BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Salah satu disiplin ilmu yang sangat penting dalam ilmu geologi adalah sedimentologi yang mempelajari tentang sedimentasi. Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan material yang ditransport oleh media air, angin, es, atau gletser di suatu cekungan. Delta yang terdapat di mulut-mulut sungai adalah hasil dan proses pengendapan material-material yang diangkut oleh air sungai, sedangkan bukit pasir (sand dunes) yang terdapat di gurun dan di tepi pantai adalah pengendapan dari material-material yang diangkut oleh angin. Proses tersebut terjadi terus menerus, seperti batuan hasil pelapukan secara berangsur diangkut ke tempat lain oleh tenaga air, angin, dan gletser. Air mengalir di permukaan tanah atau sungai membawa batuan halus baik terapung, melayang atau digeser di dasar sungai menuju tempat yang lebih rendah. Hembusan angin juga bisa mengangkat debu, pasir, bahkan bahan material yang lebih besar. Makin kuat hembusan itu, makin besar pula daya angkutnya.pengendapan material batuan yang telah diangkut oleh tenaga air atau angin tadi membuat terjadinya sedimentasi. Dari semua proses di atas akan membentuk partikel-partikel yang berbeda. Dalam mendiskripsikan bentuk partikel, salah satu sifat harus dibedakan yaitu spericity dan ukuran butir suatu material sedimen. Maka dari itu
1 |Laporan Lapangan Sedimentologi
diadakannyalah Fieldtrip Sedimentologi agar mahasiswa dapat mengetahui tentang sphericity serta analisis ukuran butir. 1.2. Tujuan dan Manfaat 1.2.1 Tujuan Adapun tujuan dari diadakannya praktikum ini diantaranya : 1. Mengetahui bentuk partikel yang dominan pada setiap stasiun pengamatan. 2. Mengetahui jarak transportasi dari material sedimen. 3. Mengetahui ukuran butir dari tiap perlapisan sedimen 4. Mengetahui fasies berdasarkan analisis ukuran butir sedimen pada daerah penelitian.Ber 1.2.2 Manfaat Adapun manfaat dari diadakannya Fieldtrip ini adalah untuk mengetahui bentuk butir dari setiap material sedimen serta proses pembentukan dan transportasi dari material sedimen tersebut. 1.3. Letak dan Kesampaian Daerah Lokasi penelitian terdiri atas beberapa titik yaitu lokasi pertama terletak di salah satu titik Sungai Jeneberang tepatnya di daerah Bili-bili, Kabupaten Gowa. Lokasi penelitian ini ditempuh dengan mengendarai bus dengan jarak kurang lebih 30 km dari kampus. Perjalanan di tempuh selama kurang lebih 45 menit. Kemudian penenlitian dilanjutkan didaerah Tanjung Bayang, tepatnya di Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Makassar, Sulawesi Selatan. Dari
2 |Laporan Lapangan Sedimentologi
Kota Makassar, Tanjung Bayang berjarak kira-kira 4 km ke arah barat, bisa ditempuh dengan kendaraan motor atau bus. Pada fieltrip kali ini ditempuh dengan menggunakan bus selama kurang lebih 185 menit dari stasiun pertama daerah Sungai Jeneberang Kabupaten Gowa dengan jarak tempuh sekitar 70 km.
Gambar 1.3 Peta Tunjuk Lokasi Daerah Penelitian
3 |Laporan Lapangan Sedimentologi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Geologi Regional
2.1.1
Geomorfologi regional Bentuk morfologi yang menonjol di daerah ini adalah kerucut
gunungapi Lompobattang yang menjulang mencapai ketringgian 2876 meter di atas permukaan Laut. Kerucut gunungapi Lompobattang ini dari kejauhan masih memperlihatkan bentuka aslinya dan tersusun oleh batuan gunungapi berumur Pliosen. Dua
bentuk
kerucut
tererosi
lebih
sempit
sebarannya
terdapat
disebelah Barat dan disebelah Utara gunung Lompobattang. Disebelah Barat terdapat gunung Baturape mencapai ketinggian 1124 meter, dan disebelah Utara terdapat gunung Cindako, mencapai ketinggian 1500 meter. Kedua bentuk kerucut tererosi ini disusun oleh batuan gunungapi berumur Pliosen. Dibagian Utara terdapat dua daerah yang dicirikan oleh topografi karst yang dibentuk oleh batugamping formasi Tonasa. Kedua daerah bertopografi Karst ini dipisahkan oleh pegunungan yang tersusun oleh batuan gunungapi berumur Miosen Bawah sampai Pliosen Disebelah Barat gunung Cindako dan sebelah Utara gunung Baturape merupakan daerah berbukit halus di bagian Barat. Bagian Barat mencapai ketinggian kira-kira 500 meter diatas permukaan laut dan hampir merupakan suatu 4 |Laporan Lapangan Sedimentologi
dataran. Bentuk morfologi ini tersusun oleh batuan klastik gunungapi berumur Miosen. Bukit-bukit yang memanjang yang tersebar di daerah ini mengarah ke gunung Cindako dan gumnung Baturape berupa retas-retas Basalt. Pesisir Barat merupakan datraan rendah yang sebagian besar terdiri dari daerah rawa dan daerah pasang surut, beberapa sungai besar membentuk daerah banjir di dataran ini. Di bagian Timurnya terdapat bukit-bukit terisolir yang tersusun oleh batuan klastik gunungapi Miosen Pliosen. Pesisir Barat ditempati oleh morfologi berbukit memanjang rendah dengan arah umumu Baratlaut Tenggara. Pantainya berliku-liku membentuk beberapa teluk. Daerah ini tersusun oleh batuan Karbonat dari Formasi Tonasa. Batuan tua yang tersingkap di daerah ini adalah sedimen flysch Formasi Marada, berumur Kapur Atas. Asosiasi batuannya memberikan petunjuk suatu endapan lereng bawah laut, ketika kegiatan magma sudah mulai pada waktu itu. Kegiatan magma berkembang menjadi suatu gunung api pada waktu kira-kira 63 juta tahun, dan menghasilkan Btuan gunung api terpropilitkan. Lembah Walanae di Lembar Pangkajene Bagian Barat sebelah Utaranya menerus ke Lembar Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai melalui sinjai di pesisir Timur. Lembah ini memisahkan batuan berumur Eosen , yaitu sedimen klastika Formasi Salo Kalupangdisebelah Timur dari sedimen Karbonat Formasi Tonasa disebelah Baratnya. Rupanya pada Kala Eosen daerah sebelah Barat Lembah Walanae merupakan paparan laut dangkal dan sebelah timurnya merupakan suatu cekungan sedimentasi dekat daratan
5 |Laporan Lapangan Sedimentologi
Paparan Laut dangkal Eosen meluas hampir ke seleruh lembar peta , yang buktinya ditunjukkan oleh sebaran Formasi Tonasa di sebelah barat Birru, sebelah Timur Maros dan sekitar Takalar. Endapan paparan berkembang selama Eosen sampai Miosen Tengah. Sedimentasi klastika sebelah Timur Lembah Walanae rupanya berhenti pada akhir Oligosen, dan diikuti oleh kegiatan gunungapi yang menghasilkan Formasi Kalamiseng. Akhir dari kegiatan gunungapi Miosen Awal yang diikuti oleh tektonikyang menyebabkan terjadinya permulaan terban Walanae yang kemudian menjadi cekungan dimana Formasi Walanae terbentuk. Peristiwa ini kemungkinan besar berlangsung sejak awal Miosen Tengah, dan menurun perlahan selama sedimentasi sampai kala Pliosen. Menurunnya cekungan Walanae dibarengi pleh kegiatan gunungapi yang terjadi secara luas disebelah Baratnya dan mungkin secara lokal di sebelah timurnya. Peristiwa ini terjadi selama Miosen Tengah sampai Pliosen. Semula gunungapinya terjadi dibawah muka laut, dan kemungkinan sebagian muncul dipermukaan pada kala Pliosen. Kegiatan gunung
api selama Miosen
menghasilkan Formasi Camba, dan selama Pliosen menghasilkan Batuan gunungapi Baturape-Cindako kelompok retas basal berbentuk radier memusat ke gunung Cindako dan gunung Baturape, terjadinya mungkin berhubungan gerakan mengkubah pada Kala Pliosen. Kegiatan gunungapi di daerah ini masih berlangsung sampai dengan Kala Plistosen, menghasilkan batuan gunungapi Lompobattang. Berhentinya kegiatan magma pada akhir Plistosen, diikuti oleh suatu tektonik yang menghasilkan sesar-
6 |Laporan Lapangan Sedimentologi
sesar en echelon (merencong) yang melalui gunung Lompobattang berarah Utara – Selatan. Sesar-sesar en echelon mungkin akibat dari suatu gerakan mendatar dekstral daripada batuan alas di bawah Lembar Walanae. Sejak Kala Pliosen pesisir barat ujung Lengan Sulawesi Selatan ini merupakan dataran stabil, yang pala Kala Holosen hanya terjadi endapan alluvium dan rawa-rawa. 2.1.2
Stratigrafi regional Satuan batuan tertua yang telah diketahui umurnya adalah batuan sedimen
flysch Kapur Atas yang dipetakan sebagai Formasi Marada (Km). Batuan Malihan (S) belum diketahui umurnya, apakah lebih tua atau lebih muda daripada Formasi Marada ; yang jelas diterobos oleh Granodiorit yang diduga berumur Miosen (192 juta tahun yang lalu). Hubungan Formasi Marada dengan satuan batuan yang lebih muda, yaitu formasi Salo Kalupang dan batuan Gunungapi terpropilitkan tidak begitu jelas, kemungkinan tak selaras. Formasi Salo Kalupang (Teos) yang diperkirakan berumur Eosen AwalOligosen Akhir berfasies sedimen laut, dan diperkirakan setara dalam umur dengan bagian bawah Formasi Tonasa (Temt). Formasi Salo Kalupang terjadi di sebelah Timur Lembah Walanae dan formasi Tonasa terjadi disebelah Baratnya. Satuan batuan yang berumur Eosen akhir sampai Miosen tengah menindih tak selaras batuan yang lebih tua. Berdasarkan sebaran daerah singkapannya, diperkirakan batuan karbonat yang dipetakan sebagai Formasi tonasa (Temt) terjadi pada daerah yang luas di lembar ini. Formasi Tonasa ini diendapkan sejak Eosen Akhir berlangsung hingga Miosen Tengah, menghasilkan endapan karbonat yang tebalnya tidak kurang dari 1750 meter. Pada kala Miosen Awal, rupanya
7 |Laporan Lapangan Sedimentologi
terjadi endapan batuan gunungapi di daerah Timur yang menyusun Batuan Gunungapi Kalamiseng (Tmkv). Satuan batuan yang berumur Miosen Tengan sampai Pliosen menyusun Formasi Camba (Tmc) yang tebalnya 4250 meter dan menindih tidak selaras batuan-batuan yang lebih tua. Formasi ini disusun oleh batuan sedimen laut berselingan dengan klastika gunungapi, yang menyamping beralih menjadi dominan batuan gunungapi (Tmcv). Batuan sedimen laut berasosiasi dengan karbonat mulai diendapkan sejak Miosen Akhir sampai Pliosen di cekungan Walanae, daerah Timur, dan menyusun Formasi Walanae (Tmpw) dan anggota Selayar (Tmps). Batuan gunungapi berumur Pliosen terjadi secara setempat, dan menyusun Batuan Gunungapi Baturape-Cindako (Tpbv). Satuan batuan gunungapi yang termuda adalah yang menyusun satuan gunungapi Lompobattang (Olv), berumur Plistosen. Sedimen termuda lainnya adalah endapan aluvium dan pantai (Qac). 2.1.3 Struktur Geologi Regional Menurut Sukamto (1982),struktur geologi di daerah pegunungan Lompobattang dan sekitarnya berupa struktur lipatan dan struktur sesar.
1. Struktur Lipatan Struktur ini mempunyai arah jurus dan kemiringan perlapisan batuan yang tidak teratur,sehingga sulit untuk menentukan jenisnya.Adanya pelipatan dicirikan oleh
kemiringan
lapisan
batuan,baik
8 |Laporan Lapangan Sedimentologi
batuan
Tersier
maupun
batuan
Kwarter(Plistosen),telah
mengalami
perlipatan,sehingga
umur
lipatan
ini
ditafsirkan setelah Plistosen.
2. Struktur Sesar Struktur sesar ini mempunyai arah yang bervariasi,seperti pada daerah Lompobattang ditemukan sesar dengan arah Utara-Selatan, Timur-Barat, Baratdaya-Timurlaut,sedangkan pada baian Utara mengarah Baratdaya-Timurlaut dan Baratlaut-Tenggara,dimana jenis sesar ini sulit untuk ditentukan. Terjadinya pelipatan dan pensesaran berhubungan dengan proses tektonik daerah
setempat,dimana
akhir
daripada
kegiatan
gunung
api
Miosen
Bawah,diikuti oleh tektonik yang menyebabkan terjadinya pemulaan terbentuknya Walanae.Peristiwa ini kemumngkinan besar berlangsung sejak awal Miosen Tengah dan menurun perlahan secara sedimentasi berlangsung sampai kala Pliosen,hal ini diikuti oleh kegiatan gunung api pada daerah sebelah Baratdaya.Peristiwa ini terjadi selama Miosen Tengah sampai Pliosen dengan Gunung api bawah laut,dan muncul pada kala Pliosen sebagi gunung api kontinen yang kemungkinan besar pada kala ini mulai terjadi perlipatan,dimana kegiatankegiatan magma pada kala Plistosen Atas didikuti oleh kegiatan tektonik yang menyebabkan terjadinya sesar di daerah ini. 2.2
Sphericity Sphericity adalah pendekatan setiap individu partikel ke bentuk bola,
sepenuhnya tergantung pada bentuk asli partikel, sedanglan abrasi merupakan faktor minor. Istilah deskriptif paling bagus dipakai untuk partikel pasir atau yang
9 |Laporan Lapangan Sedimentologi
lebih kasar berdasarkan diameter maximum, minimum dan intermedit. Ada empat bentuk dasar yang dipakai yaitu equant, tabular, prolate, dan bladed. Sedangkan analisis granulometri (ukuran butir) merupakan suatu analisis tentang ukuran butir sedimen. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat resistensi butiran sedimen terhadap proses-proses eksogenik seperti pelapukan erosi dan abrasi dari provenance, serta proses transportasi dan deposisinya. Hal-hal tersebut merupakan variabel penting dalam melakukan suatu interpretasi. Semakin butiran berbentuk menyerupai bola maka mempunyai nilai sphericity yang semakin tinggi. Wadell (1932) mendefinisikan sphericity yang sebenarnya (true sphericity) sebagai luas permukaan butir dibagi dengan luas permukaan sebuah bola yang keduanya mempunyai volume sama. Lewis & McConchie (1994) mengatakan bahwa rumusan ini sangat sulit untuk dipraktekkan. Sebagai pendekatan, perbandingan luas permukaan tersebut dianggap sebanding dengan perbandingan volume, sehingga rumus sphericity menurut Wadell (1932) adalah :
Vp : volume butiran yang diukur Vcs : volume terkecil suatu bola yang melingkupi partikel tersebut (circumscribing sphere) Krumbein (1941) kemudian menyempurnakan persamaan tersebut dengan :
10 |Laporan Lapangan Sedimentologi
Rumus yang diajukan Krumbein (1941) ini disebut dengan intercept sphericity (WI) yang dapat dihitung dengan mengukur sumbu-sumbu panjang, menengah dan pendek suatu partikel dan memasukkan pada rumus tersebut. Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept sphericity tidak dapat secara tepat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran yang dapat diproyeksikan secara maksimum mestinya diendapkan lebih cepat, misalnya bentuk prolate seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi dengan rumus W, justru didapatkan nilai yang terbalik. Untuk itu mereka mengusulkan rumusan tersendiri pada sphericity yang dikenal dengan maximum projection sphericity (Vp) atau sphericity proyeksi maksimum. Secara matematis Wp dirumuskan sebagai perbandingan antara area proyeksi maksimum bola dengan proyeksi maksimum partikel yang mempunyai volume sama, atau secara ringkas dapat ditulis dengan:
Dalam hal ini L, I dan S adalah sumbu-sumbu panjang, menengah dan pendek sebagaimana dalam rumus Krumbein (1941). Menurut Boggs (1987), pada prinsipnya rumus yang diajukan oleh Sneed & Folk (1958) ini tidak lebih valid dibandingkan dengan intercept sphericity, terutama kalau diaplikasikan pada sedimen yang diendapkan oleh aliran gravitasi dan es. Dengan tanpa mempertimbangkan bagaimana sphericity dihitung, Boggs (1987) menyatakan bahwa hasil perhitungan sphericity yang sama terkadang dapat diperoleh pada semua bentuk butir. Gambar 2 menunjukkan bahwa partikel
11 |Laporan Lapangan Sedimentologi
dengan bentuk yang berbeda bisa mempunyai nilai sphericity yang sama. Untuk mendefinisikan sphericity dari hitungan matematis, Folk (1968) mengelaskan sphericity dalam 7 kelas sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1. Bentuk butir ukuran kerakal atau yang lebih besar dipengaruhi oleh bentuk asalnya dari batuan cumber, namun demikian butiran dengan ukuran ini akan lebih banyak mengalami perubahan bentuk karena abrasi dan pemecahan selama transportasi dibandingkan dengan butiran yang berukuran pasir. Untuk butiran sedimen yang berukuran pasir atau lebih kecil, bentuk butir juga lebih banyak dipengaruhi oleh bentuk asal mineralnya. Pada prakteknya, analisis bentuk butir pada sedimen yang berukuran pasir biasanya dilakukan pada mineral kuarsa. Hal ini disebabkan sifat mineral kuarsa yang keras, tahan terhadap pelapukan, clan jumlahnya yang melimpah pada batuan sedimen. Namun demikian, untuk membuat
perbandingan
bentuk
butiran
setelah
mengalami
transportasi,
pengamatan bentuk butir pada mineral lain maupun fragmen batuan (lithic) boleh juga dilakukan.
Gambar 1. Hubungan antara sphericity matematis dengan bentuk butir klasifikasi Zingg. Kurva menunjukkan kesamaan nilai sphericity. (Pettijohn, 1975).
12 |Laporan Lapangan Sedimentologi
Hitungan Matematis
Kelas
<0.75
Very Elongate
0.60-0.63
Elongate
0.63-0.66
Subelongate
0.66-0.69
Intermediete Shape
0.69-0.72
Subequent
0.72-0.75
Equent
>0.75
Very Equent Tabel 1. Klasifikasi sphericity menurut Folk (1968).
Bentuk butir akan berpengaruh pada kecepatan pengendapan (settling velocity). Secara umum batuan yang bentuknya tidak spheris (tidak menyerupai bola) mempunyai kecepatan pengendapan yang lebih rendah. Dengan demikian bentuk butir akan mempengaruhi tingkat transportasinya pads sistem suspensi (Boggs, 1987). Butiran yang tidak spheris cenderung tertahan iebih lama pads media suspensi dibandingkan yang spheris. Bentuk jugs berpengaruh pads transportasi sedimen secara bedlood (traksi). Secara umum butiran yang spheris clan prolate lebih mudah tertransport dibandingKan bentuk blade clan disc (oblate). Lebih jauh analisis sedimen berdasarkan butiran saja sulit untuk dilakukan. Sebagai contoh, Boggs (1987) menyatakan bahwa dari pengamatan bentuk butir saja tidak dapat digunakan untuk menafsirkan suatu lingkungan pengendapan.
2.3
Analisa Ukuran Butir
13 |Laporan Lapangan Sedimentologi
2.3.1
Definisi umum analisis ukuran butir (granulometri) Analisis granulometri merupakan suatu analisis tentang ukuran butir
sedimen. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat resistensi butiran sedimen terhadap proses-proses eksogenik seperti pelapukan erosi dan abrasi dari provenance, serta proses transportasi dan deposisinya. Hal-hal tersebut merupakan variabel penting dalam melakukan suatu interpretasi.
Tingkat resistensi suatu batuan dapat dilihat dari ukuran butirnya. Prosesproses eksogenik akan mengubah bentuk dan ukuran suatu partikel sedimen. Nah, yang mungkin awalnya runcing-runcing, atau ukuran butirnya masih gede-gede, lama kelamaan kan seiring waktu akan berubah karena proses eksogenik itu. Sedangkan proses transportasi dan deposisi memperlihatkan proses bagaimana agen utama seperti air menggerakkan dan mengendapkan butiran sedimen. Dalam analisa ini tercakup beberapa hal yang biasa dilakukan seperti pengukuran ratarata, pengukuran sorting atau standar deviasi, pengukuran skewness dan kurtosis. Masing-masing pengukuran tersebut mempunyai rumus-rumus yang berbeda dan mempunyai batasan-batasan untuk menggambarkan keadaan dari butiran yang diamati atau dianalisa. Batasan-batasan tersebut biasa disebut dengan verbal limit. Analisa granulometri dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu dengan metode grafis dan metode statistik, dimana metode grafis memuat berbagai macam grafik yang mencerminkan penyebaran besar butir, hubungan dinamika aliran dan cara transportasi sedimen klastik, sedangkan metode statistik menghasilkan nilai ratarata, deviasi standar, kepencengan dan kemancungan kurva.
14 |Laporan Lapangan Sedimentologi
Pilihan atau Sortasi dapat menunjukkan batas ukuran butir atau keanekaragaman ukuran butir, tipe dan karakteristik serta lamanya waktu sedimentasi dari suatu populasi sedimen (Folk, 1968). Menurut Friedman dan Sanders (1978), sortasi atau pemilahan adalah penyebaran ukuran butir terhadap ukuran butir rata-rata. Sortasi dikatakan baik jika batuan sedimen mempunyai penyebaran ukuran butir terhadap ukuran butir rata-rata pendek. Sebaliknya apabila sedimen mempunyai penyebaran ukuran butir terhadap rata-rata ukuran butir panjang disebut sortasi jelek.
Ada hubungan antara ukuran butir dan sortasi dalam batuan sedimen. Hubungan ini terutama terjadi pada batuan sedimen berupa pasir kasar sampai pasir sangat halus. Pasir dari berbagai macam lingkungan air menunjuk bahwa pasir halus mempunyai sortasi yang lebih baik daripada pasir sangat halus. Sedangkan pasir yang diendapkan oleh angin sortasi terbaik terjadi pada ukuran pasir sangat halus ( Blatt,dkk dalam Kusumadinata, 1980).
Kepencengan (SKEWNESS) adalah penyimpangan distribusi ukuran butir terhadap distribusi normal. Distribusi normal adalah suatu distribusi ukuran butir dimana pada bagian tengah dari sampel mempunyai jumlah butiran paling banyak. Butiran yang lebih kasar serta lebih halus tersebar disisi kanan dan kiri dalam jumlah yang sama. Apabila dalam suatu distribusi ukuran butir berlebihan partikel kasar, maka kepencengannya bernilai negatif (Folk, 1974).
Besar butir rata-rata merupakan fungsi ukuran butir dari suatu populasi sedimen (missal pasir kasar, pasir sedang, dan pasir halus). Besar butir rata-rata
15 |Laporan Lapangan Sedimentologi
dapat juga menunjukkan kecepatan turbulen/ sedimentasi dari suatu populasi sedimen.
Adapun partikel-partikel sedimen oleh Friedman dan Sanders (1978) dapat dibedakan menjadi 2 kelompok :
1. Hasil rombakan atau hancuran padat dari endapan tua.
2. material yang bukan merupakan hasil rombakan atau hancuran padat yang terdiri dari material yang dikeluarkan lewat semburan gunung berapi dan material terlarut di air yang ditransportasikan dan diendapkan pada tempat akumulasi pengendapan oleh sekresi biologis atau proses pengendapan secara kimia.
Sumber sedimen dapat berasal dari berbagai tempat. Drake (1978) menerangkan bahwa terdapat 3 sumber dari material sedimen yang ditemukan pada permukaan dasar laut yaitu sumber dari daratan yang menyuplai material hancuran dan material terlarut sumber asli dari laut dan material angkasa luar. Setelah proses pelapukan terjadi selanjutnya sedimen asal mengalami proses transportasi dan lithifikasi. Drake (1978) pada proses transportasi, dibawah kondisi normal, erosi menghasilkan nilai (rate) yang sama dengan pelapukan batuan. Faktor yang mempengaruhinya adalah:
a.Kecepatan pengendapan b.Arus aliran fluida c.Gelombang
16 |Laporan Lapangan Sedimentologi
Hasil sedimentasi yang telah berlangsung lama akan mengalami konsolidasi atau lithifikasi (pembatuan). Sedimen yang terlithifikasi disebut batuan sedimen. Faktor yang mempengaruhi terhadap proses lithifikasi antara lain proses fisika, proses kimiawi dan proses biologi. Ukuran butiran berpengaruh terhadap sifat-sifat dari butiran tersebut. Krumbreindan Sloss (1963) menyatakan bahwa pada butiran sedimen , ukuran sedimen berhubungan dengan dinamika transportasi dan deposisi. Ukuran butiran akan mencerminkan resistensi butiran terhadap proses pelapukan, erosi dan abrasi, Pada proses transportasi berpengaruh terhadap bentuk, ukuran butir, kebolaan maupun sifat-sifat dari kumpulan butiran seperti sortasi, kepencengan dan kepuncakan akibat dari gesekan antara butiran dengan butiran maupun dengan batuan dasar. Besar kecilnya partikel penyusun tanah tersebut akan menentukan kemampuan dalam hal menahan air, mengurung tanah, dan produksi bahan organic (Dwijoseputro,1987).
2.3.2
Klasifikasi ukuran butir Sortasi Sortasi adalah nilai standar deviasi distribusi ukuran butir (sebaran nilai di
sekitar mean). Parameter ini menunjukkan tingkat keseragaman butir.
Nilai Standard Deviasi
Klasifikasi
< 0,35
Very well sorted
17 |Laporan Lapangan Sedimentologi
0,35 – 0,50
Well sorted
0,50 – 0,71
Moderately well sorted
0,71 – 1,00
Moderately sorted
1,00 – 2,00
Poorly sorted
2,00 – 4,00
Very poorly sorted
> 4,00
Extremely poorly sorted Tabel 2. Klasifikasi Sortasi
Gambar 2.3.2.1 Standar Deviation Material Sedimen 18 |Laporan Lapangan Sedimentologi
Skewness (Sk) Skewness menyatakan derajat ketidaksimetrian suatu kurva. Bila Sk
berharga positif maka sedimen yang bersangkutan mempunyai jumlah butir kasar lebih banyak dari jumlah butir yang halus dan sebaliknya jika berharga negatif maka sedimen tersebut mempunyai jumlah butir halus lebih banyak dari jumlah butir yang kasar.
Nilai Skewness
Klasifikasi
+1.0 sd +0,3
Very fine skewness
+0,3 sd +0,1
Fine skewness
+0,1 sd -0,1
Near symmetrical
-0,1 sd -0,3
Coarse skewness
-0,3 sd -1,0
Very coarse skewness Tabel 3. Klasifikasi Skweness
Kurtosis Kurtosis dapat menunjukan harga perbandingan antara pemilahan bagian
tengah terhadap bagian tepi dari suatu kurva. Untuk menentukan harga K digunakan rumus yang diajukan oleh Folk (1968)
Nilai Kurtosis
Klasifikasi
<0,67
Very platycurtic
19 |Laporan Lapangan Sedimentologi
0,67 – 0,90
Platycurtic
0,90 – 1,11
Mesokurtic
1,11 – 1,50
Leptokurtic
1,50 – 3,00
Very leptokurtic
>3,00
Extremely leptokurtic Tabel 4. Klasifikasi Kurtosis
2.3.3
Fasies Sedimen
Fasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki kombinasi karakteristik yang khas dilihat dari litologi, struktur sedimen dan struktur biologi memperlihatkan aspek fasies yang berbeda dari tubuh batuan yang yang ada di bawah, atas dan di sekelilingnya. Fasies umumnya dikelompokkan ke dalam facies association dimana fasies-fasies tersebut berhubungan secara genetis sehingga asosiasi fasies ini memiliki arti lingkungan. Dalam skala lebih luas asosiasi fasies bisa disebut atau dipandang sebagai basic architectural element dari suatu lingkungan pengendapan yang khas sehingga akan memberikan makna bentuk tiga dimensi tubuhnya (Walker dan James, 1992). Menurut Slley (1985), fasies sedimen adalah suatu satuan batuan yang dapat dikenali dan dibedakan dengan satuan batuan yang lain atas dasar geometri, litologi, struktur sedimen, fosil, dan pola arus purbanya. Fasies sedimen merupakan produk dari proses pengendapan batuan sedimen di dalam suatu jenis
20 |Laporan Lapangan Sedimentologi
lingkungan pengendapannya. Diagnosa lingkungan pengendapan tersebut dapat dilakukan berdasarkan analisa faises sedimen, yang merangkum hasil interpretasi dari berbagai data, diantaranya :
1.
Geometri :
regional dan lokal dari seismik (misal : progradasi, regresi, reef dan chanel)
2.
intra-reservoir dari wireline log (ketebalan dan distribusi reservoir) Litologi : dari cutting, dan core (glaukonit, carboneous detritus) dikombinasi dengan log sumur (GR dan SP)
3.
Paleontologi : dari fosil yang diamati dari cutting, core, atau side wall core
4.
Struktur sedimen : dari core
Model Fasies (Facies Model) Model fasies adalah miniatur umum dari sedimen yang spesifik. Model fasies adalah suatu model umum dari suatu sistem pengendapan yang khusus ( Walker , 1992). Model fasies dapat diiterpretasikan sebagai urutan ideal dari fasies dengan diagram blok atau grafik dan kesamaan. Ringkasan model ini menunjukkan sebagaio ukuran yang bertujuan untuk membandingkan framework dan sebagai penunjuk observasi masa depan. model fasies memberikan prediksi dari situasi geologi yang baru dan bentuk dasar dari interpretasi lingkungan. pada kondisi akhir hidrodinamik. Model fasies merupakan suatu cara untuk menyederhanakan,
21 |Laporan Lapangan Sedimentologi
menyajikan, mengelompokkan, dan menginterpretasikan data yang diperoleh secara acak. Ada bermacam-macam tipe fasies model, diantaranya adalah : a) Model Geometrik berupa peta topografi, cross section, diagram blok tiga dimensi, dan bentuk lain ilustrasi grafik dasar pengendapan framework b) Model Geometrik empat dimensi adalah perubahan portray dalam erosi dan deposisi oleh waktu . c) Model statistik digunakan oleh pekerja teknik, seperti regresi linear multiple, analisis trend permukaaan dan analisis faktor. Statistika model berfungsi untuk mengetahui beberapa parameter lingkungan pengendapan atau memprediksi respon dari suatu elemen dengan elemen lain dalam sebuah proses-respon model. Facies Sequence Suatu unit yang secara relatif conform dan sekuen tersusun oleh fasies yang secara geneik berhubungan. Fasies ini disebut parasequence. Suatu sekuen ditentikan oleh sifat fisik lapisan itu sendiri bukan oleh waktu dan bukan oleh eustacy serta bukan ketebalan atau lamanya pengendapan dan tidak dari interpretasi global atau asalnya regional (sea level change). Sekuen analog dengan lithostratigrafy, hanya ada perbedaan sudut pandang. Sekuen berdasarkan genetically unit. Ciri-ciri sequence boundary : 1.
membatasi lapisan dari atas dan bawahnya.
2.
terbentuk secara relatif sangat cepat (<10.000 tahun).
22 |Laporan Lapangan Sedimentologi
3.
mempunyai suatu nilai dalam chronostratigrafi.
4.
selaras yang berurutan dalam chronostratigrafi.
5.
batas sekuen dapat ditentukan dengan ciri coarsening up ward.
Asosiasi Fasies Mutti dan Ricci Luchi (1972), mengatakan bahwa fasies adalah suatu lapisan atau kumpulan lapisan yang memperlihatkan karakteristik litologi, geometri dan sedimentologi tertentu yang berbeda dengan batuan di sekitarnya. Suatu mekanisme yang bekerja serentak pada saat yang sama. Asosiasi fasies didefinisikan sebagai suatu kombinasi dua atau lebih fasies yang membentuk suatu tubuh batuan dalam berbagai skala dan kombinasi. Asosiasi fasies ini mencerminkan lingkungan pengendapan atau proses dimana fasies-fasies itu terbentuk. Sekelompok
asosiasi
fasies
endapan
fasies
digunakan
untuk
mendefinisikan lingkungan sedimen tertentu. Sebagai contoh, semua fasies ditemukan di sebuah fluviatile lingkungan dapat dikelompokkan bersama-sama untuk menentukan fasies fluvial asosiasi. Pembentukan dibagi menjadi empat fasies asosiasi (FAS), yaitu dari bawah ke atas. Litologi sedimen ini menggambarkan lingkungan yang didominasi oleh braided stream berenergi tinggi. a.
Asosiasi fasies 1
23 |Laporan Lapangan Sedimentologi
Asosiasi fasies terendah di unit didominasi oleh palung lintasstratifikasi, tinggi energi braided stream yang membentuk dataran outwash sebuah sistem aluvial. Trace fosil yang hampir tidak ada, karena energi yang tinggi berarti depositional menggali organisme tidak dapat bertahan. b.
Asosiasi fasies 2 Fasies ini mencerminkan lingkungan yang lebih tenang, unit ini kadangkadang terganggu oleh lensa dari FA1 sedimen. Bed berada di seluruh tipis, planar dan disortir dengan baik. Bed sekitar 5 cm (2 in) bentuk tebal 2 meter (7 ft) unit "bedded sandsheets"- lapisan batu pasit yang membentuk lithology dominan fasies ini. Sudut rendah (<20 °), lintas-bentuk batu pasir berlapis unit hingga 50 cm (19,7 inci) tebal, kadang-kadang mencapai ketebalan sebanyak 2 meter (7 kaki). Arah arus di sini adalah ke arah selatan timur - hingga lereng - dan memperkuat interpretasi mereka sebagai Aeolian bukit pasir. Sebuah suite lebih lanjut lapisan padat berisi fosil jejak perkumpulan; lapisan lain beruang riak saat ini tanda, yang mungkin terbentuk di sungai yang dangkal, dengan membanjiri cekungan hosting mungkin pencipta jejak fosil. Cyclicity tidak hadir, menunjukkan bahwa, alih-alih acara musiman, kadang-kadang innundation didasarkan pada peristiwa-peristiwa tak terduga seperti badai, air yang berbeda-beda tabel, dan mengubah aliran kursus.
c.
Asosiasi fasies 3 Fasies ini sangat mirip FA1, dengan peningkatan pasokan bahan clastic terwakili dalam rekor sedimen tdk halus, diurutkan buruk, atas-fining (yaitu padi-
24 |Laporan Lapangan Sedimentologi
padian terbesar di bagian bawah unit, menjadi semakin halus ke arah atas), berkerikil palung lintas-unit tempat tidur hingga empat meter tebal. Jejak fosil langka. Sheet-seperti sungai dikepang disimpulkan sebagai kontrol dominan pada sedimentasi di fasies ini. d.
Asosiasi fasies 4 Asosiasi fasies paling atas muncul untuk mencerminkan sebuah lingkungan di pinggiran laut. Fining-up yang diamati pada 0,5 meter (2 kaki) hingga 2 meter (7 kaki) skala, dengan salib melalui seperai pada unit dasar arus overlain oleh riak. Baik shales batu pasir dan hijau juga ada. Unit atas sangat bioturbated, dengan kelimpahan Skolithos - sebuah fosil biasanya ditemukan di lingkungan laut.
Hubungan Antara Fasies, Proses Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan Lingkungan pada semua tempat di darat atau di bawah laut dipengaruhi oleh proses fisika dan kimia yang berlaku dan organisme yang hidup di bawah kondisi itu pada waktu itu. Oleh karena itu suatu lingkungan pengendapan dapat mencirikan proses-proses ini. Sebagai contoh, lingkungan fluvial (sungai) termasuk saluran (channel) yang membawa dan mengendapkan material pasiran atau kerikilan di atas bar di dalam channel. Ketika sungai banjir, air menyebarkan sedimen yang relatif halus melewati daerah limpah banjir (floodplain) dimana sedimen ini diendapkan dalam bentuk lapis-lapis tipis. Terbentuklah tanah dan vegetasi tumbuh di daerah floodplain. Dalam satu rangkaian batuan sedimen channel dapat diwakili oleh lensa batupasir
25 |Laporan Lapangan Sedimentologi
atau konglomerat yang menunjukkan struktur internal yang terbentuk oleh pengendapan pada bar channel. Setting floodplain akan diwakili oleh lapisan tipis batulumpur dan batupasir dengan akar-akar dan bukti-bukti lain berupa pembentukan tanah. Dalam deskripsi batuan sedimen ke dalam lingkungan pengendapan, istilah fasies sering digunakan. Satu fasies batuan adalah tubuh batuan yang berciri khusus yang mencerminkan kondisi terbentuknya (Reading & Levell 1996). Mendeskripsi fasies suatu sedimen melibatkan dokumentasi semua karakteristik litologi, tekstur, struktur sedimen dan kandungan fosil yang dapat membantu dalam menentukan proses pembentukan. Jika cukup tersedia informasi fasies, suatu interpretasi lingkungan pengendapan dapat dibuat. Lensa batupasir mungkin menunjukkan channel sungai jika endapan floodplain ditemukan berasosiasi dengannya. Namun bagaimanapun, channel yang terisi dengan pasir terdapat juga di dalam setting lain, termasuk delta, lingkungan tidal dan lantai laut dalam. Pengenalan channel yang terbentuk bukanlah dasar yang cukup untuk menentukan lingkungan pengendapan. Fasies pengendapan batuan sedimen dapat digunakan untuk menentukan kondisi lingkungan ketika sedimen terakumulasi. Lingkungan sedimen telah digambarkan dalam beberapa variasi yaitu : 1. Tempat pengendapan dan kondisi fisika, kimia, dan biologi yang menunjukkan sifat khas dari setting pengendapan [Gould, 1972]. 2. Kompleks dari kondisi fisika, kimia, dan biologi yang tertimbun [Krumbein dan Sloss, 1963].
26 |Laporan Lapangan Sedimentologi
3. Bagian dari permukaan bumi dimana menerangkan kondisi fisika, kimia, dan biologi dari daerah yang berdekatan [Selley, 1978]. 4. Unit spasial pada kondisi fisika, kimia, dan biologi scara eksternal dan mempengaruhi pertumbuhan sedimen secara konstan untuk membentuk pengendapan yang khas [Shepard dan Moore, 1955]. Tiap lingkungan sedimen memiliki karakteristik akibat parameter fisika, kimia, dan biologi dalam fungsinya untuk menghasilkan suatu badan karakteristik sedimen oleh tekstur khusus, struktur, dan sifat komposisi. Hal tersebut biasa disebut sebagai fasies. Istilah fasies sendiri akan mengarah kepada perbedaan unit stratigrafi akibat pengaruh litologi, struktur, dan karakteristik organik yang terdeteksi di lapangan. Fasies sedimen merupakan suatu unit batuan yang memperlihatkan suatu pengendapan pada lingkungan.
27 |Laporan Lapangan Sedimentologi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam fieldtrip kali ini yaitu terdiri metode lapangan dan metode laboratorium. Adapun uraiannya sebagai berikut:
3.1.1 Metode Lapangan
Metode pengambilan data terdiri atas dua yaitu untuk sphericity dan ukuran butir. Metode yang digunakan untuk sphericity ialah mensketsa material-material sedimen pada kalkir berukuran 1x1 meter dan kemudian material-material sedimen yang berada pada lokasi 1x1 meter tersebut diambil secara acak dan diukur panjang, lebar, dan diameternya. Metode yang digunakan untuk ukuran butir ialah dengan pengambilan sampel (sampling) yaitu dengan melakukan tes spit berukuran 2x2 m, yang kemudian di lakukan pengambilan data-data seperti pengukuran tebal lapisan, deskripsi litologi, sketsa dan pengambil sampel.
3.1.2 Metode Laboratorium Metode yang digunakan dalam laboratorium yaitu metode pengolahan sampel berupa pengeringan sampai pengayakan dan terakhir penimbangan. Di mana pengeringan untuk memudahkan pengayakan, dan pengayakan untuk memisahkan ukuran butir yang sama dimana untuk mengetahui berat. Metode ini dilakukan untuk analisa ukuran butir
28 |Laporan Lapangan Sedimentologi
3.1.3 Pengolahan Data Data ukuran butir yang telah didapatkan di laboratorium selanjutnya diolah untuk menentukan mean, modus, median, kemudian menggunakan kurva semilog dan perhitungan-perhitungan lainnya. Dari hasil pengolahan data-data inilah kemudian dapat diketahui rata-rata ukuran butir dan persentase tiap lapisan. Dari semua data yang diolah tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan yang berkaitan dengan ukuran butir, kaitannya dengan prosesnya sampai fasiesnya.
3.2 Alat dan Bahan Adapun daftar alat dan bahan yang digunakan selama Fieldtrip ini berlangsung diantaranya : a. Peralatan Kelompok
Palu geologi
Kompas geologi
Camera digital
b. Peralatan Individu
Kantung sample
Papan clipboard
Buku lapangan
Kertas A4
Kertas kalkir
Spidol
Alat tulis
29 |Laporan Lapangan Sedimentologi
3.3
Pita meter
Prosedur Kerja Adapun prosedur kerja pada Fieldtrip Sedimentologi ini yaitu : Pertama dalam mengukur sphericity yaitu dengan mensketsa material-
material sedimen pada kalkir berukuran 1x1 meter dan kemudian materialmaterial sedimen yang berada pada lokasi 1x1 meter tersebut diambil secara acak dan diukur panjang, lebar, dan diameternya. Kedua pada analisis ukuran butir teknik sampling yang digunakan ialah dengan menggunakan tespit ukuran 2x2 meter dan analisis penyaringan dengan saringan sedimen bertingkat dengan diameter yang berbeda-beda (2 mm, 1 mm, 0,5 mm, 0,25 mm, 0,63 mm, 0,125 mm).
30 |Laporan Lapangan Sedimentologi
BAB IV PEMBAHASAN
4.1
Sphericity (kebulatan) Pada daerah penelitian pertama yang terletak di Sungai Jeneberang tepatnya
di daerah Bili-Bili, Kabupaten Gowa menurut perhitungan panjang, lebar serta diameternya memiliki tingkat sphericity yaitu pada stasiun pertama bentuk ratarata dari material sedimennya yaitu rounded (Waddel, 1932) yaitu bentuk yang relatif membundar, berdasarkan klasifikasi Zingg, 1938 yang menngklasifikasikan bentuk butir berdasarkan perbandingan antar sumbu maka bentuk butir yang dominan dari stasiun ini ialah oblate (sangat bundar), berdasarkan klasifikasi Folk&Sneed 1953 maka bentuk butir yang dominan dari stasiun ini ialah elongate (bundar).
31 |Laporan Lapangan Sedimentologi
Foto 3.1.1 Stasiun pertama pengukuran sphericity terletak di Sungai Jeneberang, Kecamatan Bili-Bili Kabupaten Gowa
Sphericity pada stasiun kedua berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan maka bentuk rata-rata dari material sedimennya yaitu rounded (Waddel, 1932) dimana bentuk materialnya yang relative membundar, berdasarkan klasifikasi Zingg, 1938 yang menngklasifikasikan bentuk butir berdasarkan perbandingan antar sumbu maka bentuk butir yang dominan dari stasiun ini ialah oblate (sangat bundar), berdasarkan klasifikasi Folk&Sneed 1953 maka bentuk butir yang dominan dari stasiun ini ialah subelongate (relative bundar).
Foto 3.1.2 Stasiun kedua pengukuran sphericity di daerah Bili-Bili
32 |Laporan Lapangan Sedimentologi
Berdasarkan data diatas maka proses transportasi material-material sedimen pada stasiun pertama dan kedua proses transportasinya berlangsung lambat dan memiliki jarak transportasi yang jauh hal ini dapat diinterpretasikan dari bentuk material sedimen yang relative membundar.
4.2
Analisis Ukuran Butir Setelah dilakukan perthitungan terhadap tujuh data lapisan yang diperoleh
dari tes spit pada stasiun kedua yaitu di daerah Tanjung Bayang, Kecamatan Takalar Kabupaten Gowa dapat diketahui bahwa: Pada lapisan pertama memiliki tipe sampel bimodal yang ditunjukkan dengan adanya dua puncak pada kurva frekuensi, kurtosis yaitu platykurtik yang menunjukkan perubahan kecepatan besar dan jauh dari sumber. Skewness yaitu Negative skewwnes yang berarti ukurannya kasar, atau material yang berukuran besar dan kasara labih banyak daripada yang berukuranhalus. Sortasinya yaitu Poorly sorted artinya memiliki sortasi atau pemilahan ukuran yang jelek sehingga ukurannya tidak seragam dan memiliki ukuran butir fine-very fine sand (klasifikasi
wenworth).
Lapisan kedua, memiliki tipe sampel unimodal yang ditunjukkan dengan adanya satu puncak pada kurva frekuensi,
kurtosis yaitu platykurtik yang
menunjukkan perubahan kecepatan besar dan jauh dari sumber. Merupakan jenis skewness Negative skewness yang berarti ukurannya kasar, atau material yang berukuran besar dan kasara labih banyak daripada yang berukuran halus, dengan sortasi
33 |Laporan Lapangan Sedimentologi
moderately sorted yaitu memiliki sortasi yang kurang seragam. Serta ukuran butirnya fine-very fine sand (klasifikasi wenworth). Lapisan ketiga memiliki tipe sampel unimodal yang ditunjukkan dengan adanya satu puncak pada kurva frekuensi dengan jenis kurtosis mesokurtik yaitu dicirikan dengan ukuran butirnya relatif sama, arus turbelensi kecil dengan perubahan arus yang kecil, dengan negative skewness, serta sortasi moderately sorted yaitu memiliki sortasi yang kurang seragam. Serta ukuran butirnya finevery fine sand (klasifikasi wenworth).
Foto 3.2 Lapisan Analisa Ukuran Butir terletak di Tanjung Bayang, Kecamatan Takalar, Kabupaten Gowa.
Lapisan keempat memiliki tipe sampel bimodal yang ditunjukkan dengan adanya dua puncak pada kurva frekuensi, dengan kurtosis yaitu platykurtik yang menunjukkan perubahan kecepatan besar dan jauh dari sumber, tipe skewness yaitu negative skewness yang
berarti ukurannya kasar, atau material yang
berukuran besar dan kasara labih banyak daripada yang berukuran halus, Sortasinya yaitu Poorly sorted artinya memiliki sortasi atau pemilahan ukuran
34 |Laporan Lapangan Sedimentologi
yang jelek sehingga ukurannya tidak seragam. Memiliki ukuran butir coarse sandmediumsand. Lapisan kelima memiliki memiliki tipe sampel bimodal yang ditunjukkan dengan adanya dua puncak pada kurva frekuensi, dengan kurtosis yaitu platykurtik yang menunjukkan perubahan kecepatan besar dan jauh dari sumber, tipe skewness near simmitrycal, dengan sortasi Poorly sorted artinya memiliki sortasi atau pemilahan ukuran yang jelek sehingga ukurannya tidak seragam. Memiliki ukuran butir fine- very fine sand. Lapisan keenam memiliki tipe sampel unimodal yang ditunjukkan dengan adanya satu puncak pada kurva frekuensi, dengan kurtosis leptokurtik dicirikan dengan ukuran butirnya relatif sama, arus turbelensi kecil dengan perubahan arus yang kecil, dengan tipe skewness negative skewness yang berarti ukurannya kasar, atau material yang berukuran besar dan kasara labih banyak daripada yang berukuran halus, dengan sortasi moderately sorted yaitu memiliki sortasi yang kurang seragam. Serta ukuran butirnya fine-very fine sand (klasifikasi wenworth). Lapisan ketujuh memiliki tipe sampel unimodal yang ditunjukkan dengan adanya satu puncak pada kurva frekuensi dengan jenis kurtosis mesokurtik yaitu dicirikan dengan ukuran butirnya relatif sama, arus turbelensi kecil dengan perubahan arus yang kecil, dengan tipe skewness near semitrical serta sortasi moderately sorted yaitu memiliki sortasi yang kurang seragam. Serta ukuran butirnya fine-very fine sand (klasifikasi wenworth). Berdasarkan analisa ukuran butir diatas maka ukuran butir yang dominan ialah fine- very fine sand. Maka jarak transportasinya lambat.
35 |Laporan Lapangan Sedimentologi
4.3
Fasies Fasies dalam sandi statigrafi Indonesia diartikan sebagai aspek fisika,
kimia, biologi suatu endapan dalam kesamaan waktu. Adapun fasies pada stasiun ketiga berdasarkan aspek fisikanya maka fasies pada stasiun ini terbagi dua yaitu pasir kasar dan pasir halus.
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: Nilai kuantitatif ukuran butir pada material sedimen yang paling besar menunjukkan bentuk yang lebih membulat atau menyerupai bola hal ini dapat disebabkan oleh kecepatan pengendapan (settling velocity). Secara umum batuan yang bentuknya tidak spheris (tidak menyerupai bola) mempunyai kecepatan pengendapan yang lebih rendah. Dengan demikian bentuk butir akan mempengaruhi tingkat transportasi pada sistem suspensi.Bentuk butir ukuran kerakal atau yang lebih besar dipengaruhi oleh benuk asal dari batuan sumber, namun demikian butiran dengan ukuran ini akan lebih banyak mengalami perubahan bentuk karena abrasi dan pemecahan selama transportasi dibandingkan dengan butiran yang berukuran pasir. Untuk butiran sedimen yang berukuran pasir atau lebih
36 |Laporan Lapangan Sedimentologi
kecil, bentuk butir juga lebih banyak dipengaruhi oleh bentuk asal mineralnya. Proses transportasinya berlangsung lambat dan memiliki jarak transportasi yang jauh hal ini dapat diinterpretasikan dari bentuk material sedimen yang relative membundar Berdasarkan analisa ukuran butir yang telah dilakukan maka ukuran butir yang dominan ialah fine- very fine sand. Adapun fasies pada stasiun ketiga berdasarkan sifat fisiknya maka fasies pada stasiun ini terbagi dua yaitu pasir kasar dan pasir halus.
37 |Laporan Lapangan Sedimentologi
38 |Laporan Lapangan Sedimentologi