BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian Terdahulu Raygan, Rassizadehghani, dan Askari (2008), dengan penelitiannya terhadap material AISI 1045. Tujuan penelitiannya adalah membandingkan metode pendinginan baja AISI 1045 dengan media alkaline salt bath dan media oil quench, serta pengaruhnya terhadap struktur mikro material dan kekerasan permukaannya. Hasil dari penelitiannya adalah : a.
Kekerasan permukaan baja AISI 1045 yang di-quench pada salt bath hampir sama dengan baja AISI 1045 yang di-quench pada oli.
b.
Spesimen yang di-quench pada salt bath bercampur air (5%) memiliki mikrostruktur bainit pada matriks martensit, sedangkan yang di-quench pada oli terdapat ferit, perlit, widmansttaten ferrit, pada matriks martensitnya. Spesimen yang di-quench pada salt bath murni memiliki kandungan perlit dan bainit pada matriks martensitnya.
c.
Hasil kekerasan permukaan spesimen yang di-quench pada salt bath bercampur air maupun tanpa air memiliki hasil yang lebih keras daripada spesimen yang di-quench pada oli.
d.
Spesimen yang di-quench pada salt bath memiliki permukaan yang lebih baik sehingga hanya membutuhkan proses gerinda yang lebih sedikit (60%) daripada spesimen yang di-quench pada oli.
e.
Spesimen yang di-quench pada salt bath memiliki bagian puncak kerataan permukaan berbentuk radius, sedangkan spesimen yang di-quench pada oli berbentuk lancip. Hal ini meningkatkan sifat mekanik material.
Kuscu, Becenen, dan Sahin (2008), dengan penelitiannya terhadap material AISI 1040. Tujuan penelitiannya adalah mengevaluasi efek panas proses welding di bagian permukaan pada material baja AISI 1040. Hasil dari penelitiannya adalah :Variasi temperatur pada penelitian ini dicek dengan menggunakan thermocouple bi-metal. Lapisan khusus tahan suhu tinggi digunakan untuk menghindari arus pendek selama percobaan. a.
Variasi welding current mempengaruhi laju deformasi permukaan dan gradien suhu. Suhu maksimum di bagian yang disambung selama pemanasan tidak hanya bergantung pada welding current, tetapi juga pada gradien suhu, tergantung pada kecepatan pengelasan.
5
b.
Suhu memiliki pengaruh besar terhadap kekuatan mekanik dan sifat metalurgi bagian yang dilas/disambung.
c.
Kekuatan bahan AISI 1040 yang dilas sekitar 95 persen dari kekuatan logam dasar. Perubahan waktu dan laju pengelasan mengubah kekuatan las tersebut. Kekuatan las meningkat seiring peningkatan waktu dan laju pengelasan. Panas maksimum menyebabkan bagian yang leleh di area tertentu dan menurunkan kekuatan las.
d.
Nilai-nilai optimum dicapai dengan bantuan analisis statistik .
e.
Struktur mikro menunjukkan bahwa hanya ukuran dan bentuk perlit-ferit yang berubah, namun strukturnya tidak berubah, karena itu kekuatan bahan yang telah dilas tersebut masih sama dengan bahan aslinya.
f.
Nilai-nilai kekerasan maksimum diperoleh akibat adanya peningkatan kekerasan dan pendinginan yang cepat, seperti terlihat pada pengukuran suhu. Deformasi permukaan menyebabkan penurunan ukuran butiran sehingga menaikkan kekerasan permukaan. Disimpulkan bahwa kekerasan permukaan las meningkat dengan adanya deformasi.
g.
Proses pengukuran sangat penting terutama pengukuran suhu untuk mengetahui efek suhu terhadap deformasi permukaan.
Clarke, Van Tyne, Vigil, dan Hackenberg (2011), yang melakukan penelitian terhadap material AISI 5150. Tujuan penelitiannya adalah meneliti pengaruh kekerasan dan suhu pemanasan rata-rata dalam proses hardening material baja 5150 dengan metode induksi. Tujuan penelitiannya adalah untuk menemukan kekerasan
permukaan
baja
yang
maksimal
dengan
kecepatan
pemanasan/kenaikan suhu yang tepat. Proses hardening dengan induksi pada material baja 5150 berstruktur ferit-perlit dengan baja 5150 berstruktur martensit memberikan kesimpulan: a.
Perubahan temperatur spesimen dengan struktur ferit-perlit lebih cepat daripada spesimen berstruktur martensit.
b.
Kekerasan maksimal yang tercapai sama.
c.
Metalografi menunjukkan adanya penambahan unsur kromium pada daerah ferit untuk spesimen ferit-perlit, namun pada spesimen martensit tidak dilakukan
metalografi,
sehingga
perlu
penelitian
lebih
lanjut
untuk
mengetahui adanya penambahan unsur paduan. d.
Simulasi transformasi dengan basis proses induksi hardening mendukung adanya kenaikan unsur paduan pada spesimen ferit-perlit. Penelitian pada
6
spesimen martensit disarankan untuk melihat kenaikan unsur paduan. Hasil ini berlaku secara umum untuk pemodelan dengan pemanasan induksi. Brammer, Mauvoisin, Bartier, Hernot, dan Sablin (2011), yang melakukan penelitian terhadap material AISI 1095. Tujuan penelitiannya adalah meneliti pengaruh ketebalan material terhadap pengujian indentasi dengan menggunakan indentor bola baja pada material baja AISI 1095. Hasil dari penelitiannya adalah : 1.
Penelitian ini menyelidiki pengaruh ketebalan dan kelengkungan spesimen pada respon peralatan indentasi. AISI 1095 merupakan baja dengan karakteristik ulet. Indentor berbentuk bola yang ditekan 200N pada spesimen dengan tebal 10 mm menghasilkan luka dengan radius 0,5 mm dan menghasilkan informasi kekuatan dan ketangguhan material.
2.
Simulasi dan percobaan dilakukan pada spesimen dengan tebal 1,9 mm, 1,5 mm, 1,0 mm, dan 0,55 mm. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ketebalan
material mempengaruhi
respon
indentor.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa indentor sangat dipengaruhi oleh kelengkungan spesimen. 3.
Pengamatan ini mengarah pada kesimpulan bahwa penggunaan indentor berbentuk bola dan koreksi perhitungan yang memadai adalah solusi yang relevan untuk spesimen tipis dan melengkung, terutama jika sampel kelengkungan diharapkan, seperti dalam kasus lembaran logam tipis yang digunakan dalam industri otomotif.
Shin, Kim, Kim, dan Park (2009), yang melakukan penelitian terhadap material baja karbon ASME SA 106. Tujuan penelitiannya adalah penelitian terhadap material baja karbon ASME SA 106 (standar Amerika) setara UNS K03006, dimana terjadi efek dekarburisasi (pelepasan unsur karbon pada material) akibat oksidasi (berikatannya karbon pada material dengan oksigen di udara) dalam proses heat treatment, selain itu meneliti penambahan unsur chromium sebesar 0,3%-0,4% untuk mencegah korosi. Hasil dari penelitian efek dekarburasi dan penambahan kromium pada SA 106 carbon steel adalah : a.
Mikrostruktur berubah dari DHT yang memiliki pengaruh repassivation tegangan sementara.
b.
Tes repassivation menunjukkan nilai tegangan pada material yang mengalami dekarburisasi besar dan mengindikasikan bahwa dissolution pada ion Fe dari spesimen terhadap elektrolit meningkat setelah DHT. 7
c.
Penambahan unsur kromium pada spesimen menaikkan ketahanan korosi dan menurunkan perbedaan tegangan repassivation antara spesimen yang ditambahkan kromium dengan spesimen yang mengalami dekarburisasi.
Era Satyarini (2013), dengan penelitiannya terhadap material S45C atau material AISI 1045. Tujuan penelitiannya adalah memperoleh metode yang tepat dan pasti agar dapat menghasilkan kekerasan material S45C yang optimal (57 HRC) dan selalu sama, sesuai dengan data BOHLER/distributor. Metode yang digunakan adalah Metode Campuran dan penerapan di lapangan. Hasil penelitian ini dapat dilihat pada pembahasan dan kesimpulan yang akan penulis bahas pada Bab 5 dan Bab 6.
8
2.2. Perbedaan Penelitian Saat Ini dengan Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa perbedaan antara penelitian saat ini dengan beberapa penelitian sebelumnya, seperti yang ditampilkan dalam tabel 2.1. berikut ini. Tabel 2.1. Perbedaan Penelitian Saat Ini dengan PenelitianTerdahulu
Nama Peneliti (Tahun)
Tujuan Penelitian
Raygan, Rassizadehghani, Membandingkan metode pendinginan baja AISI 1045 dengan media alkaline salt bath dan media oil quench, serta dan Askari (2008) pengaruhnya terhadap struktur mikro material dan kekerasan permukaannya. Mengevaluasi efek panas proses welding di bagian Kuscu, Becenen, dan Sahin (2008) permukaan pada material baja AISI 1040. Clarke, Van Tyne, Vigil, dan Hackenberg (2011)
Brammer, Mauvoisin, Bartier, Hernot, dan Sablin (2011) Shin, Kim, Kim, & Park (2009)
Satyarini (2013)
Meneliti pengaruh kekerasan dan suhu pemanasan ratarata dalam proses hardening material baja 5150 dengan metode induksi. Tujuan penelitian untuk menemukan kekerasan permukaan baja yang maksimal dengan kecepatan pemanasan/kenaikan suhu yang tepat. Meneliti pengaruh ketebalan material terhadap pengujian indentasi dengan menggunakan indentor bola baja pada material baja AISI 1095. Penelitian terhadap material baja karbon ASME SA 106 (standar amerika) setara UNS K03006, dimana terjadi efek dekarburisasi (pelepasan unsur karbon pada material) akibat oksidasi (berikatannya karbon pada material dengan oksigen di udara) dalam proses heat treatment. selain itu meneliti penambahan unsur chromium sebesar 0,3-0,4% untuk mencegah korosi. Memperoleh metode yang tepat agar dapat menghasilkan kekerasan material S45C secara optimal (57 HRC) sesuai dengan data BOHLER/distributor.
9
Objek Penelitian
Metode
Material AISI 1045
Metode Campuran
Material AISI 1040
Metode Campuran
Material AISI 5150
Metode Campuran
Material AISI 1095
Metode Campuran
Material baja karbon ASME SA 106
Metode Campuran
Material AISI 1045, oil quench, water and polimer aquaten
Metode Campuran
2.3. Rancangan Penelitian Menurut Creswell (2010), rancangan penelitian merupakan rencana dan prosedur penelitian yang meliputi: dari asumsi-asumsi luas hingga metodemetode rinci dalam pengumpulan dan analisis data. Terdapat 3 jenis rancangan yaitu: a.
Penelitian Kualitatif Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang ─ oleh sejumlah orang atau sekelompok orang ─ dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif
ini
melibatkan
upaya-upaya
penting,
seperti
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema umum, dan menafsirkan makna data. Laporan akhir untuk penelitian ini memiliki struktur atau kerangka yang fleksibel. Siapa pun yang terlibat dalam bentuk penelitian ini harus menerapkan cara pandang penelitian yang bergaya induktif,
berfokus
terhadap
makna
individual,
dan
menerjemahkan
kompleksitas suatu persoalan. b.
Penelitian Kuantitatif Penelitian kuantitatif merupakan metode-metode untuk menguji teori-teori tertentu dengan cara meneliti hubungan antarvariabel. Variabel-variabel ini diukur ─ biasanya dengan instrumen-instrumen penelitian ─ sehingga data yang terdiri dari angka-angka dapat dianalisis berdasarkan prosedurprosedur statistik. Laporan akhir untuk penelitian ini memiliki struktur atau kerangka yang ketat dan konsisten. Siapa pun yang terlibat dalam bentuk penelitian ini memiliki asumsi-asumsi untuk menguji teori secara deduktif, mencegah alternatif,
munculnya dan
mampu
bias-bias,
mengontrol
menggeneralisasi
dan
penjelasan-penjelasan menerapkan
kembali
penemuan-penemuannya. c.
Penelitian Metode Campuran Penelitian Metode Campuran merupakan pendekatan penelitian yang mengkombinasikan atau mengasosiasikan bentuk kualitatif dan bentuk kuantitatif. Pendekatan ini melibatkan asumsi-asumsi filosofis, aplikasi pendekatan-pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dan pencampuran (mixing) kedua pendekatan tersebut dalam satu penelitian. Pendekatan ini lebih kompleks dari sekadar mengumpulkan dan menganalisis dua jenis data, ia
10
juga melibatkan fungsi dari dua pendekatan penelitian tersebut secara kolektif sehingga kekuatan penelitian ini secara keseluruhan lebih besar ketimbang penelitian kualitatif dan kuantitatif. Gradasi perbedaan metode kualitatif, kuantitatif, dan campuran terletak pada asumsi filosofis dasar, jenis-jenis strategi penelitian, dan metode-metode spesifik yang digunakan.
2.3.1. Empat Pandangan Dunia/ Filosofis Dasar Tabel 2.2. Jenis-Jenis Pendangan Dunia Post-positivisme
Konstruktivisme
• Determinasi
• Pemahaman
• Reduksionisme
• Makna yang beragam dari partisipan
• Observasi dan pengujian empiris
• Konstruksi sosial dan historis
• Verifikasi teori
• Penciptaan teori
Advokasi/Partisipatoris
Pragmatisme
• Bersifat politis
• Efek-efek tindakan
• Berorientasi pada isu pemberdayaan
• Berpusat pada masalah
• Kolaboratif
• Bersifat pluralistik
• Berorientasi pada perubahan
• Berorientasi pada praktik dunia-nyata
2.3.2. Strategi-Strategi Penelitian Menurut Creswell (2010). strategi-strategi penelitian merupakan jenis-jenis rancangan penelitian kualitatif, kuantitatif, dan Metode Campuran yang menetapkan prosedur-prosedur khusus dalam penelitian. Beberapa orang menyebut strategi penelitian dengan istilah pendekatan penelitian atau metodologi penelitian. Lihat tabel 2.3. dan tabel 2.4. Tabel 2.3. Strategi-Strategi Penelitian Kuantitatif • Rancangan-rancangan
eksperimen • Rancangan-rancangan
Kualitatif • Penelitian naratif
• Sekuensial
• Fenomologi
• Konkuren
• Etnografi
• Tranformatif
non-eksperimen, seperti • Grounded theory metode survei
Metode Campuran
• Studi kasus
11
a.
Strategi-strategi kuantitatif i.
Penelitian survei Penelitian
survei
berusaha
memaparkan
secara
kuantitatif
kecenderungan, sikap, atau opini dari suatu populasi tertentu dengan meneliti satu sampel dari populasi tersebut. Penelitian ini meliputi
studi-studi
menggunakan
cross
kuesioner
sectional atau
dan
wawancara
longitudinal
yang
terencana
dalam
pengumpulan data, dengan tujuan untuk menggeneralisasi populasi berdasarkan sampel yang sudah ditentukan. ii.
Penelitian eksperimen Penelitian
eksperimen
berusaha
menentukan
apakah
suatu
treatment mempengaruhi hasil sebuah penelitian. Pengaruh ini dinilai dengan cara menerapkan treatment tertentu pada satu kelompok dan tidak menerapkannya pada kelompok yang lain, lalu menentukan bagaimana dua kelompok tersebut menentukan hasil akhir.
Penelitian
ini
mencakup
eksperimen
aktual
dengan
penugasan acak (random assignment) atas subjek-subjek yang ditreatment dalam kondisi-kondisi tertentu, dan kuasi eksperimen dengan prosedur-prosedur non acak. Termasuk dalam kuasi eksperimen adalah rancangan single subject. b.
Strategi-strategi kualitatif i.
Etnografi Etnografi merupakan salah satu strategi penelitian kualitatif yang di dalamnya peneliti menyelidiki suatu kelompok kebudayaan di lingkungan alamiah dalam periode waktu yang cukup lama dalam pengumpulan data utama, data observasi, dan data wawancara. Proses penelitiannya fleksibel dan biasanya berkembang sesuai kondisi
dalam
merespons
kenyataan-kenyataan
hidup
yang
dijumpai di lapangan. ii.
Grounded theory Grounded theory merupakan strategi penelitian yang didalamnya peneliti “memproduksi” teori umum dan abstrak dari suatu proses, aksi, atau interaksi tertentu yang berasal dari pandanganpandangan partisipan. Rancangan ini mengharuskan peneliti untuk menjalani sejumlah tahap pengumpulan data dan penyaringan
12
kategori-kategori atas informasi yang diperoleh. Rancangan ini memiliki dua karakteristik utama, yaitu: (1) perbandingan yang konstan antara data dan kategori-kategori yang muncul dan (2) pengambilan contoh secara teoritis (teoritical sampling) atas kelompok-kelompok
yang
berbeda
untuk
memaksimalkan
kesamaan dan perbedaan informasi. iii.
Studi kasus Studi kasus merupakan strategi penelitian di mana di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas. Peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan.
iv.
Fenomologi Fenomenologi merupakan strategi penelitian di mana di dalamnya peneliti mengidentifikasi hakikat pengalaman manusia tentang suatu fenomena tertentu. Memahami pengalaman-pengalaman hidup manusia menjadikan filsafat fenomenologi sebagai suatu metode penelitian yang prosedur-prosedurnya mengharuskan peneliti untuk mengkaji sejumlah subjek dengan terlibat secara langsung dan relatif lama di dalamnya untuk mengembangkan pola-pola dan relasi-relasi makna. Peneliti mengesampingkan terlebih dahulu pengalaman-pengalaman pribadinya agar ia dapat memahami pengalaman-pengalaman partisipan yang ia teliti.
v.
Naratif Naratif merupakan strategi penelitian di mana di dalamnya peneliti menyelidiki kehidupan individu-individu dan meminta seseorang atau sekelompok individu untuk menceritakan kehidupan mereka. Informasi ini kemudian diceritakan kembali oleh peneliti dalam kronologi
naratif.
Akhir
tahap
penelitian,
peneliti
harus
menggabungkan dengan gaya naratif pandangan-pandangannya tentang kehidupan partisipan dengan pandangan-pandangannya tentang kehidupan peneliti sendiri.
13
c.
Strategi-strategi Metode Campuran i.
Sekuensial Strategi Metode Campuran Sekuensial / bertahap (sequential mixed methods) merupakan prosedur-prosedur di mana di dalamnya peneliti berusaha menggabungkan atau memperluas penemuanpenemuannya yang diperoleh dari satu metode dengan penemuanpenemuannya dari metode lain. Strategi ini dapat dilakukan dengan melakukan interview kualitatif terlebih dahulu untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan yang memadai, lalu diikuti dengan metode survei kuantitatif dengan sejumlah sampel untuk memperoleh hasil umum dari suatu populasi. Pilihan cara lainnya, yaitu penelitian ini dapat dimulai dari metode kuantitatif terlebih dahulu dengan menguji suatu teori atau konsep tertentu, kemudian diikuti dengan metode kualitatif dengan mengeksplorasi sejumlah kasus individu.
ii.
Konkuren Strategi Metode Campuran Konkuren/ satu waktu (concurrent mixed methods) merupakan prosedur-prosedur di mana di dalamnya peneliti mempertemukan atau menyatukan data kuantitatif dan data kualitatif untuk memperoleh analisis komprehensif atas masalah penelitian. Peneliti mengumpulkan dua jenis data tersebut dalam satu waktu, kemudian menggabungkannya menjadi satu informasi dalam interpretasi hasil keseluruhan. Pilihan cara lainnya dalam strategi ini, yaitu peneliti dapat memasukkan satu jenis data yang lebih kecil ke dalam sekumpulan data yang lebih besar untuk menganalisis jenis-jenis pertanyaan yang berbeda-beda (misalnya jika metode kualitatif diterapkan untuk melaksanakan penelitian, metode kuantitatif dapat diterapkan untuk mengetahui hasil akhir).
iii.
Transformatif Prosedur Metode Campuran Transformatif (transformative mixed methods) merupakan prosedur-prosedur di mana di dalamnya peneliti
menggunakan
kacamata
teoritis
sebagai
perspektif
overaching yang di dalamnya terdiri dari data kuantitatif dan data kualitatif. Perspektif inilah yang akan menyediakan kerangka kerja untuk topik penelitian, metode-metode untuk pengumpulan data, dan hasil-hasil atau perubahan-perubahan yang diharapkan.
14
Perspektif ini juga bisa digunakan peneliti sebagai metode pengumpulan data secara sekuensial ataupun konkuren. Tabel 2.4. Ciri-Ciri Metode Kuantitatif, Metode Campuran, Metode Kualitatif Metode Kuantitatif • Bersifat predetermined (sudah ditentukan sebelumnya) • Pertanyaan-pertanyaan yang didasarkan pada instrumen penelitian • Data performa, data sikap, data observasi, dan data sensus • Analisis statistik • Interpretasi statistik
Metode Campuran Metode Kualitatif • Bersifat predetermined • berkembang dinamis dan berkembang • Pertanyaan-pertanyaan dinamis terbuka • Pertanyaan-pertanyaan • Data wawancara, data terbuka dan pertanyaanobservasi, data pertanyaan tertutup dokumentasi, data • Bentuk-bentuk data audiovisual berganda yang terbuka • Analisis tekstual dan pada kemungkinangambar kemungkinan lain • Interpretasi tema-tema, • Analisis statistik dan pola-pola analisis tekstual • Lintas interpretasi database
2.4. Prosedur-Prosedur Metode Campuran Menurut Creswell (2010), perencanaan prosedur-prosedur Metode Campuran harus mempertimbangkan sejumlah aspek penting, yaitu : a.
Timing (waktu) Peneliti harus mempertimbangkan waktu dalam pengumpulan data kualitatif dan kuantitatifnya (pengumpulan data bertahap atau langsung dikumpulkan sekaligus). Data yang dikumpulkan secara bertahap mengharuskan peneliti untuk menentukan data apa saja yang harus dikumpulkan terlebih dahulu (apakah kualitatif atau kuantitatif dahulu). Hal ini tergantung pada tujuan awal peneliti. Beberapa proyek penelitian, terkadang memang tidak efektif mengumpulkan data secara bertahap dalam jangka waktu yang lama (misalnya, pada jam-jam sibuk kerja).
b.
Weighting (Bobot) Bobot atau prioritas diberikan antara metode kuantitatif dan kualitatif. Beberapa jenis penelitian bisa saja bobotnya seimbang, namun dalam beberapa penelitian lain, bobot tersebut bisa lebih berat ke satu metode daripada metode yang lain. Bobot ini dapat dipertimbangkan melalui beberapa hal, antara lain apakah data kualitatif atau data kuantitatif yang akan diutamakan terlebih dahulu, sejauh mana treatment terhadap masingmasing dari dua jenis data tersebut, atau apakah pendekatan induktif
15
(seperti, membangun tema-tema dalam kualitatif) atau pendekatan deduktif (seperti, menguji suatu teori) yang akan diprioritaskan. c.
Mixing (Pencampuran) Hal penting dalam pencampuran adalah kapan dan bagaimana proses pencampuran terjadi. Pencampuran dua jenis data bisa saja dilakukan dalam beberapa tahap: tahap pengumpulan data, tahap analisis data, tahap interpretasi, atau bahkan dalam ketiga tahap ini sekaligus.
d.
Teorizing (Teorisasi) Peneliti membawa teori-teori ke dalam penelitian Metode Campuran, tetapi bisa juga ditulis secara implisit, bahkan tidak disebutkan sama sekali. Teori biasanya muncul di bagian awal penelitian untuk membentuk rumusan masalah yang diajukan, siapa yang berpartisipasi dalam penelitian, bagaimana data dikumpulkan, dan implikasi-implikasi yang diharapkan dari penelitian.
2.5. Model-Model Visual Metode Campuran Menurut Creswell (2010), notasi Metode Campuran merupakan label-label dan simbol-simbol singkatan yang mencerminkan aspek-aspek penting dalam penelitian Metode Campuran, yang bisa digunakan oleh para peneliti untuk mengkomunikasikan prosedur-prosedur Metode Campuran mereka dengan mudah. Berikut ini adalah notasi Metode Campuran : a.
Simbol “+” mengindikasikan strategi pengumpulan data secara konkuren dan simultan, dengan data kualitatif dan kuantitatif yang dikumpulkan sekaligus dalam satu waktu.
b.
Simbol “→”mengindikasikan strategi pengumpulan data sekuensial, dengan satu jenis data (misalnya, data kualitatif) yang mendukung jenis data yang lain (misalnya, data kuantitatif).
c.
Pengapitalan (“KUAN” atau “KUAL”) mengindikasikan suatu bobot atau prioritas yang diberikan pada data, analisis, dan interpretasi kuantitatif atau kualitatif. Penelitian Metode Campuran mengharuskan data kualitatif dan kuantitatif dapat diprioritaskan secara seimbang, atau salah satu data dapat diutamakan ketimbang data yang lain. Pengapitalan ini mengindikasikan adanya satu pendekatan atau metode yang lebih diprioritaskan.
16
d.
“Kuan” atau “Kual” merupakan kependekan dari kuantitatif dan kualitatif. Keduanya menggunakan jumlah kata yang sama untuk menunjukkan keseimbangan antara dua jenis data.
e.
Notasi KUAN/kual mengindikasikan bahwa metode kualitatif ditancapkan ke dalam rancangan kuantitatif.
f.
Kotak-kotak mengindikasikan analisis dan pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif.
Macam-macam strategi penelitian Metode Campuran dan model-model visualnya, yaitu : a.
Strategi Eksplanatoris Sekuensial Strategi Eksplanatoris Sekuensial merupakan strategi cukup populer dalam penelitian Metode Campuran dan sering kali digunakan oleh para peneliti yang lebih condong pada proses kuantitatif. Strategi ini diterapkan dengan pengumpulan dan analisis data kuantitatif pada tahap pertama yang diikuti oleh pengumpulan dan analisis data kualitatif pada tahap kedua yang dibangun berdasarkan hasil awal kuantitatif. Bobot/prioritas lebih diberikan pada data kuantitatif. Proses pencampuran (mixing) data dalam strategi ini terjadi ketika hasil awal kuantitatif menginformasikan proses pengumpulan data kualitatif. Hal ini mengakibatkan dua jenis data terpisah, namun tetap berhubungan. Teori yang eksplisit bisa saja disajikan, tetapi bisa juga tidak, dalam membentuk keseluruhan prosedur. Rancangan
Eksplanatoris
Sekuensial
biasanya
digunakan
untuk
menjelaskan dan menginterpretasikan hasil-hasil kuantitatif berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data kualitatif. Rancangan ini secara khusus berguna ketika muncul hasil-hasil yang tidak diharapkan dari penelitian kuantitatif, artinya pengumpulan data kualitatif yang dilakukan sesudahnya dapat diterapkan untuk menguji hasil-hasil yang mengejutkan ini dengan lebih detail. Strategi ini bisa saja memiliki atau tidak memiliki perspektif teoritis tertentu. Sifat keterusterangan (straightforward) dari rancangan ini merupakan salah satu kekuatan utamanya. Rancangan ini juga mudah dideskripsikan dan dilaporkan. Kelemahan utama rancangan ini terletak pada lamanya waktu dan pengumpulan data karena harus melewati dua tahap secara terpisah. Strategi ini juga menjadi lemah ketika dua tahap pengumpulan data diberikan prioritas yang seimbang. Lihat gambar 2.1.
17
Gambar 2.1. Eksplanatoris Sekuensial
b.
Strategi Eksploratoris Sekuensial Strategi Eksploratoris Sekuensial melibatkan pengumpulan data dan analisis data kualitatif pada tahap pertama, yang kemudian diikuti oleh pengumpulan dan analisis data kuantitatif pada tahap kedua yang didasarkan pada hasilhasil tahap pertama. Bobot/prioritas lebih cenderung pada tahap pertama, dan proses pencampuran (mixing) antarkedua metode ini terjadi ketika peneliti menghubungkan antara analisis data kualitatif dan pengumpulan data kuantitatif. Strategi Eksploratoris Sekuensial bisa, atau tidak bisa, diimplementasikan berdasarkan perspektif teoritis tertentu. Tujuan dasar dari strategi ini adalah menggunakan data dan hasil-hasil kuantitatif untuk membantu menafsirkan penemuan-penemuan kualitatif. Tidak seperti strategi Eksplanatoris Sekuensial, yang lebih cocok untuk menjelaskan dan menginterpretasikan hubungan-hubungan, fokus utama dalam strategi Eksploratoris Sekuensial adalah mengeksplorasi suatu fenomena. Strategi Eksploratoris Sekuensial akhirnya sering kali dipilih sebagai prosedur penelitian ketika peneliti perlu membuat suatu instrumen disebabkan instrumen yang ada tidak layak atau tidak tersedia. Pembuatan instrumen ini perlu melewati tiga tahap, yaitu mengumpulkan data kualitatif dan menganalisanya (Tahap 1), lalu menggunakan analisis tersebut untuk membuat suatu instrumen (Tahap 2), yang kemudian diatur untuk keperluan sampel populasi (Tahap 3). Strategi Eksploratoris Sekuensial memiliki banyak keunggulan sebagaimana strategi sebelumnya. Pendekatan dua tahap ini membuat strategi ini mudah diwujudkan, dideskripsikan, dan dilaporkan. Strategi ini tepat digunakan oleh peneliti yang ingin mengeksplorasi suatu fenomena, tetapi juga ingin memperluas penemuan-penemuan kualitatifnya, selain itu strategi ini dapat membuat penelitian kualitatif yang sangat luas menjadi nyaman dibaca oleh pembimbing, panitia, atau komunitas penelitian yang terbiasa dengan penelitian kuantitatif. Strategi Eksploratoris Sekuensial mengharuskan
18
peneliti untuk melewati waktu yang relatif lama dalam menyelesaikan tahaptahap pengumpulan data, yang tentu saja lemah untuk beberapa situasi penelitian tertentu. Peneliti juga harus membuat keputusan penting tentang penemuan-penemuan awal kualitatif apa saja yang akan difokuskan dalam tahap kuantitatif berikutnya. Lihat gambar 2.2.
Gambar 2.2. Eksploratoris Sekuensial
c.
Strategi Transformatif Sekuensial Strategi ini terdiri dari dua tahap pengumpulan data yang berbeda, satu tahap mengikuti tahap yang lain, seperti halnya dua strategi sekuensial sebelumnya. Strategi Transformatif Sekuensial merupakan proyek dua tahap dengan perspektif teoritis tertentu yang turut membentuk prosedur-prosedur di dalamnya. Strategi ini terdiri dari tahap pertama (baik itu kuantitatif dan kualitatif) yang diikuti oleh tahap kedua (baik itu kuantitatif maupun kualitatif). Perspektif teoritis diperkenalkan di bagian pendahuluan. Perspektif ini dapat membentuk rumusan masalah yang akan dieksplorasi, menciptakan sensitivitas pengumpulan data dari kelompok-kelompok marginal, dan diakhiri dengan ajakan akan perubahan. Peneliti dapat menggunakan salah satu dari dua metode dalam tahap pertama, dan bobotnya dapat diberikan pada salah satu dari keduanya atau didistribusikan secara merata pada masing-masing
tahap.
Proses
pencampuran
(mixing)
pada
strategi
Transformatif Sekuensial terjadi ketika peneliti menggabungkan antarkedua metode penelitian, seperti yang dilakukan dalam strategi-strategi sekuensial sebelumnya. Strategi Transformatif Sekuensial ini mengharuskan peneliti menggunakan perspektif teoritis tertentu untuk memandu penelitiannya. Perspektif teoritis ini bertujuan untuk membimbing penelitian ketimbang untuk diterapkan sebagai metode tersendiri. Tujuan dari strategi Transformatif Sekuensial adalah untuk menerapkan perspektif teoritis si peneliti. Penerapan penelitian dua tahap dalam strategi ini, peneliti diharapkan dapat menyuarakan perspektif-perspektif yang
19
berbeda, memberikan advokasi yang lebih baik kepada partisipan, atau memahami suatu fenomena dengan lebih baik. Lihat gambar 2.3.
Gambar 2.3. Strategi Transformatif Sekuensial
d.
Strategi Triangulasi Konkuren Strategi Triangulasi Konkuren merupakan Metode Campuran. Peneliti mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif secara konkuren (satu waktu), kemudian
membandingkan
dua
data
tersebut
untuk
mengetahui
konvergensi, perbedaan ataupun kombinasi. Sebagian penulis menyebut perbandingan ini konfirmasi, diskonfirmasi, lintas validasi, dan kolaborasi. Strategi ini menerapkan metode kualitatif dan kuantitatif secara terpisah untuk menutupi/menyeimbangkan kelemahan-kelemahan salah satu metode dengan kekuatan metode lainnya. Idealnya, bobot antara dua metode ini seimbang. Pencampuran (mixing) pada strategi ini dilakukan ketika peneliti sampai pada tahap interpretasi dan pembahasan. Pencampuran tersebut dilakukan dengan meleburkan kedua data menjadi satu atau dengan integrasi dan komparasi data-data secara berdampingan. Integrasi berdampingan (side-by side integration) banyak ditemukan pada penelitian yang menyajikan data statistik/kuantitatif terlebih dahulu, dan kemudian diikuti data kualitatif yang menolak data-data sebelumnya. Manfaat utama strategi ini ialah penemuan yang dihasilkan bersifat substansif dan tervalidasi, selain itu jangka pengambilan data terhitung cepat karena data diambil pada satu waktu. Keterbatasan stretegi ini adalah membutuhkan keahlian khusus untuk mengkaji kedua fenomena dengan 2 metode berbeda. Kerumitan strategi ini juga terletak pada proses pembandingan data-data yang ada dengan dua analisis metode berbeda. Beberapa cara untuk mengatasi ketidaksesuaian hasil perbandingan antara lain dengan melakukan penambahan data,
20
memeriksa data, mencari gagasan baru, atau membuat proyek baru berdasarkan ketidaksesuaian data tersebut. Lihat gambar 2.4.
Gambar 2.4. Strategi Triangulasi Konkuren
e.
Strategi Embedded Konkuren Strategi ini serupa dengan Strategi Triangulasi Konkuren karena seluruh data diambil dalam satu waktu. Pembedanya adalah strategi ini memiliki metode primer yang memandu proyek dan data base sekunder yang memainkan peran pendukung dalam prosedur penelitian. Metode sekunder yang kurang dipriorotaskan ditancapkan (embedded) atau disarangkan (nested) ke metode yang lebih dominan. Hal ini berarti metode sekunder menjabarkan rumusan masalah yang berbeda dari metode primer atau mencari informasi dalam tingkat analisis yang berbeda. Strategi Embedded Konkuren digunakan untuk memperoleh perspektifperspektif yang lebih luas (menggunakan 2 metode berbeda). Strategi ini juga berguna untuk penelitian pada kelompok atau level tertentu, dan sering disebut sebagai strategi multilevel. Akhirnya pada strategi ini satu metode dapat digunakan dalam kerangka metode lain. Kelemahan metode ini ialah peneliti harus mentransformasikan data dari kedua metode agar dapat digabungkan dalam tahap analisis. Besar pula kemungkinan terjadi ketidaksesuaian antar data yang ada. Lihat gambar 2.5.
21
Gambar 2.5. Strategi Embedded Konkuren
f.
Strategi Transformatif Konkuren Strategi ini diterapkan dengan mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif secara serempak dengan dasar perspektif teoritis tertentu. Perspektif ini biasanya
berorientasi
pada
ideologi-ideologi
teori
kritis,
advokasi,
partisipatoris, atau pada kerangka konseptual tertentu. Perspektif ini direfleksikan dengan tujuan penelitian atau rumusan masalah, dan hal ini menjadi kekuatan utama dalam mendefinisikan masalah, mengidentifikasi rancangan
dan
sumber
data,
menganalisis,
menginterpretasi,
dan
melaporkan hasil penelitian. Proses pencampuran (mixing) dalam strategi ini terjadi saat peneliti meleburkan (merging), menghubungkan (connecting), atau menancapkan (embedding) dua data berbeda. Strategi Transformatif Konkuren ini saling berbagi fitur dengan strategi embedded dan triangulasi, maka ketiga strategi ini saling berbagi kelebihan dan kelemahan. Strategi transformatif ini memiliki
keunggulan
menempatkan
peneliti
dibanding pada
dua Metode
strategi
lainnya,
Campuran
transformatif. Lihat gambar 2.6.
Gambar 2.6. Strategi Transformatif Konkuren
22
yaitu
dalam
tidak
kerangka
2.6. Kuesioner Salah satu instrumen pengumpul data dalam penelitian adalah kuesioner atau disebut juga daftar pertanyaan (terstruktur). Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang akan digunakan oleh periset untuk memperoleh data dari sumbernya
secara
langsung
melalui
proses
komunikasi
atau
dengan
mengajukan pertanyaan. Kuesioner ini biasanya berkaitan erat dengan masalah penelitian atau juga hipotesis penelitian yang dirumuskan yang disebut juga dengan istilah pedoman wawancara (interview schedule). Ada tiga jenis pertanyaan dalam kuesioner, yakni pertanyaan terbuka, tertutup, dan gabungan terbuka dan tertutup. Pertanyaan dengan jawaban terbuka adalah pertanyaan yang memberikan kebebasan penuh kepada responden untuk menjawabnya. peneliti tidak memberikan satupun alternatif jawaban pada jenis pertanyaan ini. Pertanyaan dengan jawaban tertutup adalah pertanyaan yang alternatif jawabannya sudah disediakan oleh peneliti. Responden tinggal memilih alternatif jawaban yang dianggapnya sesuai. a.
Kuesioner dengan Jawaban Tertutup Salah satu keuntungannya untuk kuesioner ini adalah sebagai berikut: i.
Jawaban-jawaban bersifat standar dan bisa dibandingkan dengan jawaban orang lain.
ii.
Jawaban-jawabannya jauh lebih mudah dihitung dan dianalisis, bahkan sering secara langsung dapat dihitung dari pertanyaan yang ada, sehingga hal ini dapat menghemat tenaga dan waktu.
iii.
Responden
lebih
merasa
yakin
akan
jawaban-jawabannya,
terutama bagi mereka yang sebelumnya tidak yakin. iv.
Jawaban-jawaban relatif lebih lengkap karena sudah dipersiapkan sebelumnya oleh peneliti.
v.
Analisis dan formulasinya lebih mudah jika dibandingkan dengan model kuesioner dengan jawaban terbuka.
Kelemahan kuesioner tertutup, yakni: i.
Sangat mudah bagi responden untuk menebak setiap jawaban, meskipun sebetulnya mereka tidak memahami masalahnya.
ii.
Responden merasa frustrasi dengan sediaan jawaban yang tidak satu pun yang sesuai dengan keinginannya.
iii.
Sering terjadi jawaban-jawaban yang terlalu banyak sehingga membingungkan responden untuk memilihnya.
23
iv.
Tidak bisa mendeteksi adanya perbedaan pendapat antara responden dengan peneliti karena responden hanya disuruh memilih alternatif jawaban yang tersedia.
b.
Kuesioner dengan Jawaban Terbuka Keuntungannya antara lain adalah : i.
Dapat digunakan jika semua alternatif jawaban tidak diketahui oleh peneliti, atau ketika peneliti ingin melihat bagaimana dan mengapa jawaban responden serta alasan-alasannya. Hal ini sangat baik untuk menambah pengetahuan peneliti akan masalah yang diutarakannya;
ii.
Membolehkan responden untuk menjawab sedetil atau serinci mungkin atas apa yang ditanyakan peneliti. Pendapat responden dapat diketahui dengan baik oleh peneliti.
2.6.1. Skala Rating Menurut Jogiyanto (2008), skala rating digunakan untuk memberikan nilai ke suatu variabel. Beberapa skala rating yang sering digunakan adalah sebagai berikut: a.
Skala Dikotomi Skala ini memberikan nilai dikotomi misalnya nilai Ya atau Tidak. Tipe data yang digunakan adalah nominal.
b.
Skala Kategori Skala ini memberikan nilai beberapa item untuk dipilih. Tipe data yang digunakan untuk skala ini adalah tipe nominal.
c.
Skala Likert Skala ini digunakan untuk mengukur respon subyek ke dalam 5 atau 7 poin skala interval yang sama. Tipe data yang digunakan adalah tipe interval.
d.
Skala Perbedaan Semantik Skala ini menggunakan dua buah nilai ekstrim dan subyek diminta menentukan responnya di antara dua nilai tersebut di ruang yang disediakan yang disebut ruang semantik.
e.
Skala Numerik Skala ini sama dengan skala perbedaan semantik, hanya saja skala numerik mengganti ruang semantik yang disediakan dengan angka-angka numerik
24
(misalnya 1 sampai dengan 5 untuk poin skala Likert atau 1 sampai dengan 7 poin skala Likert). Tipe data yang digunakan adalah tipe interval. f.
Skala Penjumlahan Tetap atau Konstan Subyek diminta untuk mendistribusikan nilai responnya ke dalam beberapa item yang sudah disediakan dengan jumlah yang tetap. Tipe data yang digunakan adalah tipe rasio.
g.
Skala Stapel Skala ini dimaksudkan tidak hanya mengukur nilai atas respon dari subyek, tetapi juga arah responnya. Nilai nol tidak disebutkan secara eksplisit, maka tipe data yang digunakan adalah tipe interval.
h.
Skala Grafik Skala ini menggunakan grafik skala dan subyek memberi tanda pada tempat di grafik untuk responnya. Tipe data yang digunakan adalah tipe interval.
2.6.2. Tipe Data Dasar Skala Menurut Jogiyanto (2008), terdapat 4 macam tipe data untuk dasar dari skala yaitu: a.
Nominal, yaitu bernilai klasifikasi. Misalnya: laki dan perempuan, untuk gender.
b.
Ordinal, yaitu bernilai klasifikasi dan order (ada urutannya). Misalnya: penilaian (kurang, baik, sangat baik).
c.
Interval, yaitu bernilai klasifikasi, order (ada urutannya), dan berjarak (perbedaan dua nilai berarti). Misalnya skala Likert 1 sampai dengan 5, dengan jarak 1 sampai dengan 2 mempunyai jarak yang sama dengan 2 sampai dengan 3 dan seterusnya. Rasio, yaitu bernilai klasifikasi, order, distance (berjarak) dan mempunyai nilai awal (origin). Misalnya unit waktu sebesar 20 menit yang mempunyai nilai awal 0. Rasio dalam hal ini tidak harus dalam pembagian.
2.7. Sifat-Sifat Penting Dari Logam Suroto dan Sudibyo (1983) menyebutkan pada perencanaan suatu konstruksi, pemilihan bahan yang akan digunakan harus menyesuaikan dengan sifat-sifat logam tersebut. Berikut ini adalah sifat-sifat logam yang penting.
25
a.
Malleability/Dapat Ditempa Logam ini dapat dengan mudah dibentuk dengan suatu gaya, baik dalam keadaan dingin maupun panas tanpa terjadi retak. Misalnya dengan hammer ataupun dengan rol.
b.
Ductility/Dapat Ditarik Logam dapat dibentuk dengan tarikan tanpa menunjukkan gejala putus.
c.
Toughness/Sifat Ulet Kemampuan suatu logam untuk dibengkokkan beberapa kali tanpa mengalami retak.
d.
Hardness/Kekerasan Ketahanan suatu logam terhadap penetrasi/penusukan logam lain.
e.
Strength/Kekuatan Kemampuan suatu logam untuk menahan gaya yang bekerja atau kemampuan logam menahan deformasi.
f.
Weldability Kemampuan logam untuk dapat dilas, baik dengan las listrik maupun dengan las karbid/gas.
g.
Corrosion Resistance/Tahan Korosi Kemampuan suatu logam untuk menahan korosi/karat akibat kelembaban udara, zat-zat kimia, dan lain-lain.
h.
Machineability Kemampuan suatu logam untuk dikerjakan dengan mesin. Misalnya dengan mesin bubut,mesin frais, dan lain-lain.
i.
Elasticity Kemampuan suatu logam untuk kembali ke bentuk semula tanpa mengalami deformasi plastik/permanen.
j.
Britleness/Kerapuhan Sifat logam yang mudah retak dan pecah. Sifat ini berhubungan erat dengan kekerasan/hardness yang merupakan kebalikan dari ductility.
2.8. Heat Treatment Heat treatment didefinisikan sebagai proses pemanasan dan pendinginan yang diterapkan pada logam dan paduan dalam bentuk padat sehingga memperoleh sifat yang diinginkan (Rajan, 1994).
26
Beberapa tujuan heat treatment menurut Rajan (1994) antara lain: a.
Meningkatkan keuletan
b.
Menghilangkan internal stress
c.
Penyempurnaan ukuran butir
d.
Meningkatkan kekerasan atau kekuatan tarik dan mencapai perubahan komposisi kimia dari permukaan logam seperti dalam kasus-kasus pengerasan
Keuntungan dari heat treatment menurut Rajan (1994) antara lain : a.
Meningkatan machineability
b.
Mengubah sifat magnetik, modifikasi konduktivitas listrik
c.
Meningkatan ketangguhan dan mengembangkan struktur rekristalisasi pada cold-worked metal
Faktor atau variabel yang dapat mempengaruhi proses heat treatment menurut Rajan (1994) antara lain: a.
Temperatur heat treatment
b.
Holding time
c.
Laju pemanasan
d.
Proses pendinginan (quenching).
Besarnya kebutuhan akan variabel-variabel ini tergantung pada komposisi kimia, ukuran dan bentuk/dimensi objek dan sifat akhir yang diinginkan pada logam/paduan. 2.9. Proses-Proses Heat Treatment Proses-proses yang termasuk dalam heat treatment menurut Rajan (1994), yaitu: a.
Stress Relieving
b.
Annealing
c.
Spheroidzing
d.
Normalizing
e.
Hardening
f.
Tempering
g.
Austempering
h.
Martempering
i.
Sub-Zero Treatment
j.
Patenting
27
Suroto dan Sudibyo (1983) memiliki tambahan pendapat mengenai prosesproses heat treatment, yaitu: a.
Recrystallization
b.
Full Annealing
c.
Homogenizing/ Diffusion Annealing
d.
Pengerasan bainit
2.10.
Hardening
Menurut Suroto dan Sudibyo (1983), menyebutkan hardening adalah proses pemanasan logam sampai temperatur di atas titik kritis (daerah austenit), ditahan sejenak sesuai dengan waktu tahan yang dibutuhkan agar seluruh benda kerja memiliki struktur austenit dan kemudian didinginkan secara mendadak. Tujuan proses ini adalah untuk mendapatkan struktur kristal martensit. Martensit adalah struktur yang harus dimiliki baja agar memperoleh kenaikan kekerasan yang sangat besar. Martensit berstruktur jarum karena jaringan atomnya berbentuk tetragonal. 2.11.
Tempering
Menurut Suroto dan Sudibyo (1983), menyebutkan tempering adalah proses pemanasan kembali suatu logam yang telah dikeraskan melalui proses quenching pada suhu di bawah suhu kritisnya selama waktu tertentu dan didinginkan secara perlahan-lahan. Tujuan proses ini adalah untuk mengurangi internal stress, mengubah susunan, mengurangi kekerasan (pelunakan logam), dan menaikkan/ mengembalikan keuletan logam sehingga didapatkan perpaduan yang tepat antara kekerasan dan keuletan logam uji. 2.12.
Annealing
Menurut Suroto dan Sudibyo (1983), menyebutkan annealing adalah proses pemanasan logam sedikit di atas suhu kritis yang dibiarkan sampai suhu merata dan disusul dengan pendinginan secara perlahan-lahan sambil dijaga agar suhu di bagian luar dan dalam kira-kira sama. Tujuan proses ini adalah mengurangi internal stress, menghaluskan butiran, mengurangi kekerasan (pelunakan logam) sehingga setelah proses ini diperoleh sifat yang lebih plastis dan ulet. Sifat tersebut membuat benda kerja dapat dengan mudah dikerjakan oleh mesin dan kemudian dapat dikeraskan kembali. Struktur yang tidak seragam dan tegangan
28
dalam akibat pengerjaan rol atau tempa pun dapat diatasi. Berdasarkan jenisnya annealing dapat dibagi menjadi 2, yaitu : a.
Full Annealing Pemanasan jenis ini bertujuan mendapatkan butiran yang kasar dengan temperatur di atas titik ubah atas.
b.
Homogenizing/ Diffusion Annealing Pemanasan difusi adalah pemanasan pada temperatur yang amat tinggi (di atas titik ubah Ac 3) dan ditahan dalam jangka waktu yang lama agar elemen-elemen paduan (termasuk atom C) dapat terbagi secara merata.
2.13.
Stress Relieving
Menurut Suroto dan Sudibyo (1983), stress relieving adalah salah satu jenis perlakuan panas, yaitu memanaskan sampai temperatur di bawah titik ubah (perlit mulai berubah menjadi struktur baja) dan kemudian didinginkan secara perlahan-lahan dengan tujuan mengurangi/menghilangkan tegangan dalam. Tegangan dalam terbentuk akibat dari : a.
Pengerjaan potong
b.
Pemanasan atau pendinginan yang tidak teratur dari pengerjaan tempa, tuang, atau las.
c.
Pengerjaan bentuk dingin, misalnya: pengepresan, pelubangan tekan, pembengkokan atau pelurusan.
Tegangan dalam ini dapat mengganggu pengerjaan selanjutnya dari benda kerja, misalnya: terjadinya retakan, perubahan ukuran pada benda jadi, atau penyusutan pada perlakuan panas berikutnya. Temperatur terbaik pemanasan material baja untuk mereduksi tegangan yaitu antara 5500C sampai 6500C. Temperatur tersebut dipertahankan sampai selama 3 jam sesuai dengan besarnya benda kerja. Pemanasan di bawah 5500C mempunyai akibat jelek bagi reduksi tegangan. Proses pendinginan yang berlangsung dengan cepat atau tidak teratur justru menimbulkan tegangan baru. Timbulnya tegangan baru ini dapat dicegah dengan pendinginan dalam dapur/oven sampai 4000C. Penting bahwa sesudah proses pemanasan reduksi tegangan ini benda kerja tidak boleh mengalami proses pengerjaan lain yang dapat menimbulkan terjadinya tegangan dalam, misalnya: pelurusan.
29
2.14. Metode Uji Kekerasan Logam Menurut Suroto dan Sudibyo (1983), uji kekerasan logam dapat digolongkan menjadi 3 metode, yaitu : a.
Metode Pengujian Menurut Brinell Tujuan uji kekerasan menurut Brinell adalah untuk menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut. Pengujian Brinell sangat disarankan hanya diperuntukkan untuk material yang memiliki kekerasan sampai dengan 400 HB. Lebih dari itu dipakai pengujian Rockwell atau Vickers. Satuan kekerasan Brinell adalah HB yang merupakan hasil bagi (koefisien) dari beban uji (F) dalam N yang dikalikan dengan faktor 0,102 dan luas permukaan bekas luka tekan bola baja A dalam mm2. Bola baja memiliki garis tengah D dalam mm, sedangkan bekas luka tekan memiliki garis tengah d dalam mm. Notasi HB dilengkapi dengan indeks yang menyatakan syarat-syarat pengujian, yaitu: garis tengah bola, beban uji yang telah dikalikan faktor 0,102 dan lama pengujian (pembebanan uji). Contoh : HB/5/750/15 berarti kekerasan Brinell hasil pengujian dengan bola bergaris tengah 5 mm, beban uji F =
,
dan lama pengujian (pembebanan uji) 15
detik. Rumus pengujian kekerasan menurut Brinell adalah :
HB =
b.
,
, π √
(2.1)
Metode Pengujian Menurut Vickers Tujuan uji kekerasan menurut Vickers adalah untuk menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap diamond/intan berbentuk piramida yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut. Satuan kekerasan Vickers adalah HV yang merupakan hasil bagi (koefisien) dari beban uji F dalam N yang dikalikan dengan faktor 0,102 dan luas permukaan bekas luka tekan piramida diamond A dalam mm2. Notasi HV dilengkapi dengan indeks yang menyatakan syarat-syarat pengujian, yaitu : beban uji yang telah dikalikan faktor 0,102 dan lama pengujian (pembebanan uji). Pembebanan uji selama 15 detik tidak ditulis dalam indeks.
30
Contoh : i.
HV 30 berarti kekerasan Vickers hasil pengujian dengan beban uji
F = , dan lama pembebanan uji 15 detik. ii.
HV 30/30 berarti kekerasan Vickers hasil pengujian dengan beban uji F=
,
dan lama pembebanan uji 30 detik.
Rumus pengujian kekerasan menurut Vickers adalah : HV = c.
,
,
, ,
(2.2)
Metode Pengujian Menurut Rockwell Tujuan uji kekerasan Rockwell adalah untuk menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap benda penguji (dapat berupa bola baja atau kerucut diamond) yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut. Pengujian benda kerja baja menggunakan kerucut diamond sebagai benda penguji dan disebut pengujian Rockwell-C (C = cone/tirus), sedangkan untuk material lain dipakai bola baja dan disebut pengujian Rockwell-B (B = ball / bola). Satuan kekerasan Rockwell adalah HRC atau HRB yang merupakan selisih antara sebuah konstanta dan dalamnya luka tekan permanen (e) yang dibagi dengan 0,002 mm. i.
Rumus pengujian kekerasan menurut Rockwell-C adalah : HR =
! "##$ , "##$
(2.3)
Keterangan: a bernilai 100 untuk indentor intan dan a bernilai 150 untuk indentor baja. ii.
Rumus pengujian kekerasan menurut Rockwell-B adalah : HR =
! "##$ , "##$
Keterangan: a bernilai 130 untuk indentor intan.
31
(2.4)
Tabel 2.5. Ketentuan Skala Indentor dan Aplikasinya
Skala
Indentor
Beban (kg) 60
D
Kerucut diamond (120º) Bola 1/16 inci Kerucut diamond (120º) Kerucut diamond
E
Bola 1/8 inci
100
F
Bola 1/16 inci
60
G
Bola 1/16 inci
150
H K L M P R S V
Bola 1/8 inci Bola 1/8 inci Bola 1/4 inci Bola 1/4 inci Bola 1/4 inci Bola 1/2 inci Bola 1/2 inci Bola 1/2 inci
60 150 60 100 150 60 100 150
A B C
100 150 100
Aplikasi Cemented carbide, thin steels, casehardened steel Soft steels, malleable iron Steel, cast iron, deep case-hardened steel, materials harder than B100 Thin steel, pearlitic malleable , medium case-hardened steel Cast iron, alumunium & magnesium alloys, bearing metals Annealed cooper alloy, thin soft sheet metals Phosphor bronze, beryllium cooper, malleable irons Allumunium, zinc, lead Bearing metals and other soft or thin materials including plastics use smallest ball and heaviest load avoiding ball distortion
Tabel 2.6. Pengertian, Notasi, dan Satuan Besaran
Simbol Fo F1 F ea eg e -
Arti Sudut lancip kerucut diamond (=1200) Radius ujung kerucut diamond (=0,2 mm) Beban uji awal (=98,1 N) Beban uji utama (=1373,4 N) Beban uji total (=1471,5 N) Dalamnya luka tekan akibat beban uji awal Dalamnya luka tekan akibat beban uji utama Dalamnya luka tekan permanen jika beban utama F1 dihilangkan. Angka kekerasan Rockwell-C ' "(($ = 100 , "(($
Satuan (derajat) mm N N N mm mm mm 0
HRC
2.15. Kemungkinan-Kemungkinan Cacat, Penyebab, dan Solusi Dalam Hardening Ditemukan bermacam-macam kemungkinan kegagalan (hal-hal yang tidak diinginkan) pada proses perlakuan panas. Berikut ini beberapa jenis kegagalan dan penyebabnya.
32
Tabel 2.7. Kemungkinan-Kemungkinan Cacat, Penyebab, dan Solusi Dalam Hardening menurut Suroto dan Sudibyo (1983)
No. 1.
Kegagalan Oksidasi adalah mengelupasnya permukaan baja akibat reaksi Fe dengan oksigen dari udara.
2.
Perubahan ukuran dan bentuk sesudah hardening.
3.
Dekarburisasi adalah menghilangnya karbon pada permukaan baja sehingga kekerasannya menurun.
4.
Quenching cracks adalah retak pada benda kerja sesudah di quenching.
5.
Kekerasan berkurang sesudah quenching,
Penyebab Cara untuk menghindari Adanya oksigen di dalam dapur/oven. a. Membebaskan oksigen dari dalam dapur, misalnya dengan memasukkan kayu ke dalamnya. b. Memanaskan di dalam larutan garam. a. Saat quenching masukkan benda Terjadinya perubahan volume pada waktu pembentukan martensit. kerja dengan benar. b. Mendinginkan dengan lebih perlahan ke dalam daerah martensit. Adanya oksigen di dalam dapur/ a. Membebaskan oksigen dari dalam oven. dapur, misalnya dengan memasukkan kayu ke dalamnya. b. Memanaskan di dalam larutan garam. a. Perbedaan kecepatan pendinginan a. Menggunakan quenching medium antara permukaan dan inti dari yang sesuai. b. Mengunakan metode hardening yang benda kerja. sesuai (martempering atau b. Terjadinya perubahan volume austempering) pada waktu pembentukan martensit. Melakukan annealing yang diikuti a. Temperatur pengerasan terlalu dengan hardening. rendah. b. Kurang cukup waktu pada temperatur hardening. c. Kecepatan pendinginan terlalu rendah.
33
Tabel 2.8. Kemungkinan-Kemungkinan Cacat, Penyebab, dan Solusi Dalam Hardening menurut Rajan (1994)
No. 1.
Kegagalan Overheating. - Butiran menjadi kasar, struktur widmanstatten pada annealed steel, kristal martensit kasar pada pengerasan baja, menurunnya keuletan, dan rendahnya nilai kekuatan. Oksidasi. - Skala tebal lapisan terlihat pada permukaan komponen baja.
Penyebab Pemanasan untuk waktu yang lama pada suhu melebihi nilai normal.
Cara untuk menghindari a. Normal annealing dan normalisasi untuk sedikit overheating. b. Normalisasi berulang sekitar 6 kali.
Atmosfer/keadaan oksidasi di sekitar tungku pemanas.
3.
Kekerasan menurun setelah pendinginan.
4.
Burning. Batas butir memiliki : a. daerah diperkaya karbon dalam tahap pertama burning. b. rongga non-oksidasi dan lubang angin pada tahap kedua burning. c. inklusi oksida besi dalam tahap ketiga burning, menghasilkan batu seperti fraktur dan keuletan yang jelek. Erosi. - Pengurangan ukuran atau bentuk komponen karena pengikisan dari permukaan material.
Rendahnya pengerasan, laju temperatur pendinginan, dan kurangnya waktu perendaman pada suhu pengerasan. Pemanasan untuk jangka waktu lama pada suhu tinggi di bawah kondisi oksidasi atau pemanasan dekat dengan titik leleh baja.
a. Mengurangi oksidasi dapat menggunakan atmosfer netral atau pelindung dalam tungku pemanas. b. Pemanasan dalam kotak dengan menggunakan alat karburasi. Normalizing atau annealing, diikuti oleh pengerasan dengan prosedur yang benar.
2.
5.
Reaksi kimia dan oksidasi komponen yang dipanaskan dalam rendaman air garam cair.
34
a. Homogenitzing diikuti oleh double annealing untuk tahap pertama burning. b. Proses penempaan diikuti oleh annealing pada tahap kedua. c. Tidak dapat diatasi jika tahap ketiga telah terjadi.
a. Menggunakan deoxidizing larutan garam dengan ferrosillicon atau boraks. b. Mengatur posisi komponen dengan tepat saat berada di dalam larutan garam.
Tabel 2.8. Lanjutan
No. 6.
Kegagalan Dekarburisasi. - Kandungan karbon menurun di lapisan permukaan. Kekerasan dan batas kelelahan lebih rendah.
Penyebab Atmosfer/keadaan oksidasi di sekitar tungku pemanas.
7,
Kekerasan yang berlebihan dari hotworked annealed steel
8.
Black Fracture. - Inklusi karbon bebas terlihat dalam baja. Kekerasan tidak cukup setelah tempering. Deformasi dan perubahan dimensi setelah pengerasan. - Pengerasan baja semakin tinggi, lebih parahnya adalah terjadi deformasi dalam hardening.
Laju pendinginan yang berlebihan untuk proses annealing sederhana atau kurangnya waktu perendaman selama isothermal annealing. Waktu pemanasan yang berlebihan dan pendinginan yang lambat setelah annealing. Suhu temper terlalu tinggi.
9. 10.
11.
Korosi. - Pitting.
Peningkatan volume baja karena transformasi martensit.
a. Kandungan tinggi dari garam sulfat (lebih dari 0,7-0,8%) dalam rendaman larutan garam cair. b. Bak pendingin telah menjadi kaya oksigen atau oksida besi.
35
Cara untuk menghindari a. Menjaga suasana sekitar tungku pemanas netral atau protektif. b. Pemanasan dalam kotak dengan menggunakan alat karburasi atau cor serpihan besi. c. Pemanasan di larutan garam cair. d. Menghilangkan lapisan decarburized dengan machining jika permesinan tersedia. Mengulang proses annealing dengan pendinginan pada tingkat yang ditentukan.
Pemanasan baja pada suhu tinggi dan melalui proses penempaan. Annealing, rehardening dan tempering pada suhu normal. a. Menggunakan baja yang sedikit mengalami cacat saat dilakukan pendinginan. b. Pendinginan lambat dalam kisaran martensit. c. Menerapkan surface hardening jika dimungkinkan. a. Mengontrol komposisi garam secara hati-hati. b. Deoxidizing bak pendingin.
Tabel 2.8. Lanjutan
No. 12.
Kegagalan Kekerasan yang berlebihan setelah tempering.
13.
Quench crack. - Eksternal atau internal dan zigzag pada penampilan.
14.
Warping. - Deformasi asimetris pada komponen terjadi selama pendinginan.
Penyebab Temperatur terlalu rendah atau kurangnya waktu perendaman saat tempering. a. Internal stress b. Pendinginan tidak seragam.
a. Perubahan volume dalam proses pemanasan atau pendinginan. b. Pemanasan yang tidak seragam atau pendinginan komponen. c. Terdapat internal stress pada komponen sebelum perlakuan panas. d. Penurunan komponen ke bak pendinginan dalam posisi miring.
36
Cara untuk menghindari Tempering kedua menggunakan suhu dan waktu perendaman yang tepat.
Tidak bisa diatasi tetapi dapat dicegah dengan: a. Menghindari bentuk tajam, sudut tajam, dan perubahan ukuran secara mendadak. b. Menghilangkan tekanan sebelum pengerasan. c. Pemanasan dengan suhu minimum yang cocok untuk pengerasan. d. Pendinginan secara lambat dalam kisaran martensit dengan menggunakan minyak sebagai media pendinginan. e. Quenching, diikuti segera dengan proses temper. a. Menggunakan baja paduan yang hanya sedikit menimbulkan cacat saat pendinginan. b. Pendinginan secara lambat dalam kisaran martensit. c. Menerapkan pengerasan permukaan jika dimungkinkan. d. Annealing, normalizing atau tempering pada suhu tinggi sebelum hardening. e. Pemanasan seragam untuk hardening. f. Quenching secara seragam sebisa mungkin. g. Menjaga komponen dalam posisi yang tepat di bak pendinginan. h. Menggunakan jig pendinginan khusus.
Tabel 2.8. Lanjutan
No. 15.
Kegagalan Soft spot. - Terjadi di bagian tertentu pada permukaan komponen dengan kekerasan yang lebih rendah.
Penyebab a. Adanya vapour blanket pada permukaan komponen. b. Dekarburisasi lokal. c. Ketidakseragaman struktur dalam setelah pemadatan.
Cara untuk menghindari a. Menggunakan quenchant yang lebih efektif. b. Annealing atau normalizing sebelum hardening untuk struktur yang lebih homogen. c. Menghindari dekarburisasi dalam pemanasan.
2.16. Pengertian Baja Menurut Suroto dan Sudibyo (1983), baja merupakan paduan dari besi dan karbon (zat arang). Besi (Fe) adalah elemen metal dan karbon (C) adalah elemen non metal. Karbon dan besi yang terpadu secara kimiawi disebut sebagai besi karbid (Fe3C) atau sementit. Sifat-sifat bahan hasil akhir suatu persenyawaan antara dua bahan yang berbentuk gas itu sangat berbeda jika dibandingkan dengan sifat-sifat bahan awal. Contohnya sementit memiliki tiga atom besi (Fe) yang lunak bersenyawa dengan satu atom karbon (C) menghasilkan molekul yang sangat keras. Perubahan-perubahan yang diakibatkan perbedaan kadar karbon dapat dilihat pada gambar 2.7. a.
Kadar karbon (%C) yang meningkat akan menyebabkan bertambah besarnya noda (flek) hitam (yang juga disebut flek perlit), bersama itu berkuranglah flek putih (ferrit/besi murni).
b.
Karbon mencapai 0,85% akan menyebabkan besi dalam keadaan jenuh terhadap karbon. Struktur seperti itu disebut perlit lamellar. Perlit lamellar yaitu campuran yang sangat halus dan berbentuk batang-batang kristal. Campuran kristal tersebut terdiri dari ferrit dan sementit.
c.
Kadar karbon yang bertambah besar menyebabkan sementit akan berkurang dan flek-flek perlit akan bertambah. Kadar karbon mencapai jenuh jika sudah sebesar 0,85% dengan demikian bertambah juga kekerasan dari baja.
37
Gambar 2.7. Metallographi Baja Dengan Bermacam-Macam Kadar Karbon
38
2.16.1. Besi alpha (Besi ∝) Besi alpha juga dinamakan Ferrit. Temperatur ruangan sampai pada 9110C akan membentuk kristalisasi dari besi alpha ini tidak berubah. Kristalnya berbentuk “berpusat pada ruang kubus”. Kristal dengan susunan “berpusat pada ruang kubus” mempunyai sebuah atom besi pada perpotongan diagonal ruang dari kubus dan pada masing-masing pojok kubus.
Gambar 2.8. Susunan Besi Alpha Ferrit
2.16.2. Besi gamma (Besi *’) Besi gamma juga dinamakan Austenit. Temperatur antara 9110C-14010C, kristalnya berbentuk “berpusat pada dinding kubus”. Terdapat sebuah atom besi pada masing-masing pojok kubus dan sebuah atom besi pada perpotongan diagonal dinding-dinding kubus. Susunan atom ini lebih padat, namun masih terdapat tempat ditengah-tengah ruang kubus untuk menampung sebuah atom lain, misalnya atom karbon.
Gambar 2.9. Susunan Besi Gamma Austenit
39
2.17. Menentukan Titik Ubah atau Titik Henti Menurut Suroto dan Sudibyo (1983), titik ubah atau titik henti dapat ditentukan dengan 2 cara. Pertama, dengan cara mengukur perubahan panjang dari sebatang tongkat baja yang dipanaskan. Gambar di bawah ini menunjukan diagram perubahan panjang dari besi murni. Austenit memiliki bentuk kristal yang sama dengan ferrit, tetapi kristal austenit memiliki jumlah atom yang lebih padat daripada ferrit. Kondisi temperatur yang sama (temperatur ini tertentu, 9110C) menyebabkan austenit memiliki volume yang lebih kecil daripada ferrit.
Gambar 2.10. Grafik Titik Ubah atau Titik Henti
Kedua, dengan cara mengamati perubahan temperatur. Proses perubahan struktur membutuhkan sejumlah panas, maka pada proses perubahan ferrit menjadi austenit, temperatur akan berjalan konstan meskipun jumlah panas yang disalurkan/ diberikan pada batang baja selalu sama. Percobaan yang mudah dapat dilakukan dengan sejumlah batang baja yang kadar karbonnya berbeda-beda. a.
Percobaan 1 (kadar karbon = 0,2%) Batang baja diberikan panas yang konstan dengan selisih jarak waktu tertentu terhadap temperatur dari baja yang diukur. Temperatur sebagai fungsi dari waktu dapat digambarkan sebagai diagram dalam suatu sistem koordinat. Garis horizontal menunjukan waktu, sedangkan garis vertikal menunjukkan temperatur. Temperatur dari baja naik secara teratur, tetapi ketika temperatur mencapai 7250C, meskipun tetap dipanasi baja tersebut 40
tidak bertambah panas. Temperatur baja tersebut naik lagi sesudah beberapa saat, tetapi lebih pelan. Mulai dari 8600C temperatur baja naik dengan lebih cepat. Keterangan tentang kejadian ini untuk sementara belum dapat dipastikan. Titik pada 7250C dan 8600C disebut sebagai “titik henti” dan diberi notasi A1 dan A3.
Gambar 2.11. Grafik Titik Ubah atau Titik Henti Kadar Karbon 0,2%
b.
Percobaan 2 (kadar karbon = 0,4%) Percobaan kedua memperlihatkan temperatur naik secara teratur sampai dengan 7250C kemudian berhenti sejenak dan naik lagi secara lambat sampai dengan 8200C hingga akhirnya naik lagi secara lebih cepat.
Gambar 2.12. Grafik Titik Ubah atau Titik Henti Kadar Karbon 0,4%
41
c.
Percobaan 3 (kadar karbon = 0,6%) Temperatur naik secara teratur sampai dengan 7250C, kemudian berhenti sebentar menjadi titik henti A1. Mulai dari titik A1, temperatur naik secara perlahan sampai dengan 7750C dan menjadi titik henti A3.
Gambar 2.13. Grafik Titik Ubah atau Titik Henti Kadar Karbon 0,6%
d.
Percobaan 4 (kadar karbon = 0,9%) Diperoleh sedikit data bahwa titik henti A1 berada pada temperatur 7250C, tetapi pada percobaan 4 ini titik A3 tidak diperoleh. Perubahan ferrit menjadi austenit berlangsung hanya pada satu titik.
Gambar 2.14. Grafik Titik Ubah atau Titik Henti Kadar Karbon 0,9%
42
e.
Percobaan 5 (kadar karbon = 1,2%) Titik henti A1 berada pada temperatur 7250C. Temperatur 8900C menunjukkan terdapat titik tekuk pada diagram waktu temperatur, kemudian temperatur naik lagi secara lebih cepat. Titik henti ini diberi notasi Ac cm.
Gambar 2.15. Grafik Titik Ubah atau Titik Henti Kadar Karbon 1,2%
f.
Percobaan 6 (kadar karbon = 1,4%) Titik henti A1 terdapat pada temperatur 7250C. Titik henti Ac cm terdapat pada temperatur 9900C.
Gambar 2.16. Grafik Titik Ubah atau Titik Henti Kadar Karbon 1,4%
Keseluruhan titik henti tersebut dihubungkan satu dengan yang lain dengan cara menarik garis yang menghubungkan semua titik henti bawah (A1) dan garis lain yang menghubungkan titik henti atas (A3 dan Ac cm), sehingga diperoleh apa yang dinamakan Diagram Besi Karbon.
43
Gambar 2.17. Fe-C-Diagram Dari Percobaan 1 sampai 6
Berdasarkan percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa: a.
Titik ubah (temperatur ubah) dari besi ∝ menjadi besi + tergantung pada kadar karbon yang terkandung.
b. c.
Karbon mempercepat perubahan kristal ∝ menjadi kristal +.
Ferrit (besi ∝ murni) merupakan struktur yang lunak dan hanya terdapat pada baja yang memiliki kadar karbon kurang dari 0,9%.
d.
Perlit adalah besi karbon yang berkristal lembut dan terdiri dari ferrit dan sementit.
e.
Sementit (Fe3C) memiliki struktur keras dan hanya terdapat pada baja dengan kadar karbon lebih dari 0,9%.
f.
Austenit (kristal besi +) dapat mengandung karbon atau elemen paduan yang lain dalam keadaan padat. Semua baja menjadi austenit mulai dari titik ubah A1 dan semuanya menjadi austenit jika diatas titik ubah A3.
g.
Titik henti (titik ubah) untuk mudahnya diberi notasi A1 dan A3. Tepatnya adalah sebagai berikut : i.
Ac1 adalah titik ubah bawah menunjukkan perlit mulai berubah menjadi struktur baja.
ii.
Ac3 adalah titik ubah atas dari semua baja dengan kadar karbon sampai dengan 0,9%.
iii.
Ac1/Ac3/Ac cm adalah titik henti dari baja pada saat dipanaskan. Titik henti Ac cm tidak terdapat selisih temperatur.
44
iv.
Ar3 dan Ar1 adalah titik henti dari baja pada saat didinginkan. Ar3 dan Ar1 terletak di bawah Ac3 dan Ac1. Selisihnya berkisar antara 50C sampai 200C.
2.18. Diagram Besi Karbon Menurut Suroto dan Sudibyo (1983), sumbu vertikal menunjukan temperatur dan sumbu horizontal menunjukan kadar karbon (% C). Diagram besi karbon (Fe-CDiagram) menunjukkan titik henti/titik ubah dari besi/baja yang mengandung bermacam-macam kadar karbon. Semakin tinggi kadar karbon, maka titik ubahnya menjadi lebih rendah. Seperti yang kita ketahui, titik ubah dari besi murni (kadar karbon = 0%) adalah 940C, sedangkan baja dengan kadar karbon 0,85% adalah 7210C. Garis G-O-S dapat ditentukan perubahan jaringan atom dari baja dengan kadar karbon 0% sampai dengan 0,85%. Diagram besi karbon ini hanya berlaku untuk baja bukan paduan (non alloy steel). kandungan elemen paduan (misalnya chrom, nickel, wolfram, dan mangan) pada baja akan menyebabkan titik ubah bergeser. Terutama pada baja dengan kadar elemen paduan yang tinggi, maka perubahan garis diagramnya akan sangat besar sekali. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan Fe-C-Diagram dari baja paduan tinggi tersebut hampir tidak dapat dikenali, walaupun demikian proses pokoknya tetap sama, yaitu hanya tergantung pada perubahan temperatur. Baja eutektoid bawah adalah baja dengan kadar karbon di bawah 0,85%, tersusun dari ferrit dan perlit. Baja eutektoid adalah baja dengan kadar karbon 0,85%, tersusun hanya dari perlit. Baja eutektoid atas adalah baja dengan kadar karbon di atas 0,85%, tersusun dari perlit dan sementit. 2.19. Temperatur Pengerasan Menurut Suroto dan Sudibyo (1983), Fe-C-Diagram menjawab pertanyaan letak temperatur pengerasan. Temperatur ini sangat tergantung pada kadar karbon dan temperatur pengerasan turun jika kadar karbon naik, yaitu 9400C sampai 7600C. Baja eutektoid atas memiliki temperatur pengerasan tetap yaitu 7600C. Temperatur pengerasan terbaik terletak kira-kira 400C di atas titik ubah A3.
45
Gambar 2.18. Fase Perubahan pada Fe-C-Diagram
Baja eutektoid bawah jika pada temperatur di bawah titik ubah A3 dan didinginkan secara tiba-tiba dengan jalan memasukkan ke dalam air/oil (di quenching), maka ferrit (yang lunak) yang belum berubah menjadi austenit akan berpengaruh jelek pada kekerasan baja. Khusus baja berkadar diatas 0,85%, sementit tidak harus berubah dahulu menjadi austenit karena sementit sendiri memang sudah bersifat keras. Memanaskan lebih dari 400C di atas titik ubah A3 sangatlah tidak berguna, karena ini hanya mempengaruhi kelembutan struktur saja, tetapi kekerasan baja tidak akan dipertinggi. 2.20. Perubahan Susunan Menurut Suroto dan Sudibyo (1983), perubahan dari austenit jika didinginkan dengan kecepatan yang tinggi berlangsung dalam 3 tahap sesuai dengan temperaturnya.
46
a.
Tahap Perlit : 7210 - 5000C Sementit memisahkan diri dalam bentuk lempengan dan terbentuklah perlit pada kecepatan pendinginan normal. Proses ini membutuhkan waktu tertentu. Pendinginan yang dipercepat sehingga austenit dalam keadaan “di bawah dingin” akan menyebabkan karbon memisahkan diri dengan sangat cepat, sehingga terbentuklah struktur yang mirip dengan perlit namun batang-batang kristalnya sangat halus. Struktur ini dinamakan sorbit-kejut. Pendinginan yang lebih dipercepat lagi, akan menyebabkan titik ubahnya akan turun lagi dan proses keluarnya karbon dari jaringan + pasti selesai dalam waktu yang lebih singkat lagi. Struktur yang terbentuk pada temperatur ini lebih keras dari pada perlit-lamellar.
b.
Tahap Antara : 5000 – 2000C Kecepatan pendinginan tahap antara tidaklah tinggi dan struktur yang terbentuk pada tahap ini dinamakan bainit. Proses perubahannya memiliki prinsip yang identik dengan tahap perlit, hanya lamellar (batang kristal) yang terbentuk sangat lemah, sebagian berstruktur seperti seperti benang atau jarum. Hal-hal yang harus diperhatikan : Semakin sempurnanya pemisahan karbon, maka semakin rendah pula temperatur ubah yang harus dipilih, akan tetapi kekerasan juga semakin tinggi.
c.
Tahap Martensit : 2000 – temperatur ruang Tahap martensit menggunakan “kecepatan pendinginan kritis” (kira-kira lebih dari 1000C/detik. Kecepatan pendinginan kritis penting untuk menekan tahap perlit dan tahap bainit sehingga terbentuklah suatu struktur baru yang disebut martensit. Posisi tersebut menyebabkan karbon mengalami suatu “shock”, yaitu tidak bereaksi lagi. Peristiwa ini menyebabkan proses difusi tidak berlangsung dan hanya terjadi perubahan struktur jaringan. Hal ini menerangkan bahwa pembentukan martensit berlangsung dengan sangat tiba-tiba, berarti : tanpa awalan. Perubahan dari besi + menjadi besi ∝ mengakibatkan penyimpanan karbon dengan jumlah besar pada jaringan sehingga kadar karbon naik. Kerasnya martensit ini diakibatkan oleh terjadinya tegangan besar pada jaringan atom.
47
Gambar 2.19. Susunan Austenit, Martensit, dan Perlit
48
Gambar 2.20. Susunan Gabungan Austenit dan Martensit
2.21. Diagram Waktu Temperatur Perubahan Menurut Suroto dan Sudibyo (1983), Time Temperature Transformation Diagram disingkat TTT-Diagram. Terdapat 2 jenis TTT-Diagram yang terkenal, yaitu: a.
TTT-Diagram “Isothermik”
b.
TTT-Diagram Kontinyu
Gambar 2.21 dan gambar 2.22. menunjukkan kedua TTT-Diagram dari baja bukan paduan dengan kadar karbon 0,9%. Penting untuk diketahui bahwa setiap baja memiliki gambar TTT-Diagram yang berbeda satu dengan yang lain, termasuk baja karbon. 2.21.1. TTT-Diagram “Isothermik” Batang-batang baja percobaan yang kecil didinginkan dengan cara dimasukkan ke dalam air, dari daerah austenit (di bawah garis Ac1) sampai ke bermacammacam temperatur. Titik ubahnya terletak diantara dua kurva yang berbentuk “S”. Perubahan struktur mulai pada kurva di sebelah kiri dan berakhir pada kurva di sebelah kanan. Berdasarkan penyelidikan metallography terhadap batang-batang
49
baja percobaan, maka diketahui bahwa struktur yang terbentuk adalah perlit, sorbit, trostit, dan bainit.
Gambar 2.21. TTT-Diagram Isothermik
2.21.2. TTT-Diagram Kontinyu Mula-mula batang percobaan dipanaskan sampai daerah austenit dan kemudian didinginkan dengan kecepatan yang berbeda-beda. Pendinginan sedemikian cepat mengakibatkan garis pendinginan tidak memotong kurva “S” tetapi menyinggung bagian atas dari kurva “S” disebelah kanan. Sebelum mencapai daerah martensit, maka struktur akhir yang terbentuk adalah struktur martensit. Berdasarkan pernyataan diatas, maka “kecepatan pengerasan kritis” dapat didefinisikan jika garis pendinginan memotong kurva “S” di atas daerah martensit, maka sekurang-kurangnya satu bagian dari austenit berubah menjadi salah satu dari struktur Bainit, Trostit, Sorbit, atau Perlit. Sesuai dengan temperatur perubahan, terjadinya struktur campuran ini mengakibatkan berkurangnya kekerasan baja.
50
Gambar 2.22. TTT-Diagram Kontinyu
2.22. Pengelompokan Baja Pengelompokkan baja menurut Suroto dan Sudibyo (1983) antara lain : a.
Baja Karbon Baja karbon adalah baja yang hanya terdiri dari besi (Fe) dan karbon (C) saja, tanpa bahan-bahan pemadu yang lain. Beberapa unsur yang lain kadang-kadang terdapat pada baja karbon tetapi dengan kadar/persentase yang sangat kecil, misalnya Si, Mn, S, P. Keikutsertaan material tersebut sering disebut dengan impuritis yang terjadi karena proses pembuatannya. Berdasarkan tinggi rendahnya persentase karbon di dalam baja, maka baja karbon dikelompokkan sebagai berikut : i.
Baja Karbon Rendah Baja ini memiliki persentase karbon antara 0,10% sampai 0,25% sehingga bersifat lunak dan tidak dapat dikeraskan. Baja ini dapat dituang, dikeraskan permukaannya (case hardening), mudah dilas dan ditempa. Baja yang memiliki persentase karbon dibawah 0,15%
51
memiliki machineability yang jelek (sukar dikerjakan dengan mesin). Low Carbon steel digunakan untuk konstruksi jembatan dan bangunan. ii.
Baja Karbon Medium/ Menengah Persentase karbon yang terkandung dalam baja ini berkisar dari 0,25% sampai 0,55%, sehingga bersifat lebih keras, dapat dikeraskan, ditempering, dilas, dan dapat dikerjakan pada mesin dengan baik. Baja ini dipergunakan untuk beberapa bagian dari mesin, misalnya poros dan poros engkol.
iii.
Baja Karbon Tinggi Persentase karbon yang terkandung dalam baja ini berkisar dari 0,55% sampai 1,70%. Baja ini lebih cepat dikeraskan daripada jenis yang lain, karena kadar karbon yang lebih tinggi. Penggunaan jenis baja ini sangat terbatas karena memiliki machineability dan weldability yang jelek dan sukar dibentuk. Baja karbon tinggi biasanya dipergunakan untuk pegas/per dan alat-alat pertanian.
b.
Baja Paduan Baja paduan adalah baja yang mengandung unsur lain (misalnya Chrom, Nickel, Mangan, Wolfram, dan lain-lain). Elemen paduan ini mempunyai pengaruh yang berarti pada struktur baja dan termasuk juga pada proses perubahan struktur. Disebut baja paduan jika elemen paduan mencapai kadar lebih dari 0,8%. Berdasarkan kadar unsur paduan di dalam baja, maka baja karbon dikelompokkan sebagai berikut : i.
Baja paduan rendah, dimana kadar unsur paduannya di bawah 10%.
ii. c.
Baja paduan tinggi, dimana kadar unsur paduannya di atas 10%.
Baja Khusus Baja khusus mempunyai unsur-unsur paduan yang tinggi karena pemakaianpemakaian yang khusus. Baja khusus yaitu : ii.
Baja tahan karat Baja tahan karat dibagi menjadi 3 macam menurut strukturnya yaitu baja tahan karat feritis, baja tahan karat martensit, dan austenitis.
iii.
Baja tahan panas Baja tahan panas yaitu baja tahan terhadap korosi pada suhu lingkungan lebih tinggi atau oksidasi.
52
iv.
Baja perkakas Baja perkakas adalah baja yang dibuat tidak berukuran besar tetapi memegang peranan dalam industri-industri. Unsur-unsur paduan dalam karbitnya diperlukan untuk memperoleh sifat-sifat tersebut dan kuat pada temperatur tinggi.
v.
Baja listrik Baja listrik umumnya banyak dipakai dalam bidang elektronika.
2.23. Fasa-Fasa Pada Besi Menurut Buku Petunjuk Praktikum Material Teknik, fasa pada besi dapat dikelompokan menjadi 2 macam, yaitu : a.
Fasa Menurut Kristal i.
Ferit (α) Struktur ferit adalah Body Centered Cubic (BCC) karena memiliki sel satuan kubus pusat badan yang menunjukan titik mulur yang jelas dan menjadi getas pada temperatur rendah. Kondisi temperatur rendah menyebabkan keadaan ferit stabil dan dapat berada dengan sementit (Fe3C) dan yang lainnya. Ferit memiliki kelarutan padat yang terbatas. Ferit yang berada di dalam besi disebut ferit silisium, yang bersifat liat namun jika terdapat dalam jumlah yang banyak dapat merusak sifat-sifatnya. Ferit lunak atau ulet pada keadaan murni, kekuatan tariknya kurang dari 310 Mpa.
ii.
Austenit (+) Austenit memiliki struktur yang berupa sel satuan kubus pusat muka atau Face Centered Cubic (FCC) dimana menunjukkan titik mulur yang jelas tanpa kegetasan pada keadaan dingin. Austenit dapat berubah menjadi ferit pada temperatur rendah jika berupa fasa metastabil dengan pengerjaan stabil pada suhu antara 9120C dan 13940C. Austenit akan lunak dan mudah dibentuk jika pada suhu stabilnya paramagnetik dan stabil pada temperatur tinggi. Berat jenisnya adalah 7,88 mg/m3.
iii.
Martensit Martensit merupakan fasa larutan padat lewat jenuh dari karbon dalam sel satuan tetragonal pusat badan. Fasa metastabil martensit terbentuk dengan laju perbandingan cepat, semua unsur perpaduan
53
masih larut dalam keadaan padat. Semakin tinggi derajat jenuh karbon, semakin besar pula perbandingan satuan sumbu sel satuannya, maka martensit akan semakin keras dan getas. iv.
Bainit Sifat bainit merupakan perpaduan antara ferit dan martensit. Bainit adalah
austenit
metastabil
yang
didinginkan
dengan
laju
pendinginan cepat tertentu, yang terjadi hanya presipitasi Fe3C, sedangkan unsur paduan lainnya tetap larut. b.
Fasa Menurut Keadaan i.
Perlit adalah struktur yang berbentuk lapisan dari ferit yang liat dan sementit yang keras dan getas. Perlit merupakan bahan yang sangat ulet dan memiliki ketahanan aus yang sangat baik.
ii.
Widmanstatten merupakan paduan ferrit dan austenit dalam orientasi pada presipitasi ferit.
iii.
Sorbit adalah perlit yang halus.
iv.
Trostit sama dengan bainit.
v.
Dendrit
54