di rumah sakit merepresentasikan situasi kritis, kebutuhan-kebutuhan biasanya ditemukan dalam bahasa spiritual: “harapan, kepercayaan, kasih, dan penerimaan”. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi melalui sumber-sumber religious atau dengan mengembangkan hubungan dengan sesama,lingkungan dan Tuhan.
Universitas Sumatera Utara
Perawatan spiritual pada penyakit akut, kronis,anak dan lanjut usia: 1) Kebutuhan spiritual pada penyakit akut. Kepercayaan spiritual dan kegitan religius bisa menjadi lebih penting di saat seseorang menderita penyakit dibandingkan pada waktu-waktu lain dalam kehidupannya. Ketika penyakit menyerang dan mulai berkembang menjadi akut, bahkan menjadi lebih buruk, pasien pasti mengalami perubahan hidup tertentu yang signifikan baik secara fisik dan emosi. Serangan penyakit akut yang mendadak dan tak terantisipasi bisa menyebabkan masalah emosional dan spiritual serius terkait dengan ketakutan akan kematian atau cacat tubuh. Pemenuhan spiritual pasien yang sedang menderita penyakit akut mungkin mencakup penerapan berbagai dasar tentang perawatan spiritual, seperti mendenganrkan, kehadiran, mendokan dan/atau menghadirkan pemuka agama atau pemberi layanan pendampingan spiritual yang dibutuhkan pasien. 2) Kebutuhan spiritual pada penyakit kronis. Pengalaman penyakit, terutama pada penyakit kronis yang berlangsung sangat lama, dapat menjadi saat yang tepat ketika kebutuhan spiritual sebelumnya terabaikan/belum disadari menjadi tampak. Beberapa kebutuhan yang penting bagi orang dengan penyakit kronis adalah harapan, kepercayaan, keberanian, iman, kedamaian, kasih. 3) Kebutuhan spiritual pada anak. Pasien anak rawaat inap umumnya mengalami penyakit akut atau penurunan kondisi dari kronis yang dideritanya. Faktor-faktor seperti tingkat keparahan penyakit, jenis
Universitas Sumatera Utara
perawatan, pengalaman perawatan di RS dan dukungan keluarga akan mempengaruhi kebutuhan emosional maupun spiritual anak. Ashwill dan Volz (1997) menemukan beberapa stressor umum bagi anak rawat inap yaitu keterpisahan dari keluarga, ketakutan akan rasa sakit dan luka fisik dan kecemasan. Dalam diskusi pediatrik mesti melibatkan seluruh keluarga untuk dapat memenuhi kebututuhan melalui sumber-sumber religius. 4) Kebutuhan spiritual pada lanjut usia. Kaum usia lanjut cenderung lebih melihat praktik keagamaan sebagai sesuatu yang lebih penting daripada kaum muda (Peterson & Potter, 1997). Penelitian telah menunjukkan bahwa jika kondisi seseorang yang lanjut usia relatif baik, dan aktivitasaktivitas keagamaannya akan meningkat. ( O’brien, 2009) 2.3 Peran Perawat Dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Menurut Undang-undang Kesehatan No.23 tahun 1992 bahwa Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan. Aktifitas keperawatan meliputi peran dan fungsi pemberian asuhan atau pelayanan keperawatan, praktek keperawatan, pengelolaan institusi keperawatan, pendidikan klien (individu, keluarga dan masyarakat) serta kegiatan penelitian dibidang keperawatan (Gaffar, 1999). Perawat berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan. Perawat membantu
pasien
mendapatkan
kembali
kesehatannya
melalui
proses
penyembuhan. Proses penyembuhan bukan hanya sembuh dari penyakit tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Asuhan keperawatan yang diberikan tidak hanya berfokus pada perawatan fisik, tetapi perawatan secara holistik. Perawat merupakan orang yang selalu berinteraksi dengan pasien selama 24 jam. Perawat sangat berperan dalam membantu memenuhi Kebutuhan spiritualitas pasien seperti mendatangkan pemuka agama sesuai dengan agama yang diyakini pasien, memberikan privasi untuk berdoa, memberi kesempatan pada pasien untuk berinteraksi dengan orang lain (keluarga atau teman) (Young & Koopsen, 2005; Hamid, 1999). Selain itu, perawat dapat memberikan pemenuhan kebutuhan spiritualitas kepada
pasien yaitu dengan
memberikan dukungan emosional, membantu dan mengajarkan doa, memotivasi dan mengingatkan waktu ibadah sholat, mengajarkan relaksasi dengan berzikir ketika sedang kesakitan, berdiri di dekat klien, memberikan sentuhan selama perawatan (Potter & Perry, 2005). Berbicara tentang penilaian spiritual dan perawatan, perawat harus diajarkan bagaimana mengembangkan spiritualitas mereka sendiri terlebih dahulu, sehingga mereka dapat mengidentifikasi kebutuhan spiritual pasien mereka. Hal ini dapat dilakukan melalui pelaksanaan berbagai program pendidikan tentang perlunya pengetahuan spiritual dalam profesi ini. Melakukan lokakarya, kamp meditasi, menyediakan bahan bacaan tentang spiritualitas, diskusi terbuka dengan senior dan rekan-rekan tentang aspek ini, membahas pengalaman spiritual pribadi seseorang dengan pasien atau sebaliknya, dan menjadi lebih terbuka tentang konsep spiritualitas secara keseluruhan membutuhkan untuk dapat memenuhi kebutuhan spiritual manusia.
Universitas Sumatera Utara
Peran perawat menurut konsorsium ilmu keperawatan tahun 1989 terdiri dari : peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokad pasien, pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan, pembaharu yang digambarkan sebagai berikut (Hidayat, 2008): 1) Sebagai pemberi asuhan keperawatan. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan keadaan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang sesuai dengan kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. 2) Advokad pasien. Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasian yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya,
hak atas informasi tentang
penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian. 3) Pendidik.
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam
meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit, bahkan
Universitas Sumatera Utara
tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah mendapatkan pendidikan kesehatan. 4) Koordinator. Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan, serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien. 5) Kolaborator.
Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja
melalaui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi, atau bertukar pendapat dalam bentuk pelayanan selanjutnya. 6) Konsultan. Peran perawat sebagai konsultan adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan. 7) Pembaharu.
Peran
sebagai
pembaharu
dapat
dilakukan
dengan
mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.
Universitas Sumatera Utara