BAB 2 DASAR TEORI 2.1
Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi
Pemetaan objek tiga dimensi diperlukan untuk perencanaan, konstruksi, rekonstruksi, ataupun manajemen asset. Suatu objek tiga dimensi merupakan objek yang memiliki dimensi panjang, lebar, dan tinggi yang direpresentasikan dengan koordinat tiga dimensi (X, Y, Z). Pelaksanaan pengambilan data dalam pemetaan tiga dimensi suatu objek dapat dilakukan dengan berbagai model pemetaan yang identik dengan peralatan yang digunakan. Pada dasarnya metodemetode tersebut menghasilkan output suatu data koordinat tiga dimensi dan setiap peralatan yang digunakan memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.
2.2 2.2.1
Fotogrametri Rentang Dekat Definisi Fotogrametri Rentang Dekat
Fotogrametri adalah seni, ilmu, dan teknologi untuk memperoleh informasi terpercaya tentang objek fisik dan lingkungan melalui proses perekaman, pengukuran, dan interpretasi gambaran fotografik dan pola radiasi tenaga elektromagnetik yang terekam (Wolf, 1983). Metode fotogrametri merupakan suatu metode pengukuran terhadap suatu objek yang dilakukan tanpa perlu bersentuhan langsung dengan objek yang diukur. Pengukuran terhadap objek dilakukan pada data yang diperoleh dengan perekaman citra pada suatu sensor yang digunakan. Istilah fotogrametri rentang dekat diperkenalkan sebagai suatu teknik fotogrametri terrestrial dengan jarak antara kamera dengan objek kurang dari 100m. (Cooper & Robson, 1996).
2.2.2
Prinsip Dasar Fotogrametri Rentang Dekat
Prinsip yang mendasari fotogrametri rentang dekat adalah kondisi kesegarisan. Kondisi kesegarisan (Colinerity condition) adalah kondisi yang menyatakan titik
7
objek pada dunia nyata, titik pusat proyeksi, dan titik objek di foto terletak dalam satu garis lurus.
y x (x0, y0)
y
a (xa, ya)
x Z A (XA, YA, ZA)
Pusat kamera (X0, Y0, Z0)
z Y
X
Sistem koordinat ruang
Gambar 2.1 Kondisi Kesegarisan (Colinearity Condition) (berdasarkan Atkinson, 1996)
Perhatikan gambar 2.1 (X 0 , Y 0 , Z 0 ) merupakan titik pusat kamera, (x a , y a , -c) merupakan koordinat titik A pada sistem koordinat berkas, dan (X A , Y A , Z A ) merupakan koordinat titik A pada sistem koordinat tanah, dengan demikian persamaan kesegarisan sebagai berikut (Cooper & Robson, 1996):
[r11 ( X 0 − X A ) + r12 (Y0 − y A ) + r13 (Z 0 − Z A )] [r31 ( X 0 − X A ) + r32 (Y 0 − y A ) + r33 (Z 0 − Z A )] [r ( X 0 − X A ) + r22 (Y0 − y A ) + r23 (Z 0 − Z A )] = −c 21 [r31 ( X 0 − X A ) + r32 (Y0 − y A ) + r33 (Z 0 − Z A )]
xa = −c ya
Keterangan : X 0 ,Y 0 ,Z 0
(2.1)
= Koordinat pusat pemotretan
X A ,Y A ,Z A
= Koordinat di permukaan bumi
x a , y a , -c
= Koordinat pada system koordinat berkas
c
= Principal distance
r ij
= Elemen dari matriks rotasi pada persaman (2.2) (Berdasarkan Cooper & Robson, 1996)
8
cos ω cos κ R = Rκ Rϕ Rω = − cos ϕ sin κ sin ϕ
sin ω sin ϕ cos κ + cos ω sin κ − sin ω sin ϕ cos κ + cos ω sin κ − sin ω cos ϕ
− cos ω sin ϕ cos κ + sin ω sin κ cos ω sin ϕ cos κ + sin ω sin κ cos ω cos ϕ
(2.2)
Keterangan : R κ
= Rotasi terhadap sumbu z
Rω
= Rotasi terhadap sumbu x
Rφ
= Rotasi terhadap sumbu y
2.2.2.1 Reseksi Ruang Reseksi ruang merupakan suatu metode yang ditujukan untuk mencari posisi dan orientasi kamera. Metode reseksi ruang dengan kondisi kesegarisan akan menghasilkan enam parameter orientasi luar (exterior orientation) yaitu X 0 , Y 0 , Z 0, ω, φ, dan κ. Posisi dan orientasi kamera diperlukan untuk penentuan posisi titik objek relatif terhadap sistem koordinat kamera.
Proses reseksi ruang menggunakan persamaan kesegarisan. Untuk melakukan reseksi ruang diperlukan minimal tiga titik kontrol tiga dimensi pada tiap foto. Sesuai dengan persamaan (2.1) bahwa setiap titik akan memberikan dua persamaan sehingga dengan tiga titik kontrol tersebut dapat diperoleh enam persamaan yang digunakan untuk mencari parameter orientasi luar. 2.2.2.2 Interseksi Ruang Interseksi ruang merupakan suatu metode untuk mencari koordinat titik (X, Y, Z) di dunia nyata. Untuk mendapatkan posisi objek pada dunia nyata, diperlukan berkas sinar objek yang sama dari foto lainnya (Leitch, 2002). Jika terdapat titik A di lapangan yang dapat diamati dari 2 foto, maka di setiap foto akan terdapat citra titik tersebut. Apabila diketahui posisi kamera dan arah sumbu optiknya, maka perpotongan sinar garis dari foto 1 dan foto2 akan dapat menentukan posisi koordinat titik P tersebut (Wolf, 1993).
9
y1
A
x1 P1 z1
R1
y2 z2 x2 R2
Y Z P2
X
a2
Gambar 2.2 Interseksi 2 Berkas Sinar (Cooper & Robson, 1996)
2.3 2.3.1
Terrestrial Laser Scanner Definisi Terrestrial Laser Scanner
3D Laser Scanner atau lebih dikenal dengan sebutan Laser Scanner merupakan instrumen analisis objek real world yang dapat mengumpulkan data permukaan dan bentuk objek kemudian ditampilkan dalam bentuk tiga dimensi. (http://en.wikipedia.org).
Data
yang
terkumpul
dapat
digunakan
untuk
mengkonstruksi bentuk suatu objek tiga dimensi secara digital. Pengkombinasian antara laser dengan pemindaian (scanner) secara optis dengan kecepatan tinggi dapat menghasilkan model tiga dimensi suatu objek industri, bangunan, dan struktur yang sulit dijangkau secara detail dan akurat.
Alat ini dapat secara
langsung menghasilkan data tiga dimensi dalam jumlah yang besar, kompleks, tidak beraturan, standar atau objek yang tidak standar, dan dapat dengan cepat membuat kembali model tiga dimensi yang meliputi garis, permukaan, dan fitur tiga dimensi lainnya. Contoh 3D Terrestrial Laser Scanner ditunjukkan pada gambar 2.3.
10
Gambar 2.3 Terrestrial Laser Scanner Leica Scan Station 2 (www.leica-geosystem.com)
2.3.2
Prinsip Kerja Terrestrial Laser Scanner
Leica Scan Station 2 dalam merekam objek tidak memerlukan reflektor atau biasa dikenal dengan reflectorless. Terrestrial Laser Scanner termasuk dalam kategori laser scanner non-contact aktif yaitu scanner yang dapat memancarkan radiasi atau suatu cahaya dan mendeteksi pantulannya untuk medapatkan data mengenai suatu objek. Dalam melakukan pengambilan data Terrestrial Laser Scanner menggunakan suatu teknologi yang disebut dengan Time Of Flight. Terrestrial Laser Scanner Time Of Flight merupakan suatu teknologi yang banyak digunakan saat ini.
Time-of flight Terrestrial Laser Scanner merupakan suatu laser scanner aktif yang menggunakan sinar untuk mendeteksi suatu objek. Inti dari teknologi ini adalah time-of-flight laser rangefinder. Laser Rangefinder ini digunakan untuk mengetahui jarak dari permukaan suatu objek dengan menghitung waktu tempuh pulang-pergi dari suatu pulsa cahaya. Satu pulsa cahaya digunakan untuk mengukur satu jarak dari waktu tempuhnya dari mulai dipancarkannya pulsa hingga mengenai objek, kemudian diterima kembali pantulan dari pulsa tersebut oleh detektor, karena cepat rambat cahaya (c) telah diketahui dan waktu tempuh cahaya tersebut dari mulai dipancarkan sampai diterima kembali oleh sensor
11
diketahui juga sehingga dapat dihitung jaraknya sebagai berikut (Firdaus. W, 2008) :
1 d = × c × ∆t 2 Keterangan : d
(2.3)
: Jarak dari alat ke objek (meter)
c
: Cepat rambat gelombang (meter/second)
∆t
: Waktu tempuh (second)
Laser Rangefinder hanya mengukur jarak pada arah pandangnya. Dengan mengubah arah pandang laser rangefinder didapat jarak suatu titik pada arah yang berbeda pula. Perubahan arah pandang dapat dilakukan dengan memutar Laser Rangefinder maupun dengan suatu sistem putaran cermin. Sistem putaran cermin lebih banyak digunakan karena lebih ringan dan dapat diputar lebih cepat dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi. Teknologi tersebut memungkinkan Terrestrial Laser Scanner untuk mengukur jarak sebanyak 10.000~100.000 titik per detik. Terrestrial laser scanner dapat diputar 3600 pada arah horisontal dan 2700 pada arah vertikal. Seperti halnya pada Elektronik Total Station, pada laser scanner pun memiliki suatu lingkaran horisontal dan vertikal yang digunakan untuk mengukur sudut vertikal dan horisontal agar diperoleh koordinat 3D suatu titik. 2.4
Electronic Total Station
Electronic Total Station (ETS) adalah suatu alat yang merupakan kombinasi theodolit elektronik, Electronic Distance Meter (EDM) dan perangkat lunak yang berfungsi sebagai kolektor data. Data yang diperoleh dari pengukuran menggunakan Electronic Total Station berupa sudut dan jarak, kemudian dengan menggunakan persamaan trigonomerti dapat diperoleh koordinat suatu titik relatif terhadap titik tertentu. 2.4.1
Prinsip Dasar Pengukuran Sudut Pada Electronic Total Station
Pada dasarnya pengukuran sudut dengan menggunakan Electronic Total Station sama dengan pengukuran sudut pada theodolit. Di dalam Electronic Total Station
12
terdapat dua buah sumbu yang kedua sumbu tersebut terdapat suatu skala yang dapat digunakan untuk menyatakan besarnya sudut. Data sudut yang harus diketahui untuk memperoleh koordinat 3D adalah sudut vertikal dan sudut horisontal, sudut horisontal digunakan untuk mendapatkan posisi horisontal (X,Y) dan sudut vertikal digunakan untuk memperoleh posisi vertikal (Z).
Gambar 2.4 Prinsip Pengukuran Sudut pada Theodolit (http://en.wikipedia.org/) 2.4.2
Pengukuran Jarak Pada Electronic Total Station
Pengukuran jarak pada Electronic Total Station pada dasarnya merupakan pengukuran jarak menggunakan Electronic Distance Meter (EDM). Untuk memperoleh jarak, Electronic Total Station memancarkan suatu gelombang (Salah satunya adalah gelombang Infra merah) dari pusat lensa Electronic Total Station ke suatu objek yang akan diketahui posisinya kemudian menerima pantulannya. Untuk mengetahui jarak dari alat ke target dihitung berdasarkan cepat rambat gelombang yang dikalikan dengan waktu tempuhnya.
Data yang diperoleh dalam pengukuran menggunakan Electronic Total Station pada dasarnya berupa sudut dan jarak. Pengambilan data dilakukan dengan metode tachymetry. Metode tachymetry menggunakan metode polar untuk penentuan posisi horisontalnya (X,Y) dan menggunakan metode Trigonometri untuk perhitungan posisi tinggi (Z).
13
Penghitungan posisi horisontal menggunakan metode polar dihitung dengan persamaan (2.4) (Berdasarkan Purwohardjo, 1986). X ' = X + d sin α Y ' = Y + d cos α Keterangan : X,Y,Z
(2.4)
: Koordinat titik acuan
X’,Y’, Z’
: Koordinat objek
α
: Azimuth (Sudut jurusan)
d
: Jarak mendatar antar titik
Pengukuran beda tinggi menggunakan metode trigonometri dengan persamaan (2.5 a). h = Dm. sin m atau h = D. cos m
(2.5 a)
Dengan demikian maka tinggi titik dapat dihitung dengan persamaan (2.5 b). Z ' = Dm. sin m + ta atau Z ' = D. cos m + ta
(2.5 b)
Gambar 2.5 Metode Tachymetry (Kusumadarma, 2008) Keterangan gambar: α
= Sudut jurusan
m
= Sudut miring
Dm
= Jarak miring
D
= Jarak datar
ta
= Tinggi alat = Titik kontrol bangunan = Titik kerangka dasar
14