BAB 2 TEORI DASAR
2.1
Pemasangan Pipa Bawah Laut
Pekerjaan pemasangan pipa bawah laut dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan, yaitu PreLay Survey, Pipeline Installation, As Laid Survey [Lekkerkekerk,et al. 2006]
2.1.1 Pre-Lay Survey Survei pra pemasangan dilakukan sebelum pemasangan pipa dilakukan. Pada survey ini jalur yang akan di survei lebih lebar dibandingkan dengan survey rute pemasangan pipa, hal ini dilakukan untuk men cover jangkar dari kapal tongkang yang akan digunakan untuk pemasangan pipa. Tujuan dari survei pra pemasangan ini ialah sebagai berikut : 1. Menyediakan informasi mengenai dasar laut, seperti data batimetri dan menyediakan informasi mengenai posisi pipa yang telah existing. 2. Mengidentifikasi endapan puing-puing yang berbahaya yang teridentifikasi pada saat survei rute pipa dilakukan. 3. Menyediakan informasi lanjutan dari puing-puing yang telah diketahui sebelumnya.
Detail ketelitian yang diajukan oleh client untuk survei geofisika terdapat pada prosedur proyek survei.Survei yang dilakukan pada survei pra pemasangan pipa ini ialah sebagai berikut : 1. Side Scan Sonar 2. Sub-Bottom Profiler 3. Echo sounder 4. Magnetometer survey
Apabila terdeteksi fitur-fitur berbahaya oleh sonar, maka ROV akan langsung diturunkan untuk mengambil video atau memeriksa fitur berbahaya tersebut, sehingga dapat dipertimbangkan apakah memungkinkan untuk memindahkan objek 6
tersebut atau harus dilakukan perubahan rencana jalur pipa bawah laut untuk menghindar dari objek tersebut.
2.1.2 Peletakan Pipa Bawah Laut Pemasangan pipa bawah laut terdiri dari peletakan pipa bawah laut dan Tie-in/ Riser Installation. Pemasangan ini dapat menimbulkan sejumlah tantangan, terutama jika pemasangan pipa dilakukan pada perairan yang dalam. Terdapat tiga cara dalam peletakan pipa bawah laut, yaitu metode tow-in, metode S-lay, metode J-lay, dan metode reel barge [Guo,et al. 2005]. 1.
Tow-in Pipeline Installation
Dalam metode ini pipa yang panjang telah dilas, diperiksa, dan dilapisi. Pekerjaan tersebut dilakukan di darat, kemudian pipa tersebut ditarik ke dalam air dengan menggunakan kapal. Selain lebih murah metode konstruksi ini sangat baik untuk pengaplikasian seperti shore approaches, pipa yang memiliki yang pendek, kumpulan beberapa jaringan pipa, pengoperasian pipa pada perairan dalam, dan daerah eksplorasi yang memiliki musim instalasi yang pendek.
Pipa yang akan dipasang tersuspensi di dalam air melalui prinsip daya apung dengan menggunakan pelampung, dan satu atau dua kapal akan menarik pipa tersebut ke tempat dimana pipa tersebut akan dipasang. Pada saat sudah sampai di lokasi pemasangan pipa, pelampung yang dipasang akan dilepas dan pipa akan terapung ke dasar laut.
Metode tow-in installation ini dibagi menjadi 4 (empat) berdasarkan dari posisi pipa saat ditarik, yang pertama ialah surface tow yaitu metode dimana posisi pipa saat ditarik terletak pada permukaan air laut, pada metode ini kapal menarik pipa pada permukaan air laut dan modul buoy membantu agar posisi pipa tetap terletak pada permukaan laut.
Menggunakan modul daya apung yang lebih kecil dibandingkan dengan metode surface tow, metode mid-depth tow memanfaatkan kecepatan dari kapal penarik untuk mempertahankan posisi pipa yang ditarik tetap pada posisi terendam di dalam 7
laut, pada saat kapal berhenti melaju maka pipa yang ditarik akan langsung mengendap ke dasar laut, sedangkan untuk metode off-bottom tow menggunakan modul daya apung dan rantai untuk menambah beban pada pipa yang ditarik, dan untuk menjaga agar posisi pipa tetap berada diatas dasar laut, ketika kapal telah sampai pada lokasi penempatan pipa maka modul daya apung dilepas dan pipa akan mengendap di dasar laut, dan yang terakhir ialah bottom tow pada cara ini pipa ditarik dengan posisi pipa berada pada dasar laut dan tidak menggunakan modul daya apung, cara ini hanya dilakukan pada instalasi pipa di perairan dangkal dan pada dasar laut harus dipastikan rata dan lembut untuk menggunakan cara ini. Gambar 2.1 menunjukkan bagaimana pipa ditarik oleh sebuah kapal.
Gambar 2.1 Surface Tow Pipeline Installation [Guo,et al. 2005]
Gambar 2.2 mengilustrasikan bagaimana posisi pipa di dalam laut pada saat ditarik dengan kapal atau tow-in pipeline installation.
Gambar 2.2 Tow-in Pipeline Installation [Anonim, 2009] 8
2.
S-Lay Pipeline Installation
Metode ini ialah metode yang paling umum untuk konstruksi pipa lepas pantai.Pipa yang akan dipasang dilas, diperiksa, dan dilapisi di atas kapal, setelah selesai pipa akan dikeluarkan melalui bagian belakang kapal. Pipa tersebut melengkung kebawah keluar dari buritan kapal menuju bawah air hingga mencapai touchdown point, atau tujuan dari pipa tersebut di dasar laut.dan pipa akan membentuk huruf “S” di dalam air. Gambar 2.3 menunjukkan ilustrasi pemasangan pipa dengan metode S-lay.
Gambar 2.3 S-Lay Pipeline Installation [Guo,et al. 2005]
Stringers memanjang dari buritan kapal untuk menopang pipa pada saat bergerak menuju air laut, serta mengontrol kelengkungan dari instalasi pipa. Beberapa kapal memiliki stringer yang dapat disesuaikan, dapat dijadikan panjang atau pun dapat dijadikan pendek disesuaikan dengan kedalaman air laut.
Gambar 2.4 Pipa yang Didorong Oleh Stringer [Anonim,2012]
9
Gambar 2.4 menunjukkan bagaimana pipa yang didorong oleh stringer ke bawah laut. Tensioner adalah perangkat yang berfungsi untuk mempertahankan tegangan pada pipa saat pipa tersebut didorong ke dalam air. Pemasangan pipa dengan metode S-lay ini dapat dilakukan pada perairan hingga kedalaman 6500 kaki (1.981 meter) dengan pipa yang dapat dipasang per hari mencapai 4 mil (6 kilometer) per hari.
3.
J-Lay Pipeline Installation
Mengatasi beberapa kendala yang terdapat pada proses pemasangan pipa dengan menggunakan metode S-lay, pemasangan pipa menggunakan metode J-Lay mengurangi tekanan pada pipa dengan menempatkan pipa dalam posisi yang hampir vertikal. Dalam kasus ini pipa diangkat melalui sebuah crane pada kapal dan dimasukkan ke dalam laut. Berbeda dengan kelengkungan ganda yang terdapat pada metode pemasangan S-Lay, pipa hanya melengkung satu kali pada pemasangan dengan metode J-Lay ini, dengan pipa membentuk huruf “J” di dalam air.
Kurangnya tekanan yang dihasilkan pada metode pemasangan pipa J-Lay ini memungkinkan metode ini untuk diaplikasikan pada kedalaman air yang lebih dalam. Selain itu metode pemasangan pipa J-Lay ini memungkinkan pipa untuk menahan gerakan dan arus bawah air lebih baik daripada pipa yang dipasang dengan menggunakan metode S-Lay.
Gambar 2.5 J-Lay Pipeline Installation [Guo,et al. 2005]
10
4.
Metode Reel Barge
Pemasangan pipa bawah laut dengan metode Reel Barge ini menggunakan gulungan yang berdiameter besar dengan pipa yang telah dilas sebelumnya. Pengelasan, pelapisan dan pemeriksaan terhadap pipa telah dilakukan di darat pada pusat perakitan pipa itu sendiri, dan kemudian pipa yang telah selesai melalui proses yang telah disebutkan sebelumnya dilingkari atau di gulung pada gulungan besar itu sendiri. Kapal tongkang yang telah dilengkapi dengan gulungan pipa ini bergerak menuju lokasi konstruksi, pada lokasi peletakan pipa, salah satu ujung dari pipa yang telah di siapkan ini dikaitkan ke salah satu ujung pipa yang telah diletakkan sebelumnya, dan kapal tongkang ini akan bergerak sesuai dengan jalur rute pipa yang telah ditentukan. Straightening rollers digunakan untuk pipa yang akan diletakkan ke dasar laut. Gambar 2.6 akan mengilustrasikan pemasangan pipa dengan menggunakan metode reel barge ini.
Gambar 2.6 Pemasangan Pipa Dengan Metode Reel Barge [Kaskus, 2010] Reel barge dapat memasang pipa lebih cepat daripada kapal tongkang yang biasa, tetapi terbatas pada pemasangan pipa dengan diameter 400 mm (16 inci). Panjang pipa maksimum yang dapat dipasang bergantung pada ukuran dari pipa tersebut, tetapi kapasitas dari gulungan dan kemampuan dari barges itu sendiri mencapai 22 km dengan diameter pipa 250 mm (10 inci). Gambar 2.8 menunjukkan gambar dari kapal reel barge.Di sisi lain reel barge dapat memiliki gulungan pipa vertikal atau gulungan pipa horizontal. Reel Barge dapat memasang pipa yang berukuran kecil dan juga fleksibel. Kapal dengan gulungan pipa horizontal dapat memasang pipa dengan metode S-Lay, sedangkan untuk gulungan vertikal dapat memasang pipa
11
dengan metode S-Lay dan juga metode J-Lay. Gambar 2.7 menunjukkan kapal yang digunakan pada metode reel barge.
Gambar 2.7 Vertical Reel Barge [Anonim, 2012]
2.1.3 Tie-in/Riser Installation Setelah pipa selesai diletakkan didasar laut, bagian vertikal pada pipa disebut riser, digunakan untuk menghubungkan pipa bawah laut ke fasilitas produksi, biasanya terletak pada sebuah platform. Bagian-bagian dari pemasangan riser ditunjukkan pada gambar 2.8 berikut ini.
Gambar 2.8 Pemasangan Riser [Anonim, 2009] Beberapa metode dapat digunakan dalam pemasangan riser ini, tie-in atau penghubung antara pipa bawah air dengan riser dapat dibuat dengan pengelasan, 12
flanging, atau menggunakan mechanical connectors. Pengelasan ialah metode yang paling disarankan untuk digunakan apabila memungkinkan.
2.1.4 Trenching Operation Trenching operation pipelines merupakan proses perlindungan pipa dengan membenamkan pipa ke dalam tanah, dalam kasus ini ialah membenamkan pipa bawah laut ke bawah lapisan dasar laut. Proses membenamkan pipa ini dapat dilakukan dengan menggunakan tiga metode [Guo,et al. 2005] , yaitu : 1.
Pre trenching yaitu pembuatan parit sebelum instalasi pipa dilakukan, metode seperti ini dilakukan apabila kondisi instalasi pipa merupakan lapisan tanah yang keras.
2.
Simultaneous trenching yaitu proses pembuatan parit atau trenching dilakukan bersamaan dengan pemasangan pipa.
3.
Post trenching yaitu proses trenching atau pembuatan parit dilakukan setelah pemasangan pipa dilakukan, metode ini biasanya dilakukan apabila kondisi lapisan tanah pada lokasi instalasi pipa ialah lapisan tanah yang lunak.
Terdapat beberapa faktor mengapa perlu dibuat parit yang akan digunakan oleh jalur pipa, beberapa faktor tersebut antara lain : a.
Efek hidrodinamis
Sebuah pipa di desain untuk dapat stabil di atas dasar laut. Dikarenakan kondisi di lapangan yang terkadang memiliki pola arus yang cukup kuat, pola seperti ini biasanya terdapat pada daerah perairan dekat pantai, sehingga arus yang cukup kuat ini dapat menimbulkan buckling pada sisi pipa. Oleh karena itu perlu perlindungan terhadap pipa. b.
Bentangan pada pipa
Ketika suatu jalur pipa membentang dan pada lokasi bentangan pipa terdapat sebuah arus yang dapat menyebabkan getaran di sekitar pipa, getaran ini dapat menyebabkan efek vortex shedding (bentuk aliran yang melewati pipa) yang dapat berakibat terganggunya aliran di dalam pipa sehingga pipa akan lebih baik apabila dibuatkan parit atau dipendam.
13
c.
Aktifitas Penangkapan Ikan
Lokasi dimana kegiatan penangkapan ikan yang ramai juga harus diperhitungkan apabila akan melakukan proses pemasangan pipa bawah laut dikarenakan jaring penangkap ikan atau pukat harimau dapat mengait atau merusak pipa tersebut sehingga akan lebih baik apabila dibuat sebuah parit untuk melindungi pipa atau pipa tersebut dapat dipendam. d.
Penempatan jangkar
Apabila penampatan jangkar sebuah kapal tidak mendeteksi objek bawah laut sebelumnya dan kondisi dibawah kapal tersebut terdapat sebuah bentangan pipa, maka akan sangat berbahaya bagi bentangan pipa tersebut, karena jangkar kapal akan dengan mudah merusak bentangan pipa tersebut. e.
Perlindungan terhadap es
Dibeberapa lokasi yang bersuhu sangat dingin memungkinkan terdapat beberapa bongkahan es, gesekan yang terjadi antara es dengan pipa akan sangat berbahaya karena mengakibatkan kerusakan pada lapisan pipa tersebut.
Gambar 2.9 Pemendaman Pipa Bawah Laut [Anonim, 2009]
2.1.5 As Laid Survey Tujuan dari dilakukannya as laid survey ialah untuk langsung merekam posisi dan status dari pipa setelah pipa dipasang. Survei ini selalu dilakukan pada saat pemasangan pipa bawah laut atau dilakukan sesegera mungkin pada saat survei ini 14
memungkinkan dilakukan setelah pipa sudah dipasang. Hal – hal yang didapatkan pada saat survei ini ialah sebagai berikut : a. Posisi horizontal dari pipa bawah laut dengan referensi perencanaan awal. b. Profil vertikal dari pipa bawah laut dengan memperhatikan kondisi dasar laut dari berbagai sisi pada pipa bawah laut tersebut. c. Rekaman video dari kedua sisi dan bagian atas dari pipa bawah laut. d. Profil melintang dengan batas interval tertentu. e. Data lokasi dan dokumentasi kondisi fisik dari pipa bawah laut. f. Data lokasi dan dokumentasi dari free spans dan buckles. g. Data lokasi dan dokumentasi dari debris di sekitar lokasi pipa yang dapat menghalangi penggalian. h. Menentukan posisi dari masing masing field joint dan CP anode.
Untuk mendapatkan data-data diatas dapat digunakan beberapa cara, salah satunya ialah penggunaan ROV (Remotely Operated Vehicle), ROV dapat merekam data dengan menggunakan kamera yang ada pada alat ROV ini dan juga menggunakan USBL(Ultra Short Baseline) sebagai sistem penentuan posisi yang digunakan, untuk menentukan posisi x dan y dan juga informasi keberadaan dari free-span. Data kedalaman pipa secara Real-Time hanya dapat di dapatkan oleh ROV hanya jika posisi ROV berada tepat diatas pipa atau menempel pada pipa. Kamera yang terdapat pada ROV juga dapat merekam kerusakan yang terdapat di permukaan pipa. Semua data visual terekam pada tape bersamaan dengan informasi posisi dan komentar dari ROV pilot. Gambar 2.10 mengilustrasikan survei pipa bawah laut dengan menggunakan ROV.
Gambar 2.10 ROV (Remotely Operated Vehicle) [Novosin,2012] 15
Metode lainnya ialah dengan menjalankan suvei dengan jalur survei tegak lurus dengan jalur pipa dengan interval yang telah ditentukan sebelumnya. Semua alat digunakan pada survei ini, pada dasarnya side scan sonar dan sub bottom profiler adalah alat yang menyediakan posisi dari pipa bawah laut tersebut. Meskipun alatalat tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai alat penentuan posisi, alat tersebut dapat di tentukan posisinya dengan menggunakan USBL, penggunaan alat side scan sonar dan sub bottom profiler dimaksudkan agar alat-alat tersebut bisa lebih mendekat ke pipa yang telah terpasang didasar laut dibandingkan dengan posisi echosounder untuk melengkapi data akustik yang didapat.
2.2
Verifikasi Posisi Pipa Bawah Laut
Kegiatan verifikasi posisi pipa bawah laut dimaksudkan untuk melakukan verifikasi posisi terhadap lokasi pemasangan pipa bawah laut, setelah pipa telah dipasang di dasar laut maka kegiatan verifikasi ini langsung dilakukan, kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pipa di dalam laut, dan juga mengetahui posisi aktual dari pipa tersebut setelah pemasangan pipa selesai dilakukan. Kegiatan verifikasi posisi pipa bawah laut ini berkaitan dengan penerapan sistem survei batimetri.
2.2.1 Survei Batimetri Survei batimetri merupakan suatu proses kegiatan pengukuran kedalaman yang ditujukan untuk memperoleh suatu gambaran (model) dan bentuk permukaan dasar perairan (seabed surface) [Yanto, 2007]. Visualisasi dari dasar perairan tersebut biasanya berupa kontur kedalaman atau dalam bentuk model permukaan digital, garis–garis
kontur
kedalaman
atau
model
batimetri
diperoleh
dengan
menginterpolasikan titik–titik pengukuran kedalaman yang tersebar pada lokasi yang dikaji. Informasi posisi titik kedalaman juga sangat penting, kegiatan penentuan posisi dan penentuan kedalaman dari suatu titik harus dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Pekerjaan penentuan posisi beserta kedalamannya umumnya disebut dengan pemeruman.
Untuk memperoleh kedalaman yang bereferensikan terhadap datum vertikal, selama kegiatan survei batimetri harus dilakukan pengamatan pasut. Kedudukan muka air 16
yang selalu bervariasi, akan menghasilkan kedalaman sesaat pada waktu tetentu. Dengan melakukan pengamatan pasut pada waktu yang sama dengan kegiatan penentuan kedalaman, maka kita dapat mereduksi data ukuran kedalaman agar dapat mengacu terhadap datum vertikal yang telah disepakati sebelumnya. 1.
Pasang Surut
Pasang surut air laut ialah fenomena naik dan turunnya permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh pengaruh gravitasi benda-benda langit terutama bulan dan matahari.Dengan periode gerak naik dan turun muka laut rata-rata sekitar 12.4 jam atau 24.8 jam. Pengamatan pasut dilakukan untuk merekam gerakan vertikal permukaan air laut yang terjadi secara periodik, dengan merata-ratakan data tinggi muka air laut yang diamati pada rentang waktu tertentu akan menghasilkan mean sea level (MSL). MSL dapat dipakai sebagai tinggi nol yang dijadikan sebagai datum vertikal dalam menentukan kedalaman suatu titik.
Tinggi titik di pantai atau kedalaman titik di laut hanya dapat ditentukan secara relatif terhadap bidang yang disepakati sebagai referensi tinggi atau datum vertikal. Untuk menentukan sebuah kedalaman, diperlukan suatu bidang referensi kedalaman. Pemilihan bidang referensi bergantung pada maksud dan tujuan dari masing-masing proyek yang dilakukan. Datum vertikal ditentukan dengan merata-ratakan data pasut sepanjang rentang waktu pengamatan. Permukaan laut rata-rata atau Mean Sea Level(MSL) diperoleh dari satu atau beberapa stasiun pengamat pasut dan dipakai sebagai datum vertikal. Bidang referensi yang sering digunakan dalam kegiatan pemeruman bergantung pada standardisasi yang digunakan.
2.
Penentuan Posisi Horizontal
Dalam penentuan posisi horizontal, digunakan GPS sebagai teknologi penentuan posisi dari kedalaman. Metode yang digunakan dalam penentuan posisi ini ialah metode DGPS (Differential Global Positioning System), gambar berikut akan mengilustrasikan sistem kerja metode DGPS.
17
Gambar 2.11 Metode DGPS [Irawan, 2010] Sistem ini merupakan sistem penentuan posisi real time secara diferensial menggunakan data pseudo range, data pseudo range itu sendiri ialah sebuah perkiraan jarak antara satelit dengan receiver.Untuk itu monitor stasiun harus mengirimkan koreksi diferensial ke pengguna secara real time menggunakan sistem komunikasi tertentu.
3.
Reduksi Kedalaman
Reduksi kedalaman bertujuan untuk melakukan koreksi terhadap nilai kedalaman yang terukur. Dengan mengukur permukaan air sesaat maka dapat menentukan bidang referensi dari nilai kedalaman yang berupa mean sea level ataupun chart datum. Untuk mendapat nilai kedalaman dasar laut terhadap mean sea level atau chart datum dibutuhkan beberapa koreksi, yaitu koreksi cepat rambat gelombang akustik, koreksi draft transduser, koreksi pergerakan kapal, dan koreksi pasut. Gambar 2.13 akan mengilustrasikan bagaimana menentukan nilai reduksi kedalaman
Gambar 2.12 Reduksi Kedalaman [Anonim, 2008]
18
Titik kedalaman dasar laut hasil pengolahan data multibeam echosounder dikoreksi terhadap draft transduser, reduksi pasut, beda fase, dan sudut beam tertentu. Apabila suatu beam memiliki beda fase tertentu dengan resolusi sudut beam yang berbeda maka kedalaman dalam hal ini merupakan kedalaman miring seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.14.
Gambar 2.13 Reduksi Kedalaman Akibat Pergerakan Kapal [Anonim, 2008]
Pengukuran kedalam dilakukan pada titik-titik yang dipilih untuk mewakili keseluruhan daerah yang akan dipetakan. Pada titik-titik tersebut juga dilakukan pengukuran untuk penentuan posisi. Titik-titik tempat dilakukannya pengukuran untuk penentuan posisi dan kedalaman disebut sebagai titik fiks perum. Penggunaan gelombang akustik untuk pengukuran bawah air merupakan teknik yang paling populer dalam hidrografi saat ini. Untuk pengukuran kedalaman, digunakan echosounder atau perum gema, alat ini dapat dipakai untuk menghasilkan profil kedalaman yang kontinyu sepanjang lajur perum dengan ketelitian yang cukup baik. Alat perum gema menggunakan prinsip pengukuran jarak dengan memanfaatkan gelombang akustik yang dipancarkan oleh transduser, gelombang akustik tersebut merambat pada medium air dengan cepat rambat yang relatif diketahui atau dapat diprediksi hingga menyentuh dasar perairan dan dipantulkan kembali ke transduser.
2.2.2 Multibeam Echosounder Multibeam Echosounder ialah alat untuk mengukur kedalaman air dengan menggunakan banyak beam. Dengan sistem ini, setiap kali dikirimkan gelombang suara ke dasar laut, maka akan diperoleh banyak titik kedalaman. Gelombang suara 19
dikirimkan dari transduser ke dasar laut, dan akan dipantulkan kembali menuju transduser.
1.
Penggunaan Multibeam Echosounder
Multibeam Echosounder digunakan di hampir semua cabang survei hidrografi, penggunaan multibeam echosounder ialah sebagai berikut : - Pengerukan : Digunakan sebagai kontrol pada proyek konstruksi dan proyek dimana membutuhkan kombinasi resolusi yang tinggi dan cakupan 100 % - Offshore : Digunakan untuk inspeksi pipa, proyek peletakan pipa, dan inspeksi struktur dengan ROV. Apabila digunakan untuk proyek peletakan pipa bawah laut, dibutuhkan dua Multibeam Echosounder, satu diletakkan di depan pipa yang akan diletakkan untuk menentukan kondisi dari jalur pipa dan lokasinya, dan satu lagi diletakkan di belakang pipa yang akan diletakkan untuk memastikan pekerjaan tersebut telah selesai. - Pre – design surveys berhubungan dengan jalur pipa dan rute kabel: Biasanya kelayakan rute ditentukan berdasarkan data permukaan dasar laut yang dihasilkan oleh multibeam echosounder. Bagaimanapun juga untuk perairan dalam hasil dari multibeam mengalami penurunan resolusi dan survei permukaan dasar laut dilanjutkan menggunakan AUV atau ROV, pada area dimana data batimetri sangat dibutuhkan. - Pemetaan : Digunakan pada daerah yang membutuhkan cakupan 100 % pada dasar laut, Ini dibutuhkan oleh IHO (SP 44) untuk pelabuhan, jalur pelayaran, dan daerah perairan dangkal dengan kepadatan lalu lintas pelayaran yang tinggi. - Pemerintahan : Di gunakan untuk inspeksi bendungan, tanggul dan pelabuhan.
2.
Sistem pada Multibeam Echosounder
Sistem pada alat Multibeam Echosounder terdiri dari bagian berikut ini : a.
Prosesor data akustik Prosesor data akustik adalah bagian terpenting dalam sistem multibeam echosounder.Prosesor ini dapat ditempatkan pada rak berukuran 19 inci. Data yang harus diproses prosesor tersebut sangatlah besar
20
b.
Panel kontrol Panel kontrol ini berfungsi untuk pengaturan pada alat multibeam echosounder ini. Pada panel ini pembacaan dan status dari multibeamakan ditampilkan.
c.
Transduser Transduser pada multibeam dapat dibedakan berdasarkan beberapa parameter, seperti frekuensi, banyaknya sinar yang dipancarkan, sudut dari sinar yang dipancarkan, dan kedalaman maksimum yang dapat dihasilkan. Parameter – parameter ini mempengaruhi besar dari transduser tersebut. Transduser juga dapat dibagi menjadi dua yaitu flat arrays dan round arrays.Keunggulan dari round array ialah terdapat hubungan langsung antara posisi dari penerima pada transduser dengan jumlah sinar yang dipancarkan. Pada saat penggunaannya phase detection digunakan untuk mendetesi jumlah sinar yang dipancarkan berdasarkan dari signal yang dikembalikan. Proses ini juga disebut focusing of the array. Karena panjang gelombang dari signal ditentukan berdasarkan frekuensi dan kecepatan suara, makan sound velocity probe digunakan untuk mengkoreksi perbedaan cepat rambat suara pada receiver head. Berdasarkan tipe multibeam nya, transmitter dan receiver ada yang terpisah dan ada juga yang tergabung.
d.
Sound Velocity Probe Langkah pertama yang dilakukan sebelum memulai pemetaan dasar laut ialah pengambilan data kecepatan suara dalam air di daerah survei dengan menggunakan SVP.Tujuan dari pengambilan data kecepatan suara ini ialah untuk mendapatkan waktu tempuh gelombang suara yang akurat, sehingga data kedalaman yang dihasilkan juga akurat.
3.
Kalibrasi Multibeam Echosounder
Kalibrasi merupakan tahapan yang dilakukan untuk memeriksa dan menentukan besarnya kesalahan yang ada, kalibrasi pada multibeam echosounderakan sangat menentukan kualitas data yang dikumpulkan.
21
a.
Kalibrasi Patch Test(Uji Keseimbangan)
Kalibrasi patch test ini ialah metode kalibrasi dengan menggunakan sampel suatu daerah tertentu untuk menentukan nilai-nilai kalibrasi. Metode ini kerap digunakan untuk pengkalibrasian alat multibeam echosounder. Pelaksanaan uji patch test ini cukup pada suatu survey pada cakupan daerah yang kecil dengan beberapa ketentuan bentuk kemiringan dasar laut yang dibutuhkan sesuai dengan kalibrasi yang akan dilakukan. Parameter yang dapat dikalibrasi menggunakan metode ini ialah perbedaan waktu tunggu, roll, pitch, dan yaw [Lekkerkerk.et al.2006].
Kalibrasi Perbedaan Waktu Tunggu Pengambilan data yang dilakukan oleh multibeam echosounder memiliki perbedaan waktu dengan DGPS.Perbedaan ini menyebabkan adanya keterlambatan pada DGPS.Kalibrasi ini dilakukan untuk mendapatkan nilai koreksi
terhadap
keterlambatan
DGPS.
Kalibrasi
dilakukan
dengan
menjalankan survei multibeam echosounder pada suatu jalur survei yang telah dibuat untuk melakukan kalibrasi ini, pengambilan data dilakukan tiga kali untuk pengambilan data pertama dan kedua dilakukan dengan kecepatan yang sama dan untuk pengambilan data yang ketiga dilakukan dengan kecepatan yang lebih lambat dua kali dari pengambilan data yang pertama atau kedua, atau kecepatan yang digunakan pada pengambilan data yang ketiga ialah setengah kali kecepatan pada pengambilan data pertama dan kedua, seperti yang diilustrasikan pada gambar 2.14 berikut.
Gambar 2.14 Kalibrasi Waktu Tunggu [Brennan.2009]
22
Kalibrasi roll Kalibrasi ini ialah kalibrasi gerakan kapal pada arah sumbu x. Data yang digunakan pada kalibrasi ini ialah keadaan dasar laut yang datar. Mengambil data dengan multibeam echosounder pada satu jalur di survei dua kali dengan arah yang berlawanan dengan kecepatan yang sama. Kalibrasi ini sangatlah penting karena pengaruhnya sangatlah besar pada hasil data multibeam echosounder yang dihasilkan, khususnya untuk kasus laut dalam. Gambar 2.15 berikut mengilustrasikan bagaimana kalibrasi roll dilakukan.
Gambar 2.15 Kalibrasi Roll [Brennan,2009]
Kalibrasi Pitch Gerakan pitch mempengaruhi perubahan posisi rotasi kapal pada sumbu y. Kalibrasi pitch ini dilakukan pada keadaan dasar laut yang memiliki kemiringan. Kalibrasi ini dilakukan dengan mengambil data multibeam echosounder pada satu jalur survei dilakukan dua kali pengambilan data dengan arah yang berlawanan dan kecepatan yang sama, pada garis ini dibuat koridor yang bertampalan untuk mendapatkan nilai koefisien pitch. Gambar 2.16 berikut akan mengilustrasikan bagaimana melakukan kalibrasi pitch untuk mendapatkan koefisien pitch.
23
Gambar 2.16 Kalibrasi Pitch [Brennan,2009]
Kalibrasi Yaw Gerakan yaw mempengaruhi perbahan posisi rotasi kapal pada sumbu z. Pada kalibrasi ini dibutuhkan dua jalur survei
yang sejajar dan arah
pengambilandata kalibrasi ini harus searah. Semakin curam kemiringan dasar lautnya maka akan semakin akurat penentuan dari kesalahan yaw. Gambar 2.17 berikut ini akan mengilustrasikan bagaimana melakukan kalibrasi yaw untuk mendapatkan koefisien dari yaw.
Gambar 2.17 Kalibrasi Yaw [Brennan,2009]
b.
Kalibrasi Offset Statis
Kalibrasi offset statis merupakan kalibrasi yang dilakukan untuk melakukan penyesuaian jarak dari sensor-sensor yang digunakan terhadap titik referensi dari wahana survei dan transduser. Proses penyesuaian ini meliputi beberapa komponen, yaitu kapal (antena GPS wahana survei), transduser, kompas giro dan MRU. Kalibrasi ini membutuhkan sebuah offset dari wahana survey yang digunakan, pengukuran/pembuatan offset kapal ini idealnya dilakukan pada saat wahana survei 24
dok karena pada saat ini pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui posisi dari masing-masing sensor dapat dilakukan dengan lebih pasti dengan tidak adanya gerakan wahana tersebut karena pengaruh dari gelombang laut, kestabilan dari wahana survei akan meminimalisir kesalahan posisi dari alat atupun sensor yang terdapat dalam wahana survei, dengan itu dapat menghasilkan offset yang tepat dan dapat menentukan koreksi statik dengan baik. Alat dan sensor yang terdapat dalam wahana survei tersebut diukur posisinya terhadap suatu titik referensi yang terdapat dalam wahana tersebut dan terletak pada pusat gravitasi atau terletak pada persimpangan antara garis pitch dan roll. Titik referensi seharusnya terdapat pada tempat yang mudah diakses dan mudah dilakukan pengukuran ke alat yang terpasang dalam wahana survei [Mann.R,1996]. Penentuan letak pada offset statis ini dilakukan dalam suatu sistem koordinat kartesian dengan pusat dari sistem koordinat itu ialah titik referensi yang terdapat dalam wahana survei. Kalibrasi ini dilakukan pada saat wahana survei berada di laut dan penentuan posisi dari sensor dan alat terhadap titik referensi dilakukan dengan menggunakan pita ukur. Gambar 2.18 menunjukkan contoh gambar offset sebuah kapal.
Gambar 2.18 Offset Lokasi dari Sensor Wahana Survei [Mann. 1996]
c.
Kalibrasi Cepat Rambat Gelombang Suara
Sebelum memulai kegiatan pemetaan dasar laut harus dilakukan pengambilan data kecepatan suara di dalam air pada daerah survei, pengambilan data kecepatan suara ini menggunakan alat SVP (Sound Velocity Profiler).Pengambilan data kecepatan suara ini di karenakan perbedaan nilai dari kecepatan suara untuk setiap wilayah, 25
tujuan pengambilan data ini ialah untuk mengetahui waktu tempuh gelombang suara yang akurat, sehingga dihasilkan nilai kedalaman yang akurat juga.
4.
Pemrosesan Data
Koreksi posisi dilakukan untuk menempatkan data yang terekam pada posisi yang sebenarnya, kesalahan ini terjadi dikarenakan konfigurasi satelit yang kurang baik selama akuisisi data posisi DGPS (Differential Global Positioning System). Koreksi kedalaman dilakukan untuk mengatasi adanya kesalahan sistematik dalam perhitungan kedalaman yang disebabkan oleh hasil kalibrasi yang kurang baik dan kesalahan informasi pasang surut. Kesalahan-kesalahan kalibrasi dapat di koreksi menggunakan nilai-nilai koefisien kalibrasi yang baru, seperti kalibrasi roll, pitch, yaw, perbedaan waktu dan kecepatan gelombang suara.
Selain itu koreksi kedalaman harus menggunakan data pasang surut yang tepat, data pasang surut sangat penting, karena pada saat survei dilakukan, kedalaman laut yang terukur saat pasang berbeda kedalamannya dibandingkan ketika saat surut. Koreksi ini dilakukan, karena kedalaman yang terukur dihitung dari suatu titik acuan, yang biasanya menggunakan MSL (Mean Sea Level). Data pasang surut yang digunakan sebaiknya menggunakan data pasang surut lokasi daerah survey.
2.2.3 Sub Bottom Profiler Gambar 2.19 menunjukkan bagaimana sebuah kapal yang melaksanakan survei sub bottom profiler
Gambar 2.19 Survei Sub Bottom Profiler (SBP) [Geostar, 2009] 26
Sub Bottom Profiler ialah alat untuk menginvestigasi dan identifikasi kondisi sedimen di dekat dengan permukaan dasar laut, ataupun perairan.. Sub bottom profiler tidak dapat menembus jauh ke dalam lapisan dasar laut tapi cukup baik untuk menelaah lapisan lapisan permukaan laut [Lekkerkerk.et al.2006].
27