BAB 2
KAJIAN TEORI
2.1 Konsep Percaya Diri
Pernahkah anda mengalami krisis kepercayaan diri atau dalam bahasa sehari-hari "tidak pede" dalam menghadapi suatu situasi atau persoalan ? Hampir setiap orang pernah mengalami krisis kepercayaan diri dalam rentang kehidupannya, sejak masih anak-anak hingga dewasa bahkan sampai usia lanjut. Sudah tentu, hilangnya rasa percaya diri menjadi sesuatu yang amat mengganggu, terlebih ketika dihadapkan pada tantangan ataupun situasi baru. Individu sering berkata pada diri sendiri, "Dulu saya tidak penakut seperti ini... kenapa sekarang jadi begini ?". Ada juga yang berkata: "Kok saya tidak seperti dia yang selalu percaya diri... rasanya selalu saja ada yang kurang dari diri saya... saya malu menjadi diri saya !".
Menyikapi kondisi seperti tersebut diatas maka akan muncul pertanyaan dalam benak kita: mengapa rasa percaya diri begitu penting dalam kehidupan individu. Lalu apakah kurangnya rasa percaya diri dapat diperbaiki sehingga tidak menghambat perkembangan individu dalam menjalankan tugas sehari-hari maupun dalam hubungan interpersonal.
Percaya Diri (Self Confidence) adalah meyakinkan pada kemampuan dan penilaian (judgement) diri sendiri dalam melakukan tugas dan memilih pendekatan yang efektif. Hal ini termasuk kepercayaan atas kemampuannya menghadapi lingkungan yang semakin menantang dan kepercayaan atas keputusan atau pendapatnya. Orang yang tidak percaya diri akan merasa terus menerus jatuh, takut untuk mencoba, merasa ada yang salah dan khawatir (Elly Risman, 2003: 151).
Universitas Sumatera Utara
Rusaknya kepercayaan diri tidak dapat tumbuh dalam satu hari. Lingkungan banyak punya andil membentuknya. Elly Risman mengibaratkan jiwa manusia sebagai kendi tabungan tua, kakek, nenek, teman, guru, tetangga adalah orang-orang disekitar, yang mengisi atau bahkan menguras kendi itu.
2.1.1 Perkembangan Rasa Percaya Diri
2.1.1.1 Pola Asuh
Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam kehidupan bersama orangtua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi di usia dini, merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri. Sikap orangtua, akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. Orangtua yang menunjukkan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak, akan membangkitkan rasa percara diri pada anak tersebut. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orangtuanya. Dan, meskipun ia melakukan kesalahan, dari sikap orangtua anak melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak dicintai dan dihargai bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan baiknya, namun karena eksistensinya. Di kemudian hari anak tersebut akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri seperti orangtuanya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya.
2.1.1.2 Pola Pikir Negatif
Dalam hidup bermasyarakat, setiap individu mengalami berbagai masalah, kejadian, bertemu orang-orang baru, dsb. Reaksi individu terhadap seseorang atau pun sebuah peristiwa, amat dipengaruhi oleh cara berpikirnya. Individu dengan rasa percaya diri
Universitas Sumatera Utara
yang lemah, cenderung mempersepsikan segala sesuatu dari sisi negatif. Ia tidak menyadari bahwa dari dalam dirinyalah semua negativisme itu berasal. Pola pikir individu yang kurang percaya diri, bercirikan antara lain:
1. Menekankan keharusan-keharusan pada diri sendiri ("saya harus bisa begini...saya harus bisa begitu"). Ketika gagal, individu tersebut merasa seluruh hidup dan masa depannya hancur.
2. Cara berpikir totalitas dan dualisme: "kalau saya sampai gagal, berarti saya memang jelek".
3. Pesimistik yang futuristik: satu saja kegagalan kecil, individu tersebut sudah merasa tidak akan berhasil meraih cita-citanya di masa depan. Misalnya, mendapat nilai C pada salah satu mata kuliah, langsung berpikir dirinya tidak akan lulus sarjana.
4. Tidak kritis dan selektif terhadap self criticism: suka mengkritik diri sendiri dan percaya bahwa dirinya memang pantas dikritik.
5. Labeling: mudah menyalahkan diri sendiri dan memberikan sebutan-sebutan negatif, seperti "saya memang bodoh...", "saya ditakdirkan untuk jadi orang susah...", dsb.
6. Sulit menerima pujian atau pun hal-hal positif dari orang lain. Ketika orang memuji secara tulus, individu langsung merasa tidak enak dan menolak mentah-mentah pujiannya. Ketika diberi kesempatan dan kepercayaan untuk menerima tugas atau peran yang penting, individu tersebut langsung menolak dengan alasan tidak pantas dan tidak layak untuk menerimanya.
7. Suka mengecilkan arti keberhasilan diri sendiri: senang mengingat dan bahkan membesar-besarkan kesalahan yang dibuat, namun mengecilkan keberhasilan yang pernah diraih. Satu kesalahan kecil, membuat individu langsung merasa menjadi orang tidak berguna.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Memupuk Rasa Percaya Diri
Untuk menumbuhkan rasa percaya diri yang proporsional maka individu harus memulainya dari dalam diri sendiri. Hal ini sangat penting mengingat bahwa hanya individu yang bersangkutan yang dapat mengatasi rasa kurang percaya diri yang sedang dialaminya. Beberapa saran berikut mungkin layak menjadi pertimbangan jika anda sedang mengalami krisis kepercayaan diri.
2.1.2.1 Evaluasi Diri Secara Obyektif
Belajar menilai diri secara obyektif dan jujur. Susunlah daftar "kekayaan" pribadi, seperti prestasi yang pernah diraih, sifat-sifat positif, potensi diri baik yang sudah diaktualisasikan maupun yang belum, keahlian yang dimiliki, serta kesempatan atau pun sarana yang mendukung kemajuan diri. Sadari semua aset-aset berharga anda dan temukan aset yang belum dikembangkan. Pelajari kendala yang selama ini menghalangi perkembangan diri anda, seperti: pola berpikir yang keliru, niat dan motivasi yang lemah, kurangnya disiplin diri, kurangnya ketekunan dan kesabaran, tergantung pada bantuan orang lain, atau pun sebab-sebab eksternal lain. Hasil analisa dan pemetaan terhadap SWOT (Strengths, Weaknesses, Obstacles and Threats) diri, kemudian digunakan untuk membuat dan menerapkan strategi pengembangan diri yang lebih realistik.
2.1.2.2 Beri Penghargaan yang Jujur Terhadap Diri
Sadari dan hargailah sekecil apapun keberhasilan dan potensi yang anda miliki. Ingatlah bahwa semua itu didapat melalui proses belajar, berevolusi dan transformasi diri sejak dahulu hingga kini. Mengabaikan/meremehkan satu saja prestasi yang pernah diraih, berarti mengabaikan atau menghilangkan satu jejak yang membantu anda menemukan jalan yang tepat menuju masa depan. Ketidakmampuan menghargai diri sendiri, mendorong munculnya keinginan yang tidak realistik dan berlebihan, contoh: ingin cepat kaya, ingin cantik, populer, mendapat jabatan penting dengan
Universitas Sumatera Utara
segala cara. Jika ditelaah lebih lanjut semua itu sebenarnya bersumber dari rasa rendah diri yang kronis, penolakan terhadap diri sendiri, ketidakmampuan menghargai diri sendiri hingga berusaha mati-matian menutupi keaslian diri.
2.1.2.3 Positive Thinking
Cobalah memerangi setiap asumsi, prasangka atau persepsi negatif yang muncul dalam benak anda. Anda bisa katakan pada diri sendiri, bahwa nobody is perfect dan it's okay if I made a mistake. Jangan biarkan pikiran negatif berlarut-larut karena tanpa sadar pikiran itu akan terus berakar, bercabang dan berdaun. Semakin besar dan menyebar, makin sulit dikendalikan dan dipotong. Jangan biarkan pikiran negatif menguasai pikiran dan perasaan anda. Hati-hatilah agar masa depan anda tidak rusak karena keputusan keliru yang dihasilkan oleh pikiran keliru. Jika pikiran itu muncul, cobalah menuliskannya untuk kemudian di review kembali secara logis dan rasional. Pada umumnya, orang lebih bisa melihat bahwa pikiran itu ternyata tidak benar.
2.1.2.4 Gunakan Self Affirmation
Untuk memerangi negative thinking, gunakan self affirmation yaitu berupa kata-kata yang membangkitkan rasa percaya diri. Contohnya:
1. Saya pasti bisa !!! 2. Saya adalah penentu dari hidup saya sendiri. Tidak ada orang yang boleh menentukan hidup saya ! 3. Saya bisa belajar dari kesalahan ini. Kesalahan ini sungguh menjadi pelajaran yang sangat berharga karena membantu saya memahami tantangan. 4. Sayalah yang memegang kendali hidup ini. 5. Saya bangga pada diri sendiri.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.5 Berani Mengambil Risiko
Berdasarkan pemahaman diri yang obyektif, anda bisa memprediksi risiko setiap tantangan yang dihadapi. Dengan demikian, anda tidak perlu menghindari setiap risiko, melainkan lebih menggunakan strategi-strategi untuk menghindari, mencegah ataupun mengatasi risikonya. Contohnya, anda tidak perlu menyenangkan orang lain untuk menghindari risiko ditolak. Jika anda ingin mengembangkan diri sendiri (bukan diri seperti yang diharapkan orang lain), pasti ada risiko dan tantangannya. Namun, lebih buruk berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa daripada maju bertumbuh dengan mengambil risiko. Ingat: No Risk, No Gain.
2.1.2.6 Belajar Mensyukuri dan Menikmati Rahmat Tuhan
Ada pepatah mengatakan yang mengatakan orang yang paling menderita hidupnya adalah orang yang tidak bisa bersyukur pada Tuhan atas apa yang telah diterimanya dalam hidup. Artinya, individu tersebut tidak pernah berusaha melihat segala sesuatu dari kaca mata positif. Bahkan kehidupan yang dijalaninya selama ini pun tidak dilihat sebagai pemberian dari Tuhan. Akibatnya, ia tidak bisa bersyukur atas semua berkat, kekayaan, kelimpahan, prestasi, pekerjaan, kemampuan, keahlian, uang, keberhasilan, kegagalan, kesulitan serta berbagai pengalaman hidupnya. Ia adalah ibarat orang yang selalu melihat matahari tenggelam, tidak pernah melihat matahari terbit. Hidupnya dipenuhi dengan keluhan, rasa marah, iri hati dan dengki, kecemburuan, kekecewaan, kekesalan, kepahitan dan keputusasaan. Dengan "beban" seperti itu, bagaimana individu itu bisa menikmati hidup dan melihat hal-hal baik yang terjadi dalam hidupnya ? Tidak heran jika dirinya dihinggapi rasa kurang percaya diri yang kronis, karena selalu membandingkan dirinya dengan orang-orang yang membuat "cemburu" hatinya. Oleh sebab itu, belajarlah bersyukur atas apapun yang anda alami dan percayalah bahwa Tuhan pasti menginginkan yang terbaik untuk hidup anda.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.7 Menetapkan Tujuan yang Realistik
Anda perlu mengevaluasi tujuan-tujuan yang anda tetapkan selama ini, dalam arti apakah tujuan tersebut sudah realistik atau tidak. Dengan menerapkan tujuan yang lebih realistik, maka akan memudahkan anda dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian anda akan menjadi lebih percaya diri dalam mengambil langkah, tindakan dan keputusan dalam mencapai masa depan, sambil mencegah terjadinya risiko yang tidak diinginkan.
2.1.3 Indikator Percaya Diri/Rasa Percaya Diri
Indikator percaya diri adalah merupakan suatu hasil yang nampak pada diri seseorang. Contohnya apabila seseorang berani melakukan suatu aktivitas dan kelihatannya ia tidak ragu memilih dan membuat apa yang harus dibuatnya. Berikut beberapa indikator kepercayaan diri:
1. Tampil Percaya Diri. Bekerja sendiri tanpa perlu supervisi, mengambil keputusan tanpa perlu persetujuan orang lain.
2. Bertindak Independen. Bertindak di luar otoritas formal agar pekerjaan bisa terselesaikan dengan baik, namun hal ini dilakukan demi kebaikan, bukan karena tidak mematuhi prosedur yang berlaku.
3. Menyatakan Keyakinan atas Kemampuan Sendiri. Menggambarkan dirinya sebagai seorang ahli, seseorang yang mampu mewujudkan sesuatu menjadi kenyataan, seorang penggerak, atau seorang narasumber. Secara eksplisit menunjukkan kepercayaan akan penilaiannya sendiri. Melihat dirinya lebih baik dari orang lain.
Universitas Sumatera Utara
4. Memilih Tantangan atau Konflik. Menyukai tugas-tugas yang menantang dan mencari tanggung jawab baru. Bicara terus terang jika tidak sependapat dengan orang lain yang lebih kuat, tetapi mengutarakannya dengan sopan. Menyampaikan pendapat dengan jelas dan percaya diri walaupun dalam situasi konflik.
2.2 Inferioritas
Menurut pemahaman umum, inferioritas itu adalah minder. Dalam kamus bahasa Indonesia, inferioritas itu diartikan dengan rasa rendah diri. Inferioritas adalah perasaan yang relatif tetap (persistent) tentang ketidakmampuan diri atau munculnya kecenderungan untuk merasa kurang atau menjadi kurang, self diminishment (Encyclopedia Britannica: 2006).
Dalam literatur olahraga, orang disebut minder apabila orang itu tidak sanggup menunjukkan kebolehannya secara optimal karena tidak bisa mendamaikan konflik antara keinginan untuk mendapatkan pengakuan dan keinginan untuk menghindari hinaan atau takut cercaan (Sports Science and Medicine: 2007).
Dalam praktiknya, ada keminderan yang sifatnya spesifik atau di bidang tertentu atau di wilayah hidup tertentu. Misalnya saja anda merasa rendah diri ketika menghadiri acara tertentu, perlombaan tertentu atau tes tertentu. Konon, Napoleon Bonaparte itu sangat minder ketika diminta untuk menjawab ujian lisan. Padahal, Napoleon adalah sosok pemberani di lapangan pertempuran. Banyak orang yang enak berbicara di situasi tertentu tetapi merasa minder ketika diminta berbicara di situasi yang berbeda. Ini contoh keminderan yang sifatnya spesifik.
Ada yang disebut dengan istilah primary dan secondary inferiority. Keminderan primer adalah keminderan yang adanya terletak di wilayah kepribadian kita yang paling dalam (core personality). Biasanya ini terkait dengan nilai-nilai yang kita anut, atau motif. Keminderan primer biasa disebut juga dengan keminderan general. Sedangkan keminderan sekunder itu adalah bentuk keminderan yang letaknya
Universitas Sumatera Utara
berada di wilayah kepribadian yang di permukaan. Biasanya ini terkait dengan pengetahuan, keahlian, informasi, atau sikap. Misalnya saja kita minder berdampingan dengan orang yang lebih alim, lebih hebat, atau lebih banyak menguasai informasi. Keminderan sekunder ini biasanya lebih mudah diubah ketimbang keminderan primer. Umumnya, keminderan primer itu adanya di alam bawah sadar kita. Sedangkan keminderan sekunder itu adanya di alam sadar kita.
Hal lain lagi yang perlu kita ketahui juga terkait dengan keminderan ini adalah, ada bentuk keminderan tertentu yang berasal dari opini kita tentang diri kita (perseptual). Keminderan perseptual itu misalnya kita punya penilaian yang kurang atau penilaian yang negatif tentang diri sendiri. Banyak orang yang menilai dirinya tidak mampu padahal sebetulnya kemampuan itu dimiliki. Ada juga keminderan faktual, misalnya terkait dengan kecacatan fisik, kelas ekonomi, status sosial, dan seterusnya.
Bahkan kalau melihat literatur psikologi, di sana ada yang disebut keminderan personal dan keminderan sosial. Keminderan sosial adalah berbagai bentuk keminderan yang dialami oleh masyarkat atau bangsa tertentu. Kita sering mendengar bahwa bangsa kita ini termasuk bangsa yang minder (secara mental dan kultural) dibanding dengan bangsa lain yang sudah maju.
2.2.1 Indikator Inferioritas
Mengacu pada catatan Gilmer (1975), tanda-tanda inferioritas yaitu antara lain:
1. Punya reaksi yang berlebihan terhadap kritik. 2. Punya kecenderungan untuk merasa dikritik. 3. Menghindari orang lain. 4. Punya respon positif terhadap bujukan, iming-iming yang tidak rasional, pujian atau sanjungan yang sifatnya menjilat atau mencari muka. 5. Kebaikan yang didasari kelemahan. 6. Cenderung menjelek-jelekkan atau mengkritik (kritik destruktif) orang lain.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Sebab dan Akibat
Keminderan itu dapat menghambat keinginan kita untuk berprestasi ke tingkat yang kita inginkan. Seringkali keminderan itulah yang menghambat upaya kita untuk menjadi sosok yang kita inginkan. Semua orang menginginkan kesuksesan, tetapi sayangnya hanya sedikit orang yang sanggup mengalahkan ketakutannya untuk menjadi sukses.
Bentuk ketakutan kita itu antara lain: takut adanya risiko-risiko yang belum tentu terjadi, takut dengan "jangan-jangan", tidak pede dalam mengambil keputusan atau melangkah, rakus pada orang lain, berjiwa kerdil, mudah kalut menghadapi realitas karena tidak yakin dengan hukum pembalasan, dan lain-lain. Secara umum, efek keminderan itu terkait dengan tiga hal berikut ini:
1. Menghambat kemampuan kita dalam mengembangkan pontensi atau dalam merealisasikan keinginan (visi).
2. Menghambat kemampuan kita dalam berinteraksi dengan orang lain.
3. Menghambat kemampuan kita dalam menghadapi realitas (hidup).
Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kadar keminderan kita, berarti semakin buruk kemampuan kita di dalam tiga hal itu. Sebaliknya, semakin rendah kadar keminderan kita, berarti kemampuan kita di dalam merealisasikan potensi, kemampuan kita dalam bergaul, dan kemampuan kita dalam menghadapi realitas pun semakin bagus. Kalau melihat kerangka kerja kecerdasan emosional (The Bar on Model of EQ), munculnya keminderan itu merupakan bukti adanya hubungan Intrapersonal yang perlu diperbaiki di beberapa bagian. Tanda-tanda orang yang punya Intrapersonal bagus itu antara lain adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Self-Regard: punya persepsi, punya pemahaman, dan punya penerimaan-diri yang akurat.
2. Emotion Self Awareness: punya kesadaran terhadap berbagai emosi yang muncul di dalam dirinya.
3. Assertiveness:
punya
kemampuan
mengekspresikan
perasaan
secara
konstruktif dan efektif.
4. Independence: punya kematangan dan keberlimpahan emosi, bahagia dengan dirinya sendiri, mandiri.
5. Self
Actualization:
punya
tujuan
yang
terus
direalisasikan
dengan
mengembangkan potensinya.
Apa sajakah yang menjadi peyebab kita menjadi orang yang inferior terhadap diri kita ? Untuk inferioritas yang sifatnya general, primer atau mental, sebab-sebab yang umum itu antara lain:
1. Pola asuh dan pola perlakuan keluarga yang kita terima sewaktu masih kecil. Keluarga yang banyak menanamkan opini negatif, penilaian negatif, atau pikiran negatif bisa menjadi salah satu sumber inferioritas.
2. Koreksi, evaluasi, peringatan atau pola mendidik yang cenderung menghakimi saat kita kecil juga bisa menjadi sumber keminderan.
3. Kecacatan fisik.
4. Pembatasan mental, baik yang kita lakukan sendiri atau yang dilakukan keluarga dan lingkungan. Ini misalnya kita selalu dibandingkan dengan orang lain yang bukan bandingannya atau diberi target yang melebihi ukuran proporsional sampai kita sering merasa putus asa.
Universitas Sumatera Utara
5. Hukum kehidupan sosial yang berlaku di masyarakat tempat kita hidup. Misalnya saja terkait dengan perbedaan jender, kaya-miskin, darah biru-darah tidak biru, dan lain-lain.
Bagaimana dengan keminderan sekunder atau yang sifatnya kondisional spesial. Sebagian besar, itu berangkat dari opini kita sendiri atau penilaian kita terhadap diri kita. Semua orang punya kebebasan untuk menciptakan opini apapun atau penilaian apapun terhadap dirinya. Yang membedakan adalah: ada penilaian yang sifatnya mencerahkan atau mendorong kemajuan dan ada penilaian yang sifatnya menggelapkan atau menghambat kemajuan kita.
2.2.3 Solusi Untuk Mengurangi Inferioritas
Adakah orang yang tidak punya inferioritas sama sekali ? Kalau yang kita pakai rujukan adalah kehidupan manusia, tentunya hampir bisa dikatakan tidak ada. Semua manusia memiliki perasaan demikian. Bedanya, ada yang stadiumnya rendah, menengah dan tinggi. Ada yang general dan ada yang spesifik, ada yang primer dan ada yang sekunder, ada yang personal dan ada yang sosial (kultural).
Karena itu, tugas kita sebetulnya bukanlah menghilangkannya dari diri kita (karena ini tidak mungkin). Tugas kita adalah mengurangi atau melawan dan menggunakannya untuk kebaikan. Kalau melihat ajaran agama, tidak ada perintah yang tegas agar kita menjadi orang yang pemberani setegas perintah agar kita menjadi orang yang tidak takut. Kalimatnya adalah: jangan takut dan jangan sedih.
Tidak takut berbeda dengan pemberani. Tidak takut itu sudah melalui proses kesadaran dan perlawanan. Sedangkan pemberani, belum tentu. Bahkan jika keberanian itu mengarah ke agresivitas dan impulsivitas, keberanian yang seperti ini justru timbul dari ketakutan atau keminderan. Mark Twain sendiri mengatakan bahwa keberanian itu adalah kemampuan anda dalam menguasai rasa takut, bukan menghilangkan rasa takut. Berikut beberapa solusi untuk mengurangi dan melawan inferioritas:
Universitas Sumatera Utara
Pertama, mendeteksi dan menerima. Dari sekian bentuk keminderan itu, manakah yang paling dekat dengan kita, manakah yang benar-benar kita rasakan dampak buruknya, manakah yang benar-benar kita merasa terhambat ? Proses deteksi ini bisa kita lakukan sendiri dan bisa melalui bantuan orang lain. Orang lain ini bisa personal dan bisa institusi (lembaga). Bahkan sekarang ini sudah banyak lembaga yang menawarkan jasa melalui internet. Setelah kita berhasil mendeteksi, barulah kita menyusun persiapan mental untuk menerimanya. Sejauh kita belum bisa menerima, kita akan masih kesulitan untuk menguasainya, melawannya, atau memperbaikinya. Mana mungkin kita akan memperbaiki sesuatu yang tidak kita temukan kesalahannya atau kekurangannya. Menerima adalah syarat untuk bisa memperbaiki. Jadi, menerima di sini bukan tujuan akhir, melainkan proses untuk bisa memperbaiki.
Kedua, mulai memperbaiki image diri, potret diri, atau konsepsi diri. Ini semua adalah serangkaian opini, perasaan dan keyakinan tertentu yang kita ciptakan untuk diri kita. Artinya, kita perlu mengecek seperti apa kita mempersepsikan diri sendiri atau menilai diri sendiri. Orang yang menilai dirinya belum pantas berhasil di bidang tertentu dengan standar tertentu akan melakukan sesuatu berdasarkan penilaiannya itu. Orang yang belum mengalahkan ketakutannya untuk menjadi pengusaha (misalnya begitu), karena merasa belum pantas atau lainnya, tidak mungkin akan mengambil keputusan untuk menjadi pengusaha. Sama juga seperti orang yang mau menikah. Orang yang menilai dirinya belum memiliki alasan yang kuat dan tepat untuk menikah, sangat sulit untuk mengambil keputusan menikah. Susah atau mudah, memperbaiki self image ini penting. Kegagalan lembaga pendidikan formal dalam mencetak SDM (Sumber Daya Manusia) yang handal adalah terkait juga dengan kurikulumnya. Kurikulum sekolah sebaiknya didesain dengan menekankan empat unsur di bawah ini:
1. Perbaikan citra diri dan perkembangan pribadi. 2. Pelatihan keterampilan hidup. 3. Belajar tentang cara belajar dan cara berpikir. 4. Pembekalan kemampuan akademik, fisik, dan artistik yang spesifik.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, lawanlah ketakutan itu dengan kesadaran (full consciousness). Jangan melawan ketakutan untuk berbicara di depan orang lain dengan berbicara seenaknya, lepas kontrol atau berbicara sembarangan. Jangan melawan ketakutan untuk berkreasi atau berusaha dengan langsung mengundurkan diri dari pekerjaan sekarang tanpa perhitungan atau dengan melanggar tatanan organisasi. Jangan melawan ketakutan pada pasangan (suami-istri) dengan perlawanan yang arogan dan agresif. Jangan melawan ketakutan untuk maju dengan memunculkan ambisi dan kerakusan yang berlebihan. Ini semua seringkali malah mengantarkan kita pada keminderan dan ketakutan dalam bentuk yang lain. Jadi bagaimana melawan ketakutan dengan kesadaran itu ? Kesadaran di sini maksudnya adalah: kita tahu akan kapasitas kita (berdasarkan ukuran pengetahuan dan pengalaman) dan kita pun tahu bahwa yang menjadi hambatan buat kita adalah munculnya ketakutan dan keminderan itu. Melawan ketakutan dengan kesadaran bukanlah melawan ketakutan kita terhadap orang lain atau berani melawan orang lain, tetapi lebih pada melawan ketakutan kita sendiri.
Keempat, temukan orang lain yang bisa membantu, temukan orang lain yang bisa kita jadikan contoh, temukan orang lain yang mengajak kita untuk melawan ketakutan itu, temukan orang lain yang bisa memperkuat keyakinan kita, temukan orang lain yang bisa mengajari kita. Orang lain yang kira-kira bisa memainkan peranan seperti ini tentunya ada, meskipun perlu kita cari. Tapi, selain perlu menemukan orang lain itu, yang penting di sini juga kesediaan kita untuk diajari, dibimbing, diberi masukan, diarahkan, mencontoh, mengambil pelajaran, membuka diri, dan lain-lain. Tidak semua perbaikan diri itu bisa kita lakukan tanpa orang lain.
Kelima, refresh pemahaman keimanan. Untuk ketakutan dan keminderan yang punya efek ke hal-hal vital dalam hidup kita, misalnya takut menghadapi realitas, takut mengambil keputusan penting, dll. maka me-refresh pemahaman keimanan menjadi penting. Selama ini kita hanya puas menerima pemahaman keimanan dari kulitnya padahal isinya pun sudah kita ketahui, karena itulah perlu adanya refresh. Kulitnya keimanan adalah menerima kebenaran dengan lisan, hati dan tindakan. Tindakan pun kita batasi hanya pada beberapa prilaku yang diatur oleh agama (institusional). Isinya adalah melakukan hal-hal yang benar berdasarkan kebenaran
Universitas Sumatera Utara
yang kita yakini sampai kita tidak takut dan tidak bersedih oleh berbagai risiko sementara (misalnya gagal, sulit, rugi, dll.). Jadi misalnya kita takut untuk menjadi pengusaha padahal (menurut anda) semua resource dan kapasitas sudah kita miliki. Kita sudah melakukan hal-hal yang benar (kerja keras, membangun network, kreatif, tidak mencuri, tidak melakukan tindakan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tidak memakai keuntungan untuk berfoya-foya dalam dosa), maka ketakutan seperti ini perlu dikalahkan oleh keimanan esensial itu sampai muncul sebuah kesimpulan bahwa semua yang kita lakukan itu pasti akan mendapatkan balasannya. Kepastian batin ini biasanya dihasilkan dari refreshment yang kita lakukan.
2.3 Konsep Prestasi Belajar Prestasi belajar pada dasarnya adalah hasil akhir yang diharapkan dapat dicapai setelah seseorang belajar. Menurut Ahmad Tafsir yang dikutip oleh Abu Muhammad Ibnu Adullah (2008), hasil belajar yang diharapkan itu merupakan suatu target atau tujuan pembelajaran yang meliputi 3 (tiga) aspek yaitu:
1. Tahu, mengetahui (knowing), 2. Terampil melaksanakan atau mengerjakan yang ia ketahui itu (doing), dan 3. Melaksanakan yang ia ketahui itu secara rutin dan konsekuen (being).
Adapun menurut Benjamin S. Bloom, sebagaimana yang dikutip oleh Abu Muhammad Ibnu Abdullah (2008), bahwa hasil belajar diklasifikasikan ke dalam tiga ranah yaitu:
1. Ranah kognitif (cognitive domain), 2. Ranah afektif (affective domain), dan 3. Ranah psikomotor (psychomotor domain).
Bertolak dari kedua pendapat tersebut di atas, penulis lebih cenderung berpedoman kepada pendapat Benjamin S. Bloom. Kecenderungan ini didasarkan pada alasan bahwa ketiga ranah yang diajukan lebih terukur, dalam artian bahwa
Universitas Sumatera Utara
untuk mengetahui prestasi belajar yang dimaksudkan mudah dan dapat dilaksanakan, khususnya pada pembelajaran yang bersifat formal. Sedangkan ketiga aspek tujuan pembelajaran yang diajukan oleh Ahmad Tafsir sangat sulit untuk diukur. Walaupun pada dasarnya bisa saja dilakukan pengukuran untuk ketiga aspek tersebut, namun ia membutuhkan waktu yang tidak sedikit, khususnya pada aspek being, di mana proses pengukuran aspek ini harus dilakukan melalui pengamatan yang berkelanjutan sehingga diperoleh informasi yang meyakinkan bahwa seseorang telah benar-benar melaksanakan apa yang ia ketahui dalam kesehariannya secara rutin dan konsekuen.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis berkesimpulan bahwa jenis prestasi belajar itu meliputi 3 (tiga) ranah atau aspek, yaitu:
1. Ranah kognitif (cognitive domain), 2. Ranah afektif (affective domain), dan 3. Ranah psikomotor (psychomotor domain).
Adapun pengertian ke tiga domain tersebut menurut Sudjana (1989: 22) adalah “Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi dan internalisasi. Ranah psikomotor berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan berkemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris yakni (a)gerakan refleks, (b) keterampilan gerakan dasar, (c)kemampuan konseptual, (d)keharmonisan atau ketepatan, (e)gerakan keterampilan kompleks, dan (f)gerakan ekspresif dan interpretatif.”
Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar ialah dengan melihat indikator-indikatornya dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan atau diukur.
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Tes Kemampuan Afektif Tes kemampuan afektif merupakan jenis tes prestasi belajar yang diarahkan untuk mengetahui tingkat penguasaan aspek afektif pada pelajar. Aspek afektif adalah aspek yang berkaitan dengan sikap dan nilai-nilai positif yang dimiliki siswa. Dalam hal ini kita mencoba untuk mengukur tingkat perubahan sikap dan nilai-nilai positif yang dimiliki siswa dari sebelum belajar dan setelah selesai belajar. Tes prestasi belajar pada aspek afektif ini terkait dengan moral, tingkah laku, kesehatan, dan berbagai nilai positif yang dimiliki sebagai bagian bangsa yang beradab. Seperti kita ketahui, setiap individu mempunyai kondisi awal yang berbeda sebab lingkungan hidup mereka yang berbeda. Pada umumnya, ketika pelajar mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran, tingkat kemampuannya dalam aspek afektif belum begitu maksimal. Bahkan, beberapa dari mereka sangat parah pola kehidupannya. Tetapi dengan mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran, maka kondisi tersebut dapat diubah. Dan, untuk mengetahui hasil proses pendidikan dan pembelajaran, maka diberlakukan tes prestasi belajar.
2.3.2 Tes Kemampuan Kognitif
Tes kemampuan kognitif merupakan jenis tes prestasi belajar yang terkait dengan pengetahuan hasil belajar. Selama proses belajar yang diikuti, pelajar mendapatkan berbagai macam pengetahuan yang sangat berguna bagi kehidupan. Pengetahuan inilah yang diharapkan dapat menjadi bekal menghadapi kehidupan yang lebih baik.
2.3.3 Tes Kemampuan Psikomotorik Tes kemampuan psikomotor adalah terkait dengan keterampilan yang didapatkan dari proses pendidikan dan pembelajaran. Dengan mengetahui tingkat kemampuan ini, maka kita dapat menentukan tingkat kemampuan pelajar untuk melakukan praktik bekerja, melakukan kegiatan kerja.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Hipotesis
Dari kajian teori-teori diatas, dapat kita simpulkan jawaban sementara dari permasalahan ini, yaitu:
1. Kepercayaan diri dan inferioritas berkorelasi negatif, dimana semakin tinggi tingkat kepercayaan diri maka semakin rendah tingkat inferioritasnya. Sebaliknya, jika tingkat kepercayaan diri semakin rendah maka semakin tinggi tingkat inferioritasnya.
2. Kepercayaan diri dan inferioritas memiliki pengaruh terhadap prestasi belajar, baik pengaruh secara gabungan maupun sendiri-sendiri (parsial).
3. Anggapan banyak orang selama ini adalah inferioritas sama dengan kepercayaan diri yang rendah. Namun dari teori-teori diatas dapat kita lihat bahwa keduanya berbeda. Kepercayaan diri yang rendah lebih bersifat menyeluruh/universal. Sedangkan inferioritas hanya pada bagian-bagian tertentu dalam diri seseorang.
Universitas Sumatera Utara