BAB 15 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH
Untuk mewujudkan lembaga demokrasi yang makin kukuh, seperti pada periode- periode sebelumnya, pada kuartal terakhir tahun 2006 dan semester pertama tahun 2007 ini pemerintah telah berusaha sekuat tenaga memikul dan melaksanakan amanat yang sesungguhnya tidak lebih ringan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas bebannya dibandingkan dengan periode-periode awal pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu. Semua itu tentu dalam upaya merealisasikan janji-janji kepada masyarakat termasuk di dalamnya upaya menjaga dan mendorong proses demokrasi. I.
Permasalahan yang Dihadapi
Pilkada secara demokratis dan jurdil tetap merupakan salah satu perhatian terpenting pemerintah dalam melaksanakan amanat demokrasi pada tahun 2006-2007 ini. Pilkada langsung merupakan suatu cermin adanya jaminan dan penghormatan terhadap hak politik masyarakat pada tingkat daerah dan lokal. Secara umum, permasalahan utama Pilkada yang dihadapi di lapangan adalah (1) kurang akuratnya penetapan data pemilih; (2) persyaratan calon yang
tidak lengkap atau tidak memenuhi persyaratan (ijazah palsu/tidak punya ijazah); (3) permasalahan internal parpol dalam hal pengusulan pasangan calon; dan (4) masyarakat seringkali mengeluhkan kinerja KPUD yang seringkali dianggap kurang transparan, tidak independen dan memberlakukan pasangan calon secara kurang antara satu dengan lainnya karena berbagai adanya hambatan teknis dan pengawasan yang kurang. Proses pelembagaan demokrasi pada tingkat penyelenggaraan negara, walaupun telah mengalami peningkatan kapasitas yang cukup besar selama setahun terakhir, permasalahan yang dihadapi adalah masih relatif belum optimalnya kemampuan lembagalembaga penyelenggara negara dalam menjalankan akuntabilitas politik dan publiknya. Akuntabilitas politik dan publik merupakan tuntutan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penyelenggara negara tersebut. Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah terkait dengan persoalan hubungan antarlembaga. Selama setahun terakhir ini makin kuat munculnya aspirasi-aspirasi bagi penyempurnaan mekanisme checks and balances, terutama yang menyangkut keterkaitan hubungan kelembagaan antara DPR dan DPD sebagai konsekuensi dari sistem bikameral parlemen kita. Apakah semua aspirasi masyarakat mengenai penguatan sistem parlemen bikameral akan berujung kepada perlunya amendemen UUD 1945 bagi penyempurnaan peran DPD di dalam parlemen. Yang penting semua proses politik yang mengarah kepada amendemen UUD 1945 atau perundang-undangan yang lebih rendah diharapkan tetap berada di dalam koridor konsolidasi demokrasi dan tidak mengorbankan persatuan bangsa. Perubahan struktur dan substansi UUD 1945, serta disahkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang ada dalam beberapa tahun terakhir telah memberikan koridor hukum pelaksanaan peran dan fungsi kelembagaan politik yang ada. Pelaksanaan peran dan fungsi lembaga-lembaga dimaksud secara lebih optimal akan menciptakan hubungan kekuasaan yang seimbang yang pada gilirannya akan menentukan pula keberhasilan pelaksanaan konsolidasi demokrasi. Berkaitan dengan perundang-undangan, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang
15 - 2
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) sangat penting untuk dicatat. MK menyatakan bahwa Pasal 27 UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) yang berbunyi “Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan” bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi, karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal tersebut, implikasi hukumnya mengakibatkan seluruh pasal berkaitan dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan. Pembatalan ini dinyatakan Mahkamah Konstitusi dalam sidang pembacaan putusan perkara 006/PUU-IV/2006 yang dimohonkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orba (LPR-KROB), Raharja Waluya Jati, dan H. Tjasman Setyo Prawiro dengan kuasa hukum Tim Advokasi Keadilan dan Kebenaran, pada tanggal 7/12/2006. Hal yang melatarbelakangi Pasal 27 UU KKR dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah karena tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada korban karena pemberian kompensasi dan rehabilitasi digantungkan kepada sesuatu yang belum pasti, yaitu amnesti. Amnesti itu sepenuhnya merupakan kewenangan presiden untuk memberikan atau tidak setelah mendengar pertimbangan DPR sekali pun, misalnya telah terbukti bahwa yang bersangkutan adalah korban. Hal itu dianggap tidak adil bagi korban sebab di satu pihak, pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara implisit dinyatakan sebagai hak (Pasal 29 Ayat (3) UU KKR), tetapi kompensasi dan rehabilitasi secara implisit pun tidak disebut sebagai hak. Selain itu, ketentuan Pasal 27 UU KKR juga dianggap tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada pelaku karena tidak terdapat jaminan bahwa pelaku akan dengan sendirinya memperoleh amnesti setelah mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas
15 - 3
perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban dan atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. Dengan pembatalan UU No.27 Tahun 2004 itu, semua pihak hendaknya memikirkan alternatif perundangan yang lebih tepat dan dapat diterima sebagai dasar dilakukan rekonsiliasi nasional pada masa mendatang. Hal ini sangat berkaitan dengan keprihatinan tentang masih adanya persoalan-persoalan mengganjal pada masa lalu yang belum tuntas, seperti pelanggaran HAM berat dan tindakan-tindakan kejahatan politik. Demokratisasi akan sulit berjalan atau akan mengalami hambatan jika persoalan-persoalan masa lalu, seperti pelanggaran HAM dan tindakan-tindakan kejahatan politik, belum diselesaikan terlebih dahulu. Di sisi masyarakat disadari bahwa dari segi ekonomi maupun pendidikan, kondisi masyarakat sipil masih cukup lemah. Padahal, dengan menurunnya peran pemerintah pusat, sejalan dengan asas checks and balances dan berlanjutnya desentralisasi politik dan otonomi daerah maupun otonomi khusus, masyarakat sipil pada saat yang sama diharapkan mampu mengambil inisiatif berpartisipasi dalam mengisi peran-peran publik yang sebelumnya dimainkan pemerintah. Begitu pun halnya dengan peran partai politik yang masih relatif belum optimal dalam menjalankan fungsi wadah penyalur aspirasi politik rakyat serta fungsi pendidikan dan agregasi politik. Pola hubungan negara dan masyarakat yang konstruktif akan mendorong proses konsolidasi demokrasi. Untuk itu, masyarakat perlu mendapatkan ruang kebebasan dan tanggung jawab yang lebih besar sehingga pada saatnya nanti akan memiliki dinamika tersendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang berada di dalam domain kemasyarakatan secara lebih otonom dan independen, dengan kekayaan inovasi dan kreasi sendiri. Walaupun kedewasaan masyarakat secara umum dalam menyikapi berbagai persoalan bangsa semakin meningkat baik dilihat dari partisipasi politik maupun peran serta memperluas ruang kebebasan yang ada secara lebih bertanggung jawab, pada saat yang sama tetap saja ada orang atau kelompok yang tidak segan memanfaatkan ruang politik untuk mengadu domba, memprovokasi kerusuhan sosial untuk memancing di air keruh, serta menimbulkan masih adanya potensi-potensi
15 - 4
ekstrem dari kelompok penganut ideologi terlarang dan kelompok yang berorientasi separatis. Di bidang komunikasi dan informasi, kemerdekaan pers dan media massa saat ini masih belum mampu dipahami dan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh semua pihak, termasuk oleh kalangan pers sendiri sebagai sarana pencerdasan dan peningkatan kesadaran sosial politik masyarakat. Keluhan dari pihak masyarakat pers adalah bahwa hal itu dimungkinkan, antara lain, oleh belum kokohnya peraturan perundangan yang menjadi jaminan kemerdekaan pers dan media massa, karena sifatnya yang kurang implementatif serta berpotensi menimbulkan banyak penafsiran sehingga kurang efektif dalam memberikan arah perkembangan pers. Pemerintah juga berharap pihak-pihak yang bersangkutan dengan perkembangan pers dan media massa ikut mawas diri untuk selalu berusaha meningkatkan kemampuan profesional kalangan pers dan media massa dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Di sisi lain, pemerintah menerima keluhan masyarakat yang mengatakan bahwa kebijakan komunikasi dan informasi nasional juga masih belum optimal dalam menjamin hak-hak masyarakat dalam memperoleh informasi. Masyarakat Indonesia secara keseluruhan hingga saat ini masih belum dapat menjangkau dan mengakses informasi yang diperlukannya termasuk informasi pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Persoalan itu terkait dengan ketersediaan infrastruktur dan juga profesionalitas media massa dalam menjalankan perannya dalam mencerdaskan bangsa.
II.
Langkah Kebijakan dan Hasil yang Dicapai
Beberapa upaya telah dilakukan dan akan ditempuh oleh pemerintah untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang diarahkan untuk tetap memelihara momentum awal konsolidasi demokrasi, yaitu: (1) meningkatkan kualitas dan kredibilitas sistem dan proses penyelenggaraan pemilu; (2) melaksanakan perbaikan peraturan perundangan dan penegakan hukum; (3) memperkuat kapasitas dan kredibilitas lembaga-lembaga penyelenggara negara; (4) mendukung peningkatan kapasitas masyarakat sipil dan partai politik; dan (5) 15 - 5
memperkuat akses masyarakat sipil melalui berbagai media dan informasi publik dalam proses pengambilan keputusan publik dan pengawasan jalannya penyelenggaraan negara. Berbagai pelaksanaan kebijakan tersebut telah memberikan hasil yang cukup menggembirakan terutama sumbangannya yang positif terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Salah satu perkembangan demokrasi terpenting di tanah air pada beberapa tahun terakhir ini adalah diselenggarakannya pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Pilkada langsung merupakan cermin adanya jaminan dan penghormatan terhadap hak politik masyarakat pada tingkat daerah dan lokal. Persoalan umum dalam pilkada yang tentunya menjadi keprihatinan kita semua adalah terkait politik uang, daftar pemilih, persyaratan calon dan kelengkapan dokumendokumen peserta pilkada dan adanya ketidakpuasan para pendukung pasangan calon terhadap proses dan hasil pilkada, terutama perhitungan suara. Persoalan-persoalan itu merupakan potensi menimbulkan konflik dan ketidakharmonisan di dalam masyarakat dan perlu mendapatkan perhatian dan perbaikannya segera sehingga pilkada selanjutnya di daerah lainnya dapat dilaksanakan dengan lebih baik. Berbagai persoalan pilkada itu dapat dijadikan pembelajaran untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu pada tahun 2009 dengan lebih baik. Dari aspek sosiologis psikologis, upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah melaksanakan sosialisasi dan dialog interaktif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memantapkan persiapan pelaksanaan pilkada. Untuk para kandidat pemimpin provinsi dan kabupaten/kota telah pula diupayakan pengembangan budaya berkompetisi siap menang siap kalah sebagai bentuk nyata penerapan nilai demokrasi. Sebagai tindak lanjut pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada 1 Agustus 2006 telah pula difasilitasi pembentukan partai lokal yang diatur melalui PP No. 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Pilkada di Aceh yang dilaksanakan serentak di 19 kabupaten/kota di Provinsi NAD telah berlangsung dengan adil, aman dan demokratis. Namun, barubaru ini muncul kontroversi dengan dibentuknya Partai GAM yang menggunakan atribut-atribut GAM, seperti bendera GAM. Padahal, 15 - 6
salah satu syarat pendirian organisasi adalah tidak menggunakan nama lambang atau simbol yang menjurus atau mendorong pada disintegrasi NKRI. Secara umum, hampir seluruh penyelenggaraan pilkada dapat dilaksanakan dengan kualitas demokrasi yang cukup baik. Mulai 1 Juni 2005 hingga akhir Juni 2007 telah dilaksanakan proses pilkada di 304 daerah, yang terdiri atas 15 provinsi, 242 kabupaten dan 47 kota. Sebanyak 90% dari kepala daerah yang terpilih pada periode itu telah dilantik untuk menduduki jabatan-jabatannya masing-masing. Keberhasilan ini tidak terlepas dari dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan sebagian besar pilkada di hampir seluruh wilayah Republik Indonesia. Masyarakat dengan segala kekurangan dan kelebihan pemahaman politiknya telah menjadi tulang punggung keberhasilan pelaksanaan pilkada di berbagai daerah tersebut. Tanpa ada dukungan kesadaran politik masyarakat, tingkat keberhasilan pilkada tidak akan setinggi seperti sekarang ini. Pelaksanaan pilkada Indonesia adalah sebuah pekerjaan besar, yang hanya dapat dibandingkan dengan pelaksanaan pemilihan demokratis di tingkat negara bagian di Amerika Serikat maupun India. Indonesia berhasil memantapkan posisinya sebagai negara demokrasi terbesar ke tiga di dunia setelah dua negara itu. Dengan mengingat belum berpengalamannya Indonesia dalam melaksanakan proses itu, keberhasilan yang ada makin bernilai artinya dalam meningkatkan rasa percaya diri. Masyarakat relatif sudah cukup matang dalam berdemokrasi, serta pada umumnya sudah mampu membedakan sengketa pilkada yang berdimensi demokratis dengan yang berdimensi anarki dan kriminal. Masyarakat umumnya cukup menyadari bahwa pilkada dilaksanakan untuk kepentingan rakyat dan pelaksanaannya merupakan cerminan terhadap hak-hak sah masyarakat di tingkat daerah dan lokal. Bahkan, masyarakat cukup menyadari dan memahami bahwa permasalahan dalam pelaksanaan pilkada sesungguhnya bukan berasal dari dalam masyarakat itu sendiri. Masyarakat sudah dapat menilai bahwa berbagai kelemahan yang berasal dari luar dirinya, terkait dengan peserta pilkada, kelemahan peraturan-peraturan pilkada, kelemahan dalam proses pelaksanaan dan pengawasan pilkada, serta kelemahan-kelemahan di dalam 15 - 7
penegakan hukum, khusus yang menyangkut penyelesaian konflik pilkada atau yang berkaitan dengan pilkada. Potensi dan kelebihan yang dimiliki masyarakat inilah yang mampu meredam setiap konflik, atau paling tidak, setiap konflik tidak pernah berlanjut dengan menghasilkan konflik yang sangat begitu parah. Dari hasil evaluasi pilkada tahun 2005-2006, dalam rangka meminimalisasi konflik yang berkembang di masyarakat dan untuk mengefektifkan serta mengefisienkan anggaran pelaksanaan pilkada, saat ini muncul wacana agar pilkada gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dalam satu provinsi dilaksanakan secara serentak dan dengan pendanaan bersama antara pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/ kota, serta wacana calon independen. Hal itu akan menjadi bahan masukan dan bahan pengkajian dalam rangka penyempurnaan peraturan perundangan yang berkaitan dengan pelaksanaan Pilkada. Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Juli 2007 telah mengabulkan judicial review terhadap UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang tidak memberikan ruang keikutsertaan calon independen dalam pilkada. Dengan demikian, kesesuaian dengan keputusan MK tersebut, para calon independen akan dapat mempergunakan hak politiknya menjadi calon pemimpin daerah. Implikasi dikabulkannya judicial review ini akan membawa konsekuensi pada tuntutan untuk diberikannya hak bagi calon independen ikut dalam mekanisme seleksi kepemimpinan politik pada pemilu 2009 mendatang. Adanya tuntutan masyarakat agar calon independen menggunakan hak politiknya merupakan cermin adanya ketidakpercayaan parpol menjadi wadah penyalur aspirasi politik masyarakat. Tuntutan calon independen ini pun mencerminkan adanya ketidakpercayaan masyarakat kepada para elit politik yang berasal dari parpol. Dengan dikabulkannya judicial review tersebut dapat menjadi pengalaman dan pembelajaran bagi parpol di Indonesia untuk lebih meningkatkan peranannya sebagaimana yang dikehendaki oleh masyarakat konstituennya. Respon yang positif dengan pengalaman ini telah ditunjukan oleh berbagai partai politik untuk memperbaiki perannya. Bagi pemerintah keputusan MK ini perlu didukung sepenuhnya dan
15 - 8
pemerintah akan mengambil langkah-langkah kebijakan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaannya. Masih terkait dengan mekanisme seleksi kepemimpinan politik, khususnya dalam menghadapi pemilu 2009, perjalanan dan dinamika politik dalam negeri telah melahirkan kebutuhan untuk menyempurnakan kembali paket undang-undang bidang politik yang antara lain dimaksudkan untuk menegaskan keberadaan partai politik sebagai institusi penyaluran aspirasi politik, dan mengatur lebih lanjut hal-hal yang terkait dengan pendidikan politik, keuangan partai politik serta aspek-aspek kelembagaan dan proses politik lainnya. Hingga saat ini telah disusun UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Sementara itu, empat RUU di bidang politik lainnya saat ini telah diajukan kepada DPR-RI untuk dibahas bersama pemerintah dan selanjutnya akan menjadi dasar dan piranti untuk penyelenggaraan pemilu tahun 2009. Keempat rancangan undang-undang tersebut adalah RUU tentang Partai Politik; RUU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; RUU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; dan RUU tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD selanjutnya disampaikan ke DPR RI untuk dibahas bersama. Pengesahan undang-undang bidang politik tersebut diharapkan selesai sebelum berakhirnya tahun 2007. Keterlambatan penyelesaiannya akan berakibat pada terbatasnya waktu yang tersedia dalam penyusunan jadual alokasi waktu untuk tahapan dan program/kegiatan penyelenggaraan pemilu 2009. Sebagai tindak lanjut UU No. 22 Tahun 2007 telah dibentuk tim seleksi calon anggota komisi pemilihan umum yang berasal dari unsur akademisi, profesional dan masyarakat untuk membantu menjaring calon anggota komisi pemilihan umum (KPU) yang diajukan ke DPR-RI. Tim seleksi anggota KPU tersebut ditetapkan dengan Keppres RI No. 12 Tahun 2007 tentang pembentukan Tim Seleksi Anggota KPU. Saat ini sebanyak 45 calon anggota KPU hasil seleksi telah diinformasikan kepada masyarakat luas untuk memperoleh penilaiannya. Diharapkan pada bulan Oktober 2007, 7 anggota KPU akan ditetapkan. Undang-undang No. 22 Tahun 2007 pasal 129 telah menetapkan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebagai lembaga 15 - 9
permanen, bukan lagi lembaga adhoc. Panwaslu harus dibentuk lima bulan setelah terbentuknya anggota KPU baru. Berdasarkan undangundang yang baru ini, petugas pengawas lapangan akan ada sampai dengan tingkat desa/kelurahan dan akan ada juga di setiap kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Pada pemilu 2004 keberadaan institusi Panwaslu hanya sampai dengan tingkat kecamatan dan hanya ada di dalam negeri saja. Dalam penguatan pelembagaan demokrasi, pemerintah tetap berupaya melanjutkan dan mempertajam upaya pemerintah sebelumnya dalam melaksanakan proses konsolidasi demokrasi. Dukungan berbagai program capacity building tidak saja untuk lembaga eksekutif, melainkan juga legislatif dan yudikatif telah secara intensif dilakukan dalam dua tahun terakhir ini walaupun kinerja lembaga-lembaga tersebut belum sepenuhnya dikatakan baik oleh masyarakat. Peningkatan kapasitas DPRD, DPRP, dan MRP pun telah mendapatkan dukungan fasilitasi dalam dua tahun terakhir ini. Terkait dengan persoalan aspirasi untuk memperbaiki posisi kekuasaan DPD, apa pun pilihan yang diputuskan hendaknya harus dilakukan dengan cara-cara konstitusional. Di samping itu, pada prinsipnya keputusan mengenai fungsi, hak, dan kedudukan DPD pada masa mendatang diharapkan dapat memperkuat parlemen sebagai lembaga legislasi dan bukan sebaliknya memperlemah parlemen dalam konteks konsolidasi demokrasi pada masa mendatang. Berkaitan dengan upaya kelanjutan dan percepatan upaya untuk meningkatkan peran masyarakat sipil dalam penyelenggaraan pemerintahan dan negara, pemerintah terus berupaya melakukan berbagai forum konsultasi terbuka untuk memperoleh masukan bagi penyempurnaan UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang oleh banyak kalangan di masyarakat sudah tidak relevan lagi di dalam mengakomodasi perkembangan proses demokrasi saat ini dan pada masa depan. UU Ormas tersebut saat ini sudah masuk dalam daftar undang-undang yang diprioritaskan untuk diselesaikan pada tahun 2007.
15 - 10
Dalam rangka peningkatan partisipasi politik masyarakat dalam konteks ketatanegaraan melalui dukungan pembangunan infrastruktur dan suprastruktur politik, salah satu langkah yang dilakukan adalah melalui pelaksanaan kebijakan PP No. 29 tahun 2005 Tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik. Di bidang komunikasi dan informasi, sudah cukup disadari sepenuhnya bahwa media massa yang terjamin kebebasan dan independensinya pada gilirannya akan menguntungkan semuanya, baik negara maupun masyarakat. Walaupun seringkali dianggap merugikan kepentingan-kepentingan politik tertentu (vested interest), precision journalism (berdasarkan investigative reporting) justru dapat menjadi semacam early warning system terhadap ancamanancaman laten terhadap negara dan masyarakat, termasuk praktikpraktik yang merongrong kekayaan rakyat, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Perkembangan akhir-akhir ini yang terkait dengan revisi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah terdapatnya perbedaan pendapat di kalangan publik yang melihat bahwa upaya revisi ini berpotensi besar untuk mengembalikan kontrol pemerintah terhadap kebebasan pers yang telah dijamin melalui undang-undang tersebut. Untuk itu, pemerintah melihat bahwa Revisi UU Pers tidak bisa dilakukan jika tidak ada inisiatif dari jurnalis untuk mendorong melakukan hal tersebut. Esensi revisi UU Pers sebenarnya untuk peningkatan kualitas dari jurnalis dalam memberikan informasi yang sehat dan bertanggung jawab. Informasi yang sehat sangat diperlukan oleh masyarakat sebab pada saat ini hal itu merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Pemerintah bersama pers diharapkan dapat mengembangkan kerja sama yang sinergis dalam memberikan informasi yang sehat kepada masyarakat karena tujuan keduanya adalah memberikan nilai edukasi dan kontrol sosial. Terkait dengan pelayanan komunikasi dan informasi publik di berbagai bidang sebagai upaya untuk menyediakan informasi kepada publik secara meluas, beberapa hal yang telah dilakukan adalah penyebaran informasi publik melalui berbagai penerbitan media cetak, media elektronik (seperti Kominfo News Room), siaran radio dan televisi daerah, forum dialog interaktif, forum publik, saresehan, jajak pendapat, media luar ruang, forum pemberdayaan lembaga 15 - 11
komunikasi perdesaan, pemantau media, pemanfaatan media tradisional dan pentas pertunjukan rakyat, dan penyelenggaraan Meet The Press/Media Gathering dengan perwakilan asing. Untuk mengatasi hambatan penyebaran informasi ke daerah, upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan meningkatkan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah. Untuk meminimalkan kendala akses terhadap informasi publik, pemerintah pun menyediakan mobil unit operasional yang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat yang berada pada lokasi terpencil dan sulit terjangkau oleh teknologi informasi modern. Berbagai program layanan komunikasi dan informasi yang telah dan akan dilaksanakan tentu berdampak positif bagi upaya memperkuat masyarakat melalui penciptaan berbagai akses masyarakat terhadap informasi yang dibutuhkannya. Hal itu menjadi modal penting bagi berjalannya proses konsolidasi demokrasi yang semakin kuat didalam masyarakat. Pemerintah bersama-sama DPR dalam dua tahun terakhir ini sedang berupaya menuntaskan pengesahan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik agar transparansi lembaga-lembaga publik terhadap informasi kepada masyarakat dijamin pelaksanaannya. Diharapkan pada akhir tahun 2007, undang-undang tersebut dapat disahkan.
III.
Tindak Lanjut yang Diperlukan
Pada dasarnya, tindak lanjut yang diperlukan di dalam penyelesaian berbagai konflik dalam proses Pilkada adalah perlunya pemerintah dan masyarakat terus mendukung pelaksanaan pilkada langsung dengan aman, tertib, dan lancar, serta melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pilkada untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan negatif yang timbul yang justru akan menghambat perlaksanaan pilkada itu sendiri. Peningkatan pemahaman mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam konteks peningkatan partisipasi politik di dalam pilkada dan sikap berbudaya politik demokratis harus pula dilakukan secara sistematis dan terukur, dan harapannya adanya peningkatan pemahaman tersebut dapat mendorong perubahan sikap dan perilaku masyarakat, yang pada 15 - 12
gilirannya secara sistematis dapat mempergunakan money politics.
mengikis
perilaku
yang
Dengan demikian, menurut hemat pemerintah, tekanantekanan penting yang perlu diberikan dalam penyelenggaraan pilkada pada masa penyelenggaraan pilkada mendatang adalah berupa perlunya memperhatikan tahap-tahap rawan dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pilkada, yakni peningkatan kapasitas pengawasan proses kampanye calon dan proses verifikasi calon untuk menghindarkan adanya manipulasi suara melalui politik uang dan pemalsuan dokumen-dokumen riwayat hidup peserta pilkada. Selain itu, aparat penyelenggara, badan pengawas, aparat keamanan harus ekstra hati-hati di dalam menjaga netralitas, transparansi dalam pelaksanaan tugas-tugas yang dibebankan oleh negara kepada mereka. Tugas penyelenggaraan pilkada, seperti halnya penyelenggaraan pemilu nasional adalah tugas yang sangat mulia dan terhormat. Oleh karena itu, perlu dihargai tinggi sebagai bagian dari pelaksanaan amanat penderitaan rakyat dan pemenuhan amanat kedaulatan rakyat Indonesia. Di samping itu, penyempurnaan atas peraturan perundangan di bidang politik harus segera dituntaskan pada tahun 2007 ini mengingat keempat undang-undang tersebut menjadi instrumen penting peningkatan kualitas mekanisme seleksi kepemimpinan politik pada Pemilu 2009. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah penyempurnaan tersebut harus meletakkan secara lebih tepat dan kokoh peran dan fungsi lembaga-lembaga demokrasi yang ada di Indonesia saat ini. Khusus yang terkait dengan pembentukan partai lokal, pada masa yang akan datang komitmen dan kesepakatan bersama seluruh pihak terhadap implementasi PP No. 20 Tahun 2007 agar kontroversi pembentukan partai lokal yang mengarah pada tidak dilaksanakannya semangat UU Pemerintahan Aceh dan PP No. 20 Tahun 2007, seperti disintegrasi, dapat dihindarkan. Intinya, komitmen ini harus direfleksikan dalam bentuk apa pun di dalam kehidupan sosial politik masyarakat termasuk dalam pembentukan partai lokal.
15 - 13
Proses konsolidasi demokrasi akan terjaga apabila kapasitas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudiktif terus-menerus ditingkatkan pada tahun 2007 dan seterusnya. Begitupun dengan dorongan untuk memperkuat kemampuan kapasitas masyarakat sipil agar dapat melaksanakan fungsi pengawasan terhadap jalannya penyelenggaraan negara yang akuntabel. Partai politik perlu diberikan dorongan terutama untuk dapat meningkatkan perannya dalam menyalurkan aspirasi politik, melaksanakan kaderisasi dan seleksi kepemimpinan politik, serta melaksanakan pendidikan politik rakyat. Penyempurnaan struktur, peraturan, dan perundang-undangan untuk mendukung proses politik terutama dalam konteks hubungan antarlembaga perlu untuk ditindaklanjuti pada masa yang akan datang. Pada tingkat masyarakat, upaya mewujudkan dan memperkuat masyarakat sipil perlu dilakukan, antara lain melalui upaya mempercepat pembentukan UU Keormasan yang baru sebagai pengganti UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pada tahun 2007, penguatan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan merupakan kebijakan politik yang sebaiknya jangan ditunda-tunda dalam pembangunan demokrasi. Sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai demokrasi ke dalam semangat masyarakat dan bangsa Indonesia perlu untuk dilakukan pada tahun depan dan tahuntahun mendatang. Pemerintah bersama-sama DPR tetap perlu menargetkan penyelesaian UU tentang Keterbukaan Informasi Publik pada tahun 2007 ini. Dengan diberlakukannya UU ini kemudian diharapkan tidak ada lagi keragu-raguan terhadap itikad pemerintah untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam mendapatkan informasi yang seluas-luasnya tanpa pembatasan-pembatasan yang tidak perlu. Di samping itu, pemerintah akan selalu mengadakan kerjasama dengan berbagai pemangku pihak di luar pemerintah terkait dengan revisi UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran beserta PP-nya. Tujuan dilakukan revisi adalah untuk lebih menjamin agar masyarakat memperoleh nilai-nilai edukasi yang positif dan menempatkan media massa sebagai alat kontrol sosial yang sangat penting bagi kemajuan bangsa dan negara. Penyebaran informasi kepada masyarakat yang 15 - 14
semakin meluas, peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana akses informasi bagi rakyat, serta melanjutkan program kegiatan yang diarahkan pada peningkatan kerja sama dengan lembaga informasi masyarakat dan media, serta melakukan fasilitasi peningkatan SDM bidang komunikasi dan informasi tetap menjadi prioritas yang akan dilakukan selanjutnya.
15 - 15