BAB 1. PENDAHULUAN
Kebutuhan protein hewani asal ternak yang semakin terasa untuk negara berkembang, khususnya Indonesia, harus terus ditangani karena kebutuhan itu semakin bertambah disebabkan oleh pertambahan penduduk yang pesat dan daya beli rakyat semakin tinggi. Hal ini membuat peternak dituntut untuk semakin meningkatkan produktivitas ternaknya untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Banyak kendala yang dihadapi para peternak di dalam mengembangkan usaha peternakannya. Umumnya faktor-faktor kendala yang dihadapi berkisar pada problem pakan, tatalaksana / manajemen pemeliharaan, dan masalah penyakit. Infestasi parasit pada hewan ternak merupakan permasalahan yang sering terjadi dan merugikan peternak karena dapat menimbulkan penurunan produksi hewan ternak. Dipandang dari segi ekonomi, kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit parasit cukup besar, yaitu dapat menurunkan berat badan ternak, produksi susu, kualitas daging/ kulit/ jeroan, produktivitas ternak sebagai tenaga kerja di sawah serta bahaya penularan terhadap manusia/ zoonosis. Koperasi Unit Desa (KUD) Karangploso merupakan koperasi penghasil susu terbesar kedua di Kabupaten Malang setelah Koperasi Pujon. Pada bulan Desember 2015, dilaporkan terdapat sejumlah sapi perah yang mengalami diare di wilayah KUD Karangploso. Diare terus menerus yang dialami oleh sapi perah tersebut dapat menimbulkan penurunan produksi susu. Beberapa anak sapi (pedet) yang berumur kurang dari 3 minggu di wilayah KUD Karangploso juga dilaporkan mengalami gejala diare yang terus menerus. Pemeriksaan feses sapi perah yang menderita diare kemudian dilakukan untuk mengetahui penyebab terjadinya diare, dan didapatkan hasil adanya beberapa telur Strongyloides sp pada pemeriksaan feses tersebut. Strongyloidosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit cacing Strongyloides sp. Cacing ini termasuk dalam kelas nematoda dan merupakan jenis cacing saluran pencernaan. Anak sapi perah yang berumur kurang dari 6 bulan lebih rentan terserang Strongyloides sp. gejala klinis utama dari infestasi Strongyloides sp adalah gangguan pencernaan seperti diare, yang kemudiaan diikuti oleh penurunan nafsu makan dan penurunan produktivitas sapi. Selain itu, organ paru-paru akan mengalami kerusakan akibat migrasi larva Strongyloides sp., yang kemudian akan memicu timbulnya infeksi sekunder oleh bakteri. Gejala klinis yang timbul dari 1
migrasi larva Strongyloides sp. adalah gejala pernapasan berupa batuk dan kesulitan bernapas (Junquera, 2014). Menurut Junquera (2014) penanggulangan yang efektif terhadap penyakit yang disebabkan oleh Strongyloides sp adalah dengan memberikan terapi pada ternak terinfeksi dan melakukan upaya pencegahan serta kontrol penyakit. Terapi Strongyloidosis adalah dengan pemberian anthelmintika golongan Benzimidazole kepada ternak yang terinfeksi Strongyloides sp. dan pemberian anthelmintik kepada ternak yang berada dalam lingkungan sekitarnya sebagai upaya pencegahan. Anthelmintika golongan benzimidazole merupakan anthelmintik yang efektif untuk membasmi cacing dewasa maupun stadium larva Strongyloides sp. Upaya pencegahan dan kontrol lainnya dilakukan dengan melindungi ternak produktif terutama sapi perah laktasi dan sapi yang sedang bunting agar tidak terinfeksi Strongyloides sp, sehingga anak sapi terhindar dari penularan Strongyloides sp secara traansmammae. Peralatan, pakan, dan kondisi kandang yang kering juga merupakan upaya pencegahan yang efektif, karena larva Strongyloides sp memerlukan kelembapan untuk bertahan di lingkungan sebelum menembus kulit sapi untuk menginfeksi (infeksi perkutan).
BAB 2. TARGET LUARAN
Target luaran dari kegiatan ini adalah sapi perah di wilayah KUD KarangPloso yang bebas dari infestasi Strongyloides sp. Hal ini dapat diketahui dengan pemeriksaan sampel feses dengan hasil negatif telur Strongyloides sp.
BAB 3. METODE PELAKSANAAN
Parasit yang berada dalam tubuh hewan terkadang tidak diikuti dengan gejala klinis (subklinis), tetapi justru hal inilah yang membuat diagnosa penyakit parasit menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, hewan yang demikian dalam jangka panjang akan kurang mampu bertumbuh baik, hingga menyebabkan kerugian ekonomi peternak (Subronto, 2004). Selain itu, kerugian ekonomi juga dapat terjadi akibat kerusakan organ karena migrasi stadium larva 2
maupun daerah predileksi dari parasit tersebut. Menurunnya kualitas karkas dan produksi susu, penurunan fertilitas, dan predisposisi penyakit metabolik, yang disebabkan oleh menurunnya nafsu makan, perubahan distribusi air, elektrolit dan protein darah merupakan gangguan yang dialami oleh tubuh ternak yang menderita Strongyloidosis. Diagnosa penyakit helminthiasis atau infestasi parasit dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis yang tampak pada hewan seperti diare, rambut kusam dan berdiri, serta penurunan nafsu makan (anoreksia) (Subronto, 2004). Gejala tersebut tidak menjamin diagnosa helminthiasis dilakukan secara tepat dan akurat, karena sebagian besar hewan yang terkena penyakit parasit tidak menunjukkan gejala klinis (subklinis). Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah yang dapat menunjukkan adanya infestasi parasit pada hewan, terutama untuk hewan yang tampak sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis. Hal ini penting untuk mendeteksi positif atau tidaknya hewan terhadap infestasi parasit guna mencegah penyebaran penyakit parasit. Pemeriksaan feses merupakan langkah yang tepat untuk mendiagnosa adanya infestasi parasit pada hewan (Hendrix, 2014). Metode ini tergolong mudah dan ekonomis untuk meneguhkan diagnosa helminthiasis maupun untuk mendeteksi infestasi parasit pada hewan yang tidak menunjukkan gejala klinis. Peneguhan diagnosa Strongyloidosis pada sapi perah dan anak sapi yang menderita diare dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan feses. Pemeriksaan feses untuk memeriksa telur cacing, terutama telur Strongyloides sp, yang akan dilakukan sebagai langkah solusi adalah dengan metode natif (langsung) dan metode apung. Kedua metode pemeriksaan feses ini memiliki cara kerja dan tujuan pemeriksaan yang berbeda tetapi saling mendukung.
3
Gambar 1. Ukuran Relatif Telur Parasit pada Feses Sapi (Foreyt, 2001).
Metode natif (langsung) dilakukan untuk mendiagnosa ada tidaknya telur cacing atau oosista protozoa dalam feses secara cepat. Metode ini sangat sederhana, dilakukan dengan mencampur feses dengan aquades sampai homogen dan diletakkan di atas object glass, ditutup degan cover glass, lalu diamati dengan mikroskop. Metode pemeriksaan feses apung berfungsi untuk mengamati telur cacing dalam feses dengan lebih jelas, karena debris atau kotoran-kotoran feses akan sangat berkurang dengan metode ini akibat perbedaan berat jenis (Gambar 2), sehingga bentuk telurnya akan terlihat lebih jelas. Pemeriksaan feses metode apung dilakukan dengan melarutkan 2 gram (0,5 sendok teh) feses ke dalam 30 ml air sampai merata, lalu masukkan ke dalam tabung reaksi. Tambahkan larutan NaCl jenuh sampai membentuk cembung pada permukaan tabung, lalu letakkan coverglass dan tunggu selama 20 menit. Coverglass diambil dan diletakkan di atas obyek glass lalu diperiksa dengan mikroskop (Hendrix, 2014).
4
Gambar 2. Pemisahan molekul berdasarkan berat jenis pada metode apung (Zajac, 2006).
Sapi yang menunjukkan gejala klinis helminthiasis akan diambil spesimen fesesnya dan diberikan terapi
pemberian anthelmintika secara peroral
dengan
preparat
golongan
Benzimidazole. Pemberian terapi anthelmintika golongan Benzimidazole dapat membasmi stadium larva maupun dewasa dari Strongyloides sp. Edukasi tentang manajemen pemeliharaan sapi perah yang baik dan kontrol serta pencegahan Strongyloidosis terhadap peternak juga perlu dilakukan untuk memberantas Strongyloidosis secara tuntas.
Metode pelaksanaan pengabdian masyarakat secara ringkas dapat dirangkum sebagai berikut : 1. Dilakukan pengambilan feses melalui rektum (per rektal) dari sapi yang menunjukkan gejala klinis secukupnya dan dikemas dalam plastik yang telah diberi kode spesimen. Spesimen kemudian dimasukkan ke dalam wadah khusus lalu dikirim ke laboratorium parasitologi FKH UB untuk dilakukan pemeriksaan laboratorik. 2. Pemeriksaan spesimen feses secara laboratorik dilakukan dengan metode natif dan uji apung sebagai langkah untuk meneguhkan diagnosa Strongyloidosis. 3. Pemberian terapi anthelmintika pada sapi 5
4. Edukasi terhadap peternak sapi tentang manajemen pemeliharaan sapi yang baik dan kontrol serta pencegahan Strongyloidosis terhadap peternak juga perlu dilakukan untuk memberantas Strongyloidosis secara tuntas
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan pengabdian masyarakat dilakukan dengan mempersiapkan obat-obatan dan bahan habis pakai lainnya. Bahan aktif anthelmintik yang digunakan adalah Fenbendazole, dengan pertimbangan pemilihan obat adalah jenis parasit yang sering ditemukan di wilayah Karangploso. Fenbendazole merupakan anthelmintika spektrum luas yang dapat digunakan pada stadium larva maupun dewasa dari banyak jenis helminth, termasuk Strongyloides. Pengabdian masyarakat dilakukan pada hari Kamis tanggal 4 Agustus 2016, di Kelompok Ternak Langeng Mulyo Dusun Babakan Karangploso. Beberapa ternak dilaporkan mengalami diare dan anoreksia. Ternak sapi yang mengalami diare dan anoreksia kemudian diperiksa kondisinya dan diambil spesimen fesesnya. Spesimen feses diambil dengan menggunakan gloves secara per rektal untuk mencegah kontaminasi dari lingkungan. Spesimen feses kemudian diletakkan pada plastik yang telah diberi kode spesimen yang disesuaikan dengan catatan data pemilik maupun keterangan lainnya yang diperlukan pada setiap spesimen. Sebanyak 24 spesimen feses diambil dari sapi yang menunjukkan gejala klinis dan kemudian disimpan dalam wadah khusus untuk dibawa menuju laboratorium FKH UB Dieng untuk diperiksa. Hasil pemeriksaan feses pre-deworming dengan metode natif dan apung menunjukkaan bahwa sebanyak 45,8% feses positif terdapat telur Strongyloides sp, 25% feses positif terdapat telur Toxocara sp, 8,3% feses positif terdapat telur Schistosoma sp, 4,2% feses positif terdapat telur Moniezia sp, dan sebanyak 4,2% feses positif terdapat telur Trichuris sp, sedangkan 12,5% lainnya negatif telur helminth berdasarkan pemeriksaan natif dan apung. Pemberian anthelmintik dilakukan pada sebagian besar ternak yang terdapat pada kelompok ternak, tidak hanya diberikan pada ternak sapi yang menunjukkan gejala klinis. Hal ini dilakukan karena beberapa penyakit parasit tidak menimbulkan gejala klinis atau subklinis, oleh karena itu dalam pemberantasan penyakit parasit, semua populasi ternak yang tinggal dalam 6
suatu kawasan tertentu sebaiknya diberikan terapi anthelmintik, baik sebagai terapi maupun sebagai pencegahan. Anthelmintik yang digunakan adalah Fenbendazole dalam bentuk bolus yang merupakan turunan dari golongan Benzimidazole. Pemberian anthelmintik diberikan sesuai dengan dosis yang diatur oleh produsen anthelmintik (1 bolus untuk seekor sapi) secara peroral. Ternak yang sedang bunting tidak diberikan terapi anthelmintik untuk mencegah terjadinya efek samping. Pada saat pemberian anthelmintik di dalam kandang dilakukan juga edukasi terhadap peternak tentang manajemen pemeliharaaan ternak yang baik sehingga dapat mencegah penyakit. Kegiatan berikutnya adalah pengambilan feses ternak yang telah diberi anthelmintik yang dilakukan sekitar 2 minggu setelah program deworming. Hasil pemeriksaan feses postdeworming menunjukkan bahwa sebanyak 91,7% sampel feses menunjukkan hasil negatif telur helminth, sedangkan 8,3% lainnya masih menunjukkan hasil positif. Kedua sampel feses yang menunjukkan hasil positif menunjukkan adanya telur helminth Toxocara sp. Hal ini dapat disebabkan karena infestasi Toxocara sp sudah tergolong menengah maupun berat, sehingga diperlukan adanya terapi anthelmintika ulangan pada ternak tersebut untuk mendapatkan hasil pemeriksaan feses metode natif dan apung yang negatif telur helminth.
7
BAB 5. KESIMPULAN
1. Kegiatan pengabdian masyarakat di kelompok ternak telaah dilakukan dengan melakukan pengambilan spesimen feses pre deworming, pemberian anthelmintik untuk terapi dan pencegahan, serta pemeriksaan spesimen feses post deworming. 2. Pemeriksaan Spesimen feses pre deworming dengan metode natif dan apung menunjukkan sebagian besar spesimen (87,5%) positif mengandung telur helminth, dan sejumlah 45,8% diantaranya positif mengandung telur Strongyloides sp. 3. Pemberian terapi anthelmintik Fenbendazole diberikan secara peroral kepada seluruh ternak yang berada dalam satu kandang dengan ternak yang menunjukkan gejala klinis. 4. Pemeriksaan Spesimen feses post deworming dengan metode natif dan apung menunjukkan sebagian besar spesimen (91,7%) feses negatif mengandung telur helminth
BAB 6. SARAN
Perlu diadakan program deworming lanjutan kepada ternak di kawasan KUD Karangploso untuk menjamin bahwa pemberantasan penyakit parasit terutama helminth dapat berhasil.
8
DAFTAR PUSTAKA
Hendrix, Charles M and Ed Robinson, 2014, Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians 4th Edition, Elsevier Mosby, Missouri. Junquera, P. 2014. Veterinary Parasitology. Blackwell Publishing , London, Meirhaeghe, P.V., 1997, Lompatan Maju Pengobatan Cacing, Bisnis Petemakan Ayam Telur XXVII no: 126 . Subronto dan Ida Tjahajati, 2004, Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) II, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Urquhart, G.M., Duncan, J.L., Dunn, A.M., and Jennings, F.W., 2001. Veterinary Parasitology, ELBS Logman Group, Inggris. Zajac AM and Conboy GA, 2006, Veterinary Clinical Parasitology 7th edition, Blackwell Publishing, Ames Iowa.
.
9
LAMPIRAN I Dokumentasi Pengabdian Masyarakat
10
11
LAMPIRAN II Dokumentasi Pemeriksaan Feses 1
2
3
4
5
6
78
12
9
10
11
13
14
15
16
13
17
18
19 -20
21
22
23
24
14
NO 1
PEMILIK Pak Supriadi
JENIS SAPI PFH 178
2
PFH 346
4
Pak Supriadi Pak Supriadi Pak Jauhari
5
Pak Slamet
PFH
6
Pak Edi
7
Pak Edi
8
Pak Supriadi
9
Pak Laji
10
Pak Laji
11
Pak Laji
12
Arifin
13
Arifin
Sapi potong Bulu berdiri, limousin kotoran menempel di area rektum dan sekitarnya Sapi Kotoran di limousin bagian caudal PFH Pedet Kotoran di 346 bagian caudal, bsc tidak sesuai dengan sapi umur 3 bulan PFH Pedet Bulu berdiri, sangat kotor, feses menmpel di daerah caudal, lembek Potong 1 kandang Limousin dengan PFH pedet di atas Potong Pertumbuhan Limousin badan tidak sesuai dengan umur PFH Feses lembek, berair, lingkungan kotor, bagian caudal kotor15 PFH Feses lembek, berair,
3
PFH pedet 178 PFH pedet
KETERANGAN Feses pasta, warna normal, kaheksia Feses pasta
NATIF -Schistosoma bovis
APUNG -
-Toxocara vitulorum
Feses pasta
- Strongyloides sp -Eimeria -Strongyloides sp
Sampel tidak memenuhi -Strongyloides sp - Strongyloides sp
Kotoran menempel di area rektum Bulu jekrik, kusam
- Strongyloides sp - Toxocara vitulorum
- Strongyloides sp
- Strongyloides sp -Toxocara vitulorum -
-Eimeria sp
-
-Eimeria sp
Sampel tidak memenuhi
-Toxocara vitulorum
-Toxocara vitulorum
-Toxocara vitulorum -Eimeria
-
- Strongyloides sp
- Strongyloides sp
- negatif
- negatif
-Toxocara vitulorum
Sampel tidak memenuhi
14
Arifin
PFH
15
Arifin
PFH
16
Arifin
PFH Pedet
17
Pak Slamet
PFH
18
Pak Slamet
PFH
19
Pak Slamet
PFH Pedet
20
Pak Yoyon
21
Pak Yoyon
22
Pak Yoyon
23
Pak Yoyon
24
Pak Yoyon
lingkungan kotor, bagian caudal kotor Feses lembek, berair, lingkungan kotor, bagian caudal kotor Feses lembek, berair, lingkungan kotor, bagian caudal kotor Feses lembek, berair, lingkungan kotor, bagian caudal kotor
-Cacing Taenia saginata -Cacing Strongyloides sp
Ditemukan cacing
- Strongyloides sp
- Strongyloides sp
-Toxocara vitulorum
Sampel tidak memenuhi
- Moniezia sp.
-
Bunting
-Toxocara vitulorum
Anak dari no 5
- Strongyloides sp
Sapi Potong Bulu kusam, bulu berdiri, kotoran menempel di daerah rektum Sapi Potong Bulu kusam, kurus
- Strongyloides sp
-Toxocara vitulorum - Strongyloides sp - Strongyloides sp
Sapi Potong 1 kandang dengan no. 20 dan 21 Sapi Potong Kurus, Bulu kusam Sapi Potong Pertumbuhan Pedet badan tidak sesuai dengan umur
- Strongyloides sp
16
- Strongyloides sp
- Schistosoma sp -Trichuris spp.
Strongyloides sp Strongyloides sp - Schistosoma sp - negatif