BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Keluarga Berencana Sesungguhnya keluarga berencana bukanlah hal baru, karena menurut catatancatatan dan tulisan-tulisan yang berasal dari Mesir kuno, Yunani kuno, Tiongkok kuno dan India hal ini telah mulai dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu, tetapi pada waktu itu cara-cara yang dikaji masih primitif dan kuno. Pada zaman Nabi-Nabi dan pengikutnya, keluarga berencana telah dilaksanakan dalam mengatur kelahiran namun dengan cara-cara sederhana (Mochtar, 1998). Dalam sejarah manusia berabad-abad lamanya tidak seorangpun yang tahu bagaimana terjadinya kehamilan. Waktu itu hubungan antara persetubuhan antara suami dan istri dengan kehamilan tidak diketahui sama sekali. Kehamilan disangka disebabkan oleh sesuatu yang mistik atau termakan oleh wanita atau disebabkan oleh pengaruh matahari dan bulan atau hal-hal lainnya (Mochtar, 1998). Maka dengan sendirinya cara keluarga berencana yang pertama dilakukan adalah dengan jalan berdoa dan memakai jimat anti hamil, sambil meminta dan berharap supaya wanita tersebut tidak hamil dan anaknya tidak bersusun paku. Pada zaman Yunani kuno, Soranus dan Ephenus telah membuat tulisan ilmiah tentang cara menjarangkan kelahiran. Cara waktu itu adalah mengeluarkan semen (cairan mani) dengan membersihkan vagina dengan kain dan minyak. Ada pula yang memakai alat-alat yang dapat menghalangi masuknya sperma ke dalam rahim,
Universitas Sumatera Utara
umpamanya dengan memasukkan rumput, daun-daunan atau sepotong kain perca ke dalam vagina (Prawirohardjo, 1997). Menurut beberapa ahli, pada zaman Mesir Kuno dari relief dan manuskrip berhuruf hiroglif dijumpai keterangan mengenai cara orang Mesir Kuno menjarangkan kelahiran. Menurut ahli sejarah Avicena (Ibnu Sina), seorang tabib dan filsuf Arab zaman Persia telah menganjurkan cara-cara menjarangkan kelahiran (Prawirohardjo, 1997). Di Indonesia, sejak zaman dulu telah dipakai obat dan jamu yang maksudnya untuk mencegah kehamilan. Di Irian Jaya telah lama dikenal ramuan dan daundaunan yang khasiatnya dapat mencegah kehamilan. Dalam masyarakat Hindu Bali sejak dulu hanya ada nama untuk empat orang anak, mungkin suatu cara untuk menganjurkan supaya pasangan suami istri mengatur kelahiran anaknya hanya sampai empat (Mochtar, 1998). Di Indonesia keluarga berencana modern mulai dikenal pada tahun 1953. Pada waktu itu sekelompok ahli kesehatan, kebidanan dan tokoh masyarakat telah mulai membantu masyarakat, namun dengan sedikit mungkin publisitas, dengan obat yang ada tentang keluarga berencana (BKKBN, 2004). Pada tanggal 23 Desember 1957, mereka mendirikan wadah dengan nama Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) adalah pelopor pergerakan keluarga berencana dan sampai sekarang masih aktif membantu program keluarga berencana nasional yang dikoordinir oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1970 berdiri BKKBN merupakan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab mengenai pelaksanaan program KB di Indonesia. Fungsi BKKBN antara lain adalah sebagai pengkoordinasi, perencana, perumus kebijaksanaan, pengawas, pelaksanaan dan evaluasi. Program Keluarga Berencana adalah suatu program yang dimaksudkan untuk membantu para pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insidens kehamilan beresiko tinggi, kesakitan dan kematian, membuat pelayanan yang bermutu, terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang membutuhkan, meningkatkan mutu nasehat komunikasi, edukasi, konseling dan pelayanan, meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab pria dalam praktik KB, dan meningkatkan pemberian Air Susu Ibu (ASI) untuk penjarangan kehamilan (BKKBN, 2006).
2.2. Amanat Internasional Sejak Konferensi Internasional tentang kependudukan dan pembangunan (International Confrency Populations Development/ICDP) di Kairo 1994, program KB nasional mengalami perubahan paradigma dan nuansa demografis ke nuansa kesehatan
reproduksi yang di dalamnya terkandung pengertian bahwa Keluarga
Berencana (KB) adalah suatu program yang dimaksud untuk membantu pasangan mencapai tujuan reproduksinya. Amanat internasional ini tertuang dalam Program Aksi tentang Hak-Hak Reproduksi dan Kesehatan Reproduksi paragraf 7.2. yang
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa hak-hak reproduksi adalah bagian dari Hak Azasi Manusia (HAM) yang bersifat universal yang meliputi hak perorangan dan suami istri untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab tanpa adanya unsur diskriminasi, paksaan dan kekerasan dalam menentukan jumlah, jarak dan waktu melahirkan, mendapatkan derajat kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual yang terbaik bagi dirinya dan atau pasangannya, memperoleh informasi dan pelayanan yang diperlukan untuk mewujudkan hak-hak tersebut yang tidak bertentangan dengan agama, norma budaya dan adat istiadat, hukum dan perundang-undangan yang berlaku (BKKBN, 2006). Secara khusus ICDP paragraf 7.8. menyatakan bahwa perlu dikembangkan program yang inovatif untuk informasi, konseling dan pelayanan kesehatan yang dapat diakses oleh remaja dan pria dewasa. Program-program tersebut seharusnya dapat mendidik dan menyadarkan para laki-laki untuk lebih bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas keluarga berencana, tugas-tugas rumah tangga, pengasuhan anak dan juga lebih bertanggung jawab dalam pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS). Dalam BKKBN (20010) dikatakan bahwa amanat internasional ini telah diimplementasikan dalam bentuk Rencana Jangka Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 yang menetapkan keberhasilan program KB Nasional dalam pemerintahan periode 2010-2014 yang dibebankan kepada BKKBN, yaitu: 1. Laju pertumbuhan penduduk 1,0% pertahun 2. Total Fertility Rate (TFR) 2,1
Universitas Sumatera Utara
3. Peserta aktif KB pria 4, 5% 4. Unmed Need 5% 5. Usia kawin pertama perempuan 21 tahun Pentingnya pria terlibat dalam KB dan kesehatan reproduksi di dasarkan bahwa: 1. Pria adalah mitra reproduksi dan seksual, sehingga sangat beralasan apabila pria dan wanita berbagai tanggung jawab dan peran secara seimbang untuk mencapai kepuasan kehidupan seksual dan berbagai beban untuk mencegah penyakit serta komplikasi kesehatan reproduksi. 2. Pria bertanggung jawab secara sosial dan ekonomi termasuk untuk anak-anaknya, sehingga keterlibatan pria dalam keputusan reproduksinya akan membentuk ikatan yang lebih kuat di antara mereka dan keturunannya. 3. Pria secara nyata terlibat dalam fertilitas dan mereka mempunyai peranan yang penting dalam memutuskan kontrasepsi yang akan dipakainya atau digunakan istrinya, serta dukungan kepada pasangannya terhadap kehidupan reproduksinya seperti saat melahirkan.
2.3. Sistem dan Alat Reproduksi Pria Alat organ reproduksi pria terdiri dari dua bagian yaitu: bagian luar dan bagian dalam (Manuaba, 1998)
Universitas Sumatera Utara
2.3.1. Alat Reproduksi Eksternal 1. Zakar (penis) adalah suatu alat yang berbentuk silindris yang dalam keadaan tidak tegang, normal panjangnya 6 - 8 cm, dimana didalamnya terdapat saluran kencing. 2. Kantong zakar (scrotum) adalah kantong yang terdiri dari jaringan ikat jarang, terletak dibelakang zakar, diantara kedua paha dan berisi dua buah testis (buah zakar). 2.3.2. Alat Reproduksi Internal 1. Buah zakar atau testis berjumlah dua buah, yang terletak dalam scrotum, berbentuk bulat telur avoid yang merupakan kelenjar seks utama pria. 2. Epididimis, merupakan saluran berkelok-kelok seperti spiral yang terletak disamping belakang testis. Epididimis dihubungkan dengan testis oleh saluran-saluran yang disebut vas deverens. 3. Saluran mani (vas deverens), ada dua buah (kiri dan kanan), berasal dari testis, masuk kedalam tali mani. 4. Saluran kantung air mani, adalah kelenjar tubuler, terletak di sebelah kanan dan kiri di belakang leher kandung kencing. Saluran dari vesica seminalis (saluran kantong air mani) bergabung dengan ductus defferens untuk membentuk saluran enjakulator. 5. Kelenjar prostat (glandula prostate), terletak di bawah kandung kencing dan mengelilingi saluran kencing. Kelenjar ini terdiri dari kelenjar majemuk, saluran-saluran dan otot polos. Bentuknya seperti buah kenari, beratnya
Universitas Sumatera Utara
kurang lebih 20 gram. Pada orang tua biasanya kelenjar ini membesar dan hal ini akan membendung saluran kecing sehingga menyababkan gangguan waktu kencing. 6. Kelenjar cowperi adalah kelenjar yang menghasilkan canan mukus, bening bersifat basa. 2.3.3. Fungsi Alat Reproduksi Pria Fungsi alat organ reproduksi pria terdiri dari dua bagian, yaitu: a. Alat Reproduksi Ekternal 1. Penis berfungsi sebagai penyalur sperma melalui proses senggama. 2. Testis berfungsi untuk memproduksi hormon testosterone dan bersama kelenjar adrenal dalam pembentukan sperma. Testosterone mempengaruhi metabolisme dalam tubuh, seperti produksi sel dalam darah, pembentukan massa tulang dan otot, perkembangan kelenjar prostat dan pertumbuhan rambut. b. Alat Reproduksi Internal 1. Buah zakar mempunyai dua fungsi, yaitu: a. Memproduksi spermatozoa (sel mani) yang merupakan sel reproduksi pria. b. Memproduksi hormon androgenik, khususnya testosterone yang dialirkan ke dalam darah. Hormon ini memberi sifat kejantanan (sifat seks sekunder) kepada pria dewasa, misalnya suara yang besar, pertumbuhan rambut pada dada, ketiak, dan kemaluan.
Universitas Sumatera Utara
2. Epididimis berfungsi: a. Sebagai saluran penghubung antara testis dengan vas deferens. b. Sebagai lumbung pertama sperma. c. Mengeluarkan getah cairan yang berguna untuk perkembangan dan proses pematangan spermatozoa. d. Mengabsorbsi cairan testis yang mengadung sperma. 3. Saluran mani (vas deferens), berfungsi sebagai tempat penyimpanan air mani sebelum disemprotkan. 4. Saluran kantong air mani, berfungsi untuk menyimpan sperma dan menghasilkan cairan yang kaya dengan zat gula (mungkin untuk makanan sperma). 5. Kelenjar prostat (glandule prostate), berfungsi untuk menghasilkan cairan yang bersifat basa dan berfungsi untuk mempertahankan hidupnya sperma. 6. Kelenjar cowperi, berfungsi menghasilkan cairan mucus, bening, dan bersifat basa yang berguna sebagai pelicin pada waktu senggama berlangsung. 7. Saluran kencing (urethra), berfungsi untuk menyalurkan air mani dan air kencing. Air kencing dan air mani tidak mungkin keluar secara bersamaan karena secara refleks diatur oleh sebuah klep yang terletak pada muara pertemuan antara saluran kencing dan saluran air mani.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Proses Reproduksi Pria Menurut Manuaba (1998), sperma normal masuk ke dalam rahim wanita pada masa subur kemungkinan besar akan bertemu dan berhasil membuahi sel telur. Hasil pembuahan ini akan berkembang menjadi embrio. Embrio akan berkembang lebih lanjut menjadi janin yang siap dilahirkan. Produk alat organ reproduksi pria antara lain: 1. Air mani (semen) terdiri atas getah cairan berwarna keputih-putihan, agak kental. Pada setiap enjakulasi dipancarkan 2 - 5 mililiter air mani yang setiap mililiternya mengandung 20 – 120 juta sel mani (spermatozoa). Air mani bersifat basa dan dalam lingkungan ini sperma dapat hidup untuk kurang lebih 3 hari. 2. Sel mani (spermatozoa), dibuat di dalam testis melalui proses spermatogenesis. Terdiri dari bagian kepala, leher, badan, dan ekor yang panjangnya antara 50 – 60 mikron (1/20 mm). Pada bagian kepala terdapat suatu “selubung” yang menutupi 2/3 bagian daerah kepala dan disebut akrosom. Selubung ini mengandung enzim yang dipergunakan untuk penetrasi sel telur pada proses pembuahan. Spermatozoa bergerak dengan ekornya seperti berenang dengan kecepatan 2 – 4 mm/menit, sehingga waktu yang dipergunakan untuk bergerak dari mulut rahim sampai ke ujung rahim dan saluran telur adalah 1 – 2 jam. Di dalam vagina spermatozoa tidak dapat hidup lebih dari 8 jam, tetapi dalam uterus untuk sampai pada tuba dapat hidup 2 – 3 hari.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Cara Kontrasepsi Pria Menurut Manuaba (1998), cara kontrasepsi (KB) pria yang dikenal pada saat ini adalah kondom dan vasektomi, serta cara KB alamiah seperti senggama terputus (coitus interuptus), pantang berkala (sistem kalender), pengamatan lender vagina (metode Billing) serta pengukuran suhu badan. Selain cara KB yang masih dalam taraf penelitian seperti vas-oklusi, metode hormonal, dan vaksin kontrasepsi. 2.5.1. Kondom Kondom merupakan salah satu alat kontrasepsi pria yang paling mudah dipakai dan diperoleh, baik melalui apotik maupun toko obat dengan berbagai merek dagang. Kondom terbuat dari karet lateks, berbentuk tabung tidak tembus cairan, dimana salah satu ujungnya tertutup rapat dan dilengkapi kantung untuk menampung sperma. Kondom disamping sebagai alat KB juga berfungsi untuk mencegah Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk HIV AIDS, tetapi infertilitas pada pasangan yang mengalami gangguan antibodi terhadap sperma, kontrasepsi sela, membantu suami yang mengalami gangguan ejakulasi dini dan membantu pasangan yang sudah mengalami menopause. Kondom adalah suatu karet tipis, berwarna atau tak berwarna, dipakai untuk menutupi zakar yang sudah berdiri sebelum dimasukkan ke dalam vagina sehingga mani tertampung didalamnya dan tidak masuk vagina, dengan demikian mencegah terjadinya pembuahan. Kondom yang menutupi zakar juga berguna untuk mencegah penularan penyakit kelamin.
Universitas Sumatera Utara
Cara kerja kondom adalah mencegah pertemuan spermatozoa/ sel mani dengan ovum/ sel telur pada waktu bersenggama, penghalang langsung dengan cairan terinfeksi. Tingkat keberhasilan: 80 – 95 %. Keuntungan penggunaan kondom adalah murah, mudah didapat, tidak perlu resep dokter, mudah dipakai sendiri, dapat mencegah penularan penyakit kelamin, sedangkan kerugiannya adalah selalu harus memakai kondom yang baru, selalu harus ada persediaan, kadang-kadang ada yang tidak tahan (alergi) terhadap karetnya, tingkat kegagalannya cukup tinggi bila terlambat memakainya, sobek bila memasukannya tergesa-gesa, mengganggu kenyamanan bersenggama. Cara pemakaiannya adalah dengan menyarungkannya pada alat kelamin lakilaki yang sudah tegang (keras), dari ujung zakar (penis) sampai kepangkalnya pada saat akan bersenggama. Sesudah selesai bersenggama, agar segera dikeluarkan dari liang senggama sebelum zakar menjadi lemas. Efek samping dari kondom adalah alergi terhadap karet Tempat yang dapat dimanfaatkan untuk mengakses kondom adalah Rumah sakit, klinik KB, Puskemas, Tim Keluarga Berencana Keliling (TKBK), Pos Alat Keluarga Berencana Desa (PAKBD), Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD) (Depkes R.I., 1990) 2.5.2. Vasektomi Vasektomi merupakan tindakan penutupan (pemotongan, pengikatan, penyumbatan) kedua saluran mani pria/suami sebelah kanan dan kiri, sehingga pada waktu senggama sel mani tidak dapat keluar membuahi sel telur, sehingga tidak
Universitas Sumatera Utara
terjadi kehamilan. Tindakan yang dilakukan adalah lebih ringan daripada sunat atau khitan pada pria, pada umumnya dilakukan sekitar 15 sampai 45 menit, dengan cara mengikat dan memotong saluran mani yang terdapat didalam kantong buah zakar. Vasektomi mempunyai kelebihan: 1)
Efektifitas tinggi untuk melindungi kehamilan
2)
Tidak ada kematian dan angka kesakitannya rendah
3)
Biaya lebih murah karena membutuhkan satu kali tindakan saja.
4)
Prosedur medis dilakukan hanya sekitar 15 – 45 menit
5)
Tidak mengganggu hubungan seksual setelah vasektomi
6)
Lebih aman, karena keluhan lebih sedikit dibandingkan dengan kontrasepsi lain.
Keterbatasan vasektomi antara lain: 1)
Karena
dilakukan
dengan
tindakan
medis/pembedahan,
maka
masih
memungkinkan terjadi komplikasi, seperti perdarahan, nyeri dan infeksi. 2)
Tidak melindungi pasangan dari penyakit menular seksual termasuk HIV dan AIDS
3)
Harus menggunakan kondom selama 12 – 15 kali senggama agar sel mani menjadi negatif
4)
Pada orang yang mempunyai problem psikologis dalam hubungan seksual, dapat menyebabkan keadaan semakin terganggu. Efektifitas vasektomi sangat tinggi, artinya kemungkinan gagal kecil sekali (0,15%) jika tindakan medis dilakukan secara benar (Depkes R.I, 1990).
Universitas Sumatera Utara
2.5.3. KB Alamiah KB alamiah terdiri dari empat macam, yaitu: senggama terputus (coitus interuptus), pantang berkala sistem kalender, pengamatan lendir vagina metode Billing, dan pengukuran suhu badan. 2.5.4. Senggama Terputus (Coitus Interuptus) Senggama terputus merupakan metode pencegahan terjadinya kehamilan yang dilakukan dengan cara menarik penis dari liang senggama sebelum ejakulasi, sehingga sperma dikeluarkan diluar liang senggama. Cara senggama terputus memerlukan kesiapan mental suami-istri. 2.5.5. Pantang Berkala/Sistim Berkala Merupakan salah satu cara kontrasepsi alamiah yang dapat dikerjakan sendiri oleh pasangan suami-istri tanpa pemeriksaan medis terlebih dahulu, dengan memperhatikan masa subur istri melalui perhitungan masa haid. Masa berpantang dapat dilakukan pada waktu yang sama dengan masa subur, dimana saat mulainya dan berakhirnya masa subur bisa ditentukan dengan perhitungan kalender. 2.5.6. Pengamatan Lendir Vagina Metode ini merupakan metode pantang senggama pada masa subur. Untuk mengetahui masa subur, dilakukan pengamatan lendir vagina yang diambil pada pagi hari. Metode ini dikenal dengan sebagai metode ovulasi Billing. Metode ini sangat efektif jika pasangan suami-istri menerapkan dengan baik (Hayes, 1995).
Universitas Sumatera Utara
2.5.7. Pengukuran Suhu Badan Metode ini merupakan metode pantang senggama pada saat masa subur. Pengukuran dilakukan pada pagi hari, saat bangun tidur dan belum melakukan kegiatan apapun. Cara ini akan efektif jika dilakukan dengan baik dan benar.
2.6. Faktor yang Memengaruhi Timbulnya Perilaku Kesehatan Secara teoritis, ada banyak teori yang menjelaskan tentang timbulnya sebuah perilaku kesehatan, dalam hal ini perilaku penggunaan alat kontrasepsi vasektomi, seperti teori timbulnya perilaku yang dikemukakan oleh Carl Rogers (1974), Marthin Fishbein (1963), Lawrence Green (1991). 2.6.1.
Teori Carl Rogers (1974) Menurut Rogers (1974), perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan seseorang. Sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan, yakni: 1. Kesadaran (Awareness), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu. 2. Tertarik (Interest), yakni orang mulai tertarik kepada stimulus 3. Evaluasi (Evaluation), yakni menimbang-nimbang baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. 4. Mencoba (Trial), yakni orang telah mencoba perilaku baru 5. Adopsi (Adoption), yakni subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Universitas Sumatera Utara
2.6.2. Teori Marthin Fishbein (1963) Menurut Marthin Fishbein (1963) perilaku merupakan sebuah proses yang di dahului oleh kepercayaan atau keyakinan dan sikap yang positip terhadap sebuah perilaku yang akan dilakukan. Kepercayaan dan sikap akan mengakibatkan timbulnya niat untuk melakukan atau yang disebut dengan niat perilaku. Niat perilaku kemudian akan menghasilkan perilaku baru. 2.6.3. Teori Lawrence Green (1991) Faktor yang memengaruhi partisipasi pria dalam penggunaan kontrasepsi vasektomi dapat menggunakan pendekatan faktor perilaku pada kerangka kerja dari Green (1991). Adapun faktor-faktor yang memengaruhi perilaku ada 3 faktor utama, yaitu: faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor penguat (reinforcing factors). 1.
Faktor Predisposisi (predisposing factors), faktor ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya ciri-ciri individu yang digolongkan ke dalam ciri-ciri: a)
Demografi (umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah anggota keluarga)
b)
Struktur Sosial (tingkat pendidikan, jumlah pendapatan pekerjaan, ras, kesukuan, agama, tempat tinggal)
c)
Sikap, keyakinan, persepsi, pandangan individu terhadap pelayanan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor pemungkin (Enabling factors) adalah yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terjadinya sebuah perilaku. Yang termasuk dalam faktor ini adalah : 1)
Ketersediaan sumber daya kesehatan (sarana kesehatan rumah sakit dan tenaga)
2)
Keterjangkauan sumber daya dapat dijangkau baik secara fisik ataupun dapat dibayar masyarakat, misalnya jarak sarana kesehatan dengan tempat tinggal, jalan baik, ada angkutan dan upah jasa dapat dijangkau masyarakat
3)
Ketrampilan tenaga kesehatan
3. Faktor penguat (reinforcing factors) merupakan faktor penyerta (yang datang sesudah) perilaku yang memberikan ganjaran, insentif, atau hukuman atas perilaku dan berperan bagi menetap atau lenyapnya perilaku itu, yang termasuk ke dalam faktor ini adalah faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Faktor penguat adalah faktor yang menentukan apakah tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak. Sumber penguat tentu saja tergantung pada tujuan dan jenis program. Di dalam pendidikan pasien, penguat mungkin berasal dari perawat, dokter, pasien lain, dan keluarga. Apakah penguat ini positif ataukah negatif bergantung pada sikap dan perilaku orang lain yang berkaitan, yang sebagian diantaranya lebih kuat daripada yang lain dalam memengaruhi perilaku
Universitas Sumatera Utara
2.7. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kontrasepsi Vasektomi. Sesuai dengan teori timbulnya perilaku sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrence Green, maka ditentukan beberapa variabel yang dapat memengaruhi perilaku penggunaan kontrasepsi vasektomi antara lain: 2.7.1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) Faktor predisposisi merupakan faktor yang ada pada diri individu, beberapa faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap obyek (Notoatmodjo, 2005). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan itu berasal dari kata tahu yang berarti: mengerti sesudah (melihat, mengalami). Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung, maupun dari pengalaman orang lain yang sampai kepadanya. Selain itu, dapat juga melalui media komunikasi, seperti: radio, televisi, majalah, atau surat kabar (Poerwadarminta, 1976). Menurut Benjamin Bloom (1908), yang dikutip oleh Notoatmodjo (2005) pengetahuan dibagi menjadi beberapa tingkatan yang selanjutnya disebut dengan Taksonomi Bloom. Menurut Bloom, pengetahuan dibagi atas: tahu (know),
Universitas Sumatera Utara
memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation). Menurut beberapa ahli, pengetahuan merupakan salah satu penyebab utama timbulnya tindakan atau perubahan perilaku. Menurut Fritz Heider, perubahan perilaku terjadi karena disposisi internal, misalnya pengetahuan, motif, sikap, dan sebagainya. Sedangkan menurut Finer (1957) timbulnya tindakan terjadi akibat ketidakseimbangan kognisi (cognitive dissonance). Ketidakseimbangan ini terjadi karena dalam diri individu terdapat dua elemen kognisi (pengetahuan, pendapat, atau keyakinan) yang bertentangan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus atau obyek, dan stimulus tersebut menimbulkan keyakinan bertentangan di dalam diri individu sendiri, maka terjadilah ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan inilah yang menyebabkan lahirnya sebuah perilaku baru. Menurut Rogers (1962), tindakan dapat timbul melalui kesadaran. Kesadaran yang dimaksud berawal dari tingkat pengetahuan seseorang. Kesadaran tersebut kemudian akan berlanjut mengikuti empat tahap berikutnya, yaitu keinginan, evaluasi, mencoba, dan menerima (penerimaan) atau dikenal juga dengan AIETA (Awareness, Interest, Evaluation, Trial, and Adoption) (Nursalam, 2007). Secara umum, tingkat pengetahuan kaum suami tentang kontrasepsi vasektomi masih sangat rendah. Para suami sering salah kaprah tentang efek kontrasepsi vasektomi. Malahan mereka sering menganggap vasektomi sama dengan kebiri. Padahal, vasektomi bukan kebiri. Vasektomi masih memungkinkan pria untuk memiliki kejantanan dan keturunan, sementara bila pria dikebiri tidak akan memiliki
Universitas Sumatera Utara
kejantanan apalagi keturunan karena buah zakar/ testis dipotong, dibuang sehingga tidak dapat lagi memproduksi sperma dan hormon testoteron (pemberi sifat kejantanan). Akibatnya pria jadi kewanita-wanitaan, seperti terjadi pada zaman Romawi dimana laki-laki menjadi penjaga wanita. Sedangkan vasektomi hanya pemotongan saluran sperma kiri dan kanan saja, agar cairan mani yang dikeluarkan pada saat ejakulasi tidak lagi mengandung sperma. Pada vasektomi buah zakar/testis tidak dibuang jadi tetap dapat memproduksi hormon testoteron (kejantanan) (Gema Pria, 2009). Menurut hasil penelitian Fitri, I.R (2002) di Kecamatan Karangayar, Kabupaten Kebumen Bualan dinyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan keikutsertaan suami untuk menggunakan kontrasepsi permanen (vasektomi ) dengan probabiliti sebesar 0,003. b. Sikap Suami Sikap (attitude), adalah evaluasi positip-negatip-ambivalen individu terhadap objek, peristiwa, orang, atau ide tertentu. Sikap merupakan perasaan, keyakinan, dan kecenderungan perilaku yang relatip menetap. Unsur-unsur sikap meliputi kognisi, afeksi, dan kecenderungan bertindak. Faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya sikap adalah pengalaman khusus, komunikasi dengan orang lain, adanya model, iklan dan opini, lembaga-lembaga sosial dan lembaga keagamaan (Makmun, 2005). Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik dan sebagainya). Dengan
Universitas Sumatera Utara
demikian, dapat dijelaskan bahwa sikap merupakan sindrom atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan yang lain (Notoatmodjo, 2005). Dalam bidang kesehatan, yang dimaksud dengan sikap terhadap kesehatan adalah pendapat atau penilaian orang terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, yang mencakup sekurang-kurangnya empat variabel, yaitu: 1. Sikap terhadap penyakit menular dan tidak menular (jenis penyakit dan tandatandanya atau gejalanya, penyebabnya, cara penularannya, cara pencegahannya, cara mengatasi atau menanganinya sementara) 2. Sikap terhadap faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi kesehatan, antara lain: gizi makanan, sarana air bersih, pembuangan air limbah, pembuangan kotoran manusia, pembuangan sampah, perumahan sehat, polusi udara, dan sebagainya. 3. Sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang profesional maupun tradisional. 4. Sikap untuk menghindari kecelakaan, baik kecelakaan rumah tangga, maupun kecelakaan lalulintas, dan kecelakaan di tempat-tempat umum (Notoatmodjo, 2005). Mar’at (1982) mengatakan manusia tidak dilahirkan dengan pandangan ataupun perasaan tertentu, tetapi sikap tadi dibentuk sepanjang perkembangannya. Adanya sikap akan menyebabkan manusia bertindak secara khas terhadap objekobjeknya. Dengan kata lain sikap merupakan produk dari proses sosialisasi, seseorang
Universitas Sumatera Utara
memberikan reaksi sesuai dengan rangsangan yang ditemuinya. Sikap dapat diartikan suatu kontrak untuk memungkinkan terlihatnya suatu aktifitas. Menurut Kartono (1990) sikap seseorang adalah predisposisi untuk memberikan tanggapan terhadap rangsangan lingkungan yang dapat memulai atau membimbing tingkah laku orang tersebut. Secara definitif sikap berarti suatu keadaan jiwa (mental) dan keadaan pikir yang dipersiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek yang diorganisir melalui pengalaman serta memengaruhi secara langsung atau tidak langsung pada perilaku. Sikap merupakan salah satu diantara kata yang paling samar namun paling sering digunakan dalam ilmu perilaku. Sikap merupakan perasaan yang lebih tetap, ditunjukkan terhadap sesuatu objek yang melekat ke dalam struktur sikap yaitu evaluasi dalam dimensi baik dan buruk. Hubungan perilaku dengan sikap, keyakinan dan nilai tidak sepenuhnya dimengerti, namun bukti adanya hubungan tersebut cukup banyak. Analisis akan memperlihatkan misalnya bahwa sikap, sampai tingkat tertentu merupakan penentu, komponen dan akibat dari perilaku. Hal ini merupakan alasan yang cukup untuk memberikan perhatian terhadap sikap, keyakinan dan nilai sebagai faktor predisposisi. Adanya hubungan yang erat antara sikap dan perilaku didukung oleh pengertian sikap yang menyatakan bahwa sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak. Dalam penelitian-penelitian yang dilakukan Wamer dan De Fleur (1969)
Universitas Sumatera Utara
didefinisikan bahwa adanya 3 (tiga) hubungan antara sikap dan praktik sebagai berikut: a) Keajegan (Consistency). Sikap verbal merupakan alasan yang masuk akal untuk menduga apa yang akan dilakukan oleh seseorang bila dihadapkan dengan obyek sikapnya. Dengan kata lain ada hubungan lansung antara sikap dengan tingkah laku (praktik). b) Ketidak ajegan (inconsistency). Alasan ini membantah adanya hubungan yang konsisten antara sikap dengan tingkah laku (praktik). Sikap dan tingkah laku adalah dimensi yang individual yang berbeda dan terpisah. Demikian pula sikap dan tingkah laku adalah tindak satu sama lain. c) Keajegan yang tidak tertentu (Concistency contingent). Alasan mengusulkan bahwa hubungan antara sikap dan tingkah laku (praktik). Sikap dan tingkah laku tergantung pada faktor-faktor situasi tertentu pada variabel antara. Pada situasi tertentu diharapkan adanya hubungan antara sikap dan tingkah laku, dalam situasi yang berbeda hubungan itu tidak ada. Hal ini lebih dapat menjelaskan hubungan sikap dan langsung c. Umur Umur dapat didefiniskan sebagai jumlah waktu kehidupan yang telah dijalani oleh seseorang. Umur sering dihubungkan dengan kemungkinan terjangkit penyakit. Kelompok umur usia muda (anak-anak) ternyata lebih rentan terhadap penyakit infeksi (diare, infeksi saluran pernafasan). Usia-usia produktif lebih cenderung berhadapan dengan masalah kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan kerja dan
Universitas Sumatera Utara
penyakit akibat gaya hidup (life style). Usia yang relatif lebih tua sangat rentan dengan penyakit-penyakit kronis (hipertensi, jantung koroner atau kanker) (Notoatmodjo, 2005). Umur juga dapat dihubungkan dengan potensi penggunaan alat kontrasepsi, khususnya alat kontrasepsi permanen (vasektomi). Menurut Singarimbun (1996) usia suami menjadi salah satu faktor penting dalam memutuskan untuk menjadi akseptor kontrasepsi vasektomi atau tidak. Hal ini disebabkan oleh potensi reproduksi yang sangat berhubungan dengan umur. Rata-rata usia akseptor vasektomi 38,3 tahun sedangkan akseptor tuba sebesar 33,7 tahun. d. Tingkat Pendidikan Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat
mau
melakukan
tindakan-tindakan
(praktik)
untuk
memelihara
(mengatasi masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo, 2005). Menurut Notoatmodjo (2002), kesehatan merupakan interaksi berbagai faktor, baik internal (dalam diri manusia) maupun eksternal (di luar diri manusia). Faktor internal terdiri dari faktor fisik dan psikis, sedangkan faktor eksternal terdiri dari kondisi sosial, budaya masyarakat, lingkungan fisik, politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Menurut, Lukito (2003), pemanfaatan masyarakat terhadap berbagai produk dan inovasi kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat
Universitas Sumatera Utara
pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin mudah seseorang untuk menerima sebuah inovasi khususnya dalam bidang kesehatan. e. Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan adalah satuan atau satuan materi yang diperoleh dari hasil pekerjaan seseorang. Tingkat pendapatan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan, khususnya tindakan yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang (Notoadmojo, 2005). Menurut Katz (1960), sebagaimana yang dikutip oleh Notoadmojo, timbulnya tindakan seseorang dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan. Lebih lanjut Katz mengatakan bahwa tindakan itu memiliki fungsi instrumental, artinya dapat berfungsi dan memberikan pelayanan terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak terhadap obyek demi pemenuhan kebutuhan hidupnya (Notoadmojo, 2005). Menurut Rafael yang dikutip Tarigan (2002), tingkat penghasilan (income) seseorang berhubungan kuat dengan pemanfaatan pelayanan atau produk kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan fasilitas dan produk kesehatan yang lebih baik. Demikian juga dengan hasil penelitian Fitri, I.R (2002) di Kecamatan Karangayar, Kabupaten Kebumen Bualan dinyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendapatan dengan keikutsertaan suami untuk menggunakan kontrasepsi permanen (vasektomi ) dengan probabiliti sebesar 0,025.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Saadah (1999), yang dikutip oleh Lukito (2003), tingkat sosial ekonomi sangat memengaruhi seseorang terhadap pemilihan media, sumber informasi, dan kemampuan dalam membeli alat yang dibutuhkan dalam menunjang kesehatannya. f. Jumlah Anak Jumlah anak dapat didefinisikan sebagai jumlah anak hidup yang dimiliki oleh pasangan. Jumlah anak hidup memengaruhi pasangan usia subur dalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi yang digunakan. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup rendah (sedikit) terdapat kecenderungan untuk menggunakan kontrasepsi dengan efektivitas rendah. Pilihan ini disebabkan oleh kemungkinan untuk memperoleh anak lagi. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup yang banyak terdapat kecenderungan untuk menggunakan kontrasepsi dengan efektivitas tinggi. Pilihan ini disebabkan oleh rendahnya keinginan untuk menambah anggota keluarga. Jumlah anak yang ideal sangat mendukung suami untuk lebih bebas memutuskan menggunakan metode kontrasepsi yang akan digunakan. Pasangan dengan jumlah anak hidup banyak memilih menggunakan kontrasepsi jangka panjang sebagai upaya untuk membatasi jumlah anak, sedangkan pada pasangan dengan jumlah anak hidup sedikit memilih menggunakan kontrasepsi jangka pendek untuk memperpanjang jarak kelahiran anak (Singarimbun, 1996). Demikian juga dengan hasil penelitian Fitri, I.R (2002) di Kecamatan Karangayar, Kabupaten Kebumen Bualan dinyatakan bahwa ada hubungan yang
Universitas Sumatera Utara
bermakna antara jumlah anak dengan keikutsertaan suami untuk menggunakan kontrasepsi permanen (vasektomi ) dengan probabiliti sebesar 0,004. Namun, jumlah anak tidak selalu berbanding lurus dengan pilihan kontrasepsi permanen. Menurut penelitian Ricardo (2008) menunjukkan bahwa jumlah anak justru tidak menjadi penentu pilihan untuk menggunakan kontrasepsi permanen. Hal ini disebabkan oleh masih adanya pengaruh faktor budaya yang menganggap banyak anak banyak rejeki. Hasil ini didukung oleh Jennings (1970) yang menyatakan bahwa pengaruh budaya yang menempatkan anak sebagai simbol prestise dan jaminan keamanan pada usia tua mereka, mengakibatkan tingginya angka kelahiran di Afrika. Pendapat tersebut dipertegas oleh Geyen, dkk (2003) yang menyatakan bahwa keinginan untuk memiliki lebih banyak anak menjadi alasan utama untuk tidak mempraktikkan atau menolak Keluarga Berencana. g. Kepercayaan (Belief) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2005), kepercayaan didefinisikan sebagai anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercaya itu adalah benar atau nyata. Menurut Fishbein dan Azjen dalam Dahniar (2009), kepercayaan atau keyakinan dengan kata “belief” memiliki pengertian sebagai inti dari setiap tingkah laku manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi terhadap objek. Masyarakat mulai menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalaman atau informasi yang diperoleh dari orang lain tentang tersedianya jenis-jenis
Universitas Sumatera Utara
pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan tersebut dengan sendirinya didasari atas kepercayaan atau keyakinan akan kemajuan sarana tersebut (Notoatmodjo, 2003). 2.7.2. Faktor Pemungkin (Enabling Factors) Faktor pemungkin (enabling factors) merupakan faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terjadinya suatu perilaku. Beberapa faktor pemungkin yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Jarak dengan Fasilitas Kesehatan Jarak dengan fasilitas kesehatan juga berkontribusi terhadap terciptanya suatu perilaku kesehatan pada masyarakat. Pengetahuan dan sikap yang baik belum menjamin terjadinya perilaku, maka masih diperlukan faktor lain yaitu jauh dekatnya dengan fasilitas kesehatan. Jarak fasilitas kesehatan yang jauh dari pemukiman penduduk akan mengurangi pemanfaatan pelayanan kesehatan, dan sebaliknya jarak yang relatif lebih dekat akan meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan. 2.7.3. Faktor Penguat (Reinforcing Factors) Faktor penguat (reinforcing factors) adalah faktor penyerta (yang datang sesudah) perilaku yang memberikan ganjaran, insentif, atau hukuman atas perilaku dan berperan bagi menetap atau lenyapnya perilaku itu. Beberapa faktor pemungkin yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Tindakan Petugas Kesehatan Perilaku pemanfaatan fasilitas atau produk kesehatan juga sangat dipengaruhi oleh petugas kesehatan. Seseorang yang sudah mengetahui manfaat kesehatan dan
Universitas Sumatera Utara
ingin memanfaatkannya dapat terhalang karena sikap dan tindakan petugas kesehatan yang tidak ramah dan memotivasi individu yang akan memanfaatkan fasilitas kesehatan. Selain itu, kurangnya tenaga terlatih untuk vasektomi, kurangnya motivasi provider untuk pelayanan vasektomi dan kurangnya dukungan peralatan dan medical suplies untuk vasektomi. Dari berbagai hasil penelitian dan laporan tersebut dapat diperoleh suatu gambaran kurangnya peran pria dalam mengikuti program KB. Namun, selain faktor pengguna KB pria, petugas kesehatan juga berkontribusi terhadap rendahnya penggunaan KB pada pria. Sering sekali kompetensi dan motivasi petugas kesehatan yang rendah menyebabkan proses sosialisasi penggunaan KB pada pria jadi terhalang. Hal ini dapat dilihat dari hasil laporan UNFPA-BKKBN (2001) menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil pria yang pernah mendengar dan mengetahui istilah kesehatan reproduksi. Hal ini menunjukkan rendahnya tingkat promosi, penyuluhan dan sosialisasi yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Selain hal tersebut, laporan juga menunjukkan informasi yang diterima oleh para pria pada saat konseling untuk ber KB umumnya sangat rendah. b. Sikap Istri Sikap (attitude), adalah evaluasi positip-negatip-ambivalen individu terhadap objek, peristiwa, orang, atau ide tertentu. Sikap merupakan perasaan, keyakinan, dan kecenderungan perilaku yang relatip menetap. Unsur-unsur sikap meliputi kognisi, afeksi, dan kecenderungan bertindak. Faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya
Universitas Sumatera Utara
sikap adalah pengalaman khusus, komunikasi dengan orang lain, adanya model, iklan dan opini, lembaga-lembaga sosial dan lembaga keagamaan (Makmun, 2005). Sikap istri merupakan bentuk respon dari istri terhadap tindakan vasektomi yang akan dilakukan oleh suami. Sikap istri bisa bersifat positip atau negatif tergantung sikap dan tindakan panutan. Menurut hasil penelitian Saptomo, I (2008) tentang partisipasi pria dalam KB di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap istri terhadap partisipasi pria dalam KB. Sikap istri yang paling baik menyangkut tujuan kontrasepsi sebagai bentuk perencanaan terhadap jumlah anak. Dalam kaitan ini dukungan istri merupakan pengaruh yang positip. Bentuk dukungan tersebut juga didasari pemikiran istri yang merasa KB vasektomi sebagai alat kontrasepsi yang efektif. Sedangkan sikap istri yang menyatakan tidak mendukung suami mengikuti program KB karena kemungkinan pengetahuan dari istri yang kurang terhadap partisipasi pria dalam KB terutama belum begitu paham dengan metode kontrasepsi pria, keuntungan dan kerugian vasektomi. Selain itu dari nilai sosial budaya juga ada hambatan yaitu adanya kepercayaan masalah KB adalah masalah wanita. Menurut Awen (2007), persetujuan seorang istri kelihatannya menjadi kunci dalam memutuskan untuk menjalani vasektomi. Seluruh pasangan yang suaminya menjalani vasektomi di Tanzania mengatakan bahwa keputusan merupakan hasil diskusi dengan istri, bahkan lebih dari 50% diantaranya mengatakan bahwa persetujuan istri sebagai salah satu faktor dalam pengambilan keputusan. Banyak istri yang justru tidak mau suaminya ber KB, khususnya alat kontrasepsi vasektomi karena
Universitas Sumatera Utara
khawatir dimanfaatkan untuk selingkuh. Padahal penggunaan alat kontrasepsi vasektomi akan mengakibatkan wanita tidak perlu menggunakan kontrasepsi lagi, sehingga terhindar dari efek samping penggunaan kontrasepsi seperti: keputihan, kegemukan, perdarahan dan lebih leluasa untuk mengurus keluarga.
2.8. Landasan Teori Secara teoritis, ada banyak teori yang menjelaskan tentang timbulnya sebuah perilaku kesehatan, dalam hal ini perilaku penggunaan alat kontrasepsi vasektomi, seperti teori timbulnya perilaku yang dikemukakan oleh Carl Rogers (1974), Marthin Fishbein (1963), Lawrence Green (1991), namun yang dijadikan sebgai landasan teori dalam penelitian ini adalah teori perubahan perilaku menurut Lawrence Green. Menurut Green yang dikutip Notoatmodjo (2003), bahwa faktor-faktor yang menentukan pemanfaatan pelayanan kesehatan (penggunaan kontrasepsi vasektomi) dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1.
Faktor Predisposisi (predisposing factors), faktor ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya ciri-ciri individu yang digolongkan ke dalam ciri-ciri: a)
Demografi (umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah anggota keluarga)
Universitas Sumatera Utara
b)
Struktur Sosial (tingkat pendidikan, jumlah pendapatan pekerjaan, ras, kesukuan, agama, tempat tinggal)
c)
Sikap, keyakinan, persepsi, pandangan individu terhadap pelayanan kesehatan.
2.
Faktor pemungkin (enabling factors) adalah faktor antesenden terhadap perilaku yang memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk di dalam faktor pemungkin adalah keterampilan dan sumber daya pribadi
atau
komuniti,
seperti
tersedianya
pelayanan
kesehatan,
keterjangkauan, kebijakan, peraturan perundangan 3.
Faktor penguat (reinforcing factors) merupakan faktor penyerta (yang datang sesudah) perilaku yang memberikan ganjaran, insentif, atau hukuman atas perilaku dan berperan bagi menetap atau lenyapnya perilaku itu, yang termasuk ke dalam faktor ini adalah faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Faktor penguat adalah faktor yang menentukan apakah tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak. Sumber penguat tentu saja tergantung pada tujuan dan jenis program. Di dalam pendidikan pasien, penguat mungkin berasal dari perawat, dokter, pasien lain, dan keluarga. Apakah penguat ini positif ataukah negatif bergantung pada sikap dan perilaku orang lain yang berkaitan, yang sebagian diantaranya lebih kuat daripada yang lain dalam memengaruhi perilaku
Universitas Sumatera Utara
2.9. Kerangka Konsep Berdasarkan pada masalah dan tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka kerangka konsep dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Predisposisi: 1. Tingkat Pengetahuan 2. Sikap 3. Umur 4. Tingkat Pendidikan 5. Tingkat Pendapatan 6. Jumlah anak 7. Kepercayaan
Pemungkin: 1. Jarak dengan Fasilitas Kesehatan
Penggunaan Kontrasepsi Vasektomi
Penguat: 1. Tindakan Petugas Kesehatan 2. Sikap Istri
Gambar 2.1 Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara