BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Usia dini adalah usia yang sangat penting bagi perkembangan anak, sehingga disebut “golden age”. Masa usia dini merupakan masa yang perlu mendapat penanganan sedini mungkin, masa ini dimana otak anak mengalami perkembangan paling cepat sepanjang sejarah kehidupannya. Periode ini dimulai sejak janin dalam kandungan hingga usia 6 tahun. Awal masa anak-anak berlangsung dari usia 3–6 tahun. Pada masa ini menurut Osborn, White, dan Bloom (dalam Apriana, 2009) bahwa perkembangan kognitif anak telah mencapai 50% ketika anak berusia 4 tahun, 80% ketika anak berusia 8 tahun, dan genap 100% ketika anak berusia 18 tahun. Studi tersebut makin menguatkan pendapat para ahli sebelumnya, tentang keberadaan masa peka atau masa emas (golden age) pada anak-anak usia dini. Masa emas perkembangan anak yang hanya datang sekali seumur hidup ini tidak boleh disia-siakan. Hal tersebut menurut Martini (2006) mendukung anggapan bahwa sesungguhnya pendidikan yang dimulai setelah usia sekolah dasar tidaklah benar. Pendidikan harus sudah dimulai sejak usia dini supaya tidak terlambat. Sehingga penting bagi anak untuk mendapatkan pendidikan anak usia dini. Lebih lanjut menurut ahli perkembangan, Bredcamp dkk (dalam Widaningsih, 2010) mengungkapkan bahwa pendidikan anak usia dini penting dalam membangun sumber daya manusia, sehingga salah satu cara memanfaatkan periode ini adalah memberikan berbagai stimulasi dan merangsang pertumbuhan otak anak. Menurut Kartadinata (dalam Susanto, 2003) menyebutkan bahwa perkembangan struktur otak anak tumbuh terus setelah lahir dan menunjukkan bahwa pengalaman usia dini,
imajinasi yang terjadi, bahasa yang didengar, buku yang ditunjukkan, akan turut membentuk jaringan otak. Dengan demikian, melalui pengembangan kognitif, fungsi pikir dapat digunakan dengan cepat dan tepat untuk mengatasi suatu situasi untuk memecahkan suatu masalah. Merujuk pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 28 ayat 4 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah upaya pembinaan yang ditujukan pada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lanjut. Lebih lanjut menurut Berk (2005) menunjukkan bahwa tahun-tahun pertama dalam kehidupan seorang anak akan mempengaruhi fase perkembangan selanjutnya. Perkembangan anak meliputi empat aspek perkembangan, yaitu perkembangan psikomotorik, sosial emosi, bahasa dan kognitif. Pendidikan anak usia dini juga memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan berbagai kegiatan sehingga dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya (Theo & Martin, 2004). Menyadari pentingnya stimulasi dini bagi perkembangan anak, banyak metode yang diterapkan untuk mendidik anak di masa ini. Salah satu metode yang saat ini sedang berkembang di masyarakat Indonesia yaitu metode Montessori. Metode Montessori adalah pendidikan bagi anak usia dini yang dalam penyusunannya berdasarkan teori perkembangan anak. Sejalan dengan pandangan Lillard (2005) mengenai penggunaan metode Montessori untuk perkembangan anak, metode ini akan mendukung perkembangan pembelajaran di sepanjang hidupnya. Karakteristik dari metode ini adalah menekankan dalam aktivitas yang dimunculkan oleh diri anak.
Tujuan pendidikan Montessori adalah mengoptimalkan seluruh kemampuan anak melalui stimulasi material yang telah tersedia di sekolah Montessori. Seperti penelitian Handayani (2013) menunjukkan Metode Montessori dapat meningkatkan penguasaan kosakata pada siswa sekolah dasar pada semua aspek: arti, pengucapan, pelafalan, dan penggunaannya. Kondisi kelas sangat kondusif dan menyenangkan untuk anak-anak untuk mempelajari kosakata. Siswa termotivasi untuk mempelajari kosakata. Selama pengimplementasian penelitian, beliau menyimpulkan bahwa siswa dapat meningkatkan konsentrasi, motivasi, dan minat, pekerjaan, mental disiplin, kepercayaan diri, dan partisipasi. Selebihnya, siswa yang gaduh dan pemalu merespon dengan lebih baik setiap instruksi kosakata yang diberikan. Hal ini seperti yang peneliti lihat atau dapatkan ketika praktek magang di pre-school Montessori pada tahun 2012, siswa terlihat yakin saat mengenakan kaos kaki dan sepatu tanpa bantuan pengajar, dan siswa dengan sendirinya merapikan material dan mainan yang sudah di gunakan, dan mengembalikan kembali ke tempat asalnya. Dan saat akan makan siang siswa terlihat langsung mencuci tangan dengan sabun tanpa di beri arahan. Setelah makan siang siswa kembali merapikan alat makan yang sudah digunakan dan membersihkan meja apabila terdapat makanan yang berantakan. Hal ini terlihat berbeda dengan sekolah yang tidak menggunakan metode Montessori dalam pembelajaran, penulis menyempatkan untuk melihat salah satu sekolah yang dalam pembelajaran menggunakan metode regular atau tradisional yang masih membatasi siswa dalam melakukan beberapa hal, seperti dalam menggunakan sepatu siswa masih di bantu oleh pengajar bahkan ada suster yang memasangkan sepatu siswa tanpa memberikan kesempatan siswa untuk mencoba terlebih dahulu untuk menggunakan sepatu sendiri. Dalam penyampaian materi terlihat satu arah hanya dari pengajar yang berdiri di depan kelas, dan hanya beberapa siswa yang aktif menjawab
pertanyaan pengajar tersebut. Untuk anak yang pemalu dan tidak banyak bicara hanya mengikuti pelajaran secara pasif. Hal ini menurut Montessori (dalam Gestwicki, 2007) setiap anak itu unik dan berbeda-beda sehingga pendidik dalam memberikan pelayanan harus secara individual agar lebih membantu siswa yang kurang aktif. Setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu pendidik harus menghargai anak sebagai individu yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Penghargaan diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang tidak menyamaratakan kemampuan anak. Perencanaan pembelajaran yang dibuat boleh sama, tetapi tidak memaksa anak untuk dapat menyelesaikan tugas pembelajaran tersebut di waktu yang bersamaan. Pembelajaran metode Montessori menggabungkan anak dari berbagai usia dan kemampuan menjadi satu kelas. Lingkungan pembelajaran juga diatur sesuai ukuran tubuh anak, materi bermain yang berurut dari sederhana menuju komplek, menyiapkan pengalaman langsung dalam setiap aktivitas anak dengan melibatkan anak secara aktif, dan pengajar bertindak membimbing dan mengamati proses perkembangan anak daripada memberikan instruksi. Pengajar diharapkan menyiapkan suatu lingkungan yang dapat memunculkan keinginan anak untuk mempelajari banyak hal. Lingkungan yang disiapkan harus dirancang untuk menfasilitasi kebutuhan dan minat anak. Lingkungan ditata dengan berbagai setting sehingga anak tidak bergantung dengan orang dewasa. Lingkungan yang disiapkan ini membuat anak bebas untuk bergerak, bermain dan bekerja. Dengan lingkungan yang disiapkan oleh pengajar, memungkinkan anak dapat bereksplorasi, berekspresi, mencipta tanpa dibantu oleh orang dewasa. Menurut Seldin (2007)
kebebasan anak dalam bereksplorasi, berekspresi memberikan kesempatan anak untuk meningkatkan kemandirian. Kemandirian anak ini dipengaruhi oleh kepercayaan diri sehingga dapat dikatakan bahwa menjadi anak yang mandiri tergantung pada seberapa besar keyakinan anak
terhadap kemampuan diri sendiri. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, Zimmerman (2009) menyatakan bahwa anak yang mandiri yaitu anak yang mempunyai keyakinan diri. Keyakinan diri anak ini biasa disebut selfefficacy. Menurut Bandura (1997 dalam Santrock, 2001) self-efficacy adalah keyakinan yang dimiliki seseorang tentang kemampuan yang dimilikinya untuk menghadapi tugas atau situasi tertentu. Self-efficacy yang tinggi akan membuat seseorang akan berusaha semakin giat, di berbagai penelitian menunjukan kualitas individu akan meningkat seiring pertumbuhan self-efficacy. Individu yang mempunyai self-efficacy yang tinggi tentunya akan mempunyai prestasi akademik yang tinggi pula Penelitian tersebut di dukung dengan penelitian Warsito (2004) menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausal positif signifikan antara self-efficacy dengan prestasi akademik (r = 0,472). Hasil selanjutnya juga menemukan bahwa self-efficacy berhubungan kausal baik secara langsung (r5 = 0,222), maupun secara tak langsung (r5 = 0,154) dengan prestasi akademik. Sejalan dengan penelitian Siegel dkk (dalam Wahyu, 2002) menyatakan bahwa self-efficacy mempunyai nilai tinggi untuk memprediksi prestasi belajar matematika siswa. Penelitian diatas menunjukan bahwa self-efficacy memiliki hubungan dengan prestasi akademik dan prestasi belajar matematika. Matematika sendiri merupakan salah satu kemampuan yang berkaitan dengan perkembangan kognitif. Dalam penggunaan metode Montessori yang telah dijelaskan sebelumnya keyakinan anak (self-efficacy)
muncul dikarenakan anak merasa di percaya dan mampu untuk menyelesaikan kegiatan atau tugas yang mereka pilih sendiri. Hal ini menarik bagi peneliti untuk meneliti apakah terdapat hubungan antara self-efficacy dengan perkembangan kognitif siswa
pre-school
yang
menggunakan
metode
Montessori
sebagai
metode
pembelajaran. 1.2
Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, penulis
merumuskan masalah sebagai berikut “apakah terdapat hubungan antara self-efficacy dengan perkembangan kognitif pada siswa pre-school Montessori ?” 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan
rumusan
permasalahan,
penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan perkembangan kognitif pada siswa pre-school Montessori