BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pluralisme, Konflik, dan Politik menjadi sebuah konstelasi isu yang menarik dalam beberapa waktu terakhir. Konteks masyarakat Indonesia yang sangat beragam dalam suatu wilayah (Pluralis) menjadi sebuah arena reproduksi yang sangat ideal bagi terciptanya konflik yang dapat menjurus kepada kekerasan antar masyarakat. Konflik sendiri akan menjadi bahasan yang selalu hangat dalam kajian-kajian ilmu sosial terutama dalam sosiologi, karena fenomena konflik dianggap sebagai sebuah patologi dalam masyarakat. Konflik diibaratkan sebagai sebuah penyakit dalam masyarakat, dalam masyarakat sekecil apa pun pasti akan ditemukan konflik baik antar individu maupun antar kelompok masyarakat (Poloma, 2007: 106). Dalam dua dekade terakhir, berbagai media di Indonesia menyajikan gambaran atas konflik yang dimaknai dari berbagai sisi. Terhitung semenjak awal reformasi (1998) banyak konflik yang muncul dan melibatkan isu-isu pluralitas karena minimal melibatkan dua etnis yang berbeda. Meskipun sempat mereda pada pertengahan tahun 2000-an, namun isu konflik antar etnis kembali muncul pada awal 2011 dan sepanjang tahun 2012, termasuk salah satunya adalah konflik yang terjadi di Desa Balinuraga Kec. Way Panji (Lampung Selatan). Penyerangan yang terjadi di Desa Balinuraga pada akhir Oktober 2012 melibatkan jumlah massa yang sangat besar yang didominasi oleh masyarakat etnis Lampung, namun
1
secara spesifik konflik yang terjadi adalah antara warga Desa Agom dan masyarakat Desa Balinuraga. Masyarakat Desa Agom dengan mayoritas penduduk merupakan masyarakat asli suku Lampung, sedangkan Desa Balinuraga mayoritas dihuni oleh masyarakat etnis Bali Nusa hasil program transmigrasi yang dilakukan masa pemerintahan Orde Baru yaitu pada tahun 1960 hingga 1970-an. Konflik yang terjadi di Desa Balinuraga sendiri bukan merupakan kejadian pertama di Privinsi Lampung yang melibatkan masyarakat etnis Asli Lampung dan masyarakat etnis pendatang (Bali atau Jawa). Beberapa kasus yang tercatat terjadi pasca orde baru diantaranya konflik yang disebut sebagai konflik “Bungkuk” yang terjadi pada tahun akhir 1998, serta kasus “Kebondamar” pada awal tahun 2003 di kawasan Lampung Timur (Nugroho, 2004: 76-77). Hal ini juga membuktikan bahwa konflik yang terjadi antara masyarakat etnis asli Lampung dan masyarakat etnis pendatang
bukanlah
sebuah
permasalahan
baru,
namun
lebih
kepada
permasalahan yang telah menjadi lattensi dalam masyarakat di daerah Lampung. Dalam masa kurun waktu lebih dari 50 tahun terakhir, masyarakat Lampung Selatan hidup dalam struktur masyarakat yang majemuk baik secara etnisitas, agama, maupun kemajemukan dalam bentuk kelas-kelas sosial secara vertikal. Perubahan sosial dan pergeseran struktur masyarakat seringkali menjadi pemicu terjadinya konflik-konflik sosial dalam masyarakat, tak terlepas halnya dengan yang terjadi pada konflik di Desa Balinuraga. Konflik ini ditandai dengan terjadinya pergeseran dalam kelas-kelas kelompok dominan dalam masyarakat, dimana dalam beberapa tahun terakhir masyarakat pendatang (Bali) mulai 2
menunjukkan dominasi sector ekonomi masyarakat. Namun meskipun demikian, konflik yang terjadi bahkan menjadi semakin berutal karena sikap arogansi yang ditunjukkan masyarakat etnis Bali pasca terjadinya pergeseran struktur sosial masyarakat tersebut. Masa krisis konflik yang terjadi berupa penyerangan oleh sekelompok besar massa ke Desa Balinuraga terhitung tanggal 27 Oktober 2012 dan puncaknya terjadi pada tanggal 29 Oktober 2012. Pada tanggal 27 Oktober 2012 diperkirakan 2000 orang menyerang Desa Balinuraga, namun kelompok massa penyerang gagal untuk masuk ke Desa Balinuraga, kemudian pada hari berikutnya (28 Oktober 2012) kelompok massa yang lebih besar –diperkirakan 10.000 orangkembali menyerang Desa Balinuraga namun kelompok massa penyerang kembali gagal untuk memasuki Desa Balinuraga, pada hari berikutnya kelompok massa kembali melakukan penyerangan ke Desa Balinuraga dengan jumlah massa yang dua kali lebih besar dari hari sebelumnya –diperkirakan lebih dari 20.000 orangdan kelompok massa penyerang ini tidak hanya berasal dari satu kelompok masyarakat, namun berasal dari kelompok masyarakat yang luas dan dengan latar belakang yang berbeda pula. Penyerangan yang terjadi di Desa Balinuraga menyajikan fakta yang menarik mengenai proses mobilisasi massa yang mampu melibatkan jumlah massa yang sangat besar, ditambah lagi dengan konteks solidaritas masyarakat etnis lokal yang tidak dapat dikatakan tinggi. Mobilisasi massa menjadi salah satu konteks yang sangat menarik dalam fenomena konflik yang terjadi di Desa Balinuraga ini, dengan melihat informasi tentang jumlah penduduk dan massa yang terlibat didalam konflik pada masa 3
krisis tersebut maka dapat dilihat bahwa didalam konflik tersebut terdapat sebuah mekanisme dan manajemen konflik yang dilakukan oleh salah satu pihak maupun kedua belah pihak. Dengan kata lain, konflik yang terjadi di Desa Balinuraga ini bukan merupakan sebuah gerakan spontanitas, dan patut diperhatikan bagaimana konflik yang terjadi dalam rentan waktu 3 hari namun mampu menggerakkan lebih dari 20.000 orang untuk ikut serta terlibat didalamnya. Dalam ranah kajian sosiologis sendiri, para pemerhati konflik memiliki kecenderungan dan cara pandang masing- masing dalam melihat fenomena konflik yaitu dari sisi dan/ atau persepektif kultural maupun dari sisi ekonomipolitis yang juga hampir dapat ditemukan disetiap fenomena konflik yang terjadi dalam masyarakat. Analisis yang didasarkan pada perspektif kultural memang banyak menghiasi berbagai karya dalam ilmu sosial pada awal dekade 2000-an, terutama dalam kaitannya dengan konflik-konflik yang melibatkan 2 kelompok etnis dibeberapa daerah di Indonesia. Dalam perspektif kultural ini, gesekangesekan budaya yang berbeda dalam masyarakat pluralis menyebabkan penimbunan-penimbunan potensi konflik yang secara berkala akan menjadi semakin besar dan pada akhirnya dapat berubah menjadi kekerasan massa. Dalam karya ini, penulis mencoba menggeser analisis konflik yang sedemikian rupa. Analisis konflik tidak semata-mata mengenai penyebab dan proses rekonsiliasi yang ideal dalam menyelesaikan konflik. Konflik etnisitas yang terjadi beberapa waktu terakhir terutama konflik yang terjadi di Desa Balinuraga menampakkan sisi-sisi menarik yang lain dari sebuah fenomena konflik sosial yaitu salah satunya adalah tentang mekanisme yang dilakukan oleh 4
aktor-aktor yang terlibat dalam konflik tersebut untuk melibatkan lebih banyak massa, serta alasan dari mereka yang kemudian bersedia meleburkan diri kedalam kelompok massa penyerang. Analisis konflik yang lebih menekankan pada aspek mekanis ini juga bukan merupakan sebuah terobosan baru, beberapa buku juga telah disusun dengan mendasarkan pijakannya pada analisis persepektif ini. Sebuah buku yang berjudul “Seusai Perang Komunal” yang disusun oleh Patrick Barron (dkk), membangun sebuah kecurigaan bahwa konflik yang terjadi di Maluku dan Maluku Utara terjadi karena keterlibatan aktor politik secara intensif. Selain itu, dalam bukunya yang berjudul “Perang Kota Kecil”, Garry van Klinken juga menekankan proses analisis konfliknya pada perspektif gerakan sosial (sosial movements), dimana masing-masing kelompok berkonflik mempersiapkan diri1 untuk saling berhadapan dengan kelompok lainnya. Namun meskipun demikian, konflik tidak secara serta- merta muncul karena alasan politis atau keterlibatan aktor diluar masyarakat tersebut (faktor pemicu), konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Balinuraga dan masyarakat Desa Agom di Kec. Kaliada (Lampung Selatan) diduga memang telah terjadi dalam kurun waktu yang lama. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa, konflik yang terjadi pada akhir tahun 2012 memang diduga dipicu oleh kejadian kecil yang mungkin ditunggangi oleh kepentingan aktor lain dengan alasan yang mungkin
1
Konteks mempersiapkan diri dalam hal ini meliputi aspek pembentukan identitas, membentuk eskalasi konflik, polarisasi, Mobilisasi, dan pembentukan aktor. Mengacu pada lima proses konci dalam analisis Dynamic of Contention (DoC). Klinken, Garry van. (2007). Perang Kota Kecil. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 17-19.
5
bersifat politis, namun dalam tubuh masyarakat sendiri memang telah terjadi sebuah ketegangan yang cenderung berlangsung sudah cukup lama (faktor lattensi). Berangkat dari berbagai asumsi dan informasi diatas, tulisan ini mencoba untuk menganalisis konflik yang terjadi di Desa Balinuraga, dengan meletakkan perhatian pada mekanisme yang dilakukan oleh aktor-aktor konflik dalam memobilisasi massa dengan mempertimbangkan keadaan serta beberapa aspek kultural masyarakat dan isu- isu yang
digunakan sehingga aktor-aktor baru
memutuskan untuk ikut tergabung didalam kelompok massa penyerang. Untuk membantu menjelaskan pola mobilisasi masa ataupun keterlibatan aktor dalam konflik ini, penelitian ini akan menggunakan kerangka teori DoC (Dynamic of Contention) dan dibingkai melalui metode penelitian Studi Kasus. 1.2 Permasalahan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, menjadi sangat menarik untuk melihat motivasi keterlibatan aktor dan mekanisme mobilisasi massa dalam konflik dan penyerangan yang terjadi di Desa Balinuraga. Dalam kerangka teori Dynamic of Contention dijelaskan bahwa, dalam menjelaskan pola mobilisasi massa konflik, menjadi penting untuk sebaiknya menjelaskan serentetan perubahan sosial yang luas mendahului konflik guna mempermudah melihat beberapa faktor penting penunjang dalam menjelaskan mobilisasi, seperti pembentukan aktor serta pembentukan identitas yang terjadi. Sehingga sesusai dengan focus permasalahan yang telah dijelaskan diatas, maka rumusan masalah utama dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Proses dan Mekanisme Mobilisasi 6
Massa pada tanggal 27 sampai dengan 29 Oktober 2012 dalam penyerangan yang terjadi di Desa Balinuraga, Kec. Way Panji (Lampung Selatan)”. Sebelum menjelaskan tentang proses dan mekanisme mobilisasi massa dalam penyerangan yang terjadi di Desa Balinuraga, penelitian ini akan mencoba menjawab dua pertanyaan turunan dalam penelitian ini, yaitu. 1. Bagaimana Struktur dan perubahan sosial masyarakat Lampung Selatan, khususnya masyarakat Kecamatan Way Panji dan Kecamatan Kalianda (Lampung Selatan)? 2. Bagaimana relasi sosial masyarakat Kecamatan Way Panji dan Kecamatan Kalianda (Lampung Selatan) sebelum terjadinya konflik dan penyerangan pada tanggal 27 Oktober 2012? 3. Bagaimana proses mobilisasi massa yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam konflik antara Desa Agom dan Desa Balinuraga (Lampung Selatan)?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa tujuan penelitian, diantaranya: 1. Mengetahui Struktur dan perubahan sosial masyarakat Lampung Selatan, khususnya masyarakat Kecamatan Way Panji dan Kecamatan Kalianda (Lampung Selatan).
7
2. Melakukan analisis Konflik dengan melihat relasi sosial masyarakat Kecamatan Way Panji dan Kecamatan Kalianda (Lampung Selatan) sebelum terjadinya konflik pada tanggal 27 Oktober 2012. 3. Menemukan motivasi keterlibatan aktor dan menganalisis mekanisme Mobilisasi massa dalam penyerangan yang terjadi pada tanggal 27, 28, dan 29 Oktober 2012 di Desa Balinuraga.
1.4 Manfaat Penelitian 1
Secara keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah gambaran pada pembaca tentang perspektif yang lain dalam melihat dan menganalisis konflik, karena konflik tidak semata tentang analisis penyebab atau tujuan perumusan konsep rekonsiliasi yang ideal.
2
Secara
praktis,
penelitian
ini
diharapkan
mampu
untuk
menyadarkan masyarakat secara luas, dan terutama bagi mereka yang terlibat didalamnya bahwa kerugian secara material maupun secara mental tidak serta mereta terjadi atas keinginan yang muncul dalam diri mereka, atau konflik yang dianggap sebagai media resistensi diri atas ancaman lain diluar diri (konflik natural), namun didalamnya telah terjadi politisasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang tujuannya untuk mengguntungkan kelompok sosial tertentu.
8
1.5 Kerangka Literatur Dalam kerangka literatur ini, penulis mencoba memberikan gambaran dan meletakkan posisi penelitian ini dengan penelitian lainnya, dengan tujuan bahwa ketika posisi penelitian ini dapat dilihat dengan jelas maka ke-unikan dari penelitian ini sendiri juga akan dapat dilihat oleh pembaca. Dalam kerangka literature ini, peneliti mencoba melihat perbandingan penelitian ini dengan dua penelitian lainnya yang telah dilakuakan terlebih dahulu. Garry Van Klinken (2007) melalui karyanya -Perang Kota Kecilmemberikan serangkaian analisis yang berbeda tentang konflik. Dengan menggunakan metode Studi Kasus sebagai bingkai analisis berbagai konflik etnis dan kekerasan komunal yang terjadi di Indonesia, Klinken dengan sukses memberikan gambaran bahwa analisis konflik tidak melulu hanya melaui persepektif sosial- kultural yang beberapa dekade belakangan ini seakan menjadi satu-satunya cara melihat fenomena konflik. Klinken melakukan studinya dibeberapa daerah yang mengalami masa konflik dan kekerasan komunal yang panjang di beberapa bagian Indonesia. Kalimantan Barat, Poso, Ambon, Maluku Utara, dan Kalimantan Tengah memang menjadi titik-titik kekerasan komunal antar etnis yang terjadi sebelum ataupun beberapa tahun pasca reformasi. Pada titik ini, Klinken mencoba memperlihatkan bahwa meletusnya kekerasan komunal atau konflik etnis dibeberapa daerah tersebut sangat erat kaitannya dengan “gonjang-ganjing” atau ketidak- stabilan iklim politik nasional pada masa tersebut. Analisis yang berbasis pada persepektif ekonomi-politis juga dapat dilihat ketika Klinken berpendapat bahwa kekerasan
9
komunal yang terjadi di beberapa wilayah tersebut merupakan bentuk dari pengalihan isu yang sedang bergejolak ditingkat nasional, ataupun karena adanya represi terhadap gejolak etnis yang terjadi selama resim orde baru dengan menggunakan tangan- tangan aparat maupun militer (Klinken, 2207: 12). Dalam bukunya ini, Klinken meminjam Teori Dynamic of Contention karya Doug McAdam, Sidney Tarrow dan Charles Tilly (2004) sebagai pisau analisisnya. Dalam mekanisme DoC, McAdam, Tilly dan Tarrow menjelaskan bahwa terdapat lima proses kunci dalam memahami perseteruan politik yaitu pembentukan identitas, eskalasi konflik, polarisasi, mobilisasi massa, dan pembentukan aktor. Dari kelima tahapan penting yang disertakan oleh DoC dalam memahami perseteruan politik atau dinamika perseteruan tersebut Garry van Klinken memilih untuk menggunakan masing-masing lensa pada kasus yang masing-masing berbeda pula, misalnya konsep pembentukan identitas digunakan dalam melihat kekerasan komual yang terjadi di Kalimantan Barat, Eskalasi konflik digunakan untuk menganalisis kasus di Poso, Polarisasi digunakan untuk melihan kasus Maluku Utara dan seterunya, meskipun sebenarnya kelima proses atau tahapan tersebut dapat ditemukan dalam masing- masing konflik atau kekerasan komunal yang terjadi. Keberhasilan Klinken dalam mengaplikasikan teori DoC menjadikan inspirasi bagi penelitian ini dalam melihat fenomena konflik yang terjadi di Desa Balinuraga yang melibatkan masyarakat etnis asli Lampung di Desa Agom. Namun meskipun demikian, perbedaan antara penelitian ini dan karya Klinken adalah terletak pada bagaimana penelitian ini mencoba melihat kesemua tahap 10
dalam DoC tersebut dalam satu kasus yaitu konflik di Desa Balinuraga, meskipun pada tahap inipun akan menjadikan proses Mobilisasi massa dalam konflik sebagai focus utama, sedangkan ke- 4 tahap lainnya dilihat dan dianalisis sebagai bagian penting untuk dapat melakukan analisis yang komprahensif tentang mobilisasi massa tanpa ada bagian yang dianggap terlalu jauh atau bahkan menghindari bagian yang terhilangkan. Penelitian kedua ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo yang berjudul “Stereotip Etnik dan Resolusi Konflik Pertanahan di Pedesaan Lampung (Kasus konflik antar etnik di Desa Bungkuk Kec. Jabung dan di Desa Kebondamar Kec. Matarambaru Kabupaten Lampung Timur)”. Hartoyo dalam tulisannya menganalisis tentang konflik “Bungkuk” dan konflik “Kebondamar” di Lampung Timur yang terjadi pada akhir 1998 dan awal tahun 2003. Permasalahan utama atau isu utama terjadinya kedua konflik ini adalah berkaitan tentang pertanahan, dimana pada awalnya jual beli tanah seluas 4 Ha antara orang etnis asli Lampung dan etnis Jawa. Permasalahan jual beli tersebut kemudian menjadi isu etnik ketika terjadi pertikaian yang menyebabkan kematian pada pihak penjual (penjual) yang berasal dari Desa Bungkuk. Kemudian semakin berkembang sehingga menyebabkan terjadinya penyerangan masyarakat Desa Bungkuk dan 20 desa lainnya ke desa Sumber Rejo yang berpusat dipasar Karang Anom. Pada kejadian ini, menelan korban 2 orang meninggal dunia dan kerugian harta benda diperkirakan sebesar 2,4 milliar rupiah.
11
Kemudian pada kasus yang lain, yaitu konflik “Kebondamar” dimulai karena isu permasalahan batas lahan antara beberapa pihak yang memiliki lahan di batas desa, karena sebelumnya desa Kebondamar sendiri termasuk dalam wilayah Desa Brajamas, sehingga ketika terjadi pemekaran wilayah beberapa warga mengalami perdebatan tentang batas wilayah. Konflik terjadi ketika terjadi penyerangan oleh masyarakat etnis lokal di desa Brajamas dan desa Brajafajar ke Desa Kebondamar yang mayoritas berpenduduk Jawa dan Bali (pendatang). Konflik ini menyebabkan 5 orang luka- luka, dan kerusakan 76 rumah serta total kerugian mencapai 3,392 milliar rupiah. (dalam Nugraha, 2004: 76). Penelitian yang dilakukan oleh Haryanto ini menekankan analisisnya pada permasalahan ketidak harmonisan yang terpendam dan stereotype yang berkembang dalam masyarakat tentang etnis lawan, sehingga stereotype tersebut menjadi propaganda dalam masyarakat untuk berkonflik dengan kelompok masyarakat etnis lainnya. Selain itu, penelitian ini juga membahas tentang resolusi konflik yang dibangun berdasarkan pendapat Lewis A. Coser tentang Katup Penyelamat (Savety- value) dalam konflik dengan melibatkan aparatur Negara, serta tokoh masyarakat atau para tokoh adat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo ini didasarkan pada analisis konflik yang lebih bersifat Sosial- kultural. Penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo ini memiliki beberapa kesamaan dengan penelitian ini –Matinya Pluralisme Karena Naafsu Politik Lokaldiantaranya adalah tentang kesamaan lokasi dan pihak yang terlibat, dimana konflik dalam penelitian Hartoyo ini juga terjadi di provinsi Lampung dan dengan 12
melibatkan kelompok masyarakat etnis Lokal (Lampung) dengan mereka para pendatang (Jawa maupun Bali). Hal ini juga yang kemudian memperlihatkan bahwa fenomena yang terjadi antara masyarakat etnis Bali di Desa Balinuraga dan desa Agom merupakan sebuah konflik yang telah terjadi diberbagai lokasi dan berlangsung secara berkala, seakan seperti timbunan yang pada waktunya memang akan meledak jika tidak disadari dan tidak ditangani dengan benar. Perbedaan yang paling utama antara penelitian kali ini dan penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo adalah pada persepektif yang digunakan dalam menganalisis masing- masing fenomena konflik, dimana Hartoyo lebih memilih menganalisis konflik “Bungkuk” dan konflik “Kebondamar” melalui persepektif Sosial- cultural, sementara pada penelitian konflik di Desa Balinuraga ini peneliti memilih untuk menganalisisnya melalui persepektif Ekonomi- Politik.
13
Judul Penelitian, Nama Pengarang, Tahun. Perang Kota Kecil (Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia), by. Garry Van Klinken: 2007.
PERSAMAAN Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Garry Van Klinken adalah pada konsep teori yang digunakan yaitu Dynamic of Contention, dan samasama menggunakan metode studi kasus sebagai bingkai fenomena yang dikaji.
Stereotip Etnik dan Resolusi Konflik Pertanahan di Pedesaan Lampung (Kasus konflik antar etnik di Desa Bungkuk Kec. Jabung dan di Desa Kebondamar Kec. Matarambaru Kabupaten Lampung Timur), by. Hartoyo: 2004.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo adalah terletak pada kesamaan lokasi dan aktoraktor yang terlibat, yaitu konflik yang terjadi di Provinsi Lampung dan melibatkan masyarakat etnis Lokal dengan masyarakat etnis Pendatang (baik Jawa maupun Bali). Selain itu, kesamaan lainya juga terletak pada pisau analisis yang sama- sama meminjam pemikiran dari Lewis A. Coser. Tabel 1. Kerangka Literatur Penelitian
Sumber: Analisi Peneliti
PERBEDAAN Perbedaan kedua penelitian ini adalah terletak pada bagaimana Garry van Klinken menggunakan masing-masing lensa (tahapan dalam DoC) untuk memahami kasus yang berbeda- beda, sedangkan dalam penelitian ini DoC digunakan secara utuh untuk melihat satu kasus yaitu fenomena konflik yang terjadi di Desa Balinuraga meskipun lebih menitik beratkan pada mobilisasi massa sebagai fokus penelitian. Perbedaan yang paling mencolok dari kedua penelitian ini adalah dimana penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo cenderung menganalisis fenomena konflik “Bungkuk” dan konflik “Kebondamar” melalui persepektif sosial- kultural, penelitian ini bahkan cenderung mengarahkan analisisnya pada persepektif ekonomi- politik.
14
1.6. Kerangka Konseptual 1.6.1. Kemajemukan dan Perubahan Sosial Masyarakat Kemajemukan masyarakat Indonesia bukan merupakan konsep dan istilah baru dalam ranah perkembangan kajian ilmu sosial, J. S. Furnivall setidaknya telah membicarakan tentang kemajemukan Indonesia sejak masa penjajahan Belanda di Indonesia. Menurut Furnivall, masyarakat majemuk atau plural societies yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih element yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaharuan satu sama lain di dalam kesatuan politik (dalam Nasikun, 2006: 35). Struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan dua cirinya yang bersifat unik, secara horizontal Indonesia ditandai dengan kenyataan adanya kesatuankesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama adat serta perbedaan kedaerahan. Sedangkan secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan adanya lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Pada masa penjajahan kondisi ini ditunjukkan dengan bentuk stratifikasi dimana eropa menjadi orang yang berada dalam golongan kelas penguasa, timur tengah (tionghoa) sebagai golongan menengah dan pribumi sebagai golongan masyarakat yang paling dasar (Nasikun, 2006: 34). Dalam konteks struktur masyarakat dewasa ini, Indonesia lebih disibukkan dengan struktur masyarakat yang bersifat horizontal dimana kehidupan masyarakat yang tersegmentasi dalam unit-unit etnisitas saling bersaing untuk menempati kelas pertama dalam rangkaian struktur yang bersifat vertikal. Beberapa konflik
yang terjadi antar etnis di
Indonesia menunjukkan 15
kecenderungan ini, di Sampit misalnya, konflik antara suku Dayak dan Maduru juga disebabkan karena adanya dominasi atas sector-sektor pekerjaan yang ada dikota tersebut sehingga menyebabkan kecemburuan sosial dari masyarakat etnis Dayak yang merasa sebagai masyarakat yang lebih berhak atas semua akses tersebut. Dalam konteks penelitian ini, perbedaan secara horizontal tersebut ditunjukkan dengan kehidupan dari masyarakat etnis Lampung, Jawa dan Bali yang mencoba untuk hidup bersama dalam satu wilayah politis yang disebut kabupaten dan kemudian kegagalan komunikasi dalam masyarakat plural ini menyebabkan konflik sebagai konsekuensi yang nyata. Namun berbeda halnya dengan yang terjadi dengan konflik etnisitas yang terjadi di Sampit, konflik yang terjadi di Desa Balinuraga tidak dapat sepenuhnya dikatakan bentuk perebutan posisi kelas sosial dalam masyarakat, namun juga tidak menutup kemungkinan kemudian bahwa ada beberapa pihak yang menganggap pertarungan ini merupakan sebuah upaya untuk memperebutkan atau meruntuhkan posisi kelas penguasa. Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa karakteristik sebagai sifat-sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk, yaitu: 1. Terjadinya suatu segmentasi kedalam bentuk kelompokkelompok yang sering kali memiliki sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain. 2. Memiliki struktur sosial yang terbagi kedalam lembagalembaga yang bersidat non komplementer. 3. Kurang berkembangnya konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
16
4. Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. 5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan di bidang ekonomi. 6. Adanya dominasi politik antara kelompok satu dengan kelompok-kelompok lainnya (Nasikun, 2006: 40-41).
Dari enam kriteria sifat dasar yang dijelaskan diatas, tiga poin terakhir menunjukkan bahwa adanya konflik dalam masyarakat majemuk merupakan sebuah konsekuensi dari kehidupan bersama masyarakat yang beragam, tak terlepas halnya dengan kehidupan bersama yang cenderung dipaksakan dan coba dibangun oleh masyarakat etnis Lampung, Jawa dan Bali dalam satu wilayah yang relatif kecil yang pada akhirnya menyebabkan konflik dan penyerangan terhadap masyarakat etnis Bali di Desa Balinuraga pada Oktober 2012. Dalam ranah kajian ilmu sosial beberapa ahli sosiologi (pendekatan konflik) smenganggap bahwa konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi intern dalam masyarakat dapat merupakan sumber bagi terciptanya perubahanperubahan sosial dalam masyarakat. Perubahan sosial, oleh para penganut pendekatan konflik tidak sajadipandang sebagai gejala yang melekat dalam kehidupan setiap masyarakat, akan tetapi lebih dari pada itu bahkan dianggap bersumber dari dalam faktor-faktor yang ada dalam masyarakat itu sendiri (Nasikun, 2006: 21). Dalam penelitian ini, struktur sosial masyarakat dan perubahan sosialnya menjadi sangat penting dalam upaya memahami perbedaan yang terjadi, sekaligus menjadi batu estapet penting sebelum mengulas tentang konflik yang terjadi dan
17
akhirnya menganalisis mobilisasi massa dalam konflik dan penyerangan di Desa Balinuraga. 1.6.2. Relasi Sosial Antara Masyarakat Desa Balinuraga dan Masyarakat Desa Agom dalam Bingkai Teori Dynamic Of Contention. Dynamic of contention (Doc) atau Politik Seteru merupakan seikat pendekatan dan teori dalam memahami isu-isu gerakan sosial masyarakat. DoC merupakan sebuah proyek besar yang dikembangkan oleh Doug McAdam, Tilly dan Tarrow dalam memahami fenomena gerakan sosial yang terjadi di berbagai konteks di sebagian belahan dunia. Namun lebih dari itu, banyak bagian dari DoC menyangkut apa yang disebut sebagai “transgressive contention” yaitu perseteruan yang terjadi di luar batas-batas politik formal dan bisa mencakup protes- protes yang diwarnai kekerasan (Klinken, 2007: 17), sehingga pada akhirnya teori ini tidak hanya diaplikasikan di ranah gerakan sosial, namun lebih luas juga di aplikasikan dalam ranah konflik, baik itu yang berbau demokratisasi maupun nasionalisme. McAdam, Tilly, dan Tarrow membangun teori DoC berdasarkan lima belas studi kasus yang mencakup perseteruan-perseteruan non-Barat di antaranya protes-protes Tienmen pada tahun 1989, perseteruan non- demokrasi seperti halnya “Huru- Hara” Hindu- Muslim di India, atau gerakan- gerakan di bawah kondisi-kondisi Negara yang sedang lemah misalnya pemberontakan “Mau- Mau” di Kenya. DoC sendiri menitikberatkan permasalah pada kerusuhan yang terjadi diluar kebiasaan dan berada diluar tubuh sebuah organisasi dan lebih melihat
18
fenomena kerusuhan yang terjadi diranah interaksi kolektif dan tidak dapat diterapkan dalam konteks satu objek ataupun objek yang homogen. Dalam karya besarnya –DoC- McAdam, Tilly dan Tarrow menjelaskan bahwa terdapat kurang lebih 44 mekanisme yang dapat dilakukan dalam menjelaskan dan menganalisis sebuah perseteruan secara jelas, baik itu yang bersifat demokratis maupun yang berbau nasionalisme. Namun meskipun demikian, dalam konsep ini, terdapat 5 mekanisme yang paling penting dan paling fundamental dalam menjelaskan kerusuhan ataupun perseteruan yang terjadi, diantaranya: 1. Identity Formation (pembentukan Identitas)- bagaimana suatu identitas bersama berkembang dalam suatu kelompok? 2. Scale shift (atau escalation/ eskalasi)- bagaimana sebuah konflik yang muncul kecil mengalami eskalasi sehingga melibatkan aktor-aktor yang jauh lebih banyak? 3. Polarization (Polarisasi)- bagaimana ruang politis antara pihak-pihak yang saling berseteru meluas ketika para peserta itu saling menjauh dan begeser ke arah titik-titik ekstrim? 4. Mobilization (Mobilisasi)- Bagaimana orang yang biasanya acuh tak acuh dapat digerakkan utuk terjun ke jalan? 5. Actor constitution (pembentukan aktor)- Bagaimana sebuah kelompok yang sebenarnya tidak terorganisir dengan rapi atau politis berubah menjadi sebuah aktor pilitik tunggal? (Klinken, 2007: 17-18). Kelima mekanisme diatas dianggap merupakan yang paling fundamental dan penting dalam menganalisis perseteruan politik. Namun meskipun demikian, meskipun DoC sendiri merupakan sebuah kerangka teoritik dengan persepektif gerakan sosial baru, kerangka teoritik ini juga bukan suatu hal yang baru jika digunakan pula dalam menganalisis beberapa kerusuhan atau konflik- konflik yang telah terjadi di Indonesia, Garry van Klinken dalam bukunya “Perang Kota
19
Kecil” juga menggunakan kerangka teoritis ini dalam menganalisis fenomena konflik di Kalimantan Barat, Kalimantan Tenggah, Sulawesi ataupun Maluku. Dalam penelitian ini –rumusan masalah pertama- Relasi Sosial menjadi analisis penting yang dapat mengantarkan analisis yang lebih konprehensif dan mendalam dalam memahami pola mobilisasi konflik yang terjadi di Desa Balinuraga. Dalam konteks Sosiologis sendiri, Relasi Sosial atau Realasi antar etnis hanya bisa terjadi ketika setiap kelompok etnik terlibat dalam pertukaran sosial, kerja sama, persaingan dan konflik, serta ketika keterlibatan setiap kelompok etnis itu dibatasi oleh factor status, peran, kelompok, jaringan interaksi, dan institusi sosial (Liliweri, 2005: 135). Selain itu, Max Weber juga menyatakan bahwa, “suatu relasi sosial disebut komunal jika dan sejauh relasi tersebut memiliki orientasi sosial, di ikuti oleh tindakan sosial (yang acap kali subjektif) dari semua pihak yang merasa menjadi bagian atau milik bersama dalam relasi tersebut. Kemudian, suatu relasi sosial disebut menjadi asosiasional kalau ada tindakan sosial yang rasional sebagai motivasi untuk memperoleh pengakuan atas kepentingan bersama” (Liliweri, 2005: 132-133). Hubungan dan pola interaksi yang terjadi pasca konflik antara masyarakat etnis Lokal Lampung dan masyarakat etnis Pendatang (Jawa dan Bali) secara umum, maupun masyarakat Desa Agom dan masyarakat Desa Balinuraga secara khusus dapat menjadi sebuah deskripsi panjang dalam analisis fenomena konflik. dari sebuah deskripsi panjang tersebutlah nantinya akan terlihat secara tersirat bagaimana prograsifitas konflik itu bertumbuh (eskalasi konflik), serta bagaimana
20
dari pola interaksi dan relasi sosial tersebut muncul batas- batas kesukuan karena melihat adanya perbedaan yang cukup mencolok antara mereka masyarakat etnis pendatang dan masyarakat etnis lokal Lampung (pembentukan identitas), dan pada massa pra-konflik yaitu ketika masing-masing masyarakat mulai bersinggungan secara panas tentang permasalahan ideologis maupun perebutan materi maka muncullah aktor-aktor konflik yang pada akhirnya berperan masingmasing dalam kelompok masyarakatnya (pembentukan aktor). Relasi sosial yang dimaksudkan dalam penelitian ini akan meliputi beberapa elemen penting yang juga menjadi tahapan penting dalam bingkai teori DoC yaitu meliputi konteks Pembentukan aktor, Pembentukan Identitas masingmasing kelompok (Identity Formation) dan Eskalasi konflik (Scale Shift). Seperti halnya yang telah dijelaskan diatas, dalam memahami proses mobilisasi massa, terdapat 5 tahap yang juga harus diperhatikan agar dapat menjadi dasar dalam menganalisis mobilisasi massa dalam konflik. Sedangkan konsep Relasi Sosial dalam penelitian ini, yang menyangkut ketiga komponen dalam analisis DoC dimaksudkan agar nantinya tidak terjadi keterputusan analisis dalam menjelaskan serentetan kasus konflik yang sangat kental dengan nuansa politis ini. Pembentukan identitas dalam rentetan konflik komunal sendiri menempati posisi yang sangat penting untuk melihat mesin ataupun penggerak masingmasing kelompok sosial yang sedang berkonflik. Polleta dan Jasper (2001) menjelaskan bahwa: “…kita telah mendefinisikan identitas kolektif sebagai hubungan kognitif, moral, dan emosional individu dengan komunitas, kategori, praktek, atau
21
lembaga yang lebih luas. Identitas merupakan persepsi akan hubungan atau status kebersamaan yang mungkin sekedar dibayangkan dan tidak selalu harus dirasakan bersama-sama secara langsung, dan identitas ini berbeda dengan identitas pribadi meskipun mungkin bagian dari identitas pribadi.” (Dalam Klinken, 2007: 107 ). Identitas sendiri terbentuk berdasarkan interaksi yang melintasi batas-batas identitas kelompok sosial tersebut dan identitas etnis sendiri terbentuk dan berkembang berdasarkan persaingan bukan melalui isolasi atau keterasingan. Literature mengenai identitas sendiri memiliki berbagai persepektif dan sudut pandang diantaranya yang bersifat sosiologis dan yang bersidat psikologis. Secara sosiologis, bahasan tentang identitas ditempatkan kuncinya pada kerapatan jaringan sosial yang mewarnai identitas tersebut (interaksi). Sedangkan secara psikologis, menempatkan perhatiannya tentang identitas pada titik apa yang orang-orang ketahui (kognisi), dan dalam hal ini identitas yang dimaksudkan oleh Doug McAdam, Tilly dan Tarrow dalam DoC adalah persepektif sosiologi yang lebih menekankan pada titik interaksi jaringan sosial identitas kelompok tersebut. Sedangkan eskalasi konflik yang dimaksudkan dalam Dynamic Of Contention adalah tentang proses berkembangnya konflik sehingga melibatkan lebih banyak orang dari masing-masing kelompok. Berbagai macam media dapat digunakan sebagai wadah untuk memupuk konflik ini menjadi semakin besar, baik media formal (organisasi kesukuan, ataupun adat, maupun pemerintah) dimasing- masing kelompok, ataupun media yang bersifat informal (warung kopi, dsb). Pada konsep relasi sosial yang terakhir juga akan dibahas secara singkat tentang bagaimana pembentukan aktor dalam kelompok berkonflik. Pada titik ini, 22
analisis yang dilakukan oleh peneliti haruslah sangat berhati-hati karena meskipun tahap ini merupakan tahap paling mudah untuk ditemukan dalam penelitian, namun menjadi tahap yang paling sulit untuk dibuktikan dan dengan pertanggung jawaban yang lebih berat juga tentunya. Namun pada tahap ini, DoC melibatkan beberapa “mekanisme” dasar. Pertama, subjek (masyarakat Desa Agom) menciptakan organisasi-organisasi mereka sendiri untuk memajukan kepentingan mereka sendiri, atau mengambil alih organisasi yang sudah ada. Dari organisasi atau pelembagaan ini, selanjutnya menghasilkan “Reportoire” sandiwara aksi yang inovatif yang punya efek yang kuat bagi lawannya namun juga berpotensi besar bagi para pendukungnya. Kemudian terjadinya pembedaan (peralihan identitas) antara kedua kelompok tersebut menjadi gejala selanjutnya dari kemunculan aktor dalam konflik. Sebagai sebuah penutup, penulis menyajikan gambaran tentang relasi sosial masyarakat di Lampung Selatan terutama disekitar Desa Balinuraga dan Desa Agom. Paparan tentang relasi sosial pasca konflik ini bertujuan untuk menggantikan paparan tentang polarisasi konflik yang tadinya ingin dipaparkan sekaligus sebagai salah satu tahap penting dalam kerangka teori yang disajikan didalam DoC. Polarisasi sendiri sejauh pengamatan dan observasi yang dilakukan peneliti dilapangan selama rentan waktu 3 bulan tidak ditemukan. Namun meskipun demikian dalam konteks lain permasalahan ini, aspek polarisasi konflik masih memungkinkan untuk dibahas dan diamati lebih lanjut.
23
1.6.3. Mobilisasi Massa dalam konflik Balinuraga dari persepektif Dynamic Of Contention Dalam menganalisis konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Balinuraga dan masyarakat Desa Agom, peneliti mencoba meminjam konsep DoC dalam menganalisis pola mobilisasi yang dilakukan oleh masing- masing pihak ketika konflik berlangsung. Dengan permasalahan penelitian yang telah diajukan, maka peneliti akan memfokuskan perhatian pada mekanisme mobilisasi massa yang disajikan dalam konsep DoC. Namun meskipun demikian, dalam analisisnya nanti tidak menutup kemungkinan bahwa peneliti juga sedikit banyak akan membahas tentang actor constitution atau pembentukan aktor, karena tidak menutup kemungkinan nantinya ketika mencoba untuk memahami pola mobilisasi massa di masing- masing pihak yang berseteru nantinya juga akan membahas beberapa mekanisme lain yang telah ada diatas sebagai sebuah kelengkapan dalam mencoba menganalisis secara mendalam dan menemukan jawaban penelitian secara utuh. DoC juga menyatakan bahwa terdapat 5 mekanisme dasar dalam memahami mobilisasi massa, diantaranya. Pertama, sederetan proses- proses perubahan sosial yang luas mendahului konflik. Kedua, tiap-tiap pihak melihat ancaman datang dari pihak yang laindan/ atau melihat kesempatan- kesempatan yang menguntungkan dririnya sendiri. Ketiga, organisasi- organisasi yang sudah ada diberi tujuan-tujuan baru. Keempat, organisasi- organisasi melancarkan aksi- aksi kolektif inovatif untuk menentang pihak lain. Kelima, pada gilirannya hal ini mengarah pada sebuah eskalasi dalam hal rasa ketidakpastian, yang pada gilirannya kembali memperbesar ancaman atau kesempatan tadi.
24
Konflik yang terjadi antara masyarakat etnis Bali dan masyarakat etnis Lampung merupakan sebuah manifestasi dari tumpukan- tumpukan ketegangan yang telah terjadi bertahun- tahun lamanya antara kedua masyarakat etnis ini. Dengan menggambarkan historisasi konflik yang terjadi, yang telah digambarkan dalam rumusan masalah pertama penelitian ini, ditujukan agar gambaran tentang pola komunikasi antar etnis pra- konflik dapat membantu menganalisis motivasi gerakan maupun masing- masing aktor dalam menggelola konflik ini.
1.7. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian Kualitatif, Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Pendekatan kualitatif lebih menekankan penggunaan diri peneliti sebagai alat, dan kepekaan peneliti dibutuhkan agar mampu mengungkap gejala sosial pada obyek penelitian dengan mengerahkan segenap fungsi inderanya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Studi kasus merupakan sebuah strategi penelitian dimana didalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, ataupun sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Dalam hal ini, kasus
25
yang dilihat jelas sangat dibatasi oleh konteks waktu dan aktifitas, penelitian ini akan melihat tentang proses pengorganisasian massa dan keteribatan actor politis dalam konflik di desa Balinuraga, sehingga batasan waktu yang dijadikan acuan adalah pada masa-masa krisis konflik yang terjadi pada November 2012. Metode ini dapat mengantarkan peneliti memasuki unit-unit sosial terkecil seperti perhimpunan, kelompok, keluarga, dan berbagai bentuk unit sosial lainnya. Jadi, studi kasus dalam khazanah metodologi, dikenal sebagai suatu studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer atau kekinian (Bungin, 2010: 20). Pakar metodologi penelitian, Robert Yin (1996) menyebutkan: “studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang: menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana; batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tagas; dan di mana: multi sumber bukti dimanfaatkan. Ia menambahkan, studi kasus itu lebih banyak berkutat pada atau berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan “how’ (bagaimana) dan “why” (mengapa), serta pada tingkat tertentu juga menjawab pertanyaan “what” (apa/apakah), dalam kegiatan penelitian.” Dengan menggunakan metode Studi kasus diharapkan penelitian ini akan lebih mudah dalam melakukan analisis yang bersifat menggkorelasikan seuatu fakta dengan fakta lainya untuk membentuk sebuah pemahaman yang utuh terhadap permasalahan penelitian. 1.7.1. Lokasi/ Setting Penelitian Konflik merupakan sebuah fenomena sosial yang unik, meskipun konflik sendiri dianggap sebuah patologi yang pasti terjadi disetiap masyarakat. Namun bentuk, intensitas konflik memiliki keunikan masing-masing disetiap tempatnya
26
karena akan sangat berkaitan dengan karakteristik atau keragaman masyarakat, pola komunikasi yang diterapkan dalam suatu masyarakat, ataupun faktor-faktor geografis tempat tinggal masyarakat tersebut. Sehingga lokasi dalam kajian konflik memang seringkali tidak dapat disamakan antara satu dengan yang lainnya. Lokasi atau setting dari penelitian ini adalah di desa Agom serta di desa Balinuraga Kec. Kalianda (Lampung Selatan), lokasi ini dipilih karena karakteristik konfliknya yang memang sangat tajam serta keterlibatan kelompok massa yang terhitung besar. 1.7.2. Kebutuhan dan Jenis Data A. Data Primer Data primer merupakan sumber utama penelitian yang langsung berasal dari objek dan diolah oleh peneliti. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil pengamatan langsung peneliti dilapangan maupun hasil dari wawancara mendalam
dengan
informan
penelitian
yang
telah
ditentukan
dengan
pertimbangan keberimbangan data yang akan didapat untuk melakukan analisis. B. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti dari pihak lain untuk kemudian dapat diolah sesuai instrumen pengumpulan data yang dimiliki sehingga hasilnya dapat melengkapi data primer. Data sekunder ini terutama digunakan untuk memperkuat dan untuk memverifikasi data yang telah didapatkan dari informan utama yang telah ditentukan dan telah melakukan wawancara mendalam. Data sekunder juga diperoleh melalui studi literatur baik berupa buku, jurnal, penelitian terdahulu, situs internet serta dokumen-dokumen
27
milik desa yang mendukung dan membantu peneliti untuk memperoleh informasi berkaitan dengan penelitian ini. 1.7.3. Teknik dan Proses Pengumpulan Data Bukti dan data dalam penelitian studi kasus bisa berasal dari enam sumber, yaitu: Dokumen, rekaman arsip, wawancara, pengamatan langsung, dan perangkat-perangkat fisik (Yin, 2011: 101). Dari data yang dibutuhkan dalam metode studi kasus, seperti yang telah dijelaskan diatas, maka teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini meliputi: 1. Masuk dan berada langsung di kedua konteks masyarakat untuk melakukan
pengamatan
langsung
serta
pengamatan
terhadap
perangkat-perangkat fisik sehingga peneliti mendapatkan gambaran tentang keadaan masyarakat secara umum. 2. Mengumpulkan arsip-arsip ataupun dokumen yang sekiranya dapat membantu peneliti dalam menganalisis permasalahan, yang dapat dikumpulkan dari instansi-instansi terkait. 3. Dalam metode penelitian studi kasus, wawancara merupakan salah satu instrument penelitian yang paling penting dan paling fundamental. Wawancara dalam penelitian ini akan diawali dengan menggunakan teknik wawancara sambil lalu dengan tujuan memetakan informan penelitian yang sesuai dan memadai untuk memberikan informasi yang dibutuhkan. Ketika informan-informan penelitian telah jelas dan telah ditentukan, maka peneliti akan menggunakan teknik wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap.
28
Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu 3 bulan, yaitu antara November 2013 hingga Januari 2014. Seperti yang telah dijelaskan pada beberapa bagian sebelumnya, meskipun dalam penelitian ini kedua kelompok masyarakat akan menjadi objek kajian namun dalam pelaksanaannya peneliti lebih menekankan perhatian pada kelompok massa penyerang atau kelompok massa etnis Lampung karena mereka adalah kelompok massa yang cenderung melakukan mobilisasi massa sedangkan masyarakat Desa Balinuraga cenderung merupakan pihak yang pasif. Dalam melakukan penelitian ini peneliti menemukan banyak permasalahan yang salah satunya menyangkut identitas peneliti yang sebenarnya adalah masyarakat etnis Bali, yang kemudian akan sangat berpengaruh pada keterbukaan dan akses dalam mengakses data dilapangan. Pada awal penelitian ini, peneliti mencoba untuk menyembunyikan identitas asli peneliti untuk memudahkan akses peneliti masuk kedalam komunitas masyarakat etnis Lampung, serta memudahkan peneliti dalam menciptakan keterbukaan dengan informan peneleitian. Namun meskipun demikian, rencana tersebut tidak berjalan dengan baik, karena ketika peneliti melakukan pertemuan pertama dengan kepala desa Agom untuk mengajukan izin penelitian dan meminta bantuan untuk tempat tinggal selama melakukan penelitian, kepala desa tersebut mengarahkan peneliti untuk tinggal didalam salah satu pondok pesantren Islam yang ada di desa tersebut, dan peneliti menyadari bahwa ketika rencana tersebut tetap dijalankan cepat atau lambat identitas asli akan tetap dapat diketahui dan akan semakin berbahaya karena akan dianggap sebagai bentuk penipuan.
29
Identitas peneliti ini juga dapat berimbas dalam hal keamanan peneiti selama melakukan penelitian dizona masyarakat etnis Lampung, karena bisa saja masih ada sebagian masyarakat sendiri yang bermasalah dengan masyarakat etnis Bali atau masih terbawa suasana konflik yang telah terjadi satu tahun sebelumnya. Untuk itu peneliti mencoba untuk membangun kedekatan personal dengan kepala desa Agom agar dapat dijadikan akses utama dalam melakukan penelitian ini, dan sejauh penelitian ini dilakukan upaya tersebut dapat dikatakan berhasil. Dengan identitas Bali yang dibawa oleh peneliti ini pula kemudian peneliti tidak mendapatkan akses tempat tinggal didalam komunitas masyarakat etnis Lampung, dan akhirnya selama melakukan penelitian ini peneliti tinggal di Desa Bali Koga dengan juga mempertimbangkan akses dan keterkaitan yang masih sangat memungkinkan. Sejak awal penelitian ini akan dilaksanakan peneliti menyadari bahwa kebutuhan data yang dibutuhkan dalam menyelesaikan penelitian ini mungkin saja sangat sensitif bagi pihak-pihak yang terlibat. Untuk itu, data-data yang didapatkan dalam penelitian ini seringkali berawal dari isu yang didapatkan dalam konteks penelitian sambil lalu atau observasi lapang, dan kemudian melakukan melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak yang telah dianggap memumpuni dan memiliki keterbukaan yang baik. Dalam mekakukan observasi lapangan seorang peneliti dimungkinkan untuk melakukan mobilitas yang tinggi dan berani serta memuliki kemampuan untuk memasuki kantung-kantung massa yang mungkin memiliki informasi terkait konflik yang terjadi di Desa Balinuraga, seperti warung-warung kopi, atau
30
pangkalan-pangkalan ojek karena mayoritas diantara mereka merupakan masyarakat etnis Lampung. Banyaknya jumlah massa dan aktor-aktor yang terlibat dalam penyerangan yang terjadi di Desa Balinuraga membuat bangunan dan kelengkapan data yang didapat dan disajikan dalam penelitian ini didapat dari potongan-potongan kecil yang seringkali mengaitkan atau menjawab permasalahan satu sama lain namun telah dilakukan konfirmasi atau cross check data dengan pihak-pihak lain yang lebih berkompeten. 1.7.4. Teknik Pengelolaan Data. Analisis data dalam studi kasus jarang didefiniskan secara tegas dan kongkret. Namun, mengambil gagasan dari John W. Creswell tentang teknik menganalisis dalam penelitian kualitatif maka teknik analisis yang digunakan dalam penulisan penelitian ini akan melalui tiga tahap utama yaitu: 1. Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Langkah ini melibatkan transkrip wawancara, men-scanning materi, mengetik data lapangan, atau memilah-milah dan menyusun data tersebut kedalam jenis yang berbeda dan disesuaikan dengan fokus permasalahan dari penelitian ini. 2. Membaca keseluruhan data. Langkah pertama adalah membangun general sense atas informasi yang diperoleh dan merefleksikan maknanya secara keseluruhan. Gagasan umum apa yang terkandung dalam gagasan partisipan? Pada tahap ini, para peneliti kualitatif
31
terkadang menulis catatan-catatan khusus atau gagasan-gagasan umum tentang data yang diperoleh. 3. Menganalisis lebih detail dengan meng-coding data. Coding merupakan proses mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen tulisan sebelum memaknainya (Yin, 2011: 135). Dalam penelitian ini, Coding analisis dibedakan menjadi 4 bagian yaitu Eskalasi, Pembentukan Identitas, Pembentukan Aktor, dan Mobilisasi Massa.
32