BAB 2 LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Penetapan Hakim a. Pengertian Hakim Pasal 1 butir 8 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah Pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang – Undang untuk mengadili. Sebagaimana dijelaskan oleh Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa yang dimaksud mengadili adalah serangkaian tindakan Hakim, untuk menerima, memeriksa, memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang – Undang. Pengertian Hakim juga terdapat dalam Pasal 19 Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi adalah Pejabat Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang – Undang.
b. Kewajiban Hakim Menurut Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Hakim mempunyai kewajiban : 1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 3 ayat (1)); 2) Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai – nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1));
1
2
3) Hakim dan Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum (Pasal 5 ayat (2)); 4) Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Pasal 5 ayat (3)); 5) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8 ayat (2); 6) Dalam sidang permusyawaratan, setiap Hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan (Pasal 14 ayat (2)); 7) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 17 ayat (3)); 8) Ketua Majelis, Hakim Anggota, Jaksa, atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat (Pasal 17 ayat (4)); 9) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara (Pasal 17 ayat (5)). Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan tanggung jawab Hakim, yaitu:
2
3
1) Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 2 ayat (1)); 2) Dalam memeriksa dan memutus perkara, Hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya (Pasal 53 ayat (1)).
c. Penetapan Hakim 1) Bentuk Penetapan Putusan yang berisi pertimbangan dan diktum penyelesaian permohonan dituangkan dalam bentuk penetapan, dan namanya juga disebut penetapan atau ketetapan (beschikking; decree). Bentuk ini membedakan penyelesaian
yang dijatuhkan
pengadilan dalam gugatan contensiosa. Dalam gugatan perdata yang bersifat partai, penyelesaian yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis (award). 2) Diktum Bersifat Deklarator (a) Diktumnya hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi hukum tentang hal yang diminta. (b) Pengadilan
tidak
boleh
mencantumkan
diktum
comdemnatoir (yang mengandung hukuman) terhadap siapapun. (c) Juga tidak dapat memuat amar konstitutif (constitutief), yaitu menciptakan suatu keadaan baru, seperti membatalkan perjanjian, menyatakan sebagai pemilik atas sesuatu barang, dan sebagainya. 3) Kekuatan Pembuktian Penetapan (a) Penetapan sebagai Akta Otentik Setiap
produk
yang
diterbitkan
Hakim
atau
pengadilan dalam menyelesaikan permasalahan yang diajukan kepadanya, dengan sendirinya merupakan akta otentik yaitu merupakan akta resmi yang dibuat oleh
3
4
pejabat yang berwenang untuk itu. Bertolak dari doktrin yang dikemukakan diatas, setiap penetapan atau putusan yang dijatuhkan pengadilan bernilai sebagai akta otentik. Doktrin ini pun sesuai dengan ketentuan yang di gariskan Pasal 1868 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Akta Otentik ialah Suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang – Undang, oleh atau dihadapan pegawai umum atau yang berkuasa untuk itu ditempat akta itu dibuat. Memperhatikan ketentuan yang mengatakan bahwa Putusan pengadilan merupakan akta otentik, berarti sesuai dengan Pasal 1870 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, pada diri putusan itu, melekat nilai ketentuam pembuktian yang sempurna dan mengikat (volledig en bidende bewijskracht). (b) Nilai
Kekuatan
Pembuktian
yang
Melekat
pada
Penetapan Permohonan Hanya Terbatas kepada Diri Pemohon Meskipun penetapan yang dijatuhkan pengadilan berbentuk akta otentik, namun nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya, berbeda dengan yang terdapat pada putusan yang bersifat contentiosa. Dalam putusan yang bersifat partai (contentiosa), nilai kekuatan pembuktiannya, adalah : 1. Benar – benar sempurna dan mengikat; 2. Kekuatan mengikatnya meliputi : para pihak yang
terlibat dalam perkara dan ahli waris mereka; kepada orang atau pihak ketiga yang mendapat hak dari mereka. Tidak demikian halnya dengan penetapan, sesuai dengan sifat proses pemeriksaanya yang bercorak ex-parte
4
5
atau sepihak, nilai ketentuan pembuktian yang melekat dalam penetapan sama dengan sifat ex-parte itu sendiri, dalam arti 1: 1. Nilai kekuatan pembuktian hanya mengikat pada diri
pemohon saja; 2. Tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada orang
lain atau pihak ketiga.
2. Tinjauan Putusan Hakim a. Pengertian Putusan Putusan adalah kesimpulan atau ketetapan (judgment) Hakim untuk mengakhiri suatu perkara yang diperhadapkan kepadanya. Sudikno Mertokusumo mendefinisikan putusan sebagai pernyataan Hakim dalam kedudukannya sebagai Pejabat Negara yang diberi kewenangan untuk itu dan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa di antara pihak – pihak yang berperkara2. Putusan
Hakim
merupakan
akhir
dari
rangkaian
proses
pemeriksaan suatu perkara, sebelum menjatuhkan putusan, majelis Hakim akan bermusyawarah untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya di antara para pihak serta putusan seperti apa yang akan dijatuhkan. Dalam musyawarah majelis, paling tidak majelis Hakim akan melakukan dua hal, yaitu3 : 1) Menetapkan pihak mana yang berhasil membuktikan dan pihak mana yang tidak berhasil membuktikan; 2) Menetapkan hak – hak dan hubungan hukum di antara para pihak. 1
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1986, hlm. 40-41 M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim “Pendekatan Multidisipliner dalam Memahami Putusan Peradilan Perdata”, UII Press, Yogyakarta, 2014, hlm. 13 3 Ibid; hlm. 15 2
5
6
b. Jenis – Jenis Putusan Putusan Hakim terbagi atas beberapa jenis. M Yahya Harahap membagi jenis – jenis putusan berdasarkan aspek kehadiran para pihak, sifat putusan, dan saat penjatuhan4 : 1) Putusan ditinjau dari aspek kehadiran Para Pihak : a. Putusan
Biasa,
adalah
Putusan
yang
dijatuhkan
pengadilan dimana pada saat pembacaan putusan, kedua belah pihak hadir; b. Putusan Verstek (default judgment), adalah Putusan yang dijatuhkan pengadilan dimana Tergugat sama seklai tidak pernah datang menghadap di persidangan meskipun telah dipanggil
secara
ketidakhadirannya
resmi tersebut
dan tidak
patut,
sementara
disebabkan
oleh
halangan yang sah (without default reason); c. Putusan Contradictoir, adalah Putusan pengadilan yang pada saat diucapkan, salah satu pihak tidak hadir sementara pada persidangan sebelumnya, para pihak selalu atau pernah hadir; d. Putusan
Gugur,
adalah
Putusan
yang
dijatuhkan
pengadilan karena Penggugat tidak pernah datang menghadap sendiri di persidangan5. 2) Putusan ditinjau dari Sifatnya : a. Putusan Declaratoir, adalah Putusan yang mengandung amar pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan (hubungan) hukum di antara para pihak berperkara6; b. Putusan Constitutief, adalah Putusan yang menciptakan atau meniadakan hubungan hukum tertentu; 4
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 872-887 5 Pasal 124 HIR/148 R. Bg 6 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 876
6
7
c. Putusan Condemnatoir, adalah Putusan yang di dalamnya mengandung amar penghukuman, yaitu amar menghukum atau membebankan pada salah satu atau kedua belah pihak untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan hukum. 3) Putusan ditinjau dari Saat Penjatuhan : a. Putusan Sela, adalah Putusan yang dijatuhkan Hakim saat proses
pemeriksaan
berlangsung
untuk
memudahkan
pemeriksaan perkara sebelum Hakim menjatuhkan putusan akhir; b. Putusan Akhir (eind vonnis), adalah Putusan Hakim yang merupakan jawaban terhadap persengketaan para pihak untuk mengakhiri pemeriksaan suatu perkara.
c. Kekuatan Putusan Kekuatan Putusan Pengadilan mencakup 3 (tiga) hal, yaitu : 1) Kekuatan Mengikat (bindende kracht), yaitu putusan yang telah mendapat kekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde) tidak dapat diganggu gugat dan sifatnya mengikat, sehingga para pihak yang berperkara harus tunduk dalam melaksanakan isi putusan tersebut; 2) Kekuatan Pembuktian (bewijzende kracht), ini sebagai alat untuk dijadikan sebagai alat bukti oleh para pihak yang berperkara. Kekuatan pembuktian tidak hanya mengikat para pihak, tetapi juga pihak ketiga yang memiliki kepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung.7; 3) Kekuatan Eksekutorial (executoriale kracht), yaitu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde), yaitu kekuatan untuk dilaksanakan, baik secara sukarela, maupun 7
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 310
7
8
melalui upaya eksekusi oleh pengadilan bila pihak yang dinyatakan kalah tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Kekuatan eksekutorialnya terletak pada irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sehingga bila tidak ada, maka putusan tidak dapat dieksekusi8. Terdapat juga asas – asas dalam Putusan Hakim, sebagai berikut9 : a) Asas Musyawarah Majelis, Musyawarah Majelis merupakan perundingan yang dilakukan oleh Hakim untuk mengambil kesimpulan terhadap sengketa yang sedang diadili yang selanjutnya dituangkan dalam putusan; b) Putusan Harus Memuat Dasar / Alasan yang Cukup, Putusan Hakim ini harus dilandasi atas pertimbangan hukum (legal reasoning, ratio decidendi) yang komprehensif. Jika putusan Hakim tidak cukup pertimbangan, maka dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi; c) Putusan Harus Mengadili Seluruh Bagian Gugatan, Seluruh bagian gugatan adalah petitum penggugat, karena pada dasarnya setiap petitum dilandasi oleh posita (fundamentum potendi); d) Asas Ultra Petitum Partium, adalah Asas yang melarang Hakim untuk memutus melebihi apa yang dituntut. Hakim yang memutus melebihi apa yang dituntut Penggugat dianggap telah melampaui kewenangan (ultra vires, beyond the powers of his authority). e) Asas Keterbukaan, Asas ini bertujuan agar putusan pengadilan dapat lebih transparan dan akuntabel, juga dapat memberikan akses kepada publik untuk mengetahui langsung vonis pengadilan atas kasus tertentu. 8 9
M. Natsir Asnawi, op.cit., hlm. 42 Ibid; hlm. 43-49
8
9
f) Putusan harus tertulis, karena putusan merupakan produk pengadilan yang berupa akta autentik yang memiliki kekuatan pembuktian dan kekuatan mengikat terhadap para pihak berperkara dan pihak ketiga. Dibuat dengan sistematika tertentu dan syarat – syarat formil yang ditetapkan oleh Perundang – Undangan yang berlaku.
d. Fungsi Putusan Hakim Fungsi Putusan Hakim pada dasarnya dapat ditarik dari fungsi hukum itu sendiri. Roscoe Pound mengemukakan Putusan Hakim berfungsi sebagai perekayasa sosial (social engineering) :10 1) Fungsi Kontrol Sosial (social control) Putusan Hakim memberikan jawaban mengenai pokok persengketaan yang diajukan para pihak. Putusan Hakim akan menjadi semacam kontrol sosial karena menjadi patron bagi masyarakat dalam bertindak dan berinteraksi satu sama lain; 2) Fungsi Menyelesaikan Sengketa (settle the dispute) Fungsinya tidak hanya sekedar memutus sengketa di antara para pihak, tapi juga memberi bentuk penyelesaian terbaik yang mampu memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak; 3) Fungsi Memadukan (integrating) berbagai kepentingan Putusan Hakim ini berfungsi memadukan dan menyelaraskan berbagai kepentingan yang berbeda di antara para pihak dan kepentingan sosial; 4) Fungsi Pembaharuan Putusan Hakim berfungsi memperbaharui kaidah hukum yang ada jika kaidah hukum tersebut ternyata tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilan masyarakat; 10
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak, Markus Y. Hage, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 140-142
9
10
5) Fungsi Perekayasa Sosial (social engineering) Fungsi ini tidak hanya dalam konteks praktis semata, tetapi juga berkaitan dengan rancang bangun suatu masyarakat menuju sistem kemasyarakatan yang lebih konstruktif. Putusan Hakim ini dipandang sebagai sebuah grand design tentang bagaimana pola hubungan di masyarakat itu terbentuk dan menuju pada suatu pola yang jauh lebih baik.
3. Tinjauan Perkawinan a. Pengertian Perkawinan Menurut Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan ialah Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami – isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan sama dengan „perikatan‟ (verbindtenis). Pasal 26 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa Undang – Undang memandang perkawinan hanya dalam hubungan perdata saja, tidak memperhatikan dari segi keagamaan. Perkawinan menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbeda dengan Perkawinan menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan tidak hanya sekedar adanya ikatan perdata, tetapi juga merupakan „perikatan keagamaan‟; sedangkan menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Perkawinan hanya sebagai „Perikatan Perdata‟ saja. Perkawinan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan menurut Hukum Islam adalah, Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. In the
10
11
traditional concept of Islamic Law, marriage is seen to be a contract which enters into full effect once the offer has been agreed (iyab) and accepted (qubul / qabul), either orally or in any other way which is understood by both parties.11 Pengertian Perkawinan menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bukan hanya sekedar menyangkut hubungan antar manusia tapi juga dianggap sebagai suatu perbuatan hukum, perkawinan juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, yang mana sah atau tidaknya suatu perkawinan
itu
digantungkan
pada
hukum
agama
dan
kepercayaannya masing – masing. b. Asas – Asas atau Prinsip – Prinsip Perkawinan Dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menganut asas – asas atau prinsip – prinsip perkawinan, sebagai berikut12 : 1) Perkawinan membentuk sebuah keluarga bahagia dan kekal (Pasal 1); 2) Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1)); 3) Perkawinan harus dicatat menurut hukum perundangan (Pasal 2 ayat (2)); 4) Perkawinan berasas monogami terbuka (Pasal 3); 5) Calon suami isteri harus sudah masuk jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 6); 6) Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita16 tahun (Pasal 7 ayat (1)); 11
Juan Simon MULERO Garcia, “Issue of Family Law in Spanish-Moroccan Relationships”, International Journal of Business and Social Science, Vol.3 No.13, 2012, hlm.45 12 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 6
11
12
7) Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan (Pasal 39); 8) Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang (Pasal 31 ayat (1)). c. Syarat – syarat Perkawinan Syarat – syarat untuk melangsungkan perkawinan telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Syarat – syarat utama untuk melangsungkan perkawinan dapat dikelompokkan : 1) Syarat – Syarat Materiil : adalah syarat tentang orang yang hendak kawin dan izin – izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal ditentukan oleh Undang – Undang. Syarat ini terbagi dua, yaitu : a) Syarat Material Mutlak, yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh siapapun yang hendak kawin, yaitu : a. Atas persetujuan kedua calon suami – isteri dan adanya izin orang tua bagi calon suami – isteri yang belum mencapai usia 21 tahun (Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan); juga batas usia untuk melangsungkan perkawinan, umur 19 bagi pihak laki-laki; umur 16 bagi pihak wanita (Pasal 7 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). b. Waktu tunggu bagi wanita, 130 hari, jika ditinggal mati suaminya; 3x suci, atau 90 hari bagi wanita
12
13
yang tidak datang bulan lagi; sampai anak lahir jika
janda
dalam
keadaan
hamil;
apabila
perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka tidak ada waktu tenggang (Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang –
Undang
Nomor
1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan). b) Syarat Material Relatif, adalah syarat bagi pihak yang hendak dikawini. Dalam syarat Material Mutlak seseorang yang telah memenuhi syarat – syarat diperbolehkan kawin, akan tetapi tidak dengan semua orang. Orang – orang yang dapat dikawini harus memenuhi syarat : a. Perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang adanya hubungan darah dalam garis keturunan baik ke atas maupun ke bawah; adanya hubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yakni antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; adanya hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu-tiri; adanya hubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan dan bibi susuan; adanya hubungan antara saudara dengan isteri atau bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal ini jika suami beristeri lebih dari satu; adanya hubungan agamanya atau peraturan lain yang berlaku (Pasal 8-10 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
13
14
b. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. c. Jika suami – isteri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai untuk kedua kalinya, maka tidak boleh ada perkawinan lagi, sepanjang hukum masing – masing agama dan kepercayaannya tidak menentukan lain. 2) Syarat – syarat Formil adalah syarat – syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan, terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu : a) Pendaftaran / Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat; b) Penelitian dan pengecekan oleh Pegawai Pencatat terhadap syarat – syarat perkawinan yang didaftarkan; c) Pengumuman
yang
ditandatangani
oleh
Pegawai
Pencatat tentang pemberitahuan waktu perkawinan akan dilangsungkan.
d. Tata Cara Perkawinan Diatur dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, intinya diatur bahwa : (a) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak
perkawinan
oleh
Pegawai
Pencatat (Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini yang berbunyi sebagai berikut : “Setelah dipenuhinya tata – cara dan syarat – syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu
14
15
halangan
perkawinan,
Pegawai
Pencatat
menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak
melangsungkan
perkawinan
dengan
cara
menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.” (b) Tata – cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing – masing, agamanya dan kepercayaan itu. Perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 10 ayat (2), (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Setelah dilaksanakan perkawinan sesuai dengan ketentuan – ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah tersebut, kedua mempelai harus menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Kemudian ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan
perkawinan
menurut
agama
islam,
ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi (Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), selanjutnya akta perkawinan tersebut dibuat dalam rangkap 2 (dua), Pertama untuk disimpan Pegawai Pencatat, lembar Kedua disimpan Panitera
Pengadilan
15
dalam
wilayah
kantor
Pencatat
16
Perkawinan dan kepada masing – masing suami – isteri diberi kutipan akta perkawinan. e. Sahnya Perkawinan Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing – masing hukum, agama dan kepercayaannya; dan dicatat menurut Peraturan Perundang – Undangan yang berlaku.” Dari penjelasan tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perkawinan dianggap sah jika dilakukan menurut hukum masing – masing, agama dan kepercayaan; tertib menurut hukum syariah bagi yang beragama Islam; dicatat menurut Perundang – Undangan dengan dihadiri oleh Pegawai Pencatat nikah. Bagi orang Tiong Hoa dari agama apapun, juga untuk orang Indonesia yang beragama Kristen, pencatatan di lakukan oleh pegawai dari Kantor Catatan Sipil. Sedangkan bagi orang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh Pengawai Pencatat nikah, talak, rujuk dari Kantor Urusan Agama (KUA).
f. Harta Benda dalam Perkawinan Diatur di Pasal 35 sampai Pasal 37 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang intinya menjelaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami – isteri dan harta benda yang diperoleh masing – masing suami – isteri sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing – masing, sepanjang tidak ditentukan lain oleh suami – isteri. Apabila kemudian ditentukan oleh suami – isteri, maka harta bawaan suami – isteri tersebut menjadi harta bersama. Untuk menentukan agar harta bawaan suami – isteri atau yang diperoleh
16
17
selama perkawinan menjadi atau tidak menjadi harta bersama, maka suami – isteri tersebut harus membuat Perjanjian Kawin terlebih dahulu. Jika dilihat dari Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, hanya membatasi dan menekankan perjanjian sebelum perkawinan hanya pada persatuan harta kekayaan saja, sedangkan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang diperjanjikan, tetapi juga bisa di luar itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai – nilai moral dan adat istiadat.
g. Pencatatan Perkawinan Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dikatakan bahwa “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau Pegawai yang ditunjuk olehnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor
32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai Perundang – Undangan mengenai pencatatan perkawinan (Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)13. Dengan tidak mengurangi ketentuan – ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan dilakukan 13
Ibid; hlm. 88
17
18
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pelaksanaan pencatatan perkawinan ini diatur lebih lanjut dalam BAB II Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9. Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta penjelasannya diperoleh ketentuan sebagai berikut : 1) Instansi
Pencatat Perkawinan adalah bagi mereka yang
beragam Islam pencatatannya dilakukan Oleh pegawai Pencatatan Nikah talak dan Rujuk; 2) Bagi mereka yang tidak beragama Islam, pencatatannya dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor catatan Sipil atau Instansi / pejabat yang membantunya.
h. Tata Cara Pencatatan Perkawinan Tata
Cara
Pencatatan
Perkawinan
harus
dilakukan
berdasarkan14 : 1) Ketentuan – ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 sampai Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2) Ketentuan – ketentuan khusus yang diatur dalam berbagai peraturan,
yang
merupakan
pelengkap
bagi
peraturan
pemerintah ini, yaitu: (a) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (L.N. 1954 No. 98) 14
Ibid; hlm. 25
18
19
dan
beberapa
Peraturan
Menteri
Agama
yang
berhubungan dengan hal, tersebut; (b) Reglement Catatan Sipil bagi orang Indonesia yang beragama Kristen di Jawa, Madura dan Minahasa dan sebagainya (Stb. 1917 No. 75 jo. 1936 No.607 dengan segala perubahanya); (c) Reglement Catatan Sipil untuk golongan Cina (Stb.1917 No. 130 jo. 1919 No. 81 dengan segala perubahanya); (d) Reglement Catatan Sipil bagi Golongan Eropa yang disamakan (Stb. 1849 No. 25); (e) Daftar Catatan Sipil untuk perkawinan campuran (Stb. 1904 No. 279).
i. Akta Perkawinan Setelah perkawinan menurut hukum masing – masing agama dan kepercayaanya itu, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang telah berlaku. Akta perkawinan itu juga ditandatangani oleh kedua orang saksi dan pegawai pencatat yang hadir dalam perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan tersebut maka perkawinan itu telah tercatat secara resmi (Pasal 11 ayat (1) sampai ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Akta perkawinan tersebut memuat15 : 1) Nama, tanggal, tempat lahir, agama / kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami isteri. Jika pernah kawin disebutkan juga nama suami / isteri terdahulu; 15
Ibid; hlm. 92
19
20
2) Nama, agama / kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka; 3) Izin kedua orang tua mereka bagi yang melangsungkan perkawinan belum mencapai umur 21 tahun, atau dari wali atau dari pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) sampai ayat (5) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 4) Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua, bagi yang melakukan perkawinan dibawah umur 19 tahun bagi pria, dibawah 16 tahun bagi wanita; 5) Izin
pengadilan
bagi
seorang
suami
yang
akan
melangsungkan perkawinan lebih dari seorang isteri; 6) Persetujuan dari kedua calon mempelai; 7) Izin dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hankam / Pangab bagi anggota ABRI; 8) Perjanjian perkawinan, jika ada; 9) Nama, umur, agama / kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam; 10) Nama, umur, agama / kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
4. Tinjauan Harta Perkawinan a. Harta Perkawinan menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pada umumnya, dalam suatu perkawinan mengakibatkan adanya persatuan harta kekayaan. Akan tetapi, sebelum perkawinan berlangsung, pasangan calon suami isteri dapat membuat perjanjian mengenai harta mereka, dan biasanya ini
20
21
terjadi karena harta salah satu pihak lebih besar, dari pihak yang lain. Dalam Pasal 35 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diatur bahwa : (1) Harta Bersama, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2) Harta Bawaan dari masing – masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing – masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing – masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Harta bersama yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung,
terhitung
sejak
perkawinan
dilangsungkan sampai perkawinan berakhir karena cerai (hidup) atau salah satu meninggal dunia. Sedangkan harta bawaan adalah harta yang diperoleh masing – masing suami dan isteri sebelum perkawinan dilangsungkan, misalnya pemberian hibah, warisan. Tentang siapa yang berhak untuk mengatur harta bersama, diatur dalam Pasal 36 yaitu : (1) Mengenai harta bersama suami dan isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. (2) Mengenai harta bawaan masing – masing, suami isteri punya hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Dalam Pasal ini dapat diketahui, bahwa pihak yang berhak mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami dan isteri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan pihak lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena mereka memiliki kedudukan yang seimbang sebagai pemilik harta bersama tersebut.
21
22
Pasal 37 menentukan bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta benda diatur menurut hukumnya masing – masing.” Maksud dari “hukumnya” masing – masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya. b. Harta Perkawinan menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Peraturan mengenai harta perkawinan menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, diatur dalam Pasal 119 – Pasal 123. Dalam Pasal 119 menyatakan bahwa “Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan isteri.” Jika dalam perkawinan tidak dibuat perjanjian kawin, maka terjadi persatuan bulat harta kekayaan antara suami dan isteri. Pasal 120 menyebutkan bahwa harta bersama tersebut meliputi harta kekayaan suami dan isteri, baik bergerak dan tidak bergerak, baik yang sekarang maupun yang akan datang, maupun yang diperoleh dengan cuma – cuma, kecuali jika yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya
dengan
tegas.
Bahwa
semua
hasil
dan
pendapatan, seperti keuntungan dan kerugian sepanjang perkawinan harus diperhitungkan atas mujur malang persatuan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 122. Pengurusan mengenai harta kekayaan juga dikatakan dengan jelas bahwa, “Suami sendiri harus mengurus harta kekayaan persatuan. Ia diperbolehkan menjual, memindah tangankan dan membebaninya tanpa campur tangan si isteri kecuali disebutkan dalam perjanjian kawin.” (Pasal 124).
22
23
Artinya, pengurusan harta perkawinan itu dipegang oleh suami, sepanjang tidak ada perjanjian perkawinan dalam perkawinan tersebut. Kepengurusan harta kekayaan persatuan ini dapat menjadi
bubar,
baik
mengenai
kepengurusan
persatuan hartanya, karena beberapa hal,
maupun
sebagaimana
tercantum dalam Pasal 126, yaitu : 1) karena kematian; 2) karena berlangsungnya suatu perkawinan atas izin Hakim, setelah adanya keadaan tak hadir si suami; 3) karena perceraian; 4) karena perpisahan tentang meja dan ranjang; 5) karena perpisahan harta benda. Dalam hal perjanjian pemisahan harta, para pihak bebas menentukan hukum perjanjian yang akan mereka buat, apakah dalam perkawinan mereka tidak ada persatuan harta benda, atau ada persatuan harta yang terbatas, yaitu : 1. Pasal 155 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Persatuan Untung Rugi (gemeenschap van winst en verlies). Artinya, yang dimaksud dengan keuntungan dalam persatuan suami – isteri adalah, tiap – tiap bertambahnya
harta
kekayaan
mereka
sepanjang
perkawinan yang disebabkan hasil harta kekayaan mereka dan pendapatan mereka masing – masing, karena usaha dan penabungan pendapatan yang tak dapat dihabiskan. Sedangkan yang dimaksud kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan, yang disebabkan pengeluaran yang melampaui pendapatan. 2. Pasal 164 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Persatuan Hasil dan Pemasukan (gemeenschap van vruchten en inkomsten). Artinya berarti secara diam –
23
24
diam suatu ketiadaan persatuan harta kekayaan seluruhnya menurut Undang – Undang, dan ketiadaan persatuan untung dan rugi.
c. Harta Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengaturan mengenai Harta Kekayaan Dalam Perkawinan diatur dalam Bab XIII Pasal 85 sampai Pasal 97. Menurut Pasal 85, bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing – masing suami atau isteri. Harta bawaan masing – masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing – masing sebaga hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing – masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing – masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya, yang mana hal ini diatur dalam Pasal 87. Dijelaskan pula dalam Pasal 88, apabila terjadi perselisihan antara suami dan isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Jenis harta bersama dalam perkawinan, menurut Pasal 91 adalah : 1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 berupa benda berwujud atau tidak berwujud; 2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak, dan surat – surat berharga; 3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban;
24
25
4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. Diatur pula bahwa, suami – isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindah tangankan harta bersama (Pasal 92) Pembagian harta bersama juga diatur dalam Pasal 96 dan 97. Pasal 96 menyebutkan bahwa : “Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama; Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.” Pasal 97, “Janda atau duda cerai masing – masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.” Jadi mengenai harta yang diperoleh suami isteri selama dalam perkawinan adalah harta milik bersama, baik masing – masing bekerja, baik pendapatan terdaftar sebagai penghasilan suami atau isteri, juga penyimpanannya didaftarkan sebagai simpanan suami – isteri itu tidak dipersoalkan, baik hanya suami atau isteri saja yang punya pendapatan, atau keduanya punya penghasilan sendiri dalam perkawinan.
d. Harta Perkawinan yang dapat dimiliki oleh Warga Negara Asing (WNA) Warga Negara Asing (WNA) memiliki Hak Pakai yang diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia yang isinya : (1) Orang Asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan Hak Pakai.
25
26
(2) Orang Asing yang dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Orang Asing pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal Orang Asing meninggal dunia, rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwariskan. (4) Dalam hal ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan Orang Asing, ahli waris harus mempunyai izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Warga Negara Indonesia (WNI) yang melakukan perkawinan dengan Warga Negara Asing (WNA) dapat memiliki Hak Atas Tanah yang sama dengan Warga Negara Indonesia yang lainnya, sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia. Pasal 2 menyatakan bahwa “Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris.” Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh Orang Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan : a. Rumah Tunggal di atas tanah : 1. Hak Pakai; atau 2. Hak Pakai di atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. b. Sarusun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai.
26
27
5. Tinjauan Perjanjian Perkawinan a. Pengertian Perjanjian Kawin Dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terutama dalam Pasal 29 juga tidak terdapat pengertian yang jelas dan tegas tentang perjanjian kawin termasuk tentang isi dari perjanjian kawin. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29, yang menentukan : 1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak
atas
persetujuan
bersama
dapat
mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. 2) Perjanjian
tersebut
tidak
dapat
disahkan
bilamana
melanggar batas – batas hukum, agama dan kesusilaan. 3) Perjanjian
tersebut
berlaku
sejak
perkawinan
dilangsungkan. 4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Selanjutnya pada Pasal 29 Undang – Undang ayat (2) diterangkan tentang batasan yang tidak boleh dilanggar dalam membuat perjanjian kawin yaitu yang berbunyi : Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas – batas hukum, agama da kesusilaan. Tidak adanya pengertian yang jelas tentang perjanjian kawin maka di antara para ahli terdapat juga perbedaan dalam memberikan pengertian tentang perjanjian kawin dan pengertian perjanjian kawin yang diberikan umumnya mengarah kepada ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang – Undang Hukum
27
28
Perdata. Berikut beberapa pengertian perjanjian kawin menurut beberapa ahli : 1) R. Subekti Perjanjian Kawin adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami – isteri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang – Undang.16; 2) Komar Andasasmita mengatakan apa yang dinamakan “ perjanjian atau syarat kawin” itu adalah perjanjian yang diadakan oleh bakal atau calon suami – isteri dalam mengatur (keadaan) harta benda atau kekayaan sebagai akibat dari perkawinan mereka.17 ; 3) Soetojo
Prawirohamidjojo
mengatakan
“Perjanjian
dan
Kawin”
Asis
Safiodien
adalah
Perjanjian
(persetujuan) yang dibuat oleh calon suami – isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat – akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Dari pengertian yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa perjanjian perkawinan hanyalah mengatur mengenai harta kekayaan suami isteri dalam perkawinan saja, dimana dalam perjanjian perkawinan tersebut calon suami atau calon isteri dapat menyatakan kehendak mereka terhadap harta perkawinan, apakah mereka akan bersepakat untuk menyatukan harta mereka atau mereka melakukan penyatuan harta hanya secara terbatas atau mereka memutuskan untuk tidak melakukan penyatuan harta sama sekali dalam perkawinan berlangsung.
16
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1994, hlm. 9 Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, ctk. Kedua, Ikatan Notaris Indonesia (INI) Daerah Jawa Barat, Bandung, 1990, hlm. 5 17
28
29
Dari uraian diatas ada perbedaan ketentuan pembuatan perjanjian kawin menurut Pasal 147 Kitab Undang – Undang hukum Perdata, perjanjian kawin harus dibuat dengan akta Notaris, diadakan sebelum perkawinan dan berlaku sejak saat dilakukan perkawinan, tidak boleh pada saat lain. Sedangkan, menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29, yang menentukan : Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga bersangkutan. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata memberikan beberapa larangan tentang isi perjanjian kawin yaitu : 1) Perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum (Pasal 39); 2) Perjanjian itu tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh Kitab Undang – Undang Hukum Perdata diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga, misalnya tidak boleh dijanjikan bahwa isteri akan mempunyai tempat kediaman sendiri (Pasal 140 ayat (1)); 3) Dalam perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa salah satu pihak akan menanggung hutang lebih besar daripada bagiannya dalam keuntungan (Pasal 142); 4) Dalam perjanjian itu tidak boleh secara umum ditunjuk begitu saja kepada peraturan yang berlaku dalam suatu Negara asing (Pasal 143); 5) Janji itu tidak boleh dibuat dengan kata – kata umum bahwa kedudukan mereka akan diatur oleh hukum adat dan sebagainya (Pasal 143).
29
30
b. Syarat Sahnya Perjanjian Kawin Menurut Pasal 29 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa Perjanjian Perkawinan: 1) Pada waktu atau sebelum Perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak dapat membuat perjanjian tertulis; 2) Perjanjian tertulis tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan; 3) Setelah disahkan, isinya berlaku juga bagi pihak ketiga yang bersangkutan; 4) Perkawinan tersebut dapat disahkan jika tidak melanggar batas – batas hukum, agama dan kesusilaan; 5) Perjanjian tertulis tersebut mulai berlaku baru para pihak yang membuatnya sejak perkawinan dilangsungkan; 6) Dan selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak untuk mengubah, yang mana perubahannya tidak merugikan pihak ketiga.
c. Akibat Perjanjian Kawin Pada saat setelah perkawinan itu berlangsung, perjanjian tertulis yang sudah di daftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan sudah dicatat oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor Catatan Sipil yang dicatat pada akta perkawinan mereka, mulai berlaku bagi pasangan suami – isteri yang membuatnya dan juga bagi pihak ketiga yang bersangkutan. Dalam halnya perjanjian kawin belum didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Agama dan belum tercatat dalam akta perkawinan mereka, maka para pihak ketiga boleh
30
31
menganggap suami – isteri itu kawin dalam percampuran harta18.
d. Bentuk Perjanjian Kawin Bentuk Perjanjian Kawin tidak diatur dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun dijelaskan dalam Pasal 147 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata bahwa, “Atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta Notaris sebelum perkawinan berlangsung”. Pembuatan perjanjian dengan Akta Notaris bertujuan agar perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum pembuktian yang kuat dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Pasal 148 menyatakan “Segala perubahan dalam perjanjian boleh dilakukan sebelum perkawinan. Namun tidak ada perubahan yang boleh berlaku jika penyelenggaraannya tidak dihadiri dan tidak disetujui oleh mereka yang dulu telah menghadiri dan menyetujui perjanjian. Dalam Pasal 149 menyebutkan “Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tak boleh diubah.” Berbeda halnya, jika dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata mensyaratkan bahwa Perjanjian Kawin harus dibuat dengan akta Notaris, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam hanya mensyaratkan Perjanjian Perkawinan dapat dibuat sendiri oleh calon pasangan suami – isteri, tetapi harus disahkan oleh Pegawai
Pencatat
Perkawinan
pada
saat
perkawinan
dilangsungkan.
18
Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), Seksi Perdata Barat, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1981, hlm. 228
31
32
e. Isi Perjanjian Kawin Pasal 29 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyebutkan dengan jelas apa saja isi dari suatu perjanjian perkawinan, hanya saja disebutkan tidak melanggar batas – batas hukum, agama dan kesusilaan. Mengenai isi yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian kawin, dalam ilmu hukum dapat dikemukakan pendapat antara lain sebagai berikut19 : 1) Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa perjanjian kawin dapat memuat apa saja, yang berhubungan dengan baik dan kewajiban suami – isteri maupun mengenai hal – hal yang berkaitan dengan harta benda perkawinan. Mengenai batasan – batasan yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian kawin. Hal ini merupakan tugas Hakim untuk mengaturnya. 2) R. Sardjono berpendapat bahwa sepanjang tidak diatur di dalam Peraturan Perundang – Undangan, dan tidak dapat ditafsirkan lain, maka lebih baik ditafsirkan bahwa Perjanjian Kawin sebaiknya hanya meliputi hak – hak yang berkaitan dengan hak dan kewajiban dibidang hukum kekayaan. 3) Nurnazly Soetarno berpendapat bahwa Perjanjian Kawin hanya dapat memperjanjikan hal – hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan, dan hal itu hanya menyangkut mengenai harta yang benar – benar merupakan harta pribadi suami – isteri yang bersangkutan, yang dibawa ke dalam perkawinan. Di dalam Pasal 139 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata memiliki asas yang mana calon pasangan suami – 19
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, ctk. Kedua, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 80-81
32
33
isteri berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari Peraturan Perundang – Undangan sekitar persatuan harta kekayaan, asalkan perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata memberikan beberapa larangan tentang isi perjanjian kawin yaitu : a. Perjanjian
itu
tidak
boleh
bertentangan
dengan
kesusilaan atau dengan ketertiban umum (Pasal 139); b. Perjanjian itu tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh Kitab Undang – Undang Hukum Perdata diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga, misalnya tidak boleh dijanjikan bahwa isteri akan mempunyai tempat kediaman sendiri (Pasal 140 ayat (1)); c. Dalam perjanjian itu suami – isteri tidak boleh melepaskan
hak
mereka
untuk
mewarisi
harta
peninggalan anak – anak mereka (Pasal 141); d. Dalam perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa salah satu pihak akan menanggung hutang lebih besar daripada bagiannya dalam keuntungan (Pasal 142). Pitlo
berpendapat
sebagaimana
dikutip
oleh
Prawirohamidjojo, dan Asis Safiodien dalam bukunya : bahwa janji yang demikian harus dianggap tidak ada karena bertentangan dengan Undang – Undang. Dengan demikian suami – isteri masing – masing menanggung setengah bagian dari hutang maupun keuntungan.20
20
Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safiodien, op.cit, hlm. 80
33
34
f. Waktu Pembuatan Perjanjian Kawin Dalam Pasal 147 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “Perjanjian Perkawinan dibuat sebelum perkawinan berlangsung”. Hal tersebut dimaksudkan demi perlindungan terhadap pihak ketiga (kreditur) supaya tidak dihadapkan kepada situasi yang berubah – ubah, yang dapat merugikan dirinya (dalam arti jaminan harta debitur atas piutang kreditur.21 Berbeda dengan ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana dalam Pasal 29 dikatakan bahwa perjanjian dibuat „pada waktu‟ atau „sebelum‟ perkawinan dilangsungkan. Dengan ini berarti mengenai waktu pembuatan perjanjian kawin dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan lebih luas dengan memberikan dua macam waktu untuk membuat perjanjian kawin, yaitu sebelum dan pada saat perkawinan dilangsungkan.22 Maka demikian, dengan telah adanya atau ditentukannya saat pembuatan perjanjian kawin tersebut maka tidak diperbolehkan membuat perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung apabila sebelum atau pada saat perkawinan tidak telah diadakan perjanjian perkawinan.23
g. Perubahan Perjanjian Kawin Pasal 149 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dengan tegas menyatakan bahwa “ Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun, tak boleh
21
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, hlm. 2 Soetojo Prawirihamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga Press, Surabaya, 1994, hlm. 6 23 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, op.cit, hlm. 82 22
34
35
diubah.” Ini artinya, perubahan boleh dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan. Pembuatan perjanjian kawin maupun perubahan terhadap perjanjian kawin ditentukan dan dibuat atas persetujuan bersama dari kedua belah pihak, dalam hal ini yang dimaksud ialah bahwa persetujuan terhadap pembuatan perjanjian kawin adalah kata sepakat yang bebas serta tidak terdapat paksaan dari pihak manapun, juga tidak ada penipuan dan juga kekhilafan.24 Berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perubahan perjanjian perkawinan dapat dilakukan jika ada kesepakatan / persetujuan dari kedua belah pihak untuk mengubah. Hal ini sesuai dengan Pasal 29 ayat (4) yaitu “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.” Pada hakekatnya larangan untuk merubah perjanjian kawin ialah untuk melindungi kepentingan pihak ketiga yaitu mencegah timbulnya kerugian25 dari kemunginan terjadinya penyalahgunaan oleh suami dan isteri, yang sengaja dilakukan untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab.26 h. Macam – Macam Perjanjian Kawin Pasangan calon suami – isteri dapat memperjanjikan segala bentuk pengecualian atas persatuan atas harta kekayaan (secara bulat) yang diinginkan, antara lain dapat diatur perjanjian pisah harta sama sekali dan perjanjian kawin yang merupakan 24
Ibid; hlm. 83 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, op.cit, hlm. 75 26 Endang Sumiarni, Kedudukan Suami-istri Dalam Hukum Perkawinan (Kajian Kesetaraan Jender Melalui Perjanjian Kawin), Wonderful Publishing Company, Yogyakarta, 2004, hlm. 24 25
35
36
campuran kekayaan secara terbatas (beperkte gemenschap van goerderen) yaitu persatuan untung dan rugi (gemenshap van winst en verlies); dan persatuan hasil dan pendapatan (gemeesnschap van vruchten en inkomsten ). 1) Pisah Harta Sama Sekali (Aigehele uitsluiting van gemeenschap) Pasal 144 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata menyatakan : “Ketiadaan persatuan harta kekayaan tidak berarti tak adanya persatuan untung dan rugi, kecuali jika ini pun akhirnya dengan tegas ditiadakannya.” Artinya, para pihak menghendaki dalam perkawinannya tidak ada persatuan bulat atas harta kekayaannya sama sekali, sehingga dalam perjanjian kawin disebutkan dengan jelas selama perkawinan terjadi pemisahan harta, termasuk tidak adanya persatuan untung dan rugi. 2) Persatuan Untung dan Rugi (gemenschap van winst en verlies) Ketentuan mengenai persatuan untung dan rugi ini diatur dalam Pasal 155 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang mengatakan sebagai berikut : “Jika dalam perjanjian kawin oleh kedua calon suami – isteri hanyalah
diperjanjikan
bahwa
dalam
persatuan
perkawinan mereka akan berlaku persatuan untung dan rugi, maka perjanjian yang demikian, bahwa dengan sama sekali tak berlakunya persatuan harta kekayaan seluruhnya
menurut
Undang
–
Undang,
setelah
berakhirnya persatuan harta suami – isteri, segala keuntungan pada mereka, yang diperoleh sepanjang perkawinan, harus dibagi antara mereka berdua, seperti pun segala kerugian harus mereka pikul berdua pula.”
36
37
Yang dimaksud keuntungan dalam persatuan suami – isteri (Pasal 157) adalah setiap bertambahnya harta kekayaan
mereka
sepanjang
perkawinan
yang
disebabkan hasil harta kekayaan mereka dan pendapatan mereka masing – masing, karena usaha kerajinan mereka dan karena penabungan pendapatan – pendapatan yang tak dapat
dihabiskan;
sedangkan
yang dimaksud
kerugian adalah setiap berkurangnya harta kekayaan, yang
disebabkan
pengeluaran
yang
melampaui
pendapatan. Artinya, dalam penanaman kembali harta pribadi atau benda yang dibeli dengan hasil dari menjual harta pribadi tetap menjadi harta pribadi, tetapi hasil yang keluar merupakan harta bersama, jadi pokoknya itu harta pribadi, tetapi hasilnya masuk sebagai persatuan. Penerimaan hibah, hadiah, wasiat secara cuma – cuma oleh suami – isteri merupakan harta pribadi dari masing – masing, tetapi kalau diberikan secara bersama – sama kepada suami – isteri menjadi harta bersama suami – isteri. 3) Persatuan Hasil dan Pendapatan ( gemeesnschap van vruchten en inkomsten ) Ketentuan yang mengatur terdapat dalam Pasal 164 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, yang menyatakan : “Perjanjian, bahwa antara suami – isteri hanya akan berlaku persatuan hasil dan pendapatan, berarti secara diam – diam suatu ketiadaan persatuan harta kekayaan seluruhnya menurut Undang – Undang, dan ketiadaan persatuan untung dan rugi.” Perbedaan antara persatuan hasil dan pendapatan dengan persatuan untung dan rugi, yaitu dalam persatuan
37
38
hasil dan pendapatan yang bersatu (menjadi harta bersama) hanya keuntungan saja, sedangkan untuk kerugian hanya ditanggung oleh yang membuat. Dalam persatuan untung dan rugi, semua keuntungan dan semua kerugian pada umumnya menjadi tanggungan bersamasama suami – isteri. Dalam persatuan hasil dan pendapatan di sini sudah jelas bahwa yang menjadi harta bersama hanyalah keuntungan saja, yang berupa hasil dan pendapatan.
i. Perlindungan terhadap Pihak Ketiga Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebuah perjanjian kawin dapat mengikat pihak ketiga, dan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi : “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 50 ayat (1) yang berbunyi : “ Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.” Anggapan tidak tahunya pihak ketiga tentang adanya perjanjian kawin hanya dapat diberikan kepada pihak ketiga yang tidak mengetahui bahwa suami – isteri telah membuat perjanjian kawin namun belum mendaftarkannya. Sedangkan pihak ketiga yang mengetahui bahwa suami – isteri telah membuat perjanjian kawin namun perjanjian kawin tersebut belum didaftarkan, maka ia tidak boleh menganggap bahwa
38
39
perjanjian kawin itu tidak ada dan suami – isteri kawin dengan persatuan harta perkawinan. Demikianlah pendapat Hoge Raad dalam Arrest-nya tanggal 18 April 1947 dan 29 April 1949.27 Jadi apabila perjanjian kawin tidak di daftarkan maka untuk suami – isteri tetap mengikat bagi kedua belah pihak. Lain halnya jika tersangkut terhadap pihak ketiga, apabila perjanjian kawin tidak didaftarkan maka akibat hukumnya perjanjian kawin tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat
6. Teori Hukum a. Teori Kepastian Hukum Menurut aliran normatif – dogmatik yang dianut oleh John Austin dan van Kan, menganggap bahwa pada asasnya hukum adalah semata – mata untuk menciptakan kepastian hukum. Bahwa hukum sebagai sesuatu yang otonom atau hukum dalam bentuk peraturan tertulis. Artinya, karena hukum itu otonom sehingga tujuan hukum semata – mata untuk kepastian hukum dalam melegalkan kepastian hak dan kewajiban seseorang.28 Sifat umum dari aturan – aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata – mata untuk kepastian.29
Kepastian
hukum
sangat
diperlukan
untuk
menjamin ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat karena kepastian hukum (peraturan/ketentuan umum) mempunyai sifat sebagai berikut :30
27
Soetojo Prawirohamidjojo dan Aris Safiodin, op.cit, hlm. 83 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm.74 29 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm. 82-83 30 Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan Antitomi Nilai, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2007, hlm. 94-95 28
39
40
1) Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan peran alat – alatnya; 2) Sifat Undang – Undang yang berlaku bagi siapa saja Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang diberi sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit. Namun demikian dalam prakteknya apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan satu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip – prinsip keadilan dan sebaliknya tidak jarang pula keadilan mengabaikan prinsip – prinsip kepastian hukum. Kepastian
hukum
sebagaimana
keadilan
dan
kemanfaatan hukum, dimana seperti bentuk doktrin yang mengajarkan kepada setiap pelaksana dan penegak hukum untuk mendaya gunakan hukum yang sama pada kasus yang sama, demi terkendalikannya kepatuhan warga agar ikut menjadi ketertiban dalam setiap aspek kehidupan. Kepastian hukum menurut Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata mengharapkan terwujudnya kepastian hukum dalam hubungan kontraktual dengan melarang kontrak ditarik kembali selain sepakat kedua belah pihak atau harus ada alasan yang cukup menurut Undang – Undang,31 begitu pula halnya dengan suatu kesepakatan atas 31
Fakriansa, Perlindungan Hukum Terhadap Event Organizer dalam Kontrak Penyelenggaraan Konser Musik, Jurnal Penelitian Hukum, Vol,1 No. 2 Januari 2012, hlm. 218
40
41
pemisahan
harta
perkawinan
yang
dilakukan
setelah
perkawinan, diharapkan dengan teori Kepastian Hukum tidak adanya hukum yang kontradiktif, agar tidak multitafsir serta dapat dilaksanakan sesuai dengan hak dan kewajibannya. Kepastian hukum menurut Lon Fuller dalam buku The Morality of Law
harus ada kepastian antara peraturan dan
pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki bentuk dari perilaku, aksi, dan faktor – faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif dijalankan, dengan 8 (delapan) asasnya, yaitu :32 1) Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan – peraturan, tidak berdasarkan putusan – putusan sesat untuk hal – hal tertentu; 2) Peraturan tersebut diumumkan kepada publik; 3) Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem; 4) Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum; 5) Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan; 6) Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan; 7) Tidak boleh sering diubah – ubah; 8) Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari – hari. Menurut Utrecht, Kepastian Hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu Pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan Kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat
32
Lon Fuller, The Morality of Law, New Haven, Conn : Yale University Press, 1971, hlm. 54-58
41
42
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.33 Beberapa pengertian mengenai Kepastian Hukum : 1) “Kepastian Hukum berarti hal yang dapat ditentukan (bepaalbaarheid) dari hukum, dalam hal – hal yang konkrit. Pihak – pihak pencari keadilan (yustisiabelen) ingin mengetahui apakah hukum dalam suatu keadaan atau hal tertentu, sebelum ia memperoleh dengan perkara”.34 2) “Kepastian hukum berarti pula keamanan hukum, artinya melindungi para pihak terhadap kesewenang – wenangan Hakim”.35 3) Maria S W. Sumardjono, menyatakan bahwa : secara Normatif, Kepastian Hukum itu memerlukan tersedianya perangkat peraturan Perundang – Undangan yang secara operasional mampu mendukung pelaksanaannya. Secara Empiris, keberadaan peraturan Perundang – Undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.36 4) Menurut Bachtiar Effendi, sebagai berikut37 : (a) Kepastian mengenai orang atau Badan Hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah tersebut, kepastian hukum berkenan dengan siapakah pemegang hak atas tanah itu disebut dengan kepastian mengenai subjek hak atas tanah;
33
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 23 34 Van Apeldoorn, L.J. Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta : 1993, hlm. 105 35 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta : 1996, hlm. 134 36 Irawan Soerdjono, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Jakarta : 2002, hlm.177 37 Bachtiar Effendi, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung : 1993, hlm. 2021
42
43
(b) Kepastian mengenai letak tanah, batas – batas tanah, panjang dan lebar tanah, batas – batas dan panjang serta lebar tanah ini disebut dengan kepastian mengenai obyek hak atas tanah. 5) Peter machmud marzuki, menyatakan: bahwa kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu : (a) Pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan (b) Kedua berupa keamanan hukum bagi individu bagi kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal – pasal dalam undang – undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus yang telah diputuskan.38
b. Teori Keadilan Hukum dan keadilan adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, karena essensi hukum itu adalah keadilan. Gustav Radbruch, menyatakan bahwa cita hukum tidak lain dari pada keadilan (est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus). Menurut Ulpianus, justitia est perpetua et constans voluntas jus suum cuique tribuendi (keadilan adalah suatu keinginan yang terus-menerus
38
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008. hlm: 158
43
44
dan tetap untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya)”39. Hukum pada dasarnya dibentuk karena pertimbangan keadilan
(gerechtigkeit)
di
samping
kepastian
hukum
(rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit). Menurut Gustav Radbruch dari tiga tujuan hukum (yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum), keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama dari pada kepastian dan kemanfaatan. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian menempati peringkat 2 yang paling atas di antara tujuan yang lain. Ketiga tujuan hukum tersebut diuraikan sebagai berikut : 1) Keadilan dimulai dengan salah satu pilihan yang paling umum yang bisa dibuat orang bersama-sama, yakni dengan pilihan prinsip pertama dari konsepsi keadilan yang mengatur kritik lebih lanjut serta reformasi institusi40. Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan kepentingankepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya. bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan hukum. 2) Kemanfaatan pada dasarnya adalah salah satu bentuk asas yang perlu diperhatikan dalam pembuatan suatu hukum terlebih lagi suatu kepastian hukum. Kesimpulan dari kedua pendapat singkat tersebut yaitu asas doelmatigheid memiliki tingkat prioritas yang lebih tinggi dari pada asas 39
Darmodiharjo, Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka, 1995, hlm:154 40 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Op. Cit., hlm. 12.
44
45
rechtmatigheid. Sehingga dalam kondisi apapun ketika asas rechtmatigheid dan asas doelmatigheid ini sangat tidak sejalan bahkan menjadi nampak kontras sekali, maka asas doelmatigheidyang harus didahulukan. 3) Kepastian hukum adalah “scherkeit des rechts selbst” (kepastian tentang hukum itu sendiri) sesuatu yang baru, yaitu sejak hukum itu ditulis, dipositifkan, dan menjadi publik41.
Kepastian
hukum
yustisibel
terhadap
tindakan
masyarakat mengharapkan
merupakan sewenang
adanya
perlindungan –
wenang,
kepastian hukum,
karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum42. Kepastian hukum menyangkut masalah “law Sicherkeit durch das Recht” seperti memastikan, bahwa pencurian,
pembunuhan,
menurut
hukum
merupakan
kejahatan. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri. Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan kepentingan – kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya. Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan hukum43.
41
Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang – Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 292 42 Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum Suatu Pengantar,Yogyakarta: Liberty, 2003, hlm.160 43 Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, terdapat terdapat dalam http://www.badilag.net/data/artikel/wacana-hukum-islam/teori-keadilanprespektif-filsafat-hukum-islam.pdf diakses tanggal 2 November 2015
45
46
Keadilan adalah kebajikan utama dalam isntitusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran44. Ada 2 (dua) tujuan dari Teori Keadilan menurut John Rawls, yaitu45 : 1) Pertama, teori ini mau mengartikulasi sederet prinsip – prinsip umum keadilan yang mendasari dan menerangkan berbagai keputusan moral yang sungguh – sungguh dipertimbangkan dalam keadaan – keadaan khusus kita. “Keputusan Moral” adalah sederert evaluasi moral yang telah kita buat dan sekiranya menyebabkan tindakan sosial kita. Keputusan moral yang sungguh dipertimbangkan menunjuk pada evaluasi moral yang kita buat secaraa refleksif; 2) Kedua, Rawls mau mengembangkan suatu teori keadilan sosial yang lebih unggul atas teori utilitarianisme. Rawls memaksudkannya “rata – rata” (average utilitarianisme). Maksudnya adalah bahwa institusi sosial dikatakan adil jika diabdikan
untuk
memaksimalisasi
keuntungan
dan
kegunaan. Sedang utilitarianisme rata – rata memuat pandangan bahwa institusi sosial dikatakan adil jika hanya diabdikan untuk memaksimalisasi keuntungan rata – rata perkapita.
Untuk
“keuntungan”
di
kedua
versi
definisikan
utilitarianismetersebut
sebagai
kepuasan
atau
keuntungan yang terjadi melalui pilihan – pilihan. Rawls mengatakan bahwa dasar kebenaran teorinya membuat pandangannya
lebih
unggul
dibanding
kedua
versi
utilitarianisme tersebut. Prinsip – prinsip keadilan yang ia
44
John Rawls, A Theory of Justice Teori Keadilan Dasar – Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, ctk. Kedua, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2011, hlm. 3 45 Damanhuri Fattah, “Teori Keadilan menurut John Rawls”, Jurnal T APIs, Vol. 9 No.2, JuliDesember, 2013, hlm. 32-33
46
47
kemukakakn lebih unggul dalam menjelaskan keputusan moral etis atas keadilan sosial. Rawls memiliki hasil pemikiran yang tertuang dalam istilahnya yang terkenal yaitu “The Principles of Justice” (prinsip – prinsip keadilan). Prinsip Keadilan menurut Rawls terdiri dari 2 (dua) hal yaitu46 : A. Pertama, setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang; B. Ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa sehingga dapat diharapkan memberi keuntungan semua orang, dan semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.
c. Teori Perlindungan Hukum Teori Perlindungan hukum merupakan teori yang berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Kepentingan manusia adalah suatu tuntutan yang dilindungi dan dipenuhi oleh manusia dalam bidang hukum. Hukum sebagai pelindung kepentingan manusia berbeda dengan norma lain, karena hukum itu berisi perintah, larangan dan membagi antara hak serta kewajiban. Menurut Fitzgerald, Teori Perlindungan Hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasi berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan dilain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas
46
John Rawls, op.cit., hlm. 72
47
48
tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi47. Perlindungan Hukum dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu48 : 1) Perlindungan Hukum Preventif : Yaitu Perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah dengan
tujuan
untuk
mencegah
sebelum
terjadinya
pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang – undangan
dengan
maksud
untuk
mencegah
suatu
pelanggaran serta memberikan rambu – rambu atau batasan – batasan dalam melakukan suatu kewajiban; 2) Perlindungan Hukum Represif : Yaitu merupakan perlindungan akhir berupa sanksi, seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
d. Teori Sosiologis Jurisprudence Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada ”Kenyataan Hukum” daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books. Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai
47
http://digilib.unila.ac.id/569/7/BAB%2011.pdf, diakses pada tanggal 22 Februari 2015 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2004, hlm. 3 48
48
49
wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum49. 1) Fungsi Utama Hukum Fungsi utama hukum adalah untuk melindungi kepentingan yang ada dalam masyarakat. Menurut Roscoe Pound ada tiga kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu : -
public interest;
-
individual interest; dan
-
interest of personality. Rincian dari setiap kepentingan tersebut bukan
merupakan daftar yang mutlak tetapi berubah-ubah sesuai
perkembangan
masyarakat.
Jadi,
sangat
dipengaruhi oleh waktu dan kondisi masyarakat. Apabila kepentingan – kepentingan tersebut disusun sebagai susunan yang tidak berubah – ubah, maka susunan tersebut bukan lagi sebagai social engineering tetapi merupakan pernyataan politik (manifesto politik).
2) Tugas Utama Hukum Tugas utama hukum adalah rekayasa sosial (law as a tool of social engineering, Roscoe Pound). Hukum tidak saja dibentuk berdasarkan kepentingan masyarakat tetapi juga harus ditegakkan sedemikian rupa oleh para yuris sebagai upaya sosial kontrol dalam arti luas yang pelaksanaannya diorientasikan kepada perubahan – perubahan yang dikehendaki. Oleh karena itu, sangat dipengaruhi oleh komponen – komponen di luar hukum, maka para penegak hukum 49
http://sosiological.blogspot.co.id/2012/11/sosiological-jurisprudence_25.html diakses pada tanggal 15 April 2016
49
50
dalam
mewujudkan
tugas
utama
hukum
harus
memahami secara benar logika, sejarah, adat, istiadat, pedoman prilaku yang benar agar keadilan dapat ditegakkan. Keputusan hukum yang adil dapat digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan masyarakat. Tugas utama adalah sarana pembaharuan masyarakat dalam pembangunan.
3) Peran Strategis Hakim dalam Perspektif Sociological Jurisprudence Kehidupan hukum sebagai kontrol sosial terletak pada praktek pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut. Tugas hakim dalam menerapkan hukum tidak melulu dipahami sebagai upaya social control yang bersifat formal dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus mendisain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering. Tugas yudisial hakim tidak lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang – undang terhadap peristiwa konkrit (berupa berbagai kasus dan konflik) atau sebagai sekedar corong undang – undang (boncha de la loi) tetapi juga sebagai penggerak social engineering.
Para
penyelenggara
hukum
harus
memperhatikan aspek fungsional dari hukum yakni untuk
mencapai
perubahan,
dengan
melakukan
perubahan hukum selalu dengan menggunakan segala macam teknik penafsiran (teori hukum fungsional).
4) Teori Hukum Menurut Roscoe Pound “Law is a tool of social engineering” adalah apa yang dikatakan oleh Roscoe Pound terhadap hukum itu. Sama seperti apa yang dikatakan oleh Mochtar
50
51
Kusumaatmadja, hukum adalah keseluruhan asas – asas dan kaedah – kaedah yang mengatur masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan. Kedua ahli hukum ini memiliki pandangan yang sama terhadap hukum. Kepentingan negara adalah harus yang paling tinggi / atas dikarenakan negara mempunyai kepentingan nasional.
Kepentingan
nasional
tersebut
harus
melindungi kepentingan negara kemauan negara adalah kemauan publik. Karena hukum itu bukan seperti yang dikatakan oleh teori – teori positivis menghukum bahwa hukum
memiliki
sifat
tertutup.
Hukum
sangat
dipengaruhi oleh ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya. Tidak hanya sekedar kemauan pemerintan. Suatu logika yang terbuka, perkembangan kebutuhan masyarakat sangat mempengaruhi pertumbuhan hukum di dalam masyarakat. Politik sangat mempengaruhi pertumbuhan hukum di dalam masyarakat.
5) Fungsi Utama Hukum Salah
satu
masalah
yang
dihadapi
adalah
menemukan sistem dan pelaksanaan penegakan hukum yang dapat menjelmakan fungsi hukum dengan baik seperti fungsi kontrol sosial, fungsi menyelesaikan perselisihan, fungsi memadukan, fungsi memudahkan, fungsi pembaharuan, fungsi kesejahteraan dan lain – lain. Pada saat ini, perbedaan – perbedaan fungsi hukum tersebut, sering kali menjadi unsur yang mendorong timbulnya perbedaan mengenai tujuan menerapkan hukum. Ada yang lebih menekankan pada fungsi kontrol
51
52
sosial, atau fungsi perubahan, dan lain – lain. Kalau masing – masing pihak menuntut menurut keinginannya sendiri – sendiri maka yang timbul adalah permasalahan hukum
bukan
menimbulkan
penyelesaian konflik
yang
hukum. berkonotasi
Bahkan saling
menyalahkan, saling menuduh, dan lain – lain. Fungsi utama hukum adalah untuk melindungi kepentingan yang ada dalam masyarakat. Seperti yang dibahas pada topik sebelumnya dalam konteks kepentingan menurut Roscoe Pound. Rincian dari tiap – tiap kepentingan tersebut bukan merupakan daftar yang mutlak tetapi berubah – ubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Jadi, sangat dipengaruhi oleh waktu dan kondisi masyarakat. Apabila susunan kepentingan – kepentingan tersebut disusun sebagai susunan yang tidak berubah – ubah, maka susunan tersebut bukan lagi sebagai social engineering tetapi merupakan pernyataan politik (manifesto politik).
52
53
B. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian Tesis, Tahun 2011, Magister Kenotariatan Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, oleh Maharani Kartika Puji Karishma dengan judul
“AKIBAT
HUKUM
PERJANJIAN
KAWIN
YANG
DIBUAT SETELAH PERKAWINAN (Studi Kasus : Penetapan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska : Penetapan
Penngadilan
Negeri
Nomor
459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr).” Penulisan hukum ini mengkaji mengenai pertimbangan hakim dalam pemberian putusan terkait dalam Penetapan Pengadilan Negeri Nomor. 459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr, dan akibat hukum dari perjanjian perkawinan tersebut bagi pasangan suami istri serta bagi pihak ketiga setelah
dikeluarkannya
Penetapan
Pengadilan
Negeri
Nomor.
459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr. Persamaan dengan penelitian ini adalah perjanjian perkawinan ini dilakukan setelah perkawinan. Perbedaan dengan penelitian ini adalah hanya mengkaji mengenai akibatnya saja, tidak mengkaji mengenai kedudukan dari Penetapan Pengadilan Negeri tersebut. Penulisan hukum tersebut memberikan referensi mengenai pembuatan perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan dan didasarkan dengan adanya Penetapan Pengadilan Negeri, juga mengenai akibat hukum yang timbul dikemudian hari terhadap pihak yang membuatnya dan bagi pihak ketiga yang bersangkutan.
53
54
2. Penelitian Tesis, Tahun 2014, Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Udayana, oleh Kadek Dwi Tusidhi Cesaryanti dengan judul “AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DISAHKAN DI KANTOR CATATAN SIPIL BAGI WARGA NEGARA INDONESIA TERHADAP KEPEMILIKAN HAK
MILIK
ATAS
TANAH
DALAM
PERKAWINAN
CAMPURAN”. Penulisan hukum ini mengkaji keabsahan dari suatu Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil, dan akibat hukum dari tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan di Kantor Catatan Sipil terhadap pemilikan hak atas tanah bagi Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran. Persamaan dengan penelitian ini adalah membahas mengenai perlindungan kepemilikan hak milik atas tanah dalam perkawinan campuran, antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing yang dilakukan dengan membuat perjanjian perkawinan, sehingga Warga Negara Indonesia bisa memiliki kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia. Perbedaan dengan penelitian tersebut mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dengan mengajukan permohonan penetapan pisah harta dan disahkan oleh Hakim Pengadilan Agama. Penulisan hukum ini memberikan referensi mengenai perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan dengan Warga Negara Asing mengenai kepemilikan Hak Milik atas tanah di Indonesia.
54
55
3. Penelitian Tesis, Tahun 2013, Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas
Indonesia,
“PEMBATALAN SETELAH
oleh
AKTA
PERKAWINAN
Errica
Sujana
PERJANJIAN
dengan
judul
PERKAWINAN
BERLANGSUNG
(ANALISA
PENETAPAN NOMOR 277/PDT.P/2010/PN.TNG).” Penulisan hukum ini mengkaji mengenai pembatalan akta perjanjian
perkawinan
dapat
dilakukan
setelah
perkawinan
berlangsung, landasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
mengabulkan
permohonan
pembatalan
akta
perjanjian
perkawinan dan akibat hukum dari pembatalan akta perjanjian perkawinan tersebut bagi pasangan suami-istri yang bersangkutan maupun pihak ketiga setelah dikeluarkannya
penetapan oleh
Pengadilan Negeri. Persamaan dengan penelitian ini adalah permohonannya dilakukan setelah perkawinan berlangsung dengan mengajukan ke Pengadilan yang berwenang terlebih dahulu. Perbedaan dengan penelitian ini adalah permohonan yang dilakukan mengenai pembatalan akta perjanjian
perkawinan
yang
dilakukan
setelah
perkawinan
berlangsung. Penulisan hukum tersebut memberikan referensi mengenai permohonan mengenai pembatalan / penetapan perjanjian perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan dengan mengajukan permohonan ke Pengadilan yang berwenang dan juga mengenai akibat hukumnya bagi para pihak yang membuatnya serta pihak ketiga yang bersangkutan.
55
56
C. Kerangka Berpikir
Pasal 29 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Permohonan Penetapan Pemisahan Harta Perkawinan setelah Perkawinan
Pasangan Suami-Isteri WNA + WNI
Pengadilan Agama Surakarta
Penetapan Pemisahan Harta Perkawinan setelah Perkawinan
1. Teori Kepastian Hukum 2. Teori Perlindungan Hukum 3. Teori Keadilan
Mengikat
Para Pihak Yang membuat
Tidak Mengikat
Pihak Ketiga
Harta Perkawinan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
56
57
Keterangan : Calon pasangan suami – isteri sebelum atau pada saat melakukan perkawinan, dapat mengatur mengenai harta kekayannya, apakah sejak awal perkawinan akan ada pemisahan harta atau akan melakukan percampuran harta / persatuan bulat harta bawaan masing – masing, namun bila terjadi perceraian, diatur mengenai cara pembagiannya membuat perjanjian kawin. Sesuai dengan penjelasan dalam Pasal 29 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu pada waktu atau sebelum perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat membuat perjanjian perkawinan, dan disahkan bila tidak melanggar batas hukum, agama, kesusilaan. Perjanjian itu mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Namun pada prakteknya masih ada pasangan yang membuat perjanjian pemisahan harta kekayaan dalam perkawinannya setelah perkawinan berlangsung. Dengan tujuan untuk melindungi harta kekayaannya masing – masing, terutama apabila terjadi perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing, dimana jika tidak ada pemisahan harta Warga Negara Indonesia tidak bisa mempunyai kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia. Kasus disini menggunakan teori kepastian hukum, teori perlindungan hukum dan teori keadilan. Pemisahan Harta yang dilakukan setelah perkawinan dilakukan dengan cara mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama, yang kemudian akan ditetapkan oleh Hakim Pengadilan Agama. Setelah ditetapkan oleh Hakim Pengadilan Agama, Apa Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Surakarta dalam Penetapan Pengadilan Agama, Kedudukan Penetapan, dan Akibat Hukum dari Penetapan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska. Penulis dalam hal ini menggunakan teori kepastian hukum, teori perlindungan hukum, dan teori keadilan sebagai dasar jawaban dari analisis yang diangkat.
57