Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Bab 1. Sejarah dan Latar Belakang Investigasi (Penyidikan) Kecelakaan Pesawat ditulis oleh Hadi Winarto BE (USyd), M Eng Sc, Ph D (UNSW), SMAIAA Awal Juni 2012 di Attadale, Western Australia 6156 Investigasi kecelakaan pesawat telah dilakukan dari sejak awal penerbangan, saat para perancang masih bergelut untuk memahami dinamika gerak terbang pesawat dan apa saja yang dibutuhkan untuk menjadikan penerbangan sebuah kenyataan bukannya sekedar harapan. Peristiwa yang mendorong agar investigasi kecelakaan pesawat dilakukan secara serius adalah saat penerbangan dijadikan salah satu alat transportasi, karena untuk membuat penerbangan lebih aman bagi masyarakat umum, kita harus memahami mengapa kecelakaan terjadi, sehingga kita dapat berusaha supaya kecelakaan yang sama tidak terulang lagi. Dibawah ini kita akan membahas sejarah singkat dan perkembangan investigasi kecelakaan pesawat, sehingga kita bisa menelusuri asal usul investigasi kecelakaan pesawat dan perkembangan yang telah dicapai selama ini. Prinsip atau dasar dan standar yang diterapkan dalam investigasi kecelakaan pesawat telah dijadikan tolok ukur dan aturan dalam investigasi kecelakaan untuk jenis transportasi dibidang lain2 seperti kecelakaan kereta api, kapal laut dlsbnya. Konvensi dan prinsip yang mendasari investigasi kecelakaan pesawat penting untuk dipelajari asal usulnya, karena itulah yang memberikan kerangka kerjasama internasional dalam investigasi kecelakaan pesawat, yang telah membuahkan hasil dalam perbaikan terus menerus dari operasi aviasi atau angkutan udara, khususnya untuk operasi airline atau maskapai penerbangan. Pada awal sejarahnya, para pionir penerbangan telah mampu melihat potensi penerbangan sebagai alat transportasi, tetapi politik dan birokrasi agak lamban dalam mengantisipasi dan memahami masalah2 yang ditimbulkan oleh penerbangan karena kemampuannya untuk dengan mudah menembus batas2 negara dengan begitu cepatnya. Negara2 di Eropa terletak sangat berdekatan satu dengan lainnya, jadi disanalah muncul kesadaran tentang sisi dunia penerbangan yang bersifat antar bangsa untuk pertama kalinya. Kemudahan pesawat menembus batas negara telah menyadarkan bangsa2 Eropa mengenai perlunya diadakan perjanjian mengenai penerbangan, dan konferensi pertama untuk membahas masalah ini telah diselenggarakan pada tahun 1910. Ada 18 negara yang menghadiri konferensi tersebut dan sejumlah prinsip dasar telah disepakati. Tetapi kemudian Perang Dunia Kedua (PD II) telah menghentikan perkembangan lebih lanjut dari undang2 maupun perjanjian tentang penerbangan internasional. Aviasi meningkat dengan sangat pesat selama PD I dan ada banyak perkembangan yang telah mendorong kemungkinan transportasi udara secara besar2an. Inilah perubahan paradigma kita yang pertama dalam dunia penerbangan. Seusai PD I teknologi telah berkembang cukup untuk mendukung banyak perusahaan yang memulai jasa transportasi internasional, seperti antara Paris dan London.
page 1
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Masalah aviasi mendapat perhation yang memadai di Konferensi Perdamaian Paris di tahun 1919 dan selanjutnya diteruskan kepada sebuah Komisi Khusus Aeronotika, yang berasal muasal dari Komite Aviasi Antar Sekutu, yang didirikan pada tahun 1917. Tahun 1919 merupakan tahun penting dengan adanya Konferensi Perdamaian Paris, Alcock & Brown terbang untuk pertama kalinya dari Barat ke Timur melintasi lautan Atlantik Utara, dan Pesawat yang lebih ringan dari udara Dirigible R34 berhasil terbang dari Skotlandia ke New York dan kembali ke Skotlandia; semuanya itu adalah prestasi orang2 Eropa. Sekelompok penerbang mendesak dikembangkannya kerjasama internasional yang pada awalnya muncul karena kebutuhan perang, supaya lebih mantap untuk aviasi pasca perang. Mereka yakin bahwa aviasi harus bersifat internasional atau tidak ada sama sekali. Perancis menanggapi usulan tersebut dan mengusulkannya ke para penguasa sekutu untuk mendapat persetujuan. Usulan Konvensi Udara Internasional dirancang dan kemudian ditandatangani oleh 26 dari 32 penguasa sekutu dan rekan2nya yang hadir di Konferensi Perdamaian Paris. Pada akhirnya konvensi udara tersebut diratifikasi oleh 38 negara. Konvensi itu mengandung 43 artikel yang membahas aspek2 aviasi sipil dari segi teknik, operasi dan organisasi. Disamping itu juga menjadi cikal bakal didirikannya International Commission for Air Navigation (ICAN) atau Komisi Navigasi Udara Internasional untuk memantau perkembangan dibidang aviasi sipil dan mengusulkan kepada setiap negara anggota untuk mencari solusi dari isu2 yang bermunculan. Konvensi tersebut mengesahkan semua semua prinsip2 yang telah dirumuskan di Konferensi Paris tahun 1910. Sebuah sekretariat yang permanen didirikan untuk menunjang komisi tersebut pada tahun 1922. Tahun2 diantara PD I dan PD II ditandai oleh pertumbuhan berkesinambungan dibidang aviasi, baik dari segi teknik maupun komersil, termasuk perkembangan layanan jasa pos udara baik didalam negeri maupun antar negara. Namun demikian aviasi saat itu masih bersifat transportasi pribadi dan belum menjadi transportasi umum; cuaca selalu menjadi masalah di Eropa dipandang dari segi reliabilitas sedangkan teknologinya belum matang untuk membuat jasa ini harganya terjangkau oleh umum. Iptek Amerika belum cukup maju untuk menumbuhkan industri bidang ini menjadi kekuatan yang disegani di pentas internasional. Tetapi, dalam kurun waktu antara kedua Perang Dunia, upaya pengembangan kecepatan terbang yang lebih tinggi, reliabilitas yang meningkat dan jarak jangkau yang lebih jauh dilanjutkan terus menerus secara berkelanjutan. PD II telah menyaksikan pertumbuhan yang bahkan lebih cepat lagi dibidang aviasi dibandingkan dengan saat PD I. Aviasi militer tumbuh dengan pesatnya dan pemanfaatan serta pengembangannya yang meluas, mendorong tumbuhnya aviasi komersil; untuk pertama kalinya sejumlah besar kargo atau barang dan penumpang diangkut untuk jarak jauh. Aksi angkatan laut dan blokade oleh kapal selam dan juga kebutuhan untuk mengangkut orang dan peralatan diseluruh penjuru dunia dengan cepat, memaksa diakui dan diterimanya kenyataan betapa pentingnya penerbangan jarak jauh internasional.
page 2
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Sebagai hasil, PD II telah menelurkan pergeseran paradigma berikutnya dengan adanya lompatan teknologi dan konsep2. Aviasi militer tumbuh sangat cepat dan memberi dorongan pada aviasi sipil, sehingga penerbangan antar benua menjadi kenyataan. Rancangan pesawat dengan badan terbuat dari logam berbentuk monocoque, mesin yang lebih terpercaya, mesin pancar gas (jet engine) yang pertama, pesawat terbang amfibi, radar, navigasi dengan radio, dan autopilot adalah beberapa contoh dari kemajuan teknologi yang terjadi saat itu. Pesawat DC-3 atau Dakota yang tersohor itu, menandai terjadinya perubahan pesawat dari angkutan militer menjadi angkutan sipil. Selama PD II USA telah mengembangkan sebuah industri berikat, yang berlanjut dengan pengembangan kemampuan untuk membuat pesawat besar dengan cepat, sehingga akhirnya terlibat erat dengan aviasi internasional. Pada tahun 1943 USA memulai studi tentang isu2 aviasi yang muncul yang menegaskan bahwa aviasi tak bisa tidak harus bersifat internasional. Pada tahun 1944 USA mengundang 55 negara dan otorita untuk menghadiri ICAC atau International Civil Aviation Conference (Konferensi Aviasi Sipil Internasional) pada bulan November 1944. Ada 54 negara yang hadir dan sebuah Konvensi tentang Aviasi Sipil Internasional diresmikan dan disetujui oleh 32 negara. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Konvensi Chicago. ICAO didirikan Konvensi tersebut diatas membentuk International Civil Aviation Organisation (ICAO) atau Organisasi Aviasi Sipil Internasional untuk menciptakan peraturan dan standar, dan juga prosedur dan standar yang seseragam mungkin diantara negara2, Sekali lagi itulah yang terjadi yaitu sebuah pergeseran paradigma, yang bersejarah. Konvensi Chicago meletakkan fondasi dari satu set peraturan (rules) dan pengaturan (regulation) untuk navigasi udara, yang menjadikan keselamatan terbang sebagai prioritas utama. ICAO dijadikan badan yang permanen pada tahun 1947 setelah sekitar setahun berbentuk badan sementara (provisional) dan menjadi badan khusus bagian dari PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). Standar dan praktek yang diusulkan (Standard and Recommended Practices), pertama kali disetujui pada tanggal 11 April 1951 sebagai bagian dari Artikel 37dari Konvensi Chicago. Itu disebut Annex 13 Konvensi dimana Investigasi Kecelakaan diuraikan dalam Artikel 26 konvensi, yang menekankan keharusan pada negara anggota dimana kecelakaan terjadi untuk memulai sebuah penyidikan. Annex2 lainnya menjelaskan persyaratan2 khusus, misalnya Annex 11 menjelaskan perlunya disediakan dan adanya standar tentang Air Traffic Service (Layanan Lalulintas Udara) atau Annex 2 yang membahas Aturan2 tentang Ruang Udara atau Rules of the Air. Kerangka yang mengatur standar2 aviasi sipil internasional tidak berubah banyak sejak 1951. Memang aturan dan standar mengalami perubahan, tetapi kerangkanya tetap sama. Annex 13 membahas fondasi dari investigasi kecelakaan dan dalam tulisan ini annex itulah yang disebut dalam rangka membahas masalah investigasi
page 3
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
(penyidikan) kecelakaan udara. Annex 13 adalah “kitab suci” yang harus sepenuhnya dikuasai oleh penyidik kecelakaan udara. Kecelakaan Comet menandai awal dari teknik2 moderen Teknik dan prinsip2 penyidikan pada dasarnya tidak berubah sampai terjadinya kecelakaan pesawat De Havilland Comet diawal 1950an. Pesawat Comet adalah pesawat angkutan sipil jet yang pertama dan menggunakan banyak teknologi terbaru untuk pertama kalinya; dimulai dengan mesin jet sampai penerbangan yang sangat tinggi diatas bumi dan tak berubah-ubah, dan semuanya itu adalah lompatan teknologi ke tingkat yang tak dikenal sebelumnya. Para perancang dan insinyur2 dihadapkan pada persoalan2 baru terkait dengan material dan metoda produksi; hal2 yang sekarang ini dianggap sebagai masalah biasa. Sukses pesawat Comet dinodai oleh terjadinya beberapa kecelakaan dan kesungguhan sifat ke- internasional-an investigasi kecelakaan pesawat terbukti dalam peristiwa ini. Kecelakaan terjadi di India, Italia, Turki, Thailand, Ethiopia, Spanyol dan bahkan di Libya. Sebelum terjadinya kecelakaan pesawat Comet, investigasi kecelakaan cenderung menyebutkan terjadinya “pilot error” atau kesalahan pilot sebagai faktor dominan penyebab kecelakaan. Memang mudah sekali mencari-cari kesalahan pada manusia yang menjadi benteng pertahanan akhir pencegah kecelakaan. Misalnya, kecelakaan pertama terjadi di Roma dimana pesawat tergelincir keluar ujung landasan dan pada awalnya kapten pilot disalahkan karena melakukan putaran atau rotasi pesawat terlalu awal saat akan tinggal landas. Tetapi pada akhirnya ditemukan adanya kesalahan rancangan sayap sebagai penyebab utama kecelakaan, khususnya setelah pesawat kedua mengalami nasib yang sama 6 bulan kemudian. Bulan Januari 1954, ada beberapa saksi mata yang mengatakan mendengar 3 kali ledakan dan melihat sebuah pesawat yang baru saja tinggal landas di Roma dan berada pada ketinggian 30 ribu kaki pecah ber-keping2. Kepingan pesawat jatuh kelaut sedalam 150 m. Karena tidak ada bukti petunjuk lainnya maka anggapannya adalah bahwa mesin telah meledak atau ada sebuah bom dipesawat yang meledak. Sebagai akibat, ada 60 perubahan dilakukan pada rancangan mesin termasuk pipa bahan bakar baru, detektor asap, dan proteksi dari mesin yang meledak. Tetapi investigasi yang sungguh2 berbasis ilmiah baru dilakukan setelah satu lagi pesawat Comet mengalami kecelakaan; dan saat itulah yang bisa disebut sebagai titik awal sejarah penggunaan metoda ilmiah dalam penyidikan kecelakaan pesawat, yang terus dikembangkan lebih lanjut sampai saat ini. Pesawat kedua ini juga hancur berkeping2 diudara dan serpihannya tenggelam didasar laut pada kedalaman lebih dari 1000 m. Sebuah program uji terbang dilakukan tanpa kesimpulan akhir yang memuaskan. Kemudian bangkai pesawat pertama yang berada dilaut yang lebih dangkal diangkat ke permukaan dan di rekonstruksi, dan sebuah airframe lain dipersiapkan untuk diuji stress dibawah air. Dari pengujian tersebut ditemukan bahwa ada 2 keretakan ditempat yang berbeda, dan ini membuat para penyidik menyadari bahwa kelelahan logam (metal fatigue) adalah penyebab kecelakaan. Kelelahan logam tersebut
page 4
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
disebabkan oleh perubahan bentuk struktur kristal logam dikulit pesawat yang diperparah oleh kecepatan dan ketinggian terbang yang tinggi. Keretakan itu berakibat pesawat bocor dan mengalami dekompresi dan akhirnya fuselage (badan) pesawat mengalami kegagalan total. Perlu dimaklumi bahwa kelelahan logam sering menjadi penyebab utama kecelakaan pesawat. Setelah itu pesawat Comet diperbolehkan terbang lagi (setelah dikandangkan selama pengujian berlangsung), dan ternyata beberapa pesawat Comet mengalami kecelakaan lagi, termasuk karena CFIT (Controlled Flight Into Terrain), terjadinya ledakan bom saat pesawat sedang terbang, dan juga kecelakaan saat tinggal landas dan mendarat dan terjadinya kebakaran. Semua masalah tersebut pada akhirnya memberi kesempatan kepada Boeing untuk menyaingi Comet dengan pesawat jet barunya yaitu pesawat Boeing B-707. Douglas juga mulai mengoperasikan pesawat DC-8 nya, dan kecelakaan yang dialami serta persaingan ketat dari Boeing dan Douglas akhirnya menghabisi riwayat pesawat dan perusahaan De Havilland Comet. Kecelakaan pesawat tetap berlangsung dalam jumlah yang relatif tinggi selama tahun 1960an dan 1970an. Pada tahun 1977 terjadilah kecelakaan pesawat yang melibatkan jumlah kehilangan jiwa terbesar sepanjang sejarah. Kecelakaan yang terjadi melibatkan 2 pesawat Boeing B-747 yang sedang tinggal landas, dan mendorong dimulainya program pelatihan yang disebut CRM atau Crew Resource Management. Dalam kecelakaan ini sebuah B-747 milik KLM sedang dalam proses tinggal landas dalam kondisi cuaca buruk berkabut tebal di bandara Los Rodeos, Tenerife, sebuah pulau bagian dari Spanyol. Kapten pesawat tersebut lupa atau tidak menyadari bahwa ada pesawat B-747 milik Pan Am yang sedang lari untuk tinggal landas dilandasan yang sama, tetapi berlawanan arah dan terjadilah kecelakaan itu yang menelan korban 583 jiwa. Ada bukti yang mengindikasikan bahwa kapten pesawat KLM sangat bernafsu untuk secepat mungkin meninggalkan landasan, dan memang ada kebingungan dalam interaksi antara kru kedua pesawat, dan juga dengan menara ATC. Black box CVR (Cockpit Voice Recorder) menunjukkan bahwa kopilot yang jauh lebih junior dibanding kapten pilot, sebetulnya tidak yakin bahwa mereka telah diberi ijin untuk mulai take-off oleh menara, tetapi karena kurang berani menyatakan pendapat yang bertentangan dengan kapten pilotnya, maka kopilot hanya memberi pernyataan lemah tentang apa yang didengarnya menara mengatakan, bukannya secara jelas mengingatkan kapten pilot bahwa menara belum memberi ijin untuk mulai tinggal landas. Rincian dari laporan tentang kecelakaan ini dapat dibaca di artikel lain yang dapat diunduh dari internet. Pada tahun 1988 terjadilah kecelakaan di Lockerbie, Skotlandia, yang menghebohkan itu, dimana Presiden Libya, Kolonel Gaddafi, diduga ikut terlibat memberikan dana kepada kelompok teroris yang meledakkan bom dalam pesawat naas itu. Dalam kasus ini, ada beberapa teknik penyidikan, termasuk rekonstruksi dan simulasi pengulangan peristiwa, yang dikembangkan untuk pesawat Comet, telah diterapkan untuk memecahkan rahasia apa yang sebenarnya terjadi yang berakhir dengan hancurnya pesawat Pan Am 747. Rekonstruksi juga sangat membantu menguak faktor2 yang terlibat dalam kecelakaan pesawat B747 milik TWA ditahun 1996, dan pesawat Swissair MD-11 tahun 1998.
page 5
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Kecelakaan yang penyidikannya melibatkan peran organisasi adalah kecelakaan pesawat Ansett Airlines di bandara Sydney tahun 1994. Hasil penyidikan menunjukkan bahwa memang ada kesalahan teknis yang menjadi pemicu, yaitu kebocoran oli yang disebabkan oleh kegagalan baut bergerigi yang berfungsi mengencangkan tutup gearbox mesin. Tutup itu menjadi lepas dan menyebabkan oli bocor ke-mana2. Sesungguhnya ada kesempatan untuk mencegah terjadinya kecelakaan yaitu seandainya petunjuk kerja dalam service bulletin dilakukan, yang pasti akan mencegah kebocoran oli terjadi. Tetapi itu tidak dilakukan. Walaupun jenis mesin yang sama digunakan pada sejumlah pesawat yang diberi ijin untuk beroperasi pada jarak yang lebih jauh untuk pengoperasian diatas air, tetapi pihak manufacturer tidak mengharuskan bahwa yang direkomendasikan dalam service bulletin harus dilakukan. Pemilik pesawat kemudian mengabaikan saja hal tersebut karena memang tidak ada keharusan, hanya sekedar saran. Laporan juga menunjukkan bahwa kru terbang gagal mengenali dan mengoreksi masalah landing gear sebelum melakukan pendaratan, dan apa yang dilakukan kru membuktikan bahwa mereka tidak mengerti tentang CRM, juga tidak memahami prosedur perusahaan tentang pengoperasian B-747, dan juga kekurangan pengalaman flight engineer dan kopilot dengan B-747, serta kemampuan tetap tenang dan tidak gugup dalam menghadapi situasi yang gawat atau kondisi stress. Tetapi laporan itu juga menarik karena dalam tinjauan ulang (review) peristiwa2 yang terkait dengan masuknya B747 dalam armada perusahaan, ternyata ada faktor2 organisatoris yang melibatkan baik Ansett maupun Civil Aviation Authority, yang berperan neningkatkan kemungkinan kecelakaan jenis ini terjadi. Penyidikan menunjukkan bahwa faktor2 tersebut mencakup kekurangan dalam perencanaan dan penerapan dari program pengenalan pada pesawat baru, khususnya dalam kaitan dengan manual, prosedur dan pelatihan dimedan kerja (dibengkel etc). Selanjutnya, ternyata semua persyaratan pengaturan tidak diberlakukan dan tidak diharuskan. Ini bisa dibaca dilaporan ATSB accident Report 199403038 (bisa dilihat diinternet pada alamat berikut) https://www.atsb.gov.au/publications/investigation_reports/1994/aair/aair199403038.aspx
Sebagai kelanjutan dari kemajuan dalam teknik penyidikan yang menemukan faktor2 penting yang terlibat dalam kecelakaan2 tersebut diatas, sekarang ini metoda konstruksi pesawat telah bertambah baik, kita jauh lebih memahami perilaku material (logam), juga pada akhirnya disadari bahwa faktor manusia itu juga berperan penting, dan lebih belakangan ini peran organisasi sebagai faktor penyebab kecelakaan mulai diakui dan dimengerti. Yang perlu dipahami adalah bahwa kunci sukses dalam memecahkan masalah mencari penyebab kecelakaan adalah Annex 13. Dokumen tersebut memberi kerangka untuk persetujuan, tanggung jawab dan konvensi untuk bekerjasama, bekerja berdasarkan standar tertentu, dan mengumpulkan serta berbagi pengalaman dan pengetahuan.
page 6
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Tujuan akhir dari semuanya itu adalah untuk membuat angkutan udara menjadi jauh lebih aman dari sebelumnya, dan masyarakat mempercayai professional dibidang aviasi sipil untuk bertugas secara professional sehingga keselamatan mereka terjamin saat mereka bepergian naik pesawat terbang.
page 7
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Annex 13 Konvensi Chicago Ditulis oleh Hadi Winarto BE (USyd), M Eng Sc, Ph D (UNSW), SMAIAA Awal Agustus 2012 di Beeliar, Western Australia 6164 Annex 13 Konvensi ICAO adalah dokumen dasar mengenai investigasi atau penyidikan kecelakaan pesawat terbang angkutan sipil. Ada banyak negara yang telah menyerap isi dari Annex 13 dan memasukkannya kedalam undang-undang negara tersebut. Pada dasarnya Annex 13 dirumuskan untuk menangani masalah kecelakaan pesawat yang bersifat internasional atau antar bangsa, tetapi dalam prakteknya kebanyakan negara juga menerapkannya untuk kasus2 penyidikan kecelakaan pesawat dalam negeri, yang tidak melibatkan bangsa lain. Ada beberapa hal yang perlu dibahas yang berkaitan dengan Annex 13, yang telah membuatnya begitu bermanfaat dalam memastikan sebisa mungkin agar penerbangan angkutan sipil menjadi aman selamat dan calon penumpang tidak ragu-ragu untuk menggunakan jasa transportasi ini. Hal-hal yang perlu dibahas diantaranya adalah • • • •
Tujuan penyidikan Kewajiban negara2 terkontrak atau negara2 penanda tangan konvensi Chicago, anggota ICAO Definisi kosa kata yang digunakan Standar dan Praktek2 yang disarankan atau SARP (Standard and Recommended Practices)
Seperti telah dibahas dalam tulisan sebelumnya, kunci sukses dalam memecahkan masalah mencari penyebab kecelakaan adalah Annex 13. Dokumen tersebut memberi kerangka untuk persetujuan, tanggung jawab dan konvensi untuk bekerjasama, bekerja berdasarkan standar tertentu, dan mengumpulkan data serta berbagi pengalaman dan pengetahuan. Sekarang marilah kita pelajari secara lebih rinci apa saja hak dan kewajiban dari setiap negara terkontrak yang mungkin saja terlibat dalam penyidikan kecelakaan pesawat. Tentu saja kita harus menyadari bahwa dalam penyidikan kecelakaan pesawat pasti saja terdapat masalah2 yang berkaitan dengan emosi, bukan saja dengan iptek, ataupun logika dan penalaran yang tepat. Semua hal tersebut tentu saja harus diakomodasi oleh Annex 13. Konvensi Chicago di tahun 1951 adalah momen yang sangat menentukan dalam perkembangan dunia penerbangan sipil internasional yang masih terus berkelanjutan sampai kini. Calon penumpang tidak akan bersedia terbang naik pesawat bila mereka meragukan keselamatan diri mereka kalau naik pesawat. Annex 13 telah memungkinkan dilakukannya penyidikan kecelakaan pesawat yang pada akhirnya berhasil membuat perjalanan naik pesawat jauh lebih aman selamat dibandingkan dengan transportasi jenis lainnya. Artikel 26 dari Konvensi mewajibkan adanya persyaratan untuk melakukan penyidikan kecelakaan pesawat terbang, dan Annex 13 tumbuh berkembang dari persyaratan konvensi tersebut, sesuai dengan perkembangan jaman. Annex 13 selalu page 8
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
diperbarui disesuaikan dengan tuntutan jaman dan perkembangan iptek mutakhir dibidang keselamatan terbang. Sejarah perubahan2 dan perbaikan yang dilakukan pada Annex 13 dapat dibaca di prakata Annex, termasuk perubahan2 yang dibuat pada setiap edisi. Sebaiknya perlu diingat disini bahwa Konvensi Chicago itu mencakup banyak hal, bukan sekedar Annex 13, dan diantaranya adalah standar tentang airport (bandara), perijinan yang bersangkutan dengan penerbangan sipil dan lain sebagainya, Informasi tentang semua annex dari Konvensi Chicago dapat dibaca langsung di situs web ICAO di alamat http://www.icao.int/Pages/default.aspx , sedangkan disini kita hanya akan membahas Annex13 secara lebih rinci. Seperti telah dibahas dalam tulisan sebelumnya, para pionir dan perintis dunia penerbangan angkutan sipil dari sejak awalnya telah menyadari bahwa penerbangan pasti bersifat antar bangsa, karena pesawat bisa melintasi batas negara dengan begitu mudah dan cepatnya, berbeda dari angkutan darat maupun angkutan laut, Hal ini menimbulkan banyak masalah baru yang perlu ditangani dan dicarikan solusinya, termasuk bagaimana cara melakukan penyidikan kecelakaan pesawat, yang bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan untuk secara terus menerus, berkesinambungan, memperbaiki keselamatan terbang diseluruh dunia. Annex 13 menjadi dasar untuk penyidikan kecelakaan pesawat, dan sejarah menunjukkan mengapa perjanjian dan kesepakatan yang tertuang dalam Annex 13 itu memang sangat diperlukan. Diantara banyak alasan mengenai perlunya Annex 13 adalah kenyataan bahwa penyidikan kecelakaan pesawat membutuhkan keahlian yang hanya dimiliki secara bersama oleh semua negara didunia. Sebagai sebuah perjanjian internasional, memang semua negara terkontrak (penanda tangan Konvensi Chicago) punya kewajiban untuk menghormati semua butir yang telah disepakati bersama. Namun demikian perjanjian Konvensi Chicago tersebut tentu saja tidak bisa menggantikan undang2 yang berlaku dinegara terkontrak. Itulah sebabnya mengapa setiap negara terkontrak harus membuat undang2 yang sedapat mungkin membuat negara tersebut mampu menghormati kesepakatan bersama yang tertuang dalam Annex 13 dan tidak bertentangan dengan undang2 dalam negeri yang berlaku dinegara tersebut.
Tujuan Penyidikan Kecelakaan Pesawat Supaya bermanfaat, Annex 13 harus menjabarkan sejelas-jelasnya mengenai tujuan dari penyidikan kecelakaan pesawat, yaitu untuk mencegah terjadinya kecelakaan pesawat dan bukan untuk mencari kambing hitam menuding siapa yang bersalah. Hal ini selalu ditulis dibagian depan dari setiap laporan resmi mengenai penyidikan kecelakaan pesawat oleh otorita yang berwewenang, misalnya NTSB di Amerika Serikat atau KNKT di Indonesia. Ini sangat penting untuk diperhatikan, khususnya oleh para penegak hukum dan pembuat undang2. Polisi tidak boleh memaksa penyidik KNKT atau NTSB misalnya untuk menyerahkan hasil wawancara penyidik dengan mereka2 yang terlibat dalam kecelakaan, misalnya pilot dan kru terbang pesawat naas itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa mereka yang bersalah tidak bisa dituntut ke pengadilan, hanya saja polisi harus melakukan penyidikan mereka sendiri yang memang berusaha untuk menentukan siapa yang bersalah page 9
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
dan apakah ada tindakan pidana yang telah dilakukan. Penyidikan polisi ini bisa dilakukan pada saat bersamaan dengan penyidikan oleh KNKT misalnya. Biasanya dalam masalah kecelakaan ada masalah asuransi yang terlibat. Perusahaan asuransi biasanya juga mengirim penyidik mereka sendiri untuk menentukan apakah ada yang berhak mendapat asuransi, yaitu untuk menentukan bahwa yang terjadi adalah murni kecelakaan dan tidak ada unsur kriminalitas yang terlibat. Jadi dalam penyidikan kecelakaan pesawat bisa jadi ada 3 tim yang terlibat melakukan penyidikan, yaitu tim KNKT (atau sejenis dari negara lain), polisi dan penyidik asuransi. Annex 13 secara jelas menegaskan bahwa penyidik KNKT (atau sejenis) HARUS diberi prioritas untuk mengumpulkan dan memeriksa barang bukti serta para saksi dlsbnya. Seringkali memang terjadi tabrakan kepentingan dan polisi akan berusaha mengintimidasi para penyidik KNKT (atau sejenis) supaya memberikan semua laporan hasil wawancara dengan saksi dlsbnya kepada polisi untuk digunakan sebagai barang bukti dipengadilan. Annex 13 secara jelas menegaskan bahwa itu tidak diperbolehkan dan negara harus memiliki undang2 yang memperbolehkan dan melindungi para penyidik KNKT (atau sejenis) untuk melakukan penyidikan tanpa interferensi dari pihak kepolisian ataupun pihak berwajib terkait lainnya, dan punya prioritas terhadap akses ke barang bukti. Memang sangat disayangkan bahwa kebanyakan negara memiliki undang2 yang sering berseberangan dengan kesepakatan Konvensi Chicago yang ditandatanganinya. Kita tahu bahwa dalam kasus kecelakaan pesawat Garuda yang tergelincir di landasan bandara di Jogjakarta beberapa tahun yang lalu, polisi telah menahan pilot yang dianggap bersalah dan melakukan tindakan pidana, sebelum para penyidik KNKT selesai melakukan tugas penyidikan mereka. Perlu diketahui bahwa ini tidak terjadi hanya di Indonesia ataupun negara2 Asia lainnya, tetapi juga di Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Inggris dlsbnya. Negara2 Eropa juga bermasalah dengan hal ini. Misalnya saja, Perancis yang undang2nya telah dibuat sejak jaman Napoleon, jauh sebelum ada pesawat terbang, juga punya masalah ini. Kalau Indonesia punya KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi), Amerika punya NTSB (National Transportation Safety Board), Australia punya ATSB (Australian Transport Safety Bureau), Inggris Raya punya AAIB (Air Accidents Investigation Branch), maka Perancis punya BEA (Bureau Enquêtes-Accidents). Pada bulan Juli tahun 2000 telah terjadi kecelakaan pada pesawat supersonik Concorde. Sesuai undang2 Perancis yang sudah ada sejak jaman Napoleon, pengadilan negeri Perancis punya prioritas dalam melakukan penyidikan pada kasus kecelakaan pesawat ini, dan tim penyidik BEA terpaksa melakukan negosiasi dengan pihak pengadilan negeri untuk mendapatkan akses ke barang bukti. Tentu saja ini bertentangan dengan kesepakatan Konvensi Chicago yang telah ditanda tangani Perancis! Konflik dengan pengadilan negeri Perancis itu telah digaris bawahi oleh para penyidik Inggris yang menjadi anggota tim penyidik BEA tersebut, yang menegaskan bahwa Perancis tidak sepenuhnya menghormati kesepakatan Konvensi Chicago (lihat laporan UK Participant Report BEA Report fsc000725a). Hal yang sama juga terjadi di Selandia Baru dimana polisi berusaha memanfaatkan rekaman CVR (Cockpit Voice Recorder) untuk menuntut para pilot pesawat Dash 8 yang mengalami musibah. Konflik antara pengadilan negeri dengan ATSB juga terjadi di Australia, apalagi karena hukum dan undang2 mengenai penyidikan page 10
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
kecelakaan disetiap state (negara bagian) Australia itu ber-beda2. Konflik pernah terjadi di Western Australia dimana pengadilan negeri menuntut agar hasil penyidikan ATSB diserahkan ke pengadilan negeri, tetapi ini ditolak oleh ATSB. Untuk menghindari masalah serupa ATSB membuat sebuah memorandum saling pengertian (MOU) dengan pengadilan negeri negara bagian Tasmania (lihat laporan di alamat http://www.atsb.gov.au/media/48048/tas_coroner.pdf Di Australia penyidikan kecelakaan pesawat diatur dalam undang2 pemerintah Federal yaitu Transport Safety Act and Regulations 2003 yang secara jelas menegaskan persyaratan yang harus dipenuhi Australia dalam memenuhi kewajibannya sebagai penandatangan Konvensi Chicago. Namun demikian ada banyak pengadilan negeri negara bagian yang sangat curiga dengan konsep tidak mencari kambing hitam menentukan siapa yang salah dari Annex 13, dan oleh karena itu konflik dengan ATSB dalam melakukan penyidikan, terutama dimana ada penumpang atau kru pesawat yang meninggal dunia, masih bisa saja terjadi. Kebanyakan negara panandatangan Konvensi Chicago memang telah mengadopsi tujuan Annex 13. Misalnya saja peraturan atau undang2 Inggris menyebutkan bahwa: “Tujuan dasar dari penyidikan kecelakaan yang dimaksud dalam undang2 ini adalah untuk menentukan situasi dan kondisi penyebab kecelakaan, dengan maksud untuk menyelamatkan kehidupan dan menghindari terjadinya kecelakaan dimasa depan; tujuan ini bukan untuk menentukan siapa yang bersalah dan bertanggung jawab”. Undang2 Australia mengatakan bahwa: “Kekuasaan dalam undang2 ini yang terkait dengan navigasi dan pesawat udara, hanya boleh digunakan untuk tujuan: (a) Memperbaiki keselamatan navigasi udara yang dilakukan dalam perdagangan atau untuk tujuan komersial dengan negara lain ataupun antara negara2 bagian Australia (b) Memperbaiki keselamatan navigasi udara (i) diluar Australia (ii) didalam Territory, atau dari dan ke Territory (iii) diwilayah pemerintah Federal atau ke dan dari wilayah pemerintah Federal (iv) pada pesawat yang dimiliki atau dioperasikan oleh sebuah korporasi yang konstitusional ataupun merupakan lembaga Commonwealth (v) sehubungan dengan dimana penerapan kekuasaan negara bagian berlaku (vi) sehubungan dengan hal2 lain yang terkait dimana Parlemen Federal berhak untuk membuat undang2 (c) terkait dengan menghormati sebuah perjanjian internasional atau (d) hal2 yang menjadi masalah internasional
Penyidik harus mawas diri dan selalu waspada supaya tidak bertindak semena mena dan sekaligus menjadi hakim, juri serta algojo; khususnya dimana pihak pengadilan negeri kadang2 menghimbau agar penyidik keselamatan terbang melakukan tugas penyidik polisi dan kejaksaan. Pihak pengadilan negeri sering menekan para penyidik keselamatan terbang untuk mengikuti kehendak mereka seperti memberikan hasil rekaman penyidikan dan tata cara mengumpulkan data rekaman penyidikan. Para penyidik juga harus page 11
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
menerima kenyataan bekerja dalam ruang lingkup sistem hukum dan politik yang berlaku didalam negeri, yang mungkin saja tidak “terbuka” ataupun “tidak menuduh” seperti yang dijabarkan oleh ICAO ataupun Annex 13.
Definisi kosa kata yang digunakan Annex 13 menggunakan istilah “contracting state” atau negara terkontrak, yaitu negara yang menanda tangani Konvensi Chicago dan menjadi anggota ICAO. Kalau terjadi suatu kecelakaan pesawat yang melibatkan lebih dari 1 negara, Annex 13 menyebutkan bahwa “contracting state” itu diberi sebutan yang berbeda tergantung dari peran masing2, yaitu “state of occurrence”, “state of registry”, “state of operator”, “state of design” dan “state of manufacture”. Arti dari sebutan tersebut diberikan dibawah ini State of Occurrence atau Negara Tempat Kejadian Kecelakaan (NTKK) NTKK adalah negara diwilayah siapa terjadi kecelakaan pesawat. Biasanya ini cukup jelas dan mudah dimengerti, tetapi kadang2 cukup membingungkan. Sebagai contoh adalah Timor Leste saat menjadi UN Protectorate atau negara dalam perlindungan PBB. Untuk kasus ini siapa yang menjadi NTKK? Demikian juga seandainya terjadi kecelakaan pesawat terbang di Irak saat telah diduduki oleh Amerika Serikat dan belum memiliki pemerintahan sendiri. Kalau terjadi kecelakaan di Libya saat terjadi perang saudara disana, siapa yang menjadi NTKK? Demikian juga dengan situasi di Siria saat ini. Disamping itu walaupun hampir semua negara yang memiliki maskapai penerbangan atau airlines, biasanya adalah negara terkontrak atau anggota ICAO karena kalau tidak maka airlines nya pasti tak boleh beroperasi dinegara lain, tetapi ada juga negara seperti Taiwan yang bukan negara terkontrak. Taiwan oleh dunia internasional dianggap sebagai provinsi dari negara Cina, dan oleh karena itu tidak bisa menjadi anggota ICAO. Namun demikian Taiwan dalam kenyataannya memang berdiri sebagai sebuah negara tersendiri, terlepas dari RRC dan kecelakaan terbang bisa saja terjadi disana. Tentu saja untuk kasus ini secara resmi mestinya RRC adalah negara terkontrak, tetapi dalam prakteknya ya tidak ada negara terkontrak! Taiwan memang bukan negara terkontrak, tetapi supaya airlines nya bisa beroperasi diseluruh dunia, maka Taiwan dalam prakteknya bertindak sebagai negara terkontrak. Kalau terjadi kecelakaan pesawat di Taiwan, maka walaupun secara resmi Taiwan bukan NTKK, namun Taiwan bertindak se-olah2 dia adalah NTKK. State of Registry atau negara tempat registrasi pesawat disingkat negara registrasi Setiap pesawat yang beroperasi di dunia pasti diregistrasikan disebuah negara, seperti halnya juga dengan mobil. Misalnya saja Air Asia yang merupakan perusahaan Malaysia memiliki pesawat yang beroperasi di Indonesia dibawah naungan Air Asia Indonesia misalnya, dan pesawat tersebut diregistrasikan di Indonesia, maka untuk pesawat tersebut negara registrasi adalah Indonesia dan bukan Malaysia. State of Operator atau negara pengoperasi pesawat disingkat sebagai negara operator Ini adalah negara tempat berbisnis utama bagi pengoperasian pesawat, atau kalau tempat seperti itu tidak jelas atau tidak ada maka ini adalah tempat dimana operator pesawat bertempat tinggal secara permanen. Negara operator ini kadang2 cukup membingungkan. page 12
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Sebagai contoh, pada bulan Januari 2003 terjadi kecelakaan pesawat IL75 di Timor Leste. Laporan tentang kecelakaan ini bisa dibaca dialamat berikut http://legacy.icao.int/fsix/sr/reports/03000200_final_report.pdf Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa pemilik pesawat bertempat tinggal di UAE dan pesawat tersebut disewakan (leased) ke sebuah perusahaan yang beroperasi di Laos, dimana Department of Civil Aviation nya telah menerbitkan sebuah AOC (Air Operator Certificate) atau Ijin Pengoperasian Pesawat kepada sebuah perusahaan Laos. Operator Laos itu kemudian menyewakan ulang (subleased) ke sebuah perusahaan yang berbasis di Kamboja. Tetapi pemilik pesawat kemudian mengatakan bahwa mereka belum memberikan ijin untuk sewa ulang atau sublease itu, jadi secara resmi sublease itu belum terjadi dan ini kemudian dkonfirmasikan oleh operator Laos dan Kamboja yang bersangkutan. Jadi pertanyaannya adalah: siapa sebenarnya negara operator dalam kasus ini? Walaupun pada akhirnya setelah ditelusuri secara cermat ditentukan bahwa negara operator adalah Laos, tetapi jelas bahwa penentuan siapa negara operator itu kadang2 bisa cukup membingungkan. State of Design atau negara perancang (negara desain) Negara perancang adalah negara yang membawahi secara hukum organisasi yang bertanggung jawab untuk “type design” pesawat. Misalnya saja Amerika Serikat adalah negara perancang untuk pesawat Boeing B-737. Tetapi kadang2 bisa saja terjadi sedikit kerancuan. Misalnya saja siapa negara perancang untuk pesawat CN-235? Secara resmi mungkin negara perancang adalah Spanyol karena Spanyol lah yang mengantongi sertifikat jenis pesawat (type certificate) dari FAA, tetapi dalam prakteknya penyidik akan mengatakan bahwa negara perancang adalah Spanyol dan Indonesia karena pesawat CN235 memang dirancang bersama oleh Spanyol dan Indonesia. Contoh lain adalah Bell Helicopter, yang telah memindahkan tanggung jawab perancangan dan sertifikasi helikopter tua nya ke Kanada, walaupun sebagian besar perancangannya telah diselesaikan di Amerika Serikat. Dalam kasus ini secara resmi Kanada adalah negara perancang tetapi dalam prakteknya penyidik akan mengatakan bahwa negara perancang adalah Amerika Serikat dan Kanada. Pesawat terbaru seperti Boeing B-787 dlsbnya itu juga dirancang dibanyak negara. Walaupun B-787 secara menyeluruh dirancang oleh Amerika Serikat, tetapi sayapnya dirancang oleh Jepang dan komponen trailing edge dari sayapnya di rancang oleh Australia. Pesawat Airbus juga tidak jelas siapa perancangnya, karena melibatkan Perancis, Inggris, Jerman dan Spayol dan mungkin negara lainnya lagi. State of Manufacture atau negara manufaktur Negara manufaktur adalah negara yang membawahi secara hukum organisasi yang bertanggung jawab untuk “final assembly” atau perakitan akhir pesawat, dimana komponen2 pesawat bisa saja didatangkan dari berbagai negara lain. Jadi yang perlu dipertimbangkan adalah dimana perakitan akhir pesawat itu dilakukan, bukan dimana komponen2nya dibuat. Walaupun kelihatannya ini cukup jelas, tetapi kadang2 bisa jadi ada kerancuan juga. Misalnya saja komponen2 pesawat CN-235 itu dibuat di Indonesia dan di Spanyol, dan ada pesawat CN-235 yang dirakit di Indonesia, tetapi ada juga yang dirakit di Spanyol. Pesawat Boeing kebanyakan di rakit akhir di Amerika Serikat, tetapi page 13
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
ada juga yang di rakit akhir di Cina. Contoh yang lain adalah helikopter EC120 produksi Eurocopter, yang boleh jadi di rakit akhir di Perancis, tetapi bisa jadi juga di rakit akhir di Australia atau di Cina. Karena Annex 13, dan juga laporan hasil penyidikan kecelakaan pesawat internasional oleh KNKT atau NTSB dlsbnya adalah dokumen resmi yang berkekuatan hukum, maka setiap perkataan yang digunakan didalamnya harus dirumuskan dan memiliki arti yang jelas dan tidak menimbulkan kerancuan tentang apa yang dimaksud. Itulah sebabnya mengapa perkataan2 tersebut harus dirumuskan dengan jelas. Ada 2 jenis kecelakaan pesawat terbang yaitu aksiden (accident) dan insiden (incident). Aksiden adalah kejadian dimana: Bila seseorang naik pesawat dengan maksud akan terbang, sampai semua orang (penumpang) telah turun dari pesawat dan salah satu atau kombinasi dari kejadian berikut terjadi, yaitu -Seorang atau lebih meninggal dunia atau luka parah, kecuali karena hal yang sewajarnya terjadi atau sengaja dilakukan pada dirinya sendiri atau oleh orang lain, atau terjadi pada penumpang gelap -Kerusakan berat yang terjadi pada pesawat telah berpengaruh pada keutuhan struktur pesawat atau pada karakteristik terbangnya atau memerlukan perbaikan/ penggantian komponen secara besar2an -Pesawat itu hilang atau tidak bisa diakses (misalnya jatuh dipegunungan yang terjal atau dilaut walaupun letaknya diketahui) Insiden serius adalah kejadian dimana suatu aksiden nyaris atau hampir saja terjadi Insiden adalah kejadian yang dapat berpengaruh pada keselamatan terbang selain dari aksiden Investigasi atau penyidikan adalah tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya aksiden dengan cara mengumpulkan dan menganalisa informasi, mengambil kesimpulan, menentukan penyebab kecelakaan dan memberikan rekomendasi perbaikan keselamatan terbang. Accredited Representative atau Wakil berakreditasi adalah orang yang ditunjuk oleh negara yang berwewenang untuk ikut berperan serta dalam sebuah penyidikan yang dilakukan oleh negara lain Adviser atau Penasihat adalah orang yang ditunjuk oleh negara untuk membantu Wakil berakreditasi (Wakil Resmi) Penyebab kecelakaan adalah tindakan atau tak adanya tindakan, kejadian dan kondisi yang pada akhirnya membuat kecelakaan (aksiden atau insiden) terjadi.
page 14
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Perlu dicatat bahwa ada negara seperti Australia yang tidak menganut pendapat atau menggunakan istilah “penyebab”, tetapi menggunakan istilah “faktor2 yang berkontribusi”. Alasan yang digunakan untuk menggunakan istilah faktor adalah karena perkataan penyebab terlalu menjurus secara khusus sehingga mungkin mengalihkan perhatian dari perlunya melakukan pemeriksaan pada “sistem” yang mungkin lebih relevan. Perkataan penyebab bisa jadi juga punya implikasi legal yang kurang tepat dan tidak diinginkan. Flight recorder atau Perekam Data Penerbangan adalah semua jenis perekam yang dipasang dipesawat untuk tujuan melengkapi penyidikan. Flight recorder ini lebih dikenal oleh masyarakat umum sebagai “black box” atau kotak hitam, walaupun warna sebenarnya adalah oranye menyala, supaya lebih mudah ditemukan seandainya pesawat mengalami kecelakaan. Ada 2 jenis perekam data yaitu FDR (Flight Data Recorder) atau Perekam Data Penerbangan dan CVR (Cockpit Voice Recorder) atau Perekam Suara di Kokpit. Dari segi konflik dengan pihak pengadilan negeri, rekaman data penerbangan bisa jadi merupakan sumber masalah dalam situasi2 tertentu. Penyidik kecelakaan biasanya punya hak akses terhadap semua bukti yang dapat membantu mengungkap mengapa kecelakaan terjadi. Annex 13 menegaskan bahwa penyidik harus diberi akses untuk memeriksa dan menganalisis dan mengumpulkan data yang terekam dalam CVR dan FDR. Undang2 negara terkontrak pada umumnya juga mengikuti Annex 13 dan memberikan garansi bahwa penyidik punya hak akses pada data yang terekam dalam CVR dan FDR. Namun demikian ada juga QAR (Quick Access Recorder) yang dipasang oleh airlines untuk kepentingan mereka sendiri, termasuk untuk tujuan perawatan pesawat dlsbnya. Annex 13 tidak mengatakan apapun tentang QAR, jadi penyidik tidak punya hak legal yang diberikan secara tertulis oleh Annex 13 untuk mendapatkan akses ke data yang terekam dalam QAR. Namun demikian karena data dalam QAR adalah data yang dapat membantu mengungkap mengapa kecelakaan terjadi, maka secara tidak langsung Annex 13 juga memberi hak legal kepada penyidik untuk mendapat akses ke data dalam QAR. Data yang terekam dalam QAR bersifat teknis yang sangat rinci dan lebih lengkap dari data yang terekam dalam CVR dan FDR, walaupun tidak ada persyaratan legal yang mengharuskan airlines untuk memasang QAR dipesawat. QAR dipasang dipesawat karena airlines membutuhkan data tersebut. Disisi lain CVR dan FDR harus dipasang oleh airlines sebagai persyaratan resmi dalam mengoperasikan pesawat. Kalau airlines merasa bahwa data yang terekam dalam QAR merupakan data rahasia perusahaan yang tak boleh diberikan pada pihak lain, termasuk para penyidik kecelakaan pesawat, boleh jadi mereka akan melakukan perlawanan hukum untuk mencegah data QAR diakses oleh penyidik. Di Australia hal ini dapat diatasi dengan menggunakan istilah OBR (Onboard Recording) dalam undang2nya, dimana OBR mencakup semua alat perekam yang dipasang di pesawat. Disisi lain undang2 keselamatan transportasi udara (TSI Act) Australia itu juga mengatur secara ketat tentang bagaimana informasi yang terekam dalam OBR itu bisa dan boleh dimanfaatkan, sedemikian rupa sehingga data OBR, termasuk data QAR, itu tidak bisa disalah gunakan oleh pihak manapun. Dengan demikian hak rahasia perusahaan juga dapat dijamin. Pemanfaatan data OBR yang tidak disahkan oleh TSI Act dianggap sebagai pelanggaran hukum, dan penyebaran atau penyalinan data OBR seperti page 15
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
itu dianggap sebagai tindakan pidana atau kriminil. TSI Act juga mencegah data OBR digunakan sebagai bukti yang memberatkan melawan anggota kru terbang yang dituntut dalam sebuah persidangan pidana, dan juga tidak bisa digunakan oleh maskapai penerbangan sebagai dasar untuk menerapkan tindakan disipliner ke kru tersebut. Pemanfaatan data OBR juga sangat dibatasi dalam persidsangan perdata. Sebelum data OBR bisa digunakan dalam persidangan perdata, Direktur Eksekutif ATSB (KNKT nya Australia) harus menerbitkan sebuah sertifikat yang menegaskan bahwa pemberitaan umum isi data OBR itu sangat kecil kemungkinannya akan berpengaruh terhadap penyidikan yang sedang berlangsung. Persyaratan yang ketat tadi berarti bahwa kecil sekali kemungkinan bahwa data atau informasi yang terekam dalam OBR itu akan digunakan dalam persidangan perdata. IIC (Investigator In Charge) atau Penyidik Penanggung Jawab adalah penyidik yang bertanggung jawab untuk mengorganisir, melaksanakan dan mengendalikan penyidikan. IIC adalah seorang manager yang mengelola sejumlah lumayan besar aset dan pekerja, dan juga harus cukup paham dengan politik setempat disamping politik dalam negeri di negara kejadian kecelakaan. IIC memegang peran yang sangat penting dalam menuntaskan penyidikan dengan hasil yang memuaskan. Dalam Annex 13 ada hal2 yang disebut “standard” dan ada juga yang disebut Recommended Practices. Ini akan dcijelaskan secara lebih rinci dibawah ini.
SARPs (Standards and Recommended Practices) Standar (bahasa Indonesia dari standard) adalah semua hal yang harus dipenuhi oleh setiap negara terkontrak (anggota ICAO), sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam Konvensi Chicago. Kalau ada hal2 tertentu yang karena satu dan lain hal tidak mungkin bisa dilakukan oleh negara terkontrak, maka negara tersebut harus memberitahu secara resmi kepada ICAO apa yang didefinisikan sebagai “difference” atau “perbedaan”. Pada dasarnya ICAO mengharapkan semua negara terkontrak untuk melaksanakan semua standar yang telah disepakati dalam konvensi Chicago. Namun demikian dalam kenyataannya bisa jadi bahwa ada standar2 tertentu yang tidak sepenuhnya bisa diterapkan dinegara terkontrak, karena situasi politik dalam negeri ataupun kondisi birokrasi dinegara tersebut tidak memungkinkan standar tersebut diterapkan. Sebagai contoh Australia telah menyampaikan adanya beberapa “difference”. Ini akan dijelaskan lebih lanjut dibawah ini. Recommended Practices atau Praktek yang disarankan adalah praktek2 tertentu yang ICAO mengharapkan setiap anggota (negara terkontrak) sebaiknya menerapkannya. Tetapi bila situasi dan kondisi dalam negeri negara terkontrak tidak memungkinkan dilaksanakannya praktek2 tersebut, maka negara terkontrak tidak perlu menyampaikan secara resmi daftar dari “difference” antara praktek yang disarankan dan yang bisa dilakukan dalam kenyataannya. Jadi boleh dikatakan bahwa “recommended practices” adalah praktek2 terbaik yang disarankan tetapi negara terkontrak tidak akan dikenakan sanksi (sanction) atau hukuman bila tidak melaksanakannya. Ini berbeda dari standar, yang HARUS diterapkan dan kalau ada perbedaan dengan apa yang mampu dilakukan
page 16
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
oleh negara terkontrak maka perbedaan tersebut harus dilaporkan secara resmi ke ICAO. Kalau ini dilanggar maka negara terkontrak akan dikenakan sanksi. Setiap negara terkontrak jelas mengharapkan bahwa negara terkontrak lainnya akan memenuhi semua standar dan recommended practices dan kalau ada perbedaan diharapkan itu bisa ditekan sesedikit mungkin, sehingga penyidikan kecelakaan pesawat dalam prakteknya bisa dilaksanakan secara mulus. Annex 13 menegaskan bahwa kewajiban terbesar berada dipundak negara terkontrak tempat kejadian kecelakaan (NTKK). Sesuai kesepakatan Konvensi Chicago NTKK diwajibkan melakukan hal2 berikut: 1. Melindungi barang bukti, termasuk pesawat (atau sisa2 pesawat) lengkap dengan seluruh isinya, dimana barang bukti tersebut diperlukan untuk melengkapi informasi penyidikan, misalnya dokumentasi penerbangan, rekaman radar, rekaman data tentang bahan bakar dalam tanki pesawat dlsbnya. 2. Mengirimkan laporan pemberitahuan resmi kepada negara registrasi, negara operator, negara desain dan negara manufaktur, yaitu umumnya semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengan pesawat yang naas itu. Format dan informasi apa saja yang perlu dicantumkan diberikan dalam Annex 13 butir 4.2 3. Melaksanakan tugas penyidikan, kecuali bila negara terkontrak tidak memiliki sarana maupun kemampuan teknis untuk melakukannya. Sebagai contoh adalah kecelakaan yang menimpa pesawat IL76 di Timor Leste. Annex 13 memperbolehkan NTKK untuk minta bantuan kepada negara terkontrak lainnya untuk melakukan penyidikan dengan mengatasnamakan NTKK. Dalam kasus kecelakaan pesawat IL76, Timor Leste minta bantuan kepada Australia untuk melakukan penyidikan atas nama Timor Leste. Jadi laporan yang disiapkan adalah laporan Otorita Keselamatan Terbang Timor Leste (KNKT nya Timor Leste) walaupun yang melakukan penyidikan dan membuat laporan adalah ATSB nya Australia. Tetapi perlu dicatat bahwa Timor Leste punya hak untuk memberikan persetujuan final tentang isi dan format laporan, sesuai dengan undang2 Timor Leste, bukan sesuai dengan isi dan format laporan ATSB pada umumnya. Bagaimanapun juga dengan berusaha mengikuti standar yang disepakati dalam Annex 13, semua negara terkontrak diharapkan mampu melakukan penyidikan walaupun dengan bantuan negara lain, dan penyidikan tersebut bisa berlangsung mulus dengan hasil yang bermanfaat dalam usaha mencegah terjadinya kecelakaan yang mirip dikelak kemudian hari. Perbedaan dari standar memang boleh diajukan secara resmi ke ICAO, tetapi ini sebisa mungkin harus dihindari. Sebagai contoh, Australia telah mengajukan perbedaan yang disebabkan oleh keterbatasan dana yang dimiliki Australia untuk tujuan ini. Undang2 dan peraturan yang dikenal sebagai “The Transport Safety Investigation Act 2003, Transport Safety Investigation (Consequential Amendments) Act 2003” dan “The Transport Safety Investigation Regulations” diundangkan dan mulai berlaku sejak 1 Juli 2003. Menurut ATSB, walaupun undang2 tersebut tidak sepenuhnya sama dengan yang disepakati di
page 17
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Konvensi Chicago, namun secara garis besar dan menyeluruh berusaha mengikuti apa yang tercantum dalam Annex 13 dengan se-bisa2 nya. Perbedaan yang dilaporkan adalah sebagai berikut: 5.1 State of Occurrence “Australia may not institute an investigation into ‘domestic’ accidents where the aircraft concerned is on the Australian Register. Decisions on whether a particular domestic accident will be investigated will depend on resources and the likely benefit to future safety, particularly in the general aviation sector. Serious incidents involving either foreign or Australian-registered aircraft may also not be investigated depending on resources and the likely benefit to future safety. “ Penjelasan yang diberikan mengenai mengapa Australia tidak bisa memenuhi kesepakatan dalam kasus ini, adalah sebagai berikut: “Australia has limited resources for accident and incident investigation and for safety studies (investigations involving occurrence databases). After meeting Article 26 obligations, Australia normally gives priority to investigations involving regular public transport aircraft (especially with fare-paying passengers) and accidents involving fatalities other than those involving ultralights and sport aviation. “ Perbedaan: 5.4 Responsibility of the State Conducting the Investigation “With respect to 5.4(a) resources may constrain Australia from ‘gathering, recording and analysing all available information on that accident or incident’. “ Penjelasan mengenai perbedaan: “Australia has limited resources for accident and incident investigation and for safety studies (investigations involving occurrence databases) and will prioritise evidence gathering, recording and analysis depending on the likely safety value of the investigation and hence its resourcing and scope. “ Perbedaan: 7.1 Accidents to aircraft over 2250 kg “Australia will comply with the standard for the more complex accidents. However, for some less complex investigations Australia does not prepare a Preliminary Report.” Penjelasan: “Australia has limited resources for accident and incident investigation and for safety studies (investigations involving occurrence databases) and for less complex investigations may release only a short final report. “ Perbedaan: page 18
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
7.2 Accidents to aircraft of 2250 kg or less “Australia will comply with the standard for the more complex accidents. However, for some less complex investigations Australia does not prepare a Preliminary Report.” Penjelasan: “Australia has limited resources for accident and incident investigation and for safety studies (investigations involving occurrence databases) and for less complex investigations may release only a short final report. “ Perbedaan: 7.5 Accidents/Incident Data Report: Accidents to aircraft over 2250 kg “If Australia does not investigate a ‘domestic’ accident it will send ICAO only the initial notification details it has with regard to the accident. If an accident investigation is undertaken, the final report will be sent to ICAO. “ Penjelasan: “Australia has limited resources for accident and incident investigation and for safety studies (investigations involving occurrence databases) and may not investigate accidents not required by Article 26. If a ‘domestic’ accident is investigated, this may involve a less comprehensive investigation (see difference re 5.4 above).” Seperti dapat dilihat, Australia memang telah berusaha se-baik2nya untuk memenuhi seluruh isi kesepakatan Konvensi Chicago, tetapi karena masalah keterbatasan dana, maka tidak semua yang disepakati dalam Konvensi Chicago dapat dilakukan oleh Australia. Seandainya kecelakaan terjadi di negara yang bukan anggota ICAO, yang tidak berkeinginan untuk melakukan penyidikan, maka praktek yang disarankan (rcommended practice) adalah bagi Negara Registrasi untuk melakukan penyidikan. ICAO tidak berwewenang untuk memaksa negara yang bukan anggota untuk melakukan SARPs yang tercantum dalam Konvensi Chicago, jadi dalam contoh kasus ini Negara Registrasi (yang anggota ICAO) disarankan untuk melakukan penyidikan. Tetapi dalam kenyataannya, setiap negara yang memiliki airlines, tentu akan berperilaku sebagai NTKK dan akan melakukan penyidikan. Misalnya saja ini selalu dilakukan oleh Taiwan termasuk kecelakaan pesawat Singapore Airlines di Taiwan tahun 2000, walaupun Taiwan bukanlah anggota ICAO. Mau tak mau Taiwan harus melakukan penyidikan, sebab kalau tidak maka Taiwan akan dikenal dunia sebagai negara yang tak peduli dengan keselamatan terbang dan tak akan ada penumpang yang bersedia naik pesawat milik airline Taiwan. Annex 13 juga menyebutkan bahwa seandainya kecelakaan terjadi dinegara yang bukan anggota ICAO dan tidak berniat melakukan penyidikan, maka disarankan bahwa salah satu dari negara terkontrak yang dalam kasus ini menjadi Negara Operator, Negara Desain atau Negara Manufaktur, bertindak melakukan penyidikan. Jadi pada dasarnya ICAO menghendaki agar setiap kecelakaan terbang itu selalu diselidiki, supaya alasan2 page 19
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
yang menjadi penyebab atau berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan, itu diketahui dan dimengerti supaya dapat diambil tindakan2 yang dapat mencegah terjadinya kecelakaan yang mirip dimasa depan. Apabila kecelakaan terjadi dikawasan internasional, misalnya pesawat jatuh di laut diluar wilayah atau teritori negara manapun, maka Negara Registrasi juga diberi kewajiban untuk melakukan penyidikan, walaupun Negara Registrasi tersebut diperbolehkan minta kepada negara terkontrak lainnya untuk mewakilinya dalam melakukan penyidikan. Salah satu contoh dimana pesawat jatuh ke laut internasional adalah pesawat Airbus milik Air France yang jatuh dilautan diantara Brasil dan Eropa, yang terjadi beberapa tahun lalu. Dalam kasus tersebut, Perancis sebagai Negara Registrasi, bertanggung jawab sebagai negara (diwakili oleh BEA) yang melakukan penyidikan. Semua pihak menginginkan agar penerbangan sipil bisa menjadi modus (jenis) transportasi yang sangat aman dengan tingkat keselamatan terbang yang sangat tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut Annex 13 pada dasarnya menginginkan agar semua kecelakaan pesawat, tanpa mempedulikan berat ataupun operasi pesawat, selalu diselidiki sebab2 terjadinya kecelakaan. Oleh karena itu semua negara yang berusaha memenuhi semua kesepakatan Konvensi Chicago pasti berusaha sebisanya untuk menyelidiki semua kecelakaan pesawat yang terjadi dinegara itu, baik untuk pesawat jenis General Aviation (pesawat olah raga dan pribadi lainnya), ataupun agrikultur (misalnya penyemprot hama) dan angkutan sipil. Urutan prioritas negara yang diwajibkan melakukan penyidikan adalah NTKK, kemudian Negara Registrasi, Negara Operator, Negara Desain dan akhirnya Negara Manufaktur. Demi suksesnya upaya pencegahan terjadinya kecelakaan terbang semua negara terkontrak dihimbau untuk melakukan kerjasama internasional dengan se-baik2 nya. Annex 13 juga memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai beberapa hal sebagai berikut: IIC (Investigator In Charge) atau Penyidik Penanggung Jawab Annex 13 menekankan bahwa IIC harus bersifat independen dan dalam melakukan tugasnya diberi akses tanpa batasan untuk mengumpulkan barang bukti, menyampaikan rekomendasi, menentukan penyebab kecelakaan dan menerbitkan laporan akhir (final report). Tetapi dalam kenyataannya hal ini sangat sulit tercapai, khususnya dibeberapa negara tertentu yang memiliki undang2 yang sudah berlaku jauh hari sebelum ada pesawat terbang didunia. Sebagai contoh, para penyidik dari AAIB (Inggris) dan BEA (Perancis) harus bernegosiasi dengan pengadilan negeri lokal, yang berdasarkan undang2 yang telah diundangkan sejak jaman Napoleon, diberi hak dan wewenang sepenuhnya untuk melakukan penyidikan. ICAO memang menganjurkan agar proses hukum dan administratif untuk menentukan pihak2 yang bersalah dan bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan perlu dilakukan terpisah dari penyidikan kecelakaan, namun dalam kenyataannya dibutuhkan seorang pimpinan penyidik yang berwibawa dan pemerintah yang sungguh2 berkeinginan untuk mematuhi Annex 13 supaya penyidikan kecelakaan pesawat bisa dilakukan tanpa terlalu page 20
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
banyak masalah berbenturan dengan pengadilan negeri setempat. Walaupun Australia berkeinginan untuk memisahkan penyidikan kecelakaan dari proses penyidikan siapa yang terbukti bersalah dan harus bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan , tetapi dalam kenyatannya masalah konflik dengan pihak pengadilan negeri setempat masih sering terjadi. Hal yang sama juga terjadi dinegara2 terkontrak lainnya termasuk Amerika Serikat, Eropa dan juga di Indonesia seperti sering kita baca masalahnya di koran dan majalah yang membahas tentang kecelakaan pesawat terbang. Salah satu cara yang biasanya ditempuh adalah dengan memisahkan otorita untuk melakukan penyidikan dari otorita yang membuat dan harus menegakkan peraturan2 tentang penerbangan sipil. Misalnya saja , walaupun FAA (Federal Aviation Administration) dan NTSB (National Transportation Safety Board) ke-dua2nya berada dibawah Kementerian Transportasi Amerika Serikat, tetapi mereka saling independen satu dari yang lain, dan masing2 punya peran, fungsi dan tanggung jawab yang berbeda. FAA membuat peraturan dan pengaturan dibidang penerbangan sipil, tetapi tidak punya hak untuk melakukan penyidikan kecelakaan, sedangkan NTSB ditugaskan untuk melakukan penyidikan, mengumpulkan, menganalisa dan mengolah data, menentukan faktor2 apa saja yang terlibat sehingga kecelakaan terjadi, serta membuat laporan dan memberikan masukan serta rekomendasi tentang apa saja yang perlu diperbaiki atau perlu dilakukan seandainya belum pernah dilakukan sebelum terjadinya kecelakaan dlsbnya. Namun demikian NTSB tidak berhak membuat atau mengubah peraturan dan pengaturan, hanya boleh merekomendasikan saja dan FAA tidak diharuskan melakukan semua rekomendasi yang disampaikan oleh NTSB, walaupun tentu saja FAA harus melakukan introspeksi dan mempelajari secara sungguh2 semua rekomendasi NTSB. Pemisahan wewenang tersebut memang dianggap perlu dan penting untuk dilakukan, tetapi ada kalanya bisa juga menimbulkan konflik. NTSB bisa jadi sangat menginginkan peraturan dan pengaturan tertentu diubah/diperbaiki sesuai rekomendasinya yang berdasarkan hasil kerja susah payah mereka dalam melakukan penyidikan, tetapi FAA menolak melakukannya atau membuat perubahan/perbaikan dalam peraturan dan pengaturan yang tidak tepat sama dengan yang direkomendasikan NTSB, dan membuat NTSB frustrasi. Pemisahan wewenang seperti itu juga dilakukan disetiap negara. Misalnya saja pembuat aturan diAustralia adalah CASA (Civil Aviation Safety Authority) sedangkan penyidikan kecelakaan dilakukan oleh ATSB (Australian Transport Safety Bureau). Padanan FAA di Inggris adalah CAA (Civil Aviation Authority) sedangkan padanan NTSB adalah AAIB (Air Accidents Investigation Branch). Di Indonesia padanan FAA adalah DGCA (Directorate General of Civil Aviation) sedangkan NTSC (National Transportation Safety Committee) atau KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) adalah padanan dari NTSB. Orang yang paling pusing dengan tanggung jawab yang begitu berat dan permasalahan yang begitu rumit adalah IIC atau Penyidik Penanggung Jawab, yang harus berwibawa, disegani, pintar bernegosiasi, seorang manager yang handal dan tidak bisa ditakut-takuti oleh pihak yang berwajib seperti kepolisian ataupun kejaksaan, pak Menteri bahkan Presiden sekalipun dlsbnya. IIC diangkat oleh negara dan bersifat ad hoc alias sementara page 21
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
selama dibutuhkan untuk penyidikan kecelakaan tertentu dan bukan pangkat atau jabatan tetap. IIC biasanya adalah seorang staf yang dianggap paling senior dan berpengalaman diantara para staf di ATSB, atau NTSB atau NTSC dlsbnya. Cara kerja dan susunan organisasi badan seperti NTSB, ATSB atau KNKT dlsbnya tentu saja berbeda disetiap negara dan diatur oleh undang2 masing2 negara. Badan seperti itu tentu saja diberi dana operasi untuk menggaji staf dan melakukan tugas2 penyidikan. IIC begitu dilantik harus segera bertindak. Hal pertama yang harus dilakukan oleh IIC adalah segera terbang ke tempat kejadian dan melakukan negosiasi dengan polisi setempat untuk mengamankan barang bukti (bangkai pesawat misalnya) atau kalau pihak kepolisian tidak punya staf dalam jumlah yang cukup maka IIC harus segera menyewa staf sekuriti pribadi, misalnya dari perusahaan sekuriti lokal. Bersamaan dengan itu IIC harus menyiapkan laporan pemberitahuan kepada negara2 terkontrak lain yang terlibat yaitu pihak2 yang berwewenang dari negara2 registrasi, operator, desain dan manufaktur. Barang bukti, apalagi yang “perishable” atau cepat hilang misalnya karena busuk ataupun dicuri orang, harus segera diamankan atau disegel. Sebuah “garis polisi” harus segera dibentuk disekeliling barang bukti dan staf sekuriti harus menjaganya 24 jam sehari, hanya orang2 yang diberi wewenang dan punya kartu ID yang jelas saja yang boleh melewati garis polisi. Wartawan biasanya dilarang masuk ke kawasan barang bukti kecuali bila diberi ijin khusus dan dikawal selama berada dikawasan barang bukti. Negara terkontrak terkait dengan kecelakaan pesawat begitu mendapat berita (mungkin awalnya lewat telepon yang disusul oleh surat resmi) dari IIC, segera mengangkat seorang Accredited Representative (AR) atau seorang wakil resmi yang mewakili negara tersebut dalam proses penyidikan kecelakaan pesawat, membantu IIC dalam sebuah tim. AR itu memimpin dan dibantu oleh sejumlah penyidik dari negara yang bersangkutan, yang diberi sebutan Adviser (Penasihat) yang bisa jadi adalah ahli metalurgi, ahli aerodinamika, struktur, engine, avionik dlsbnya yang punya keahlian khusus tentang pesawat terbang yang naas itu. IIC juga harus membuat sebuah pengumuman resmi kepada pihak2 media (koran, majalah, televisi etc) memberikan penjelasan singkat mengenai kecelakaan yang telah terjadi dan menjanjikan akan memberikan laporan berkala bila ada hal2 yang perlu disampaikan kepada pihak media. Kerjasama dan saling menghormati/ menghargai dengan pihak media itu sangat penting, karena pihak medialah yang akan membuat berita yang dibaca/didengar oleh khlayak ramai termasuk keluarga korban kecelakaan pesawat. Kalau IIC tidak mau bekerjasama dengan pihak media, maka media akan memberitakan bahwa pihak yang berwewenang (IIC) sengaja menutup-tutupi hal2 yang berkaitan dengan kecelakaan dan dengan demikian IIC akan mendapat serangan dari semua pihak khususnya keluarga para korban. Tentu saja ini sama sekali tidak diinginkan. IIC kemudian bertanggung jawab untuk menyusun organisasi penyidikan dan menentukan penyidik yang mana harus bertugas/ bertanggung jawab menyelidiki masalah tertentu. Tim penyidik dibawah komando IIC terdiri dari para AR dan penasihat2 mereka serta staf dari badan penyidik (seperti KNKT kalau NTKK nya adalah Indonesia misalnya) ataupun ahli2 dari luar badan penyidik yang memiliki keahlian tertentu yang tak dimiliki oleh staf badan penyidik dan diperlukan dalam penyidikan. Inilah sebabnya mengapa IIC page 22
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
haruslah seorang yang senior baik dari segi usia, maupun, kepangkatan atau keahlian dibidang penyidikan. Sebagai contoh, salah seorang IIC yang sering ditunjuk oleh KNKT adalah Prof. Marjono Siswosuwarno, yang seorang ahli kelas wahid untuk Indonesia dibidang metalurgi atau ilmu logam. Beliau adalah seorang ahli dibidangnya yang disegani oleh para ahli lain dibidang nya dan adalah seorang anggota AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) yaitu kehormatan ilmiah paling puncak di Indonesia. Di negara2 lain, khususnya dinegara berkembang seperti di Asia dan Afrika, seringkali yang diangkat menjadi IIC adalah seorang Jendral Angkatan Udara yang sudah kenyang makan garam, menerbangkan berbagai jenis pesawat dan tentu saja disegani oleh pihak kejaksaan ataupun kepolisian dlsbnya yang punya potensi akan berusaha memanipulasi IIC supaya mengikuti aturan main mereka, bukannya mengikuti aturan main yang sudah ditetapkan oleh Annex 13 Konvensi Chicago. IIC bertanggung jawab untuk menentukan para penyidik siapa saja yang menjadi anggota tim penyidik yang membantu IIC dalam menjalankan tugasnya. Ini adalah wewenang IIC dan IIC tidak boleh diinterferensi oleh siapa saja termasuk pimpinan puncak badan penyidik (seperti Ketua KNKT) ataupun Menteri Transportasi, bahkan juga oleh Presiden. Tim penyidik yang dipimpin IIC harus bersifat independen dan dilihat masyarakat sebagai tim independen yang hanya punya satu tujuan saja yaitu mengumpulkan data, menganalisis data dan menentukan secara jujur dan adil apa yang sebenarnya terjadi yang bisa dikatakan menjadi faktor yang berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan. Kalau masyarakat mendapat kesan bahwa tim penyidik itu terlalu banyak diinterferensi oleh pihak2 luar, maka kesannya adalah adanya hal2 yang ingin ditutup-tutupi dan masyarakat akan kehilangan kepercayaan bahwa pemerintah sebenarnya tidak peduli pada keselamatan terbang, jadi orang akan berpikir 2 kali sebelum memutuskan untuk bepergian naik pesawat. Jumlah penumpang airlines akan menurun drastis dan airlines bisa jadi akan menjadi bangkrut. Di negara2 ketiga atau yang belum begitu maju, dimana korupsi dan masalah sogok menyogok masih merajalela, memang ada masalah persepsi bahwa pihak yang “bersalah” akan menyogok penyidik sehingga kesalahan mereka akan disembunyikan. Inilah sebabnya mengapa integritas seorang IIC benar2 sudah harus teruji dan sama sekali tak diragukan. Hal yang sangat membantu dalam menuntaskan penyidikan kecelakaan pesawat adalah rekaman data yang direkam oleh OBR atau Onboard Recorder (istilahAustralia) yang mencakup blackbox yang diwajibkan oleh ICAO, yaitu CVR (Cockpit Voice Recorder) dan FDR (Flight Data Recorder), dan juga QAR (Quick Access Recorder) yang dipasang oleh airline untuk kepentingannya sendiri. Annex 13 butir 5.7 dan 5.8 menentukan bahwa CVR dan FDR harus segera dibaca begitu ditemukan tanpa ditunda tunda lagi. Apabila NTKK tidak memiliki fasilitas untuk membaca CVR dan/atau FDR maka mereka harus segera minta bantuan kepada negara terkontrak lain yang memiliki fasilitas tersebut. Sebagai contoh Indonesia dulunya selalu minta bantuan kepada Australia dan Amerika Serikat untuk membaca CVR dan FDR yang terlibat dalam kecelakaan yang terjadi di Indonesia, sampai akhirnya Indonesia memiliki fasilitas dan kemampuan teknis sendiri. Seperti telah disinggung sebelumnya masalah penanganan atau akses ke rekaman CVR dan FDR seringkali merupakan sumber sengketa antara Badan Penyidik (yang diwakili oleh IIC dan tim nya) dan pihak kepolisian serta kejaksaan atau pengadilan negeri setempat. Salah satu contoh yang terkenal adalah kecelakaan pada tahun 1995 di Selandia page 23
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Baru dimana CVR dan FDR pesawat Dash 8 yang mengalami kecelakaan CFIT diambil paksa oleh pihak pengadilan negeri dan digunakan sebagai barang bukti dalam persidangan pidana menuntut para pilot yang terlibat. Dalam kasus ini jelas bahwa pemerintah Selandia Baru tidak menghormati kesepakatan Konvensi Chicago yang telah ditanda tanganinya, dan Selandia Baru pun menjadi negara yang dikenal sebagai negara yang tak begitu peduli dengan keselamatan terbang. Tentu saja pemerintah Selandia Baru yang sekarang ini sudah mengubah undang2 mereka sehingga hal yang sama tidak akan terjadi lagi. Indonesia pun pernah menahan seorang pilot sebelum penyidikan KNKT selesai tuntas. Mudah2an saja undang2 transportasi udara yang diundangkan di Indonesia belum lama lalu sudah mampu mencegah kejadian yang sama terulang lagi. CVR merekam semua suara termasuk percakapan para pilot didalam kokpit dan bunyi kebisingan engine serta ledakan yang mungkin terdengar dalam kokpit, sedangkan FDR merekam data2 teknis seperti parameter ketinggian terbang, kecepatan terbang, arah terbang, jumlah bahan bakar yang tersisa dlsbnya. Pada awalnya mesin2 perekam bersifat sebagai perekam rekaman analog dan jumlah parameter yang bisa direkam serta lama rekamannya sangat terbatas. Tetapi belakangan ini sistem rekaman yang digunakan adalah rekaman digital sehingga jumlah parameter yang bisa direkam menjadi jauh lebih banyak sedangkan lama rekaman juga bisa ber-jam2 bukan hanya sekian menit saja. Perekam data biasanya diletakkan ditempat yang paling aman dipesawat kalau terjadi kecelakaan, yaitu dibagian ekor. Perekam data juga dirancang untuk tahan goncangan akibat tabrakan saat pesawat mengalami kecelakaan dan jatuh menimpa bumi atau laut. Perekam data dilengkapi dengan alat yang disebut ULB (Underwater Locator Beacon) atau Pemancar Sinyal Penunjuk Lokasi dibawah laut supaya perekam data dapat ditemukan walaupun pesawat jatuh tercebur kelaut. Alat tersebut dikenal sebagai “pinger” karena memancarkan sinyal yang berbunyi ping ping ping……… yang ditransmisikan lewat gelombang elektromagnetik dengan frekuensi 37.5 KHz yang dapat dideteksi oleh sebuah alat khusus tertentu penerima sinyal. Pinger akan secara otomatis mulai bekerja begitu perekam data tercebur kedalam air. Pemancar sinyal atau pinger ini dapat memancarkan sinyal dari kedalaman laut sampai sedalam 14 ribu kaki, dan bisa tetap beroperasi sampai paling tidaknya 30 hari sampai akhirnya batere yang terpasang kehabisan muatan listrik. Memang Annex 13 tidak secara tegas melarang negara anggota menggunakan hasil rekaman data yang ada diperekam data sebagai barang bukti dalam persidangan pidana, tetapi kalau ini dilakukan maka penyidikan keselamatan terbang menjadi lebih sulit dan rumit. Misalnya saja kalau para pilot merasa bahwa data yang terekam dalam alat perekam dpat digunakan melawan mereka dalam persidangan pidana, maka sangat mudah bagi pilot untuk tidak menyalakan alat perekam data yang terpasang. Tentu saja ini sangat menyulitkan penyidikan seandainya terjadi kecelakaan karena sukses penyidikan pada dasarnya memang sangat tergantung pada adanya rekaman data penerbangan. NTSB Amerika Serikat mengatakan bahwa: “ Bila CVR atau transkripnya digunakan tidak pada tempatnya, yaitu untuk tujuan selain penyidikan keselamatan terbang, maka bisa jadi bahwa dimasa depan rekaman data seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh para penyidik, mustahil akan bisa diperoleh (karena penggunaan nya akan diboikot oleh para pilot). Tidak adanya akses bebas ke rekaman CVR dan FDR jelas page 24
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
akan menghambat proses penyidikan kecelakaan pesawat terbang dan pada akhirnya akan menghambat upaya untuk secara berkesinambungan, terus menerus memperbaiki keselamatan terbang. Inilah sebabnya mengapa kebanyakan negara anggota ICAO berusaha keras untuk memperbaiki / memperbarui undang2 transportasi udara mereka sedemikian rupa sehingga isi kesepakatan Annex 13 dapat diselaraskan dengan undang2 negara. Sebagai contoh, Australia telah mengundangkan TSI Act 2003 dimana tercantum aturan tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang dalam hal pemanfaatan isi rekaman OBR, namun demikian konflik juga masih saja terjadi Bisa dimengerti bahwa sangat penting untuk mencapai kesepakatan tentang informasi apa dan bagaimana prosedur yang harus diterapkan sebelum informasi yang berada dalam rekaman “blackbox” boleh dijadikan bahan berita untuk konsumsi publik. Kalaupun ada informasi rekaman “blackbox” yang boleh disampaikan kepada publik (masyarakat umum), saat2 kapan informasi itu boleh diumumkan itu juga sangat penting untuk dipertimbangkan. Tak bisa diragukan bahwa pihak media massa dan juga para politisi yang ingin cari muka, pasti menginginkan bahkan menuntut supaya mereka diberi akses ke informasi yang terekam dalam “blackbox”. Tetapi prinsip dasar yang dianut dan disepakati dalam Konvensi Chicago adalah bahwa hanya informasi yang bersifat fakta saja yang boleh disampaikan kepada masyarakat umum, sebelum proses penyidikan telah selesai dilakukan secara tuntas dan sebuah laporan resmi dikeluarkan. Para penyidik harus menahan diri, mencegah godaan untuk membuat pernyataan didepan publik yang sifatnya adalah berspekulasi mengenai skenario2 apa saja yang mungkin terjadi dalam kasus kecelakaan yang sedang diselidiki. Para wartawan pasti berusaha keras untuk mendapatkan berita-berita hangat yang dapat menjual koran atau majalah dlsbnya langsung dari mulut penyidik. Annex 13 juga memberikan rincian dari hal-hal yang tidak boleh diberitakan kepada umum, termasuk pernyataan, komunikasi antara pihak2 yang terlibat, informasi medis dan rekaman dalam kokpit serta pendapat yang diutarakan serta analisis dari informasi yang telah dikumpulkan. Annex 13 juga memberikan panduan mengenai bagaimana hal2 yang dibahas tadi sebaiknya ditangani didepan pengadilan (lihat butir 5.12). Memang konflik kepentingan antara penyidikan keselamatan terbang dan penyidikan pengadilan negeri itu tidak dapat dielakkan, karena tujuan akhirnya yang berbeda. Tetapi Konvensi Chicago menghimbau agar hubungan kerjasama yang baik antara kedua belah pihak harus ditemukan dan diterapkan agar tujuan dari masing2 pihak tetap bisa dicapai. Jadi masing2 tim penyidik bekerja sendiri2 walaupun menggunakan barang bukti yang sama, atau tim penyidik keselamatan terbang harus melakukan tugasnya sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu barang bukti dan tim penyidik pengadilan negeri tetap bisa melakukan penyidikannya dengan menggunakan barang bukti yang sama yang tetap tersedia dalam kondisi tak terusik walaupun sudah diselidiki sebelumnya oleh penyidik keselamatan terbang. Disisi lain hasil2 penyidikan tim penyidik keselamatan terbang tetap terjaga kerahasiannya dan tidak boleh diambil paksa oleh pengadilan negeri. Ada kalanya tim penyidik keselamatan terbang harus melakukan uji laboratorium yang bersifat menghancurkan atau memusnahkan barang bukti (misalnya dalam uji kelelahan logam). Untuk kasus seperti itu, tim penyidik keselamatan terbang harus berkoordinasi dengan pihak penyidik pengadilan negeri, dan mencari jalan keluar dimana kepentingan kedua page 25
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
belah pihak tetap bisa terpenuhi. Namun demikian pada akhirnya yang paling menentukan adalah undang2 yang berlaku setempat. Perlu juga dimengerti bahwa seandainya dari hasil penyidikan awal telah bisa disimpulkan bahwa kecelakaan pesawat itu disebabkan oleh tindakan kriminal (misalnya teroris meledakkan bom didalam pesawat), maka IIC harus segera menghentikan penyidikan dan menyerahkan penyidikan kasus kecelakaan itu sepenuhnya kepada pihak kepolisian (FBI di Amerika Serikat atau Polisi Federal Australia misalnya). IIC harus segera memberitahu Otorita Keselamatan Terbang. Di Ausralia IIC harus segera menghentikan penyidikan, tetapi seandainya diminta oleh pihak kepolisian maka para penyidik dibawah pimpinan IIC itu akan bersedia membantu dengan memberikan saran2 teknis dan juga dengan memanfaatkan keahlian mereka. Tetapi penyidikan yang dilakukan bukanlah penyidikan keselamatan terbang dan merupakan penyidikan tindakan kriminalitas. Hasil investigasi, yang diharapkan dapat membantu memperbaiki keselamatan terbang, tentu saja harus dilaporkan secara tertulis dan selengkap mungkin. Laporan harus disampaikan dalam bentuk formal tertentu sesuai dengan tujuan penyidikan kecelakaan pesawat. Ini tidaklah semudah itu. Supaya bisa dipercaya atau punya kredibilitas, maka semua pernyataan dari para saksi seharusnya dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh saksi. Tetapi penyataan saksi, yang bisa jadi adalah salah satu kru terbang, yang resmi dan ditandatangani, itu berarti sebuah pernyataan resmi yang dapat digunakan melawan saksi dalam persidangan pengadilan negeri ataupun dalam pemeriksaan displiner oleh perusahaan. Ini berarti bahwa seorang saksi yang kesaksiannya dapat mencelakakan dirinya atau rekan sekerjanya sendiri pasti akan ragu untuk memberikan kesaksian, yang sebetulnya sangat dibutuhkan untuk menuntaskan analisis mengenai mengapa kecelakaan pesawat itu terjadi. Kesaksian seorang saksi itu tidak bisa dipaksakan, hanya dapat dihimbau dan himbauan itu pasti tak akan didengar kalau calon saksi merasa bahwa kesaksiannya harus dalam bentuk tertulis dan harus ditandatanganinya, padahal mungkin ada bagian2 tertentu dari cerita kesaksiannya yang punya implikasi untuk menjeratnya dituntut dipengadilan. Disisi lain kalau kesaksian itu hanya diberikan secara lisan, maka saksi bisa mangkir kalau nantinya misalnya saja dia diperiksa ulang di pengadilan. Dengan demikian nilai sebuah kesaksian yang diberikan hanya dalam bentuk lisan itu bisa dicurigai sebagai sebuah kesaksian yang tak dapat dipercaya, dan akan memberikan kesimpulan yang salah dalam penyidikan kecelakaan pesawat kalau dijadikan tumpuan dari kesimpulan akhir yang diambil dan dengan demikian membuat nilai laporan penyidikan menjadi tidak begitu bermanfaat untuk tujuan memperbaiki keselamatan terbang dimasa depan. Ini adalah dilema atau kesulitan yang dihadapi oleh para pembuat undang2 dan aturan2 yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan sipil. Annex 13 memang sangat bermanfaat, tetapi tidak dapat berbuat banyak mengenai hal ini. Para anggota DPR sebaiknya menyadari, memahami dan memaklumi hal ini dan harus sangat bijaksana dalam merumuskan kalimat2 dalam undang2 yang perlu diundangkan mengenai keselamatan terbang. Ada satu hal yang Annex 13 dapat membantu mencegah terjadinya kejadian yang tak diingini. Di negara2 maju, sebuah kasus yang telah dibawa ke pengadilan dan mendapat keputusan pengadilan (apapun juga hasilnya) itu tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan dengan tuntutan yang sama. Tetapi misalnya saja ada barang bukti baru yang ditemukan page 26
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
setelah penyidikan dan sidang pengadilan selesai, maka bisa jadi akan ada tuntutan pengadilan baru, berdasarkan bukti2 baru itu. Annex 13 menegaskan bahwa hal ini diperbolehkan, tetapi hanya kalau disetujui secara resmi oleh negara yang bertanggung jawab dan telah melakukan penyidikan, yaitu NTKK atau negara registrasi kalau kecelakaan terjadi dikawasan internasional atau dinegara yang bukan negara terkontrak. Partisipasi atau Keikutsertaan dalam penyidikan Annex 13 menegaskan bahwa negara terkontrak yang melakukan penyidikan atau negara penyidik (biasanya NTKK) itu diwajibkan untuk melibatkan personil dari negara2 terkontrak lainnya yang punya kepentingan berkaitan dengan kecelakaan yang terjadi. Bisa jadi bahwa negara penyidik itu punya masalah dengan salah satu atau lebih negara terkontrak terkait. Misalnya saja seandainya ada pesawat milik operator Israel yang jatuh di Indonesia, maka KNKT harus memberitahu otorita Israel dan harus bersedia mengikutsertakan Wakil resmi (Accredited Representative) dari Israel berikut para penasihat dan para ahli pesawat yang jatuh itu. Hal ini bisa jadi bermasalah karena Indonesia (paling tidaknya dijaman dulu) tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel dan ada banyak rakyat Indonesia (biasanya dari pihak garis keras Islam) yang akan berdemonstrasi menentang kehadiran perwakilan dari Israel itu di Indonesia. Dalam hal ini kalau Indonesia sebagai penanda tangan Konvensi Chicago ingin mematuhi aturan main yang telah disepakati dan perjanjian internasionalnya sudah ditandatangani, maka mau tak mau KNKT harus melibatkan para personil dari Israel itu. Contoh lain adalah seandainya ada pesawat Taiwan yang jatuh di Indonesia, maka KNKT harus melibatkan para ahli pesawat dari Taiwan, walaupun ini menimbulkan masalah dengan RRC yang akan memaksa Indonesia untuk tidak berhubungan resmi dengan Taiwan yang menurut mereka adalah sebuah provinsi yang mbalelo. Annex 13 memberikan rincian mengenai negara2 mana saja yang punya hak untuk ikut serta atau berpartisipasi dalam penyidikan kecelakaan pesawat, yaitu negara2 Registrasi, Operator, Desain dan Manufaktur. Masing2 negara tersebut berhak untuk mengangkat seorang AR (Accredited Representative) atau Wakil Resmi, dibantu oleh beberapa penasihat dan ahli2 pesawat bidang2 tertentu. Negara2 pembuat komponen2 pesawat yang naas boleh juga mengajukan permohonan untuk diperbolehkan berpartisipasi dalam penyidikan, tetapi mereka tidak punya hak otomatis untuk diundang ikut berpartisipasi. Negara2 Registrasi dan Operator boleh mengangkat satu atau lebih Penasihat untuk membantu AR atau Wakil Resmi nya, yang diusulkan oleh negara operator. Negara2 Desain dan Manufaktur boleh mengangkat Wakil Resmi yang dibantu oleh satu atau lebih Penasihat, yang diusulkan oleh organisasi2 yang bertanggung jawab melakukan “type certificate” (perancangan jenis pesawat) dan Final Assembly (Perakitan Akhir). Seandainya negara desain dan manufaktur, karena alasan apapun tidak mengangkat Wakil Resmi, maka Annex 13 memberi hak kepada organisasi yang bertanggung jawab untuk perancangan jenis dan perakitan akhir pesawat (yang naas itu) untuk mengangkat AR atau Wakil Resmi beserta para penasihatnya.
page 27
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
AR punya hak untuk mengunjungi lokasi kejadian kecelakaan, memeriksa rongsokan pesawat yang hancur dan mewawancarai para saksi kecelakaan, dan juga memberikan saran tentang pertanyaan2 apa saja yang perlu ditanyakan, berhak punya akses sepenuhnya pada semua barang bukti terkait selekas mungkin, menerima semua dokumen, terlibat pada saat pembacaan data dalam “blackbox”, ikut serta dalam kegiatan2 diluar tempat kejadian kecelakaan, berpartisipasi dalam rapat2 berkala termasuk melontarkan saran2 dalam acara tukar pendapat, dan juga mengajukan usulan resmi. Hal2 tersebut diatas bisa jadi menimbulkan perdebatan sengit, apalagi bila ada negara yang ingin memastikan lebih dulu bahwa negara2 lain itu tidak punya daftar “differences” atau perbedaan resmi yang diajukan ke ICAO, sebelum mereka boleh minta hak mereka seperti yang tertera dalam Annex 13. Disamping punya hak, para wakil resmi (AR) juga punya kewajiban yang harus mereka patuhi, termasuk: memberikan informasi yang mereka miliki, yang terkait dengan kecelakaan yang sedang diselidiki, dan tidak boleh menyampaikan informasi kepublik mengenai jalannya penyidikan dan kesimpulan2 sementara apa saja yang sedang dibahas, tanpa persetujuan resmi dari negara penyidik. Sebagai penutup kata, perlu dijelaskan bahwa negara2 yang warganegaranya menderita luka parah (serious injury), bahkan meninggal dunia, dalam kecelakaan terkait diberi hak untuk mengangkat seorang ahli yang boleh mengunjungi lokasi kejadian kecelakaan, punya akses pada informasi tentang kenyataan yang ada (factual information bukan hasil analisis atau kesimpulan sementara), berpartisipasi dalam mengidentifikasi para korban dan menerima sebuah salinan dari laporan akhir (final report). Seperti dapat dilihat, Annex 13 itu sangat komprehensif dan mencakup semua hal yang perlu dipikirkan yang terkait dengan penyidikan kecelakaan pesawat. Namun demikian Annex 13 hanya dapat diterapkan kalau setiap negara terkontrak menghormati isi perjanjian yang telah mereka tandatangani, yaitu Konvensi Chicago. Kerjasama semua negara anggota sangat dibutuhkan supaya setiap kecelakaan pesawat yang terjadi dapat diselidiki faktor2 yang berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya kecelakaan. Analisis mendalam dari semua barang bukti, hasil pengujian laboratorium, data di “blackbox” dan wawancara para saksi, diharapkan dapat mengidentifikasi penyebab kecelakaan sehingga ada hal2 yang perlu dan bisa dilakukan akan dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang sama atau mirip dimasa depan.
page 28
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Bab 3. Prosedur Penyidikan Kecelakaan Pesawat Terbang Ditulis oleh Hadi Winarto BE (USyd), M Eng Sc, Ph D (UNSW), SMAIAA Awal Oktober 2012 di Beeliar, Western Australia 6164 Dalam tulisan sebelumnya, kita telah membahas topik tentang Annex 13 Konvensi Chicago, yang merupakan hasil akhir dari perjalanan panjang sejarah masalah penerbangan sebagai alat transportasi untuk umum. Supaya penerbangan dapat diterima sebagai alat transportasi oleh publik, pertama-tama harus dibuktikan lebih dulu kepada masyarakat bahwa penerbangan adalah moda transportasi yang aman selamat, disamping nyaman, cepat, dapat diandalkan jadwalnya dan dengan harga tiket yang terjangkau oleh sebagian besar anggota masyarakat. Pada awalnya, keselamatan penerbangan tidak bisa dijamin dan penerbangan hanya dilakukan oleh para pionir yang berjiwa petualang dan berani mengambil risiko, walaupun nyawalah yang menjadi taruhannya. Bagi kebanyakan orang, penerbangan hanya bermanfaat sebagai alat transportasi jarak jauh yang sangat cepat apabila keselamatan terbang dapat dijamin. Itulah sebabnya mengapa para pionir penerbangan dari sejak awalnya telah memikirkan bagaimana cara membuat penerbangan terjamin keselamatannya sehingga bisa diterima oleh publik sebagai salah satu pilihan moda transportasi khususnya untuk jarak menengah dan jarak jauh. Iptek penerbangan pada awalnya masih sangat terbatas dan kecelakaan pesawat sering terjadi. Untuk mencegah terulangnya kejadian kecelakaan yang sama, para perancang pesawat harus memahami faktor2 apa saja yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan. Dengan pengertian yang dimiliki, para perancang kemudian bisa berusaha mencari solusi2 teknis yang apabila diterapkan dapat mencegah terjadinya kecelakaan yang sama. Untuk mendapatkan pengertian mengenai faktor2 penyebab kecelakaan, para perancang dan insinyur harus menerapkan iptek2 terbaru yang telah dikuasai, dalam proses perancangan dan produksi pesawat. Pada awalnya iptek yang sudah dikuasai masih sangat terbatas dan kekurang pengertian mengenai hal2 teknis tertentu sangat berpengaruh terhadap faktor2 yang berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan. Dengan mengumpulkan semua data yang diperkirakan berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan pesawat terbang dan menganalisis data tersebut, pengetahuan manusia tentang iptek penerbangan sedikit demi sedikit mulai meningkat dan keselamatan penerbangan sedikit demi sedikit dapat diperbaiki sehingga akhirnya penerbangan telah menjadi moda transportasi yang paling aman selamat bila dibandingkan dengan moda2 transportasi darat dan laut. Itulah sebabnya mengapa sebuah sistem atau prosedur penyidikan kecelakaan pesawat merupakan bagian yang sangat penting dalam proses membuat penerbangan menjadi alat transportasi yang aman selamat dan diterima oleh publik. Karena pesawat terbang dapat bergerak dengan sangat cepat dan dengan mudah dapat melintasi batas2 negara, maka kebanyakan penerbangan sipil melibatkan beberapa negara dan mau tidak mau penyidikan keselamatan terbang harus didukung oleh sebuah kesepakatan bersama oleh negara2 didunia. Konvensi Chicago adalah kesepakatan bersama dari negara2 didunia yang mengatur tentang penerbangan internasional. Annex 13 adalah bagian dari Konvensi Chicago yang mengatur tentang bagaimana penyidikan kecelakaan pesawat terbang harus dilakukan supaya mendapat hasil yang maksimal dan paling bermanfaat dalam upaya mencegah terjadinya kecelakaan yang sama dimasa yang akan datang. Dalam tulisan ini kita akan mempelajari secara lebih mendalam mengenai rincian dari prosedur dan teknik penyidikan kecelakaan pesawat terbang, yang secara garis besarnya telah dibahas dalam 2 tulisan sebelumnya.
page 29
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Proses Penyidikan Tujuan penyidikan hanya dapat diperoleh secara optimal apabila penyidikan dilakukan secara teratur dan terorganisir dengan baik. Penyidikan dilakukan dibawah pimpinan seorang IIC (Investigator In Charge) atau Penyidik Utama. Dialah yang bertanggung jawab untuk mengorganisir dan merencanakan penyidikan, yang dari sejak awalnya harus sudah ditentukan luas dan besaran ruang lingkupnya, dan secara berkesinambungan harus dikaji ulang untuk menentukan sumberdaya manusia (personil) dan sumberdaya lainnya, termasuk dana, yang dibutuhkan dan paling tepat untuk mencapai tujuan penyidikan. Penyidikan kecelakaan pesawat terbang pada dasarnya sama saja dengan penyidikan dalam cerita detektif, yaitu pada awalnya penyidik perlu membuat sebuah daftar dari semua hal yang mungkin berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan, kemudian mengumpulkan bukti2 dan mengkaji semua fakta baik yang mendukung maupun yang bertentangan dengan anggapan yang dibuat waktu membuat daftar. Faktor2 yang tercantum dalam daftar kemudian dikaji dan yang tidak didukung oleh fakta kemudian dicoret. Faktor2 yang masih tersisa kemudian diuji lagi dengan mengumpulkan data2 tambahan. Para penyidik harus mengkaji semua informasi yang sedang dikumpulkan secara berurutan dan hasilnya digunakan untuk menentukan arah dan kedalaman ruang lingkup penyidikan. Kalau pesawat yang naas adalah sebuah pesawat besar pengangkut penumpang sipil, kemungkinannya adalah bahwa penyidikan harus dilakukan secara besar2an, membutuhkan sumberdaya yang besar dan melibatkan sekelompok penyidik. Kecelakaan yang melibatkan sebuah pesawat kecil boleh jadi hanya perlu dilakukan oleh seorang penyidik saja, yang memanfaatkan fasilitas2 yang dimiliki badan penyidikan ataupun organisasi luar, untuk tujuan2 khusus tertentu sesuai kebutuhan. Penyidik Utama (IIC) dilantik untuk bertanggung jawab secara menyeluruh untuk mengorganisir, melaksanakan dan mengendalikan jalannya penyidikan. IIC yang diberi beban seberat itu harus didukung sepenuhnya oleh badan penyidikan (seperti KNKT atau ATSB etc) yang melantiknya untuk kurun waktu terbatas yaitu sampai penyidikan telah dituntaskan. Untuk penyidikan berskala besar, IIC sesungguhnya lebih berperan sebagai seorang manager upaya penyidikan, bukannya se-mata2 melakukan tugas penyidikan secara teknis saja. Itulah sebabnya mengapa IIC harus segera bertemu dengan para AR (Accredited Representative) atau Wakil Resmi dari negara2 terkontrak yang terlibat. Selanjutnya IIC harus memastikan bahwa semua kebutuhan sumberdaya terpenuhi dan berada ditempat yang seharusnya, bahwa semua personil (AR dan para penasehat mereka) telah diberitahu semua hak dan kewajiban mereka, semua dokumentasi yang relevan telah disediakan khususnya bagi para wakil dari luar negeri tersebut, dan secara mendasar IIC harus secara tegas langsung mengambil kendali untuk pelaksanaan penyidikan dengan mengorganisir semua personil yang terlibat. Untuk penyidikan berskala besar, IIC harus diberi dukungan administratif untuk memulai pelaksanaan penyidikan. Pada umumnya penyidikan berskala besar selalu mendapat perhatian dari media masa dunia dan sebaiknya IIC mengeluarkan pernyataan resmi mengenai fakta2 yang telah dikumpulkan secara berkala, tetapi ini sebaiknya hanya dilakukan setelah IIC berkonsultasi dengan para wakil resmi (AR) dan sesuai dengan kebijakan dan prosedur resmi yang berlaku setempat. Di Australia undang2 dan prosedur mengenai masalah penyidikan tercakup dalam Transport Investigation Act (TSI) Act 2003, the Transport Investigation Regulations dan the ATSB Procedures Manual. Hal2 yang dibahas lebih lanjut dibawah ini berlaku khususnya di Australia, tetapi secara umum juga berlaku di negara2 terkontrak (anggota ICAO ) lainnya.
page 30
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Kalau sebuah kecelakaan pesawat terbang terjadi, tanggapan oleh pihak yang berwajib tentu saja tergantung pada skala besar kecelakaan dan penyidikan yang diperlukan. Penyidikan bisa berskala kecil, yang melibatkan hanya seorang penyidik saja, yang tidak mengunjungi lokasi kecelakaan, tetapi hanya melakukan penyidikan lewat telpon. Tentu saja cakupan penyidikan seperti itu jelas sangat terbatas, walaupun birokrasi pemerintahan cenderung menyukai pendekatan ini, karena membutuhkan biaya yang tidak besar. Masalahnya adalah tidak adanya kesempatan untuk verifikasi kebenaran informasi yang diperoleh ataupun untuk memeriksa hal2 yang tak terduga. Untuk penyidikan berskala besar, prosedur yang diterapkan biasanya melibatkan “Group System” yang melibatkan banyak orang ataupun kelompok2 penyidik dari seluruh dunia disamping para penyidik lokal. Saat seorang penyidik diberi tugas untuk melakukan penyidikan yang pertama kali baginya, itu adalah sebuah pengalaman yang cukup menegangkan karena memang mustahil untuk sepenuhnya mempersiapkan diri untuk mengantisipasi apa saja yang akan dihadapi, seperti harus berkoordinasi dengan badan2 pengendali keadaan gawat darurat (emergency services), berhadapan dengan para anggota keluarga para korban yang sedang berduka ataupun yang sedang ber-harap2 cemas ingin tahu apakah keluarga mereka selamat atau tidak, dengan penduduk setempat, dan dengan para reporter. Satu2nya cara untuk mengurangi ketegangan bagi penyidik pemula adalah dengan “bersiap diri”, “terorganisir”, “berpengetahuan” dan “ber-hati2”. Dibawah ini kita akan membahas apa yang dimaksud dengan kata2 tersebut. “Bersiap Diri” Seorang penyidik harus siap dipanggil untuk melaksanakan tugas kapan saja. Untuk tujuan tersebut seorang penyidik harus mempunyai “perlengkapan siap pakai” atau dalam bahasa Inggrisnya “go kit”. Ini terdiri dari sebuah tas punggung (back pack) berkualitas yang dilengkapi dengan sebuah tas kecil yang sebaiknya dapat dicopot. Dalam tas tersebut penyidik harus punya pakaian, kaos kaki, dan sepatu bot. Barang2 tersebut harus cocok untuk cuaca dilokasi dimana penyidik akan bekerja. Di Australia ini berarti segala macam cuaca, mulai dari kelembaban tropis dan panas gurun, sampai kedinginan daerah pegunungan yang mungkin bersalju. Disamping keperluan pribadi, tas harus berisi peralatan dasar untuk penyidikan seperti alat tulis, telpon genggam, alat perekam, alat pengukur kemiringan (inclinometer), timbangan, kamera, kompas, penyimpan sampel, pengukur panjang, peralatan keselamatan (topeng gas, sarung tangan, baju luar sekali pakai, baju luar terbuat dari katun), air minum, dan formulir2 resmi (salinan undang2, salinan Annex 13, manual, kwitansi, formulir pemesanan barang dlsbnya). Sebuah laptop, walau agak berat, sebaiknya juga dibawa, disamping kamera digital. Sambungan ke internet lewat satelit harus disiapkan. Foto2 digital yang diambil sebaiknya bisa dikirim langsung ke kantor pusat lewat internet kalau memungkinkan. Kalau foto2 yang diambil membutuhkan memori yang terlalu besar untuk bisa dikirim lewat internet, maka foto2 tersebut harus dibakar dalam CD (Compact Disc) atau DVD (Digital Video Disc) dan dikirim lewat pos kilat khusus, supaya kantor pusat dapat mengikuti perkembangan mutakhir dari penyidikan. Jadi beberapa cakram CD atau DVD harus disimpan dalam tas, dan laptop yang dibawa harus dilengkapi dengan pembakar CD atau DVD atau Blue Ray. Dengan adanya “cloud computing” belakangan ini, data sampai puluhan Gigabytes bisa disimpan dalam sistem penyimpan yang bisa diakses dari mana saja, oleh semua orang yang diberi akses, jadi dimasa depan mungkin CD atau DVD penyimpan data tidak diperlukan lagi. Semua peralatan yang disimpan dalam tas harus secara rutin diperiksa untuk memastikan bahwa semuanya dalam kondisi bekerja dengan baik, batere2 yang disimpan semuanya berisi muatan penuh, dan tidak ada komponen sekecil apapun yang hilang atau tidak berfungsi.
page 31
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Untuk penyidikan skala kecil, sebuah “go kit” yang lengkap akan memungkinkan penyidik mulai bekerja dengan segera. Untuk penyidikan skala besar atau kasus kecelakaan yang rumit tentu saja dibutuhkan sumberdaya peralatan dan manusia yang jauh lebih banyak, dan disesuaikan dengan kebutuhan yang muncul. “Terorganisir” Seorang penyidik harus senantiasa berada dalam kondisi “terorganisir”, karena biasanya seorang penyidik hanya punya waktu beberapa jam setelah panggilan untuk memulai tugas sampai dia siap naik pesawat untuk terbang kemana saja dinegara tempat kejadian kecelakaan, yang jauh dari tempat dia tinggal. Penyidik harus punya paspor yang masih berlaku dan siap dibawa lengkap dengan visa dan semua persyaratan kesehatan (kalau ditugaskan ke negara yang sedang punya wabah penyakit), dan tentu saja penyidik harus mampu secepatnya membukukan tiket untuk terbang. Penyidik harus tahu pasti tentang “apa”, “dimana” dan “bagaimana” dari setiap hal yang harus dilakukan, seperti siapa yang sudah berada di lokasi kejadian kecelakaan, dimana letak lokasi dan bagaimana cara mencapai lokasi tersebut (yang mungkin berada ditempat terpencil dipegunungan dlsbnya). Sebaiknya penyidik juga punya langganan tempat membeli barang2 seperti pita pengukur panjang, alat pembatas pencegah orang2 tak berkepentingan memasuki kawasan kecelakaan dan bahkan kalau diperlukan juga “portable toilets” atau WC sementara siap pakai. Dalam hal ini kalau otorita penyidikan punya kantor cabang pembantu didekat lokasi kecelakaan, itu tentu sangat membantu karena mereka bisa diandalkan untuk punya hubungan dengan toko atau supplier lokal. Kalau tidak ada kantor cabang pembantu, maka penyidik harus minta pertolongan kepada polisi dan badan2 pengelola kondisi gawat darurat setempat. “Berpengetahuan” Yang dimaksud dengan pengetahuan disini adalah pengetahuan umum mengenai kondisi setempat, yang dapat membantu penyidik untuk tidak melakukan tindakan2 ceroboh yang boleh jadi akan membuat banyak orang setempat menjadi gusar dan tersinggung. Dalam peristiwa kecelakaan, apalagi bila ada korban yang meninggal dunia, orang akan merasa tegang, sedih dan mudah marah, reporter akan berkeliaran mencari berita2 menarik yang dapat menjual medianya seperti koran, radio dan TV dlsbnya, termasuk reporter amatir yang menulis dalam blognya di internet. Politik lokal juga akan menjadi sorotan perhatian dan akan ada banyak politisi yang mencari muka dengan bersikap memusuhi penyidik yang dianggap mewakili mereka yang bertanggung jawab mengapa kecelakaan terjadi. Inilah sebabnya mengapa pengetahuan tentang sikon setempat akan sangat membantu penyidik dalam bersikap hati2 dan tidak berlaku ceroboh dan membuat musuh dari orang2 setempat yang seharusnya justru dibutuhkan untuk membantu menuntaskan penyidikan kecelakaan. Dalam hal ini, penyidik bisa mendapat bantuan dari pihak kepolisian dan juga dari badan pengelola kondisi gawat darurat setempat, yang dapat memberi informasi mengenai sikon setempat. “Ber-hati2” Penyidik harus selalu ber-hati2 karena kecelakaan pesawat terbang selalu menarik perhatian banyak orang. Penyidik harus selalu ber-hati2 kepada siapa mereka bicara dan yang lebih penting lagi adalah apa yang mereka bicarakan. Penyidik harus selalu tahu dengan siapa mereka berbicara, misalnya penyidik harus selalu menelpon kembali sesorang penelpon untuk meyakinkan identitas penelpon, yang mungkin saja ingin mengecoh penyidik dengan memberikan informasi palsu dlsbnya. Polisi dan pihak
page 32
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
pengadilan negeri setempat bisa jadi juga merasa tersaingi, bahkan terancam dengan keberadaan penyidik, jadi sebaiknya penyidik telah mempelajari dengan se-baik2nya batasan2 dari hak2 mereka sebelum berangkat ke lokasi kecelakaan, supaya tidak menjadi bermusuhan dengan otorita setempat. Awal Penyidikan dan Laporan Penyidikan kecelakaan pesawat berawal dengan adanya laporan tentang terjadinya kecelakaan, yang dilaporkan ke Badan Penyidikan Keselamatan Transportasi (BPKT) seperti ATSB atau KNKT di Indonesia. Bagian 3 dari undang2 Australia TSI Act 2003 dan bagian 2 dari Transport Safety Investigation Regulations menyatakan bahwa seorang penduduk yang merasa punya tanggung jawab sosial dan mengetahui terjadinya suatu kecelakaan yang patut dilaporkan, diharuskan melaporkan hal tersebut ke ATSB. Artikel 2.4 sampai 2.7 dari peraturan dan Section 3 dari undang2 tadi memberikan petunjuk tentang persyaratan bagaimana cara memberikan laporan kepada ATSB. Setiap negara anggota ICAO atau negara terkontrak diwajibkan memberikan laporan tentang terjadinya kecelakaan pesawat kepada ICAO sesuai dengan yang tercantum dalam Annex 13 Chapter 4 mengenai kecelakaan yang bersifat aksiden ataupun insiden yang serius. Chapter 7 dari Annex 13 menyatakan bahwa negara anggota ICAO diwajibkan untuk menyampaikan ADREPs (Accident/Incident Data Report) atau Laporan Data Aksiden/Insiden, tergantung pada sifat kecelakaan, yang perinciannya diberikan lebih lanjut di Attachment B dari Annex 13. Sesuai dengan isi Attachment tersebut, Kejadian Internasional (International Occurences) adalah Aksiden dan Insiden Serius yang terjadi diwilayah negara terkontrak dan dialami oleh sebuah pesawat terbang yang diregistrasikan dinegara terkontrak lainnya, sedangkan Kejadian Domestik adalah Aksiden atau Insiden Serius yang terjadi diwilayah negara terkontrak dimana pesawat diregistrasikan. Kejadian2 lainnya yang mungkin terjadi adalah Aksiden dan Insiden Serius yang terjadi diwilayah negara tak terkontrak (negara yang bukan anggota ICAO) atau diluar wilayah negara manapun juga (misalnya di laut internasional). ATSB mempunyai sebuah prosedur pelaporan resmi yang memberitahukan kepada ICAO tentang aksiden dan insiden yang terjadi di Australia, sebagai wujud kewajibannya dalam memenuhi kesepakatan Konvensi Chicago, kecuali untuk kasus2 dimana Australia telah menyampaikan nota resmi menjelaskan “differences” atau perbedaan2 antara apa yang diminta ICAO dan apa yang bisa dilakukan oleh Australia karena keterbatasan yang ada di Australia. Jenis2 laporan yang mungkin diminta oleh ICAO diantaranya adalah: Laporan Awal (Preliminary Report) Laporan Data Aksiden/Insiden atau ADREP (Accident/Incident Data Report) Laporan Akhir (Final Report) dan Ringkasan Laporan Akhir (Summary of the Final Report). Notifikasi (Notification) wajib dilaporkan oleh negara terkontrak dimana kecelakaan terjadi atau Negara Tempat Kejadian Kecelakaan (NTKK) untuk semua Kejadian Internasional yang melibatkan pesawat apapun, dan disampaikan kepada Negara2 Registrasi, Operator, Desain dan Manufaktur, dan juga ke ICAO (kalau berat pesawat lebih dari 2250 kg). Negara Registrasi diwajibkan menyampaikan Notifikasi kepada Negara2 Operator, Desain dan Manufaktur, dan juga ICAO (kalau berat pesawat lebih dari 2250 kg) untuk kecelakaan2 yang termasuk dalam Kejadian Domestik atau Kejadian lainnya (kalau berat pesawat lebih dari 2250 kg). Disamping notifikasi, negara yang melakukan penyidikan juga diharuskan untuk menyampaikan Laporan Awal (Preliminary Report) untuk semua Aksiden dan Insiden Serius yang terjadi dinegara
page 33
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
tersebut. Laporan awal mencakup informasi awal berdasarkan fakta dan hal2 yang terkait tentang kecelakaan yang terjadi, dan harus disampaikan se-lambat2nya 30 hari setelah terjadinya kecelakaan. Aksiden yang terjadi pada pesawat dengan berat lebih dari 2250 kg harus dilaporkan kepada ICAO dalam bentuk Laporan Awal, dan juga kepada Negara2 Registrasi, Operator, Desain dan Manufaktur dan Negara2 lain yang memberikan informasi, dan fasilitas yang signifikan atau tenaga ahli. Untuk kasus aksiden yang melibatkan pesawat dengan berat kurang dari 2250 kg, atau apabila melibatkan masalah kelaikan terbang dan hal2 lain yang dipandang penting, Laporan Awal juga harus disampaikan kepada semua pihak seperti disebutkan sebelumnya, dengan perkecualian bahwa ICAO tidak perlu diberi laporan tersebut. Format laporan dapat dibaca rinciannya dibuku petunjuk ICAO yaitu ICAO Accident/Incident Reporting Manual. Laporan awal berbentuk laporan data yang dapat dengan mudah dimasukkan kedalam database komputer. Informasi yang tersimpan kemudian dijadikan database tentang kecelakaan pesawat terbang diseluruh dunia dan dapat dimanfaatkan oleh setiap negara yang menginginkan data statistik bulanan atau tahunan. Laporan Data Aksiden/Insiden atau ADREP harus diserahkan setelah Laporan Akhir disetujui oleh otorita yang berwewenang, yang untuk Australia adalah Direktur Pelaksana (Executive Director) ATSB, sedangkan di Inggris Raya oleh Kepala Penyidik (Chief Investigator) AAIB. Manfaat ADREP adalah sebagai sebuah standar metoda pelaporan yang memberikan informasi yang akurat dan lengkap tentang kecelakaan yang terjadi. Baik Laporan Akhir maupun Ringkasan dari Laporan Akhir adalah Laporan Kisah yang bercerita tentang apa yang dilaporkan, bukan sekedar sejumlah data teknis saja. Ringkasan dari Laporan Akhir diserahkan oleh Negara Penyidik apabila negara tersebut berpendapat bahwa informasi yang tercantum dalam laporan dinilai sangat penting dalam mempromosikan keselamatan penerbangan, mungkin karena melibatkan sebuah teknik penyidikan baru ataupun menyampaikan saran tentang beberapa tindakan pencegahan yang diperkirakan akan dapat mencegah terulangnya kembali kecelakaan yang sama atau mirip. Hubungan kerja (Liaison) Mengingat bahwa aviasi itu bersifat antar bangsa, jadi walaupun melakukan penyidikan untuk kasus Kecelakaan Domestik, seorang penyidik harus selalu mengingat persyaratan Annex 13 dalam melakukan penyidikannya. Sebagai contoh, penyidik yang ingin menghubungi perusahaan yang memproduksi pesawat, tidak boleh begitu saja langsung menghubungi perusahaan tersebut, tetapi harus menghubungi dulu BPKT (Badan Penyidik Kecelakaan Transportasi) negara dimana perusahaan tersebut berada (misalnya NTSB di Amerika Serikat atau AAIB di Inggris Raya). Seorang penyidik yang bijaksana kemudian menyitir perwakilan BPKT dalam laporannya, dan dengan cara tersebut dia akan mendapatkan perlindungan untuk informasi yang disampaikan yang diberikan oleh Annex 13 Konvensi Chicago. Disamping itu, BPKT biasanya juga dapat memperlancar terjadinya kerjasama antara penyidik dengan misalnya perusahaan produsen pesawat, ataupun dengan perusahaan2 lainnya. Misalnya saja Boeing akan lebih cepat menanggapi sebuah permintaan untuk data2 teknis tertentu, bila yang memintanya adalah NTSB dibandingkan dengan kalau yang minta adalah penyidik KNKT yang secara langsung menghubungi Boeing untuk minta data. Setelah menyampaikan notifikasi, BPKT negara tempat kejadian kecelakaan (NTKK) harus membuat keputusan untuk melakukan penyidikan atau tidak. ICAO memang mengharuskan semua NTKK agar menyidik semua kecelakaan yang terjadi dinegara tersebut. Tetapi, dalam prakteknya ini tidak dilakukan. Sebagai contoh, seperti telah disebut sebelumnya Australia telah menyampaikan keberatan
page 34
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
atau “difference” formalnya, yaitu bahwa Australia hanya akan melakukan penyidikan untuk kecelakaan yang terjadi pada pesawat angkutan sipil, sedangkan untuk pesawat lainnya seperti pesawat agrikultur, pesawat kecil pribadi atau pesawat olah raga, penyidikan hanya akan dilakukan apabila Australia memandang bahwa hasil penyidikan pada kecelakaan yang terjadi akan sangat bermanfaat didunia internasional dan Australia memiliki dana untuk melakukan penyidikan. Kalau diputuskan untuk melakukan penyidikan, Penyidik Utama (IIC) harus segera menghubungi otorita lokal ditempat terjadinya kecelakaan, dan berusaha menciptakan hubungan kerjasama yang harmonis dengan otorita2 setempat tersebut kedepannya. IIC harus segera mengorganisir sekuriti untuk mengamankan barang2 bukti ditempat terjadinya kecelakaan. Sekuriti Situs Kecelakaan Petugas2 sekuriti jelas dibutuhkan untuk mengamankan barang2 bukti ditempat terjadinya kecelakaan, yang mungkin saja akan dicuri atau diambil secara tidak sengaja oleh penduduk setempat disekitar lokasi kecelakaan. Disamping itu, reruntuhan pesawat bisa berbahaya bagi penduduk setempat yang kurang ber-hati2 dan berjalan disekeliling reruntuhan pesawat yang tidak dijaga, dan dapat dengan mudah menjadi terluka ataupun terkena radiasi, atau menghirup gas beracun dlsbnya. Perimeter atau garis batas lokasi kecelakaan (“police line”) harus segera ditentukan dan dipatok serta dijaga oleh petugas2 sekuriti. Semua personil, yaitu penyidik dan petugas2 lain yang bekerja dilokasi kecelakaan harus mengenakan tanda pengenal yang sah, dan harus memakai seragam yang memadai supaya tidak cedera selama bertugas disitu. Orang2 lain yang tak berwewenang, termasuk para reporter, harus dicegah memasuki lokasi tersebut. Barang Bukti Barang bukti seringkali bersifat sangat mudah untuk menjadi musnah, baik karena cuaca (hujan, angin dlsbnya), dan juga karena manusia ataupun binatang yang berlalu lalang secara bebas dilokasi kecelakaan. Hal2 tersebut juga bisa saja menyebarkan bahan2 berbahaya dari lokasi ketempat lain diluar lokasi, yang mungkin saja adalah sebuah kota dengan penduduk yang berjumlah cukup banyak. Bahan berbahaya atau hazard tersebut bisa jadi adalah bio-hazard alias kuman dan virus misalnya, ataupun racun dan gas berbahaya dari penyimpan gas yang meledak, dan tentu saja kemungkinan mendapat luka yang cukup parah dari reruntuhan yang tajam ataupun tertimpa benda berat dlsbnya. Korban Selamat Apabila ditemukan adanya korban yang masih hidup, tentu saja korban tersebut harus segera dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan medis secepatnya supaya hidupnya dapat diselamatkan dan luka2nya diobati dan dirawat. Dari segi penyidikan memang tidak ada desakan untuk sesegera mungkin mengangkat jenasah ataupun bagian2 tubuh korban yang berserakan, tetapi dari segi kemanusiaan dan tuntutan para keluarga korban tentu saja jenasah2 tersebut harus diamankan diangkut dari lokasi kejadian ketempat yang lebih tepat untuk pengurusan korban, misalnya dirumah sakit terdekat ataupun tenda2 medis darurat yang perlu dibangun didekat lokasi kejadian. Hal ini juga perlu dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit ataupun kemungkinan sisa2 para korban dimakan oleh binatang2 liar yang mungkin berada didaerah sekitar lokasi yang mungkin adalah hutan belukar dlsbnya. Namun demikian, sebelum para korban dievakuasi harus dulu diambil foto2 yang menggambarkan skenario kecelakaan secara umum sebelum skenario tersebut berubah karena adanya barang bukti yang
page 35
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
sudah dipindahkan. Penyidik harus dari sejak awal berkoordinasi dengan para ahli forensik untuk mengumpulkan informasi dari hasil “post mortem” atau pembedahan untuk menentukan penyebab kematian etc, yang nantinya dibutuhkan untuk analisis penyidikan. Kalau penyidik terpaksa minta pertolongan pihak kepolisian untuk mengambil foto2 dari lokasi kejadian, penyidik harus secara tegas minta supaya polisi mengambil foto2 yang memberikan gambaran menyeluruh tentang lokasi kejadian, dan bukannya hanya foto2 jarak dekat dan foto2 “close up” saja, yang biasanya diambil fotonya oleh polisi dalam penyidikan mereka. Hal2 tersebut diatas bisa dilakukan sebelum IIC mencapai lokasi, yaitu lewat telpon minta pertolongan pihak kepolisian dan badan penanggulangan bencana setempat dlsbnya. Begitu IIC sampai dilokasi kejadian biasanya otorita setempat langsung mendesak IIC untuk secepat mungkin mengambil alih tanggung jawab penyidikan, dimana IIC bertanggung jawab sepenuhnya untuk semua permasalahan yang menyangkut sekuriti, keamanan dan keselamatan. Itulah sebabnya mengapa IIC tidak boleh gegabah mengambil alih begitu saja, tetapi sebaiknya serah terima tanggung jawab baru dilakukan setelah IIC meyakinkan bahwa semua hal yang berkaitan dengan sekuriti dan keselamatan telah dibahas dan disetujui bersama dan IIC merasa yakin mampu mengurusnya. IIC harus menyiapkan secara tuntas segala hal yang menyangkut konsumsi dan kebersihan, dan membuat jadwal kerja bagi semua personil yang bekerja dilokasi kejadian. Biasanya para personil harus bekerja keras dengan jam kerja yang sangat panjang dan melelahkan, dengan kondisi kerja yang penuh tantangan, jadi IIC harus bisa memberikan tempat istirahat yang memadai, minuman dan makanan bergizi, dan air bersih untuk mandi dan keperluan lainnya. Memulai Penyidikan Setelah menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah sekuriti dan keselamatan, IIC disarankan untuk menjauhi tempat kecelakaan dan mencoba menyerap sikon secara keseluruhan dan tidak menjadi terbawa emosi oleh suasana yang mencekam, terfokus pada detil yang dapat membuat arah penyidikan menjadi kabur. IIC harus menyimak suasana kawasan lokasi secara menyeluruh dan menyerap seluruh informasi yang diperoleh lewat pancainderanya. Setelah mendapatkan gambaran besar dari suasana lokasi kecelakaan, barulah IIC mulai memfokuskan diri pada hal2 yang bersifat lebih rinci dari dekat. Lokasi kecelakaan sebenarnya bukan hanya dimana reruntuhan pesawat berada, tetapi jauh lebih luas, yaitu mencakup hanggar atau bengkel perawatan dan juga perkantoran operator pesawat. Kecelakaan hanya terjadi setelah serangkaian peristiwa terjadi dan yang terakhir adalah pilot yang tak mampu mengelakkan terjadinya kecelakaan. Tetapi bisa jadi bahwa kecelakaan dimulai sejak pesawat meninggalkan landasan saat take-off, mungkin karena teknisi perawatan telah melakukan kesalahan dalam merawat ataupun mereparasi pesawat. Bisa jadi juga cara kerja organisasi operator pesawat lah yang punya andil besar dalam terjadinya kecelakaan. Semua faktor ini harus diperhitungkan, dan IIC tidak boleh gegabah menganggap bahwa hanya pilot dan kru terbang pesawat saja yang harus langsung dicurigai sebagai penyebab kecelakaan. IIC harus menyadari bahwa dia tidak bisa begitu saja langsung masuk ke kawasan kerja operator pesawat dan minta segala macam dokumen yang mungkin berkaitan dengan kecelakaan pesawat. IIC harus menghormati undang2 dan peraturan2 yang berlaku setempat dan apapun juga yang dilakukan IIC harus sesuai dengan peraturan yang berlaku.
page 36
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Di Australia ada pasal2 yang mengatur mengenai perlunya dan bagaimana cara mendapatkan “Investigation Warrants” atau ijin penyitaan barang bukti untuk tujuan penyidikan sebelum memasuki kawasan kerja operator pesawat. Disamping minta dan kalau perlu menyita dokumen2 kerja yang diperlukan sebagai barang bukti, penyidik juga harus meyakinkan bahwa data2 meteorologi, rekaman radar dan pita suara, komputer, dokumen2 rencana penerbangan (flight plan), perawatan (maintenance) dan pelatihan (training) karyawan dikumpulkan dan diamankan untuk dianalisis lebih lanjut. Menyurvei Suasana Lokasi Para penyidik harus membuat catatan dan mengambil foto dari suasana dilokasi kecelakaan yang dapat memberikan gambaran besar dari suasana kecelakaan disamping mengambil foto2 “close up” yang lebih rinci. Ini mencakup hal2 seperti kondisi geografis setempat, apakah ber-bukit2, dan ada banyak bebatuan besar2 yang berserakan, ataukah tanahnya berpasir atau berlumpur dlsbnya. Rincian dari tanda2 goresan dibumi dari pesawat yang jatuh harus dipelajari secara rinci, termasuk kedalaman dari amblesnya reruntuhan kedalam bumi, luas dan arah dari tersebarnya reruntuhan pesawat dlsbnya. Kalau ada kertas dari dalam pesawat yang tersebar dikawasan reruntuhan, sebaran dari kertas2 akan dapat memberikan gambaran tentang arah dan kencangnya angin yang berhembus dilokasi saat kecelakaan terjadi. Penyidik harus memeriksa apakah ada kobaran api yang pernah terjadi tetapi sudah padam atau yang masih berkobar saat disidik, karena ini bisa memberikan informasi tentang penyebab terjadinya kecelakaan (misalnya kalau terjadi kebakaran didalam pesawat saat terbang). Tetapi bisa jadi juga bahwa kebakaran terjadi setelah pesawat jatuh dan bahan bakar dipesawat tumpah dan kalau ada pemicunya maka kebakaran pasti terjadi. Hal lain yang perlu diperiksa adalah kemungkinan bahwa kecelakaan terjadi sebagai akibat dari “bird strike” atau ada beberapa burung besar (paling tidaknya sebesar ayam) yang bertabrakan dengan pesawat dan terhisap masuk ke engine pesawat dan menyebabkan engine menjadi tak berfungsi dan pesawat jatuh karena tidak ada daya pendorongnya lagi. Seluruh sikon kecelakaan harus diamati dan dicatat secara hati2 dan sangat rinci, baik dengan menggunakan buku catatan ataupun direkam dengan perekam suara (tape recorder atau digital solid state recorder). Tetapi penyidik harus ber-hati2 untuk tidak menyentuh, membalikkan atau mengambil sesuatu yang bisa jadi adalah barang bukti yang sangat penting. Survei seperti yang dijelaskan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, sebelum ada barang bukti yang letak dan posisinya berubah, atau diubah oleh manusia ataupun binatang yang berkeliaran dikawasan itu sebelum sekuriti diterapkan. Hal2 penting yang dapat diamati dengan mudah, seperti kondisi dan bentuk propeler yang rusak dan bengkok, adanya permukaan kendali (control surface) yang hilang, arah dan kondisi pohon2 yang tumbang karena ditabrak oleh pesawat yang naas, goresan ditanah yang disebabkan oleh pesawat yang tergelincir disitu, semuanya harus direkam dengan cermat dan seakurat mungkin. Kondisi dilokasi kecelakaan harus direkam seperti apa adanya, sesaat setelah reruntuhan pesawat menghantam bumi atau tergeletak didasar laut (bila pesawat jatuh ke laut). Semua bagian dari reruntuhan pesawat harus difoto dimana dia berada seperti apa adanya, sebelum barang tersebut nantinya diangkut ke laboratorium atau tempat dimana barang tersebut akan diperiksa lebih lanjut. Setelah barang diangkat dari lokasi, tak ada seorangpun yang akan bisa ingat dimana barang tadi berada sesaat setelah kecelakaan terjadi. Jadi situasi disekitar kawasan kecelakaan dan kondisi barang2 bukti yang berupa serpihan pesawat dlsbnya harus direkam dalam bentuk foto dan juga dalam bentuk catatan, yang bisa jadi tertulis atau direkam dalam bentuk rekaman suara penyidik yang menceritakan rincian dari apa yang dia lihat dan amati saat itu.
page 37
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Keadaan dilokasi kecelakaan jelas sangat berbeda untuk pesawat kecil dan untuk pesawat angkutan sipil yang besar, dimana serpihan2 atau reruntuhan bagian2 pesawat bisa jadi tersebar di areal yang sangat luas, ratusan kilometer persegi atau lebih. Situasi dan kondisi reruntuhan pesawat yang jatuh dilaut bisa diabadikan dengan bantuan sonar ataupun dengan bantuan ROV (Remotely Operated Vehicle) alias kapal selam robot kecil yang bisa beroperasi dilautan yang sangat dalam dan mampu mengambil foto2 dari dekat dan gelap. Disamping barang2 bukti yang dikumpulkan dari lokasi kejadian, penyidik juga perlu mengumpulkan semua barang bukti lainnya, seperti data2 dari produsen pesawat atau komponen pesawat, rekaman kegiatan “engineering” dari operator, pernyataan2 dari para teknisi dan staf engineering lainnya, sampel atau contoh dari bahan bakar (yang bisa jadi terkontaminasi dan berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan) dan juga rekaman informasi tentang jasa angkutan yang telah dilakukan oleh operator. Kalau penyidik mengalami kesulitan, baik teknis maupun non-teknis, penyidik tidak boleh ragu2 untuk minta bantuan dari pihak2 luar yang lebih berkompetensi di bidang2 tertentu yang terkait. Bantuan tersebut bisa diperoleh dalam bentuk nasihat oleh produsen pesawat atau para ahlinya, dari konsultan dibidang aeronotika ataupun peralatan2 yang digunakan dalam pesawat terbang, dan juga dari pihak militer jika memang diperlukan.
Teknik2 Penyidikan Penyidikan kecelakaan pesawat terbang harus dilakukan secermat dan selengkap mungkin, dan memerlukan pengumpulan barang2 bukti dari sumber2 yang se-luas2nya. Penyidik harus cermat dan tidak boleh hanya tergantung pada satu sumber informasi saja dalam mengambil kesimpulan. Informasi harus dikumpulkan dari sebanyak mungkin sumber, sehingga kebenaran informasi dapat diuji dan di verifikasi, sebelum informasi tersebut digunakan dalam mengambil kesimpulan. Dibawah ini kita akan membahas masalah2 yang berkaitan dengan pengumpulan barang bukti dan bagaimana barang bukti tersebut sebaiknya dimanfaatkan supaya memberikan hasil2 yang paling bermanfaat. Jenis2 Barang Bukti Penyidik tidak boleh tergantung pada satu sumber saja untuk bukti2 tertentu. Sebuah bukti dari satu sumber harus bisa dibandingkan dengan bukti untuk hal yang sama dari sumber yang lain. Dengan cara tersebut, penyidik bisa merasa sangat yakin akan kebenaran bukti tersebut, atau sebalinya bukti tersebut harus dibuang karena bukti dari satu sumber ternyata sangat berbeda, bahkan bertentangan dengan bukti yang diperoleh dari sumber lainnya. Hanya bukti2 yang telah diuji keabsahannya saja, yaitu dengan membandingkan bukti tentang hal yang sama dari beberapa sumber, yang boleh digunakan oleh penyidik dalam melakukan analisis selanjutnya. Salah satu contoh dari barang bukti adalah struktur patahan (“fracture”) dari sebuah struktur komponen pesawat tertentu, atau apakah ada tanda2 kebakaran pada struktur tersebut misalnya. Komponen struktur yang patah harus dikumpulkan dan segera dikirim ketempat pengumpulan barang bukti dimana analisis lanjutan akan dilakukan. Kalau ada patahan struktur yang menarik perhatian, sebaiknya bagian yang patah diperiksa secara teliti dengan bantuan kaca pembesar untuk menentukan apakah patahan struktur tersebut perlu diperiksa secara lebih teliti dan rinci dilaboratorium analisis bukti atau tidak. Bentuk atau tanda2 yang ada pada permukaan patahan bisa menentukan apakah struktur tersebut patah karena “fatigue” (kelelahan logam) atau karena alasan lain. Hal tersebut hanya dapat diputuskan oleh
page 38
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
seorang ahli metalurgi yang memeriksa barang bukti tersebut dengan peralatan laboratorium yang canggih dan tepat, misalnya mikroskop elektron, yang sangat akurat dan mahal sekali dan hanya dapat dioperasikan oleh seorang ahli dibidang tersebut. Pemeriksaan yang teliti seperti itu tidak bisa dilakukan dilokasi kejadian, tetapi hanya dapat dilakukan dilaboratorium dimana kondisi pengujian dapat diatur dengan baik, menggunakan peralatan yang sepadan. Barang bukti berupa reruntuhan pesawat dapat diperiksa untuk menentukan apakah api merupakan kemungkinan sebagai penyebab terjadinya kecelakaan atau tidak, yaitu apakah terjadi kebakaran dalam pesawat saat sedang terbang dan kobaran api menjadi tak terkendali sehingga akhirnya menjadi sebab dari terjadinya kecelakaan. Kalau kerangka dan kulit pesawat terbuat dari logam (aluminium misalnya), maka aluminium akan meleleh dan membuat untaian yang memanjang mirip benang atau tali kalau terkena panas yang hebat dari kebakaran saat pesawat melayang dilangit. Sebaliknya, bila kebakaran terjadi saat pesawat tidak bergerak (karena sudah jatuh menghujam kebumi) maka lelehan logam akan terkumpul membentuk sebuah gundukan. Jadi analisis cepat akan bisa memberikan informasi mengenai apakah pesawat terbakar saat masih terbang diudara, ataukah pesawat menjadi terbakar saat pesawat jatuh menghantam bumi dan tangki bahan bakar pecah atau bocor dan dengan sangat mudahnya menjadi terbakar apabila ada percikan api, yang bisa saja terjadi saat pesawat menghantam bumi dan hancur ber-keping2. Pola asap kebakaran, yang dapat ditentukan dengan mengamati bentuk pola bekas2 kebakaran atau abu dan jelaga, dapat digunakan untuk menyimpulkan apakah kebakaran terjadi saat pesawat masih melayang diudara. Kalau dilokasi kejadian dapat dilihat adanya pola bekas kebakaran yang menunjukkan bahwa api menyebar dari titik tepat sebelum pesawat menyentuh bumi sampai ke lokasi reruntuhan, maka jejak kebakaran dapat ditelusuri untuk menentukan sumber asal api. Disamping itu jenis jelaga yang terbentuk dapat diperiksa untuk menentukan sumber terjadinya kebakaran. Jenis jelaga dan bau kebakaran yang masih ada dilokasi bisa membantu untuk menentukan apakah kebakaran terjadi akibat adanya “sirkit pendek” (“short circuit”) arus listrik, yang dapat disimpulkan terjadi saat pesawat masih melayang diudara, atau apakah bau yang tercium adalah bau rerumputan yang terbakar karena adanya tumpahan avtur yang kemudian menyala karena adanya percikan api saat pesawat menghantam bumi. Apabila ditemukan komponen struktur pesawat atau permukaan kendali (rudder, aileron dan elevator dlsbnya) yang rusak atau bengkok, maka komponen tersebut harus dibawa ke laboratorium untuk diperiksa secara seksama. Pemeriksaan sekilas dengan menggunakan indera penglihatan saja, pasti tidak cukup, karena sangat sulit untuk menentukan apakah kerusakan terjadi sebelum pesawat menjadi tak terkendali dan akhirnya jatuh, ataukah karena komponen tersebut menjadi rusak atau bengkok karena pesawat menghantam bumi, jadi bukan merupakan salah satu faktor penyebab kecelakaan. Contoh lain adalah posisi tuas pengendali gaya dorong engine pesawat (“engine throttle”) yang tidak seperti seharusnya pada pesawat yang beroperasi normal, sangat sulit ditentukan apakah terjadi saat pesawat masih melayang diudara (sehingga bisa dicurigai sebagai salah satu faktor yang mungkin menyebabkan terjadinya kecelakaan) atau karena kabel yang terhubung pada tuas tersebut menjadi tertarik karena terjadinya tabrakan dengan bumi dan dengan demikian mengubah posisi tuas. Sebelum engine pesawat dibongkar dan dibawa ke laboratorium untuk diuji lebih lanjut, semua cairan yang masih ada didalamnya harus dikuras untuk kemudian diperiksa dilaboratorium. Kalau hasil pemeriksaan menunjukkan adanya tanda2 bahwa ada air tercampur dengan avtur, tentu saja dapat disimpulkan bahwa ada kemungkinan bahwa engine menjadi tak beroperasi karena avtur yang tercemar air itu tidak bisa menyala dan api dalam engine menjadi padam sehingga engine tak berfungsi.
page 39
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Pada akhirnya kepastian tentang penyebab terjadinya kecelakaan tidak bisa dilakukan tanpa melakukan rekonstruksi seluruh pesawat. Semua komponen pesawat yang berhasil ditemukan dan dikumpulkan harus dipasang pada sebuah kerangka yang khusus dibuat sehingga menjadi bentuk pesawat selengkap mungkin pada saat terjadinya kerusakan awal yang akhirnya menyebabkan pesawat jatuh. Salah satu contoh kasus dimana rekonstruksi pesawat akhirnya berhasil menentukan penyebab jatuhnya pesawat adalah kasus pesawat Boeing 747-121 N739PA pada tahun 1990 yang jatuh di Lockerbie, Skotlandia. Rekonstruksi tersebut berhasil menentukan bahwa pesawat jatuh akibat meledaknya sebuah bom didalam pesawat yang ditaruh oleh para teroris yang didanai oleh Muamar Gadafi, Presiden Libya saat itu. Informasi selengkapnya tentang kecelakaan tersebut dapat dibaca dalam artikel yang dapat diunduh dari internet di alamat2 berikut http://www.aaib.gov.uk/publications/formal_reports/2_1990_n739pa.cfm http://www.aaib.gov.uk/cms_resources.cfm?file=/2-1990%20N739PA.pdf http://www.aaib.gov.uk/cms_resources.cfm?file=/dft_avsafety_pdf_503158.pdf http://en.wikipedia.org/wiki/Pan_Am_Flight_103 http://aviation-safety.net/database/record.php?id=19881221-0
Alamat berikut berisi informasi tambahan mengenai penyidikan kecelakaan pesawat terbang yang disimpan diperpustakaan Hunt Library Universitas Embry Riddle. http://library.erau.edu/worldwide/find/online-full-text/non-ntsb.htm
Kerusakan yang terjadi pada lingkungan disekitar reruntuhan pesawat juga dapat dijadikan sebagai barang bukti tambahan. Kalau pesawat atau helikopter jatuh dalam trajektori turun dengan kemiringan tertentu dan ini terjadi didaerah yang penuh dengan pepohonan, maka kerusakan pada pohon2 dilokasi tersebut dapat digunakan untuk membantu menentukan dari mana menuju arah mana dan seberapa tajam turun melayangnya pesawat yang naas itu sebelum akhirnya menghujam bumi. Kalau dedaunan di pohon2 tersebut terbakar, pola terbakarnya daun2 tersebut dapat digunakan untuk membantu menentukan bagaimana avtur menyebar dari tangki bahan bakar yang rusak muncrat keluar ke pohon2 yang ditabrak pesawat. Kalau tangki bahan bakar pesawat ditemukan dalam kondisi pecah dan kosong (tak ada avtur didalamnya), dan dilokasi tidak terjadi kebakaran, ini memberi kesan bahwa tangki bahan bakar pesawat itu kosong saat pesawat masih melayang diudara, sehingga engine tidak menerima avtur dan berhenti beroperasi dan sebagai akibatnya pesawat menjadi tak terkendali dan jatuh ke bumi. Tetapi penyidik tidak boleh gegabah langsung mengambil kesimpulan tersebut, karena bila tanah dilokasi kejadian berpasir, maka avtur akan cepat terserap masuk dalam pasir dan tidak meninggalkan tanda2 bahwa ada avtur yang tumpah disitu. Demikian juga kalau bumi disitu ber-batu2 dan cuaca sangat panas, maka avtur akan cepat menguap dan memberi kesan bahwa tidak pernah ada avtur yang tertumpah disitu. Jadi penyidik harus sangat ber-hati2, pikirannya terbuka untuk menerima segala macam kemungkinan, dan kesimpulan hanya dapat diperoleh dengan benar setelah mempertimbangkan semua barang bukti yang ber-macam2 itu.
page 40
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Otopsi Salah satu sumber barang bukti yang bisa jadi sangat bermanfaat adalah hasil otopsi. Tetapi bila penyidik kurang cermat dan teliti, ada kemungkinan bahwa otopsi akan memberikan petunjuk menuju kesimpulan yang sama sekali salah. Otopsi adalah pemeriksaan medis dari mayat2 korban untuk menentukan secara tepat dan akurat apa yang menjadi penyebab kematian korban. Informasi ini bisa membantu penyidik dalam menentukan faktor2 apa saja yang berkontribusi pada terjadinya kecelakaan. Tentu saja otopsi harus dilakukan dengan memperhatikan adat istiadat setempat dan korban harus dihormati dengan memperlakukan mayatnya secara sensitif tidak asal main potong sana sini begitu saja. Sebuah contoh adalah seandainya tubuh para pilot hancur ber-keping2 dan tak dapat dikenali, tetapi ada sepotong tangan yang ditemukan berada dituas pengegas engine (“throttle”). Pertanyaannya adalah, tangan siapa yang sebenarnya berada dituas itu, apakh pilot atau kopilot atau siapa? Seandainya terjadi ledakan dalam pesawat, maka serpihan logam akibat ledakan yang menancap ke tubuh para korban dapat digunakan untuk menentukan apakah sumber ledakan berada dibawah tempat duduk atau berada dirak tempat barang diatas kepala penumpang. Mayat yang membusuk juga selalu mengandung alkohol dan kadar alkohol tersebut semakin meningkat dengan semakin bertambahnya waktu antara korban meninggal sampai saat otopsi dilakukan. Jadi kalau ditemukan kadar alkohol yang cukup tinggi dalam tubuh mayat pilot, ini tidak selalu berarti bahwa pilot mengoperasikan pesawat dalam kondisi mabuk. Jadi penyidik harus memberi tahu dokter ahli otopsi (bedah mayat) berapa lama korban yang diperiksa diperkirakan telah meninggal dunia sampai saat otopsi dilakukan, atau sebelum mayat dimasukkan kedalam peti es untuk mencegah terjadinya pembusukan. Kandungan alkohol dalam cairan yang diambil dari kawasan sekitar mata korban akan memberikan hasil yang lebih bisa dipercaya karena tidak begitu terpengaruh oleh proses pembusukan. Keadaan dan luka2 yang diderita oleh korban yang selamat juga dapat memberikan informasi yang bermanfaat, misalnya untuk menentukan besaran dan arah gaya penyebab luka2 yang mungkin disebabkan oleh rak penyimpan barang diatas kepala penumpang yang terbuka (misalnya karena kelalaian pramugara atau bisa jadi karena salah desain). Rekaman Informasi Rekaman yang dimaksud mencakup data radar dan radio yang direkam oleh ATC (Aircraft Traffic Controller) atau oleh pengelola bandara, yang mungkin merekam semua percakapan radio dari pesawat ke ATC etc, untuk menentukan berapa biaya yang harus dibayar oleh operator pesawat ke pengelola bandara untuk menggunakan semua fasilitas bandara demi keperluan operasinya. Peralatan untuk FMS (Flight Management System atau Sistem Manajemen Penerbangan) dan Navigasi (termasuk GPS dlsbnya) biasanya merekam semua data penerbangan, walaupun penyidik harus minta bantuan ahli khusus bidang ini untuk membaca informasi apa saja yang terekam didalamnya dalam analisis terperinci dilaboratorium. Data atau informasi yang terekam dalam rekaman radar dan navigasi dapat digunakan sebagai input (masukan) ke sebuah perangkat lunak (software) buatan NASA, yang membutuhkan beberapa asumsi dasar tentang lift (gaya angkat) dan drag (gaya hambat), untuk menentukan attitude atau posisi terbang, dan sudut serang serta “g-loading” ( besaran gaya yang beraksi pada saat terjadinya kecelakaan dibagi besaran gaya yang beraksi bila pesawat beroperasi secara normal). Ini dapat memberikan informasi tentang situasi terbang pesawat pada saat2 terakhirnya sebelum jatuh menghujam bumi. Informasi yang diperoleh kemudian bisa dimasukkan kedalam sebuah perangkat lunak untuk mensimulasikan kondisi
page 41
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
terbang pesawat selama beberapa menit terakhirnya, dan ini bisa jadi akan bermanfaat dalam menentukan faktor2 apa saja yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan. Pihak militer biasanya juga memiliki fasilitas radar yang mungkin secara tak sengaja mengambil rekaman data radar yang dapat dimanfaatkan dalam penyidikan kecelakaan pesawat, seandainya informasi tersebut tidak bisa diperoleh dari ATC etc karena satu dan lain hal. Pada masa kini semua pesawat sipil internasional (dan juga domestik) pasti dilengkapi dengan “black box” atau “kotak hitam” yang sebenarnya dicat berwarna merah oranye menyala. Ada 2 jenis kotak hitam yang diwajibkan oleh ICAO yaitu FDR (Flight Data Recorder atau Perekam Data Penerbangan) dan CVR (Cockpit Voice Recorder atau Perekam Suara didalam Kokpit). Dijaman dulu baik FDR maupun CVR adalah dari jenis analog yaitu informasi direkam dalam bentuk data analog pada pita magnetik, yang hanya mampu merekam data yang sangat terbatas baik dalam jumlah jenis data yang bisa direkam maupun panjang waktu rekamannya. Disamping itu blackbox dijaman dulu juga seringkali menjadi rusak dan tak dapat dibaca karena rusak akibat pesawat menghujam kebumi dengan gaya tabrak (“impact”) yang terlalu besar. Pada jaman sekarang, peralatan analog tersebut sudah diganti oleh perekam digital (seperti hard disk) yang bisa merekam jauh lebih banyak data dengan panjang waktu rekaman yang jauh lebih panjang, dan mampu bertahan tidak rusak atau masih dapat dibaca walaupun menderita gaya tabrak (impact) yang luar biasa saat pesawat menghujam bumi. Catatan rekaman suara di kokpit (CVR) dapat memberikan informasi mengenai kondisi dalam kokpit, apa saja yang dikatakan pilot dan kopilot dan komunikasi mereka dengan menara ATC dan suara apa saja (misalnya ledakan atau percikan api) yang terdengar dikokpit. Untuk kecelakaan yang terjadi pada helikopter, data penerbangan pasti terekam dalam sistem perekaman yang disebut HUMS (Health and Usage Monitoring System atau yang lebih moderen Health and Usage Management System), yang digunakan sebagai alat bantu dalam manajemen perawatan helikopter. Informasi yang terekam oleh HUMS biasanya diunduh oleh operator pada akhir hari setelah helikopter beroperasi terakhir kalinya hari itu. Data tersebut dapat diminta oleh penyidik dan tentunya bermanfaat dalam pelaksanaan penyidikan. Informasi tambahan tentang HUMS dapat diperoleh dari internet dialamat berikut http://www.dsto.defence.gov.au/HUMS2009/ Kecelakaan bisa terjadi pada helikopter sipil yang sedang mencoba mendarat dikapal atau dianjungan lepas pantai pengeboran minyak, yang sedang oleng karena adanya ombak yang cukup besar. Contoh dari kecelakaan seperti itu bisa dibaca diinternet dialamat berikut http://www.aaib.gov.uk/cms_resources.cfm?file=/3-2004%20G-BKZE.pdf
Diawal abad ke 21 ini, hampir semua pesawat (paling tidaknya yang terbaru) pasti dilengkapi dengan Quick Access Recorder yang dipasang dan dimanfaatkan oleh airline, yang mengoperasikan pesawat dengan tujuan merekam percakapan kru terbang dalam rangka meyakinkan bahwa setiap anggota kru terbang akan mengikuti peraturan tentang tata cara kerja yang telah ditentukan oleh manajemen airline. Disamping itu, untuk tujuan perawatan pesawat, manajemen airline biasanya juga memasang komputer untuk merekam data2 teknis yang dibutuhkan untuk perawatan pesawat yang efektif dan efisien. Data2 tersebut dikirim lewat satelit dari pesawat ke kantor pusat manajemen airline dan direkam dikomputer perekam disitu. Informasi tersebut tentu saja tidak akan hilang walaupun pesawat hancur ber-keping2 dan blackbox rusak berat ataupun tak bisa ditemukan (misalnya kalau tenggelam dilautan yang sangat dalam). Masalah utama dalam pemanfaatan data yang terekam adalah melakukan sinkronisasi waktu diantara rekaman2 yang direkam oleh perekam yang berbeda. Seringkali ini bisa menjadi sangat
page 42
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
penting karena menentukan apakah suatu kejadian terjadi sebelum atau sesudah kejadian yang lain dimana ke-dua2nya merupakan faktor penyebab kecelakaan, dan urutan kejadian bisa memberikan 2 skenario yang berbeda. Itulah sebabnya mengapa pembacaan data dari alat perekam adalah tugas sulit yang hanya bisa dilakukan secara profesional oleh ahli yang berpengalaman dibidang tersebut. Informasi Saksi Mata Salah satu sumber informasi yang penting adalah laporan dari para saksi mata. Informasi ini sangat tergantung kepada keakuratan tentang uraian urutan terjadinya kecelakaan yang disampaikan oleh saksi mata. Orang yang menjadi saksi mata bisa jadi adalah orang yang sangat ber-hati2 dalam menyampaikan laporannya, tetapi bisa jadi juga dia adalah orang yang agak ceroboh, dan kesaksiannya patut dipertanyakan kebenarannya. Disamping itu daya ingat setiap orang tentu saja ber-beda2, jadi sebuah kejadian bisa saja dilaporkan oleh 2 orang saksi mata yang menyaksikan kejadian secara bersama tetapi laporan yang diberikan bisa saja cukup berbeda. Saksi mata bisa jadi berada dibumi dan menyaksikan pesawat yang sedang terbang tiba2 mengalami sesuatu yang menyebabkannya jatuh kebumi, mungkin meledak saat masih diudara atau meledak saat menghantam bumi. Saksi mata bisa jadi juga berada didalam pesawat yang naas dan selamat setelah pesawat jatuh. Bisa jadi juga bahwa saksi mata itu adalah petugas ATC (Air Traffic Controller) yang berkomunikasi lewat radio dengan pilot, menuntun pilot untuk melakukan persiapan pendaratan saat kecelakaan tiba2 saja terjadi. Para saksi mata sebaiknya diwawancarai selekas mungkin setelah kecelakaan terjadi, yaitu saat ingatan saksi mata mengenai terjadinya kecelakaan masih segar dibenaknya, sehingga bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya secara seakurat mungkin, tidak tercemar oleh kenyataan bahwa saksi mata mungkin telah lupa tentang sesuatu yang berkaitan dengan kecelakaan, yang mungkin adalah informasi penting. Ada kecenderungan bahwa saksi mata akan begitu saja membenarkan kesaksian dari saksi mata lain yang berkepribadian lebih tegas, walaupun ini sebenarnya bukanlah ingatan saksi mata itu, yang mungkin ingatannya tidak terlalu baik, apalagi bila wawancara dilakukan cukup lama setelah terjadinya kecelakaan. Penyidik harus ber-hati2 untuk tidak mengajukan pertanyaan atau memberi pernyataan yang merupakan pendapat pribadinya (yang belum tentu didukung oleh fakta yang ada), yang mungkin saja akan diiyakan oleh saksi mata yang mungkin sedikit terguncang perasaannya oleh terjadinya kecelakaan yang disaksikannya, dan merasa lebih baik mengiyakan apa saja yang ditanyakan padanya. Jadi penyidik harus mengajukan pertanyaan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga saksi mata harus menyampaikan ingatannya sendiri tentang apa yang didengar dan dilihatnya, dengan menggunakan kata2nya sendiri, tanpa disetir oleh pertanyaan penyidik. Kalau memungkinkan, sebaiknya saksi mata diwawancarai dilokasi yang sama seperti dimana dia berada saat menyaksikan terjadinya kecelakaan. Dengan berada dilingkungan yang sama seperti saat dia menyaksikan terjadinya kecelakaan, saksi mata mungkin akan tergugah ingatannya dan bisa menceritakan kejadian sebenarnya yang dia saksikan. Untuk mencegah terjadinya salah pengertian, sebaiknya penyidik mengucapkan ulang apa yang dikatakan oleh saksi mata dan menanyakan apakah itu yang dikatakan oleh saksi mata sebelumnya. Kalau pernyataan saksi mata agak kabur atau tidak jelas, penyidik harus menanyakan kepada saksi mata apakah bisa menjelaskan pernyataannya sehingga bisa dimengerti oleh penyidik dan penyidik tidak membuat kesalahan dalam merekam hasil wawancara dengan saksi mata. Semua pernyataan saksi mata tentu saja harus direkam dan dibacakan ulang ke saksi mata untuk meyakinkan kebenarannya. Setelah saksi mata menyetujui bahwa apa yang direkam secara tertulis memang adalah rekaman yang akurat dari apa yang diceritakannya, kemudian untuk meyakinkan
page 43
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
bahwa saksi mata tidak omong sembarang omong, dan kesaksian yang tertulis bisa dipercaya kebenarannya oleh siapapun juga yang membacanya, sebaiknya kesaksian tertulis itu ditandatangani oleh saksi mata. Tetapi kalau saksi mata tahu bahwa dia akan diminta menandatangani pernyataannya, besar kemungkinannya bahwa dia tidak akan memberikan pernyataannya secara se-jujur2nya, karena bisa jadi itu akan memberikan kesulitan pada dirinya sendiri ataupun pada teman dekat nya. Bila saksi mata tidak diberitahu bahwa dia akan diminta menandatangani pernyataannya yang telah direkam secara tertulis, bisa jadi saksi mata akan menolak untuk menandatangani pernyataan tertulisnya itu, bahkan bisa jadi dia akan menarik semua pernyataannya dan memungkiri bahwa dia telah memberikan keterangan seperti yang terekam. Ini adalah masalah dasar yang dihadapi penyidik, sebab pernyataan tertulis yang tidak ditandatangani biasanya tidak bisa dijadikan sebagai kesaksian yang bisa dipercaya, sedangkan disisi lain bisa jadi penyidik akan mendapat kesulitan untuk meyakinkan saksi mata untuk menandatangani pernyataan tertulisnya itu. Dibawah ini disampaikan sebuah contoh kasus yang benar2 terjadi yang memberikan gambaran tentang sulitnya mendapatkan kesaksian yang benar2 dapat dipercaya. Di Australia terjadi kecelakaan yang melibatkan sebuah pesawat kecil yang mengakibatkan tewasnya 2 orang pensiunan warga negara Inggris di WA (Western Australia). Kecelakaan ini dianggap cukup penting untuk disidik oleh ATSB. Suami istri yang pensiunan itu tewas saat pesawat Cessna 421 yang dinaikinya jatuh dikawasan wisata terpencil, El Questro, disebelah barat kota kecil Kunnunurra. Para saksi mata memberikan kesaksian kepada pihak otorita bahwa mereka menyaksikan pesawat Cessna itu mendapat masalah yaitu engine sebelah kirinya tak berfungsi saat pesawat sedang tinggal landas (take-off). Para saksi mata tersebut mengatakan bahwa engine kiri pesawat itu kemudian terbakar dan sebagai akibat pesawat langsung jatuh. Selanjutnya ada 4 orang ahli keselamatan terbang yang datang dari Canberra untuk melakukan penyidikan. Pada awalnya para saksi mata mengatakan bahwa engine pesawat mengalami kerusakan dan kemudian terbakar dan oleh karena itu pesawat kemudian jatuh. Tetapi para ahli keselamatan terbang yang melakukan penyidikan menemukan bahwa pesawat memang mengalami kerusakan engine, dan oleh karena itu langsung jatuh menghujam bumi dan setelah menghantam bumi pesawat meledak dan terbakar. Setelah diberi tahu tentang hasil penyidikan, para saksi mata kemudian mengubah kesaksiannya dan mengatakan bahwa penyidik lah yang benar. Memang pesawat jatuh dulu baru meledak dan terbakar. Hanya saja waktu diwawancarai, logika mereka mengatakan bahwa pesawat itu jatuh karena engine nya rusak dan terbakar, bukan sebaliknya jatuh dulu baru meledak dan terbakar. Mereka tidak bermaksud menipu atau memberikan kesaksian yang palsu, tetapi logika mereka membuat mereka mengubah ingatannya tentang urutan kejadian, disesuaikan dengan cara berpikir logika mereka. Jadi kesaksian seorang saksi mata tidaklah bisa dipercaya kebenarannya 100 persen, tetapi harus diverifikasi dengan membandingkan kesaksian2 dari sebanyak mungkin saksi mata yang ada, dan juga dengan menggunakan kesaksian dari semua sumber barang bukti yang terdapat dilokasi kecelakaan. Pengujian Laboratorium Misalnya saja dalam sebuah penyidikan diperkirakan bahwa salah satu faktor penyebab kecelakaan adalah engine yang gagal berfungsi karena satu dan lain hal, sedemikian rupa sehingga pesawat tidak memiliki gaya dorong dan akhirnya jatuh ke bumi. Pertanyaannya adalah apakah ada bukti yang mendukung anggapan ini, dan bagaimana cara mengujinya supaya benar2 yakin pada hasil pengujian. Ini tidak mudah. Per-tama2 seluruh komponen engine yang bisa dikumpulkan harus dikumpulkan dan masing2 komponen perlu duji dilaboratorium atau perlu dilakukan uji lab pada komponen tersebut. Seandainya ada salah satu komponen yang di uji lab ternyata gagal berfungsi dan ini menyebabkan seluruh engine tak berfungsi, maka ada kecenderungan untuk mengatakan bahwa pesawat jatuh gara2
page 44
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
komponen tertentu itu gagal berfungsi seperti seharusnya. Tetapi penyidik tidak boleh secara gegabah mengambil kesimpulan tersebut. Bisa jadi komponen tersebut sebenarnya berfungsi dengan baik saat pesawat melayang diudara, tetapi karena pesawat jatuh ke bumi (karena faktor penyebab yang lain) maka komponen tersebut menjadi rusak dan gagal berfungsi saat di uji lab. Disisi lain, seandainya saja komponen yang di uji lab itu ternyata berfungsi dengan baik saat di uji, ini tidak berarti bahwa komponen itu berfungsi dengan baik saat berada dipesawat yang sedang terbang. Masalahnya adalah sebagai berikut. Sebelum di uji lab, komponen itu harus dibersihkan dan secara umum dipersiapkan supaya bisa di uji dengan baik. Saat dipersiapkan itulah komponen yang saat berada dipesawat yang sedang terbang berfungsi dengan baik, kemudian berubah menjadi gagal berfungsi saat di uji lab. Sebalinya komponen yang tadinya tidak berfungsi didalam pesawat, mungkin karena dibersihkan etc kemudian berubah menjadi berfungsi dengan baik saat di uji lab. Jadi hasil uji lab tidak boleh dianggap sebagai sebuah kebenaran yang mutlak, tetapi harus dipertimbangkan juga kemungkinan bahwa hasil uji lab itu tidak sepenuhnya benar, dan kajian berdasarkan barang bukti lainnya harus dilakukan untuk mengambil kesimpulan yang benar. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa komponen yang di uji lab itu mungkin secara struktural sudah menjadi sangat lemah dan waktu diuji (misalnya propeler yang sedang diputar) bisa jadi akan patah dan berbahaya bagi penguji yang berada didekat mesin penguji. Jadi petugas uji lab harus berhati2 saat melakukan pengujian laboratorium supaya terhindar dari malapetaka. Uji Simulasi dan Rekonstruksi Pengertian mengenai mengapa kecelakaan terjadi bisa diperjelas dengan mengadakan simulasi situasi dan kondisi terbang pesawat pada menit2 terakhir penerbangannya sebelum jatuh. Biasanya ini dilakukan lewat simulasi digital dengan bantuan sebuah software simulasi, dimana input yang dimasukkan adalah data2 teknis yang diperoleh dari kotak hitam (“black box”). Hasil simulasi tentu saja sangat tergantung pada keakuratan model matematis yang menjadi dasar software simulasi dalam mewakili gerakan pesawat yang naas itu. Disamping itu, hasil simulasi juga tergantung pada keakuratan input data yang dimasukkan ke simulator. Bisa jadi bahwa data dari black box tidak dapat dibaca secara akurat dan mengandung “error” atau kesalahan, yang menyebabkan hasil simulasi tidak bisa dipercaya. Dimana simulasi terbang tidak bisa dilakukan secara digital (dengan model komputer) karena tidak ada software yang bisa mewakili gerak terbang pesawat yang jatuh, simulasi bisa dilakukan dengan menggunakan pesawat terbang dari jenis yang sama (misalnya saja sesama Boeing-737-800) yang diterbangkan dengan permukaan kendali dan tuas pengegas engine berada pada posisi yang sama dengan yang tercatat dalam black box pesawat yang jatuh. Kondisi terbang pesawat kemudian diamati dan direkam, dan dari pengamatan tersebut diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai apa yang sebenarnya terjkadi pada pesawat yang naas itu pada detik2 terakhirnya. Tetapi uji terbang seperti ini harus dilakukan dengan sangat hati2, sebab selalu saja ada kemungkinan pesawat yang digunakan dalam uji terbang itu juga akan memberikan respon yang sama seperti pesawat yang naas, dan ikutan jatuh juga! Rekonstruksi adalah dimana sebuah kerangka besi dipersiapkan, dimana serpihan2 pesawat yang terkumpul kemudian dipasang pada kerangka tersebut sehingga memberikan bentuk yang semirip mungkin dengan bentuk pesawat sebelum mengalami kecelakaan. Ini dapat digunakan untuk memahami bagaimana terjadinya awal dari faktor penyebab kecelakaan. Metoda ini sangat bermanfaat untuk menentukan urutan terjadinya peristiwa2 yang terjadi secara beruntun dengan hasil akhirnya adalah pesawat jatuh menghujam bumi. Tetapi metoda ini melibatkan dana yang sangat besar dan waktu yang sangat lama untuk menuntaskannya. Namun demikian seringkali, walaupun merupakan
page 45
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
pilihan terakhir, ini merupakan satu2nya cara untuk meyakinkan kebenaran dari kesimpulan yang diambil mengenai faktor2 penyebab kecelakaan. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah kecelakaan yang terjadi pada pesawat Boeing 747 yang jatuh di Lockerbie. Beberapa Kosa Kata yang digunakan dalam Penyidikan Perancangan pesawat menuntut agar pesawat bisa terbang semakin lebih cepat, lebih jauh dan membutuhkan lebih sedikit avtur yang perlu dibakar dalam engine nya, dibandingkan dengan pesawat2 yang desainnya lebih tua. Pesawat2 yang terbaru bisa dibuat lebih efisien dengan menggunakan bahan komposit sebagai bahan baku untuk badan (“fuselage”) pesawat, bahkan juga untuk struktur primer seperti sayap dan ekor. Pesawat Boeing 787 itu lebih dari separo beratnya adalah berat bahan komposit yang digunakan dalam pembuatannya. Pesawat2 dimasa depan akan menggunakan lebih banyak lagi bahan komposit, baik komposit karbon ataupun komposit serat gelas. Keuntungan menggunakan bahan komposit adalah lebih ringan tetapi lebih kuat dan lebih kaku dibandingkan dengan aluminium. Karena lebih kaku maka pesawat yang terbuat dari bahan komposit bisa lebih tahan terhadap masalah kelelahan logam alias “fatigue”, jadi umur pesawat bisa diperpanjang. Pesawat juga bisa dibuat menjadi lebih ringan sehingga secara keseluruhan menjadi lebih efisien. Informasi lebih lanjut mengenai bahan komposit bisa diperoleh dari Composite Material Handbook, US Departement of Defence yang dapat diunduh dari internet dialamat berikut http://www.lib.ucdavis.edu/dept/pse/resources/fulltext/HDBK17-1F.pdf Salah satu masalah yang penting dan belum begitu dipahami mengenai sifat2 bahan komposit adalah bagaimana bahan tersebut berperilaku bila dihadapkan pada temperatur tinggi, yang bisa terjadi kalau pesawat jatuh dan terbakar. Perilaku kebakaran yang terjadi pada pesawat yang terbuat dari logam (aluminium) sudah cukup dimengerti, tetapi hal yang sama tak bisa dikatakan mengenai bahan komposit. US Navy tahun lalu memberikan dana penelitian sebesar $1 juta (satu juta dolar US) pada RMIT Aerospace Engineering untuk melakukan penelitian selama 3 tahun mempelajari bagaimana menanggulangi kebakaran yang terjadi pada kapal milik US Navy. Salah satu pertanyaan yang harus dijawab adalah berapa lama setelah kebakaran dimulai sampai sebelum struktur kapal menjadi begitu lemah dan akan ambruk. Ini akan memberi informasi yang harus diberikan kepada kru kapal supaya secepat mungkin meninggalkan kapal yang terbakar, tak boleh lebih dari sekian menit dlsbnya. Masalah lainnya adalah mengenai sifat kimia dari gas yang terbentuk dari bahan komposit yang terbakar, apakah beracun atau paling tidaknya berbahaya bila masuk ke saluran pernapasan para awak kapal, dan seberapa ganas pengaruhnya. Indonesia punya pengalaman pahit tentang kebakaran kapal yang terbuat dari bahan komposit yaitu terbakarnya KRI Klewang belum lama lalu. Diharapkan bahwa para peneliti ahli dari ITB dlsbnya akan mempelajari masalah tersebut dan mengambil hikmah se-besar2nya dari kecelakaan yang tak diharapkan itu. Pembuatan badan pesawat dari bahan komposit membutuhkan waktu yang lebih pendek dan biaya produksi bisa dikurangi, karena “kulit pesawat” tidak terbuat dari lembaran yang kemudian perlu dipasangkan pada struktur pesawat dengan menggunakan paku2 keling (rivet) yang berjumlah sangat besar. Tetapi kerugiannya adalah kalau terjadi kerusakan disatu tempat pada kulit pesawat, maka seluruh kulit pesawat harus diganti, berbeda dari kalau kulit tersebut terbuat dari aluminium, dimana hanya lembaran aluminium yang retak itu saja yang perlu diganti. Reparasi dari struktur yang terbuat dari bahan komposit belumlah semaju seperti untk struktur yang terbuat dari logam, dan masih perlu diteliti dan dipelajari secara lebih mendalam lagi. Mungkin Prof. Mardjono Siswosuwarno bersedia memberikan komentar mengenai hal ini.
page 46
Investigasi Kecelakaan Pesawat Hadi Winarto
Struktur yang terbuat dari logam biasanya sangat rawan terhadap korosi atau karatan, khususnya dimana dua logam yang berbeda, misalnya aluminium dan besi, menempel satu ke yang lain. Bahan komposit jauh lebih tahan terhadap masalah korosi dibandingkan dengan logam. Tetapi disisi lain bahan komposit lebih rawan terhadap masalah erosi. Bahan karbon komposit ternyata rawan terhadap panas dan kelembaban udara, yang dapat mengurangi kekuatan struktur, apalgi bila struktur tersebut sudah mengalami keretakan mikro, yang kemudian bisa merambat dengan cepat dan akhirnya patah. Seorang penyidik, apalagi IIC, sebaiknya memiliki pengetahuan yang luas mengenai bahan2 yang digunakan untuk membuat pesawat, walaupun dia tak perlu menguasai sepenuhnya ilmu logam dan ilmu material pada umumnya, tetapi sebaiknya punya cukup pengetahuan untuk bisa berkomunikasi dengan ahli metalurgi, yang akan dia minta untuk membantunya dalam melakukan penyidikan.
page 47