7
BAB 2 EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI SELULOSA KULIT ROTAN DENGAN METODA FERMENTASI Pendahuluan Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumber daya alam terbarukan yang melimpah yaitu tanaman yang mengandung serat yang sangat besar beserta limbah biomassa pertanian. Tanaman serat menghasilkan serat alami yang tersusun atas selulosa dan dapat dimanfaatkan untuk tujuan komersil yaitu sebagai bahan baku industri. Pemanfaatan tanaman serat dibeberapa negara telah lama dilakukan dan merupakan salah satu perintis industri pengolahan. Kemajuan teknologi telah memungkinkan manusia untuk memanfaatkan serat sintetis dari polimer rantai panjang sehingga pemanfaatan serat sintetis tersebut telah mengurangi penggunaan tanaman serat. Hal ini dikarenakan serat sintetis yang dihasilkan memiliki sifat seperti serat alami sedangkan penggunaan serat alami dalam jumlah besar menemukan kendala dalam budidaya serta kualitas yang tidak seragam. Salah satu tanaman yang memiliki potensi menghasilkan selulosa adalah tanaman rotan. Batang rotan adalah hasil utama dari pertanian rotan sedangkan kulit rotan merupakan limbah padat yang banyak mengandung selulosa (Sisworo 2009). Serat yang berasal dari kulit rotan merupakan sumber penghasil serat alami baru yang dapat dimanfaatkan selain tanaman penghasil serat lain seperti kapas, kenaf, rami dan lainnya. Selain berharga murah dan belum banyak dimanfaatkan, kulit rotan mengandung selulosa yang dapat diekstrak dengan menghilangkan jaringan non selulosa melalui proses fermentasi. Sampai saat ini pemanfaatan kulit rotan masih relatif terbatas yaitu dibakar, digunakan sebagai tali yang dijual di pasar, dan dimanfaatkan sebagai atap rumah petani rotan. Pembakaran kulit rotan menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dan pemanfaatan kulit rotan ini masih dapat dioptimalkan sebagai serat alam pengganti serat sintetis. Serat digunakan secara luas dalam berbagai macam industri diantaranya industri tekstil, material konstruksi, peralatan olah raga, dan komponen eksterior dan interior alat transportasi. Konsumsi serat sintetik dunia mencapai 150 juta ton per tahun (Lampiran 14). Selama lima tahun terakhir, kebutuhan akan polimer di
8
Indonesia mengalami peningkatan 10% salah satunya untuk industri otomotif (Lampiran 14). Di Indonesia tiga industri manufaktur sepeda motor terbesar tercatat tahun 2010 memproduksi 6.217.087 unit motor dan tahun 2011 memproduksi 9.319.516 unit (Lampiran 1) dengan eksterior komponen penyusunnya adalah serat sintetis dan polimer. Seiring dengan naiknya harga serat sintetik akibat persediaan bahan bakar yang terbatas dan naiknya harga minyak mentah dunia menjadikan masyarakat menyadari untuk memilih material yang ramah lingkungan. Material serat alam kembali dipilih untuk menggantikan serat sintetis. sehingga bahaya dari pemanasan global dapat dikurangi. Penelitian rotan yang merupakan serat alam non kayu sebagai bahan penguat polimer telah banyak diteliti. Jasni (1999), menyatakan bahwa batang rotan memiliki sifat mekanik MOE 10 kg cm-2 dan MOR 421 kg cm-2 dengan berat jenis 0.5. Menurut Jasni (2006), ditinjau dari sifak morfologi dan komposisi kimia batang rotan berjenis semambu memiliki kandungan serat mencapai 60% dengan komposisi kimia yang meliputi selulosa 37.36%, lignin 22.19%, holoselulosa 70.07%, dan bahan lainnya 21.35%. Sementara itu Sisworo (2009), telah meneliti aplikasi biokomposit berserat kulit rotan dalam bentuk anyaman sebagai penguat polimer pada bodi kapal laut dengan hasil kekuatan tekuk 3 kg mm-2 dan kekuatan tarik 2.1 kg mm-2. Serat alam berukuran nano merupakan material baru yang dapat digunakan sebagai bahan penguat polimer pada komposit sehingga kualitas komposit meningkat. Untuk menghasilkan serat berukuran nano dengan karakterisik yang optimal, diperlukan informasi data terkait karakteristik struktur mikro, penggolongan fasa, komposisi unsur penyusun dan kristalografi dari selulosa kulit rotan yang belum pernah diteliti sebelumnya. Untuk itu diperlukan suatu teknologi dan metode yang dapat memisahkan jaringan nonselulosa tanpa merusak selulosa itu sendiri yaitu ekstraksi selulosa kulit rotan dengan metoda fermentasi fungi Aspergillus niger. Penelitian sebelumnya menggunakan fermentasi Aspergilus niger pada media cair serat kudzu telah dilakukan oleh CREATA IPB (2008). Busairi (2009), menggunakan Aspergillus niger untuk fermentasi padat limbah kulit umbi ubi kayu dan hasilnya adalah mendapatkan yield protein maksimum 36.78% pada produksi pakan ternak. Syamsuriputra
9
(2006), menggunakan fermentasi Aspergillus niger untuk produksi asam sitrat dari ampas tapioka. Sementara itu penelitian terkait dengan pemanfaatan limbah kulit rotan dalam bentuk serat panjang, pendek dan nanopartikel sebagai penguat komposit berbasis polimer belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian limbah kulit rotan yang diekstrak menjadi selulosa dengan metoda fermentasi dapat memberikan informasi karakteristik data dasar pada struktur mikro. Karakterisasi ini memiliki peran yang penting terhadap proses selanjutnya yaitu produksi nanopartikel serat kulit rotan metoda ultrasonikasi dan bionanokomposit dengan metoda injeksi molding pada aplikasi industri komponen sepeda motor. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan selulosa kulit rotan dengan rendemen optimum dalam bentuk serat pendek atau panjang dengan metoda fermentasi padat kapang Aspergillus niger dengan mendapatkan suatu kondisi proses yang optimum pada variasi waktu dan jumlah spora selama proses fermentasi. Selulosa yang dihasilkan dapat memberikan informasi data dasar karakteristik struktur mikro, fasa, komposisi unsur penyusun, kristalografi, dan kerapatan. Data karakterisasi yang didapatkan akan digunakan sebagai masukan pada proses sintesa nanopartikel dan penerapan aplikasinya yaitu sebagai penguat pada bionanokomposit. Hipotesis Proses fermentasi padat dengan Aspergillus niger pada variasi waktu dan jumlah spora yang optimal, diharapkan dapat membentuk enzim yang dapat menghancurkan atau memisahkan jaringan tanaman non selulosa dan kandungan asli serat dapat dipertahankan. Selulosa kulit rotan yang dihasilkan melalui bioproses ini juga diharapkan memiliki densitas yang kecil, berstruktur kristal, dengan unsur penyusun utama C, H, O dan beberapa unsur pendukung yaitu mikro dan makro nutrien sebagai penguat selulosa.
10
Tinjauan Pustaka Rotan Rotan merupakan palem berduri dan hasil hutan bukan kayu yang berasal dari bahasa melayu "raut" yang berarti mengupas atau menguliti (Gambar 2.1). Tanaman ini berjenis famili Palmae yang tumbuh memanjat (Lepidocaryodidae). Struktur anatomi tanaman rotan yaitu tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dan memiliki sistem perakaran serabut (Gambar 2.1). Penampang lintang rotan dapat dipisahkan menjadi tiga
bagian yaitu kulit, kortek dan bagian tengah batang. Bagian kulit terbagi atas dua macam lapisan yaitu epidermis sebagai lapisan terluar dan endodermis di lapisan dalam. Lapisan epidermis adalah lapisan yang sangat keras, sel-selnya tidak berlignin dan lapisan dinding tangensialnya mengandung endapan silika yang dilapisi oleh lilin dan tebalnya mencapai 70 mikron (Tellu 2008). Phloem
Serabut xilem Empulur
Floem Xilem Epidermis
Pembuluh angkut
Epidermis Vascular bundle
Ground tissue system Gambar 2.1 Struktur monokotil.
Rotan yang akan dipanen adalah rotan yang masak tebang, dengan ciri-ciri bagian bawah batang sudah tidak tertutup lagi oleh daun kelopak atau selundang, sebagian daun dan duri sudah mengering (rontok) (Gambar 2.2). Pemanenan rotan dilakukan dengan menebang pangkal rotan dengan pengkaitnya setinggi 10 sampai 50 cm. Rotan yang tumbuh soliter hanya dipanen sekali dan tidak beregenerasi dari tunggul yang terpotong, sedangkan rotan yang tumbuh berumpun dapat dipanen terus-menerus (Tellu 2008).
11
a
b
Gambar 2.2 Tanaman rotan (a) dan batang rotan (b). Struktur anatomi batang dan kulit rotan yang berhubungan erat dengan keawetan dan kekuatan rotan antara lain adalah komponen kimia, besar pori dan tebalnya dinding sel serabut (Tabel 2.1). Menurut Tellu (2005), sel serabut diketahui merupakan komponen struktural yang memberikan kekuatan pada rotan. Demikian juga menurut Mudyantini (2008), bahwa tebal dinding sel serabut merupakan parameter anatomi yang paling penting dalam menentukan kekuatan selulosa, dinding sel-sel serabut yang lebih tebal membuat selulosa manjadi lebih keras dan menunjang fungsi utama sebagai penunjang mekanis (Tabel 2.2). Tabel 2.1 Kandungan kimia beberapa jenis batang rotan Nama
Holoselulosa (%)
Selulosa (%)
Lignin (%)
Tanin (%)
Pati (%)
Sampang (K. junghunii Miq) Bubuay (P. elongata Becc) Seuti (C. ornathus Bl) Semambu (C. scipionum B) Tretes (D. heteroides Bl) Balubuk (C. burchianus B) Batang (C. zolineri Becc) Galaka (C. Spp) Tohiti (C. inops Becc) Manau (C. manan Miq)
71.49 73.84 72.69 70.07 72.49 73.34 73.78 74.38 74.42 71.45
42.89 40.89 39.19 37.36 41.72 42.35 41.09 44.19 43.28 39.05
24.41 16.85 13.35 22.19 21.99 24.03 24.21 21.45 21.34 22.22
8.14 8.88 8.56 -
19.62 23.57 21.82 21.35 21.15 20.85 20.61 19.40 18.57 18.50
Sumber: Jasni 2006. Kulit rotan adalah material yang tersusun atas selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa adalah polimer yang tersusun atas unit-unit glukosa melalui ikatan α-1,4-glikosida (Gambar 2.3). Bentuk polimer ini memungkinkan selulosa saling menumpuk dan terikat menjadi bentuk serat yang sangat kuat. Panjang molekul
12
selulosa ditentukan oleh jumlah monomer di dalam polimer (derajat polimerisasi/DP). DP selulosa tergantung pada jenis tanaman dan umumnya dalam kisaran
200-27.000
unit
glukosa.
Selulosa
dapat
disenyawakan
(esterifikasi) dengan asam anorganik seperti asam nitrat, asam sulfat, dan asam fosfat. molekul-molekul selulosa yang terdapat pada tiap lapisan mempunyai susunan arah melingkar yang berbeda. Dinding serat dapat dibedakan menjadi 2 yaitu dinding primer yang merupakan lapisan paling luar dari serat dan dinding sekunder yaitu lapisan dibawah dinding primer. Tabel 2.2 Data pengujian sifat fisis dan mekanis batang rotan Jenis
Kadar air basah (%)
Kadar air udara (%)
BJ
MOE (kg/cm2)
MOR (kg/cm2)
Panjang ruas (cm)
Seuti Balubuk Karokok Semambu Manau Sampang
142.22 167.11 137.17 138.80 105.00 84.32
13.76 13.87 14.10 14.25 18.19
0.511 0.500 0.470 0.490 0.550 0.580
17.089 14.585 15.423 10.017 19.800 22.00
441.96 431.61 453.12 421.16 734.00 834.00
20.76 32.15 24.47 37.20 -
Tinggi buku (cm) 0.31 0.39 0.26 0.23 0.16 -
Sumber: Jasni dan Supriana 1999. Selulosa memiliki 3 fasa yaitu α-Cellulose, β-Cellulose dan γ-Cellulose. αCellulose adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam NaOH, larutan basa kuat dengan DP 600 – 1500, dipakai sebagai penduga atau penentu tingkat kemurnian selulosa. β-Cellulose merupakan selulosa berantai pendek, larut dalam NaOH atau basa kuat dan dapat mengendap bila dinetralkan sedangkan γCellulose adalah selulosa dengan derajat polimerisasi lebih kecil dari β selulosa. Selulosa α adalah kualitas selulosa yang paling tinggi (murni) dan memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan bahan peledak. Sedangkan selulosa β dan γ digunakan sebagai bahan baku industri kertas, industri tekstil dan komponen alat olah raga (Pari 2011).
Gambar 2.3 Skema selulosa.
13
Lignin merupakan bagian dari lamela tengah dan dinding sel yang berfungsi sebagai perekat antar sel, merupakan senyawa aromatik berbentuk amorf. Lignin berwarna putih bersifat kaku dan rapuh. molekul kompleks yang tersusun dari unit phenylphropane yang terikat di dalam struktur tiga dimensi (Gambar 2.4). Material dengan kandungan karbon yang relatif tinggi serta memiliki energi tinggi (dalam biomassa), namun sangat resisten terhadap degradasi, baik secara biologi, enzimatis, maupun kimia. Setiap materi kayu dan bukan kayu bila dilihat di mikroskop, terlihat serat-seratnya yang melekat satu dengan yang lainnya. Senyawa yang mengikat satu serat dengan serat lainnya disebut lignin. Dari penampang melintang serat mempunyai dinding dan lubang tengah yang disebut lumen (Achyuthan 2010). Membran plasma
Dinding sekunder
Dinding primer
Lamela tengah Ikatan pada dinding sel peroxidase laccase (β glucosidase)
Lignin
Lignin Lignin
Pektin
Selulosa
Hemiselulosa
Gambar 2.4 Struktur lignin, selulosa, dan hemiselulosa pada tanaman (Achyuthan 2010). Hemiselulosa adalah polisakarida yang bukan selulosa, terdiri dari monomer gula berkarbon dan jika dihidrolisis akan menghasilkan D-manova, D-galaktosa, D-Xylosa, L-arabinosa dan asam uranat (Gambar 2.5). Holoselulosa adalah bagian dari serat yang bebas dari lignin, terdiri dari campuran selulosa dan hemiselulosa. Tanin merupakan nama komponen zat organik yang sangat komplek dan terdiri dari senyawa fenolik yang mempunyai berat molekul 500 - 3000, dapat bereaksi dengan protein membentuk senyawa komplek dan dalam fermentasi dapat menyebabkan atau meninggalkan pengendapan protein. Sementara itu pati adalah
14
cadangan karbohidrat utama pada tumbuhan tingkat tinggi, yaitu sekitar 70% dari berat basah, berbentuk granula yang larut dalam air (Siqueira 2010). Dinding sel
Lapisan dari mikrofibril di dalam dinding sel tanaman
Struktur mikrofibril
Mikrofibril Hemiselulosa Kristal selulosa
Molekul selulosa Kristal selulosa Glukosa
Selulosa
Gambar 2.5 Skema dinding sel selulosa dan mikrofibril (Siqueira 2010). Proses Pemisahan Serat Selulosa adalah unsur struktural dan komponen utama dinding sel dari pohon dan tanaman tinggi lainnya. Selulosa merupakan bagian penyusun utama jaringan tanaman berkayu. Selulosa terdapat pada setiap jenis tanaman, termasuk tanaman semusim, tanaman perdu dan tanaman rambat bahkan tumbuhan paling sederhana sekalipun seperti paku, lumut, ganggang, dan jamur. Menurut Rachmaniah (2009), selulosa ditemukan dalam tanaman yang dikenal sebagai microfibril dengan diameter 2 - 20 nm dan panjang 100 - 40000 nm (Gambar 2.5). Selulosa merupakan β-1,4 poli glukosa, dengan berat molekul sangat besar. Unit ulangan dari polimer selulosa terikat melalui ikatan glikosida yang mengakibatkan struktur selulosa linier. Keteraturan struktur tersebut juga menimbulkan ikatan hidrogen secara intra dan inter molekul. Beberapa molekul selulosa akan membentuk mikrofibril yang sebagian berupa daerah teratur (kristalin) dan diselingi daerah amorf. Beberapa mikrofibril membentuk fibril yang akhirnya
15
menjadi serat selulosa (Gambar 2.6). Selulosa memiliki kekuatan tarik yang tinggi dan tidak larut dalam kebanyakan pelarut. Hal ini berkaitan dengan struktur selulosa dan kuatnya ikatan hidrogen. Selulosa Lignoselulosa
Hemiselulosa
lignin Mikrofibril
Makrofibril Serat selulosa
Degradasi enzim
Gambar 2.6 Ilustrasi mikro dan makrofibril dalam selulosa (Rahmaniah 2009). Pemisahan (ekstraksi) serat kulit rotan adalah salah satu tahap yang penting dalam proses pembuatan bionanokomposit. Prinsip dasar dari pemisahan serat adalah adanya mikroorganisme tertentu yang pada kelembapan tertentu dapat membentuk enzim dan menghancurkan jaringan tanaman non selulosa. Penghancuran bahan non selulosa dapat memisahkan bahan penyusun serat dari jaringan parenkim, xilem serta jaringan epidermis, sehingga memungkinkan serat dapat diekstrak secara mekanik setelah dikeringkan (Muhiddin 2001). Pada Gambar 2.1 terlihat penampang melintang batang monokotil, dimana jaringan parenkim, kolenkima dan skerenkima merupakan daerah korteks. Diantara jaringan pembuluh xylem dan floem terletak kambium. Serat terdapat pada bagian skelenkima yang merupakan bagian daerah korteks sehingga untuk mengambil serat dari bagian batang tanaman diperlukan 2 tahap pemisahan serat yaitu memisahkan serat dari jaringan terluar tanaman yaitu epidermis dan jaringan penyusun korteks lain. Tahap selanjutnya adalah memisahkan serat dari jaringan terdalam yaitu jaringan pembuluh dan empulur. Berdasarkan Syamsuriputra (2006), selulosa dapat diekstraksi oleh fungi, Aspergillus niger (Gambar 2.7). Hal ini dikarenakan spesies ini termasuk fungi berfilamen penghasil enzim lignoselulotik seperti enzim selulase, amylase dan pektinase. Kapang Aspergilus niger mempunyai hifa berseptat dan spora yang dihasilkan bersifat aseksual. Spora berbentuk globular dan kasar dengan
16
terdapatnya garis-garis pada permukaan yang berpigmen. Hifa terletak pada bagian terendam dari substrat untuk menyerap unsur hara dan yang menghadap ke permukaan berfungsi sebagai alat reproduksi. Mempunyai kepala pembawa konidia yang besar dan bulat. Dalam metabolismenya fungi ini dapat menghasilkan enzim yang dapat menghancurkan jaringan tanaman non selulosa yang banyak mengandung pektin, tidak menghasilkan mikotoksin sehingga tidak membahayakan, dapat tumbuh dengan
cepat
dan
dalam
pertumbuhannya
berhubungan
langsung
dengan zat makanan yang terdapat dalam substrat. Molekul sederhana yang terdapat disekeliling hifa dapat langsung diserap sedangkan molekul yang lebih kompleks harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel, dengan menghasilkan beberapa enzim ekstra seluler seperti amylase, pektinase, dan selulase.
Bahan
organik
dari
substrat
digunakan
oleh
fungi
untuk
aktivitas transport molekul, pemeliharaan struktur sel, mobilitas sel, nutrien bagi kultur, dan tempat penyimpanan air untuk mikroorganisme. Domain : Eukaryota Kerajaan : Fungi Filum : Ascomycota Upafilum : Pezizomycotina Kelas : Eurotiomycetes Ordo : Eurotiales Famili : Trichocomaceae Genus : Aspergillus Spesies : A. Niger Nama binomial : Aspergillus niger Gambar 2.7 Aspergillus niger pada perbesaran mikroskop optik. Setiap mikroorganisme mempunyai kurva pertumbuhan. Kurva pertumbuhan fungi Aspergilus niger mempunyai beberapa fase, antara lain (Gambar 2.8) : 1. Fase lag, yaitu fase penyesuaian sel-sel dengan lingkungan pembentukan enzim-enzim untuk mengurai substrat. 2. Fase akselerasi, yaitu fase mulainya sel-sel membelah 3. Fase eksponensial, merupakan fase yang penting bagi kehidupan fungi karena aktivitas sel meningkat merupakan fase perbanyakan jumlah sel. 4. Fase deselerasi, yaitu waktu sel-sel mulai kurang aktif membelah
17
5. Fase stasioner, yaitu fase garis lurus yang horizontal, dimana jumlah sel yang bertambah dan jumlah sel yang mati relatif seimbang 6. Fase kematian yaitu jumlah sel-sel yang mati lebih banyak daripada sel-sel yang masih hidup Fase akselerasi
4
5 6
Log x
Fase stationer
3 Fase lag 1
Fase kematian
Fase eksponensial
Waktu Gambar 2.8 Pertumbuhan Aspergillus niger. Aplikasi Selulosa dan Produk Turunannya Penggunaan terbesar selulosa di dalam industri adalah berupa serat kayu dalam industri kertas dan karton. Pengunaan lainnya adalah sebagai serat tekstil, serat pada material bangunan dan perabot rumah tangga (Tabel 2.3). Untuk aplikasi lebih luas, selulosa dapat diturunkan menjadi beberapa produk, antara lain micro crystalline cellulose (mcc), carboxy methyl cellulose (cmc), methyl cellulose
dan
hydroxypropyl
methyl
cellulose.
Produk-produk
tersebut
dimanfaatkan sebagai bahan emulsifier, stabilizer, dispersing agent dan gelling agent. Fiber glass merupakan serat sintetis kaca cair yang ditarik menjadi serat tipis dengan garis tengah 0.005 – 0.01 mm. Dalam aplikasinya serat ini digunakan sebagai bahan penguat pada beberapa polimer yang dikenal dengan komposit sintetis (glass-reinforced plastic) (Gambar 2.9). Serat gelas banyak digunakan pada komponen berbagai alat transportasi seperti interior mobil, luggage box sepeda motor dan body kapal. Serat gelas diperoleh dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sehingga harus dilakukan penghematan. Material ini berbahan dasar minyak bumi (fosil), dan beberapa logam lainnya. Minyak bumi ini juga akan meninggalkan residu dalam proses produksinya. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui ini
18
perlahan-lahan akan habis, sehingga diharapkan bagi setiap material baru atau pengembangan dari material harus memiliki sifat-sifat yang sebanding dan memiliki dampak kerusakan yang seminimal mungkin bagi lingkungan. Sumber energi alternatif merupakan tantangan utama untuk para ilmuan dan perekayasa material. Oleh karena itu serat kulit rotan dapat dijadikan alternatif sebagai serat organik
menggantikan fiber
glass,
bahan
ini
mudah
diperoleh
dapat
dibudidayakan, keberadaanya melimpah, dan dapat diperoleh sepanjang tahun.
Gambar 2.9 Serat sintetis fiber glass. Tabel 2.3 Produksi serat alam Serat alam
Negara yang memproduksi
Selulosa Kapas Cina, USA, India, Pakistan, Brazil Jute India, Bangladesh Flax Cina, Perancis, Belgia, Ukraine Kenef Negara Asia Coir Thailand, Malaysia Sisal Brazil, Cina, Tanzania Rami Cina Abaca Pilipina, Equator Hemp Rusia, Chile Wool Austria, Cina, New Zealand Silk Cina, India Serat lain Total Sumber : Siqueira 2010.
Produksi dunia Juta ton % 25.00 2.70 0.08 0.5 0.45 0.3 0.15 0.08 0.09 2.20 0.14 0.03 31.72
78.8 8.5 0.2 1.6 1.4 0.9 0.5 0.3 0.3 6.9 0.4 0.1 100
Biaya produksi Juta US$ % 31.20 0.48 0.43 0.08 0.17 0.03 0.003 2.96 0.98 36.35
85.8 1.3 1.2 0.2 0.5 0.1 0.1 8.1 2.7 100
19
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisika Terapan IPB, PTBIN BATAN PUSPIPTEK Tangerang dan Laboratorium Terpadu UGM Yogyakarta. Waktu penelitian pada bulan November 2010 sampai dengan April 2011. Bahan dan Alat Penelitian Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit rotan segar jenis semambu yang diperoleh dari desa Madu Sari Pontianak Kalimantan Barat, biakan spora kapang Aspergillus niger diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB, aquadest, aluminium foil dan plastik klip. Alat yang digunakan untuk ekstraksi serat dengan metode fermentasi dan mekanik yaitu meliputi kompor, panci, kontainer, timbangan analitik, pisau, gelas ukur, pengaduk, spatula, dan termokopel. Sementara itu peralatan yang digunakan untuk pengujian kualitas serat yang dihasilkan menggunakan X Ray Diffraction (XRD), Scanning Electron Microscope (SEM), Electron Dispersive Spectroscopy (EDS), Transmission Electron Microscope (TEM) dan peralatan uji kerapatan Archimedes. Tahapan Penelitian Proses
ekstraksi
selulosa
kulit
rotan
dengan
metoda
fermentasi
menggunakan fungi Aspergillus niger dapat berlangsung dalam media padat dan cair. Dalam tahapan penelitian ini digunakan medium padat dengan kondisi atau parameter yang diubah-ubah dalam setiap perlakukan dan pengulangan adalah jumlah spora Aspergillus niger yaitu dengan 2 x 108 (cuplikan D 1 , E 1 ), 3 x 108 (cuplikan D 2 , E 2 ) dan 4 x 108 (cuplikan D 3 , E 3 ) dengan waktu fermentasi t F = 8 dan 10 hari (mengacu pada grafik pertumbuhan Aspergillus niger (Gambar 2.8). Sementara itu cuplikan A, B dan C menggunakan variasi waktu 4, 5, dan 6 hari dengan jumlah spora ½ dari cuplikan D (Tabel 2.4). Prosedur percobaan diawali dengan menyiapkan kulit rotan dalam bentuk segar (masak tebang). Kulit rotan yang masih dalam kondisi lunak dibersihkan
20
dari sisa-sisa kotoran tanah, debu, duri dan dipotong-potong menurut ukuran panjang bukunya. Setelah kulit rotan bersih, kemudian ditimbang sebagai massa awal, lalu direbus pada T = 100 0C selama 15 menit dan dikeringkan. Setelah kering, kulit rotan disusun kedalam kontainer dan diinokulasi dengan spora Aspergillus niger lalu di tutup dengan aluminium foil sampai proses fermentasi selesai, sesuai dengan variasi waktu fermentasi (Lampiran 3). Selama proses fermentasi suhu dan pH yang digunakan adalah konstan sesuai dengan kondisi lingkungan laboratorium. Pengukuran suhu digunakan termokopel, sementara itu pH diukur dengan pH meter. Apabila sampai hari ke-6 belum dihasilkan rendemen secara maksimal, dilakukan pengulangan satu siklus pertumbuhan kapang dengan penambahan Σ spora Aspergillus niger pada setiap variasi perlakuan. Setelah fermentasi selesai, cuplikan dalam kontainer dipisahkan dengan tangan antara selulosa dengan ukuran panjang, pendek dan kulit rotan yang masih utuh. Hasil rendemen selulosa (panjang dan pendek) ditimbang sebagai massa akhir (m a ) dan dilakukan analisa rendemen serta dilakukan pengujian terhadap kualitas selulosa. Untuk mengetahui kualitas dari selulosa yang dihasilkan dengan metoda fermentasi,
cuplikan
pada
rendemen
optimum
dikarakterisasi
dengan
menggunakan alat uji SEM untuk mengetahui morfologi permukaan dan ukuran. Selanjutnya untuk mengetahui kristalografi selulosa yang meliputi indeks miller, fasa serat, struktur dan sistem kristal digunakan alat uji XRD. Untuk mengetahui struktur mikro didalam cuplikan selulosa digunakan mikroskop TEM (perbesaran 150.000). Sementara itu EDS digunakan untuk mengetahui komposisi unsur selulosa sebelum dan setelah proses fermentasi dalam bentuk % massa dan % atom (Gambar 2.10).
21
Dibersihkan dari impuritas
Kulit rotan segar
Dipanaskan dalam air (100 0C, 15 menit)
Ditimbang
Diangkat dan dikeringkan
Dimasukkan di kontainer Inokulasi Aspergillus niger ke dalam substrat Σ spora = 2 x 108, 3 x 108, 4 x 108
Kontainer ditutup dengan aluminium foil
Diamati dengan waktu 4 - 10 hari
Pengambilan serat dalam bentuk serat panjang dan pendek
Ditimbang
Pengujian (SEM-EDS, XRD, TEM, densitas)
Analisa data
Gambar 2.10 Diagram alir penelitian.
22
Hasil dan Pembahasan Prinsip dasar dari pengambilan selulosa adalah adanya mikroorganisme yang pada kelembaban tertentu dapat membentuk enzim yang dapat menghancurkan jaringan tanaman non selulosa yang banyak mengandung pektin. Selulosa dapat diekstraksi oleh fungi, bakteri, dan ruminansia. Jenis fungi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aspergillus niger. Pembenihan inokulasi dilakukan pada medium PDA (Potato Dextrose Agar). Alasan pemilihan ini dikarenakan spesies ini merupakan sumber organisme stabil, tidak mengeluarkan racun, produktivitas enzim tinggi (amylase, pektinase, dan selulase), dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat yang dalam pertumbuhannya berhubungan langsung dengan zat makanan yang terdapat dalam substrat (kulit rotan) (Syamsuriputra 2006). Fermentasi merupakan suatu reaksi reduksi-oksidasi dalam sistem biologi yang menghasilkan energi. Senyawa organik seperti karbohidrat merupakan donor dan aseptor pada proses fermentasi. Pertumbuhan fungi dalam substrat padat bertindak sebagai sumber makanan pada fermentasi merupakan hal terpenting dalam proses ekstraksi. Dalam proses fermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger dapat berlangsung dalam media padat dan cair. Penelitian yang dilakukan menggunakan sistem fermentasi padat (Solid State Fermentation). Alasan pemilihan metode ini adalah sistem fermentasi padat dapat menghasilkan ekstrak serat dengan kadar air rendah karena selama proses fermentasi berlangsung jumlah air yang dibuang dan busa yang terbentuk sedikit, tingkat produktivitasnya tinggi dan recovery produknya lebih mudah sehingga hal ini akan membawa dampak positif pada aplikasi selulosa sebagai filler komposit seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.11. Tabel 2.4 memperlihatkan hasil ekstraksi selulosa kulit rotan dengan metoda fermentasi Aspergillus niger. Selama proses fermentasi berlangsung, pada waktu fermentasi (t F ) = 4 hari, 5 hari (cuplikan A, B) dan 6 hari (cuplikan C 1 , C 2 ) belum dihasilkan rendemen selulosa (0%) yaitu masih dalam bentuk batangan kulit rotan (Gambar 2.11a). Selulosa mulai dihasilkan pada t F = 6 hari (cuplikan C 3 ) yaitu menghasilkan rendemen 113 g (22.6%) (Gambar 2.11b).
23
Gambar 2.11 Rendemen selulosa pada hari ke-4, 5, 6 (a), hari ke-8 (b), hari ke-10 dengan Σ spora 3 x 108 (c) dan hari ke-10 dengan Σ spora 4 x 108 (d). Tabel 2.4 Rendemen selulosa kulit rotan dengan massa awal rotan 500 g Cuplikan
A B C
D E
Waktu fermentasi (hari) 4 5 6
1 Σspora=108 0 0 0
8 10
Σ spora = 2 x 1016 220 246
Rendemen serat (g) 2 Σspora = 1.5 x 108 0 0 0 Pengulangan ke-2 Σspora= 3 x 108 257 304
3 Σspora= 2 x108 0 0 113 Σspora = 4 x 108 282 291
Satu siklus fase pertumbuhan fungi (Gambar 2.8) belum mampu menghancurkan jaringan non selulosa, karena kulit rotan memiliki karakteristik yang lentur, ulet dan keras dimana jaringan dinding sel batang dan kulit mengalami lignifikasi (pengerasan) dan akumulasi selulosa dalam lignin, sehingga perlu dilakukan pengulangan atau penambahan fungi. Kemudian dilakukan pengamatan kembali pada t F = 8 dan 10 hari (cuplikan D dan E). Terjadi pertumbuhan dan pertambahan jumlah spora yang diinokulasi terhadap kulit rotan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu selama proses fermentasi. Hasil yang diperoleh adalah terjadi kenaikan rendemen selulosa pada cuplikan D hingga
24
mencapai hasil optimum (cuplikan E 2 ) pada t F = 10 hari dengan rendemen selulosa 304 g (60.8%) (Gambar 2.12c). Sementara itu pada cuplikan E 3 mengalami penurunan hasil dan kualitas rendemen selulosa (58.2%). Selulosa yang dihasilkan rapuh, patah dan berjamur (Gambar 2.11d). Hal ini disebabkan oleh tumbuhnya jamur yang mengelilingi serat karena kelembaban yang meningkat dan terjadinya penumpukan fungi selama proses fermentasi sehingga terjadinya penurunan kualitas (faktor biologi), yaitu adanya organisme lain yang tumbuh dan memakan karbohidrat yang terkandung dalam selulosa, sehingga menimbulkan enzim khusus yang merusak struktur dari selulosa. Tabel 2.5 menunjukkan spektrum EDS cuplikan A dan B pada hari ke-5. Pengamatan spektrum EDS memperlihatkan bahwa unsur dominan yang ada dalam cuplikan adalah C dan O serta beberapa elemen makro, mikro nutrien pada tumbuhan. Pada proses fermentasi sampai dengan hari ke-5, kandungan unsur pada cuplikan meliputi C = 57.57% dan O = 40.45%, serta unsur makro dan mikro dinding sel tanaman Si, Cl, K, dan Cu. Hari ke-5 merupakan pertumbuhan fungi pada fase deselerasi dan stasioner. Fase deselerasi merupakan fase sel-sel mulai kurang aktif membelah dan fase stasioner yaitu fase jumlah sel yang bertambah dan jumlah sel yang mati relatif seimbang. Kurva pada fase ini merupakan garis lurus yang horizontal dan banyak senyawa metabolit sekunder yang tumbuh pada fase ini. Si dan K merupakan unsur makro yang merupakan komponen struktural bersumber dari salinitas tanah untuk memperkuat dinding sel dan memperkuat terhadap proses pelapukan. Sementara itu Ca dan Cl adalah unsur mikro yang merupakan komponen fungsional, dimana tanaman berserat akan banyak mengandung unsur Cl dan unsur Ca yang dapat merangsang pertumbuhan fungi dalam memproduksi enzim. Tabel 2.5 Komposisi unsur selulosa kulit rotan (hari ke-5) Element C O Si Cl K Cu
Massa (%) 49.46 46.19 1.99 0.76 0.85 0.75
Atom (%) 57.75 40.45 0.99 0.30 0.31 0.16
25
Tabel 2.6 menunjukkan spektrum EDS cuplikan C 3 , dimana proses fermentasi serat kulit rotan sampai pada hari ke-6 yaitu fase kematian. Pada fase ini jumlah sel-sel fungi yang mati lebih banyak daripada sel-sel fungi yang masih hidup. Selama proses ekstraksi selulosa satu siklus, terjadi biokonversi dari kulit rotan yang merupakan material organik menjadi selulosa dengan cara pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan enzim dan meninggalkan residu. Fungi yang sudah mati banyak mengandung protein, sehingga hasil EDS menunjukkan adanya penambahan elemen mineral pada cuplikan. Kandungan unsur C = 43.21% dan O = 40.92% sebagai pembangun bahan organik yang diambil tanaman berupa C0 2 , serta unsur makro dan mikro Na, Si, Cl, K, Ti, Cu, Zn, Nb dan Bi. Tabel 2.6 Komposisi unsur selulosa kulit rotan (hari ke-6) Unsur C O Na Si K Ti Cu Zn Nb Bi
Massa (%) 21.60 27.35 3.25 0.70 1.93 12.29 1.97 1.92 2.14 27.76
Atom (%) 43.21 40.92 3.30 0.60 0.57 6.14 0.74 0.70 0.55 3.10
Gambar 2.11 A dan B menunjukkan bahwa kerja fungi Aspergilus niger belum bekerja maksimal. Selulosa kulit rotan belum terlepas secara optimal dari jaringan inti kulitnya, penghancuran bahan non selulosa yang dapat memisahkan bahan penyusun serat dari jaringan parenkim, xilem serta jaringan epidermis belum secara keseluruhan terjadi sehingga diperlukan penambahan jumlah spora fungi. Tabel 2.7 memperlihatkan spekteum EDS dan kandungan unsur selama proses pengulangan (cuplikan D) pada hari ke-8. Kerja fermentasi Aspergilus niger dalam menyerap zat organik dari substrat mulai lebih meningkat sehingga rendemen serat meningkat. Komponen unsur C dan O juga meningkat dari hari sebelumnya serta mulai muncul unsur S yang mencirikan adanya aktifitas protein. C = 43.21% dan O = 40.92% sebagai pembangun bahan organik yang diambil tanaman berupa C0 2 , serta unsur makro dan mikro Si, Cl, K, Mg, Cu, Ca.
26
Tabel 2.7 Komposisi unsur selulosa kulit rotan (hari ke-8) Element C O Mg Si S Cl K Ca Cu
Massa (%) 48.74 44.22 0.32 2.77 0.21 0.63 1.35 0.52 1.04
Atom (%) 57.75 39.32 0,19 1.40 0.09 0.35 0.49 0.15 0.23
Hasil karakterisasi kandungan komposisi unsur dengan menggunakan EDS pada Tabel 2.8, cuplikan E 2 (hari ke-10) menunjukkan komposisi persen massa dan atom pada elemen cuplikan yang didominasi oleh kandungan atom C = 56.34% dan O = 40.95%, sisanya adalah mineral Mg, S, Si, Ca, Cl, K, dan Cu. Kandungan C, H, dan O adalah komponen pembentuk utama serat alami ini. Sementara itu kandungan unsur yang lain menunjukkan elemen mikro dan makro yang bersumber pada nutrisi tanah dan hasil dari aktivitas fermentasi. Makronutrien meliputi S, K, Ca, Mg, Si sedang mikronutrien meliputi Cu, Cl. Tabel 2.8 Komposisi unsur selulosa kulit rotan (hari ke-10) Element C O Mg Si S Cl K Ca Cu
Massa (%) 47.50 46. 03 0.41 2.10 0.27 0.82 1.39 0.69 0.79
Atom (%) 56.34 40.98 0.24 1.06 0.12 0.33 0.51 0.25 0.18
Morfologi permukaan cuplikan dengan menggunakan alat uji SEM perbesaran 500 dan 1000 X terlihat bahwa selulosa (C 6 H 10 O 5 ) yang tersusun atas unit-unit glukosa membentuk potongan-potongan jaringan serat yang memanjang, kontinu, berpori, saling menumpuk dan terikat menjadi bentuk serat yang kuat, memiliki rantai monomer panjang dan banyak mengandung mineral-mineral alam yang bersumber pada nutrisi tanah yang dapat mengalami proses pelapukan atau degradasi karena faktor lingkungan. Tersusun atas lignin sebagai perekat antar sel selulosa (Gambar 2.12) dan trakeida yang merupakan sekumpulan sel-sel dengan dinding sel lateralnya mengalami penebalan oleh lignin sedangkan bagian
27
ujung atas dan bawahnya tidak mengalami perforasi (pelubangan), berbentuk pipa kapiler memanjang sehingga pergerakan air seakan-akan melalui katup-katup. Dinding selnya banyak memiliki noktah dengan ruang dalam dinding sel (lumen) sempit karena selnya lebih memanjang.
trakeida
(a) selulosa trakeida
lignin
Pori
(b) Gambar 2.12 Citra SEM selulosa metoda fermentasi dengan perbesaran 500 X (a) dan 1000 X (b).
28
Keseluruhan hasil karakterisasi terhadap komposisi unsur dan struktur mikro permukaan dapat menjelaskan bahwa kulit rotan yang diekstraksi dengan metoda fermentasi benar-benar merupakan selulosa dengan lignin sebagai perekat antar sel. Hal ini berdasarkan pada pendekatan literatur pada ikatan penyusun selulosa dan citra SEM pada penelitian selulosa dan lignin sebelumnya dengan material
berbagai
macam
hasil
dan
limbah
pertanian.
Gambar
2.13
memperlihatkan ikatan gugus fungsi C, H, dan O selulosa dinding sel tanaman dalam skala atom. Gambar 2.14 menunjukkan morfologi permukaan sel bagas pada perlakuan liquid hot water dengan variasi tekanan dan Gambar 2.15 menunjukkan citra SEM selulosa whiskers pada beberapa perlakuan pembekuan yang menunjukkan kemiripan dengan selulosa kulit rotan. Terdiri dari rantai monomer memanjang memiliki pori, diselimuti lignin dan berukuran sampai orde mikro meter serta selulosa terlihat memiliki keteraturan (struktur kristal).
(a)
(b) Gambar 2.13 Ikatan gugus fungsi C, H, dan O selulosa dinding sel tanaman dalam skala atom (a) dan selulosa dinding batang sel tanaman (b).
29
Pori
Gambar 2.14 Struktur sel bagas pada kondisi operasi dry stem (A–B) dan fresh leaf (C, D) (Rachmaniah 2011).
Pori lignin
Gambar 2.15 Citra SEM selulosa whiskers (Wang 2010). Berdasarkan penelitian dari Rahmaniah 2011 tentang struktur kristal limbah lignoselulosa sel bagas bahwa selulosa adalah polimer dari polisakarida berantai lurus yang tersusun atas unit-unit glukosa atau unit sellobiosa dengan penghubung ikatan β-1-4 glukan (Gambar 2.18). Rantai-rantai selulosa tersusun dengan ikatan hidrogen yang disebut sebagai mikrofibril. Mikrofibril selulosa ini memiliki bentuk amorph (2θ = 16 derajat) dan kristal (sekitar 2/3 bagian, 2θ = 22 derajat).
30
Tinggi dan kuatnya gaya antar rantai akibat ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan, menyebabkan struktur kristal serat sulit didegradasi secara enzimatik sehingga digunakan sebagai serat pada komposit. Sementara itu hemiselulosa dan lignin berstruktur amorf yang sangat mudah terdegradasi oleh lingkungan. Pendekatan literatur peneliti sebelumnya juga dilakukan terhadap profil XRD selulosa whiskers (Gambar 2.16) dan bacterial celulloce (Gambar 2.17) yang merupakan α-selulosa, dimana pada bidang 002, 2 θ = 22 derajat menunjukkan struktur kristal selulosa dan hal ini memiliki kesamaan dengan profil XRD ekstraksi selulosa kulit rotan (Gambar 2.19). Gambar 2.19 menunjukkan hasil pengujian XRD selulosa kulit rotan metoda fermentasi (cuplikan E 2 ). Hasil ini semakin menguatkan bahwa ekstraksi fermentasi kulit rotan merupakan selulosa pada puncak difraksi tertinggi di 2θ = 22 derajat dan beberapa puncak yang terlihat amorf pada 2θ = 67 – 80 derajat. Analisa data puncak difraksi dengan metode Scherer (Persamaan 1 dan 2) dihasilkan ukuran kristalin (ACS) yang terdistribusi dari 80 μm - 599 nm. Sementara itu regangan mikro terkecil pada η = 2.9 x 10-10 (Lampiran 4). Berdasarkan penelusuran literatur deengan JCPDS (Joint Committee on Powder Diffraction) - ICDD (International Centre for Diffraction Data) selulosa kulit rotan yang dihasilkan berfasa β-selulosa, memiliki sistem kristal monoklinik dengan parameter kisi a = 7.87, b = 10.31, c = 10.13 dan α = γ = 90, β = 120. Indexing profil difraksi dilakukan dengan menggunakan powder-X, dimana struktur kristal pada puncak diffraksi terlihat pada indeks miller 002, 101, 012 (Lampiran 4).
Dimana : λ = Panjang gelombang Cu = 1.54 Å B = Lebar puncak difraksi (FWHM) η = Regangan mikro
31
2θ = 220
Gambar 2.16 Profil XRD dari selulosa whisker (Wang 2010).
Gambar 2.17 Profil XRD bacterial celulloce (Lee 2009).
2θ = 22 derajat
amorf
2θ Gambar 2.18 Profil XRD selulosa bagas (Rachmaniah 2011).
32
002 101 Amorf
2θ = 22 derajat
012
2θ Gambar 2.19 Profil XRD selulosa kulit rotan metoda fermentasi. Struktur mikro didalam cuplikan selulosa kulit rotan dengan metode fermentasi pada perbesaran 150.000 X (alat uji TEM) menunjukkan bahwa intensitas pada kristalinitas atom-atom serat selulosa yang cukup tinggi pada bidang-bidangnya
(Gambar
2.20).
Cahaya
terang
pada
Gambar
2.20c
menunjukkan daerah kristal pada bidang 002, sedangkan beberapa daerah difus amorf disekitarnya menunjukkan adanya kandungan lignin dan hemiselulosa yang masih tersisa. Selulosa yang berbentuk memanjang dan saling terhubung antara monomer satu dengan yang lain melalui β-1.4 poli glukosa, dimana unit ulangan dari molekul-molekulnya terikat melalui ikatan hidrogen di sekitar rantai membentuk mikrofibril dengan diameter berorde nanometer. Gambar 2.20b menunjukkan adanya kumpulan dari partikel-partikel yang lebih kecil dan mengumpul dengan bentuk menyerupai bola. Densitas merupakan suatu besaran fisis yaitu perbandingan massa dengan volume benda. Pengukuran densitas yang berbentuk padatan atau bulk digunakan metode Archimedes, dimana setiap benda yang tercelup dalam fluida akan mengalami gaya keatas (F apung ) yang besarnya sama dengan berat fluida yang dipindahkan (w). Hasil dari pengujian densitas menunjukkan bahwa densitas selulosa kulit rotan yang dihasilkan melalui fermentasi adalah 0.582 g cm-3. Sementara itu berdasarkan literatur (lampiran 5) massa jenis fiber glass adalah 2.73 g cm-3. Material dengan densitas kecil akan memiliki volume yang lebih besar sehingga kondisi ini membawa dampak positif pada aplikasi serat sebagai filler komposit dan pada aplikasi produk komposit yang dihasilkan.
33
Produk dari material berdensitas rendah akan memberi implikasi yang penting terhadap efisiensi penggunaan material dan proses produksinya yaitu dibutuhkan konsumsi energi yang lebih rendah selama proses manufaktur. Pada aplikasi komponen sepeda motor, densitas yang rendah akan mengurangi berat kendaraan sehingga berdampak pada penghematan bahan bakar. Hal ini merupakan salah satu keunggulan yang dimiliki oleh serat alam dibandingkan dengan serat sintetis sebagai material penguat komposit. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas terkait dengan berbagai macam pengukuran atau karakterisasi dan analisa pembahasan dari rendemen selulosa kulit rotan dengan metoda fermentasi Aspergillus niger dan beberapa pembanding (pendekatan literatur) dari penelitian sejenis sebelumnya, maka analisa struktur mikro dan kristalografi ini digunakan sebagai acuan atau input data didalam proses selanjutnya yaitu sintesa nanopartikel serat kuli rotan dengan metoda ultrasonik.
a
c
C
b
002 kristal
Gambar 2.20 Citra TEM selulosa kulit rotan hasil ekstraksi fermentasi pada perbesaran 3000X (a), 150.000X (b), dan 400X (c). Kesimpulan 1. Ekstraksi fermentasi selulosa kulit rotan menghasilkan rendemen optimum 60.8% dengan waktu fermentasi 10 hari pada penggunaan Aspergillus niger dengan jumlah spora 3 x 108. 2. Selulosa kulit rotan yang dihasilkan memiliki karakteristik berstruktur kristal monoklinik pada 2θ = 22 derajat ; hkl = 002, berfasa β-selulosa, tersusun atas unsur utama C = 47.50% dan O = 46.03%, unsur makromikro Mg, Si, S, Cl, K, Ca, Cu serta memiliki struktur nanofiber dengan ukuran panjang 2 nm (Uji TEM).
34
Daftar Pustaka Achyuthan KE. 2010. Polyphenolic lignin’s barrier lignocellulosic biofuels. Molecules 15:8641-8688.
to
cost-effective
Busairi AM, Hersoelistyorini W. 2009. Pengkayaan protein kulit umbi ubi kayu melalui proses fermentasi menggunakan pesponse surface methodology. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia; Bandung, 19-20 Oktober 2009. Jasni, Supriana. 1999. Rotan, Sifat fisis dan mekanis batang rotan. J Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Jasni, Rachman O. 2006. Rotan, sumberdaya, sifat dan pengelolaannya. J Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan 26: 22-28. Lee KY, Jonny J, Blaker, Bismarck A, 2009. Surface functionalisation of bacterial cellulose as the route to produce green polylactide nanocomposites with improved properties. J Composites Science and Technology 69:2724–2733. Mudyantini W. 2008. Pertumbuhan, kandungan selulosa, dan lignin pada rami (Boehmeria nivea L. Gaudich) dengan pemberian asam giberelat (GA3). Biodiversitas 9:269-274. Muhiddin NH, Juli N, Aryantha IN. 2001. Peningkatan kandungan protein kulit umbi ubi kayu melalui proses fermentasi. J Matematika dan Sains 6:1-12. Pari G. 2011. Pengaruh selulosa terhadap struktur karbon arang. J Penelitian Hasil Hutan 29:33-45. Rachmaniah O, Febriyanti L, Lazuardi K. 2009. Pengaruh liquid hot water terhadap perubahan struktur sel bagas. Prosiding Seminar Nasional XIV, FTI-ITS; Surabaya, 22-23 Juli 2009. Hlm 30-40. Rachmaniah O, Pahlevi R, Mendila CD. 2011. Structure features changes of galah grass (Saccharum spontaneum Linn) by liquid hot water pretreatment. J of Biobased Materials and Bioenergy 5:1–9. Sisworo SJ. 2009. Pengaruh penggunaan serat kulit rotan sebagai penguat pada komposit polimer dengan matriks polyester yucalac 157 terhadap kekuatan tarik dan D tekuk. J TEKNIK 30: 3-10. Syamsuriputra, Setiadi, Kushandayani, Yunus. 2006. Pengaruh kadar air substrat dan konsentrasi dedak padi pada Produksi asam sitrat dari ampas tapioka menggunakan Aspergillus niger ITBCCL74. Tellu AT. 2008. Sifat kimia jenis-jenis rotan yang diperdagangkan di propinsi sulawesi tengah. Biodiversitas 9:108-111.
35
Taherzadeh, Karimi K, Keikhosro. 2008. Macrofibril and microfibril in the celulloce. J Mol. Sci. 9:1621-1630. Tellu, AT. 2005. Kunci identifikasi rotan (Calamus spp.) asal Sulawesi Tengah berdasarkan struktur anatomi batang”. Biodiversitas 2: 113-117. Tellu, AT 2006. Kladistik beberapa jenis rotan Calamus sp. asal Sulawesi Tengah berdasarkan sifat fisik dan mekanik batang. Biodiversitas 7: 221-225. Tellu, AT 2007. Penentuan jenis dan kualitas rotan yang diperdagangkan di Sulawesi Tengah berdasarkan ciri morfologi batangnya. Eukariotik 5: 7-12. Siqueira G, Bras J, Dufresne A. 2010. Cellulosic bionanocomposites: A review of preparation, properties and applications. Polymers 2:728-765. Wang Y, Chang C, Zhang L. 2010. Effects of freezing/thawing cycles and cellulose nanowhiskers on structure and properties of biocompatible starch/PVA sponges. J Macromolecular Materials and Engineering 295:137–145.